Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TEORI, KONSEP DAN HUKUM AKAD SERTA CAKUPANNYA

Disusun Oleh :
LUKI AZUMARDIKA
Dosen Pengampu :

ZAKIYAH NUR FITRI M.E

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


YAYASAN ISLAM PAGARALAM (YIP) SEKOLAH
TINGGI EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (STEBIS) KOTA PAGAR
ALAM TAHUN AKADEMIK
2024/2025

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akad merupakan suatu ikatan dan kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk
melakukan suatu perjanjian. Tidak semua perjanjian dapat dikatakan sebagai akad karena
akad juga memiliki syarat-syarat tertentu untuk menjadi dasaran akad yaitu dengan
adanya ijab qobul sesuai dengan ketentuan syariat islam. Ijab qobul itu sendiri
merupakan suatu ungkapan atau kesepakatan dua orang maupun lebih untuk melakukan
kontrak. Suatu akad akan terpenuhi jika rukun terpenuhi dengan adanya akid (orang yang
berakad) dan Ma’qud Alaih (suatu yang diakadkan).
Di Indonesia akad sudah sering dilakaukan oleh masyarakat bahkan mayoritas
masyrakat menggunakan akad dalam hal jual beli. Kata akad sering terdengar dikalangan
masyarakat bahkan sudah sering dilakukan, akan tetapi masih ada beberapa masyarakat
yang belum mengerti dan memahami tentang syarat-syarat serta rukun dalam melakukan
akad sehingga dengan adanya masalah tersebut maka perlunya makalah ini dibuat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akad?
2. Apa saja rukun-rukun akad?
3. Apa saja syarat-syarat akad?

C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
menginformasikan dan menjelaskan tentang teori akad dalam prespektif fiqh
muamala. Secara khusus makalah ini akan menginformasikan dan menjelaskan hal-hal
sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan tentang pengertian akad.


2. Untuk menjelaskan rukun-rukun akad.
3. Untuk menjelaskan syarat-syarat akad.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad

Akad secara bahasa berarti sambungan, janji, dan mengikat. Akad menurut
pendapat wahbah Al-Suhaily akad adalah ikatan antara dua perkara, ikatan secara nyata
maupun secara maknawi dari satu segi maupun dua segi dengan kata lain, akad adalah
suatu perikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih berdasarkan ijab dan qobul
dengan adanya ketentuan syar’i. tidak semua jenis perikatan atau perjanjian dapat di
sebut sebagai akad, karena akad itu sendiri memiliki beberapa syarat yang harus di
penuhi seperti ijab qobul dan beberapa ketentuan syari’at islam.

Akad menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu
secara umum dan secara khusus.

1. Pengertian umum

Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian
akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, malikiyah, dan hanabilah,
yaitu

‫ُك ُّل مَا َع َز َم ْاَلمْر ُءَع َلى ِفْع ِلِه َس َو اٌء َص َد َر بِاَر َادٍة ٌم ْنَفِر َد ٍةكَاْلَو ْقِف َو ْاالِء ْب َر اِء َو الّطَال‬
‫ِق واْلَيِم ْيِن اْم ِاْح تَاَج الَى اَر اَد َتْيِن فِى اْنشَاِئِه كَاْلَبْيِع َو ْاِال ْيجَاِر َو الَّتْو ِكْيِل َو الَّر ْهِن‬
Artinya: “ segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya
sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya
membutukan keingina dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.”

2. Pengertian khusus

Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, antara lain:

‫اْر ِتبَاُط اُيجَاٍب ِبَقُبْو ٍل َع لَى َو ْج ٍه َم ْش ُرْو ٍءَيْثُبُت اَثُر ُه فِى َم َحِلِه‬
Artinya: “ perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’
yang berdampak pada objeknya.”
3
Dengan demikian, ijab-qobul merupakan suatu perbuatan atau pernyataan
untuk menujukan sesuatu keridohan dalam berakad diantara dua orang atau lebih untuk
terhidar dari suatu ikatan yang tidak sesuai berdasarkan syaro’.

Contohnya ijab dari pernyataan seorang penjual seperti :

“Saya telah menjual barang ini kepadamu” atau ”saya serahkan barang ini kepadamu.”

Contohnya qobul dari pernyataan seorang pembeli seperti :

“ Saya beli barangmu.” Atau “ Saya terima barangmu.”

B. Rukun Akad
Dalam pengertian fuqahâ’ rukun adalah: asas, sendi atau tiang. Yaitu Sesuatu
yang menentukan sah (apabila dilakukan) dan tidaknya (apabila ditinggalkan) suatu
pekerjaan tertentu dan sesuatu itu termasuk di dalam pekerjaan itu. Seperti ruku' dan
sujud merupakan sesuatu yang menentukan sah atau tidaknya shalat; keduanya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perbuatan “shalat”. Dalam mu’amalah,
seperti: ijab dan qabul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut
Jumhur ulama rukun akad ada tiga; yaitu âqid (orang yang menyelenggarakan akad
seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma'qûd alaih) dan
shighatul ‘aqd (bentuk [ucapan] akad) .
Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang
datang dari orang yang memiliki barang. Qabul adalah ungkapan atau ucapan atau
sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan
kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika transaksi itu jual-beli, maka ucapan si
penjual kepada pembeli : "Saya jual buku ini kepada anda" adalah ijab sekalipun hal itu
diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual-beli di sini, qabul adalah ucapan si pembeli
kepada si penjual: "Saya beli buku ini" sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan. Jika
ijab dan qabul ini sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan oleh orang
yang sehat akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum ke atas barang yang
diselenggarakan akad atasnya (dalam hal ini adalah buku yang dijual).
Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu sebelum akad,
buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya berpindah kepada
si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu.

4
Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang
melakukan akad. Dalam fikih mu’amalah, ijab dan qabul ini adalah komponen dari
shighatul ‘aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau âqidain
(pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang
mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima
kepemilikan.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad,
shighat akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari
âqidain. Pertanyaan yang kemudian muncul, “bagaimanakah kedudukan hukum jual-beli
saat ini yang tidak melibatkan shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli
hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau
ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau akad
semacam ini dan mereka menyebutnya ‘aqd bit ta'athi karena tradisi dan kebiasaan hidup
manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di
samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan
ukuran bahwa praktik demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari
mereka yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqahâ’ (madzhab Hanafi)
membolehkan tidak saja dalam jual-beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi
juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara
itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak
yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela.
Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.
Meskipun pada umumnya para fuqahâ’ menyepakati akad bit ta'athi dalam semua
lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk kawin (zawâj)
dikecualikan. Hal ini disebabkan karena kawin merupakan hal yang agung dan sakral
dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak wanita. Karena itu diperlukan kehati-hatian
dan kesempurnaan dengan menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk
mengekspresikan kehendak.
1. Orang yang menyelenggarakan akad (âqidain)
Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau penjual atau
orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang
sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz. Berakal di sini adalah tidak gila
sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu

5
membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan
antara merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad
haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan bebasnya.
Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik
yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya
untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatan-hambatan demikian
disebut ‘awâridh ahliyyah. Ada dua jenis ‘awâridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan
muktasibah.
Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang
yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan
merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan
yang terjadi karena ulah orang itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam mu,amalah
hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan
hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal
tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang
yang terkena hambatan ini menjadi batal
Sedangakan Rukun akad sendiri merupakan sesuatu yang ada didalam akad yang
mempengaruhi sah tidaknya suatu akad. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun
akad itu adalah ijab dan qobul. Menurut Jumhur Ulama selain Hanafiah berpendapat
bahwasanya akad memiliki tiga rukun yaitu :
a. Akid (orang yang berakad) seperti penjual dan pembeli. Akid adalah pihak-pihak
yang malakukan transaksi. Akid didalam fiqih memiliki dua syarat yang pertama
Ahliyyah, orang yang dianggap cakap melakukan transaksi. Didalam fiqih
Ahliyyah itu adalah seorang mukallaf atau mumayis. Akid kedua yang disyaratkan
yaitu harus memiliki wilayah. Wilayah adalah hak dan kewenangan seseorang
yang mendapatka legalitas sya’i untuk melakukan transaksi atas suatu objek
tertentu.
b. Ma’qud Alaih (suatu yang diakadkan) baik berupa harga atau yang dihargakan.
Ma’qud alaih memiliki beberapa syarat barang yang diakadkan yaitu harus ada
ketika akad dilakuakan, harus berupa Mal mutaqawim, harus dimiliki penuh
pemiliknya, bisa diserah terimakan dan berupa barang yang suci (tidak najis).
Dimana jika persyaratan itu tidak dipenuhi maka jual beli tidak sah.

6
c. Ijab Qobul adalah ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua
pihak yang melakukan kontrak atau akad.ijab qobul menurut Ulama fiqih
memiliki beberapa syarat yaitu : adanya kejelasan maksud dari kedua pihak,
adanya kesesuaian antara ijab daan qobul, berurutan, adanya satu majlis dan tidak
ada penolakan. Dimana ijab qobul dinyatakan batal jika : penjual menarik
kembali ucapannya sebelum ada qobul pembeli, adanya penolakan, berakhirnya
majlis akad dan salah satu atau kedua pihak hilang ahliyahannya, barang yang
ditransaksikan rusak sebelum ada kesepakatan.
C. Syarat-Syarat Akad
Didalam syarat-syarat akad Ada beberapa macam syarat akad, yaitu syarat
terjadinya akad, syarat Sah, syarat memberikan, dan syarat keharusan (lujum).
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya
akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini
terbagi menjadi dua bagian:
a. Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
b. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak
disyaratkan pada bagian bagian lainnya.
2. Syarat Sah Akad
Syarat syah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin
dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akan pada setiap akad. Ulama Hanafiyah mensyaratan
terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan,
paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada ungsur kemadaratan, dan syarat-syarat jual
beli rusak (fasid).
3. Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas debgan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun
kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan
syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengantian
( menjadi wakil seseorang ).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:

7
a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan,
maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.
4. Syarat Kepastian Hukum (Luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli adalah
terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyarsyarat, khiyar aib, dal lain-
lain. Jika luzum tampak, maka akad batal ata dikembalikan.
D. Tahapan Akad
1. Al-’ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain.
janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya. (qs. ali
imran : 76).
2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak
pertama. persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya para pihak, maka terjadilah apa yang
dinamakan ‘aqdu. (qs. al-maidah : 1)
E. Unsur Akad
1. Pertalian ijab dan qabul.
2. Dibenarkan syara’.
3. Mempunyai akibat hukum
F. Dampak Akad
Setiap akad memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus.
1. Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad
atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan kepemilikan
dalam jual-beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain.
2. Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagaian besar akad, baik dari segi
hukum maupun hasil.

8
G. Pembagian Dan Sifat Akad

Akad dibagi menjadi beberapa macam, dan setiap macamnya sangat bergantung
pada sudut pandangnya, diantaranya yaitu :

1. Berdasarkan ketentuan syara’


a. Akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan
oleh syara’. Dalam istila ulama Hanafiyyah, akad sahih adalah akad yang
memenuhi ketentuan syarat pada asalnya dan sifatnya.
b. Akad tidak sahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Akad ini
tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyyah
menetapkan bahwa akad yang batil atau fasid termasuk golongan akad yang tidak
sahih, sedangkan ulama Hanafiyyah membedakan antara fasid dan batal. Menurut
ulama Hanafiyyah akad yang batal adalah akad yang tidak memenuhi rukun atau
tidak ada barang yang diakadkan, seperti akad yang telah dilakukan oleh salah
seorang yang bukan golongan ahli akad, seperti gila.
c. Akad fasid adalah akad yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang
syara’, seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga akan menimbulkan
percekcokan.
2. Berdasarkan penamaanya.
a. Akad yang telah dinamai syara’, seperti jual beli, hibah, gadai, dan lain sebaginya.
b. Akad yang belum dinamai syara’, tetapi disesuaikan dengan perkebangan zaman.
3. Berdasarkan maksud dan tujuan akad.
a. Kepemilikan
b. Menghilangkan kepemilikan
c. Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya.
d. Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas, seperti orang gila.
e. Penjagaan
4. Berdasarkan zatnya
a. Benda yang berwujud (al-‘ain)
b. Benda tidak berwujud (gharib al-‘ain)

9
H. Sifat-Sifat Akad.

Segala bentuk tasharuf ( aktivitas hukum ) termasuk akad yang memiliki dua
keadaan umum diantaranya yaitu :

1. Akad tanpa syarat( akat munjiz) yaitu suatu akad yang di ucapkan seseorang, tanpa
memberi batasan dengan suatu khaidah dan tanpa menetapkan suatu syarat. Akat
seperti ini di hargai syara’ sehingga menimbulkan damapak hukum .
Contoh : seseorang yang berkata, “ saya membeli rumah kepadamu.” Lalu di kabulkan
oleh seorang lagi, maka berwujudlah akad dan berakhibat pada hukum saat waktu itu
juga, yakni pembeli memiliki rumah dan penjual memiliki uang.
2. Akad bersyarat ( akad ghair munjiz ) yaitu akad yang diucapkan oleh sesorang dan
dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat itu tidak ada akad pun tidak jadi, baik
dikaitkan dengan wujud sesuatu atau ditangguhkan pelaksanaannya
Contoh : seorang berkata, “ saya jual mobil ini dengan harga Rp 40.000.000,- jika
disetujui oleh atasa saya. “ atau berkata, “ saya jual mobil ini dengan syarat saya boleh
memakainya selama satu bulan, sesuda itu saya serahkan kepadamu.
Akad ghair munjiz terbagi menjadi tiga macam :
a. Ta’liq syarat
b. Taqyid syarat
c. Syarat idhafah
d. Ta’liq syarat
3. Syarat idhofah maknanya menyandarkan kepada suatu masa yang akan datang atau
idhofa mustaqbal

‫َتْأِخ ْيُرُح ْك ِم الَّتَص ُّر ِف اْلَقْو ِلِّي ِإلَى َز مَاٍن ُم ْسَتْقَبٍل ُمَع َّيٍن‬.

Artinya : “ melambatkan hukum tasharruf qauli ke masa yang akan datang.”

Seperti dikatakan, “saya menjadikan anda sebagai wakil saya mulai awal tahun
depan.”

Contohnya syarat yang di-idhafa-kan ke masa yang akan datang.

Zaman mustaqabal ini adakalahnya malhudh dapat dirasakan sendiri atau


terpahami sendiri dari akal, separti pada wasiat. Wasiat memberi pengertian bahwa
wasiat itu berlaku sesudah yang berwasiat wafat.
10
Adapun tabarru’ (derma) muanjiz yang berlangsung berlaku ialah seperti
hibah dan sedekah.

I. Akhir Akad

Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya
izin dalam akad mauquf (ditangguhkan).

1. Akad Habis dengan Pembatalan

Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada


masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan
dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan,
tetapi sebelum sampai lima bulan, telah dibatalkan.

Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad,
pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan, dan lain-lain,
atau yang ghair lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai.
Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa
sepengetahuan orang yang menggadaikan barang.

Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut :

a. Ketika akad rusak


b. Adanya khiyar
c. Pembatalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad
e. Masa akad berakhir

11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas adapat disimpulkan bahwa akad secara bahasa berarti
sambungan, janji, dan mengikat. Rukun-rukun dalam melakukan akad yaitu dengan
adanya akid orang yang berakat, Ma’qud Alaih (suatu yang diakadkan), dan adanya ijab
qobul. Akad juga memilii rukun-rukun yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah akad,
syarat pelaksanaan akad, dan syarat kepastian hukum (luzum). Tahap akad diantaranya
yaitu Al-’ahdu (perjanjian) dan persetujuan. Di dalam akad juga memiliki unsur yaitu
pertalian ijab dan qabul, dibenarkan syara’, dan mempunyai akibat hukum. Dampak akad
terbagi menjadi dua yaitu dampak khusus dan dampak umum. Sifat-sifat akad yaitu akad
tanpa syarat( akat munjiz), akad bersyarat ( akad ghair munjiz), dan akad syarat idhofa.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan diatas, ada sejumlah saran yang perlu
disampaikan kepada semua pihak agar lebih memahami tentang pengertian akad itu
sendiri, serta memahami tentang rukun-rukun, syarat-syarat, tahap, unsur, dampak , serta
sifat-sifat dari akad.

12
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2001 )

Harisudin Noor, Fiqih Muamalah 1 (Surabaya: Pena Salsabila, 2014 )

13

Anda mungkin juga menyukai