Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk
itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah
selanjutnya dapat lebih baik. Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kami
pada khususnya dan reka-rekan pada umumnya. Amin.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Salah satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim ataupun
non muslim.
Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain
sebagainya.
Salah satu di antaranya adalah hibah, atau disebut juga pemberian cuma-cuma tanpa
mengharapkan imbalan.
( الهبةhibah) adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan
(tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti.
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh
seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan
yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HIBAH
1. Pengertian Hibah
Kata "hibah" berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti melewatkan atau
menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memeberi kepada
tangan orang yang diberi.
Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta
milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Sedangkan
Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberuikan zat dengan tidak ada
tukarnya dan tidak ada karenanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang
bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima
pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang
membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal
dunia).
Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini dinamakan juga dengan perjanjian sepihak
(perjanjian unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).
Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits
yang diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda yang artinya sebagai berikut : "Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya
yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya
dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :
1. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah
menghibahkan barang milik orang lain.
2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan
3. Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang
akal).
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan.
Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah
lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti
setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya.
Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak
sah.
c) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat
dialihkan;
d) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.
Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk
lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti
dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si
penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".
Sedangkan Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan
pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak. Adapun menyangkut pelaksanaan hibah
menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang
dihibahkan.
2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi
hibah.
Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana
sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum
wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah
menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah. Sedangkan menyangkut
penghibahan seluruh harta, sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq, bahwa menurut jumhur
ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.
Muhammad Ibnu Hasan (demikian juga sebagian pentahqiq mazhab Hanafi) berpendapat
bahwa: Tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun di dalam kebaikan. Mereka
menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang yang dungu dan orang yang dungu
wajib dibatasi tindakannya.
Penarikan kembali atas hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan meskipun
hibah itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah yang boleh
ditarik hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
Dasar hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi yang artinya berbunyi
sebagai berikut : "Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah,
kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua
kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia
rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan,
lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali.
7. Firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah 177) yang artinya: “Bukanlah kebaikan itu engkau
mengarahkan wajahmu menghadap timur dan barat. Akan tetapi kebaikan itu adalah orang
yang beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, para nabi, memberikan harta yang
disukainya kepada kerabat dekatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang
meminta-minta dan untuk membebaskan budak.”
8. Firman Allah SWT QS Al-Baqarah 261 : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha Mengetahui.
B. SEDEKAH
1.Pengertian Sedekah
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh
seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan
yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh
para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).
Di dalam Alquran banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa
memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya:
''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah,
maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114). Hadis
yang menganjurkan sedekah juga tidak sedikit jumlahnya.
Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan
dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi
haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal
menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada
kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan
orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia
mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi
wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga.
Menurut fuqaha, sedekah dalam arti sadaqah at-tatawwu' berbeda dengan zakat. Sedekah
lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan
dalam arti diberitahukan atau diberitakan kepada umum. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi
SAW dari sahabat Abu Hurairah. Dalam hadits itu dijelaskan salah satu kelompok hamba Allah
SWT yang mendapat naungan-Nya di hari kiamat kelak adalah seseorang yang memberi sedekah
dengan tangan kanannya lalu ia sembunyikan seakan-akan tangan kirinya tidak tahu apa yang
telah diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum
diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang
betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama
disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang
berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang
artinya; ''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).
Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia
berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya
yang berarti: ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima.'' (QS Al Baqarah
[2]: 264). (dam/disarikan dari buku Ensiklopedi Islam)
Hikmah Shadaqah.
a) Shadaqah dapat menjauhkan kita dari bencana, baik yangsipemberi maupun sipenerima.
b) Dapat membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu dan dapat mencegah saudara-
saudara kita dari kemudharatan.
c) Shadaqah juga dapat mengikat tali persaudaraan yang lebih erat diantara kita.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan
musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu
dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan
wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).
2. Rukun hibah, yaitu : penghibah , penerima hibah, ijab dan kabul, dan benda yang
dihibahkan.
3. Syarat-syarat hibah itu meliputi syarat penghibah, penerima hibah dan benda yang
dihibahkan.
4. Penghibahan harta yang dilakukan oleh orang sakit hukumnya sama dengan wasiat.
Menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang
dimilikinya kepada orang lain.
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh
seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan
yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.
DAFTAR PUSTAKA
Pasaribu, H. Chairuman Drs dan Suhrawardi K. Lubis SH, 1996, Hukum Perjanjian Dalam
Islam, Jakarta: sinar Grafika.
Sabiq, Sayid, 1988, Fikih Sunnah Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma'arif.
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14,Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1988, hlm. 167.
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1990, hlm. 305