Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIQIH MUAMALAH

BENTUK-BENTUK JUAL BELI

(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih muamalah)


Dosen Pembimbing, Kartini, M.Pd.

Disusun oleh :
Kelompok 3

1. Farid Anwar/ 20210101010


2. Mirnawati/ 2021010101018
3. Hardianti Mariam/ 2021010101033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
IAIN KENDARI
2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan
karunia yang ia berikan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasi
juga kami ucapkan kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam


perkembangan ilmu pengetahuan. Kami sadar bahwa dalam proses penyusunan makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan. Karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca sekalian
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................. 4

1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................ 4

1.3 TUJUAN ................................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 5

2.1 JUAL BELI SALAM ................................................................................................... 5

2.2 JUAL BELI TALJIAH ................................................................................................. 8

2.3 JUAL BELI AL-FUDHULI ........................................................................................... 9

2.4 JUAL BELI AL-WAFA’ ............................................................................................ 10

2.5 JUAL BELI MU’ATHAH .......................................................................................... 12

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 14

3.1 PENUTUP ............................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 15


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak yang satu menerima benda-
benda dan pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan scara syara’ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya
ialah memenuhi persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan
jual beli, sehingga bila syarat-syarat dan rukunya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai
dengan kehendak syara’
Suatu akad jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sah apabila jual beli itu
disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat sah yang ditentukan, bukan milik orang lain,
tidak tergantung pada khiyar. Sebaliknya jual beli dikatakan batal apabila salah satu
rukun atau sluruh rukunya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya tidak
disyariatkan, seperti jual beli yang dilakukan anak kecil,orang gila, atau barang yang
dijual itu barang-barang yang diharamkan oleh syara.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian jual beli salam


2. Hukum dan dasar hukum jual beli salam
3. Syarat dan rukun jual beli salam
4. Karakteristik jual beli salam
5. Jelaskan jual beli taljiah
6. Jelaskan jual beli fudhuli
7. Jelaskan jual beli alwafa
8. Jelaskan jual beli muattad

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian jual beli salam


2. Untuk mengetahui hukum dan dasar hukum jual beli salam
3. Untuk mengetahui syarat dan rukun jual beli salam
4. Untuk mengetahui karakteristik jual beli salam
5. Untuk mengetahui pandangan dari para ulama tentang jual beli taljiah
6. Untuk mengetahui keabsahan dari para ulama tentang jual beli fudhuli
7. Untuk mengetahui pandangan dari para ulama tentang jual beli alwafa
8. Untuk mengetahui pandangan dari para ulama tentang jual beli muattad
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 JUAL BELI SALAM

1. Pengertian jual beli salam

As-salam dalam istilah fikih disebut juga as-salaf. Secara etimologi, kedua kedua kata
memiliki makna yang sama, yaitu mendahulukan pembayaran dan mengakhirkan barang.
Pengguna kata as-salam biasanya digunakan oleh orang-orang Hijaz, sedangkan
penggunaan kata as-salaf biasanya digunakan oleh orang-orang irak.

Secara terminologi, salam adalah menjual suatu barang yang penyerahanya tertunda,
atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran
modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.

Menurut fuqaha syafiiah dan hambali mendefinisikan jual beli salam adalah yaitu akad
yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih
dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majlis akad. Fuqaha
malikiyah mendefinisikan jual beli salam adalah yaitu jual beli yang modalnya dibayar
dahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang disepakati.

Maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud jual beli salam adalah transaksi jual beli
yang pembayaranya dilaksanakan ketika akad berlangsung dan penyerahan barang
dilaksanakan diakhir sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh penjual dan
pembeli.

2. Hukum dan dasar hukum jual beli salam

Jual beli salam ini diperbolehkan dalam islam berdasarkan dalil al-qur’an,al-hadis, dan
ijma(kesepakatan para ulama), yang diantaranya

a. Firman ALLAH yang menjelaskan tentang diperbolehkanya jual beli salam yang
terdapat dalam surat al-baqarah: 282

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan,hendaklah kamu menuliskanya. Dan hendaklah
seorang penulis diantara kamu menuliskanya dengan benar....”

b. Hadis Nabi yang menerangkan tentang jual beli salam yaitu:


“Rasulullah SAW datang kemadinah,dan pada saat itu orang banyak sedang
mengadakan salam pada tamar untuk jangka waktu dua dan tiga tahun. Maka
Rasulullah SAW bersabda:”Barang siapa menghutangkan, hendaklah ia
menghutangkan dalam harga yang diketahui dan ditimbangkan yang
diketahui,hingga masa yang diketahui.”

Sabda Rasulullah ini muncul ketika beliau pertama kali hijrah ke Madinah, dan
mendapati para penduduk Madinah melakukan transaksi jual beli salam. Jadi
Rasulullah SAW membolehkan jual beli salam asal akad yang dipergunakan
jelas,ciri-ciri barang yang dipesan jelas,dan ditentukan waktunya.

c. Ijma ulama atas kebolehan transaksi jual beli salam


Ibnu Mundzir dan lainya meriwayatkan adanya ijma”ulama”atas kebolehan
transaksi jual beli salam. Kebutuhan manusia untuk bertransaksi itulah yang
mendorong diperbolekanya jual beli salam. Karena satu pihak yang bertransaksi
ingin mendapatkan pembayaran yang dipercepat, sementara pihak yang lain ingin
mendapatkan barang yang jelas atau pasti.selain itu transaksi salam juga
merupakan dispensasivbagi manusia yang didalamya juga terdapat unsur yang
sejalan dengan upaya merealisasikan kemaslahatan perekonomian.

3. Syarat dan rukun jual beli salam

a. Rukun jual beli salam


1. Al-Aqid, adalah orang yang melakukan akad.
2. Objek jual beli salam, yaitu harga dan barang yang dipesan. Yang mana barang
dijadikan sebagai objek jual beli salam yang disebut dengan al-muslam fih.
3. Sighat (ijab dan qabul), ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek
perikatan.

b. Syarat jual beli salam


1. Orang yang berakad,
Ulama Malikiyah dab Hanafiyah mensyaratkan aqid harus berakal,y akni sudah
mumayyiz, anak yang agak besar yang pembicaraan dan jawaban yang
dilontarkanya dapat dipahami, serta berumur minimal 7 tahun. Adapun ulama
Syafiiyah dan Hambali mensyaratkan akid harus balig (terkena perinta syara),
berakal, telah mampu memelihara agama dan hartanya.

2. Syarat yang terkait dengan pembayaran atau harga, yaitu ;


a. Alat bayar harus diketahui dengan jelas jumlah dan jenisnya oleh pihak yang
terlibat dalam transaksi.
b. Pembayaran harus dilakukan selurunya ketika akad telah disepakati.
c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
3. Syarat yang terkait dengan barang, yaitu ;
a. Barangnya menjadi utang atau tanggungan bagi penjual.
b. Komoditinya harus sifat-sifat yan jelas, misalnya dengan disebutkan jenis, warna,
ciri-ciri, macam dan ukuranya.
c. Barang yang dipesan harus selalu tersedia dipasaran sejak akad berlangsung sampai
tiba waktu penyerahan.
d. Barang yang dipesan dalam akad salam harus berupa al-misliyat, yakni barang yang
banyak padananya dipasaran yang kuantitasnya dapat dinyatakan melalui hitungan,
takaran, atau timbangan.
e. Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.
f. Disebutkan tempat penyerahan barang pesananya

4. Syarat tentag waktu dan tempat penyerahan barang


Dalam melakukan akad salam syarat waktu dan tempat penyyerahan barang
tergantung pada kesepakatan diantara kedua belah pihak, agar lebi memberikan
rasa aman dan lebih menjaga agar tidak terjadi perselisihan.

5. Syarat ijab dan qabul


a. Tujuan yang terkandung didalam pernyataan ijab dan qabul harus jelas dan
terdapat kesesuaian,s ehingga dapat dipahami oleh masing-masing pihak
b. Pelaksanaan ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majlis.
c. Menggunakan kata as-salam atau as-salaf.

4. Karakteristik jual beli salam

 Harga, spesifikasi, karakteristik, kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan aset


yang dipesan sudah ditentukan dan disepakati ketika akad terjadi
 Dalam akad salam,harga barang pesanan yang sudah disepakati tidak dapt
berubah selama jangka waktu akad.apabila barang yang dikirim tidak sesuai
dengan ketentuan yang telah disepakati sebelumnya,maka pembeli boleh
melakukan khiar yaitu memilih apakah transaksi dilanjutkan atau dibatalkan.

Karakteristik utama jual beli salam adalah pesanan dengan harga tunai dan
barang tidak tunai. Contoh pertama, ketika jual beli barang yang belum tersedia saat
pemesanan atau transaksi pembelian. Uang ditransfer oleh pembeli saaat pesanan
kemudian barang dikirim. Contoh kedua, ketika belanja daring melalui marketplace.
Setelah pembeli menentukan kriteria
Makna talji-ah ialah seseorang takut miliknya akan diambil atau dirampas secara
dzalim dan semena mena, lalu ia melakukan kesepakatan kepada seseorang sehingga
ia menampakkan bahwa barang itu telah ia beli darinya agar miliknya selamat dari
rampasan tersebut. dan gambar barang yang akan dibeli, ia melakukan kontrak jual
beli dengan menyetujui ketentuan transaksi. Ia lalu melakukan pembayaran atau
pesanan diterima kemudian.

2.2 JUAL BELI TALJIAH

Bai’ al-Talji’ah merupakan suatu bentuk jual beli yang dilakukan oleh seorang
penjual yang dalam kondisi terdesak (terpaksa) karena khawatir hartanya diambil oleh
orang lain. Atau harta yang masih dalam status sengketa sehingga agar tidak mengalami
kerugian, harta tersebut dijual kepada pihak lain. Pilihan untuk menjual barang
dilatarbelakangi oleh tujuan untuk menyelamatkan hartanya atau mendapatkan
keuntungan lebih sebelum harta dibagi dengan pemilik lainnya. Jenis jual-beli seperti ini
termasuk jenis jual beli yang dilarang dalam Islam, karena dapat menimbulkan
ketidakpastian, sengketa di kemudian hari serta dapat menimbulkan kerugian pada
salah satu pihak, terutama pihak pembeli.

Jika keduanya berselisih, misalnya salah seorang dari mereka berkata,”jual beli ini
benar-benar jual beli tanpa ada unsur sandiwara”, sedangkan yang lainya berkata, “jual
beli ini hanya sandiwara saja,”maka jual beli ini boleh namun harus disertai sumpah
bagi yang mengingkarinya.

Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,”jual beli taljiah adalah jual beli
yang bathil, dan inilah madzhab al-hanabilah, karena kedua orang yang melakukan jual
beli, maka tidak sah akad dari mereka berdua. Hukum mereka berdua seperti dua orang
yang sedang bercanda. Sedangkan madzhab syafi’iyyah memandang sahnya jual beli
ini,karena rukun-rukun dan syarat-syaratnya tela sempurna.

Ketika jual beli taljiah dilakukan ada 3 kemungkinan terjadi, yaitu:

1. Terpaksa jual beli


Misal karena khawatir ada gangguan dari orang lain terhadap barangnya.
2. Terpaksa menaikkan harga
Misalnya, si A memiliki tanah berdampingan dengan tana si B. Lalu si A menjual ke
si C, tanpa memberi tahu si B. Dalam hal ini, si B memiliki hak syuf’ah, karena dia
yang paling berhak terhadap tanah itu. Sehingga si B boleh membeli kembali dari si
C secara paksa. Kadang si C menawarkan harga yang lebih tinggi agar si B tidak
sanggup untuk beli. Jika si B jadi membeli dengan harga yang ditawarkan si C, dia
melakukan transaksi taljiah
3. Tidak melaporkan salah satu pekerja
Misanya ada 2 orang yang sepakat untuk merahasiakan kesepakatan mereka untuk
bergantian kerja.

 HUKUM JUAL BELI TALJIAH


Menurut pendapat jumhur ulama, dari hanafiyah, malikiyyah,dan hambali jual beli
taljiah statusnya batal.
Sedangkan menurut pendapat syafi’iyah jual beli taljiah hukumya sah. Mereka
berdalil bahwa jual beli ini, semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi. Sementara
pelaku akad melakukanya dengan penuh kesadaran, tidak ada sisi yang menyebabkan
batal secara lahiriyah.
Dalam kaidah fiqih jual beli, secara umum syfiiyah lebih melihat dzahirnya dari
pada bagian yang tidak dzahir. Yang mereka nilai adalah apayang dilfadzkanya,dan
diucapkan oleh pelaku akad, tanpa melihat maksud dan tujuanya. Karena itulah,
syafiiyah mempersyaratkan dalam jual beli harus ada ijab qabul secara lisan. Jika tidak
maka transaksinya tidak sah.

2.3 JUAL BELI FUDHULI

Kata fudhuli turunan dari kata fadhl, yang artinya kelebihan. Sementara secara
istilah, para ulama menyebutkan bahwa mentransaksikan hak orang lain, tanpa izin
secara syar’i atau karena statusnya sebagai wali (pengurus) orang lain.

Jual beli fudhuli adalah jual beli dengan harta orang lain tanpa seizin pemilik harta
tersebut. Dalam madzhab jual beli fudhuli hukumya haram. Denan dalil hadits Nabi
shalallahu alaihi wasalam,” jangan kamu jual apa yang bukan milikmu” [HR.Abu Dawud,
Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan selainya. Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-
Majmu;(9/259)]

Mengenai hukum jual beli fudhuli ada dua keadaan:


1. Jika pemilik barang tidak merelakan barangnya dijual orang lain, atau uangnx
digunakan orang lain maka transaksinya batal dengan sepakat ulama.
2. Pemilik barang atau uang mengizinkan, menurut pendapat Abu hanifah statusnya
sah
Dalam kitab al-inayah syarh al-hidayah dinyatakan,” orang yang menjual barang milik
orang lain tanpa seizinya, maka pemilik memiliki hak pilih. Jika dia mau,dia bisa
merelakanya. Dan jika dia mau, dia bisa membatalkan transaksi.ini adalah pendapat
Imam Malik dan Imam Ahmad dalam satu riwayat.”
Sedangkan menurut imam as-syafii dan Imam Ahmad jual beli fudhuli statusnya batal,
sekalipun pemiliknya merelakan.
Lanjutan keterangan dalam al-Inayah Syarh al-Hidayah,” Imam as-syafii
rahimahullah mengatakan, jual belinya tidai sah, karena dia tidak memiliki izin syar’i
ketika melakukan akad. Karena izin syar’i untuk akad adalah d engan memiliki barang
atau dengan izin pemiliknya. Sementara keduanya tidak ada. Dan transaksinya tidak sah
kecuali dengan al-Qudrah as- Syariyah (keadaan yang diizinkan syariah).
2.4 JUAL BELI Al-WAFA’

Bai al-wafa’ adalah suatu jenis jual beli barang yang disyaratkan, dimana seorang
menjual barangnya kepada pihak lain dengan syarat barang tersebut harus dijual pada
dirinya (penjual) dengan harga tertentu dan pada saat tertentu sesuai dengan
perjanjian. Atau menjual barang dalam batas waktu tertentu, jika waktu itu tiba maka
seorang pembeli harus menjual kembali barangnya kepada penjual pertama itu.
Misalnya penjual mengatakan kepada calon pembeli, barang ini saya jual dengan harga
satu juta rupiah, dengan syarat tiga bulan yang akan datang kamu harus menjual barang
tersebut kepada saya dengan harga tertentu.

Jenis jual beli ini termasuk jenis jual beli yang terlarang, karena termasuk rekayasa
dan memberikan ketidakpastian, atau kepemilikan yang tidak utuh terhadap barang
yang dibeli oleh seseorang. Padahal dalam syariat Islam, jual beli merupakan salah satu
cara terjadinya perubahan kepemilikan (al-Taghayyur al-Milkiyah) dari seseorang
kepada orang lain. Dengan terjadinya perubahan kepemilikan tersebut, maka seorang
pembeli berhak memiliki barang yang dimilikinya tanpa terikat dengan waktu tertentu.
Ia berhak untuk mengggunakannya dalam waktu yang dia inginkan serta berhak
menghibahkan atau menjual barang (harta) nya kepada siapapun secara leluasa.

Berbicara mengenai hukum jual beli al-wafa’, terdapat perbedaan dari beberapa
ulama, yaitu ;

 Bay’u Al-Wafa’ Dalam Pandangan Madzhab Hanafiyah


Mazhab Hanafiyah memperbolehkan bay al-wafa dengan dasar hukum Urf.
Urf/kebiasaan adalah adat atau perilaku sehari-hari yang berlaku di masyarakat.
Mazhab Ḥanafî Asia Kecil memperbolehkan bay al-wafa’, walaupun mayoritas
ulama mazhab Hanafi lainnya tidak sepakat tentang bay al-wafa karena terdapat
tiga (3) akad jadi satu (1) dalam transaksi yaitu: akad al-Bay’ (jual beli), ar-Rahnu
(perjanjian gadai yang bertumpu pada batas waktu pengembalian barang),
Ijarah (sewa menyewa yang bertumpu pada pengambilan manfaat). Hanya saja
dikarenakan darurat keadaan himpitan ekonomi serta keengganan para
pemodal untuk meminjamkan sebagian modalnya kepada orang yang
membutuhkan para ulama mazhab Hanafi Asia kecil membuat akad bay al-wafa
ini sebagai trobosan baru dalam menyelamatkan mereka dari merajalelanya
praktek riba, dengan tetap berpegang pada dasar al-Qur’an dan al-Hadis.
Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa yang menjadi rukun dalam bai’ al-wafa’
ini sama dengan rukun dalam jual beli pada umumnya, yaitu ijab (pernyataan
dari penjual) dan qabul (pernyataan dari pembeli) sehingga dengan adanya ijab
dan qabul maka telah adanya unsur kerelaan (ridha) antara kedua pihak yang
berakad. Dalam hal jual beli, menurut ulama Hanafiyah yang menjadi rukun
hanya ijab dan qabul, sedangkan pihak yang berakad (penjual dan pembeli),
objek, dan harga termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli. Ulama Hanafiyah,
membolehkan praktek bai' al-wafa' ini karena syarat dalam jual beli sudah
terpenuhi yaitu ijab dan kabul di mana dengan adanya ijab dan kabul tersebut
sudah adanya unsur ridha sehingga akad tersebut dianggap sah.
 Bay’u Al-Wafa’ Dalam Pandangan Madzhab Al-Malikiyah
Ulama Al-Malikiyah berbeda pendapat tentang hukum bay’u al-wafa’, walaupun
substansinya sama, yaitu termasuk akad yang batal. Pendapat pertama
sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Al-Qasim dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra
bahwa bay’u al-wafa’ sebagai salah satu akad jual beli yang batal demi hukum.
Pendapat kedua sebagaimana dinyatakan Sahnun dan Ibnu Al-Majasyum bay’u
al-wafa’ adalah akad rahn yang batal demi hukum. Ibnu Rusyd menyatakan
bahwa bay’u al-wafa’ menurut Al-Imam Malik tidak diperbolehkan dengan
alasan bahwa bay’u al-wafa’ tersebut mengandung dua akad yang berbeda yang
tidak dapat dipastikan salah satunya, yaitu akad jual beli dan
akad salaf (pinjaman). Apabila harga harta perniagaan dikembalikan dari penjual
kepada pembeli, maka hal itu termasuk akad pinjaman dan apabila harganya itu
tidak dikembalikan maka akad tersebut termasuk akad jual beli.
 Bay’u Al-Wafa’ Dalam Pandangan Madzhab Al-Hanabilah.
Menurut ulama Al-Hanabilah akad bay’u al-wafa’ disebut dengan bay’u al-
amanah, sebab dalam akad jual beli tersebut mengandung kesepakatan antara
dua pihak, apabila pembeli mengembalikan harga barang, maka ia akan
mengembalikan barang itu kepada penjual. Akad jual beli seperti ini hukumnya
batal.
Sebab menurut mereka tujuan akad dua pihak ini tiada lain adalah untuk
mendapatkan keuntungan dengan cara riba, pembeli menyerahkan harga
barang dengan jumlah tertentu yang harus dikembalikan dengan cara tangguh,
dan imbalan keuntungan bagi pembeli adalah memanfaatkan barang tersebut.
Dengan demikian dalam hal ini wajib mengembalikan harta perniagaan kepada
penjual dan mengembalikan harganya kepada pembeli.
 Bay’u Al-Wafa’ Dalam Pandangan Madzhab Al-Syafi’iyah.
Ulama Mutaqaddimin dari kalangan Madzhab Al-Syafi’iyah berbeda pendapat
tentang hukum bay’u al-wafa’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa bay’u
al-wafa’ hukumnya fasid, apabila syarat berkewajiban untuk mengembalikan
objek akad (barang dan uang) adalah unsur lain yang menyertai akad, atau
pembeli dan penjual masih berada pada majelis akad atau pada masa tenggang
waktu khiyar syarath.
Adapun ulama kalangan Madzhab Al-Syafi’iyah muta’akhirin berpendapat
bahwa bay’u al-wafa’ diperbolehkan menurut hukum, pembeli boleh mengambil
manfaat harta yang dibelinya sesuai kehendaknya. Sebab akad jual beli ini telah
berlaku lama dalam masyarakat secara umum, karena cara bermu’amalah
seperti ini kenyataannya dibutuhkan masyarakat dan agar terhindar dari riba’.
Dengan demikian akad bay’u al-wafa’ sah secara hukum walaupun bertentangan
dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum, sebab suatu kaidah hukum
dapat disimpangi dalam kasus-kasus spesifik yang telah berlaku lama dalam
masyarakat, sebagaimana dalam akad jual beli al-istishna’. Abd Al-Rahman bin
Muhammad bin Husain bin Umar menyatakan bahwa bay’u al-wafa’ atau
disebut dengan bay’u al-‘ahidah, adalah salah satu akad jual beli yang sah secara
hukum dan boleh dilakukan berdasarkan dalil syara’ dan adat, beliau
menyatakan bahwa tentang akad jual beli ini tidak terdapat seorang ulama-pun
yang membantahnya, akad ini telah berlaku lama dalam masyarakat muslim
secara umum dalam berbagai negara, akad ini juga terdapat hikmah-hikmah
besar untuk menutupi kebutuhan mendesak masyarakat dalam menjalankan
kehidupannya. Dalam akad ini berlaku kaidah hukum Al-hajat tunazzilu
manzilata al-dlarurat. (kebutuhan mendesak menempati pada tempat darurat),
dan oleh karena itu berlakulah kaidah al-dlarurat tubihu al-mahdlurat ( karena
adanya kemadaratan yang mendesak, membolehkan melakukan yang dilarang).

2.5 JUAL BELI MU’ATHAH

Salah satu rukun jual beli ialah sighat atau ucapan timbal balik antara penjual dan
pembeli yang menunjukkan kerelaan dari keduanya. Namun dalam praktek jual beli
sehari-hari di antara realita dalam masyarakat jarang sighat akad jual beli tersebut
diucapkan dan biasanya pembeli cukup memberi uang dan mengambil barang yang
ingin dibelinya tanpa ijab dan qabul. Adapun dalam fikih jual beli tanpa sighat ijab dan
qabul biasa diistilahkan dengan jual beli mu’athah atau tanpa sighat, yaitu kesepakatan
kedua belah pihak atas harga dan barang yang dijual, keduanya saling memberi tanpa
ijab qabul dan kadang hanya ada perkataan dari salah satu pihak saja.

Hukum jual beli mu’athah menurut kebanyakan ulama Syafi’iyah ialah tidak sah
karena salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi yaitu sighat ijab dan qabul.

Sebagaimana dijelaskan bahwa:

‫ – الشافعية‬،‫ وإشارة األخرس المعلومة‬،‫ الينعقد البيع إال بالصيغة الكالمية أو مايقوم مقامها من الكتاب والرسول‬:‫قالوا‬
‫أما المعاطاة فإن البيع الينعقد بها‬

Artinya: “Ulama Syafi’iyah berkata, ‘Tidak sah jual beli kecuali dengan sighat berupa
ucapan atau sesuatu yang bisa menempati di posisinya seperti tulisan, utusan dan
isyarat yang diketahui bagi orang bisu, adapun jual beli tanpa sighat maka tidak sah.”
(Lihat: al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah)

Menanggapi hal tersebut Imam Nawawi menjelaskan bahwa akad jual beli tanpa
sighat masih diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama, yang mana sebagian
menilai tidak sah dan sebagian lagi menilai sah asal sudah diketahui bahwa kedua belah
pihak sama-sama ridha.
‫ وال يوجد لفظ أو‬،‫ أن يعطيه درهما ً أو غيره ويأخذ منه شيئا ً في مقابلته‬:‫صورة المعاطاة التي فيها الخالف السابق‬
‫ فإذا ظهر‬،‫ وجرى فيها – يوجد لفظ من أحدهما دون اآلخر‬،‫والقرينة وجود الرضى من الجانبين ـــ حصلت المعاطاة‬
‫الخالف‬

Artinya: “Bentuk dari jual beli mu’athah yang terjadi perbedaan pendapat di atas ialah
pembeli memberikan uang pada penjual dan pembeli mengambil barang dari penjual
sedagai gantinya, dan tidak ada kalimat yang menyatakan ijab dan qabul, jika secara
zahir ada kerelaan di antara keduanya yaitu pembeli dan penjual, maka itulah yang
dinamakan jual beli mu’athah dan dalam jual beli mu’athah terjadi perbedaan ulama
terkait keabsahannya.” (Lihat: al-Majmu, Imam Nawawi)

Meskipun demikian, hukum jual beli mu’athah menurut Imam Ghazali lebih
cenderung dibolehkan meski tanpa sighat ijab dan qabul terutama saat benda-benda
yang diperjual belikan tidak terlalu berharga, yang demikian karena sulit untuk selalu
mengucapkan ijab dan qabul dan biasanya antara penjual dan pembeli sudah sama-
sama ridha meskipun tanpa sighat dan hal ini sebagaimana dijelaskan berikut:

‫وقد مال صاحب اإلحياء إلى جواز البيع في األشياء اليسيرة بالمعاطاة ألن اإليجاب والقبول يشق في مثلـها عادة‬

Artinya: “Imam Ghazali dalam kitab Ihya condong kepada bolehnya jual beli mu’athah
(tanpa sighat) dalam benda-benda yang ringan, karena ijab dan qabul dalam jual beli
benda-benda yang ringan biasanya sulit.” (Lihat: al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah)

Jadi akad dalam jual beli mu’athah tidak disebutkan shighatnya karena akad yang
jenisnya seperti ini dibuat oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.

Adapun ulama Hanafiyah sepakat dengan hal tersebut dimana mereka mengatakan
bahwa terlaksananya ijab kabul tidak harus diekspresikan lewat ucapan atau perkataan
tertentu, sebab dalam ukuran ijab kabul yang diutamakan adalah unsur kerelaan kedua
belah pihak yang melakukan transaksi dan adanya tindakan.

Karenanya Imam Nawawi, Baghawi, Mutawali dan beberapa ulama lain


berpendapat bahwa lafadz tidak menjadi rukun dalam jual beli karena yang demikian
hanya berdasarkan adat kebiasaan dan kondisi tertentu yang belaku saja.

Kesimpulannya berdasarkan perbedaan pendapat tentang hukum jual beli


mu’athah tersebut ialah pendapat terkuatnya, ijab kabul boleh dan sah hanya dengan
perbuatan dengan kondisi tertentu dengan alasan.
BAB II

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dalam kehidupan bermasyarakat, kegiatan muamalah yakni jual-beli takan luput


dari pandangan kita sehari hari. Jual beli menjadi hal yang lumrah di masyarakat karena
mencakup aspek sosial dan ekonomi, menjadi tempat masyarakat bersosialisasi juga
menjadi tempat masyarakat mencari pundi pundi rupiah. Namun, selain jual beli yang
sering terjadi di pasar pasar atau toko toko . Jual beli juga ternyata memiliki banyak
macamnya seperti jual beli salam (jual beli dengan mendahulukan pembayaran dan
mengakhirkan barang), kedua jual beli Talji’ah (jual beli yang dilakukan dalam kondisi
terdesak karena khawatir hartanya diambil oleh orang lain), ketiga jual beli fudhuli (jual
beli dengan harta orang lain tanpa seizin pemilik harta), keempat jual beli al-wafa’ (jual
beli barang yang disyaratkan), dan terakhir jual beli mu’athah (jual beli tanpa adanya
sighat).
DAFTAR PUSTAKA

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), 143. 2

Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami> wa Adillatuhu, Juz IV, (Damaskus: Darul Fikr, 2008),
359

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, 144.

Mustafa Kamal, et. al., Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), 356.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 70.

Saleh al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Inani Press, 2005), 407.

Chairuman pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:

Sinar Grafika, 1994), 48.

Hendi Suhendi, Fiqh Mu'amalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 74.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 115.

https://pecihitam.org/hukum-jual-beli-muathah-jual-beli-tanpa-sighat/

https://muhammadiyah.or.id/jual-beli-dilarang/

http://www.pa-tasikmalaya.go.id/artikel-pengadilan/958-bayi-al-wafa-sebagai-solusi-
menghindari-riba-dalam-mekanisme-gadai-adat-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai