Anda di halaman 1dari 8

SEDEKAH, HIBAH, DAN HADIAH

A. Pengertian dan Hukum Sedekah

Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shadaqah yang
secara bahasa berarti tindakan yang benar.

Secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan sebagai ssebuah


pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang
diiringi juga oleh oahala dari Allah.[2] Contoh, memberikan sejumlah uang,
beras, atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang
membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya infak
(pemberian/sumbangan) termasuk ke dalam kategori sedekah.

B. Dasar Hukum Sedekah

Secara ijma, ulama menetapkan bahwa hukum sedekah ialah sunah.


Islam mensyariatkan sedekah karena di dalamnya terdapat unsur memberikan
pertolongan kepada pihak yang membutuhkan. Di dalam al-Qur’an banyak ayat
yang menganjurkan agar kita bersedekah diantaranya terdapat dalam firman
Allah swt. Surat al-Baqarah ayat 280 dan ayat 261.

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. ” (Qs:2/280)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan


hartany dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (Qs.2/261)

C. Hukum yang Terkait dengan Sedekah

Pada dasarnya sedekah dapat diberikan kapan dan dimana saja tanpa
terkait oleh waktu dan tempat. Namun, ada waktu dan tempat tertentu yang
lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan pada bulan Ramadhan. Dijelaskan juga
dalam kitab Kifayat al-Akhyar, sedekah sangat dianjurkan ketika sedang
menghadapi perkara penting, sakit atau bepergian, berad di kota Mekkah dan
Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti sepuluh
hari dibulan Zulhijjah, dan hari raya.[3]

D. Sedekah yang Tidak Dibolehkan

Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak
sah benda itu disedekahkan karena barang yang disedekahkan harus didasari
oleh keihklasan dan kerelaan dari pemiliknya.

Demikian halnya, haram menyedekahkan benda yang secara zat


dihukumi haram seperti babi, dan anjing. Atau benda itu diperoleh dengan cara
yang diharamkan seperti mencuri, merampok atau korupsi karena hal itu bukan
miliknya secara sah,

Dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 60, secara tegas ada beberapa
golongan yang berhak menerima sedekah.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk haitnya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, maka sebagai sesuatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (Qs:8/60)

Menurut mufasir yang dimaksud:

1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta
dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.

2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan
kekurangan.

3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan


membagikan zakat.

4. Mualaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru
masuk Islam yang imannya masih lemah.

5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang


ditawan oleh orang-orang kafir.

6. Orang berutang: orang yang berutang karena untuk kepentingan yang bukan
maksiat dan sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutan untuk
memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat,
walaupun ia mampu membayarnya.

7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan
kaum muslimin, diantara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah
itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan
sekolah, dan rumah sakit.

8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami


kesengsaraan dalam perjalanannya.

E. Perkara yang dapat Membatalkan Sedekah

Ada beberapa perkara yang dapat menghilangkan pahala sedekah:

1. Al-Mann (membangkit-bangkitkan) artinya menyebut-menyebut dihadapan


orang lain.
2. Al-Adza (menyakiti) artinya sedekah itu dapat menyakiti perasaan orang lain
yang menerimanya baik dengan ucapan atau perbuatan.

Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka


dan tidak pula mendapat pahala diakhirat.

3. Riya (memamerkan) artinya memperlihatkan sedekah kepada orang lain


karena ingin dipuji.

F. Bentuk-Bentuk Sedekah

Dalam Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk materi
tetapi mencakup semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik.
Berdasarkan hadis, para ulama membagi sedekah menjadi :

1. Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang lain.

2. Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan.

3. Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa.

4. Membantu orang lain yang akan menaiki kendaraan yang akan ditumpangi.

5. Membantu mengangkat barang orang lain ke dalam kendaraannya.

6. Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu dari tengah jalan seperti


duri, batu, dan kayu.

7. Melangkahkan kaki ke jalan Allah.

8. Mengucapkan zikir seperti tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar.

9. Menyuruh orang lain berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran.

10. Membimbing orang buta, tuli, dan bisu serta menjuluki orang yang meminta
petunjuk tentang sesuatu seperti alamat rumah.

11. Memberikan senyuman kepada orang lain.

Dari uraian di atas tentang sedekah maka ada beberapa perbedaan antara
sedekah dan zakat dilihat dari tiga aspek:

1. Orang yang melakukan

Sedekah dianjurkan kepada semua orang beriman baik yang memiliki harta
atau tidak karena bersedekahtidak mesti harus yang berharta sedangkan
zakat diwajibkan kepada mereka yang memiliki harta.

2. Benda yang disedekahkan


Benda yang disedekahkan bukan hanya terbatas pada harta secara fisik
tetapi mencakup semua macam kebaikan. Adapun zakat, benda yang
dikeluarkan terbatas hanya harta kekayaan secara fisik seperti uang, hasil
pertanian, peternakan, perdagangan, dan hasil profesi yang lainnya.

3. Orang yang menerima

Sedekah untuk semua orang tetapi zakat dikhususkan kepada delapan


golongan sebagaimana telah disebutkan.

G. Hikmah Sedekah

Sedekah memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Orang yang bersedekah
dengan ikhlas ia buka hanya mendapatkan pahala tetapi juga memeiliki
hubungan sosial yang baik. Hikmah yang dapat dipetik:

1. Orang yang bersedekah lebih mulia dibanding orang yang menerimanya


sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis “Tangan diatas lebih baik dari
tangan yang dibawah”

2. Mempererat hubungan sesama manusia terutama kepada kaum fakir miskin,


menghilangkan sifat bahkil dan egois, dan dapat membersihkan harta serta
dapat meredam murka Tuhan.

3. Orang yang bersedekah senantiasa didoakan oleh kedua malaikat.

“Tidaklah seorang laki-laki berada di pagi hari kecuali dua malaikat berdoa,
Ya Allah berilah ganti orang yang menafkahkan (menyedekahkannya)
hartanya dan berikanlah kehancuran orang yang menahan hartanya.” (HR.
Bukhari Muslim).

2. HIBAH

A. Pengertian dan Hukum Hibah

Secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa arab al-Hibah yang berarti
pemberian atau hadiah dan bangun (bangkit). Kata hibah terambil dari
kata “hubuubur riih” artinya muruuruha (perjalanan angin).[6] Kemudian,
dipakailah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik
berupa harta ataupun bukan. Kata hibah yang bentuk amr-nya hab terdapat
dalam al-Qur’an Ali-Imran ayat 38:

“Zakari berkata, Ya Tuhan-ku berilah aku dari sisi engkau seorang anak yang
baik. Sesungguhnya engkau mendengar doa.” (Qs:3/38)

Secara terminologi (syara’) jumhur ulama mendefenisikan hibah:

“Akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan oleh
seorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela.”[7]
Dari defenisi diatas dapat diambil pengertian bahwa hibah merupakan
pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah dimana orang yang diberi bebas menggunakan harta tersebut.
Artinya, harta menjadi hak milik orang yang diberi. Jika orang yang memberikan
hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak sebagai hak milik
maka itu disebut I’aarah (pinjaman). Jika pemberian itu disertai dengan imbalan
maka yang seperti itu namanya jual beli.

Ada beberapa bentuk pemberian selain hibah.

1. Sedekah yaitu pemberian harta kepada orang lain tanpa mengganti dan hal
ini dilakukan semata angin memperoleh ganjaran (pahala) dari Allah swt.

2. Ibraa’ yaitu menghibahkan uang kepada fisik yang berutang.

3. Wasiat yaitu pemberian seseorang kepada orang lain yang diakadkan


ketika masih hidup dan baru diberikan setelah orang yang berwasiat itu
meninggal.

4. Hadiah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya
pengganti dengan maksud memuliakan.

B. Dasar Hukum Hibah

Para ulama fiqh sepakat bahwa hukum hibah itu sunah. Hal ini didasari
oleh nash al-Qur’an dan hadis Nabi.

a. Dalil al-Qur’an

1. Qs. an-Nisa ayat 4

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)


sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kaum sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.” (Qs: 4/4)

2. Qs. al-Baqarah ayat 177

“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak


yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba
sahaya.” (Qs.: 2/177)

b. Dalil al-hadis

“Saling memberikan hadiahlah, maka kamu akan saling mencintai.” (HR.


Bukhari Muslim).

“Siapa yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena


mengharap dan meinta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan
menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan oleh Allah
kepadanya.” (HR. Ahmad).

“Seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki binatang tentu aku akan
menerimanya. Dan seandainya aku diundang untuk makan sepotong kaki
binatang tentu aku akan mengabulkan undangan tersebut.” (HR. Ahmad an
Tirmidzi).

C. Rukun dan Syarat Hibah

Jumhul ulama mengemukakan bahwa rukun hibah itu ada empat:

1. Orang yang menghibahkan (al-Wahib)

2. Harta yang dihibahkan (al-mauhub)

3. Lafal hibah

4. Orang yang menerima hibah (mauhub lahu)

Syarat-syarat Hibah

a. Syarat Orang yang Menghibah (Pemberi Hadiah)

1. Penghibah memiliki sesuatu yang dihibahkan.

2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya artinya orang yang cakap
dan bebas bertindak menurut hukum.

3. Penghibah itu orang dewasa, berakal, dan cerdas. Tidak disyaratkan


penghibah itu harus muslim. Hal ini berdasarkan hadis Bukhari yang
menyatakan diperbolehkan menerima hadiah dari penyembah berhala.

4. Penghibah itu tidak dipaksa sebab hibah merupakan akad yang


disyaratkan adanya kerelaan.[8]

b. Syarat Orang yang Diberi Hadiah

Orang yang diberi hadiah benar-benar ada pada waktu diberi hibah, bila
tidak ada atau diperkirakan keberadaannya misalnya masih dalam bentuk
janin maka itu tidak sah hibah. Jika orang yang diberi hibah itu ada pada
waktu pemberian hibah, akan tetapi ia masih kecil atau gila maka hibah itu
harus diambil oleh walinya, pemeliharanya, atau orang yang mendidiknya
sekalipun ia asing.[9]

c. Syarat Benda yang Dihibahkan

1. Benar-benar benda itu ada ketika akad berlangsung. Maka benda yang
wujudnya akan seperti anak sapi yang masih dalam perut ibunya atau
buah yang belum muncul dipohon maka hukumnya batal. Para ulama
mengemukakan kaidah tentang harta yang dihibahkan “Segala sesuatu
yang sah untuk dijual-belikan sah pula untuk dihibahkan.”

2. Harta itu memiliki nilai (manfaat). Maka menurut pengikut Ahmad bin
Hambal sah menghibahkan anjing piaraan dan najis yang dapat
dimanfaatkan.

3. Dapat dimiliki zatnya artinya benda itu sesuatu yang biasa untuk
dimiliki, dapat diterima bendanya, dan dapat berpindah dari tangan ke
tangan lain. Maka tidak sah menghibahkan air disungai, ikan di laut,
burung di udara masjid, atau pesantren.

4. Harta yang akan dihibahkan itu bernilai harta menurut syara’ maka tidak
sah menghibahkan darah dan minuman keras.

5. Harta itu benar-benar menurut orang yang menghibahkan. Maka, tidak


boleh menghibahkan sesuatu yang ada ditangannya tetapi itu
kepunyaan orang lain seperti harta anak yatim yang diamanatkan
kepada seseorang.

6. Menurut Hanfiah, jika barang itu berbentuk rumah maka harus bersifat
utuh meskipun rumah itu boleh dibagi. Tetapi ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan hibah berupa sebagian rumah.

7. Harta yang dihibahkan terpisah dari yang lainnya, tidak terkait dengan
harta atau hak lainnya. Karena pada prinsipnya barang yang dihibahkan
dapat digunakan setelah akad berlangsung. Jika orang menghibahkan
sebidang tanah tetapi didalamnya ada tanaman milik orang yang
menghibahkan, atau ada orang yang menghibahkan rumah, sedangkan
rumah itu ada benda milik yang menghibahkan, atau menghibahkan
sapi sedang hamil, sedangkan yang dihibahkan itu hanya induknya
sedangkan anaknya tidak. Maka, ketiga bentuk hibah seperti tersebut
diatas hukumya batal atau tidak sah.

E. Pemberian Ayah kepada Anaknya

Para ulama sepakat bahwa seorang ayah harus meperlakukan anak-


anaknya dengan perlakuan yang adil. Seorang ayah tidak diperbolehkan
melebihkan pemberian kepada sebagian anak-anaknya diatas anak yang lain.
Karena perlakuan seperti itu akan menanamkan permusuhan dan memutuskan
hubungan silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah. Bagi seorang ayah,
perlakuan tidak adil dengan melebihkan pemberian kepada anak diatas yang
lainnya yaitu perbuatan curang. Maka, ayah yang melakukan seperti itu
hendaklah ia membatalkannya. Rasulullah bersabda:

Nabi dan keluarganya tidak boleh menerima sedekah tetapi kalau itu
berbentuk hibah hukumnya boleh. Hal ini didasari oleh hadis tentang Barirah
(hambah Siti Aisyah) yang diberi sedekah kurma. Lalu kurma itu dibawakan
kepada Nabi saw. untuk dijamu. Maka Rasulullah diingatkan oleh Siti Aisyah
bahwa kurma itu adalah sedekah orang untuk Barirah. Oleh karena, Barirah
menjamu Nabi dengan kurma itu, maka kurma itu sekarang menjadi hadiah atau
hibah dari Barirah untuk Rasulullah. Sebelum ini kurma itu memang sedekah
bagi Barirah tetapi sekarang menjadi hadiah dari Barirah. Dalam hadis lain yang
diriwayatkan oleh Abu Huraira, dikatakan. “Jika Nabi dibawakan makanan nabi
bertanya, jika dikatakan hadiah beliau mau memakannya dan jika dikatakan
sedekah beliai tidak memakannya.”

G. Hikmah Pemberian (hibah)

Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari pemberian.

a. Menghilangkan penyakit dengki yang dapat merusak keimanan.

b. Mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi, dan


menghilangkan sifat egois dan bakhil.

c. Menghilangkan rasa dendam. Dalam hadis Nabi dijelaskan:

“Saling memberi hadiahlah kamu karena sesungguhnya hadiah dapat


menghilangkan rasa dendam.”

Anda mungkin juga menyukai