Anda di halaman 1dari 21

AKAD

(PERIKATAN/PERJANJI
AN)
PENGERTIAN AKAD
• Menurut aspek bahasa, akad berasal dari bahasa Arab, yaitu „aqada – ya‟qidu – „aqdan yang berarti
persetujuan atau perjanjian. Akad diartikan juga ar-rabthu (ikatan) dan al-ittifaq (kesepakatan). Secara lebih
jelasnya, akad ialah:
• Ikatan antara dua perkara/pihak, baik ikatan secara nyata (konkrit) maupun secara maknawi (abstrak),
datangnya dari satu sisi pihak, maupun dari dua sisi pihak.
1. Pengertian Umum
Akad menurut pengertian umum berdekatan dengan pengertian akad menurut bahasa, sebagaimana
dinyatakan oleh ulama Syafi‟iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu:
Segala perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf,
pembebasan, talak, sumpah, atau perbuatan yang berdasarkan keinginan dua belah pihak seperti jual beli,
perwakilan, dan gadai.
Pengertian di atas mencakup semua jenis akad, baik yang berasal dari dua pihak atau lebih, seperti akad jual-
beli, sewa-menyewa, akad nikah serta yang sejenisnya, maupun akad yang berasal dari satu pihak saja, seperti
akad sumpah, nadzar, talak, akad memberikan hadiah, shadaqah, dan lain-lainnya, termasuk komitmen pribadi
untuk melaksanakan semua kewajiban agama dan meninggalkan semua larangan dalam agama.
2. Pengertian Khusus
Pengertian khusus akad dinyatakan oleh ulama fiqh antara lain:
Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara‟ yang berdampak pada objeknya.
Pengertian akad dalam maknanya yang khusus inilah yang langsung dapat dipahami sebagai pengertian akad
dalam fikih muamalat maliyah.
RUKUN DAN SYARAT AKAD
• Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:
• Al-„Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad. Contoh: penjual dan pembeli. Disyaratkan:
baligh, berakal, dengan kehendak sendiri.
• Maqud „Alaih, yakni objek akad, sesuatu yang diakadkan. Contoh: harga dan barang (sesuatu yang
dihargakan), disyaratkan:
• a. Maqud alaih harus sesuai dengan ketentuan syara‟.
• b. Barang itu dapat diserahkan waktu akad.
• c. Ma’qud alaih harus diketahui oleh kedua belah pihak yang berakad.
• d. Ma’qud alaih adalah milik sendiri orang yang berakad.
• Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul,
disyaratkan:
• a. Keadaan ijab dan qabul berhubungan (tidak berselang lama).
• b. Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafadz keduanya berlainan.
• c. Keduanya tidak disandarkan / digantungkan dengan urusan yang lain, seperti: Kalau saya jadi pergi, saya
akan jual barang ini dengan harga sekian.
• d. Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu, seperti sebulan, setahun, tidak sah.
• Fuqaha Hanafiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan Jumhur fuqaha di atas. Bagi mereka, rukun
akad adalah unsur-unsur pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yakni sighat akad (ijab dan
qabul). Al-„Aqidain dan Maqud „Alaih bukan merupakan rukun akad sebab keberadaannya sudah pasti.
Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan dengan pembahasan rukun akad, dapat dijelaskan bahwa
rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qabul.
DEFINISI IJAB QABUL
• Ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan
keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang
menyerahkan maupun yang menerima. Sedangkan qabul adalah
orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang
menunjukkan keridaan atas ucapan orang pertama.
MACAM-MACAM AKAD
• Akad dibagi menjadi beberapa macam, bergantung pada sudut pandangnya (Az-
Zarkasyi, 1985, 2: 469). Diantara macam-macam akad antara lain:
• Akad ditinjau dari keterkaitannya dengan harta, dibagi menjadi dua:
1. Akad maliyah, yaitu semua akad yang melibatkan harta atau benda tertentu.
Baik untuk transaksi komersial, seperti jual-beli maupun non komersial, seperti
hibah, hadiah. Termasuk juga akad terkait dengan pekerjaan dengan
kompensasi tertentu, seperti akad mudharabah, muzara‟ah atau musaqah.
2. Akad ghairu maliyah, adalah akad yang hanya terkait dengan perbuatan saja
tanpa ada kompensasi tertentu. Seperti akad hudnah (perjanjian damai),
mewakilkan, wasiat, dll.
• Akad ditinjau dari tujuannya, dibagi dua:
1. Akad Tabarru‟ (akad non komersial). Contoh akad hibah, „ariyah, wadi‟ah,
wakalah, rahn, wasiat, hutang-piutang, dan lainnya.
2. Akad Mu‟awadhat / Tijari (akad komersial). Contoh: jual beli, salam, tukar-
menukar mata uang, ijarah, istishna`, mudharabah, muzara‟ah, musaqah, dan
lainnya.
• Pembagian akad berdasarkan sah dan tidaknya. Akad ditinjau dari
hukumnya, apakah diakui secara syariat ataukah tidak dibagi menjadi
dua:
1. Akad yang sah. Akad dianggap sah jika semua syarat dan rukunnya
terpenuhi. Konsekwensi akad yang sah adalah adanya perpindahan
hak kemanfaatan dalam sebuah transaksi. Misalnya, dalam akad jual
beli yang sah maka konsekwensinya, penjual berhak mendapatkan
uang dan pembeli berhak mendapatkan barang.
2. Akad yang tidak sah. Kebalikan dari akad yang sah, akad dianggap
tidak sah jika tidak diakui secara syariat dan tidak memberikan
konsekwensi apapun. Baik karena bentuk transaksinya yang
dilarang, seperti judi, riba, jual beli bangkai, dan seterusnya.
Maupun karena syarat atau rukun transaksi tidak terpenuhi,
misalnya menjual barang hilang, transaksi yang dilakukan orang gila,
dan lainnya.
BERAKHIRNYA AKAD

• Akad dapat berakhir sebagaimana pada


keadaan berikut ini: ketika akad itu rusak
(ada unsur yang merusak akad), adanya
khiyar (opsi), pembatalan akad, tidak
mungkin melaksanakan akad seperti
meninggal dunia, dan masa akad berakhir.
PENGERTIAN DAN HUKUM JUAL-BELI
• Jual beli dalam bahasa Arab disebut Al-ba‟i. Menurut bahasa, jual beli artinya
pertukaran secara mutlak (Sabiq, 1977: 46). Adapun menurut istilah adalah penukaran
barang dengan uang antara penjual dan pembeli dengan cara tertentu yang telah
disepakati.
• Dari pengertian diatas, status kepemilikan barang berpindah dari penjual kepada
pembeli, dan penjual berhak menerima kepemilikan uang dan pembeli pun berhak
menerima kepemilikan barang.
• Jual beli hukumnya boleh. Berdasarkan Q.S al-Baqarah (2): 275).
• Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah Saw. “Apabila dua orang melakukan jual
beli, maka masing-masingnya berhak khiyar (meneruskan atau membatalkan jual beli)
selama keduanya belum berpisah, sedangkan keduanya berkumpul bersama.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
• Berdasarkan ijma. Kaum muslimin sepakat tentang kebolehan jual beli secara garis
besar. Di samping itu, kebutuhan manusia menghendaki untuk diadakan jual beli,
karena manusia butuh kepada apa yang ada pada orang lain, yang maslahatnya terkait
dengannya dan tidak ada jalan untuk memperolehnya dengan cara yang benar kecuali
dengan melakukan jual beli, maka hikmah menghendaki untuk dibolehkannya perkara
ini dan disyariatkannya untuk tercapai maksud yang diinginkan.
RUKUN DAN SYARAT JUAL-BELI
• Dalam jual beli terdapat rukun dan syarat, sebagaimana
berikut:
1. Aqidan (penjual dan pembeli),:
2. Ma’qud ‘Alaih, yaitu sesuatu atau barang yang
diakadkan;
3. Ijab qabul atau serah terima.
• Untuk Syarat dalam Jual Beli silahkan dilihat dalam Buku
PAI 3 MUAMALAH LSIPK UNISBA.
KHIYAR DALAM JUAL-BELI
• Khiyar maksudnya bahwa penjual dan pembeli berhak meneruskan atau membatalkan
akad jual beli. Hukum asal jual beli adalah lazim (mesti dilanjutkan) ketika terjadi
dengan terpenuhi rukun dan syaratnya, dan tidak ada hak bagi orang yang melakukan
akad menarik kembali.
• Khiyar ada beberapa macam:
1. khiyar majlis, yaitu khiyar di tempat yang di sana terjadi jual beli, dimana masing-
masing penjual dan pembeli berhak khiyar selama di majlis akad dan belum berpisah.
2. khiyar syarat (garansi), yaitu kedua orang penjual dan pembeli atau salah satunya
mensyaratkan khiyar sampai waktu tertentu untuk melanjutkan akad jual beli atau
membatalkannya.
3. khiyar „aib, yaitu khiyar yang menjadi hak pembeli ketika menemukan cacat pada
barang yang dibelinya, tidak diberitahukan penjual atau penjual tidak mengetahuinya,
dan nilai barang menjadi berkurang karena cacat tersebut.
4. khiyar tadlis, yaitu seorang penjual menipu pembeli dengan melebihkan harga
barang.
5. PENJELASAN MENGENAI KHIYAR BESERTA DALIL DAN CONTOH LIHAT DALAM BUKU
PAI MUAMALAH 3 LSIKPK UNISBA.
Al-Qardh (Hutang Piutang) dan Hukumnya
• Di dalam fiqh Islam, hutang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-
Qardh (Zuhaili, 1989, 5: 3786) secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath‟u yang berarti
memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh.
Karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang kepada orang
yang menerima hutang. Menurut istilah, hutang piutang adalah perjanjian akad antara
dua orang, salah satunya memberikan harta kepada orang lainnya. Lalu orang yang
menerima harta itu akan mengembalikannya sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.
• Pada dasarnya memberi hutang kepada orang lain hukumnya sunat, sama halnya
tolong-menolong dalam kebaikan. Namun demikian hukum memberi hutang bisa
menjadi wajib dan juga bisa menjadi haram, tergantung kepada siapa diberikannya
hutang itu dan untuk apa digunakannya hutang yang diberikan itu. Jika hutang diberikan
kepada orang yang sangat membutuhkannya untuk mempertahankan kehidupannya
seperti fakir miskin atau gharim dan sebagainya, maka hukumnya wajib. Sebaliknya,
apabila dilihat dari segi barang yang diutangkan, misalnya hutang untuk kepentingan
maksiat ataupun dihambur-hamburkan maka hukumnya haram. Allah ta‟ala berfirman:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. Al-Maidah (5): 2).
RUKUN DAN SYARAT UTANG-PIUTANG
a. Orang yang berutang dan berpiutang, disyaratkan
keduanya baligh, berakal, dengan kehendak sendiri
(tanpa tekanan atau paksaan).
b. Uang dan barang yang dipiutangkan, disyaratkan ada
manfaatnya, dapat diserahterimakan, kepunyaan
sendiri dan diketahui.
c. Ijab qabul atau serah terima.
Menambah Jumlah Nilai Pengembalian Hutang
• Menambah jumlah nilai pengembalian hutang hukumnya boleh jika tidak atas
perjanjian sebelumnnya, didasarkan pada kemauan sendiri dari orang yang
berutang. Maka orang yang mengutangi sah mengambil tambahan tadi dan hal ini
akan menjadi kebaikan bagi kedua belah pihak. Namun lain halnya jika
pengembalian itu dikehendaki oleh yang berpiutang atau ada perjanjian terlebih
dahulu, maka hukumnya sama dengan riba.
• Sedangkan melambat-lambatkan pembayaran hutang termasuk perbuatan dzalim,
karena termasuk mengulur-ulur perjanjian (tidak menepati). Itulah sebabnya jika
terjadi transaksi hutang-piutang hendaknya dilakukan secara tertulis, agar mudah
dalam menyelesaikannya. Rasulullah Saw. bersabda: Mengulur-ulur waktu
pembayaran hutang bagi yang mampu adalah kedzaliman. Dan jika salah seorang
diantara kalian diikutkan (hutangnya dipindahkan) kepada orang yang mampu,
maka hendaklah dia mengikutinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
• Dengan demikian pembayaran hutang diwajibkan secara segera membayarnya,
apabila pihak yang berutang mempunyai kemampuan. Karena jika mampu
membayar, kemudian dia tidak mau membayarnya, maka selain telah berbuat
dzalim, dia pun merugikan (mengecewakan) pihak lainnya.
Ariyah (Pinjam Meminjam)
• Ariyah adalah mengambil manfaat sesuatu barang yang halal
kemanfaatannya tanpa mengurangi atau merusak barang pokoknya.
• Maksudnya, meminjam barang orang lain untuk diambil manfaatnya,
setelah itu dikembalikan dalam keadaan utuh seperti semula. Barang
yang dipinjamkan untuk dimanfaatkan itu disebut Ariyah. Contoh:
Seorang meminjam motor kepada orang lain untuk pergi ke suatu
tempat lalu ia mengembalikannya.
Hukum Ariyah
• Hukum Ariyah adalah masyru‟ (disyariatkan) berdasarkan keumuman firman
Allah Ta‟ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa.” (QS. Al-Maidah (5): 2). Allah Swt. juga mencela mereka yang
mencegah barang yang berguna ketika orang lain hendak meminjamnya,
firman-Nya: “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-
Ma‟un (107): 7). Al-Ma‟un atau barang yang berguna maksudnya barang yang
biasa dipinjam tetangga, seperti bejana, periuk, dan sebagainya.
• Sedangkan dalam hadis disebutkan, bahwa Nabi Swt pernah meminjam baju
besi milik Shafwan bin Umayyah pada perang Hunain (HR. Ahmad dan Abu
Dawud). Disamping itu, Anas ra meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu „alaihi
wa sallam pernah meminjam kuda milik Abu Thalhah radhiyallahu „anhu.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Rukun dan Syarat Ariyah
a. Orang yang meminjamkan (Mu‟ir) dan peminjam (Musta‟ir) adalah orang
yang sah melakukan tindakan hukum.
b. Barang yang dipinjamkan (Mu‟ar) itu milik pemberi pinjaman, barang itu
bermanfaat dan ada hak meminjamkan dari pemiliknya.
c. Manfaat yang diambil oleh peminjam dibolehkan hukum (Al-Fiqh Al-
Muyassar, 6: 191). Misal, tidak sah meminjamkan bejana dari emas atau
perak untuk dipakai minum.
d. Kedua belah pihak melakukan serah terima baik secara lisan maupun
secara tertulis. e. Barang yang dipinjamkan harus tetap setelah
dimanfaatkan, jika berupa barang yang akan binasa seperti makanan,
maka tidak sah meminjamkannya.
Rahn (Gadai)
• Rahn menurut bahasa bermakna tsubut (tetap, tidak bergerak) dan dawam (terus-
menerus) (Al-Fiqh Al-Muyassar, 6: 100). Rahn, menurut istilah berarti menjadikan suatu
barang sebagai jaminan terhadap utang, agar utang dapat dibayarkan darinya atau dari
harganya jika kesulitan membayarnya. Ada juga yang memberikan ta‟rif sebagai berikut,
“Menjadikan suatu barang yang bernilai dalam pandangan syara‟ sebagai jaminan bagi
utang, di mana utang bisa diambil atau bisa diambil sebagiannya dari barang itu.”
• Oleh karena itu, jika ada seorang yang berutang kepada orang lain, lalu ia menjadikan
jaminannya benda tidak bergerak (seperti tanah dan sebagainya) atau hewan yang
ditahan di tangan pemberi pinjaman sampai nanti dibayar utangnya, maka barang itu
disebut rahn secara syara‟.
• Bagi penjamin utang dengan barang gadai disebut rahin (penggadai), bagi orang yang
diserahi barang tersebut disebut murtahin (penerima gadai) dan barang yang
digadaikan disebut rahn.
Dalil Disyari’atkannya Rahn
• Rahn hukumnya boleh berdasarkan firman Allah Ta‟ala: Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). (QS. Al-Baqarah (2): 283).
• Dibatasi dengan „perjalanan‟ hanyalah memperhatikan kebiasaan dan tidak
berlaku mafhumnya. Hal itu, karena syariat gadai juga berlaku ketika tidak
dalam perjalanan (hadhar). Disebutkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu
„anha, bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam membeli makanan dari orang
Yahudi yang akan dibayar Beliau pada waktu tertentu di kemudian hari, lalu
Beliau menggadaikan baju besinya kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, diantara hikmah disyariatkannya rahn adalah untuk menjaga
harta dan menyelamatkannya dari kehilangan.
Rukun dan Syarat Rahn
• Orang yang melakukan akad yaitu orang yang menggadaikan (rahin)
dan orang yang menerima gadai (murtahin). Disyaratkan kedua pihak
itu jaizut tasharruf (boleh melakukan tindakan hukum), berakal,
baligh.
• Adanya barang yang digadaikan yang dijadikan jaminan. Disyaratkan
barang itu sesuatu yang segera dapat diterima dan dikuasai oleh
orang yang menerima gadai (murtahin), bukan dalam penguasaan
orang lain. Juga barang rahn tersebut termasuk barang yang sah dijual
belikan agar bisa diambil dari barang tersebut untuk menutupi utang.
• Akad atau perjanjian rahn.
Murtahin (Penerima Gadai)
Memanfaatkan Rahn (Barang Gadaian)
• „Akad rahn adalah „akad yang dimaksudkan untuk mencari kepastian dan menjamin utang,
bukanlah maksudnya untuk dicari hasil dan keuntungannya. Jika seperti itu, maka tidak halal bagi
murtahin memanfaatkan barang gadaian meskipun diizinkan oleh raahin karena hal itu termasuk
pinjaman yang menarik manfaat dan termasuk riba.
• Tentunya hal ini apabila rahn tersebut bukan berupa hewan yang bisa ditunggangi atau hewan
yang bisa diambil susunya.
• Jika berupa binatang, maka murtahin berhak memanfaatkan sesuai nafkah yang diberikan
kepadanya. Jika murtahin telah menafkahinya, maka ia berhak memanfaatkan sehingga ia boleh
menungganginya jika bisa ditunggangi seperti unta, kuda, bighal, dan sebagainya. Demikian juga
menaruh barang ke atasnya atau mengambil susunya seperti sapi, kambing dan sebagainya. Dalil-
dalilnya adalah sebagai berikut:
• Dari Abu Hurairah dari Nabi Swt. Beliau bersabda, “Jika digadaikan maka susu hewan boleh
diperah sesuai dengan nafkah yang diberikan kepada hewan tersebut, dan punggung hewan
boleh dinaiki. Orang yang menaiki dan memerah wajib memberikan nafkahnya.” (HR. Abu Daud).
Biaya Rahn dan Manfaatnya
• Biaya untuk rahn, upah menjaganya dan upah mengembalikannya
ditanggung oleh pemiliknya. Demikian juga manfaat yang ada dari
rahn adalah untuk rahin, juga berkembangnya sehingga digabungkan
dengan rahn asalnya, misalnya lahir anaknya, ada bulunya, ada
buahnya atau ada susunya. Jika ternyata murtahin (penerima gadai)
mengeluarkan biaya terhadap rahn (barang gadai) dengan izin hakim
dengan keadaan rahin yang tidak ada atau rahin enggan membiayai,
maka hal itu menjadi utang yang ditanggung rahin untuk murtahin.

Anda mungkin juga menyukai