Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

AKAD, HARTA DAN KHIYAR


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Dr. Ibi Satibi, S.H.I., M.Si

Oleh :
Kelompok 1 (Satu)
23108040053 – Nila Mumariza
23108040055 – Yuni Nurhidayah
23108040059 – Raja Raydhandy

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH (S1)


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkah limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Akad, Harta, dan
Khiyar” dapat kami selesaikan.
Kami menyusun makalah ini untuk mengoptimalkan pemahaman tentang
akad, harta, dan khiyar untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pada
kesempatan yang baik ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan secara moral maupun
material dalam proses penyelesaian makalah ini.
Harapan kami dalam menyusun makalah ini adalah bisa bermanfaat bagi
masyarakat. Saya menyadari bahwa makalah yang kami susun jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 28 September 2023


Hormat kami,

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
2.1 Akad .......................................................................................................... 3
2.2 Harta........................................................................................................ 12
2.3 Khiyar ...................................................................................................... 17
BAB III ................................................................................................................. 21
PENUTUP ......................................................................................................... 21
Kesimpulan .................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam adalah agama yang sempurna, datang dengan mengatur hubungan
antara Sang Khaliq (Allah SWT) dan makhluk dalam ibadah untuk
membersihkan jiwa dan mensucikan hati. Islam pun mengatur hubungan di
antara sesama makhluk, sebagian mereka dengan sebagian yang lain, seperti
jual beli, nikah, warisan, had dan yang lainnya agar manusia hidup bersaudara
di dalam rasa damai, adil dan kasih sayang. Kesempurnaan agama islam dapat
dilihat dimana syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan
mengglobal permasalahannya.
ِ ‫ْاليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ لَ ُك ْم دِينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمتُ َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬
ِ ْ ‫ضيتُ لَ ُك ُم‬
‫اْلس ََْل َم دِينًا‬
Artinya:“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu.” [Al-Maidah:3]
Dalam masalah muamalah, al-Qur’an memberikan kaidah-kaidah umum
agar manusia dapat mengembangkan berbagai transaksi dalam kehidupan umat
manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu
sama lain dalam berbagai hal, termasuk dalam hal melakukan kegiatan
ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan antara satu
manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat
aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan
kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi
kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau
melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan
oleh Allah.
Dalam berakad pasti ada sesuatu objek yang menjadi benda atau hal yang
diakadkan. Benda ini berupa harta dari sang pemilik untuk dibuatkan perjanjian
secara syariah. Selain itu juga, setelah manusia melakukan akad dapat

1
membatalkan transaksinya dari sebab-sebab yang sesuai menurut Islam hal ini
disebut dengan khiyar.
Manusia tidak akan lepas dari hal-hal demikian. Namun, dalam
penerapannya sering kali tidak sesuai dengan hukum fiqih muamalah.
Sehingga dalam hal ini penulis menulis makalah yang berjudul “Akad, Harta
dan Khiyar” sebagai bentuk untuk memberi penjelasan terhadap hal-hal yang
masih awam pada masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana konsep dasar dari akad yang sesuai dengan fiqih muamalah?
2) Bagaimana konsep dasar dari harta yang sesuai dengan fiqih muamalah?
3) Bagaimana konsep dasar dari khiyar yang sesuai dengan fiqih muamalah?
1.3 Tujuan
1) Mengetahui konsep dasar dari akad yang sesuai dengan fiqih muamalah.
2) Mengetahui konsep dasar dari harta yang sesuai dengan fiqih muamalah.
3) Mengetahui konsep dasar dari khiyar yang sesuai dengan fiqih
muamalah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Akad
A. Pengertian Akad
Kata 'aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Jika
dikatakan 'aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali
lalu mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yang bersifat
hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari kedua
belah pihak yang sedang berdialog. Dari sinilah kemudian makna akad
diterjemahkan secara bahasa sebagai: "Menghubungkan antara dua
perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah
menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau
meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat
hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkannya."
Akad dalam terminologi ahli bahasa mencakup makna ikatan,
pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna
secara bahasa ini sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh
kalangan ulama fiqh, di mana kita mendapati kalangan ulama fiqh
menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari
dua keinginan yang ada kecocokan.1 Untuk menyatakan kehendak masing-
masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Peryataan pihak-pihak
yang berakad itu disebut dengan ijab dan kabul. Ijab adalah peryataan
pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung
keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Adapun kabul adalah
pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk
mengikatkan diri. Atas dasar ini, setiap peryataan pertama yang
dikemukakan oleh salah satu pihak yang ingin mengikatkan diri dalam
suatu akad disebut dengan mujib (pelaku ijab) dan setiap pernyataan kedua

1
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 15

3
yang diungkapkan oleh pihak lain setelah ijab disebut dengan qabil (pelaku
kabul); tanpa membedakan antara pihak mana yang memulai pernyataan
pertama tersebut.2
Dasar hukum dilakukannya akad dalam Al-Qur’an adalah Surat Al-
Maidah ayat 1 yang berbunyi
‫ٰ ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ْوفُ ْوا ِب ْالعُقُ ْو ِد‬
artinya : "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…"
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian
atau akad itu hukumnya wajib
B. Rukun Akad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang
sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-
masing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang
diwujudkan oleh akad, rukun-rukun akad ialah sebagai berikut:
1) ‘Aqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak
terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya
penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu
orang, ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak
yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad
terkadang orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang
merupakan wakil dari yang memiliki haq.
2) Ma'qud 'alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda
yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibbah (pemberian),
dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
3) Maudhu' al 'aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual
beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada
pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan
barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada

2
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 64

4
pengganti ('iwadh). Tujuan pokok akad ijarah adalah memberikan
manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok i'arah adalah
memberikan manfaat dari seseorang kepada yang lain tapa ada
pengganti.
4) Shighat al 'aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan
yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah
perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah
adanya ijab. Pengertian ijab qabul ialah bertukarnya sesuatu dengan
yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu
terkadang tidak berhadapan, misalnya seseorang yang berlangganan
majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan
pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos. Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam shighat al- 'Aqd ialah:
a. Shighat al-'aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab
qabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian, misalnya
seseorang berkata "Aku serahkan barang ini,” kalimat tersebut
masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan;
apakah benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan,
atau titipan. Kalimat yang lengkapnya ialah "Aku serahkan benda
ini kepadamu sebagai hadiah atau sebagai pemberian".
b. Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Tidak boleh antara yang
berijab dan yang menerima berbeda lafazh, misalnya seseorang
berkata, "Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan," tetapi
yang mengucapkan qabul berkata, "Aku terima benda ini sebagai
pemberian.” Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan qabul akan
menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh agama Islam
karena bertentangan dengan ishlah di antara manusia.
c. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau

5
ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam ijarah harus saling
ridha.
Ijab kabul akan dinyatakan batal apabila :
a) Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat kabul
dari si pembeli.
b) Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c) Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada
kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad.
Ijab dan kabul dianggap batal.
d) Kedua pihak atau salah satu, hilang kesepakatannya sebelum
terjadi kesepakatan.
e) Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya kabul atau
kesepakatan.3
C. Syarat-Syarat Akad
Secara global, syarat dilihat dari sumbernya terbagi kepada dua bagian:
1) Syarat Syar'i, yaitu suatu syarat yang ditetapkan oleh syara, yang
harus ada untuk bisa terwujudnya suatu akad. Seperti syarat ahliyah
(kemampuan) pada si ‘aqid untuk keabsahan akad.
2) Syarat Ja’li, yaitu syarat yang ditetapkan oleh orang yang berakad
sesuai dengan kehendaknya, untuk mewujudkan suatu maksud
tertentu dari suatu akad. Syarat tersebut bisa berbarengan dengan
akad, atau digantungkan (dikaitkan) dengan akad, seperti mengaitkan
kafalah dengan talak.
Syarat-syarat akad yang akan dibicarakan dalam topik ini ada empat
macam, yaitu:
1) Syarat In’iqad (Terjadinya Akad)
Pengertian syarat in’iqad adalah sebagai berikut.
ِ ‫ِي َما يُ ْشت ََرط ت َ َحقُّقُهُ ِل َج ْع ِل ْال َع ْق ِد فِي ذَاتِ ِه ُم ْن َع ِقدا ً ش َْرعا ً َو ِإ ََّّل َكانَ َب‬
ً‫اطَل‬ ِْ ‫ط‬
َ ‫اْل ْن ِعقَا ِد ه‬ ُ ِ‫ش ََرائ‬

3
Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.46

6
Syarat in'iqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk
menjadikan suatu akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila
syarat tidak terwujud maka akad menjadi batal.
Syarat ini ada dua macam:
a. Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad.
Syarat ini meliputi syarat dalam shighat, aqid, dan objek akad.
b. Syarat khusus, yaitu syarat yang dipenuhi dalam sebagian akad,
bukan dalam akad lainnya. Contohnya seperti syarat saksi dalam
akad nikah, syarat penyerahan barang dalam akad-akad kebendaan
(hibah, iärah, gadai, dan lain-lain).
2) Syarat Sah
Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk
timbulnya akibat-akibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut
tidak ada maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis.
Contohnya seperti dalam jual beli disyaratkan oleh Hanafiah, terbebas
dari salah satu 'aib (cacat) yang enam, yaitu (1) jahalah
(ketidakjelasan), (2) ikrah (paksaan), (3) tauqit (pembatasan waktu), (4)
gharar (tipuan/ketidakpastian), (5) dharar, (6) syarat yang fasid.
3) Syarat Nafadz (Kelangsungan Akad)
Untuk kelangsungan akad diperlukan dua syarat:
a. Adanya kepemilikan atau kekuasaan. Artinya orang yang
melakukan akad harus pemilik barang yang menjadi objek akad,
atau mempunyai kekuasaan (perwakilan). Apabila tidak ada
kepemilikan dan tidak ada kekuasaan (perwakilan), maka akad
tidak bisa dilangsungkan, melainkan mauquf (ditangguhkan),
bahkan menurut Asy-Syaft'i dan Ahmad, akadnya batal.
b. Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam
barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka
akadnya mauquf, tidak nafidz. Hak orang lain tersebut ada tiga
macam, yaitu sebagai berikut.

7
1) Hak orang lain tersebut berkaitan dengan jenis barang yang
menjadi objek akad, seperti menjual barang milik orang lain.
2) Hak tersebut berkaitan dengan nilai dari harta yang menjadi
objek akad, seperti tasarruf orang yang pailit yang belum
dinyatakan mahjur 'alaih terhadap hartanya yang
mengakibatkan kerugian kepada para kreditor.
3) Hak tersebut berkaitan dengan kemaslahatan si aqid, bukan
dengan barang yang menjadi objek akad. Seperti tasarruf orang
yang memiliki ahliyatul ada’ yang tidak sempurna (nâqishah)
yang telah dinyatakan mahjur 'alaih.
4) Syarat Luzum
Pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat (lazim). Untuk
mengikatny (lazim-nya) suatu akad, seperti jual beli dan ijarah,
disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar (pilihan), yang
memungkinkan di-fasakh-nya akad oleh salah satu pihak. Apabila di
dalam akad tersebut terdapat khiyar, sepert khiyar syarat, khiyar aib,
atau khiyar ru’yat, maka akad tersebut tidak mengikar (lázim) bagi
orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam kondisi seperi itu ia
boleh membatalkan akad atau menerimanya.4
D. Jenis-jenis Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat
dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad. Mengenai
pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak variasi
penggolongannya. Secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad,
antara lain:
1) Akad menurut tujuannya terbagi atas dua jenis:
a. Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan
murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari
Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari "return" ataupun

4
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.150

8
motif. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf,
Wasiat, Ibra', Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad. Atau
dalam redaksi lain akad tabarru (gratuitous contract) adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction (transaksi
nirlaba). Transaaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk
mencari keuntungan komersil.
b. Akad Tijari yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan
mendapatkan keuntungan di mana rukun dan syarat telah dipenuhi
semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah:
Murabahah, Salam, Istishna' dan Ijarah Muntahiya bittamlik serta
Mudharabah dan Musyarakah. Atau dalam redaksi lain akad tijari
(conpensational contract) adalah segala macam perjanjian yang
menyangkut for profit transaction. Akad ini dilakukan dengan
tujuan untuk mencari keuntung- an, karena itu bersifat komersial.
2) Akad menurut keabsahannya terbagi kepada tiga jenis:
a. Akad Sahih (Valid Contract) yaitu akad yang memenuhi se mua
rukun dan syaratnya. Akibat hukumnya adalah perpindahan barang
misalnya dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang)
dari pembeli kepada penjual.
b. Akad Fasid (Voidable Contract) yaitu akad yang semua rukunnya
terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi
perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan perpindahan
harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha
untuk melengkapi syarat tersebut. Dengan kata lain akibat
hukumnya adalah Mawquf (berhenti dan tertahan untuk sementara).
c. Akad Bathal (Void Contract) yaitu akad di mana salah satu rukunnya
tidak terpenuhi dan otomatis syaratnya juga ti- dak terpenuhi. Akad
seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan harta
(harga/uang) dan benda kepada kedua belah pihak."

9
3) Akad menurut namanya, akad dibedakan menjadi:
a. Akad bernama (al-'uqud al-musamma) Yang dimaksud dengan akad
bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat
hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang
berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Para
fukaha tidak se- pakat tentang jumlah akad bernama, bahkan mereka
pun ti- dak membuat penyusunan sistematis tentang urutan-urutan
akad itu.
b. Akad tidak bernama (al-uqud gair al-musamma) Akad tidak bernama
adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh
di bawah satu nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak bernama
adalah akad yang tidak ditentukan oleh pembuat hukum namanya
yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya.
Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum akad.
4) Akad menurut kedudukannya, dibedakan menjadi:
Akad yang pokok (al-'aqd al-ashli) dan akad asesoir (al-'aqd at- tab'i).
a. Akad pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya
tidak tergantung kepada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis ini
adalah semua akad yang keberadaannya ka rena dirinya sendiri,
seperti akad jual beli, sewa-menyewa penitipan, pinjam pakai, dan
seterusnya.
b. Akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri,
tetapi tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan
tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Termasuk ke
dalam kategori ini adalah akad penanggungan (al-kafalah) dan akad
gadai (ar-rahn). Kedua akad ini merupakan perjanjian untuk
menjamin, karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang
dijamin tidak ada

10
5) Akad dari segi unsur tempo di dalam akad, dapat dibagi menjadi akad
bertempo (al-aqd az-zamani) dan akad tidak bertempo (al-aqd' al-
fauri).
a. Akad bertempo adalah akad yang di dalamnya unsur waktu
merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian
dari isi perjanjian. Termasuk dalam kategori ini, misalnya adalah
akad sewa-menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai, akad
pemberian kuasa, akad berlangganan majalah atau surat kabar, dan
lain-lain. Dalam akad sewa-menyewa, misalnya termasuk bagian
dari isi perjanjian adalah lamanya masa sewa yang ikut menentukan
besar kecilnya nilai akad. Tidaklah mungkin suatu akad sewa-
menyewa terjadi tanpa adanya unsur lamanya waktu dalam mana
persewaan berlangsung.
b. Akad tidak bertempo adalah akad di mana unsur waktu tidak
merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat
terjadi seketika tapa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad
tersebut
6) Akad dari segi formalitasnya, dibedakan menjadi akad konsensual (al-
aqd ar-radha'i), akad formalistis (al-'aqd asy-syakli), dan akad riil (al-
aqd al-'aini).
a. Akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya
cukup berdasarkan pada kesepakatan para pihak tapa diperlukan
formalitas-formalitas tertentu. Meskipun kadang-kadang
dipersyaratkan adanya formalitas tertentu, seperti harus menulis, hal
tersebut tidak menghalangi keabsahan akad tersebut, dan tetap
dianggap sebagai akad konsensual. Tulisan hanyalah suatu syarat
yang diperlukan untuk pembuktian. Kebanyakan akad dalam hukum
Islam adalah akad konsensual seperti jual beli, sewa-menyewa, dan
utang piutang.
b. Akad formalistis adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat
formalitas yang ditentukan oleh pembuat akad, di mana apabila

11
syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah. Contohnya adalah
akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah di
mana di antara formalitas yang disyarat-kan adalah kehadiran dan
kesaksian dua orang saksi.
c. Akad riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya
penyerahan tunai objek akad, di mana akad tersebut belum terjadi
dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan.
Ada lima macam akad yang termasuk dalam kategori jenis akad ini,
yaitu hibah, pinjam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad gadai.
Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah hukum Islam yang
menyatakan "Tabaru' (donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan
riil" (la yatimmu at-tabarru' illa bi gabdh).5

2.2 Harta
A. Pengertian Harta
Harta atau mal jamaknya amwal, secara etimologis mempunyai
beberapa arti yaitu condong, cenderung, dan miring. Karena memang
manusia condong dan cenderung untuk memiliki harta. Ada juga
mengartikan al-mal dengan sesuatu yang menyenangkan manusia dan
mereka menjaganya, baik dalam bentuk materi maupun manfaat. Ada juga
yang mengartikan dengan sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia
baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuhan,
maupun yang tidak tampak, yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan
tempat tinggal. Oleh karena itu, menurut etimologis, sesuatu yang tidak
dikuasai manusia tidak bisa dinamakan harta, seperti burung di udara, ikan
di dalam air, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di Bumi. Allah
berfirman dalam al-Quran surat Al-Ahzab ayat 27 yang berbunyi sebagai
berikut.

5
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 76

12
َ ‫ع ٰلى ُك ِل‬
‫ش ْيءٍ قَ ِدي ًْرا‬ َ ُ‫طـُٔ ْوهَا َو َكانَ اللّٰه‬
َ َ ‫ار ُه ْم َوا َ ْم َوالَ ُه ْم َوا َ ْرضًا لَّ ْم ت‬ َ ‫َوا َ ْو َرث َ ُك ْم ا َ ْر‬
َ َ‫ض ُه ْم َو ِدي‬

Artinya: Dan Dia mewariskan kepadamu tanah-tanah, rumah-rumah dan


harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan
Allah Mahakuasa terhadap segala sesuatu.

Adapun pengertian harta secara terminologis, yaitu sesuatu yang


diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan
memberikannya atau menyimpannya. Sesuatu yang tidak dapat disimpan
tidak bisa disebut harta. Karena itu, menurut Hanafiah manfaat dan milik
tidak disebut harta. la membedakan antara harta dan milik. Atau harta
dalah sesuatu zat ('ain), yang berharga bersifat materi yang berputar di
antara manusia.6
Muhammad Abu Zahrah mengartikan harta (mal) menurut bahasa
sebagai berikut.
‫األشياء ْال َما ُل في اللغة ُك ُّل ما ملكتهُ ِمن َج ِميعِ ا‬
Mal (harta) dalam arti bahasa adalah segala sesuatu yang engkau miliki.
Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian harta (mal) menurut
bahasa sebagai berikut. Mal (harta) adalah segala sesuatu yang
dibutuhkan dan diperoleh manusia secara langsung, baik berupa benda
maupun manfaat.
Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pengertian harta
(mal) menurut bahasa adalah setiap barang yang mungkin dimiliki oleh
manusia, baik berupa benda ('ain) seperti emas, perak, tanah dan rumah,
maupun manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.7
B. Pembagian Harta
Menurut Fuqaha, harta dapat ditinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari
beberapa bagian, tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya
tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut.
1. Mal Mutaqawwim dan ghair mutagawwim
a. Harta Mutaqawwim ialah:

6
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,(Jakarta: Kencana,2012), hlm. 59
7
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.55

13
"Sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara."
Harta yang termasuk mutaqawwim ini ialah semua harta yang baik
jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaannya. Misalnya,
kerbau halal dimakan oleh umat Islam, tetapi kerbau tersebut
disembelih tidak sah menurut syara'. misalnya dipukul, maka daging
kerbau tidak bisa dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal
menurut syara'.
b. Harta Ghair Mutaqawwim ialah:
"Sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara'."
Harta yang ghair mutaqawwim ialah kebalikan dari harta
mutaqawwim, yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik
jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaannya.
Misalnya babi termasuk harta ghair mutaqawwim, karena jenisnya.
Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair
mutaqawwim karena cara memperolehnya yang haram. Uang
disumbangkan untuk membangun cara pelacuran, termasuk harta
ghair mutaqawwim karena penggunaannya itu.
2. Mal Mitsli dan Mal Qimi
a. Harta Mitsli, ialah:
"Benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuan-nya,
dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain, tanpa ada
perbedaan yang perlu dinilai."
b. Harta Qimi, ialah:
"Benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya,
karenanya tidak dapat berdiri sebagian di tempt sebagian yang
lainnya tapa ada perbedaan.”
c. Dengan perkataan lain, harta mitsli adalah harta yang jenis-nya
diperoleh di pasar (secara persis), dan qimi ialah harta yang
jenisnya sulit didapatkan di pasar, bisa diperoleh, tapi jenisnya
berbeda, kecuali dalam nilai harganya. Jadi, harta yang ada
imbangannya (persamaannya) disebut mitsli dan harta yang tidak

14
ada imbangannya secara tepat disebut qimi. Misalnya seseorang
membeli senjata api dari Rusia akan kesulitan mencari
imbangannya di Indonesia, bahkan mungkin tidak ada. Maka
senjata api Rusia di Indonesia termasuk harta qimi, tetapi harta
tersebut di Rusia termasuk harta mitsli karena barang ini tidak sulit
untuk diperoleh
3. Harta Istihlak dan harta Isti'mal.
a. Harta Istihlak ialah:
"Sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya
secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya." Harta Istihlak
terbagi dua, ada yang Istihlak hagiqi dan Istihlak hugugi. Harta
Istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara
jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya korek api,
bila dibakar, maka habislah harta yang berupa kayu itu. Istihlak
huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan,
tetapi zatnya masih tetap ada. Misalnya, uang yang digunakan
untuk membayar utang, dipandang habis menurut hukum walaupun
uang tersebut masih utuh, hanya pindah kepemilikannya.
b. Harta Isti'mal ialah:
"Sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap
terpelihara.” Harta Isti' mal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi
dapat digunakan lama menurut apa adanya, seperti kebun, tempat
tidur, pakaian, sepatu, dan lain sebagainya.
Perbedaan dua jenis harta ini, harta istihlak habis satu kali digunakan,
sedangkan harta isti'mal tidak habis dalam satu kali pemanfaatan.8
C. Fungsi Harta
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta
tersebut. Fungi harta amat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik,

8
Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.19

15
maupun kegunaan dalam hal yang jelek. Di antara sekian banyak fungi
harta antara lain sebagai berikut.
1. Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas
(mahdhah), sebab untuk ibadah diperlukan alat-alat, seperti kain untuk
menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk melaksanakan
ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah, dan yang lainnya.
2. Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah, sebab
kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran sehingga
pemilikan harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada
Allah.
3. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikut-nya,
sebagaimana firman Allah:
َ ‫ضعَافًا خَافُوا َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّقُوا اللَّهَ َو ْليَقُولُوا قَ ْو ًَّل‬
‫سدِيدًا‬ ِ ً‫ش الَّذِينَ لَ ْو ت ََر ُكوا ِم ْن خ َْل ِف ِه ْم ذ ُ ِريَّة‬
َ ‫َو ْليَ ْخ‬
Dan hendaklah takut kepada Allah orang orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah
mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar. (Al-Nisa: 9)
4. Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan
akhirat.
5. Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut
ilmu tanpa modal akan terasa sulit, misalnya, seseorang tidak bisa
kuliah di perguruan tinggi, bila ia tidak memiliki biaya.
6. Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni
adanya pembantu dan tuan. Adanya orang kaya dan miskin yang saling
membutuhkan sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan
berkecukupan.
7. Untuk menumbuhkan silaturrahim, karena adanya perbedaan dan
keperluan.9

9
Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.27

16
2.3 Khiyar
A. Pengertian Khiyar
Khiyar secara bahasa adalah kata nama dari ikhtiyûr yang berarti
mencari yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau
membatalkannya. Sedangkan menurut istilah kalangan ulama fiqh yaitu
mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau
membatalkannya. Dari sini terlihat bahwa makna secara istilah tidak begitu
berbeda dengan maknanya secara bahasa. Oleh sebab itu, sebagian ulama
terkini mereka mendefinisikan khiyûr secara syar'i sebagai "Hak orang yang
berakad dalam membatalkan akad atau meneruskannya karena ada sebab-
sebab secara syar'i yang dapat membatalkannya sesuai dengan kesepakatan
ketika berakad."10
Arti lain dari khiyar adalah suatu hak untuk menentukan antara
meneruskan akad jual beli atau tidak diteruskan (ditarik kembali tidak jadi
jual beli). Khiyar adalah meminta yang terbaik dari dua pilihan yakni
melanjutkan atau membatalkan transaksi jual-beli.
Menurut ulama fiqih, khiyar dibolehkan dalam syariat Islam di
dasarkan pada suatu kebutuhan yang mendesak dengan cara
mempertimbangkan kemaslahatan bagi masing-masing pihak yang
melakukan sebuah transaksi.11
B. Hukum Khiyar
Hak Khiyar (memilih) dalam jual beli, menurut islam dibolehkan,
apakah akan meneruskan jual beli atau membatalkannya, tergantung
keadaan (kondisi) barang yang diperjualbelikan.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, status khiyar dalam pandangan ulama
fiqh adalah di syariatkan atau dibolehkan, karena suatu keperluan yang
mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak
yang melakukan transaksi.

10
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 99
11
Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.83

17
Di abad modern yang serba canggih, dimana sistem jual beli semakin
mudah dan praktis, masalah khiyar ini tetap diberlakukan, hanya tidak
menggunakan kata-kata khiyar dalam mempromosikan barang-barang yang
dijualnya, tetapi dengan ungkapan singkat dan menarik, misalnya : “ Teliti
sebelum membeli”. Ini berarti bahwa pembeli diberi hak khiyar(memilih)
dengan hati-hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli,
sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.
C. Macam-macam Khiyar
1. Khiyar Majelis
Khiyar majelis adalah kedua bela pihak yang melakukan akad
mempunyai hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli
selama masih berada dalam satu majelis (tempat) atau toko, atauseperti
jual beli atau sewa menyewa.
Menurut ulama mazhab syafi’i dan hambali, bahwa masing-masing
pihak berhak mempunyai khiyar selama masih berada dalam satu majlis,
sekalipun sudah terjadi ijab Kabul. Berbeda dengan madzhab Hanafi dan
Maliki, bahwa suatu akad telah dipandang sempurna, apabila telah terjadi
ijab dan Kabul. Ijabdan Kabul itu terjadi setelah ada kesepakatan dan
saling suka samasuka yang dijelaskan pada surah An-Nisa:29.12
2. Khiyar Syarat
Khiyar syarat adalah yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang ber
akad atau keduanya, apakah meneruskan atau membatalkan akad
ituselama dalam tenggang waktu yang disepakati bersama. Umpamanya,
pembeli mengatakan “saya akan membeli barang andaini dengan
ketentuan diberikan renggang waktu selama tiga hari”.
Sesudah tiga hari tidak ada berita, berarti akad itu batal. Khiyar
syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barangyang
wajib diterima ditempat jual beli, seperti barang-barang riba. Masakhiyar
syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam terhitung dari waktu akad.

12
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Fajar Interpratama, 2003), hlm.139

18
Sabda Rasulullah Saw: “Nabi saw bersabda: Apabila kamu menjual
maka katakanlahdengan jujur dan jangan menipu. Jika kamu membeli
sesuatumaka engkau mempunyai hal pilih selama tiga hari, jikakamu
rela maka ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikankepada
pemiliknya.”(HR. Ibnu Majah).
Barang yang terjual itusewaktu dalam masa khiyar kepunyaan
orangyang mensyaratkan khiyar,kalo yang khiyar hanya salah seorang
darimereka. Tetapi kalau kedua duanya mensyaratkan khiyar,maka
barangitu tidak di punyai seorangpun dari keduanya
Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan,barulah diketahui bahwa
barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad.Tetapi kalau jual
beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaansi penjual. Untuk
meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah denganlapas yang jelas
menunjukkan terus atau tidaknya jual beli Para ulama fikih sependapat
mengetakan, bahwa khiyar syarat inidiperbolehkan untuk menjaga
(memelihara) hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi
dari pihak penjual.13
Oleh karena itu, salah satu macam-macam khiyar dalam jual beli ini,
dapat dipraktekkan dengan memperhatikan beberapa ketentuan berikut
ini:
a. Jika masa khiyar syarat telah lewat, otomatis transaksi menjadi sah
dantidak dapat dilakukan pembatalan jual beli atau transaksi.
b. Hak khiyar syarat tidak dapat diwariskan.
c. Sehingga, jika pembeli meninggal pada masa khiyar, kepemilikan
barang menjadi milik ahli waris pembeli.
d. Sedangkan jika penjual meninggal dalam masa khiyar,
kepemilikanotomatis menjadi hak pembeli.

13
Op.cit., hlm. 287

19
3. Khiyar ‘aibi
Khiyar ‘aibi yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual
beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat
pada objek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui
pemiliknya ketika akad berlangsung.
4. Khiyar Ru’yah
Khiyar Ru’yah adalah ada hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan
berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang
belum ia lihat pada saat akad berlangsung. Jumhur Ulama (Hanafiah,
Malikiyah, Hanabilah dan Zahiriyah) menyatakan, bahwa khiyar ru’yah
disyariatkan dalam islam.Sebagaimana sabda Nabi SAW:
Yang artinya: “Siapa yang membeli sesuatu yang belum dia
lihat,maka dia berhak Khiyar apabila ia telah melihat barang
itu.”(H.R.Darul Quthni)
D. Hikmah Khiyar
Khiyar adalah pemilihan di dalam melakukan akad jual beli
yangdilaksanakan oleh seorang penjual dan seorang pembeli yang
manadiantara keduanya agar tidak ada saling merasa ditipu, makanya
dalamhukum islam diadakan khiyar dalam jual beli.Adapun hikmah Khiyar
antara lain sebagai berikut:
1. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan jual beli.
2. Menghindarkan kemungkinan terjadinya unsur penipuan dalam jual
beli.
3. Mendidik penjual agar bersikap jujurdalam menjelaskan kualitas
barang dagangnya.
4. Menghindarkan terjadinya penyesalan dikemudian hari bagi penjualdan
pembeli

20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam Islam, muamalah merupakan bagian penting dari kehidupan umat
manusia. Al-Qur'an memberikan kaidah-kaidah umum untuk mengatur transaksi
dan hubungan ekonomi, yang harus didasarkan pada aturan-aturan syariah. Akad
atau kontrak merupakan landasan utama dalam transaksi dalam Islam. Konsep dasar
akad mencakup elemen-elemen seperti ijab, qabul, objek akad, dan niat yang jujur.
Harta dalam fiqih muamalah harus diperoleh secara halal, digunakan dengan bijak,
dan pemiliknya juga memiliki kewajiban sosial, seperti membayar zakat dan
memberikan sedekah. Khiyar merupakan hak yang diberikan kepada salah satu atau
kedua pihak dalam akad untuk membatalkan transaksi dalam situasi tertentu, seperti
khiyar al-shart, khiyar al-'aib, dan khiyar al-majlis.

21
DAFTAR PUSTAKA

Azzam, A. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.


Dahlan, A. A. (2003). Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hasan, M. A. (2003). Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Fajar
Interpratama.
Mardani. (2012). Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Muslich, A. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Suhendi, H. (2013). Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.

22

Anda mungkin juga menyukai