Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Norlela (2114140258)
2. Nur Muhibbah (2114140235)
Ungkapan rasa terimakasih juga tim penulis haturkan kepada Dr. SYARIFUDDIN,
M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Fikih Muamalah yang telah
membimbing dan juga memberikan semangat kepada tim penulis, sehingga tim
penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan judul “Akad jual beli”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Semua
ini dikarenakan kurangnya ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari para pembaca
yang bersifat persuasif. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membaca.
Tim
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
D. Khiyar............................................................................................................9
A. Kesimpulan.................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jual beli adalah aktifvitas yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia
termasuk juga umat islam. Jual beli merupakan pertukaran harta dengan harta,
dengan jalam melepakan hak milik daru seseorang terhadap orang lainnya
atas ddasar kerelaan kedua belah pihak. Dalam jual beli, ada pula yang
disebut dengan akad, akad ini merupakan jaminan dan janji yang mengikat
hubungan kedua pihak. Didalam transaksi jual beli akad memiliki peran yang
sangat penting karena terjadinya transaksi tergantung seberapa baik dan rinci
akad yang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh allah SWT,
sehingga islam mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia untuk
dijadikan pedoman hidup. Aspek yang diatur dalam islam sendiri yaitu aspek
jual beli. Hingga dalam jual beli terdapat beberapa syarat dan rukun yang
dipenuhi agar terjadi transaksi jual beli yang sah. Suatu akad jual beli dapat
dikatakan jual beli yang sah apabila itu disyariatkan, memenuhi rukun yang
syarat yang telah ditentukan.
Harta yang dimiliki seseorang secara sah, belum dapat digunakan untuk
betransaksi ekonomi secara hukum, apabila pemilik harta tersebut tidak
melakukan akad (kontrak) dengan pihak kedua (yang meminta akad) yang
diwujudkan dalam ijab qabul. Dan juga akad jual beli dalam islam selalu
dilandasi oleh nilai moral dan al-quran maupun hadis, agar terjadi transaksi
yang adil. Maka dalam makalah ini akan membahas tentang akad jual beli
yang baik sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.
B. Rumusan Masalah
1
2
C. Tujuan Penulisan
Kata akad berasal dari bahasa Arab al-'aqd yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara termologi fiqh,
akad didefinisikam sebagai perikatan ijab ( pernyaraan melakukan ikatan) dan
Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh kepada objel perikatan. Pencantuman kata yang “sesuai dengan
kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukam oleh
dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan
kehendak syara. Contohnya seperti kesepakatam untuk melakukan transaksi
riba, Adapun pencantuman kata “berpengaruh pada objek perikatan”
maksudnya adalah terjadinya perpindahan kepemilikan dari satu pihak (yang
melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakn Kabul).
Adapun pengertian akad Menurut Hasbi ash Shiddieqy yang mengutip
definisi yang dikemukakan oleh Al-Sanhury bahwa akad merupakan
perikatan ijab dan Kabul yang dibenarkan syara yang menetapkan keerelaan
kedua belah pihak. 1Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaylî dalam kitabnya
al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini
bahwa akad adalah hubungan/keterkaitan antara ijâb dan qabûl atas diskursus
yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.2 Dan ada
pula definisi akad lainnya yaitu "Ikatan atas bagian-bagian tasharruf
(pengelolaan) menurut syara dengan cara serah terima". Berasarkan
pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa akad adalah “pertalian
ijab (ungkapan tawaran di satu pihak pihak yang mengadakan kontrak)
1
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Muamalah (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 50-51
2
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm
48
3
4
Umumnya para ulama sepakat bahwa setidaknya ada tiga perkara yang
menjadi rukun dalam sebuah jual-beli, yaitu adanya pelaku yaitu penjual dan
pembeli yang memenuhi syarata danya akad atau transaksi, adanya barang
atau jasa yang diperjual belikan.
Berikut merupakan rukun dan syarat jual beli:
1. Penjual dan pembeli
Menurut para ulama syarat utama yang harus dimiliki oleh penjual
dan juga pembeli adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk
boleh melakukan transaksi muamalah.
Adapun syarat syarat penjual dan pembeli adalah :
a. Berakal yang dimaksud dengan berakal adalah warasnya akal
seseorang dalam arti keduanya bukan orang gila, alias tidak waras.
Apabila satu dari keduannya, entah si pembeli atau si penjual
termasuk orang yang dinyatakan tidka sehat akalnya, maka transaksi
jual beli yang terjadi dianggap tiddak sah secara hukum syariah.
b. Baligh, Jual beli yang dilakukan oleh seseornag yang belum balik
dianggap tiddak sah, kecuali bila yang diperjual belikan hanyalah
benda-benda yang nilainya kecil. Namun jika anak kecil ditugasskan
3
Agustri, Fiqih Muamallah Konsep-Konsep Dasar dan Aplikasinya dalam Bermuamalah
(Yogyakarta: Samudra Biru, 2020) hlm 70
5
berikutnya setelah lafadz ijab, baik diucapkan oleh penjual atau pun oleh
pembeli.
Syarat syarat dalam ijab qabul adalah sebagai berikut:
a. Tidak Boleh Bertentangan maksudnya antara keduanya tidak boleh
terjadi pertentangan, baik dalam permasalahan barang harga atau pun
dalam masalah tunainya barang. Adapun pertentangan yang tidak
boleh seperti berbeda barang, berbeda harga, dan berbeda waktu
pembayaran.
b. Sighata madhi Dalam bahasa Arab, sighat akad harus diucapkan
dalam bentuk madhi, atau sesuatu perbuatan yang sudah lewat
waktunya. Misalnya kata bi'tuka yang berarti,"Aku telah menjual
kepadamu", atau lafadz isytara yang berarti aku telah membeli. Tujuan
penggunaan bentuk lampau (past) adalah untuk memastikan bahwa
akad ini sah dan sudah terjadi keputusan antara kedua belah pihak.
Barangkali dalam bahasa populer sering disebut dengan istilah deal.
Maka sighat itu diucapkan dalam bentuk lampau.
c. Tidak disyaratkan adanya saksi.
d. Dan boleh dengan tulisan atau isyarat Sebagian ulama mengatakan
bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila
barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem
mu'athaah, (yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk
bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Barang dan jasa
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-
belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu
harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli
menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus
memenuhi beberapa syarat:
a. Suci, para ulama menegaskan bahwa benda yang diperjualbelikan
harus benda yang suci, dan bukan benda najis atau mengandung najis.
7
4
Ahmad Sarwat, Fiqih Jual-beliI (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018) hlm 12-30
9
D. Khiyar
1. Pengertiam khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan. Pembahasan al-khiyar
dikemukakan para ulama fiqih dalam permasalahan yang menyangkut
transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai
salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad)
ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.6
5
Ibid., hlm 39-43
6
Nasrun Haroen,.Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),.hlm.129
10
7
Ibid.
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Ponegoro,
2010),.hlm.83
11
9
Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Fathul Bari (Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhar, terj: iruddin),.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2005),.h.123
10
Siah Khosiy’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2014),.hlm 128
12
hadis tersebut karena berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, yaitu
QS. Al-Baqarah ayat 282 :
“...Dan ambilah saksi apabila kamu berjual beli....”11
Ayat ini menuntut adanya persaksian dalam jual beli. Apabila
persaksian itu dilakukan sebelum berpisah, tidak perlu diadakan
khiyar majlis dan jika diadakan setelah berpisah tidak mengenai
sasaranya sebab akad telah selesai.
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian khiyar majlis ini,
namun pada dasarnya khiyar majlis adalah khiyar yang dilakukan
dalam jual beli selama masih ditempat yang sama atau belum
berpisah. Contohnya, seseorang membeli baju disebuah toko
kemudian telah terjadi ijab dan kobul atau kesepakatan dikedua belah
pihak, kemudia si pembeli pergi meninggalkan toko. Maka dengan
perginya pembeli dari toko tersebut pembeli telah mendapatkan hak
khiyarnya ketika masih ditoko.
b. Khiyar Syarat
khiyar syarat adalah gambaran tentang kondisi orang yang
mengadakan perikatan dengan mengadakan syarat perjanjian bahwa ia
mempunyai hak pilih dalam melangsungkan atau membatalkan jual
belinya. Dengan demikian, khiyar syarat adalah hak pilih yang telah
dijanjikan lebih dahulu. Salah satu pihak atau keduanya sah
membuatnya, sebagaimana halnya kebolehan membuat perjanjian
bersyarat ini kepada orang ketiga. Misalnya seseorang berkata,
“Barang yang telah saya beli dari kamu ini, khiyar-nya pada si
fulan.”Lamanya Khiyar Syarat
Imam Abu Hanifa dan As-Syafi’i berpendapat bahwa lamanya
waktu khiyar maksimal 3 hari, tidak boleh melebihi dari waktu
tersebut. Sedangkan Imam Malik membolehkannya sekedar
kebutuhan. Karena lama khiyar itu berbeda-beda mengingat berbeda-
bedanya barang yang diperjualbelikan. Imam Malik mengizinkan
11
Departemen Agama RI, Op.cit, hlm.48
13
12
Ibid, h.130
14
13
Abdul Rahman Ghazaly, dkk,.Fiqh Muamalat (Jakarta: Prenadamedia Group,2010),.hlm.100
14
Ibid, 101
15
g. Khiyar Ta’ayiin
Adalah menjual suatu barang di antara beberapa barang yang
ditetapkan harganya bagi setiap barang yang dikehendakinya, dan
pembeli diberi hak untuk memilih barang yang ia sukai atau
menentukan barang yang brbeda kualitas dalam jual beli.
Dalam khiyar ta’ayiin pembeli yang terlibat dalam jual beli ini
berhak menentukan salah satu barang yang menjadi pilihan sebelum
habis tempo pemilihan yang ditetapkan. Khiyar ta’ayiin ini boleh
diwarisi jika pembeli meninggal dunia dalam proses pemilihan dan
ahli warisnya boleh mengambil alih kuasa pemilihan tersebut.15
Sebagai contoh dari khiyar ta’ayin adalah pembelian keramik ada
yang berkualitas super ada juga yang sedang. Akan tetapi, pembeli
tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan
berkualitas sedang. Sehingga pembeli memerlukan pakar keramik atau
arsitek. Khiyar ta’ayin adalah kedua belah pihak yang melakukan jual
beli sepakat untuk menunda penentuan barang dagangan yang wajib
ditentukan sampai waktu tertentu dimana hak penentuan diserahkan
kepada salah satu dari kedua pihak.
4. Hikmah Khiyar
Diantara hikmah khiyar sebagai berikut:
a. Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-
prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli.
b. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual
beli, sehingga pembeli mendapat barang dagangan yang baik atau
benar-benar disukainya.
c. Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan
mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan
barangnya.
d. Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun
pembeli, karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli.
15
Siah Khosiy’ah,.Loc.it.
17
e. Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antar
sesama. Adapun ketidakjujuran atau kecurangan pada akhirnya akan
berakibat dengan penyesalan, dan penyesalan disalah satu pihak
biasanya dapat mengarah kepada kemarahan, kedengkian, dendam,
dan akibat buruk lainnya.16
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin dimana setiap
hukum atau ketetapan dalam islam pasti memberikan kebaikan untuk
umatnya. Misalnya dalam konsep khiyar dalam jual beli dimana
dengan konsep ini ada banyak kebaikan yang diberikan seperti yang
sebutkan di atas.
1. Murabahah
Murâbahah yaitu menjual barang sesuai dengan harga pembelian
dengan menambahkan keuntungan tertentu.17 Jadi akad murâbahah adalah
akad jual beli dengan menyebutkan harga perolehan barang dan
keuntungan yang disepakati. Pembayaran dalam jual beli murâbahah
dapat dilakukan secara tunai dimuka, diangsur, maupun ditangguhkan.
Bentuk akad murâbahah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yakni
murâbahah biasa (tanpa pesanan) dan murâbahah lil amir bi asy-syirâ’
(dengan pesanan).
a. Murâbahah biasa (tanpa pesanan)
Murâbahah biasa yaitu akad murâbahah saat penjual memasarkan
dan menawarkan barangnya kepada pembeli dengan menyebutkan
harga perolehan barang tersebut dan keuntungan yang telah disepakati
diantara keduanya. Jadi dalam murâbahah seperti ini hanya
melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli (bentuk sederhana).
Tanpa dipesanpun, stok barang telah tersedia.
b. Murâbahah lil âmir bi asy-syirâ’
16
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Op.cit, hlm.104
17
Wahbah az-Zuhaili,.al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol.4,.(Damaskus: Dar al-
Firk,1985),.hlm.703
18
18
Sami Hasan Ahmad Hamud,. Tahwir al-A’mal al-Mashrafiyyah bi Ma Yattafiq asy-
Syar’iyyah al-Islamiyyah (Dubai: Mathba’ah asy-Syarq wa Maktabatiha’,1982).
19
Sulaiman Rasjid, .Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1998),.hlm.294-295
19
dulu ketika akad dengan harga, kualitas dan kuantitas barang serta tempo
dan tempat penyerahan yang jelas. Akad salam dalam produk lembaga
keuangan syariah khususnya bank syariah dapat diterapkan pada
pembiayaan sektor pertanian atau pembiayaan agrobisnis.
Apabila LKS menerapkan produk pembiayaan berpola akad salam,
maka operasionalnya berbentuk akad salam paralel, yakni LKS terlebih
dahulu memiliki nasabah yang telah bersedia membeli hasil tani yang
diperoleh dari petani. Dengan begitu dalam transaksi ini ada tiga pihak,
yakni LKS, nasabah pembeli hasil tani dan nasabah petani atau penyedia
hasil tani. LKS bertindak sebagai pembeli sedangkan nasabah petani
sebagai penjual produk hasil pertanian. Mengingat LKS tidak menjadikan
barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka
dimungkinkan bagi LKS untuk melakukan akad salam kepada pihak
ketiga (pembeli kedua) seperti Bulog, pedagang pasar induk, eksportir atau
industri pengolah. Mekanisme seperti inilah yang dinamakan salam paralel
dengan LKS melakukan dua akad salam dengan syarat akad kedua
terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
3. Istishna
istishnâ’ dalam kajian fikih muamalah, akad ini didefinisikan sebagai
akad meminta seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam
bentuk tertentu.20 Akad istishnâ’ sedikit menyerupai akad ijârah. Dalam
akad istishnâ’ bahan baku pembuatan barang berasal dari si pembuat
barang, kalau bahan baku berasal dari si pemesan, maka ini bukan lagi
akad istishnâ’, melainkan akad ijârah yakni menyewa jasa seseorang.
Skema istishnâ’ yang diterapkan dalam produk pembiayaan LKS dapat
menerapkan konsep istishnâ’ paralel, yaitu suatu bentuk akad istishnâ’
antara pemesan (pembeli/mustashni’) dengan penjual (pembuat/shani’),
kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni’, penjual
memerlukan pihak lain sebagai shani’.
20
Wahbah Az-Zuhaili’, Op.cit, hlm.61
20
A. Kesimpulan
B. Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Agustri. (2020). Fiqih Muamalah Konsep- konsep dassar dan Aplikasinya dalam
bermuamalah. Yogyakarta: Samudra Biru.
Asqalani, I. H., & Bari, F. (2005). Penjelasan Kitab Al-bukhar. Jakarta: Azzam.
Ghazaly, A. R., & dkk. (2018). Fiqh Muamalat. Jakarta: Prenadamedia Group.
22