Disusun oleh :
Kelompok 3
Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan
karunia yang ia berikan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasi
juga kami ucapkan kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak yang satu menerima benda-
benda dan pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan scara syara’ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya
ialah memenuhi persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan
jual beli, sehingga bila syarat-syarat dan rukunya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai
dengan kehendak syara’
Suatu akad jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sah apabila jual beli itu
disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat sah yang ditentukan, bukan milik orang lain,
tidak tergantung pada khiyar. Sebaliknya jual beli dikatakan batal apabila salah satu
rukun atau sluruh rukunya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya tidak
disyariatkan, seperti jual beli yang dilakukan anak kecil,orang gila, atau barang yang
dijual itu barang-barang yang diharamkan oleh syara.
1.3 TUJUAN
As-salam dalam istilah fikih disebut juga as-salaf. Secara etimologi, kedua kedua kata
memiliki makna yang sama, yaitu mendahulukan pembayaran dan mengakhirkan barang.
Pengguna kata as-salam biasanya digunakan oleh orang-orang Hijaz, sedangkan
penggunaan kata as-salaf biasanya digunakan oleh orang-orang irak.
Secara terminologi, salam adalah menjual suatu barang yang penyerahanya tertunda,
atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran
modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.
Menurut fuqaha syafiiah dan hambali mendefinisikan jual beli salam adalah yaitu akad
yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih
dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majlis akad. Fuqaha
malikiyah mendefinisikan jual beli salam adalah yaitu jual beli yang modalnya dibayar
dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang disepakati.
Maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud jual beli salam adalah transaksi jual beli
yang pembayaranya dilaksanakan ketika akad berlangsung dan penyerahan barang
dilaksanakan diakhir sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh penjual dan
pembeli.
Jual beli salam ini diperbolehkan dalam islam berdasarkan dalil al-qur’an,al-hadis, dan
ijma(kesepakatan para ulama), yang diantaranya
a. Firman ALLAH yang menjelaskan tentang diperbolehkanya jual beli salam yang
terdapat dalam surat al-baqarah: 282
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan,hendaklah kamu menuliskanya. Dan hendaklah
seorang penulis diantara kamu menuliskanya dengan benar....”
Sabda Rasulullah ini muncul ketika beliau pertama kali hijrah ke Madinah, dan
mendapati para penduduk Madinah melakukan transaksi jual beli salam. Jadi
Rasulullah SAW membolehkan jual beli salam asal akad yang dipergunakan
jelas,ciri-ciri barang yang dipesan jelas,dan ditentukan waktunya.
Karakteristik utama jual beli salam adalah pesanan dengan harga tunai dan
barang tidak tunai. Contoh pertama, ketika jual beli barang yang belum tersedia saat
pemesanan atau transaksi pembelian. Uang ditransfer oleh pembeli saaat pesanan
kemudian barang dikirim. Contoh kedua, ketika belanja daring melalui marketplace.
Setelah pembeli menentukan kriteria
Makna talji-ah ialah seseorang takut miliknya akan diambil atau dirampas secara
dzalim dan semena mena, lalu ia melakukan kesepakatan kepada seseorang sehingga
ia menampakkan bahwa barang itu telah ia beli darinya agar miliknya selamat dari
rampasan tersebut. dan gambar barang yang akan dibeli, ia melakukan kontrak jual
beli dengan menyetujui ketentuan transaksi. Ia lalu melakukan pembayaran atau
pesanan diterima kemudian.
Bai’ al-Talji’ah merupakan suatu bentuk jual beli yang dilakukan oleh seorang
penjual yang dalam kondisi terdesak (terpaksa) karena khawatir hartanya diambil oleh
orang lain. Atau harta yang masih dalam status sengketa sehingga agar tidak mengalami
kerugian, harta tersebut dijual kepada pihak lain. Pilihan untuk menjual barang
dilatarbelakangi oleh tujuan untuk menyelamatkan hartanya atau mendapatkan
keuntungan lebih sebelum harta dibagi dengan pemilik lainnya. Jenis jual-beli seperti ini
termasuk jenis jual beli yang dilarang dalam Islam, karena dapat menimbulkan
ketidakpastian, sengketa di kemudian hari serta dapat menimbulkan kerugian pada
salah satu pihak, terutama pihak pembeli.
Jika keduanya berselisih, misalnya salah seorang dari mereka berkata,”jual beli ini
benar-benar jual beli tanpa ada unsur sandiwara”, sedangkan yang lainya berkata, “jual
beli ini hanya sandiwara saja,”maka jual beli ini boleh namun harus disertai sumpah
bagi yang mengingkarinya.
Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,”jual beli taljiah adalah jual beli
yang bathil, dan inilah madzhab al-hanabilah, karena kedua orang yang melakukan jual
beli, maka tidak sah akad dari mereka berdua. Hukum mereka berdua seperti dua orang
yang sedang bercanda. Sedangkan madzhab syafi’iyyah memandang sahnya jual beli
ini,karena rukun-rukun dan syarat-syaratnya tela sempurna.
Kata fudhuli turunan dari kata fadhl, yang artinya kelebihan. Sementara secara
istilah, para ulama menyebutkan bahwa mentransaksikan hak orang lain, tanpa izin
secara syar’i atau karena statusnya sebagai wali (pengurus) orang lain.
Jual beli fudhuli adalah jual beli dengan harta orang lain tanpa seizin pemilik harta
tersebut. Dalam madzhab jual beli fudhuli hukumya haram. Denan dalil hadits Nabi
shalallahu alaihi wasalam,” jangan kamu jual apa yang bukan milikmu” [HR.Abu Dawud,
Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan selainya. Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-
Majmu;(9/259)]
Bai al-wafa’ adalah suatu jenis jual beli barang yang disyaratkan, dimana seorang
menjual barangnya kepada pihak lain dengan syarat barang tersebut harus dijual pada
dirinya (penjual) dengan harga tertentu dan pada saat tertentu sesuai dengan
perjanjian. Atau menjual barang dalam batas waktu tertentu, jika waktu itu tiba maka
seorang pembeli harus menjual kembali barangnya kepada penjual pertama itu.
Misalnya penjual mengatakan kepada calon pembeli, barang ini saya jual dengan harga
satu juta rupiah, dengan syarat tiga bulan yang akan datang kamu harus menjual barang
tersebut kepada saya dengan harga tertentu.
Jenis jual beli ini termasuk jenis jual beli yang terlarang, karena termasuk rekayasa
dan memberikan ketidakpastian, atau kepemilikan yang tidak utuh terhadap barang
yang dibeli oleh seseorang. Padahal dalam syariat Islam, jual beli merupakan salah satu
cara terjadinya perubahan kepemilikan (al-Taghayyur al-Milkiyah) dari seseorang
kepada orang lain. Dengan terjadinya perubahan kepemilikan tersebut, maka seorang
pembeli berhak memiliki barang yang dimilikinya tanpa terikat dengan waktu tertentu.
Ia berhak untuk mengggunakannya dalam waktu yang dia inginkan serta berhak
menghibahkan atau menjual barang (harta) nya kepada siapapun secara leluasa.
Berbicara mengenai hukum jual beli al-wafa’, terdapat perbedaan dari beberapa
ulama, yaitu ;
Salah satu rukun jual beli ialah sighat atau ucapan timbal balik antara penjual dan
pembeli yang menunjukkan kerelaan dari keduanya. Namun dalam praktek jual beli
sehari-hari di antara realita dalam masyarakat jarang sighat akad jual beli tersebut
diucapkan dan biasanya pembeli cukup memberi uang dan mengambil barang yang
ingin dibelinya tanpa ijab dan qabul. Adapun dalam fikih jual beli tanpa sighat ijab dan
qabul biasa diistilahkan dengan jual beli mu’athah atau tanpa sighat, yaitu kesepakatan
kedua belah pihak atas harga dan barang yang dijual, keduanya saling memberi tanpa
ijab qabul dan kadang hanya ada perkataan dari salah satu pihak saja.
Hukum jual beli mu’athah menurut kebanyakan ulama Syafi’iyah ialah tidak sah
karena salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi yaitu sighat ijab dan qabul.
– الشافعية، وإشارة األخرس المعلومة، الينعقد البيع إال بالصيغة الكالمية أو مايقوم مقامها من الكتاب والرسول:قالوا
أما المعاطاة فإن البيع الينعقد بها
Artinya: “Ulama Syafi’iyah berkata, ‘Tidak sah jual beli kecuali dengan sighat berupa
ucapan atau sesuatu yang bisa menempati di posisinya seperti tulisan, utusan dan
isyarat yang diketahui bagi orang bisu, adapun jual beli tanpa sighat maka tidak sah.”
(Lihat: al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah)
Menanggapi hal tersebut Imam Nawawi menjelaskan bahwa akad jual beli tanpa
sighat masih diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama, yang mana sebagian
menilai tidak sah dan sebagian lagi menilai sah asal sudah diketahui bahwa kedua belah
pihak sama-sama ridha.
وال يوجد لفظ أو، أن يعطيه درهما ً أو غيره ويأخذ منه شيئا ً في مقابلته:صورة المعاطاة التي فيها الخالف السابق
فإذا ظهر، وجرى فيها – يوجد لفظ من أحدهما دون اآلخر،والقرينة وجود الرضى من الجانبين ـــ حصلت المعاطاة
الخالف
Artinya: “Bentuk dari jual beli mu’athah yang terjadi perbedaan pendapat di atas ialah
pembeli memberikan uang pada penjual dan pembeli mengambil barang dari penjual
sedagai gantinya, dan tidak ada kalimat yang menyatakan ijab dan qabul, jika secara
zahir ada kerelaan di antara keduanya yaitu pembeli dan penjual, maka itulah yang
dinamakan jual beli mu’athah dan dalam jual beli mu’athah terjadi perbedaan ulama
terkait keabsahannya.” (Lihat: al-Majmu, Imam Nawawi)
Meskipun demikian, hukum jual beli mu’athah menurut Imam Ghazali lebih
cenderung dibolehkan meski tanpa sighat ijab dan qabul terutama saat benda-benda
yang diperjual belikan tidak terlalu berharga, yang demikian karena sulit untuk selalu
mengucapkan ijab dan qabul dan biasanya antara penjual dan pembeli sudah sama-
sama ridha meskipun tanpa sighat dan hal ini sebagaimana dijelaskan berikut:
وقد مال صاحب اإلحياء إلى جواز البيع في األشياء اليسيرة بالمعاطاة ألن اإليجاب والقبول يشق في مثلـها عادة
Artinya: “Imam Ghazali dalam kitab Ihya condong kepada bolehnya jual beli mu’athah
(tanpa sighat) dalam benda-benda yang ringan, karena ijab dan qabul dalam jual beli
benda-benda yang ringan biasanya sulit.” (Lihat: al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah)
Jadi akad dalam jual beli mu’athah tidak disebutkan shighatnya karena akad yang
jenisnya seperti ini dibuat oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
Adapun ulama Hanafiyah sepakat dengan hal tersebut dimana mereka mengatakan
bahwa terlaksananya ijab kabul tidak harus diekspresikan lewat ucapan atau perkataan
tertentu, sebab dalam ukuran ijab kabul yang diutamakan adalah unsur kerelaan kedua
belah pihak yang melakukan transaksi dan adanya tindakan.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), 143. 2
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami> wa Adillatuhu, Juz IV, (Damaskus: Darul Fikr, 2008),
359
Mustafa Kamal, et. al., Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), 356.
Saleh al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Inani Press, 2005), 407.
Chairuman pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Hendi Suhendi, Fiqh Mu'amalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 74.
https://pecihitam.org/hukum-jual-beli-muathah-jual-beli-tanpa-sighat/
https://muhammadiyah.or.id/jual-beli-dilarang/
http://www.pa-tasikmalaya.go.id/artikel-pengadilan/958-bayi-al-wafa-sebagai-solusi-
menghindari-riba-dalam-mekanisme-gadai-adat-di-indonesia