Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta atas segala kehidupan

yang senantiasa memberikan rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua

saudara/saudari guna perbaikan di masa yang akan datang. Harapan kami semoga makalah

ini dapat bermanfaat bagi semua saudara/saudari.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN................................................................................................. 3

1.1. LATAR BELAKANG....................................................................................... 3

1.2. RUMUSAN MASALAH................................................................................... 3

BAB II : PEMBAHASAN................................................................................................... 4

2.1 PENGERTIAN AKAD..................................................................................... 4

2.2 RUKUN-RUKUN AKAD................................................................................ 6

2.3 SYARAT-SYARAT AKAD............................................................................ 7

2.4 MACAM-MACAM AKAD............................................................................. 8

2.5 AKAD KONSEKUENSI HUKUMNYA ........................................................ 14

BAB III : PENUTUP........................................................................................................... 16

3.1 KESIMPULAN.................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang

lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan

hidup, mempunyai aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan

kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan

keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad. Islam memberikan aturan yang

cukup jelas dalam akad untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pembahasan fiqh, akad yang dapat digunakan bertransaksi sangat

beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh karena

itu, makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai hal yang terkait dengan

akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa pengertian, syarat – syarat dan rukun - rukun aqad ?

1.2.2. Apa macam-macam aqad ?

1.2.3. Bagaimana konsekuensi hukum dalam aqad ?

1.3. Tujuan penulisan untuk mengetahui apa itu akad, bagaimana prosesnya.

iii
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Aqad

Menurut bahasa ‘Aqad mempunyai beberapa arti, antara lain:

1. Mengikat, yaitu: mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan

yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong

benda.

2. Sambungan, yaitu: sambungan

yang memegang kedua ujung itu

dan mengikatnya.

3. Janji, sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu”.

Menurut istilah (terminology), yang dimaksud akad adalah:

1. Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua

belah pihak.

2. Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang

berpengaruh pada kedua pihak.

iv
3. Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya serah

terima yang disertai dengan kekuatan hukum.

4. Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara serah terima.

Menurut terminologi

ulama fiqih, akad dapat

ditinjau dari segi yaitu

secara

umum dan secara khusus :

a. Pengertian umum

Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan

pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiya, dan

Hanabilah, yaitu :

v
Artinya:

“segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdassarkan

keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang

pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli,

perwakilan, dan gadai.”

b. Pengertian khusus

Pengertian akad dalam artia khusus yang dikemukakan ulama fiqhi, antara

lain :

Artinya: perikatan yang ditetapkan dengan ijab – qabul berdasarkan ketentuan

syara’ yang berdampak pada objeknya.”

Artinya: “Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara

syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.”

Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual “Saya telah menjual barang ini

kepadamu.” atau “Saya serahkan barang ini kepadamu.” Contoh qabul, “Saya beli

barangmu.” atau “Saya terima barangmu.” Dengan demikian, ijab-qabul adalah suatu

perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua

orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan

syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian

dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan

vi
pada keridaan dan syariat Islam.

2.2 Rukun – rukun Akad

Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih

berdasarkan keridhaan masing – masing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan

iltijam yang diwujudkan oleh akad, Rukun-rukun aqad ialah sebagai berikut:

1. ‘Aqad ialah orang yang berakad, terkadang maisng-masing pihak terdiri dari satu

orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli beras di

pasar biasanya masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan

sesuatu kepada pihak lain yang terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan

pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat

untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain yang terdiri dari beberapa orang.

Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki haq(aqid ashli) dan terkadang

merupakan wakil dari yang memiliki haq.

2. Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual

dalam akad jual beli, dalam akad hibbah (pemberian), dalam aqad gadai, utang yang

dipinjam seseorang dalam akad kafalah.

3. Maudhu’ al ‘aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad,

maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya ialah

memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad

hibah ialah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya

tanpa ada pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok akad ijarah adalah memberikan manfaat

dengan adanya pengganti.

vii
4. Sighat al ‘aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari

salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad,

sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan

setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengalaman dewasa ini ialah

bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli

sesuatu terkadang tidak berhadapan,

2.3. Syarat-syarat Aqad

Setiap pembentuk, aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’

yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam.

1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya

dalam berbagai akad.

2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada

dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan)

yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi

dalam pernikahan. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam

akad.

1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang

yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah

pengampuan (mahjur) karena boros atau yang lainnya.

2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

3. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak

melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.

viii
4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah.

5. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai

imbangan amanah.

6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka bila orang yang

berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.

7. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah

berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

2.4. Macam-macam Aqad

Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan dijelaskan macam-

macam akad.

1.‘Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad.

Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad nikah ialah pernyataan yang

tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan

setelah adanya akad.

2. ‘Aqad Mu’alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang

telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang

diakadkan setelah adanya pembayaran.

3. ‘Aqad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat

mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya

ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu

akad, tetapi belum mempunyai akibat hokum sebelum tibanya waktu yang telah

ditentukan.

ix
Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan berikut.

1. Dalam keadaan muwadha’ah (taljiah), yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia

untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya. Hal ini ada tiga bentuk seperti di

bawah ini.

a. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan

mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah saja untuk menimbulkan

sangkaan orang lain bahwa benda tersebut telah dijual, misalnya menjual harta

untuk menghindari pembayaran utang. Hal ini disebut mu’tawadhah pada asal

akad.

b. Mu’awadlah terhadap benda yang digunakan untuk akad, misalnya dua orang

bersepakat menyebut mahar dalam jumlah yang besar di hadapan naib, wali

pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita sepakat untuk menyebut dalam

jumlah yang besar, sedangkan mereka sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang

lebih kecil dari jumlah yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut juga

muwadha’ah fi al-badal.

c. Mu’wadlah pada pelaku (isim musta’ar), ialah seseorang yang secara lahiriah

membeli sesuatu atas namanya sendiri, secara batiniah untuk keperluan orang lain,

misalnya seseorang membeli mobil atas namanya, kemudian diatur surat-surat dan

keperluan-keperluan lainnya. Setelah selesai semuanya, dia mengumumkan bahwa

akad yang telah ia dilakukan sebenarnya untuk orang lain, pembeli hanyalah

merupakan wakil yang membeli dengan sebenarnya, hal ini sama dengan wakalah

sirriyah (perwakilah rahasia).

x
2. Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, mengolok-olok (istihza)

yang tidak dihendaki adanya akibat hokum dari akad tersebut. Hazl berwujud

beberapa bentuk, antara lain muwadha’ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti

kesepakatan dua orang yang melakukan akad bahwa akad itu hanya main-main, atau

disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; “Buku ini pura-pura saya jual

kepada Anda” atau dengan cara-cara lain yang menunjukkan adanya karinah hazl.

Kecederaan-kecederaan kehendak disebabkan hal-hal berikut.

a. Ikrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.

b. Khilabah, ialah bujukan yang membuat seseorang menjual suatu benda, terjadi

pada akad.

c. Ghalath, ialah persangkaan yang salah, misalnya seseorang membeli sebuah motor,

ia menyangka motor tersebut mesinnya masih normal, tetapi sebenarnya motor

tersebut telah turun mesin.

Selain akad munjiz, mu’alaq dan, mudhaf, macam-macam akad beraneka ragam

tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada perbedaan-perbedaan tinjuan, akad akan

ditinjau dari segi-segi berikut

1. Ada dan tidaknya qismah pada akad, maka akan terjadi dua bagian:

a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-

hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.

b. Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara dan belum

ditetapkan hukum-hukumnya.

2. Disyari’atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi dua bagian:

xi
a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual

beli.

b. Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang

dalam perut induknya.

3. Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua:

a. Akad shahih, yaitu aqad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, baik

syarat yang khusus maupun syarat yang umum.

b. Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-

syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak mengikat pihak-pihak yang

beraqad,baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpa wali.

4. Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad terbagi dua:

a. Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan

barang-barang seperti jual beli.

b. Akad ghair ‘ainiyah, yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-

barang, karena tanpa penyerahan barang-barang pun akad sudah berhasil, seperti akad

amanah.

5. Cara melakukannya, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:

a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri

oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.

b. Akad ridha’iyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi

karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.

6. Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:

xii
a. Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.

b. Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti

akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta).

7. Luzum dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi empat:

a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti

akad kawin, manfaat perkawinan tidak bisa dipindahkan kepada orang lain, seperti

bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan syara yang dibenarkan syara seperti

talak dan khulu’.

b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dirusakkan,

seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya.

c. Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadai

sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan melepaskan rahn atau menebus

kembali barangnya.

d. Akad lazimah yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah

satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan tanpa menunggu

persetujuan yang menerima titipan atau yang menerima titipan mulai mengembalikan

barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang

menitipkan.

8. Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian:

a. Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli.

b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan,

seperti hibbah.

xiii
c. Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya

seperti qaradh dan kafalah.

9. Harus dibayar ganti dan tidaknya, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian:

a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggungjawab pihak kedua sesudah benda-

benda itu diterima seperti qaradh.

b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang

memegang barang, seperti titipan (ida’).

c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsure, salah satu segi merupakan dhaman,

menurut segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn (gadai).

10. Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dibagi menjadi lima golongan:

a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli.

b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti syirkah dan

mudharabah.

c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah.

d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.

e. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan.

11. Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:

a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu

yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jual beli.

b. Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti

I’arah.

12. Asliyah dan thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:

xiv
a. Akad Asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari

yang lain, seperti jual beli dan I’arah.

b. Akad thabi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya

rahn tidak dilakukan bila tidak ada utang.

2.5. Akad Konsekwensi hukumnya

Akad yang telah mempunyai pengaruh ( akibat hukum ), baik pengaruh khusus,

pengaruh umum. Pengaruh khusus merupakan pengeruh asal akad atau tujuan mendasar

dari akad, seperti pemindahan pemilikan pada akad jual beli dan hibah, pemindahan

pemilikan manfaat pada akad ijarah, ariyah, menghalalkan hubungan suami istri pada

akad nikah, dan sebagainya. Pengaruh umum merupakan pengaruh yang berserikat pada

setiap akad atau keseluruhan dari hukum-hukum dan hasilnya. Akibat hukum akad

tergantung pada tujuan seseorang melakukan akad tersebut, yaitu:

1. Pemberian hak milik dengan imbalan disebut akad tukar menukar mu’awadah, yang

tanpa imbalan disebut akad kebijakan tabarru’.

2. Akad berbentuk melepaskan hak tanpa atau dengan ganti disebut akad pelepasan hak

isqat.

3. Jika akad bertujuan melepaskan kekuasaan untuk melakukan suatu perbuatan kepada

orang lain, seperti memberikan kuasa kepada seseorang atas namanya, maka akad ini

disebut akad pelepasan itlaq.

4. Jika akad bertujuan yang sebaliknya, yakni mengikat dari wewenang berbuat yang

semula dimilikinya, disebut akad pengikatan takyid.

xv
5. Jika akad bertujuan bekerja sama untuk memperoleh suatu hasil/keuntungan disebut

akad persekutuan syirkah.

6. Jika akad bertujuan untuk memperkuat akad yang lain, seperti akad gadai untuk

memperkuat utang piutang, disebut akad pertanggungan daman.

xvi
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Menurut istilah (terminology), yang dimaksud akad adalah Perikatan ijab dan qabul

yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Berkumpulnya

serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua

pihak. Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya

serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum. Ikatan atas bagian-bagian tasharruf

menurut syara’ dengan cara serah terima.

Rukun-rukun akad

1. Aqid

2. Ma’qud alaih

3. Maudhu’ al aqad

4. Sigad al aqad

xvii

Anda mungkin juga menyukai