Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH USHUL FIQIH

“ HUKUM WARISAN, DAN HIBAH “

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH

ILMU KALAM TAUHID

DOSEN PENGAMPU : Ade Nurhamzah, S.IP., M.M

DISUSUN OLEH

Nama kelompok 8

Muhammad husen ( 21020118 )

Deska Anandita ( 21010398 )

PROGRAM SARJANA EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

TANGGAMUS LAMPUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Hukum Warisan, Dan Hibah” dengan baik
dan tepat waktu.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Lutfi Zaimuddin, M.Pd.I. selaku
Dosen mata kuliah Ushul Fiqih yang telah memberikan tugas ini. Berkat tugas yang
diberikan, dapat menambah wawasan kami berkaitan dengan topik yang diberikan. Kami juga
mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
proses penyusunan makalah ini. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam
rangka menambah wawasan serta pengetahuan bagi pembaca mengenai tentang “Hukum
Warisan, Dan Hibah”.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Oleh sebab itu kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang.
Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

14 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 1

B. Tujuan................................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2

A. Pengertian Hibah ............................................................................................................... 2

B. Landasan hokum Hibah ..................................................................................................... 4

C. Pendapat Para Ulama‟ Mengenai Hibah Yang Lebih Dari Sepertiga ............................... 6

BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 9

A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 9

B. Saran .................................................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diantara masalah yang timbul dalam hukum adat kita adalah, terdapat seseorang yang
menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain, agar hartanya bisa bermanfaat, karena si
pemberi hibah takut hartanya kelak akan jatuh ke tangan ahli warisnya yang tak bisa
dipertanggungjawabkan nantinya, dan kelak harta tersebut akan sia-sia.
Jelas hal ini tak sejalur dengan pemikiran kita selama ini, bahwa yang perlu dibatasi
adalah wasiat yang tak boleh lebih dari sepertiga, bukan hibah. Padahal hibah dan wasiat juga
sama-sama memiliki efek tersendiri bagi para ahli waris.
Oleh sebab itu, dikarenakan beberapa masalah pelik tersebut, penulis mencoba
memaparkan beberapa hukum mengenai hibah lebih dari sepertiga menurut perspektif hukum
islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hibah?
2. Sampai sejauh manakah harta yang dihibahkan kaitannya dengan ahli waris?
3. Apa esensi Kompilasi Hukum Islam dalam membatasi hibah?

B. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Mengetahui pengertian hibah
2. Untuk Mengetahui Sampai sejauh manakah harta yang dihibahkan kaitannya dengan
ahli waris
3. Untuk Mengetahui Apa esensi Kompilasi Hukum Islam dalam membatasi hibah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah
1. Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya
“nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut
dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta
atau selainnya. Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya adalah
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa
imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal yang meliputi :
a) Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
b) Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di
akhirat;
c) Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi
imbalan.
2. Pengertian Hibah Menurut Islam
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta
benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara‟ ialah:
a) Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan tanpa ada syarat
harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi
masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah milik si
pemberi.
b) Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap
imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap
imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan hadiah. Dan apabila
pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala
maka ini dinamakan sedekah.
c) Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki sesuatu oleh
seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui
atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk
diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib,

dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada

2
imbalan.
d) Menurut Madzhab Syafii, hibah mengandung dua pengertian:
1) Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan
dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang mana
tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan tidak
dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena menutup
kebutuhan orang yang diberikannya.
2) Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah dan
sedekah.
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat mazhab tersebut berlainan
redaksinya namun intinya tetaplah sama, yaitu;
“hibah adalah memberikan hak milik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi
oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesama manusia dalam hal
kebaikan”
3. Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang berarti suatu persetujuan, dengan si
pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak ditarik kembali,
menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah untuk digunakan sebagai
layaknya milik pribadi. Dalam KUH Perdata sama sekali tidak mengakui lain-lain
hibah, kecuali hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Hibah itu hanya mengenal
benda-benda yang sudah ada, jika benda itu meliputi benda yang akan ada di kemudian
hari, maka sekedar mengenai hal ini hibahnya adalah batal (pasal 1666 dan 1667 KUH
Perdata)
4. Dalam pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Pengertian ini sama dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab fiqih tradisional
bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah pemilikan sesuatu melalui akad tanpa
mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih
hidup.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan perbuatan
hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam
pelaksanaan hibah. Jadi asasnya adalah sukarela.

3
B. Landasan hukum Hibah
1. Surat Al-Baqarah:195

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu


menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. “

Maka untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk
berbuat sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf,
hibah, dan lain-lain

2. Surat Ali-Imran:92

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”

Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan
warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat
pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat,
terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan
terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau
setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh
karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris. Sedangakan hibah yang di berikan
kepada non ahli waris, meskipun dalam kitab-kitab fiqh tak ada batasan berapapun
jumlahnya namun tak menutup kemungkinan seseorang akan menghibahkan seluruh
hartanya, yang nantinya akan berakibat membahayakan ahli waris.

4
Untuk itu, Berkaitan dengan masalah di atas pasal 210 KHI telah memberikan
solusi,
3. KHI PASAL 210 yang berbunyi:
“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa
adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki”
Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat
dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah:
pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan
kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak
ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi
sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga
harta peninggalan.

4. Hadis Nabi:
َ‫ضثُ ِب َّ َّىة‬ْ ‫ص عَْٓ أَ ِبٍ ِه لَا َي َِ ِر‬ ٍ ‫ض ْع ِذ ْب ِٓ أَ ِبً َولَّا‬َ ُْٓ‫ي لَا َي أَ ْخبَ َر ًِٔ عَا ِِ ُر ب‬
ُّ ‫ض ْفٍَاُْ َح َّذ َثَٕا اٌ ُّس ْه ِر‬
ُ ‫ي َح َّذثََٕا‬
ُّ ‫َح َّذثََٕا ا ٌْ ُح َّ ٍْ ِذ‬
ِ َّ ‫ضى َي‬
ً ‫َّللا إَِّْ ًٌِ َِ ًاًل َو ِث‬
‫ٍرا‬ ُ ‫ضٍَّ َُ ٌَ ُعى ُد ًِٔ فَمُ ٍْثُ ٌَا َر‬
َ ‫َّللا َعٍَ ٍْ ِه َو‬ َ ًُّ ‫ت فَأَجَا ًِٔ إٌَّ ِب‬
ُ َّ ‫صٍَّى‬ ِ ‫شفٍَْثُ ِِ ْٕهُ َعٍَى ا ٌْ َّ ْى‬ ْ َ ‫ضا فَأ‬ ً ‫َِ َر‬
ُ ٍُُّ‫ُ لَا َي اٌث‬
ِْْ‫ُ َوبٍِ ٌر إَِّٔهَ إ‬ ُ ٍُُّ‫ط ُر لَا َي ًَل لُ ٍْثُ اٌث‬ ْ ‫ش‬َّ ٌ‫ق بِثٍُُثَ ًْ َِاًٌِ لَا َي ًَل لَا َي لُ ٍْثُ فَا‬ َ ‫ص ٌَ ِرثًُِٕ إِ ًَّل ا ْبَٕحًِ أَفَأَج‬
ُ ‫َص َّذ‬ َ ٍْ ٌَ‫َو‬
َ‫ك َٔ َفمَةً إِ ًَّل أ ُ ِج ْرتَ َعٍَ ٍْ َها َححَّى اٌ ٍُّ ْم َّة‬
َ ِ‫اش َوإَِّٔهَ ٌَْٓ جُ ْٕف‬َ ٌَّٕ‫جَ َر ْوثَ َوٌَ َذ َن أَ ْغٍَِٕا َء َخ ٍْ ٌر ِِْٓ أَْْ جَ ْح ُر َوهُ ُْ عَاٌَةً ٌَحَ َىفَّفُىَْ ا‬
ِ َّ ‫َّللا آأ ُ َخٍَّفُ عَْٓ ِه ْج َرجًِ فَ َما َي ٌَْٓ ج َُخٍَّفَ بَ ْع ِذي فَحَ ْع َّ ًَ َع َّ ًًل جُ ِرٌ ُذ بِ ِه َو ْج َه‬
‫َّللا‬ ِ َّ ‫ضى َي‬ ُ ‫ج َْرفَعُ َها إٌَِى فًِ ا ِْ َرأَجِ َه فَمُ ٍْثُ ٌَا َر‬
ُْٓ‫ض ْع ُذ ب‬
َ ‫ص‬ُ ِِ‫آخرُوَْ ٌَ ِىْٓ ا ٌْبَا‬ َ َ‫ض َّر ِبه‬ َ ٌُ‫از َددْتَ ِب ِه ِر ْف َعةً َود ََر َجةً َوٌَ َع ًَّ أَْْ ج َُخٍَّفَ بَ ْع ِذي َححَّى ٌَ ْٕ َحفِ َع ِب َه أَ ْل َىا ٌَ َو‬
ْ ‫إِ ًَّل‬
ِٓ ‫ض ْع ُذ بُْٓ َخ ْىٌَ َة َر ُج ًٌ ِِْٓ َب ًِٕ عَا ِِ ِر ْب‬َ ‫ض ْفٍَاُْ َو‬ ُ ‫ضٍَّ َُ أَْْ َِاتَ ِب َّ َّىةَ لَا َي‬ َ ‫َّللاُ َعٍَ ٍْ ِه َو‬
َّ ‫صٍَّى‬ ِ َّ ‫ضى ُي‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫َخ ْىٌَةَ ٌَ ْر ِثً ٌَهُ َر‬
‫ٌُؤَ ي‬
Artinya: diriwayatkandari Sa’ad bin Abi Waqosh ra: pada tahun Haji Penghabisan
(wada’)Nabi Muhammad SAW mengunjungiku seraya mendoakan kesehatanku. Aku
berkata kepada nabi Muhammad SAW, “aku lemah karena sakitku yang
parahpadahal aku kaya dan aku tidak punya ahli wariskecuali seorang anak
perempuan. Haruskah aku menyedekahkan 2/3 kekayaanku? Nabi Muhammad SAW
bersabda, “tidak” kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda bahkan 1/3 telah cukup
banyak. Lebih baik kamu
meninggalkan ahli warismudalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan
merekadalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain. Kau akan memperoleh
pahala dari sedekah yang dikeluarkan dengan niat karena Allah, bahkam untuk yang
kau suapkan dalam mulut isteriu”. Aku berkata,”ya rasulullah, apakah aku akan

5
sendirian ketika para sahabatku pergi?”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “jika
kamu ditinggalkan, apapun yang kau kerjakan akan mengangkat mu ke tempat yang
tinggi. Dan mungkin saja kau akan berumur panjang hingga(dating suatu saat ketika)
sebagian orang mengambil keuntungan darimu, dan sebagian yang lain mengambil
kemudharatandarimu.” Ya Allah, lengkapkan hijrah sahabatku dan jangan biarkan
mereka berpaling “. Dan rasullah SAW merasa sedih dengan meninggalnya Sa’ad
bin khaulah yang miskin di Makkah. (sedangkan sepeninggal nabi Muhammad SAW,
Sa’ad bin Abi Waqash hidup dengan umur yang panjang).{HR.Bukhari}

Dimana hadist tersebut seolah menggambarkan bahwa bersedekah yang lebih


dari sepertiga merupakan tindakan yang berakibat merusak esensi dan kepentingan
dari ahli waris.

C. Pendapat Para Ulama’ Mengenai Hibah Yang Lebih Dari Sepertiga


1. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya,
bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli
waris.
2. Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab Hanafi
mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk
keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai
orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2
hal yaitu: jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu
badan hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika
hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan
Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan
makruh.Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu‟man Ibnu
Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan
bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan
membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih
banyak dari yang lain.
3. Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum
islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak
diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah

6
bersikap adil diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukan maka harus
dicabut kembali.
Yang masih diperselisihkan para ahli hukum islam adalah tentang bagaimana
cara penyamaan sikap dan perlakuan anak-anak itu? Ada yang berpendapat bahwa
pemberian itu adalah sama diantara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang
berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu dengan cara menetapkan
bagian untuk seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai
dengan pembagian waris. Menurut sebagian ahli hukum islam, sesungguhnya
penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Mereka
menyatakan bahwa hadist yang menyatakan menyamakan anak-anaknya dalam
pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadist yang menyatakan bahwa
pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal.
Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian semua harta berupa hibah
kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal
pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal.
Prinsip pelaksanaan hibah orang tua terhadap anaknya haruslah sesuai
petunjuk Rasulullah SAW. Dalam berberapa hadist dikemukakan bahwa bagian
mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi semua harta kepada salah
seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi dari
ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Sikap seperti ini menurut kompilasi didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif
oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris yang
dilakukan tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih
kalau penyelesaiannya sampai ke pengadilan agama tentu akan terjadi perpecahan
keluarga.
Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khattab pernah mengemukakan bahwa
kembalikan putusan itu diantara sanak keluarga, sehingga mereka membuat
perdamaian karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan
menimbulkan penderitaan.
4. Ulama Malikyah menetapkan dalam syarat orang yang yang menghibahkan adalah
Ahlan li tabarru’ yaitu orang yang berhak berderma dan bersedekah. Yang dimaksud
dengan ahli tabarru‟ adalah diantaranya adalah :
a) bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga harta,
karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi sepertiga harta
7
harus mendapat izin dari suaminya.
b) bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat ini berlaku jika
harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga. Jika menghibahkan lebih dari
sepertiga maka harus mendapatkan persetujuan ahli waris.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian Hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain
yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesame
manusia dalam hal kebaikan.
2. Hibah pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan kewarisan, karena
berdasarkan pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah diberikan ketika si penghibah
masih hidup sedangakan kewarisan dilakukan setelah adanya kematian. Namun
dengan adanya permasalahan yang ada, tak menutup kemungkinan seseorang
memberikan atau menghadiahkan seluruh hartanya kepada orang lain, yang mana bisa
merugikan ahli warisnya kelak.
3. Esensi Kompilasi Hukum Islam, dalam memberikan Batasan pemberian hibah adalah
baik kepada anak-anaknya sendiri atau kepada selain ahli waris. Jika batasan hibah
kepada selain ahli waris karena ada kaitannya dengan kecukupan ahli waris kelak,
maka hibah kepada anak-anaknya dibatasi juga untuk rasa keadilan.

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi ya ng menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena keterbatasannya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan makalah
ini

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aneka masalah Hukum perdata Islam di Indonesia.


Abdur Rahman Al Jaziri, Al Figih „Ala Madzahib Al Arba‟ah. juz 3
Kompilasi Hukum Islam. Citra Media Wacana. 2008
Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam, zakat dan WAkaf. UI-Press. 1988
Muhammad Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di PA dan Kewarisan
menurut Undang-Undang HUkum Perdata di PN. Pedoman ILmu Jaya, Jakarta. 1992
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 3, Darul Fikr: Beirut, LIbanon.
Tamakiran, S. Asas-asas hukum waris menurut tiga sitem hukum, Pioner Jaya, Bandung. 1987
CD ROM Al-musu‟ah Al hadist. Global Islamic Software Companiy. 1991
CD Holly qur‟an. Sakhr. 1997

10

Anda mungkin juga menyukai