Anda di halaman 1dari 12

Al-Ahkamu Wasiyah

A. Pendahuluan
Salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan harta. Apapun alasannya, manusia dan
masyarakat tidak akan mungkin bisa dihindarkan atau dilepaskan dari hal tersebut. Oleh
karenanya manusia dilengkapi dengan hawa nafsu, sehingga didalam Al-Qur’an telah
diingatkan bahwa harta kekayaan adalah cobaan atau fitnah. Banyak sekali
permasalahan-permasalahn yang disebabkan oleh harta.
Harta merupakan salah satu benda berharga yang dimiliki oleh manusia, dengan
harta manusia bisa memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta sendiri bisa terbagi
menjadi harta (benda) bergerak ataupun harta (benda) tidak bergerak. Cara
memperolehnya pun bisa bermacam-macam, baik dengan cara yang halal maupun dengan
menggunakan jalan pintas. Dari berbagai cara tersebut salah satunya bisa diperoleh
dengan jalur wasiat, tentunya cara inipun harus sesuai dengan prosedur dalam Islam.
Wasiat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lama dikenal sebelum Islam.
Misalnya dalam masyarakat Arab pada masa jahiliyah, banyak sekali wasiat yang
diberikan kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan antara
pemberi wasiat dengan penerima wasiat, hal ini terjadi karena pada masa itu orang yang
memberikan sebagian besar harta miliknya melambangkan dirinya sebagai orang yang
kaya raya dan mendapatkan pujian dari banyak orang.1
Dengan berjalannya waktu dan hadirnya Islam, tidaklah menghapus atau
membatalkan wasiat yang sudah diterima secara umum oleh masyarakat pada waktu itu.
Islam dapat menerima wasiat yang sudah berjalan lama itu dengan model memberikan
koreksi dan perbaikan. Sehingga wasiat tetap menjadi sesuatu yang diperlukan dengan
memperhatikan kerabat keluarga yang ditinggalkan.
Menurut pandangan Islam, wasiat tidak hanya menyangkut sekedar masalah harta
benda saja. Akan tetapi kalua difahami dengan makna yang lebih luas lagi, wasiat juga
bisa berkaitan dengan pesan-pesan moral kepada umat manusia.
B. Pengertian Wasiat
1
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 154
Secara bahasa wasiat adalah meminta sesuatu kepada orang lain agar ia dapat
mengerjakan ketika yang memberi tersebut tidak ada, baik ia masih hidup atau sudah
meninggal.2 Sedangkan menurut istilah, wasiat adalah suatu pemberian dari seseorang
kepada orang lain baik berupa barang, hutang piutang ataupun manfaat untuk dimiliki
oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.3
Untuk lebih jelasnya pengertian tentang wasiat, akan kami kemukakan beberapa
pengertian yang diberikan oleh beberapa ulama madzhab antara lain :
1. Ulama Syafi’iyyah memberikan definisi tentang wasiat yakni :
.‫الشافعية قالو الوصية تبرع بحق مضاف إلى ما بعد الموت سواء أضافه لفظا أوال‬
Artinya : “ wasiat adalah sama dengan amal shadaqah dengan satu hak yang
disandarkan pada keadaan setelah meninggal, baik denga ucapan atau
tidak.”4
2. Ulama Hanabilah memberikan definisi tentang wasiat yakni :
.‫الحنابلة قالو الوصية هي االمر بالتصرف بعد الموت‬
Artinya : “ wasiat adalah menyuruh orang lain untuk melakukan daya upaya setelah
orang yang berwasiat itu meninggal dunia.”5
3. Ulama Hanafiyah memberikan definisi tentang wasiat yakni :
.‫الحنفية قالوا الوصية تمليك مضاف الى ما بعد الموت بطريق التبرع سواء أكان الملك عينا ام منفعة‬
Artinya : “ wasiat adalah memberikan hak milik kepada orang lain (‘aqid) meninggal
dunia dengan jalan sukarela, sebagaimana kepemilikan benda atau
manfaat.”6
4. Ulama Malikiyyah memberikan definisi tentang wasiat yakni :
.‫المالكية قالوا الوصية عقد يوجب حقا فى ثلث مال عاقده يلزم بموته‬
Artinya ; “ wasiat adalah suatu ‘aqad perjanjian yang menimbulkan sesuatu dalam
memperoleh sepertiga harta dari orang yang memberikan janji yang bisa
dilangsungkan ketika yang memberikan itu meninggal dunia.”7
2
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya; Karya Utama, 2022. Hlm. 631
3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung; al-Ma’arif, 1990. Jilid 4, hlm.217
4
Abdurrahman al-Juzairy, al-Fikih ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beyrut; Dar al-Irsyad al-Thaba’ah 1647, Juz 3, hlm.
316
5
Abdurrahman al-Juzairy, al-Fikih ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beyrut; Dar al-Irsyad al-Thaba’ah 1647, Juz 3, hlm.
316
6
Wahbah Zuhaily, al-Fikih al-Islami wa Adillatuhu, Beyrut; Dar al-Fikr, 1998. Juz 8. Hlm 9
7
Abd al-Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘Ala Madzhab ‘Alim al-Madinah al-Imam Malik bin Annas, Beyrut; Dar al-
Fikr, 1995, jilid 3, Hlm. 1619
Dari beberapa pengertian yang disampaikan oleh masing-masing ulama diatas,
dapat difahami pada dasarnya semua adalah sama, yakni suatu ‘aqad yang memindahkan
hak milik yang kepemilikannya akan diserahkan setelah orang memberikan wasiat
tersebut meninggal dunia. Wasiat merupakan suatu ‘aqad yang boleh dan tidak mengikat
sehingga wasiat dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak (pemberi wasiat).
Dengan demikian wasiat adalah menghibahkan harta dari seseorang kepada orang lain
setelah meninggalnya orang yang memberikan wasiat, baik dijelaskan dengan lafadz atau
tidak.8 Wasiat juga bisa diartikan dengan suatu pesan tentang pemberian harta warisan
kepada seseorang selain ahli waris.9
C. Rukun dan Syarat Wasiat
Wasiat yang telah diatur dalam syari’at Islam merupakan suatu perkara yang
dianjurkan, karena memiliki nilai ibadah dan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
selain itu juga mengandung nilai-nilai social yangmana perbuatan tersebut akan
menghasilkan kemashlahatan duniawi.
Jumhur ulama fikih telah menyampaikan bahwa rukun wasiat terbagi menjadi
empat bagian, 10 dan keempat bagian tersebut memiliki syarat masing-masing, yakni :
1. Al-Mushi (orang yang berwasiat).
Syarat Al-Mushi yaitu harus memiliki kesanggupan melepaskan hak miliknya kepada
orang lain, yaitu orang yang memiliki kompetensi yang sah. Keabsahan kompetensi ini
didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, dan tidak dibatasi karena adanya
kedunguan atau kelalaian.
2. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat).
Bagi orang atau badan hukum yang akan menerima wasiat, harus memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut :
a. Diketahui dengan jelas identitas penerima wasiat tersebut.
b. Telah ada pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya, atau ada secara yuridis
misalnya anak yang masih dalam kandungan.
c. Bukan dalam tujuan kemaksiatan.
8
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemahan Abdurrahman, Semarang; asy-Syifa, 1990.
Juz 3, hlm 40
9
Husein Bhreisy, Kamus Islam, Bandung ; Galuni Jaya, 1990. Hlm 16
10
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta; Sinar Grafika, 2000. Hlm 136-237
3. Al-Musha bihi (harta yang diwasiatkan).
Syarat-syaratnya antara lain :
a. Memiliki status sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun tidak bergerak,
atau dapat menjadi objek perjanjian.
b. Benda tersebut sudah ada pada waktu diwasiatkan.
c. Benar-benar hak milik pewasiat.
4. Sighat (lafadz atau ucapan).
Shighat adalah lafadz atau ucapan antara pewasiat dan yang menerima wasiat berupa
ijab dan qabul.
D. Dasar Hukum Wasiat
Segala amaliyah yang ada didalam ajaran Islam selalu didasari oleh dalil naqli
ataupun dalil aqli. Diantara dasar atau sumber hukum yang menerangkan tentang wasiat
bisa ditemukan melalui Al-Qur’an, al-Hadits, ijma’ ataupun ijtihad para ulama.
a. Al-Qur’an.
Firman Allah SWT. yang menjelaskan tentang wasiat salah satunya yakni
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180 :
‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َحَضَر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخْيًرا اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَاْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِف َح ًّقا َع َلى اْلُم َّتِقْيَن‬.
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu
bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 180).
Ayat diatas memberikan petunjuk kewajiban untuk berwasiat kepada kedua
orang tua dan kerabat dekat, yaitu hanya kepada ahli waris (kedua orang tua dan karib
kerabat) yang tidak mendapatkan harta waris baik karena dzawil arham dan mahjub
yang orang tuanya telah meninggal lebih dulu dari pewaris maupun karena mahram
(kecuali pembunuh).11Namun ketetapan itu menjadi sunnah sesudah turunnya ayat
tentang pembagian waris, maka ayat tentang kewajiban berwasiat menjadi mansukh.
selain adanya ayat yang menasakh tentang wasiat, ditemukan pula hadits Nabi yang
artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
b. Al-Hadits.
11
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta ; Gaya Media
Pratama, 1997. Hlm 175-176
Hadits Nabi yang menjelaskan tentang wasiat yakni :
‫حدثنا عبد هللا بن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد هللا بن عمررضي هللا عنهما ان رسول هللا صلى هللا علي††ه‬
)‫ (رواه البخارى‬.‫ ما حق امرئ مسلم له شيئ يوصى فيه يبيت ليلتين اال ووصيته مكتوبة عنده‬: ‫وسلم قال‬.
Artinya : “Dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar r.a. Ia
berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda : bukankah hak seorang muslim
yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat)
selama dua malam, kecuali wasiatnya telah tercatat di sisinya.” (H.R. al-
Bukhori).12
Hadits diatas menjelaskan bahwa wasiat yang tertulis dan selalu berada disisi
orang yang berwasiat merupakan suatu bentuk kehati-hatian, sebab tidak ada
seorangpun yang mengetahui akan datangnya kematian.
c. Ijma’.
Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid diantara umat Islam pada masa
setelah wafatnya Rasulullah SAW. terhadap hukum syara’ tentang suatu
permasalahan.13Umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada zaman
sekarang masih banyak yang mempraktekkan tentang wasiat. Hal yang demikian ini
tidak ada yang mengingkarinya, dengan tidak adanya pengingkaran telah
menunjukkan adanya sebuah ijma’.14
d. Ijtihad.
Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kemampuan dalam
berusaha. Secara istilah ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan
menggunakan segenap kemampuan yang dilakukan oleh ahli hukum yang memenuhi
beberapa syarat guna menemukan ketentuan hukum yang belum jelas atau tidak ada
ketentuannya didalam al-Qur’an dan al-Sunnah.15
E. Bentuk dan Hukum Wasiat.
1. Bentuk wasiat.

12
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Shaih al-Bukhary, Beyrut ; Dar al-Fikri, Juz I. hlm 124.
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, Jakarta ; Waca Ilmu, 1997. Jilid 1. Hlm 81
14
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta ; Gaya Media
Pratama, 1997. Hlm 57
15
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia), Jakarta ; PT. Raja
Grafindo, 2000. Hlm 104.
Dilihat dari penerima, lafadz dan harta yang diwasiatkan, maka wasiat dapat
digolongkan menjadi empat jenis yaitu wasiat mutlak, wasiat bersyarat, wasiat am
dan wasiat khos.16
1. Wasiat mutlak.
Wasiat mutlak adalah wasiat yang dilakukan dengan bebas atau tidak terikat
dengan syarat-syarat tertentu yang dikenakan ke atas harta yang diwasiatkan.
2. Wasiat bersyarat.
Wasiat bersyarat adalah sebuah wasiat yang mempunyai syarat-syarat tertentu
yang diberikan oleh pewasiat. Fuqaha berpendapat bahwa dibolehkannya adanya
syarat-syarat dalam wasiat dengan catatan tidak menyalahi syara’, baik itu berkaitan
dengan harta, tujuan ataupun cara dalam mengerjakannya. Oleh karena itu wasiat
yang memiliki syarat-syarat yang sah akan mengikat penerima wasiat untuk
menerima atau menolaknya. Seandinya syarat-syarat yang terkandung didalam
wasiat adalah sah disisi syara’ namun tidak dipenuhi oleh penerima wasiat, maka
wasiat tersebut menjadi batal.17
3. Wasiat ‘am.
Wasiat ‘am adalah wasiat yang dibuat berbentuk umum seperti kepada
penduduk sebuah kampung. Wasiat ini untuk semua penduduk tempat yang
diwasiatkan.
4. Wasiat khos.
Wasiat khos adalah wasiat yang dikhususkan kepada pihak-pihak tertentu.
2. Hukum wasiat.
Dari beberapa fenomena yang ada, dapat kita fahami macam-macam hukum
sebuah wasiat antara lain :
a. Wajib.
Hukum wasiat menjadi wajib sekiranya terdapat tanggung-jawab syar’i
yang harus dilaksanakan kepada Allah swt dan manusia yang harus dilaksanakan,
sedemikian sehingga khawatir jika tidak diwasiatkan hal itu tidak sampai kepada
yang berhak. seperti zakat dan haji dan dia bimbang harta ini akan habis sekiranya
tidak diwasiatkan.
16
Muhammad al-Zuhaily, al-Faraid Wa al-Mawaris Wa al-Wasaya, Beyrut ; dar al-Qalam al-Tayyib, 2001. Hlm. 69.
17
ibid
b. Sunnah.
Wasiat dianggap sunnah apabila wasiat tersebut diberikan kepada karib
kerabat atau ditujukan kepada orang-orang miskin dan orang-orang soleh atau
kepada orang yang tidak menerima pusaka yang motifnya untuk kepentingan
social.18
c. Haram.
Berwasiat hukumnya haram apabila wasiat tersebut tujuannya adalah untuk
sebuah kemaksiatan, misalnya berwasiat mendirikan tempat-tempat perjudian,
pelacuran, atau hal-hal yang itu sebenarnya dilarang oleh ajaran dalam agama
Islam.19
d. Makruh.
Wasiat dihukumi makruh sekiranya pemberi wasiat tersebut memiliki harta
yang sedikit, sedangkan ia mempunyai ahli waris yang banyak dan membutuhkan
hartanya. Wasiat juga makruh sekiranya diberikan kepada orang yang fasiq dan
jahat serta pemberi wasiat merasakan kemungkinan besar harta tersebut akan
digunakan dalam rangka sebuah kejahatan.
F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat yang telah dijabarkan diatas, wasiat merupakan pesan
yang disampaikan oleh seseorang ketika masih hidup untuk memberikan hartanya kepada
seorang tertentu atau suatu lembaga dan harus dilaksanakan ketika pemberi wasiat sudah
meninggal dunia.
Wasiat juga merupakan salah satu sarana untuk bertaqarrub kepada Allah SWT.
guna mendapatkan kebaikan dunia dengan memberikan bantuan kepada orang-orang
yang dirasa membutuhkannya, menguatkan silaturahim dengan hubungan yang bukan
ahli warisnya.

‫المقدمة‬ .‫أ‬

18
Ahmad Rofiq, MA.,Hukum Islam di Indonesia, Jakarta ; PT. Raja Grafindo, 1999, hlm.449
19
Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung ; al-Ma’arif, 1984. Hlm. 25
‫أحد الجوانب المهمة في حياة اإلنسان والمجتمع بشكل عام هو كل ما يتعلق بالملكية‪ .‬مهما كان الس††بب ‪ ،‬ال يمكن تجنب‬
‫البشر والمجتمع أو التحرر منه‪ .‬ل†ذلك ف††إن البش†ر مس†لحون بالش†هوة ‪ ،‬بحيث ي††ذكر الق†رآن أن ال†ثروة فتن††ة أو اف††تراء‪.‬‬
‫الكثير من المشاكل الناجمة عن الملكية‬
‫الملكية هي أحد األشياء القيمة التي يمتلكها البشر ‪ ،‬حيث يمكن للبشر الحصول على ما يري††دون‪ .‬يمكن تقس††يم‬
‫الممتلكات نفسها إلى ممتلكات منقولة (أشياء) أو ممتلكات غير منقولة (أشياء)‪ .‬يمكن أن تختلف أيًضا كيفية الحص††ول‬
‫عليها ‪ ،‬إما بطريقة قانونية أو باستخدام االختصارات‪ .‬من بين هذه الطرق المختلفة ‪ ،‬يمكن الحصول على إح††داها عن‬
‫طريق الوصية ‪ ،‬بالطبع ‪ ،‬حتى هذه الطريقة يجب أن تكون وفًقا إلجراءات اإلسالم‪.‬‬
‫الوصايا من األعمال ال†تي ع†رفت قب†ل اإلس†الم ب†زمن طوي†ل‪ .‬على س†بيل المث†ال ‪ ،‬في المجتم†ع الع†ربي في‬
‫عصر الجاهلية ‪ ،‬تم إعطاء العديد من الوصايا ألشخاص آخرين ليس ل††ديهم عالق††ة عائلي††ة بين الموص††ي والمس††تفيد ‪،‬‬
‫حدث هذا ألنه في ذلك الوقت كان الشخص الذي أعطى معظم ممتلكاته يرمز إلى نفسه على أنه شخص ثري ويحص††ل‬
‫على الثناء من كثير من الناس‪.‬‬
‫مع مرور الوقت ووجود اإلسالم ‪ ،‬لم يمح††و أو يلغي الوص††ية ال††تي ك††انت مقبول††ة عام††ة ل††دى الن††اس في ذل††ك‬
‫الوقت‪ .‬يمكن لإلسالم أن يقبل اإلرادة التي سارت لفترة طويلة مع نموذج تقديم التصحيحات والتحس††ينات‪ .‬ح††تى تبقى‬
‫الوصية شيًئا مطلوًبا من خالل االهتمام بأقارب األسرة الذين تركوا وراءهم‪.‬‬
‫وفقا لوجهة النظر اإلسالمية ‪ ،‬فإن الوصايا ال تتعلق فقط بأمور الملكية‪ .‬ومع ذلك ‪ ،‬إذا فهمت الوصايا بمعنى أوسع ‪،‬‬
‫يمكن أيًض ا أن ترتبط بالرسائل األخالقية للبشرية‬

‫ب‪ -‬تعريف الوصية‬


‫بلغة الوصية هي أن تطلب من شخص آخر شيًئا حتى يتمكن من فعلها عندما ال يت††وفر من أعطاه††ا ‪ ،‬س†واء ك††ان على‬
‫قيد الحياة أو مات‪ .‬وفي الوقت نفسه ‪ ،‬وفًقا للشروط ‪ ،‬فإن الوصية هي هدية من ش††خص م††ا إلى ش††خص آخر إم††ا في‬
‫شكل سلع أو ديون أو مزايا يمتلكها الشخص الذي حصل على الوصية بعد وفاة الشخص الذي أصدر الوصية‪.‬‬
‫من أجل فهم أوضح للوصايا ‪ ،‬سنقدم العديد من التعريفات التي قدمها العديد من علماء المذهب ‪ ،‬بما في ذلك ‪:‬‬

‫يقدم علماء الشافعية تعريًفا للوصية ‪ ،‬قالو‪ :‬الوصية تبرع بحق مضاف إلى ما بعد الموت أض††افه لفظ††ا أوال‪.‬‬ ‫‪.1‬‬
‫المعنى‪“ :‬الوصية هي مثل الصدقة مع حق واحد مبني على ظروف ما بعد الموت سواء بالكالم أو بغيره”‪.‬‬

‫يقدم علماء الحنابلة تعريًفا للوصية ‪ ،‬قالو الوصية هي االمر بالتصرف بع††د الم††وت‪ .‬المع††نى‪“ :‬الوص††ية ت††أمر‬ ‫‪.2‬‬
‫شخًصا آخر ببذل جهد بعد وفاة الشخص الذي أصدر الوصية‪.‬‬
‫‪ .3‬يقدم علماء الحنفية تعريفا للوصية قالوا الوصية تمليك مضاف الى ما بعد الموت بطريق التبرع سواء أكان المل††ك‬
‫عينا ام منفعة ‪.‬المعنى‪“ :‬الوصية هي إعطاء حقوق ملكية لشخص آخر (عقي††د) يم††وت طواعي††ة ‪ ،‬كم††ا ه††و الح††ال‬
‫بالنسبة لملكية األشياء أو المنافع”‪.‬‬

‫يقدم علماء المالكية تعريًف ا لإلرادة ‪ ،‬ق†الوا الوص†ية عق†د ح†ق فى ثلث م†ال عاق†ده يل†زم بموت†ه‪ .‬ه†ذا يع†ني ؛‬ ‫‪.4‬‬
‫“الوصية هي اتفاق عقاد ُينشئ شيًئا في الحصول على ثلث أص†ول الش†خص ال†ذي يقط†ع الوع†د ال†ذي يمكن‬
‫تنفيذه عند وفاة المانح”‪.‬‬

‫من المعاني العديدة التي نقلها كل من العلماء أعاله ‪ ،‬يمكن أن نفهم أن جميعها متشابهة ‪ ،‬أي العقاد الذي ينقل حقوق الملكية التي‬
‫تنتقل ملكيتها بعد وفاة صاحب الوصية‪ .‬الوصية هي عقاد جائز وغ††ير مل††زم بحيث يمكن ألح††د الط††رفين إلغ††اء الوص††ية في أي‬
‫وقت (مانح الوصية)‪ .‬وهكذا فإن الوصية هي منح ملكية من شخص إلى آخر بعد وفاة الشخص الذي يصنع الوص††ية ‪ ،‬س††واء تم‬
‫شرحها مع ‪ lafadz‬أم ال‪ .‬يمكن أيًض ا تفسير الوصية على أنها رسالة حول إعطاء الميراث لشخص آخر غير الوريث‪..‬‬

‫ج‪ .‬أركان وشروط النفوذ‬

‫الوصية التي تم تنظيمها في الشريعة اإلسالمية هي أمر موصى به ‪ ،‬ألن لها قيمة العبادة وستحصل على أج††ر من هللا‬
‫سبحانه وتعالى‪ .‬إلى جانب أنه يحتوي أيًضا على قيم اجتماعي††ة ت††ؤدي فيه††ا ه††ذه اإلج†راءات إلى من††افع دنيوي††ة‪ ..‬ق††ال‬
‫علماء الفقه في جمهور إن أركان الوصية تنقسم إلى أربعة أجزاء ‪ ،‬واألجزاء األربعة لها متطلبات كل منها ‪ ،‬وهي ‪:‬‬
‫الموص==ي‪ .‬ش††رط الموص††ي أن††ه يجب أن يك††ون لدي††ه الق††درة على التن††ازل عن حق††وق الملكي††ة الخاص††ة ب††ه‬ ‫‪.1‬‬
‫ألشخاص آخرين ‪ ،‬أي األش††خاص ذوي األهلي††ة القانوني††ة‪ .‬وص††حة ه††ذا االختص††اص مبني††ة على العق††ل والنض††ج‬
‫واالستقاللية ‪ ،‬وال يقيدها الجهل أو اإلهمال‪.‬‬

‫‪ .2‬الموصى له‪ .‬بالنسبة للشخص أو الكيان القانوني الذي سيتلقى وصية ‪ ،‬يجب أن يستوفي الشروط التالية ‪:‬‬

‫أ‪ .‬هوية متلقي الوصية معروفة بوضوح‪.‬‬


‫ب‪ .‬كانت الوصية موجودة وقت ذكر وجود الوصية ‪ ،‬أو وجودها قانونًي ا ‪ ،‬على س††بيل المث††ال ‪ ،‬طف††ل ك††ان ال‬
‫يزال في الرحم‪.‬‬
‫ت‪ .‬ليس لغرض العصيان‪.‬‬
‫الموصى به‪ .‬تشمل الشروط ‪:‬‬ ‫‪.3‬‬
‫لها وضع كممتلك††ات موروث††ة ‪ ،‬س††واء ك††انت أش††ياء منقول††ة أو غ††ير منقول††ة ‪ ،‬أو يمكن أن تص††بح‬ ‫‪.1‬‬
‫موضوع اتفاقية‪.‬‬
‫الكائن موجود بالفعل في وقت الوصية‬ ‫‪.2‬‬
‫حقا ملك الموصي‬ ‫‪.3‬‬

‫صيغة ‪ .‬الصيغة هي كلمة أو كالم بين الموصي ومن يستقبل الوصية على شكل موافقة وقبول‬ ‫‪.4‬‬

‫د‪ .‬االصل فيه‬


‫تستند جميع الممارسات الواردة في المب††احث اإلس††المية دائًم ا إلى حجج نقلي أو حجج عقلي‪ .‬من بين األس††س أو‬
‫المصادر الشرعية التي تشرح الوصايا يمكن العثور عليها في القرآن والحديث واإلجماع أو اجتهاد العلماء‪.‬‬

‫القرأن‪.‬‬ ‫أ‪.‬‬
‫و من قول هللا تعالى الذي يبحث عن الوصية ‪:‬‬
‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َت َر َك َخْي ًرا اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِل َد ْيِن َو اَاْلْق َر ِبْيَن ِب اْلَم ْع ُرْو ِف َح ًّق ا َع َلى اْلُم َّتِقْيَن ‪.‬‬
‫(البقرة ‪)180:‬‬
‫المع††نى‪“ :‬وجب علي††ك إذا أتي أح††دكم من الم††وت ‪ ،‬إذا ت††رك م††اال كث††يرا ‪ ،‬ووريث والدي††ه وأقارب††ه على الوج††ه‬
‫الصحيح ‪( ،‬هذا) واجب على المتقين‪ .‬تقدم اآلية أعاله تعليم†ات ح†ول وج†وب إص†دار الوص†ايا لك†ل من الوال†دين‬
‫واألقارب ‪ ،‬أي فقط للورثة (كال الوالدين واألقارب) الذين ال يتلقون الم††يراث إم††ا بس††بب دزاوي††ل أرهم ومحج††وب‬
‫الذين مات أبواهم قبل الوريث أو ألن مح†رم (ع†دا القتل†ة)‪ .‬إال أن ه†ذا الش†رط أص†بح س†نة بع†د ن†زول آي†ة قس†مة‬
‫الميراث ‪ ،‬وأصبحت اآلية المتعلقة بوجوب الوصية منسوًخ ا‪ .‬باإلضافة إلى وجود آية تذكر الوصية ‪ ،‬هن††اك أيًض ا‬
‫حديث للنبي يعني “ال وصية للورثة”‪.‬‬
‫ب‪ .‬الحديث‪.‬‬
‫حديث النبي في بيان الوصية وهو ‪:‬حدثنا عبد هللا قال‪ :‬ما حق امرئ مسلم له ش††يئ يوص††ى ب††ه ي††بيت ليل††تين اال‬
‫ووصيته مكتوبة عنده‪( .‬رواه البخاري) المعنى‪ :‬من عبد هللا بن يوسف عن مالك عن نافع عن عبد هللا بن عمر‬
‫رضي هللا عنه‪ .‬قال إن رسول هللا صلى‪ .‬قال‪ :‬أليس من ح††ق المس††لم أن يورث††ه في اللي††ل لم††دة ليل††تين ‪ ،‬إال إذا‬
‫كانت وصيته مسجلة عليه‪( .‬صاحب السمو الملكي البخ††وري)‪ .‬يوض††ح الح††ديث أعاله أن الوص††ية ال††تي تكتب‬
‫وتكون دائًم ا إلى جانب الشخص الذي يص††نع الوص††ية هي ش††كل من أش††كال الح††ذر ‪ ،‬ألن ال أح††د يع††رف م††تى‬
‫سيأتي الموت‪.‬‬
‫ج‪ .‬إجماع‪.‬‬
‫اإلجماع هو اتفاق المجتهدين بين المسلمين في فترة ما بعد وفاة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بخصوص مشكلة‪.‬‬
‫منذ عهد النبي محمد حتى اآلن ‪ ،‬ال يزال هناك العديد من المس†لمين ال†ذين يمارس†ون الوص†ايا‪ .‬ال يوج†د من ينك†ر‬
‫ذلك ‪ ،‬فقد أظهر غياب اإلنكار وجود اإلجماع‪.‬‬
‫د‪ .‬االجتهاد‪.‬‬
‫يأتي االجتهاد من كلمة “جهاد” التي تعني تكريس كل القدرات في المحاولة‪ .‬في المصطلحات ‪ ،‬االجتهاد هو جه††د‬
‫جاد باستخدام جميع القدرات التي يق††وم به††ا الخ††براء الق††انونيون ال††ذين يس††توفون ع††دة ش††روط للعث††ور على أحك††ام‬
‫قانونية غير واضحة أو عدم وجود أحكام في القرآن والسنة‪.‬‬

‫هـ‪ -‬أشكال وقوانين الوصايا‪.‬‬

‫‪ .1‬شكل اإلرادة‪ .‬إذا حكم من المستفيد ‪ ،‬والكالم الشفوي ‪ ،‬واألصول الموروثة ‪ ،‬يمكن تصنيف الوص††ايا إلى أربع††ة‬
‫أنواع ‪ ،‬وهي الوصايا المطلقة والوصايا المشروطة والوصايا العامة‪: .‬‬

‫أ‪ .‬الوصية المطلقة‪.‬‬


‫الوصية المطلقة هي وصية يتم إجراؤها بحرية أو ال تلتزم بشروط معينة مفروضة على الممتلكات الموروثة‪.‬‬
‫ب‪ .‬اإلرادة المشروطة‪.‬‬
‫الوصية المشروطة وصية لها شروط معينة يعطيها الموصي‪ .‬وذهب الفقهاء إلى جواز اشتراط الوصية‬
‫بشرط عدم مخالفتها للشريعة ‪ ،‬سواء في أصولها أو أهدافها أو طرق تنفيذها‪ .‬لذلك فإن الوصية التي له††ا‬
‫شروط قانونية تلزم المستفيد بقبولها أو رفضها‪ .‬إذا كانت الشروط ال†واردة في الوص†ية س†ارية المفع†ول‬
‫من حيث ‪ syara‬ولكن لم يتم الوفاء بها من قبل المستفيد من الوصية ‪ ،‬فستكون الوصية باطلة‪.‬‬
‫ج‪ .‬الوصية‪ .‬العامة‬
‫وصية عامة هي وصية تصنع بشكل عام بالنسبة لسكان القرية‪ .‬هذه الوصية لجميع سكان المك††ان ال††ذي‬
‫شاءت فيه‪.‬‬
‫د‪ .‬وصية خاصة‪.‬‬
‫وصية خاصة هي وصية خاصة بأطراف معينة‪.‬‬

‫احكام الوصية‬ ‫‪.2‬‬


‫من خالل العديد من الظواهر الموجودة ‪ ،‬يمكننا فهم االحكام المختلفة ‪ ،‬بما في ذلك‬
‫أ‪ .‬واجب‬
‫يصبح الوصية واجبا إذا كانت هناك مسؤوليات شريعة يجب القيام بها تجاه هللا سبحانه وتع††الى والبش††ر ال††تي‬
‫يجب القيام بها ‪ ،‬بحيث يكون هناك قلق من أنه إذا لم يتم توريثها فلن تصل إلى المستحقين‪ .‬مثل الزكاة والحج ويخشى‬
‫أن ينفد هذا الكنز إذا لم يورث‪.‬‬
‫ب‪ .‬السنة‪.‬‬
‫تعتبر الوصية سنة إذا كانت الوصية لألقارب أو للفقراء أو األتقياء أو الذين ال يرثون بدافعهم االجتماعي‬
‫ج‪ .‬حرام ‪.‬‬
‫يعتبر عمل الوصية حرام إذا كان الغرض من الوصية هو العصيان ‪ ،‬على سبيل المثال عمل الوص††ية إلنش††اء‬
‫مؤسسات قمار ‪ ،‬أو الدعارة ‪ ،‬أو غير ذلك من األشياء التي تحظرها التعاليم اإلسالمية بالفعل‪.‬‬
‫د‪ .‬مكروه‪.‬‬
‫تعتبر الوصية مكروهة إذا كان لمعطي الوص†ية القلي†ل من الممتلك†ات ‪ ،‬بينم†ا ل†ه ورث†ة كث†يرون ويحت†اج إلى‬
‫ماله‪ .‬تكون الوصية مكروهة أيًضا إذا ُأعطيت لشخص فاسق وشرير وشعر ُم عطي الوصية أن††ه من المحتم††ل ج††ًدا أن‬
‫يتم استخدام الممتلكات في إطار جريمة‪.‬‬
‫و‪ .‬الخالصة‬
‫بناًء على الوصف المختصر الذي تم وصفه أعاله ‪ ،‬فإن الوصية هي رسالة ينقلها شخص ما أثناء وجوده على‬
‫قيد الحياة إلعطاء ثروته لشخص معين أو مؤسسة ويجب تنفيذها عند وفاة معطي الوصية‪.‬‬
‫الوصية هي أيًض ا وسيلة للصالة إلى هللا سبحانه وتعالى‪ .‬من أجل الحصول على خير الع††الم من خالل تق††ديم‬
‫المساعدة لألشخاص الذين يشعرون بالحاجة إليها ‪ ،‬وتعزيز الصداقة مع العالقات التي ليست ورثة‪.‬‬

Anda mungkin juga menyukai