Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH AKAD JUAL BELI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah: Fikih Muamalah


Dosen Pengampu: Dr. SYARIFUDDIN, M.Ag

Disusun oleh:

Kelompok 3

1. Norlela (2114140258)
2. Nur Muhibbah (2114140235)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PRODI AKUNTANSI SYARIAH
TAHUN AJARAN 2022 M/1443 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga tim penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
waktu yang telah ditentukan. Tidak lupa solawat serta salam selalu tercurah
limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawa kita semua dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang.

Ungkapan rasa terimakasih juga tim penulis haturkan kepada Dr. SYARIFUDDIN,
M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Fikih Muamalah yang telah
membimbing dan juga memberikan semangat kepada tim penulis, sehingga tim
penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan judul “Akad jual beli”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Semua
ini dikarenakan kurangnya ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari para pembaca
yang bersifat persuasif. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membaca.

Palangkaraya, 16 Oktober 2022

Tim
Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Pengertian Akad Jual Beli.............................................................................3

B. Syarat dan Rukun Jual Beli...........................................................................4

C. Jual beli batil dan fasid.................................................................................8

D. Khiyar............................................................................................................9

E. Macam macam jual beli..............................................................................17

BAB III PENUTUP...............................................................................................21

A. Kesimpulan.................................................................................................21

B. Saran............................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jual beli adalah aktifvitas yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia
termasuk juga umat islam. Jual beli merupakan pertukaran harta dengan harta,
dengan jalam melepakan hak milik daru seseorang terhadap orang lainnya
atas ddasar kerelaan kedua belah pihak. Dalam jual beli, ada pula yang
disebut dengan akad, akad ini merupakan jaminan dan janji yang mengikat
hubungan kedua pihak. Didalam transaksi jual beli akad memiliki peran yang
sangat penting karena terjadinya transaksi tergantung seberapa baik dan rinci
akad yang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh allah SWT,
sehingga islam mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia untuk
dijadikan pedoman hidup. Aspek yang diatur dalam islam sendiri yaitu aspek
jual beli. Hingga dalam jual beli terdapat beberapa syarat dan rukun yang
dipenuhi agar terjadi transaksi jual beli yang sah. Suatu akad jual beli dapat
dikatakan jual beli yang sah apabila itu disyariatkan, memenuhi rukun yang
syarat yang telah ditentukan.
Harta yang dimiliki seseorang secara sah, belum dapat digunakan untuk
betransaksi ekonomi secara hukum, apabila pemilik harta tersebut tidak
melakukan akad (kontrak) dengan pihak kedua (yang meminta akad) yang
diwujudkan dalam ijab qabul. Dan juga akad jual beli dalam islam selalu
dilandasi oleh nilai moral dan al-quran maupun hadis, agar terjadi transaksi
yang adil. Maka dalam makalah ini akan membahas tentang akad jual beli
yang baik sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian akad jual beli?


2. Apa syarat dan rukun jual beli?
3. Apa yang dimaksud dengan jual beli batil dan fasid?

1
2

4. Bagaimana konsep dan hikmah khiyar?


5. Apa macam macam jual beli?

C. Tujuan Penulisan

1. Mahasisawa mengetahui pengertiam akad jual beli.


2. Mahasiswa mengetahui syarat dan rukun dalam jual beli.
3. Mahasiswa mengetahui jual beli batil dan fasid
4. Mahasiswa mengetahui konsep dan hikmah khiyar.
5. Mahasiswa mengetahui macam macam jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Jual Beli

Kata akad berasal dari bahasa Arab al-'aqd yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara termologi fiqh,
akad didefinisikam sebagai perikatan ijab ( pernyaraan melakukan ikatan) dan
Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh kepada objel perikatan. Pencantuman kata yang “sesuai dengan
kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukam oleh
dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan
kehendak syara. Contohnya seperti kesepakatam untuk melakukan transaksi
riba, Adapun pencantuman kata “berpengaruh pada objek perikatan”
maksudnya adalah terjadinya perpindahan kepemilikan dari satu pihak (yang
melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakn Kabul).
Adapun pengertian akad Menurut Hasbi ash Shiddieqy yang mengutip
definisi yang dikemukakan oleh Al-Sanhury bahwa akad merupakan
perikatan ijab dan Kabul yang dibenarkan syara yang menetapkan keerelaan
kedua belah pihak. 1Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaylî dalam kitabnya
al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini
bahwa akad adalah hubungan/keterkaitan antara ijâb dan qabûl atas diskursus
yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.2 Dan ada
pula definisi akad lainnya yaitu "Ikatan atas bagian-bagian tasharruf
(pengelolaan) menurut syara dengan cara serah terima". Berasarkan
pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa akad adalah “pertalian
ijab (ungkapan tawaran di satu pihak pihak yang mengadakan kontrak)

1
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Muamalah (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 50-51
2
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm
48

3
4

dengan Kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak pihak lain) yang


memberikan pengaruh padda suatu perjanjian/kontak.3
Jual beli menurut Sayyid Sâbiq adalah pertukaran harta dengan harta atas
dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Sedangkan menurut Abû Bakar al Hushnî bahwa jual beli itu
adalah pertukaran harta dengan harta yang diterima dengan menggunakan ijab
dan kabul dengan cara yang diizinkan oleh syara’.
Jadi akad jual beli adalah suatu kesepakatan tentang pertukaran harta
antara penjual dan pembeli dalam aktivitas perdagangan tanpanya akad maka
kegiatan jual beli dianggap tidak sah

B. Syarat dan Rukun Jual Beli

Umumnya para ulama sepakat bahwa setidaknya ada tiga perkara yang
menjadi rukun dalam sebuah jual-beli, yaitu adanya pelaku yaitu penjual dan
pembeli yang memenuhi syarata danya akad atau transaksi, adanya barang
atau jasa yang diperjual belikan.
Berikut merupakan rukun dan syarat jual beli:
1. Penjual dan pembeli
Menurut para ulama syarat utama yang harus dimiliki oleh penjual
dan juga pembeli adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk
boleh melakukan transaksi muamalah.
Adapun syarat syarat penjual dan pembeli adalah :
a. Berakal yang dimaksud dengan berakal adalah warasnya akal
seseorang dalam arti keduanya bukan orang gila, alias tidak waras.
Apabila satu dari keduannya, entah si pembeli atau si penjual
termasuk orang yang dinyatakan tidka sehat akalnya, maka transaksi
jual beli yang terjadi dianggap tiddak sah secara hukum syariah.
b. Baligh, Jual beli yang dilakukan oleh seseornag yang belum balik
dianggap tiddak sah, kecuali bila yang diperjual belikan hanyalah
benda-benda yang nilainya kecil. Namun jika anak kecil ditugasskan
3
Agustri, Fiqih Muamallah Konsep-Konsep Dasar dan Aplikasinya dalam Bermuamalah
(Yogyakarta: Samudra Biru, 2020) hlm 70
5

untuk berjual-beli oleh orang tuanya, maka para ulama


memperbolehkan. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk
membeli suatu benda du sebuah tolo, jual beli itu sah karena pada
dasarnya yang menjadu pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisis
anak saat itu hanyalah suruhan dari ayahnya saja.
c. Tidak harus muslim, para ulama sepakat bahwa syarat jual beli yang
berkaitan dengan penjual dan pembeli, tidak ada kaitannya dengan
masalah agama dan keimanan (tidak harus muslim). Maka seorang
muslim bejual beli dan bermuamalah secara harta dengan orang yang
bukan muslim.
2. Ijab qabul
Rukun yang kedua dari jual-beli adalah adanya ijab qabul, yaitu
sighat yang menyatakan keridhaan atas akad atau kesepakatan antara
penjual dan pembeli. Dan shighat itu terdiri dari dua unsur, yaitu ijab dan
qabul. Hanya saja ada sedikit perbedaan antara jumhur ulama dengan
mazhab Al-Hanafiyah tentang mana yang disebut ijab dan mana yang
disebut qabul.
Menurut jumhur ulama yang disebut dengan ijab adalah apa saja
yang timbul dari pihak penjual yang menunjukkan keridhaannya. Jamhur
Misalnya seorang penjual mengatakan kepada pihak pembeli,"Saya jual
buku ini kepada Anda dengan harta 10 ribu rupiah tunai”. Sedangkan
qabul menurut para jumhur ulama adalah Apa saja yang timbul dari pihak
pembelil yang menunjukkan keridhaannya. Ketika penjual mengucapkan
ijabnya kepada pembeli seperti itu , maka pihak pembeli menjawabnya
dengan sighat yang disebut qabul,"Saya beli buku yang Anda jual dengan
harga tersebut tunai"
Sedangkan mazhab Al-Hanafiah agak berbeda dalam menetapkan
yang mana ijab dan yang mana qabul. Dalam pandangan Dalam
pandangan mazhab ini, ijab adalah lafadz yang diucapkan terlebih
dahulu, siapa pun yang mengucapkannya, apakah pihak penjual atau pun
pihak pembeli. Sedangkan qabul adalah lafadz yang diucapkan
6

berikutnya setelah lafadz ijab, baik diucapkan oleh penjual atau pun oleh
pembeli.
Syarat syarat dalam ijab qabul adalah sebagai berikut:
a. Tidak Boleh Bertentangan maksudnya antara keduanya tidak boleh
terjadi pertentangan, baik dalam permasalahan barang harga atau pun
dalam masalah tunainya barang. Adapun pertentangan yang tidak
boleh seperti berbeda barang, berbeda harga, dan berbeda waktu
pembayaran.
b. Sighata madhi Dalam bahasa Arab, sighat akad harus diucapkan
dalam bentuk madhi, atau sesuatu perbuatan yang sudah lewat
waktunya. Misalnya kata bi'tuka yang berarti,"Aku telah menjual
kepadamu", atau lafadz isytara yang berarti aku telah membeli. Tujuan
penggunaan bentuk lampau (past) adalah untuk memastikan bahwa
akad ini sah dan sudah terjadi keputusan antara kedua belah pihak.
Barangkali dalam bahasa populer sering disebut dengan istilah deal.
Maka sighat itu diucapkan dalam bentuk lampau.
c. Tidak disyaratkan adanya saksi.
d. Dan boleh dengan tulisan atau isyarat Sebagian ulama mengatakan
bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila
barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem
mu'athaah, (yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk
bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Barang dan jasa
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-
belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu
harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli
menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus
memenuhi beberapa syarat:
a. Suci, para ulama menegaskan bahwa benda yang diperjualbelikan
harus benda yang suci, dan bukan benda najis atau mengandung najis.
7

Adapun yang digolongkan sebagai benda najis adalah kotoran


hewan. Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah pada dasarnya benda
najis itu haram untuk diperjual belikan, namun bila bisa diambil
manfaatnya, hukumnya boleh.
Darah termasuk benda najis, oleh karena itu haram hukumnya
diperjual-belikan dengan transaksi jual-beli. Namun bila diberikan
begitu saja tanpa imbalan, seperti donor darah, maka hukumnya
diperbolehkan.
Kulit bangkai. Kulit bangkai hukumnya najis, karena itu juga
menjadi haram untuk diperjual-belikan. Namun bila kulit itu sudah
disamak, sehingga hukumnya menjadi suci kembali, hukumnya
menjadi boleh untuk diperjual-belikan. Namun ada juga pendapat
ulama yang tetap menajiskan kulit bangkai, meski telah disamak, yaitu
sebagian ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah. Sehingga dalam
pandangan mereka, jual-beli kulit bangkai pun tetap diharamkan. Di
antara yang berpendapat demikian adalah Al Kharasyi dan Ibnu
Rusydi Al-Hafid. Ibnu Rusydi menyebutkan bahwa penyamakan tidak
ada pengaruhnya pada kesucian kulit bangkai, baik secara zhahir atau
pun batin.
Hewan najis dan buas tidak dapat diperjual belikan namun jika
bermanfaat maka diperbolehkan. Khamar juga Termasuk yang
dilarang untuk diperjual-belikan dimana umumnya para ulama
memasukkan khamar ke dalam benda najis. Dan memang ada dalil
yang secara tegas mengharamkan kita meminum serta memperjual-
belikannya.
Daging Babi Termasuk juga ikut ke dalam keumuman larangan
dalam hadits ini adalah daging babi. Daging babi itu haram dimakan,
maka otomatis hukumnya juga haram untuk diperjual-belikan. Maka
secara hukum syariah, bila umat Islam melakukan jual-beli daging
babi meski legal namun hukumnya tidak sah.
8

b. Punya manfaat yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat


secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak
memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau
merugikan manusia. Seperti hewan yang tidak bermanfaat dan juga
hewan yang madharat.
c. Dimiliki Oleh Penjualnya, tidak sah berjual-beli dengan selain
pemmilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut. menjadi wali
(al-wilayah) atau wakil. Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah)
adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau
bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda
milik anak itu. Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah
seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk
menjualkannya kepada pihak lain. Misalnya, sebuah akad jual-beli
dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian
pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu
menjadi batal dengan sendirinya.
d. Bisa Diserahkan dalam artian barang tersebut dapat diserah kan ke
pembeli. Akad yang dianggap tidak sah dalam hal ini seperti menjual
ayam yang hilang maka akad nya tidak sah, karena tidak jelas apakah
ayamnya bisa ditemukan atau tidak.
e. Harus diketahui keadaanya, barang yang tidak diketahui keadaanya,
tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak
mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi
kualitasnya. Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat - meski
hanya sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli
dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung. Dari segi
kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya,
atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuranukuran lainnya yang
dikenal di masanya.4

4
Ahmad Sarwat, Fiqih Jual-beliI (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018) hlm 12-30
9

C. Jual beli batil dan fasid

1. Jual beli batil


Dalam hal ini ada sedikit perbedaan antara jumhur ulama dengan
mazhab Al-Hanafiyah. Jumhur ulama tidak membedakan antara akad batil
dengan akad fasid. Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah membedakan antara
akad batil dan akad fasid. Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, akad
batil adalah akad yang tidak sejalan dengan syariah, baik pada hukum
dassarnya san tidaak juga pada sifatnya, Dengan pengertian akad batil ini,
akad itu bukan sekedar haram, tetapi juga tidak sah sebagai jual-beli.
2. Jual beli fasid
Menurut pandangan mazhab al-hanafiyah Akad yang sejalan dengan
syariah hanya pada asalnya, namun tidak sejalan pada sifatnya. Dengan
pengertian akad fasid ini, dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, akad
itu cuma sampai hukum haram, namun secara hukum tetap sah sebagai
transaksi. Maka kalau ada dua pihak melakukan akad jual beli yang fasid,
keduanya berdosa karena melanggar syariah, namun hukum jual-belinya
tetap sah. Konsekuensinya si penjual berhak memiliki uang pembayaran
dan si pembeli berhak memiliki barang yang telah dibelinya.
Dalam jual-beli batil, akad jual-belinya sejak dasarnya memang sudah
tidak sah. Sedangkan jual- beli fasid, akad dasarnya sudah sah, namun
pelakunya berdosa.5

D. Khiyar

1. Pengertiam khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan. Pembahasan al-khiyar
dikemukakan para ulama fiqih dalam permasalahan yang menyangkut
transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai
salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad)
ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.6

5
Ibid., hlm 39-43
6
Nasrun Haroen,.Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),.hlm.129
10

Secara termonologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan


hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan
transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang
disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan
transaksi.
Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan
transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka
lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai
dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqh, adalah
disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak
dalam mempertimbangan kemaslahatan masing-masing pihak yang
melakukan transaksi.7
Dari uraian diatas khiyar adalah hak yang dimiliki oleh salah satu pihak
atau keduanya untuk melanjutkan atau membatalkan dalam sebuah
transaksi jual beli dengan kondisi tertentu. Dan hukum khiyar dalam Islam
adalah diperbolehkan demi kemaslahatan dalam jual beli.
2. Dasar Hukum Khiyar
a. Al-Qur’an Surat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.” 8
b. Al-Hadits
“Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar
selama belum berpisah. Jika keduanya benar dan jelas maka
keduanya diberkah dalam jual beli mereka. Jika mereka

7
Ibid.
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Ponegoro,
2010),.hlm.83
11

menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah


keberkahan jual beli mereka.” (H.R Bukhari) 9
Berdasarkan ayat tersebut menerangkan hukum transaksi
secara umum lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis, dan
jual beli. Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk
memakan dan memanfaatkan harta orang lain dengan jalan yang
bathil. Kita diperbolehkan melakukan perdagangan dengan orang lain
atas dasar suka sama suka. Hal ini didukung oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori menjelaskan bahwa dalam jual beli ada
khiyar (hak pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi)
dimana jika dalam jual beli tersebut terpenuhi khiyarnya maka penjual
dan pembeli akan mendapatkan berkah. Karena jual beli yang
dilakukan dengan cara baik dan tidak ada yang disembunyikan antara
keduanya.
3. Macam-Macam Khiyar
Berikut ini adalah macam-macam khiyar: 10
a. Khiyar Majlis
Imam syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa apabila jual beli telah
terjadi, kedua belah pihak mempunyai hak khiyar majlis selama
mereka belum berpisah dan menetapkan pilihannya untuk
melangsungkan jual belinya.
Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa kedua belah
pihak tidak mempunyai hak khiyarul majlis. Alasannya adalah
lazimnya jual beli itu karena selesainya ijab kabul jual beli dan
berlaku menurut syara’ maka tidak diperlukannya lagi khiyar majlis.
Adapun pendapat Imam Malik dan Hanifah meniadakan khiyar
majlis dan perikatan itu apabila telah berakhir ijab dan kabul maka
tidak ada khiyar lagi, selain khiyar syarat. Mereka tidak mengamalkan

9
Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Fathul Bari (Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhar, terj: iruddin),.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2005),.h.123
10
Siah Khosiy’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2014),.hlm 128
12

hadis tersebut karena berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, yaitu
QS. Al-Baqarah ayat 282 :
“...Dan ambilah saksi apabila kamu berjual beli....”11
Ayat ini menuntut adanya persaksian dalam jual beli. Apabila
persaksian itu dilakukan sebelum berpisah, tidak perlu diadakan
khiyar majlis dan jika diadakan setelah berpisah tidak mengenai
sasaranya sebab akad telah selesai.
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian khiyar majlis ini,
namun pada dasarnya khiyar majlis adalah khiyar yang dilakukan
dalam jual beli selama masih ditempat yang sama atau belum
berpisah. Contohnya, seseorang membeli baju disebuah toko
kemudian telah terjadi ijab dan kobul atau kesepakatan dikedua belah
pihak, kemudia si pembeli pergi meninggalkan toko. Maka dengan
perginya pembeli dari toko tersebut pembeli telah mendapatkan hak
khiyarnya ketika masih ditoko.
b. Khiyar Syarat
khiyar syarat adalah gambaran tentang kondisi orang yang
mengadakan perikatan dengan mengadakan syarat perjanjian bahwa ia
mempunyai hak pilih dalam melangsungkan atau membatalkan jual
belinya. Dengan demikian, khiyar syarat adalah hak pilih yang telah
dijanjikan lebih dahulu. Salah satu pihak atau keduanya sah
membuatnya, sebagaimana halnya kebolehan membuat perjanjian
bersyarat ini kepada orang ketiga. Misalnya seseorang berkata,
“Barang yang telah saya beli dari kamu ini, khiyar-nya pada si
fulan.”Lamanya Khiyar Syarat
Imam Abu Hanifa dan As-Syafi’i berpendapat bahwa lamanya
waktu khiyar maksimal 3 hari, tidak boleh melebihi dari waktu
tersebut. Sedangkan Imam Malik membolehkannya sekedar
kebutuhan. Karena lama khiyar itu berbeda-beda mengingat berbeda-
bedanya barang yang diperjualbelikan. Imam Malik mengizinkan

11
Departemen Agama RI, Op.cit, hlm.48
13

khiyar syarat sekadar yang perlu-perlu. Misalnya, untuk


sayursayuraan yang tidak tahan lama dan hanya sampai satu hari,
khiyar-nya tidak boleh dari satu hari. Imam Ahmad mensyaratkan
bahwa lamanya masa khiyar hendaknya jelas dan tidak terbatas. Oleh
karena itu, bisa seminggu, sebulan, setahun, atau lebih. Adapun yang
dianggap tidak sah apabila mereka mensyaratkan dengan waktu yang
tidak menentu atau tidak terhingga.12
Khiyar syarat adalah khiyar yang memiliki syarat-syarat tertentu
yang telah ditentukan oleh si penjual. Sebagai contoh saya menjual
motor dengan harga 10 juta dengan syarat boleh memilih selama tiga
hari. Dimana dalam jangka tiga hari jika pembeli tidak memberikan
kepastian untuk memilih motor mana yang diinginkan maka penjual
berhak untuk membatalkan transaksi.
c. Khiyar ‘Aib
Yaitu hak yang untuk membatalkan atau meneruskan jual beli bagi
kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada
objek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya
ketika akad berlangsung. Misalnya, seseorang membeli telur ayam
satu kg, kemudian satu butir diantaranya telah busuk, atau ketika telur
dipecahkan telah menjadi anak ayam. Hal ini sebelumnya tidak
diketahui baik oleh penjual maupun pembeli. dalam kasus seperti ini,
menurut para pakar fiqh, ditetapkan hak khiyar bagi pembeli.
Jadi, dalam khiyar ‘aib itu apabila terdapat bukti cacat pada barang
yang dibelinya, pembeli dapat mengembalikan barang tersebut dengan
meminta ganti barang yang baik, atau kembali barang dengan uang.
Khiyar ‘aib ini menurut kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak
diketahuinya cacat pada barang yang diperjualbelikan dan dapat
diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar. Adapun cacat yang
menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut ulama Hanafiyah dan
Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak objek jual beli itu dan

12
Ibid, h.130
14

mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang. Tetapi menurut


ulama Malikiyah dan Syafi’iyah seluruh cacat yang menyebabkan
nilai barang berkurang atau hilang unsur yang diinginkan
daripadanya.13
Jadi, dalam khiyar ‘aib itu apabila ada kecacatan dibarang yang
telah dibeli maka pembeli berhak untuk menukar atau meminta
uangnya kembali. Misalnya saya membeli buku yang masih dalam
kemasan kemudian ketika sampai dirumah ternyata bagian dalam
buku tersebut robek, maka saya berhak meminta tukar buku atau
meminta uang saya kembali.
d. Khiyar Ru’yah
Yaitu khiyar (hak pilih) bagi pembeli untuk menyatakan berlaku
atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum
ia lihat ketika akad berlangsung.
Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah,
Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah
disyariatkan dalam Islam.
Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan objek
yang akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya akad, atau
karena sulit dilihat seperti ikan kaleng (sardencis). Khiyar ru’yah,
menurut mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang
akan ia beli.
Akan tetapi, ulama Syafi’iyah, dalam pendapat baru (al-mazhab
al-jadid), mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah,
baik barang itu, menurut mereka khiyar ru’yah tidak berlaku, karena
akad itu mengandung unsur penipuan yang boleh membawa kepada
perselisihan.14
Dari penjelasan diatas khiyar ru’yah adalah khiyar yang terjadi
pada jual beli dimana si pembeli tidak melihat barang ketika akad

13
Abdul Rahman Ghazaly, dkk,.Fiqh Muamalat (Jakarta: Prenadamedia Group,2010),.hlm.100
14
Ibid, 101
15

berlangsung. Misalnya, seseorang membeli makanan kaleng dimana


tidak memungkinkan baginya untuk melihat bagian dalam kaleng
tersebut, namun setelah dibuka ternyata isi dalamnya telah busuk atau
tidak sesuai dengan yang ada dalam kemasan.
e. Khiyar Al-Washfi
Khiyar al-Washfi adalah memilih membatalkan atau meneruskan
jual beli benda pada saat mengetahui bahwa barangbarang yang dibeli
itu tidak sesuai dengan sifat-sifat yang dikehendakinya. Kondisi
demikian membolehkan pembeli untuk memilih apakah meneruskan
akad jual belinya atau tidak dengan harga yang ditetapkan semasa
akad.
Khiyar washfi boleh diwariskan jika pembeli meninggal dunia
sebelum melihat barang yang dibelinya semasa ia masih hidup. Ahli
warisnya pun berhak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli
jika didapati tidak sesuai dengan sifat-sifat yang dikehendaki pembeli
ketika masih hidup.
Khiyar washfi biasanya terjadi dalam jual beli online atau jual beli
yang menggunakan katalog diamana barang dan spesifikasi yang
tertera tidak sesuai dengan kondisi barang sebenarnya.
f. Khiyar Naqd
Adalah menjual suatu barang yang didasarkan bahwa pembeli akan
membayar harga barang pada masa yang disetujui semasa akad, tetapi
ternyata tidak mampu membayar pada masa yang ditetapkan maka
penjual boleh membatalkan jual beli tersebut. Demikian juga, jika
pembeli meninggal dalam proses khiyar naqd, akad jual beli tersebut
batal dengan sendirinya.
Jual beli ini seperti jual beli dengan sistem kredit atau
menggunakan tempo tertentu. Dimana penjual memiliki khiyar naqd
diaman ia bisa membatalkan atau meneruskan jual belinya ketika si
pembeli tidak mampu melunasi barang sesuai jangka waktu yang telah
disepakati diawal.
16

g. Khiyar Ta’ayiin
Adalah menjual suatu barang di antara beberapa barang yang
ditetapkan harganya bagi setiap barang yang dikehendakinya, dan
pembeli diberi hak untuk memilih barang yang ia sukai atau
menentukan barang yang brbeda kualitas dalam jual beli.
Dalam khiyar ta’ayiin pembeli yang terlibat dalam jual beli ini
berhak menentukan salah satu barang yang menjadi pilihan sebelum
habis tempo pemilihan yang ditetapkan. Khiyar ta’ayiin ini boleh
diwarisi jika pembeli meninggal dunia dalam proses pemilihan dan
ahli warisnya boleh mengambil alih kuasa pemilihan tersebut.15
Sebagai contoh dari khiyar ta’ayin adalah pembelian keramik ada
yang berkualitas super ada juga yang sedang. Akan tetapi, pembeli
tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan
berkualitas sedang. Sehingga pembeli memerlukan pakar keramik atau
arsitek. Khiyar ta’ayin adalah kedua belah pihak yang melakukan jual
beli sepakat untuk menunda penentuan barang dagangan yang wajib
ditentukan sampai waktu tertentu dimana hak penentuan diserahkan
kepada salah satu dari kedua pihak.
4. Hikmah Khiyar
Diantara hikmah khiyar sebagai berikut:
a. Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-
prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli.
b. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual
beli, sehingga pembeli mendapat barang dagangan yang baik atau
benar-benar disukainya.
c. Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan
mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan
barangnya.
d. Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun
pembeli, karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli.

15
Siah Khosiy’ah,.Loc.it.
17

e. Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antar
sesama. Adapun ketidakjujuran atau kecurangan pada akhirnya akan
berakibat dengan penyesalan, dan penyesalan disalah satu pihak
biasanya dapat mengarah kepada kemarahan, kedengkian, dendam,
dan akibat buruk lainnya.16
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin dimana setiap
hukum atau ketetapan dalam islam pasti memberikan kebaikan untuk
umatnya. Misalnya dalam konsep khiyar dalam jual beli dimana
dengan konsep ini ada banyak kebaikan yang diberikan seperti yang
sebutkan di atas.

E. Macam macam jual beli

1. Murabahah
Murâbahah yaitu menjual barang sesuai dengan harga pembelian
dengan menambahkan keuntungan tertentu.17 Jadi akad murâbahah adalah
akad jual beli dengan menyebutkan harga perolehan barang dan
keuntungan yang disepakati. Pembayaran dalam jual beli murâbahah
dapat dilakukan secara tunai dimuka, diangsur, maupun ditangguhkan.
Bentuk akad murâbahah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yakni
murâbahah biasa (tanpa pesanan) dan murâbahah lil amir bi asy-syirâ’
(dengan pesanan).
a. Murâbahah biasa (tanpa pesanan)
Murâbahah biasa yaitu akad murâbahah saat penjual memasarkan
dan menawarkan barangnya kepada pembeli dengan menyebutkan
harga perolehan barang tersebut dan keuntungan yang telah disepakati
diantara keduanya. Jadi dalam murâbahah seperti ini hanya
melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli (bentuk sederhana).
Tanpa dipesanpun, stok barang telah tersedia.
b. Murâbahah lil âmir bi asy-syirâ’
16
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Op.cit, hlm.104
17
Wahbah az-Zuhaili,.al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol.4,.(Damaskus: Dar al-
Firk,1985),.hlm.703
18

Murâbahah lil amir bi asy-syirâ’ adalah istilah yang tidak


ditemukan dalam fikih klasik. Istilah ini baru dikenal dalam fikih
kontemporer yang diperkenalkan oleh Sâmî Hamûd dalam
disertasinya yang juga telah dibukukan berjudul Tathwîr al-A’mâl
alMashrafiyyah bi Mâ Yattafiq asy-Syar’iyyah al-Islâmiyyah.18
Murâbahah lil amir bi asy-syirâ’ atau murâbahah kepada pemesan
pembelian, yaitu akad murâbahah yang terjadi ketika ada yang
memesan barang. Jadi dalam hal ini terdapat tiga pihak terkait, yakni
supplier, reseller dan pemesan pembelian. Murâbahah seperti inilah
yang diterapkan di Lembaga Keuangan Syariah (LKS), dikarenakan
LKS bukanlah pihak yang menyimpan stok barang. Pada transaksi
lembaga keuangan, maka yang berperan dalam transaksi ini adalah
pihak LKS sebagai penjual, nasabah (pemesan barang) sebagai
pembeli, dan supplier sebagai pemasok barang kepada LKS. Dengan
demikian pembelian barang oleh LKS dilakukan ketika ada
pemesanan barang dari nasabah.
2. Jual beli Salam
Akad jual beli salam adalah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya,
hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada didalam pengakuan.
Kemudian didefinisikan lagi sebagai jual beli utang dari pihak penjual dan
kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu
akad.19 Akad salam disebut juga dengan istilah salaf. Penduduk Hijaz
menamakan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan
penduduk Irak menyebutnya salaf.
Dengan demikian akad salam merupakan akad jual beli dengan
pembayaran dimuka dan penyerahan barang dikemudian hari
(ditangguhkan) atau bisa diartikan secara lebih rinci terkait dengan
operasionalnya yakni jual beli pesanan dengan pembayaran harga lebih

18
Sami Hasan Ahmad Hamud,. Tahwir al-A’mal al-Mashrafiyyah bi Ma Yattafiq asy-
Syar’iyyah al-Islamiyyah (Dubai: Mathba’ah asy-Syarq wa Maktabatiha’,1982).
19
Sulaiman Rasjid, .Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1998),.hlm.294-295
19

dulu ketika akad dengan harga, kualitas dan kuantitas barang serta tempo
dan tempat penyerahan yang jelas. Akad salam dalam produk lembaga
keuangan syariah khususnya bank syariah dapat diterapkan pada
pembiayaan sektor pertanian atau pembiayaan agrobisnis.
Apabila LKS menerapkan produk pembiayaan berpola akad salam,
maka operasionalnya berbentuk akad salam paralel, yakni LKS terlebih
dahulu memiliki nasabah yang telah bersedia membeli hasil tani yang
diperoleh dari petani. Dengan begitu dalam transaksi ini ada tiga pihak,
yakni LKS, nasabah pembeli hasil tani dan nasabah petani atau penyedia
hasil tani. LKS bertindak sebagai pembeli sedangkan nasabah petani
sebagai penjual produk hasil pertanian. Mengingat LKS tidak menjadikan
barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka
dimungkinkan bagi LKS untuk melakukan akad salam kepada pihak
ketiga (pembeli kedua) seperti Bulog, pedagang pasar induk, eksportir atau
industri pengolah. Mekanisme seperti inilah yang dinamakan salam paralel
dengan LKS melakukan dua akad salam dengan syarat akad kedua
terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
3. Istishna
istishnâ’ dalam kajian fikih muamalah, akad ini didefinisikan sebagai
akad meminta seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam
bentuk tertentu.20 Akad istishnâ’ sedikit menyerupai akad ijârah. Dalam
akad istishnâ’ bahan baku pembuatan barang berasal dari si pembuat
barang, kalau bahan baku berasal dari si pemesan, maka ini bukan lagi
akad istishnâ’, melainkan akad ijârah yakni menyewa jasa seseorang.
Skema istishnâ’ yang diterapkan dalam produk pembiayaan LKS dapat
menerapkan konsep istishnâ’ paralel, yaitu suatu bentuk akad istishnâ’
antara pemesan (pembeli/mustashni’) dengan penjual (pembuat/shani’),
kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni’, penjual
memerlukan pihak lain sebagai shani’.

20
Wahbah Az-Zuhaili’, Op.cit, hlm.61
20

Produk pembiayaan berpola akad istishnâ’ dalam praktik di LKS


dapat diterapkan pada pembiayaan konstruksi. Pembiayaan konstruksi
yang dimaksud seperti pembiayaan hunian syariah baik itu berupa rumah,
rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), apartemen dan lain-lain yang
objeknya dalam proses pembangunan. Selain itu dapat pula diaplikasikan
pada pembiayaan manufaktur, yai istishna tu pembiayaan pada objek
barang perlu diproduksi atau dibuat terlebih dahulu (dari bahan mentah
jadi bahan jadi/olahan) seperti barang-barang kerajinan, pakaian, properti
rumah, alat-alat kantor dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara termologi fiqh, akad didefinisikam sebagai perikatan ijab


( pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan.
Akad jual beli merupakan suatu kesepakatan atau perjanjian tentang
pertukaran harta antara penjual dan pembeli dalam aktivitas perdagangan
tanpanya akad maka kegiatan jual beli dianggap tidak sah. Dalam transaksi
jual beli juga terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan seperti rukun dan
syarat dalam jual beli itu sendiri. Terdapat beberapa syarat daan rukun dalam
jual beli yaitu Penjual dan pembeli harus berakal, balig, dan tidak harus
muslim, syarat lainnya adalah Ijab qabul, dan yang terakhir barang dan jasa
yang diperjual belikan suci, punya manfaat, Dimiliki Oleh Penjualnya, bisa
diserahkan, dan diketahui keadaannya.
Tidak semua jual beli diperboleh kan dan dianggap sah karena adanya
syarat dan rukun yang teralh disyariatkan. Maka Ketika semua syarat dan
rukun jual beli sudah dianggap sesuai dengan syariat dan juga sudah
terjadinya akad antara penjaul dan pembeli maka transaksi antara penjual dan
pembeli tersebut dianggap sah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan pemaparan materi diatas penulis menghimbau


untuk melaksanakan akad jual beli sesuai dengan rukun dan syarat yang telah
ditentukan.
Demikian makalah mengenai akad jual beli ini kami buat. Semoga
makalah ini bermanfaat dan dapat dipahami oleh para pembaca. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat
persuasif. Sehingga makalah yang kami buat ke depannya menjadi lebih bai

21
DAFTAR PUSTAKA

Agustri. (2020). Fiqih Muamalah Konsep- konsep dassar dan Aplikasinya dalam
bermuamalah. Yogyakarta: Samudra Biru.

Asqalani, I. H., & Bari, F. (2005). Penjelasan Kitab Al-bukhar. Jakarta: Azzam.

Djuwaini, D. (2010). Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ghazaly, A. R., & dkk. (2018). Fiqh Muamalat. Jakarta: Prenadamedia Group.

Gzaly, A. R. (2010). Fikih Muamalat. Jakarta: Kencana.

Hamud, S. H. (1982). Tahwir al-A’mal al-Mashrafiyyah bi Ma Yattafiq asy-


Syar’iyyah al-Islamiyyah. Dubai: Mathba’ah asy-Syarq wa Maktabatiha.

Haroen, N. (2007). Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Khosiy'ah, S. (2014). Fiqh Muamalat. Bandung: Pustaka Setia.

Rasjid, S. (1998). Fiqh Islam. Bandung: Sinar baru Algesindo.

RI, D. A. (2012). Al-qur'an dan terjemahannya. Bandung: CV Penerbitan


Ponegoro.

Sarwat, A. (2018). Fikih Jual Beli. Jakarta: Rumah Fikih Publishing.

Zuhaili, W. A. (1985). Al-fiqh al-islami wa adillatul. Damaskus: Dar al-firk.

22

Anda mungkin juga menyukai