Anda di halaman 1dari 14

Ayat dan Hadist Ekonomi

Akad Hibah dan Wakalah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ayat dan Hadist Ekonomi

Dosen Pengampu : Dr. Budi Sudrajat,M.A.

Disusun Oleh

Ridho Sunarto 221430063

Mahendra 221430061

Shipa Nur Magfiroh 221430064

Siti Nurul Uyuniyah 221430042

ASURANSI SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTHAN MAULANA HASANUDIN

BANTEN

2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim,

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya. Atas berkat rahmat dan hidayahnya serta berbagai upaya, tugas makalah, mata
kuliah Ayat dan Hadist Ekonomi.

Sholawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW atas petunjuk dan
risalahnya yang telah membawa manusia dari kegelapan menuju nur (cahaya) dan membawa
dari zaman kebodohan sampai ke zaman yang penuh dengan ilmu ini dengan berbekal iman,
islam dan ihsan. Terima kami haturkan juga kepada Dosen pengampu Mata Kuliah Ayat dan
Hadist Ekonomi yang telah memberikan dorongan dan bimbingan dalam pembuatan Makalah
ini.

Kepada para pembaca yang budiman kami menunggu kritik dan saran demi perbaikan
dalam pembuatan makalah ini. Walaupun isi yang terkandung dalam makalah ini sedikit dari
perjalanan sejarah panjang yang sesungguhnya, mudah-mudahan bermanfaat dan berguna bagi
kita semua dalam rangka mengenali perjalanan sejarah atas agama yang kita anut ini. Amin
Amin Ya Rabbal'alamin

Serang, 29 November 2023

Kelompok 12

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2

A. Pengertian Hibah ................................................................................................. 2


B. Syarat dan Rukun Hibah .................................................................................... 4
C. Macam-macam Hibah ......................................................................................... 6
D. Pengertian Wakalah ............................................................................................ 6
E. Rukun dan Syarat Wakalah ................................................................................ 7
F. Macam-macam wakalah ...................................................................................... 8
G. Ayat dan Hadist Tentang
Hibah dan Wakalah ............................................................................................. 8

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 10

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana pemberi


tersebut dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada hubungannya
dengan kewarisan. Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam hukum positif di
indonesia seperti; Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan KUH Perdata. Selain itu,
adanya posibilitas pembatalan hibah yang telah diberikan oleh seorang pemberi hibah
kepada yang menerima hibah sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam,
Hukum Adat dan KUHPerdata.

Hibah dalam bahasa Belanda adalah schenking, sedangkan menurut istilah yang
dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, adalah: Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerimapenyerahan itu.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah

Apabila ditelusuri secara mendalam, istilah hibah itu berkonotasi memberikan hak
milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan dan jasa.
Menghibahkan tidak sama artinya dengan menjual atau menyewakan. Oleh sebab itu,
istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam transaksi hibah. Berdasarkan hal itu,
maka perlu lebih dahulu dikemukakan definisi atau pengertian hibah dalam pandangan
ulama. Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Qur‟an
beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan
jika subyeknya Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, ayat 8,
Maryam, ayat 5, 49, 50, 53).1 Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah
pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT
tanpa mengharapkan balasan apapun. Menurut kamus populer internasional hibah adalah
pemberian sedekah, pemindahan hak. Secara bahasa, dalam kamus Al-Munjid, hibah
berasal dari akar kata wahaba - yahabu - hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam
Kamus al-Munawwir kata "hibah" ini merupakan mashdar dari kata ( wahab ) yang berarti
pemberian. Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan
sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.

Menurut terminologi, kata hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di


antaranya:

1. Menurut Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen,


merumuskan hibah adalah :
ُّ ‫انحاج ت‬
‫طعا‬ ٕ ّ ‫عقذ ٔ ٕفذ انت‬
ٕ ‫مهك تال عُض حال‬
Artinya: "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih
hidup dan dilakukan secara sukarela".
Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain
tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari
pemberi kepada orang yang diberi.

2
2. Menurut Abd al-Rahmân al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ alMazâhib al- Arba’ah,
8 menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab
Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan
seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat
dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah.
Mazhab Syafi‟i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian
umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
3. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan oleh mazhab Hambali :
‫انحاج تالعُض‬
ٕ ‫ف‬ ٕ ّ‫ التعذّرعهم ُم ُجدا مقذرا عه‬,‫صزف ماال مع ُهما اَم ُجٍال‬
ّ ‫تسهم ٕغزَ اجة‬ ّ ّ ‫تمهك جائز انت‬
ٕ .
Artinya : "Pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan
orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, baik harta
itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan boleh diserahkan yang
penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup, tanpa mengharapkan
imbalan”.
4. Menurut Sayyid Sabiq, hibah adalah akad yang dilakukan dengan maksud
memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa
imbalan.
5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, bahwa hibah adalah
memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya
dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
6. Tidak jauh berbeda dengan rumusan di atas, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-
Malîbary, bahwa hibah adalah memberikan suatu barang yang pada galibnya sah
dijual atau piutang, oleh orang ahli tabarru, dengan tanpa ada penukarannya.

Di dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan pemberian harta milik
seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila
seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak
diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut ‘āriyatun (pinjaman).

Hibah menurut hukum positif diatur dalam KUH Perdata, hibah diatur dalam
Pasal 1666 yaitu: “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu benda guna keperluan penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-
undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup”.

3
Beberapa definisi di atas sama-sama mengandung makna bahwa hibah
merupakan suatu jenis pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa
mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang menyatakan
perpindahan hak milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa
mengharapkan penggantian sedikit pun.

Sekalipun hibah memiliki dimensi taqarrub dan sosial yang mulia, di sisi lain
terkadang hibah juga dapat menumbuhkan rasa iri dan benci, bahkan ada pula yang
menimbulkan perpecahan di antara mereka yang menerima hibah, terutama dalam
hibah terhadap keluarga atau anak-anak. Hibah seorang ayah terhadap anak-anak dalam
keluarga tidak sedikit yang dapat menimbulkan iri hati, bahkan perpecahan keluarga.
Artinya, hibah yang semula memiliki tujuan mulia sebagai taqarrub dan kepedulian
sosial dapat berubah menjadi bencana dan malapetaka dalam keluarga.

B. Syarat dan Rukun Hibah


Untuk orang yang menghibahkan hartanya disyaratkan bahwa orang itu adalah
orang yang cakap bertindak hukum, yaitu baligh, berakal dan cerdas. Oleh sebab itu,
anak kecil dan orang gila tidak sah hibahnya, karena mereka termasuk orang- orang
yang tidak cakap bertindak hukum. Menurut pendapat Helmi Karim syarat barang yang
boleh dihibahkan adalah:
1. Harta yang akan dihibahkan ada ketika akad hibah berlangsung. Apabila harta
yang dihibahkan itu adalah harta yang akan ada, seperti anak sapi yang masih
dalam perut ibunya atau buah-buahan yang masih belum muncul di pohonnya,
maka hibahnya batal. Para ulama mengemukakan kaidah tentang bentuk harta
yang dihibahkan itu, yaitu: (segala yang sah diperjualbelikan sah dihibahkan).
2. Harta yang dihibahkan itu bernilai harta menurut syara'.
3. Harta itu merupakan milik orang yang menghibahkannya.
4. Menurut ulama Hanafiyah apabila harta yang dihibahkan itu berbentuk rumah
harus bersifat utuh, sekalipun rumah itu boleh dibagi.
5. Harta yang dihibahkan itu terpisah dari yang lainnya dan tidak terkait dengan
harta atau hak lainnya, karena prinsip barang yang dihibahkan itu dapat
dipergunakan oleh penerima hibah setelah akad dinyatakan sah. Apabila
seseorang menghibahkan sebidang tanah, tetapi di tanah itu ada tanaman orang
yang menghibahkan, maka hibah tidak sah. Begitu juga apabila seseorang

4
menghibahkan sebuah rumah, sedangkan di rumah itu ada barang orang yang
menghibahkan, maka hibahnya juga tidak sah. Dari permasalahan ini muncul
pula persoalan menghibahkan sapi yang masih hamil. Orang yang
menghibahkan sapi itu menyatakan bahwa yang dihibahkan hanya induknya
saja, sedangkan anak yang dalam perut induknya tidak. Hibah seperti ini pun
hukumnya tidak sah.
6. Harta yang dihibahkan itu dapat langsung dikuasai (alqabdh) penerima hibah.
Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah, syarat ini
malah dijadikan rukun hibah, karena keberadaannya sangat penting. Ulama
Hanafiyah, Syafi'iyah, dan ulama Hanabilah lainnya mengatakan al-qabdh
(penguasaan terhadap harta itu) merupakan syarat terpenting sehingga hibah
tidak dikatakan sah dan mengikat apabila syarat ini tidak dipenuhi. Akan tetapi,
ulama Malikiyah menyatakan bahwa al-qabdh hanyalah syarat penyempurna
saja, karena dengan adanya akad hibah, hibah itu telah sah. Berdasarkan
perbedaan pendapat tentang al-qabdh ini, maka ulama Hanafiyah, Syafi'iyah,
dan Hanabilah mengatakan bahwa hibah belum berlaku sah hanya dengan
adanya ijab dan qabul saja, tetapi harus bersamaan dengan al-qabdh (bolehnya
harta itu dikuasai), sekalipun secara hukum. Umpamanya, apabila yang
dihibahkan itu sebidang tanah, maka syarat al-qabdh nya adalah dengan
menyerahkan surat menyurat tanah itu kepada orang yang menerima hibah.
Apabila yang dihibah-kan itu sebuah kendaraan, maka surat menyurat
kendaraan dan kendaraannya diserahkan langsung kepada penerima hibah. Al-
Qabdh itu sendiri ada dua, yaitu:
a) al-qabdh secara langsung, yaitu penerima hibah langsung menerima
harta yang dihibahkan itu dari pemberi hibah. Oleh sebab itu, penerima
hibah disyaratkan orang yang telah cakap bertindak hukum.
b) al-qabdh melalui kuasa pengganti.46 Kuasa hukum dalam menerima
harta hibah ini ada dua, yaitu:
1. Apabila yang menerima hibah adalah seseorang yang tidak atau
belum cakap bertindak hukum, maka yang menerima hibahnya
adalah walinya.
2. Apabila harta yang dihibahkan itu berada di tangan penerima
hibah, seperti harta itu merupakan titipan di tangannya, atau
barang itu diambil tanpa izin (al-gasb), maka tidak perlu lagi
5
penyerahan dengan al-qabdh, karena harta yang dihibahkan telah
berada di bawah penguasaan penerima hibah.
C. Macam-macam Hibah

Bermacam-macam sebutan pemberian disebabkan oleh perbedaan niat


(motivasi) orang-orang yang menyerahkan benda, adapun macam-macam hibah adalah
sebagai berikut:

1. Al-Hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya
tanpa mengharapkan penggantian (balasan)
2. Shadaqah,yakni yang menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di
akhirat.56 Atau juga dapat disebut sebagai pemberian zat benda dari seseorang
kepada yang lain dengan tanpa mengganti dan hal ini dilakukan karena ingin
memperoleh ganjaran (pahala) dari Allah Yang Maha Kuasa.
3. Washiat, yang dimaksud dengan washiat menurut pendapat Hasbi Ash-Siddieqy
ialah: "Suatu akad di mana seorang manusia mengharuskan di masa hidupnya
mendermakan hartanya untuk orang lain yang diberikan sesudah wafatnya".

dapat diketahui bahwa washiyyat adalah pemberian seseorang kepada yang lain
yang diakadkan ketika hidup dan diberikan setelah yang mewasiatkan meninggal dunia.
Sebagai catatan perlu diketahui bahwa tidak semua washiyyat itu termasuk pemberian,
untuk lebih lengkap akan dibahas pada bab khusus.

4. Hadiah, yang dimaksud dengan hadiah ialah pemberian yang menuntut orang
yang diberi hibah untuk memberi imbalan. Atau dalam redaksi lain yaitu
pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan
maksud memuliakan.
D. Pengertian Wakalah

Secara bahasa wakalah adalah melindungi, menyerahkan. Pengertian ini


memberikan pemahaman bahwa tindakan wakalah berarti tindakan melindungi atau
tindakan menyerahkan sesuatu. Secara terminologi menurut Syafi’iyyah wakalah
adalah penyerahan kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa
diwakilkan kepada oang lain, untuk dilakukan oleh wakil tersebut selama pemilik
kewenangan asli masih hidup.4Definisi dari Syafi’iyyah ini memberikan pemahaman
bahwa adanya tindakan orang yang memiliki kewenangan menyerahkan suatu
pekerjaan kepada orang lain agar orang lain tersebut melakukan pekerjaan itu sesuai

6
dengan kehendak dari yang yang mewakilkan selama orang yang mewakilkan tersebut
masih hidup. Pembatasan pada orang yang mewakilkan itu masih hidup untuk
mengeluarkan pemahaman bahwa wakalah tidak termasuk wasiat.Apabila orang yang
mewakilkan sudah wafat, maka kewenangan melakukan pekerjaan tersebut berada pada
ahli waris.

Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan


manusia. Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah,
akad Wakalah dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan
(al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan
juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan. Adapula pengertian-pengertian lain
dari wakalah yaitu:

a) Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian


mandat.

b) Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama


kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam
hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang
yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan
sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi

kuasa.

E. Rukun dan Syarat Wakalah


1. Rukun
• wakil (Penerima kuasa);
• Muwakil (Pihak yang meminta diwakilkan
• Objek akad berupa barang atau jasa
• Ijab kabul / serah terima
2. Syarat
• seorang muwakil, diisyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu
pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan
orang yang tidak memiliki otoritas tersebut kepada orang lain.

• Seorang wakil, disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz.

7
• Obyek yang diwakilkan harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui
secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan.
Obyek tetrsebut memang bisa diwakilkan kepada orang lain.

• Ijab kabul adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara pihak-
pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern

F. Macam-macam Wakalah

Wakalah muthlaq adalah perwakilah yang tidak terikat syarat yaitu perwakilan dari
sebab nasab, yang mempunyai hak yang utama dari yang lain yaitu ayah , untuk
menguasakan akad dibawah perwakilannya.

Wakalah muqayyadan adalah perwakilan yang terikat oleh syarat-syarat yang telah
ditentukan dan disepakati bersama, misalnya seseorang ditunjuk menjadi wali berdasarkan
surat wasiat atau ditunjuk berdasarkan keputusan pengadilan.

G. Ayat dan Hadist Tentang Hibah dan Wakalah

• Ayat tentang hibah surat Ar-rum ayat 38

َٰٓ
‫ٱَّلل ۖ َوأ ُ ۟ولَئِكَ هُ ُم‬ َّ ‫ت ذَا ْٱلقُ ْر َبى َحقَّ ۥهُ َو ْٱلمِ ْسكِينَ َوٱبْنَ ٱل‬
ِ َّ َ‫س ِبي ِل ۚ ذَلِكَ َخي ٌْر ِلّلَّذِينَ ي ُِريدُونَ َو ْجه‬ ِ ‫فَـَٔا‬

َ‫ْٱل ُم ْف ِل ُحون‬

Artinya: "Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula)
kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang
beruntung,"

• Hadits tentang hibah

Artinya : “Dari Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, dan Siti Aisyah r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda,’Saling memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan
saling mencintai.”

8
• Ayat tentang wakalah surat An-nisa ayat 35

َ َّ ‫َّللاُ بَ ْينَ ُه َما ِإ َّن‬


َ‫َّللا َكان‬ َّ ‫ق‬ ْ ‫َو ِإ ْن خِ ْفت ُ ْم ِشقَاقَ بَ ْينِ ِه َما فَا ْب َعثُوا َحكَما مِ ْن أ َ ْه ِل ِه َو َحكَما مِ ْن أ َ ْه ِل َها ِإ ْن ي ُِريدَا ِإ‬
ِ ِّ‫صالحا ي َُوف‬

Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”.(QS. an-Nisa’ : 35)

• Hadist tentang wakalah


َ‫ فَزَ َّو َجاهُ َم ْي ُم ْونَةَ بِ ْنت‬،‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫ث أَبَا َرافِع َو َر ُجال مِ نَ اْأل َ ْن‬
َ ‫سلَّ َم بَ َع‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬ ُ ‫ِإ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬
)‫ث (رواه مالك في الموطأ‬ ِ ‫ْال َح‬
ِ ‫ار‬

Artinya : "Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk
mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan) Maimunah r.a." (HR. Malik dalam al-
Muwaththa').

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Prinsip Islam mengenai penyerahan pemilikan atau suatu barang pemberian,


perlulah diingat bahwa pemberian tidaklah dapat dilakukan dengan samar-samar. Hibah
itu haruslah dinayatakan dengan tegas dan terang, dan maksud dari yang memberi
harulah diperlihatkan dengan penyerahan seluruhnya dari barang pemberian itu. Karena
hibah tidak sah tanpa ada suatu penyerahan pemilikan atas barang itu. Oleh sebab itu,
perbuatan pemilikan dari benda yang diberikan oleh yang menerima, baik langsung
ataupun tidak langsung adalah perlu untuk menyempurnakan suatu pemberiannya
sehingga tidak menjadi suatu masalah dikemudian hari.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahan


Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokoh Hukum Islam II, Tintamas : Jakarta : 1961
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Dr.H.Tolchah Mansoer, dkk, Ilmu Fiqh 3, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama
Islam, Jakarta : 1984

11

Anda mungkin juga menyukai