Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM HIBAH DAN WASIAT

HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA

Dosen pembimbing :

Fakhriyah Annisa Afroo,MH

Di susun oleh :

1.kusnul khotimah(1911110003)

2.sandi Irawan(1911110010)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

KOTA BENGKULU
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat
kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
“HUKUM HIBAH DAN WASIAT”. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada
Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan
sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah HUKUM HIBAH DAN WASIAT di
program studi HUKUM KELUARGA ISLAM Fakultas SYARIAH pada IAIN BENGKULU.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pembimbing mata kuliah HUKUM HIBAH DAN WASIAT dan kepada segenap pihak yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan


makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu ,maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata pengantar
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................
a.latar belakang .............................................................................
b.rumusan masalah.......................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Hibah...................................................................1
1.menurut hukum islam ............................................................1
2.menurut hukum perdata.........................................................2
B.syarat dan rukun hibah ........................................................5
a.menurut hukum islam...........................................................6
b.menurut hukum perdata.....................................................7
C.hikmah hibah .......................................................................8

BAB III
PENUTUP
a.kesimpulan ................................................................................
b.saran.............................................................................................
daftar pustaka.
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Masalah Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana pemberi tersebut
dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada hubungannya dengan kewarisan.
Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam hukum positif di indonesia seperti; Kompilasi Hukum
Islam, Hukum Adat dan KUH Perdata. Selain itu, adanya posibilitas pembatalan hibah yang telah
diberikan oleh seorang pemberi hibah kepada yang menerima hibah sebagaimana dijelaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata. Hibah dalam bahasa Belanda
adalah schenking, sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah: Sesuatu persetujuan dengan
mana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerimapenyerahan
itu.1 1 Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”

B.rumusan masalah

1.apa pengertian hibah menurut hukum islam ?

2.apa pengertian hibah menurut hukum perdata ?

3.syarat dan rukun menurut

-hukum islam

-hukum perdata ?

4.apa hikmah hibah ?

4
1

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Hibah

pengertian hibah adalah hadiah. Namun secara bahasa adalah pemberian secara sukarela
kepada orang lain. Sewajarnya, hadiah diberikan saat pemilik masih hidup dan bukan saat sudah
meninggal. Oleh karena itu, prinsip hibah berbeda dengan warisan. Selain itu, hadiah
diasumsikan sebagai pemberian yang tanpa memandang hubungan pernikahan ataupun pertalian
darah.

1. menurut hukum islam


1
Pengertian Hibah Kata Hibah berasal dari bahasa Arab ( ‫ة‬ѧ‫ ( هب‬kata ini merupakan mashdar
dari kata ( ‫ب‬ѧ‫ ( وه‬yang berarti pemberian. Apabila seseorang memberikan harta miliknya kepada
orang lain secara suka rela tanpa pengharapan balasan apapun, hal ii dapat diartikan bahwa si
pemberi telah menghibahkan miliknya. Karena itu kata hibah sama artinya dengan pemberian.
Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa peihak penghibah bersedia melepaskan
haknya atas benda yang dihibahkan, hibah merupakan salah satu bentuk pemindahan hak milik
jika dikaitkan dengan perbuatan hukum. Jumhur ulama mendefinisikan hibah sebagai akad yang
mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup
kepada orang lain secara suka rela. Ulama mazhab Hambali mendefinisikan hibah sebagai
pemilik harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi hibah
boleh melakukan sesuatu tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun
tidak, bedanya ada dan dapat diserahkan, penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup
tanpa mengharapkan imbalan. Kedua definisi itu sama-sama mengandung makna pemberian
harta 15 16 kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali
untuik mendekat kandiri kepada Allah SWT. 15 Menurut beberapa madzhab hibah diartikan
sebagai berikut:

1. Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan
ganti pemberian ini dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Dengan syarat benda yang akan
diberikan itu adalah sah milik si pemberi (menurut madzhab Hanafi).

2. Mamberikan hak sesuatu materi dengan tanpa mengharapkan imbalan atau ganti. Pemberian
semata-mata hanya diperuntukkan kepada orang yang diberinya tanpa mengharapkan adanya
pahala dari Allah SWT. Hibah menurut madzhab ini sama dengan hadiah. Apabila pemberian itu
1
15 Abdul aziz dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. 1. h. 540 16 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), h. 145-146

1
2

semata untuk meminta ridha Allah dan megharapkan pahalanya. Menurut madzhab maliki ini
dinamakan sedekah2.

3. Pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab dan qobul pada waktu
sipemberi masih hidup. Pemberian mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau
memulyakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapat pahala dari Allah karena
menutup kebutuhan orang yang diberikannya. (menurut madzhab Syafi'i). 16 Dari beberapa
definisi ini, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hibah adalah:

1. Merupakan akad atau perjanjian

2. Pemberian Cuma-Cuma atau pemberian tanpa ganti

3. Banda (barang) yang dihibahkan mempunyai nilai

4. Hibah dapat dilaksanakan oleh seseorang kepada orang lain, oleh seseorang kepada badan-
badan tertentu, juga beberapa orang yang berserikat kepada yang lain. Definisi hibah diatas
hanya merupakan istilah otak makna yang khusus. Adapun hibah dengan maknanya yang umum,
meliputi hal-hal berikut:

a. Ibraa' yaitu : menghibahkan hutang kepada orang lain yang berhutang.

b. Sedekah yaitu : menghibahkan atau memberikan sesuatu dengan tidak ada tukarannya karena
mengharapkan pahala di akhirat.

c. Hadiah yaitu : memberikan sesuatu dengan tidak ada tukarannya serta dibawah ketempat yang
diberi karena hendak memulyakannya.

Hibah menurut persektif fikih :

Hibah, hadiah, dan wasiat adalah istilah-istilah syariat yang sudah menjadi perbendaharaan
bahasa Indonesia, sehingga istilah-istilah ini bukan lagi suatu yang asing. Hibah, hadiah dan
wasiat merupakan bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama
islam. Dalam hukum Islam,  seseorang diperbolehkan untuk memberikan atau menghadiahkan
sebagian harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain. Pemberian semasa hidup itu
sering disebut sebagai hibah.

Allâh Azza wa Jalla mensyariatkan hibah karena mendekatkan hati dan menguatkan tali cinta
antara manusia, sebagaimana disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫تَهَا ُدوْ ا تَ َحابَوْ ا‬

Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-Bukhâri dalam al-Adâbul
Mufrad no. 594. Hadits ini dinilai sahih oleh al-Albâni dalam kitab al-Irwa’, no. 1601].

2
ibid

2
3

Oleh karena itu, permasalahan hibah ini perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan rasa cinta
diantara kaum Muslimin yang sangat perlu sekali terus dipelihara dan ditumbuh kembangkan 3.
Dengan demikian pengertian hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada
pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan dalam keadaan sehat

Cara membedakannya adalah pemberian tanpa bayaran adalah hibah, apabila diiringi dengan
memindahkan barang yang diberikan dari tempat ke tempat orang yang diberi sebagai bentuk
penghormatan dan pemuliaan maka itu dinamakan hadiah. Apabila diiringi dengan pemberian
kepada orang yang membutuhkan (miskin) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza
wa Jalla dan mencari pahala akhirat maka dinamakan sedekah.

2.pengertian Hibah menurut hukum Perdata

Menurut Hukum Perdata, pengertian hibah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1666 BW adalah
“Suatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya dengan cumacuma dan dengan
tidak dapat ditarik kembali, sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima
penyerahan itu”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1666 BW tersebut, menjelaskan bahwa yang
dinamakan “pemberian (Schenking)” ialah suatu perjanjian (obligator), di mana pihak yang satu
menyanggupi dengan cuma-cuma (omniet) dengan secara mutlak (onherrop elijk) memberikan
suatu benda kepada pihak yang lainnya, pihak mana yang menerima pemberian itu sebagai suatu
perjanjian, pemberian (schenking) itu seketika mengikat dan tak dapat ia cabut kembali begitu
saja menurut kehendak satu pihak.

Apabila kita mengkaji pasal-pasal yang mengatur tentang hibah dalam hukum perdata, maka
dapat dikatakan bahwa unsur-unsur suatu hibah ada tiga macam, yaitu ada si penghibah,
penerima hibah dan barang atau benda yang dihibahkan.

1. Si Penghibah Si penghibah adalah pemilik harta yang akan memberikan sebagian hartanya
kepada seseorang, baik kepada ahli waris, kerabat maupun orang lain yang telah dianggap
layak untuk diberikan hibah. Dengan demikian, si penghibah berinisiatif merelakan harta
atau barang miliknya untuk dihibahkan apabila telah memenuhi syarat dan benar-benar hak
miliknya secara jelas tanpa ada keragu-raguan lagi. Si penghibah ingin memberikan sesuatu
yang dibolehkan dalam hukum secara cuma-cuma tanpa mengharapkan penggantian atau
imbalan jasa. Akan tetapi tidak dibolehkan memberi hibah apabila belum.

(Akan tetapi tidak dibolehkan memberi hibah apabila belum 6 Mustafa, As-Siba’i, 2001,
Sistem Masyarakat Islam, Pustaka Al-Hidayah, Jakarta. 97 Asriadi Zainuddin Jurnal Al-

3
Referensi: https://almanhaj.or.id/6422-hibah-dalam-perspektif-fikih.html

3
4

Himayah V1.Issue 1 2017 ISSN 2614-8765, E ISSN 2614-8803 dewasa, sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 1677 KUH Perdata.7 )
2. Penerima Hibah Dalam Pasal 1678 KUH Perdata dijelaskan bahwa antara suami isteri
selama dalam status perkawinan dilarang untuk penghibahan. Namun ketentuan ini tidak
berlaku terhadap hadiahhadiah atau pemberian-pemberian barang bergerak, yang harganya
tidak terlampau tinggi, mengingat kemampuan si penghibah. Untuk menerima suatu hibah
dibolehkan orang yang belum dewasa, tetapi ia harus diwakili oleh orang tuanya atau
walinya, bahkan dalam Pasal 1679 KUH Perdata dinyatakan, bahwa orang yang menerima
hibah itu harus sudah ada (sudah dilahirkan) pada saat dilakukan penghibahan. Dalam Pasal
2 KUH Perdata lebih lanjut dinyatakan bahwa “anak yang ada dalam kandungan pun
dianggap sebagai telah dilahirkan manakala kepentingan si anak itu menghendaki”.
Sementara itu, dalam Pasal 1680 KUH Perdata dinyatakan bahwa: Penghibahan kepada
lembaga-lembaga umum atau lembaga-lembaga agama tidak mempunyai akibat selamanya
sekedar oleh presiden atau penguasa-penguasa yang telah ditunjuk olehnya telah diberikan
kekuasaan pada pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima pemberian-pemberian
itu.

Selanjutnya pada Pasal 904 s/d 907 KUH Perdata dijelaskan bahwa tidak dibenarkan
menerima hibah: guru-guru/pengasuh dari muridnya, orang yang mempunyai hubungan
khusus seperti dilarang pemberian hibah wasiat kepada walinya atau kepada dokter yang
merawat selama sakitnya atau kepada notaris yang membuat testament hibah wasiat. 1.
Barang Yang Dihibahkan Di dalam Pasal 1688 KUH Perdata dinyatakan bahwa : Suatu
hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan karenanya, melainkan dengan hal-hal
yang berikut:
1. Karena tidak dipatuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan yang telah dilakukan.
2. Jika penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang
bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan si penghibah.
3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini
dalam kemiskinan. Selanjutnya hibah meliputi barang bergerak dan tidak bergerak, dengan
demikian, dalam pengalihannya, pemindahanya telah diatur dalam Pasal 1682 s/d pasal 1687
KUH Perdata, yang pada prinsipnya dapat dipahami sebagaimana penjelasan Subekti bahwa 4
dari Pasal 1682 s/d Pasal 1687 tersebut dapat dilihat bahwa untuk penghibahan benda tak
bergerak ditetapkan suatu formalitas dalam bentuk akta notaris.
Tetapi untuk menghibahkan benda yang bergerak yang berbentuk atau surat penghibahan
atas tunjuk (aan toonder) tidak diperlukan suatu formalitas dan dapat dilakukan dengan

4
7 R. Subekti, 1989, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Jakart

Citra Aditya Bakti, Jakarta. 3 Departemen Agama, 1999 , Ilmu Fiqh, P3S PTAI/IAIN, Jakarta. 4 Bahder Johan Nasution, dan Sri Warjiyati, 1997,
Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah Wakaf dan Shodaqah, MandarMaju, Bandung

4
5

secara sah dengan penyerahan barangnya begitu saja kepada si penerima hibah kepada pihak
ketiga yang menerima pemberian hibah atas namanya.

C.Syarat dan rukun hiba

a.menurut hukum islam

Rukun dan Syarat Hibah Oleh karena hibah adalah merupakan akad atau perjanjian berpindahnya
hak milik, maka dalam pelaksanaannya membutuhkan rukun dan syarat-syarat sebagai ketentuan
akad tersebut dapat dikatakan sah. Rukun hibah ada tiga macam:

1. Aqid (wahid dan mauhud lahu) yaitu penghibahan dan penerima hibah.

2. Mauhud yaitu barang yang dihibahkan

3. Sighat yaitu ijab dan qobul. Ketiga rukun akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Penghibahan dan Penerima Hibah Penghibahan yaitu orang yang memberikan harta
miliknya sebagai hibah. Orang ini harus Memenuhi syarat-syarat:

a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah, dengan demikian tidaklah sah
menghibahkan barang milik orang lain.

( 20 Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, cet.1, h. 462 20)

b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.

c. Penghibahan tidak dipaksa Untuk memberikan hibah, dengan demikian haruslah


didasarkan kepada kesukarelaan.

Penerima hibah adalah orang yang diberi hibah. Disyaratkan bagi penerima hibah benar-
benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah
orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang
masih ada dalah kandungan adalah tidak sah. Sedangkan seorang anak masih kecil diberisesuatu
oleh orang lain (diberi hibah), maka hibah itu tidak sempurna kecuali dengan adanya penerimaan
oleh wali. Walian yang bertindak Untuk dan atas nema penerimaan hibah dikala penerima hibah
itu belum ahlinya al-Ada' alKamilah. Selain orang, lembaga juga bisa menerima hadiah, seperti
lembaga pendidikan.

2) 5Barang yang Dihibahkan Yaitu suatu harta benda atau barang yang diberikan dari seseorang
kepada orang lain. Pada dasarnya Segala benda dapat dijadikan hak milik adalah dapat

5
Citra Aditya Bakti, Jakarta. 3 Departemen Agama, 1999 , Ilmu Fiqh, P3S PTAI/IAIN, Jakarta. 4 Bahder Johan Nasution, dan Sri Warjiyati,
1997, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah Wakaf dan Shodaqah, MandarMaju,
Bandung

5
6

dihibahkan, baik benda itu bergerak atau tidak bergerak, termasuk Segala macam piutang.
Tentunya benda-benda atau barang-barang tersebut harus Memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

a. Banda tersebut benar-benar ada 21

b. Benda tersebut mempunyai nilai

c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannyadan pemilikannya dapat


dialihkan.

d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dandiserahkan kepada penerima hibah.

e. Benda tersebut telah diterima atau dipegang oleh penerima

f. Menyendiri menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan terhadap barang-barang


bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurut ulama Malikiyah, Hambaliyah,
dan Syafi'iyah hal tersebut dibolehkan.

g. Penerima pemegang hibah atas seizing wahib.22

3) Sigat (Ijab dan Qobul) Sigat adalah kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang
melaksanakan hibah karena hibah adalah akad yang dilaksanakan oleh dua fihak yaitu penghibah
dan penerima hibah, maka sigat hibah itu terdiri ijab dan qobul, yang menunjukkan pemindahan
hak milik dari seseorang (yang menghibahkan) kepada orang lain (yang menerima hibah).
Sedangkan pernyataan menerima (qobul ) dari orang yang menerima hibah. Karena qobul ini
termasuk rukun. Bagi segolongan ulama madzhab Hanafi, qobul bukan termasu rukun hibah.

Dalam literatur fiqh tidak ada keterangan tentang ketentuan bahwa dalam akad hibah
terdapat suatu syarat agar dalam pelaksanaannya hibah harus disiapkan alat-alat bukti, saksi atau
surat-surat autentik yang menjadi syarat sahnya perjanjian. Demikian ini dapat dimengerti sebab
dalam AlQur'an sendiri menganjurkan muamalah yang dilakukan secara tunai. Akan teapi
walaupun demikian sebaiknya dalam hal pelaksanaan perjanjian keperdataan yang termasuk
hibah sebaiknya terdapat alat bukti, sebab dengan adanya alat bukti itu akan menimulkan
kemantapan bagi yang menghibahkan maupun bagi yang memberikan hibah. Jika dikemudian 6
hari terjadi perkara dalam permasalahan hibah maka dengan adanya alat-alat bukti perkara7
tersebut akan mudah diselesaikan. Tentunya yang membutuhkan alat-alat bukti adalah pemberian
yang berhubungan dengan benda yang tidak bergerak tetapi bernilai atau mempunyai nilai yang
tinggi seperti: permata, emas, tanah, dan lain-lain.

7
23 21 Chairuman Pasaribu, dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h.115-115 Lihat pula Helmi karim, Fiqih
Muamalah, h.76-78. 22 Rahmat syafi'i, Fiqih Muamalah, hal 247 23 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid 2, h.106 22

6
7

b.Syarat dan rukun menurut hukum perdata

Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan
kata-kata yang tegas telah ditnyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta
otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan: ”Tiada
suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selain
mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah
sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta autentik oleh si penerima hibah itu telah
dikuasakan untuk menerima penghibahanpenghibahan yang telah diberikan kepada si penerima
hibah atau akan diberikan kepadanya di kemudian hari. Jika penerimaan tersebut tidak dilakukan
di dalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta autentik
kemudian, yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah
masih hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya
akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.”11 Guna mendapatkan suatu
keputusan akhir perlu adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang
mengenai fakta-fakta itu akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti.
Mengetahui bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan dikenal tentang adanya pembuktian. Dalam
hal ini ada beberapa alat dalam perkara perdata yang bisa digunakan sebagai bukti, antara lain :

1. Bukti dengan surat

2. Bukti dengan saksi

3. Persangkaan-persangkaan

4. Sumpah 11 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer

E. 8Hikmah Hibah

Ketahuilah wahai orang yang berakal yang mukmin dan muslim, bahwa hikmah disyariatkannya
hibah (pemberian) sangat besar. Karena hibah itu bias menghilangkan rasa iri dengki, dan
menyatukan hati dalam cinta kasih dan saying menyayangi. Hibah menunjukkan kemuliaan
akhlak, kesucia tabiat, adanya sifatsifat yang tinggi, himmah, keutamaan dan kemuliaan. Oleh
karena itu Rasulullah SAW. bersabda: ‫ائن‬cc‫ذهب الغ‬c‫ة ت‬cc‫ا لهدي‬c‫اد فان‬cc‫" ته‬Saling beri memberilah kamu

8
,(Jakrta: Kencana, 2004). h. 471 47)

7
8

sekalian, sesungguhnya hibah itu menghilangkan iri dengki"25 Hadiah bias menimbulkan rasa
cinta dalam hati dan bias menghilangkan kedengkian. Sementara itu menuntut kembali barang
yang sudah diberikan akan menimbulkan rasa permusuhan, kebencian, dan mengajak kepada
perpecahan. Apa lagi kalau orang yang telah diberi sudah memberikan peberian itu dan tidak
mungkin untuk mengembalikannya. Beri-memberi mengandung faedah yang besar bagi manusia.
Mungkin seseorang datang membutuhkan sesuatu tetapi tidak tahu melalui jalan mana yang
harus ditempuh untuk mencukupi kebutuhannya.
9
Tiba-tiba datanglah sesuatu yang dibutuhkan itu dari seorang teman atau kerabat
sehingga hilanglah kebutuhannya. Pahala orang yang memberi tentulah besar dan mulia.
Memberi adalah salah satu sifat kesempurnaan. Allah mensifati dirinya dengan firman-Nya
"Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)"(QS. Ali Imran: 8)26 Apabila seseorang
suka memberi, berarti berusaha mendapatkan sifat paling mulia, karena dalam memberi, orang
menggunakan kemuliaan, menghilangkan kebakhilan jiwa, memasukkan kegembiraan ke dalam
hati orang yang diberi, mewariskan rasa kasih sayang dan terjalin rasa cinta antara pemberi dan
penerima, serta menghilangkan rasa iri hati, maka orang yang suka memberi termasuk orang-
orang yang beruntung.27 26 Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, h. 76 27 Hadi
Mulyo dan Shobahussurur, Tarjamah Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, h. 395-397

9
24 Mu'amal Hamidy, dkk. Terjemah Nailul Author V, cet 1, h. 1987 25 Abi 'Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhariy, Shahih Bukhariy, Juz
I. h. 90-91 25

8
9

BAB II

PENUTUP

A.KESIMPULAN

pengertian hibah adalah hadiah. Namun secara bahasa adalah pemberian secara sukarela kepada
orang lain. Sewajarnya, hadiah diberikan saat pemilik masih hidup dan bukan saat sudah
meninggal. Oleh karena itu, prinsip hibah berbeda dengan warisan. Selain itu, hadiah
diasumsikan sebagai pemberian yang tanpa memandang hubungan pernikahan ataupun pertalian
darah.

Menurut hukum islam yaitu Pengertian Hibah Kata Hibah berasal dari bahasa Arab ( ‫ة‬ѧ‫ ( هب‬kata
ini merupakan mashdar dari kata ( ‫ب‬ѧ‫ ( وه‬yang berarti pemberian. Apabila seseorang
memberikan harta miliknya kepada orang lain secara suka rela tanpa pengharapan balasan
apapun, hal ii dapat diartikan bahwa si pemberi telah menghibahkan miliknya. Karena itu kata
hibah sama artinya dengan pemberian. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa peihak
penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan, hibah merupakan salah satu
bentuk pemindahan hak milik jika dikaitkan dengan perbuatan hukum .

Sedangkan menurut hukum perdata yaitu Suatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu
hidupnya dengan cumacuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, sesuatu benda guna
keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1666
BW tersebut, menjelaskan bahwa yang dinamakan “pemberian (Schenking)” ialah suatu
perjanjian (obligator), di mana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma (omniet)
dengan secara mutlak (onherrop elijk) memberikan suatu benda kepada pihak yang lainnya,
pihak mana yang menerima pemberian itu sebagai suatu perjanjian, pemberian (schenking) itu
seketika mengikat dan tak dapat ia cabut kembali begitu saja menurut kehendak satu pihak.

B.SARAN

Kami selaku kelompok yang membuat makalah ini memohon maaf yang sebesar-besarnya yang
mana dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan baik penulisan ,materi maupun yang
lain nya .
10

DAFTAR PUSTAKA

15 Abdul aziz dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. 1. h. 540 16 Idris Ramulyo,
Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum
Perdata (BW), h. 145-146

Referensi: https://almanhaj.or.id/6422-hibah-dalam-perspektif-fikih.html

7 R. Subekti, 1989, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Jakart

Citra Aditya Bakti, Jakarta. 3 Departemen Agama, 1999 , Ilmu Fiqh, P3S PTAI/IAIN, Jakarta. 4
Bahder Johan Nasution, dan Sri Warjiyati, 1997, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan
Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah Wakaf dan Shodaqah, MandarMaju,
Bandung

Chairuman Pasaribu, dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h.115-
115 Lihat pula Helmi karim, Fiqih Muamalah, h.76-78. 22 Rahmat syafi'i, Fiqih Muamalah, hal
247 23 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid 2, h.106 22

,(Jakrta: Kencana, 2004). h. 471 47)

24 Mu'amal Hamidy, dkk. Terjemah Nailul Author V, cet 1, h. 1987 25 Abi 'Abdullah
Muhammad Bin Ismail al-Bukhariy, Shahih Bukhariy, Juz I. h. 90-91 25

Anda mungkin juga menyukai