PENDAHULUAN
Salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia dan masyarakat pada
umumnya adalah yang berkaitan dengan harta. Manusia dan masyarakat, apapun
alasannya, tidak mungkin dilepaskan dari aspek tersebut. Harta, menjadi salah satu dari
apa-apa yang digeluti manusia. Oleh karena manusia dilengkapi hawa nafsu, maka Al-
Qur'an mengingatkan bahwa harta kekayaan adalah fitnah atau cobaan. Amat banyak
sekali masalah-masalah yang timbul akibat dari harta tersebut.
Menurut ajaran Islam, pemilikan seseorang terhadap harta tidak terlepas dari
hubungannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Oleh karena itu berkaitan dengan
harta, Islam membawa seperangkat hukum syari'at, yakni antara lain syari'at tentang
Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat. Adanya syari'at Islam
tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat merupakan hal
yang tidak terpisahkan dari iman dan akhlak. Hal ini menunjukkan bahwa Islam telah siap
dengan sebuah konsep untuk menghadapi problema-problema dalam masyarakat,
terutama yang bersangkutan dengan masalah kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan.
Wasiat adalah satu dari bentuk-bentuk penyerahan atau pelepasan harta dalam
syari'at Islam. Wasiat memiliki dasar hukum yang sangat kuat dalam syari'at Islam.
1
pula hukum membatasi kekuasaan seseorang untuk menentukan kehendak terakhirnya
melalui wasiat agar ia tidak mengesampingkan anak sebagai ahli waris melalui wasiat.
Maka penulis pada kesempatan ini ingin berbagi pengetahuan tentang Konsep
Wasiat dan Ketentuan-Ketentuannya lebih dalam melalui Risalah ini yang mudah-
mudahan akan bermanfaat bagi pembaca suatu hari nanti.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Kegunaan Penulisan
2. Kegunaan praktis yaitu menjadi khazanah keilmuan bagi mahasiswa yang mempelajari
Ulumul Hadis, Ilmu Fiqih, dan Kewarisan.
2
E. Batasan Masalah
F. Metode Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN WASIAT
Kata wasiat ( الوصية ) berasal dari kata “washshaitu () وصيت, asy-syaia ( ) الشيئ,
ushiiyah (يهBB) أص, artinya: aushaltu (لتBB( )أوصaku menyampaikan sesuatu)”.yang juga
berarti pesanan, jadi berwasiat juga diartikan berpesan. Dalam Al-Qur'an kata wasiat dan
yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berarti
menetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am : 144اكم هللاBBBBهداء إذ وصBBBB)أم كنتم ش ),
memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman: 14, ( )ووصينا اإلنسان بولديهdan Maryam:
31 )وأوصانى بالصالة , mensyari'atkan (menetapkan) sebagaimana dalam surat An-Nisa' ayat
12 ()وصية من هللا. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang
diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang merasa
akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.1
Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al-Quran seorang muslim yang sudah
merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian
(hibah) dari hartanya untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya, apabila ia meninggalkan
harta yang banyak.
4
Dikaitkan dengan perbuatan hukum wasiat itu pada dasarnya juga bermakna
transaksi pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian itu bisa berbentuk penghibahan
harta atau pembebanan/pengurangan utang ataupun pembarian manfaat dari milik
pemberi wasiat kepada yang menerima wasiat.
Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan hak secara
suka rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata
atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat itu
adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang , ataupun
manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat mati.”2
Wasiat juga tidak hanya dikenal dalam system ekonomi Islam saja melainkan
system hukum barat misalnya testamen yakni suatu pernyataan yang dikehendaki kepada
seseorang yang akan dilakukan setelah wafat. Wasiat atau Testamen ialah suatu
pernyataan dari seseorang tentang apa yang ia kehendaki setelahnya ia meninggal
dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu adalah keluar dari satu
pihak saja (eenzidig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang
2
Hadiansyah, Diyan Shintaweecai. Pengertian Wasiat, http://diyanshintaweecai
hadiansyah.blogspot.com/2011/12/pengertian-wasiat.html (diakses 25 Maret 2015)
3
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003. hal 91
5
membuatnya. Penarikan kembali itu (herroepen), boleh secara tegas
(uitdrukkelijk) atau seara diam-diam (stiilzwijgend).4
Ada beberapa ayat Al-qur’an dan Hadis yang berkaitan dengan wasiat :
A. Ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan tentang Wasiat.
1. QS.Al Baqoroh: 180-182
Terjemah :
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.
181. Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya,
Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Fuad, Syamsul. Makalah Wasiat, http://vuadz.blogspot.com/2012/12/v-
4
6
182. (akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang Berwasiat itu,
Berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara
mereka, Maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
صيَّ ِة ۡٱثنَا ِن ِ ين ۡٱل َو َ ت ِح ُ ض َر َأ َح َد ُك ُم ۡٱل َم ۡو َ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذ
ْ ُين َءا َمن
َ وا َش ٰهَ َدةُ بَ ۡينِ ُكمۡ ِإ َذا َح
ِ َر ۡبتُمۡ فِي ٱَأۡل ۡرBBBBض
ض َ ۡ ِر ُكمۡ ِإ ۡن َأنتُمBBBBان ِم ۡن َغ ۡيِ َرBBBBاخ َ د ٖل ِّمن ُكمۡ َأ ۡو َءBBBB
ۡ َذ َوا َع
َما ِن بِٱهَّلل ِ ِإ ِنBلَ ٰو ِة فَي ُۡق ِسBٱلص َّ ِدBونَهُ َما ِم ۢن بَ ۡعBت تَ ۡحبِ ُس ِ ۚ وBۡ Bيبَةُ ۡٱل َمBصِ بَ ۡت ُكم ُّمBصَ ٰ فََأ
ٰهَ َدةَ ٱهَّلل ِ ِإنَّٓا ِإ ٗذا لَّ ِم َنBربَ ٰى َواَل نَ ۡكتُ ُم َشBۡ Bُان َذا قB
َ Bۡٱرتَ ۡبتُمۡ اَل نَ ۡشتَ ِري بِ ِهۦ ثَ َم ٗنا َولَ ۡو َك
١٠٦ ين َ ٱأۡل ٓثِ ِم
Terjemah :
106. Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat
itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang
berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi
lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan
Nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli
dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang),
walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan
persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk
orang-orang yang berdosa.
ٌّ ((ما َ َح: هللا صلى هللا عليه وسلم قالB هللا عنهما أن رسولBعن ابن عمر رضي
ق امرٍئ
صيُّتُهُ َم ْكتُوْ بَةٌ ِع ْن َدهُ)) متفق عليه
ِ ْت لَ ْيلَتَي ِْن ِإالَّ َو َو
ُ ي فِ ْي ِه يَبِي ِ ُْمسلِ ٍم لَهُ ِشيٌئ ي ُِر ْي ُد َأ ْن يُو
Bَ ص
7
Terjemah :
Daripada Ibn Umar (r.a), bahawa Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Hak
seorang muslim yang memiliki sesuatu lalu ingin berwasiat dan sudah berlalu
dua malam, maka wasiatnya mesti sudah ditulis di sisinya.”(Muttafaq ‘alaihi)
3. Hadits ‘Aisyah
يا: فقالB أن رجال أتى النبي صلى هللا عليه وسلم:وعن عائشة رضي هللا عنها
ْ ََص ّدق
اَفَلَها،ت َ تتْ َ لَوْ تَ َك َّملB وَأظُنُّها،َت نَ ْفسُها ول ْم تُوْ ص
ْ إن أمي افتُلت ّ !رسول هللا
وللفظ لمسلم, متفق عليه.)) ((نعم:ت َع ْنها؟ قال َ َأجْ ٌر ِإ ْن ت.
Bُ َص َّد ْق
Terjemah :
Daripada Aisyah (r.a) bahawa ada seorang lelaki datang menghadap
Rasulullah (s.a.w) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia
secara mengejut dan tidak sempat berwasiat. Saya kira jika dia sempat
berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia berpahala jika aku bersedakah
8
untuk dia?” Baginda bersabda: “Ya.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz hadith riwayat
Muslim).
3. HUKUM WASIAT
Mengenai kedudukan hukum wasiat, ada yang berpendapat bahwa wasiat itu
wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak ataupun
sedikit. Pendapat ini di katakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlaz. Pendapat ini
berpatokan pada Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 180 yang mewajibkan wasiat
ketika seseorang menghadapi kematian.
Pendapat kedua menyatakan bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib
kerabat yang tidak mewarisi dari si mayat itu wajib hukumnya.
9
Pendapat ketiga adalah pendapat empat imam mazhab dan aliran Zaidiyah yang
menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang
meninggalkan harta (pendapat pertama), dan bukan pula kewajiban terhadap kedua
orang tua dan karib kerabat yang tidak mendapat harta warisan (pendapat kedua):
tetapi wasiat itu hukumnya berbeda-beda menurut keadaan. Wasiat itu terkadang
wajib, terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh, dan terkadang mubah
(boleh).
Menurut Sayyid sabiq, hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu :
1) Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang
dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan,
hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai
kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau
amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui
sselain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
2) Sunah
Wasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-
orang fakir dan orang-orang saleh.
3) Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya
merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga
harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat
hiburan.
4) Makruh
10
Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia
mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian
pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras
bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan.
5) Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang
diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat). 6
A. Rukun Wasiat
Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan
redaksi bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara
sukarela sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan barang
anu untuk si Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat, tanpa harus
disertai tambahan (qayd) “sesudah aku meninggal”. Tetapi jika si pemberi wasiat
mengatakan, “Berikanlah” atau “Kuperuntukkan” atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka
tak dapat tidak mesti diberi tambahan “setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut
7
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1994. hal
237
11
semuanya tidak menyatakan maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata
tersebut.
Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang
gila, balig dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun penuh diperbolehkan
(ja’iz), sebab Khalifah Umar memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah
pemilik barang yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu
dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar,
wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui
apa yang mereka wasiatkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakan bahwa orang yang
berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain. Harta benda
yang diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang
diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Dikemukakan pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar
telah dewasa secara undangundang, jadi berbeda dengan batasan baligh dalam kitab-kitab
fiqih tradisional.
Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris
lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang
Muslim, sesuai dengan firman Allah:
ِر ُكمۡ َأنBَو ُكم ِّمن ِد ٰيBBين لَمۡ يُ ٰقَتِلُو ُكمۡ فِي ٱلدِّي ِن َولَمۡ ي ُۡخ ِر ُج َ اَّل يَ ۡنهَ ٰى ُك ُم ٱهَّلل ُ َع ِن ٱلَّ ِذ
٨ ين َ تَبَرُّ وهُمۡ َوتُ ۡق ِسطُ ٓو ْا ِإلَ ۡي ِهمۡۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ ي ُِحبُّ ۡٱل ُم ۡق ِس ِط
12
Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-
orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
(Q.S. Al-Mumtahanah: 8)
Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa
ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya pewarisan. Dan
menurut ijma’, bayi dalam kandungan berhak memperoleh warisan. Karena itu ia juga
berhak menerima wasiat.
Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau rumah
dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya
tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i,
seperti minuman keras, jika pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan
pemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga
mewasiatkan buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.
B. Syarat Wasiat
Perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah Islam adalah
sbb:
a) Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari
1/3 harus atas seijin ahli waris.8
b) Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.
c) Boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon
yang belum berbuah.9
8
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1994. hal
247
9
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1994. hal
245
13
d) Boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut
sapi.
e) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
Penerima wasiat ada dua macam. a) Wasiat umum seperti wasiat pembangunan masjid; b)
Wasiat khusus yaitu wasiat kepada orang/benda tertentu.
Kalau wasiat bersifat umum, maka tidak boleh untuk hal yang mengandung dosa
(maksiat). Contoh, wasiat harta untuk pembangunan masjid boleh tetapi wasiat untuk
membangun klab malam tidak boleh.
Adapun Syarat-syarat wasiat menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi adalah sebagai
berikut10 :
14
1. Penerima wasiat harus Muslim, berakal, dan dewasa, sebab non-Muslim
dikhawatirkan menyia-nyiakan wasiat yang diserahkan kepadanya untuk diurusi;
menunaikan hak, atau mengurusi anak-anak kecil.
2. Pemberi wasiat harus berakal, bisa membedakan antara kebenaran dengan
kebatilan, dan memiliki apa yang diwasiatkan.
3. Sesuatu yang diwasiatkan harus merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Jadi,
berwasiat pada sesuatu yang diharamkan tidak boleh dilaksanakan. Contohnya,
seseorang mewasiatkan uangnya untuk disumbangkan ke gereja, atau ke bid'ah
yang makruh, atau ke tempat hiburan, atau ke kemaksiatan.
4. Penerima wasiat disyaratkan menerimanya dan jika ia menolaknya maka wasiat
tidak sah, kemudian setelah itu ia tidak mempunyai hak di dalamnya.
Sedangkan syarat-syarat bagi orang yang menerima wasiat, dalam mazhab Hanafi
disebutkan sebagai berikut:
1. orang ang akan menerima wasiat itu harus sudah ada ketika wasiat itu diikrarkan;
2. sudah ada ketika orang yang berwasiat itu meninggal dunia;
3. bukan orang yang menjadi sebab meninggalnya orang yang berwasiat dengan
cara pembunuhan11; dan
4. bukan ahli waris pemberi wasiat.
Wasiat itu tidak menjadi hak dari orang yang diberinya, kecuali setelah
pemberinya meninggal dunia dan utang-utangnya dibereskan. Apabila utang-utangnya
menghabisi semua peninggalan, orang yang diberi wasiat itu tidak mendapatkan sesuatu.
Wasiat yang disandarkan atau diikat atau disertai syarat itu sah, apabila syaratnya
itu syarat yang benar. Syarat yang benar ialah syarat yang mengandung maslahat bagi
orang yang memberinya, orang yang diberinya, atau bagi orang lain, dan syarat itu tidak
dilarang atau bertentangan dengan maksud-maksud syariat.
11
Khalik, Subehan. Wasiat Kepada Ahli Waris, Makassar: Alauddin University Press,
2013. hal 21
15
Apabila syaratnya itu benar, syaratnya itu wajib dipelihara selama maslahatnya
masih ada. Apabila maslahat yang dimaksud telah hilang, atau tidak benar, syarat itu
tidak wajib di pelihara.
Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat adalah orang yang ahli kebaikan,
yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi
ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar , dan tidak dibatasi karena
kedunguan atau kelalaian. Apabila orang yang memberi wasiat itu orang yang kurang
kompetensinya, yaitu karena dia masih anak-anak, gila, hamba sahaya, dipaksa, atau
dibatasi; wasiatnya itu tidak sah.
Aliran Hanafiyah berpendapat, bahwa wasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris
yang mendapat warisan, walaupun hanya sedikit, kecuali ada izin dari pihak ahli waris
lainya. Wasiat itu hanya dilaksanakan terhadap 1/3 dari hartanya saja.
Disyaratkan orang yang diberi wasiat adalah bukanlah ahli waris dari orang yang
memberi wasiat. Disyaratkan agar orang yang diberi wasiat tidak membunuh orang yang
memberinya, dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung.
Menurut Abu Yusuf , apabila orang yang diberi wasiat membunuh orang yang
memberinya dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung, wasiat itu batal.
Sebab, orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya dihukum dengan tidak
mendapatkan sesuatu itu. Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa wasiat itu
tidak batal, dan ini diserahkan kepada persetujuan ahli waris.
Disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara
pemilikan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dengan demikian, sahlah wasiat
mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang maupun manfaat. Sah pula
wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina sebab yang
demikian dapat dimiliki melalui warisan. Selama yang diwsiatkan itu ada wujudnya pada
waktu orang yang mewasiatkan meninggal dunia, orang yang diberi wasiat berhak
atasnya. Ini jelas berbeda dengan wasiat mengenai barang yang tidak ada. Sah pula
mewasiatkan piutang dan manfaat seperti tempat tinggal serta kesenangan.
Tidak sah mewasiatkan bukan harta, seperti bangkai, dan yang tidak bernilai, bagi
orang yang mengadakan askad wasiat, seperti khamar bagi kaum muslim.
16
Orang yang berwasiat biasanya ada yang memiliki ahli waris dan tidak. Bila dia
mempunyai ahli waris maka dia tidak boleh mewaistkan lebih dari 1/3 hartanya. Apabila
dia mewasiatkan hartanya lebih sepertiga, maka wasiat iti tidak di laksanakan, kecuali
atas izin dari ahli waris, dan untuk melaksanakanya di perlukan dua syarat sebagai
berikut;
1. Agar permintaan izin itu dilakukan setelah yang berwasiat meninggal dunia, orang yang
memberi izin itu belum mempunyai hak sehingga izinnya tidak menjadi pegangan.
Apabila ahli waris memberikan izin, pada waktu orang orang yang berwaiat masih hidup,
orang yang berwasiat mungkin mencabut kembali wasiatnya bila dia menginginkanya.
2. Agar orang yang memberi izin itu mempunyai kopetensi yang sah, tidak di batasi karena
kedunguan atau kelalaian, pada waktu memberikan izin. Apabila orang yang berwasiat
tidak mempunyai ahli waris, diapun tidak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3.
Wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat yang telah
di sebutkan, misal sebagai berikut;
1. Apabila seseorang yang berwasiat itu menderita penyakit dila yang parah yang
menyampaikannya pada kematian;
2. Apabila orang yang di beri wasiat meninggal dunia sebelum orang yang memberinya,
3. Apabila orang yang di wasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum di terima oleh
orang yang diberi wasiat.
17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Wasiat adalah pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan
dengan tulisan oleh seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta
benda yang ditinggalkannya. Wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang
haram, terkadang makruh, dan terkadang mubah (boleh).
18
4. Barang yang diwasiatkan (mushan bihi).
Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat adalah orang yang ahli kebaikan,
yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan
kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar , dan
tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian. Apabila orang yang memberi
wasiat itu orang yang kurang kompetensinya, yaitu karena dia masih anak-anak,
gila, hamba sahaya, dipaksa, atau dibatasi; wasiatnya itu tidak sah.
Tidak sah mewasiatkan bukan harta, seperti bangkai, dan yang tidak bernilai, bagi
orang yang mengadakan askad wasiat, seperti khamar bagi kaum muslim.
Orang yang berwasiat biasanya ada yang memiliki ahli waris dan tidak. Bila dia
mempunyai ahli waris maka dia tidak boleh mewaistkan lebih dari 1/3 hartanya. Apabila
dia mewasiatkan hartanya lebih sepertiga, maka wasiat iti tidak di laksanakan, kecuali
atas izin dari ahli waris, dan untuk melaksanakanya di perlukan dua syarat sebagai
berikut;
B. SARAN
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan, untuk itu kami
mengharapkan masukan atau saran dari teman-teman demi perbaikan karya tulis
kami di masa yang akan datang.
19