Anda di halaman 1dari 39

REVISI

BAI’ SALAM DAN ISITISHNA’

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Fikih
Muamalah

Dosen Pengampu: Siti Shopiyah, M.A

Disusun Oleh: Tarbiyah 4A

Kelompok 6

Aliya Zafira: 21312357

Eka Nurojiyati: 21312475

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1444 H/2023 M
َّ ‫الر ْحمٰ ِن‬
‫الرحِ ي ِْم‬ َّ ‫ّٰللا‬
ِ ‫س ِم ه‬
ْ ‫ِب‬
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya


kepada kita semua, sehingga kita semua dapat menjalankan aktivitas kita
setiap hari. Setiap kita melakukan hal apa saja selalu iringi dengan doa.
Tak lupa juga kita panjatkan Shalawat dan Salam kepada Nabi Besar kita
Muhammad SAW, beliau telah memberikan kita kehidupan seperti saat
ini. Beliau telah menuntun kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang
saat ini.

Pada kesempatan ini kami selaku Mahasiswi IIQ Jakarta Fakultas


Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam kelas 4A akan menyusun
makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya. Selain itu, kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Siti
Shopiyah, M.A. Selaku dosen pembimbing mata kuliah Fikih Muamalah
yang telah memberikan kami dorongan serta motivasi. Kami tahu bahwa
dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan serta kesalahan,
maka kami mengaharap kritik dan saran yang dapat membantu kami
dalam menyusun makalah yang akan datang.

Tangerang, 2 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah .................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Bai’ Salam ............................................................................................................. 3
1. Pengertian Bai’ Salam ..................................................................................... 3
2. Dasar Hukum Bai’ Salam ................................................................................ 5
3. Rukun Bai’ Salam ............................................................................................ 8
4. Syarat Bai’ Salam ........................................................................................... 10
5. Contoh Pengaplikasian dalam Masyarakat ................................................. 16
B. Jual Beli Istishna’ ............................................................................................... 17
1. Pengertian jual beli istishna’ ......................................................................... 17
2. Dasar Hukum Istishna’ .................................................................................. 22
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Istishna’ ........................................................... 25
4. Skema Akad Istishna’ .................................................................................... 31
5. Contoh Pengaplikasian dalam Mayarakat ................................................... 32
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 33
B. Saran..................................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................35

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama


dalam fikih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya
bisa mencapai belasan bahkan puluhan. Meskipun demikian, dari
sekian banyak itu ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan
sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi
dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah
penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan
menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada
perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan
kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan
dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya
dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan
istishna’. Jual beli dengan salam dan istishna’ ini, akadnya sangat
jelas, barangnya jelas, dan keamanannya juga jelas. Maka jual beli
salam dan istishna’ wajar jika masih banyak diminati.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu jual beli Salam?


2. Apa saja dasar hukum jual beli Salam?
3. Apa saja syarat dan rukun jual beli Salam?

1
2

4. Apa saja syarat penjual, pembeli, dan barang yang diperjual


belikan?
5. Bagaimana cara mengaplikasikan jual beli Salam di masyarakat?
6. Apa itu jual beli Istishna’?
7. Apa saja dasar hukum jual beli Istishna’?
8. Apa saja syarat dan rukun jual beli Istishna’?
9. Apa saja syarat penjual, pembeli, dan barang yang diperjual
belikan?
10. Bagaimana cara mengaplikasikan jual beli Istishna’ di
masyarakat?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian dari jual beli Salam.


2. Untuk mengetahui dasar hukum jual beli Salam.
3. Untuk mengetahui syarat dan rukun jual beli Salam.
4. Untuk mengetahui syarat penjual, pembeli, dan barang yang
diperjual belikan.
5. Untuk mengetahui cara mengaplikasikan jual beli Salam di
masyarakat.
6. Untuk mengetahui pengertian jual beli Istishna’.
7. Untuk mengetahui saja dasar hukum jual beli Istishna’.
8. Untuk mengetahui syarat dan rukun jual beli Istishna’.
9. Untuk mengetahui syarat penjual, pembeli, dan barang yang
diperjual belikan.
10. Untuk mengetahui cara mengaplikasikan jual beli Istishna’ di
masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bai’ Salam

1. Pengertian Bai’ Salam

As-Salam)‫ (السالم‬dalam istilah fikih disebut juga as-salaf.


Secara etimologi kedua kata memiliki makna yang sama, yaitu
mendahulukan pembayaran dan mengakhirkan barang.
Penggunaan kata as-salam biasanya digunakan oleh orang- orang
Hijaz, sedangkan penggunaan kata as-salaf biasanya digunakan
oleh orang-orang Irak. Secara terminologis, salam adalah menjual
suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu
barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan
pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya
diserahkan di kemudian hari.
Atau bisa juga diartikan menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-
cirinya disebutkan dengan pembayaran modal terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan di kemudian hari.
Salam merupakan bentuk jual-beli dengan pembayaran di
muka dan penyerahan barang dikemudian hari (advanced
payment atau forward buying atau future sales) dengan harga,
spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal, dan tempat penyerahan
yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.1
Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat
transaksi dan harus diproduksi terlebih dahulu, seperti produk-

1
Masyhuri Azhar, Konsep Ba’I Salam dalam Transaksi Jual Beli Online (Jakarta:
T.pn., 2020), h. 25.

3
4

produk pertanian dan produk-produk fungible (barang yang dapat


diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya)
lainnya. Barang-barang non-fungible seperti batu mulia, lukisan
berharga, dan lain-lain yang merupakan barang langka tidak dapat
dijadikan objek salam.
Resiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih
berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak
pembeli berhak untuk meneliti dan menolak barang yang akan
diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang
disepakati.
Selain definisi tersebut terdapat beberapa definisi lain
mengenai salam yang berkembang di kalangan fuqaha, antara lain
imam Syafi`i dan imam Ahmad mendefinisikan jual beli salam
adalah:2

ٍ ‫هوغلة على موصوف‬


‫بدمة مؤجل يكمي مقبوض ينجلي الْ َعقد‬
Artinya: “Akad yang paket dengan menentukan ciri-ciri tertentu
dengan membayar harganya lebih dahulu sedangkan barangnya
deserahkan kemudian dalam suatu majelis akad”
Malikiyah mendefinisikan jual beli salam sebagai berikut

‫بيع ابلقدم فيه رأس املال وبنا هو التماثيل األخل‬


Artinya: “Jual beli yang modalnyo dibayar dahulu sedangkan
barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang disepakati.”

2
Hariman Surya Siregar dan Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori
Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2019), h.135.
5

Dari berbagai definisi di atas, disimpulkan bahwa yang


dimaksud jual beli salam adalah transaksi jual beli yang
pembayarannya dilaksanakan ketika akad berlangsung dan
penyerahan barang dilaksanakan di akhir sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli. Dalam
menggunakan akad salam, hendaknya menyebutkan sifat-sifat
dari objek jual beli salam yang mungkin bisa dijangkau oleh
pembeli, baik berupa barang yang bisa ditakar, ditimbang,
maupun diukur. Disebutkan juga jenisnya dan semua identitas
yang melekat pada barang yang dipertukarkan yang menyangkut:
kualitas barang tersebut. Jual beli salam juga dapat berlaku untuk
mengimpor barang-barang dari luar negeri dengan menyebutkan
sifat-sifatnya, kualitas, dan kuantitas. Penyerahan uang muka dan
penyerahan barangnya dapat dibicarakan bersama dan biasanya
dibuat dalam suatu perjanjian.
Untuk zaman modern ini jual beli pesanan lebih terlihat
dalam pembelian alat-alat furnitur, seperti kursi tamu, tempat
tidur, lemari pakaian. Barang seperti ini, biasanya dipesan sesuai
dengan selera konsumen, Oleh sebab itu, dalam jual beli pesanan.
hal ini boleh dilakukan dengan syarat harga barang harus dibayar
terlebih dahulu.3

2. Dasar Hukum Bai’ Salam

Berikut adalah dasar hukum jual beli bai’ salam


a. Firman Allah QS. Al-Baqarah: 282

3
Hariman Surya Siregar dan Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori
Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2019), h.136.
‫‪6‬‬

‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬ ‫َّ‬


‫يٰٓ َايُّ َها الذيْ َن ا َم ُن ْوْٓا ا َذا َت َد َاي ْن ُت ْم ب َد ْين الٰٓى ا َجل ُّم َس ًّمى َفاك ُت ُب ْو ُه َو ْل َيك ُتبْ‬
‫ُۗ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ ٍ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬

‫َّ ْ َ ُ ْ َ ٌ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ٌ َ ْ َّ ْ ُ َ َ َ ََّ َ ُ ه‬
‫اّٰللُ‬ ‫ب ِبالعد ِلِۖ ولا يأب ك ِاتب ان يكتب كما علمه‬
‫بينكم ك ِات ٌۢ‬

‫ْ ُ‬ ‫ْ‬ ‫ه َ ََّ ٗ َ َ َ ْ َ‬ ‫َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ْ َّ ْ َ َ ْ ْ َ ُّ َ ْ ََّ‬


‫فليكتبْۚ وليم ِل ِل ال ِذي علي ِه الحق وليت ِق اّٰلل ربه ولا يبخس ِمنه‬

‫َ ْ َ ْ َ َ َّ ْ َ َ ْ ْ َ ُّ َ ْ ً َ ْ َ ْ ً َ ْ َ َ ْ َ ْ ُ َ ْ‬
‫شي ًٔـاُۗ ف ِان كان ال ِذي علي ِه الحق س ِفيها او ض ِعيفا او لا يست ِطيع ان‬

‫ْ َ ُ ْ َ ْ‬ ‫ْ‬ ‫ُّ َّ ُ َ َ ْ ُ ْ ْ َ ُّ ٗ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ‬
‫ي ِمل هو فليم ِلل ولِ يه ِبالعد ِلُۗ واستش ِهدوا ش ِهيدي ِن ِمن ِرجا ِلكمْۚ ف ِان‬

‫ُّ َۤ َ ْ َ َّ‬ ‫َ ٰ َّ َ َ َ‬ ‫ُ َ ُ َ َ ُ ٌ‬ ‫َّ‬


‫ل ْم َيك ْونا َرجل ْي ِن ف َرجل َّو ْام َرات ِن ِِم ْن ت ْرض ْون ِم َن الش َهد ِاء ان ت ِضل‬

‫ُ ُ‬ ‫َ َ َ ْ َ ُّ َ َۤ ُ َ‬ ‫ْ ٰ ُ َ َ َُ َ ْ ٰ ُ َ ُْ ْ‬
‫اء ِاذا َما دع ْواُۗ‬‫ىهما الاخ ٰرىُۗ ولا يأب الشهد‬ ‫ِاحدىهما فتذ ِكر ِاحد‬

‫ْ َ‬ ‫ٰ ُ َْ ُ‬ ‫ٰٓ َ َ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬ ‫َ ْ َ ُْ‬ ‫َ َ‬


‫َولا ت ْس َٔـ ُم ْوْٓا ان تكت ُب ْو ُه ص ِغ ْي ًرا ا ْو ك ِب ْي ًرا ِالى اج ِلهُۗ ذ ِلك ْم اق َسط ِعند‬

‫َّ‬
‫ً‬ ‫ه َ َ ْ َ ُ َّ َ َ َ َ ْ ٰ َ َ ْ َ ُ ْ َّ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ً َ‬
‫اض َرة‬
‫ِ‬ ‫ح‬ ‫ة‬‫ار‬ ‫ج‬ ‫ت‬‫ِ‬ ‫ن‬‫و‬‫ك‬‫ت‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ا‬
‫ْٓ‬ ‫ل‬‫ا‬‫ِ‬ ‫ْٓا‬ ‫و‬‫اب‬ ‫ت‬ ‫ر‬‫ت‬ ‫ا‬‫ل‬‫اّٰلل واقوم ِللشهاد ِة وادن ْٓى ا‬
‫ِ‬

‫ُ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ٌ ََّ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ‬
‫ت ِديرونها بينكم فليس عليكم جناح الا تكتبوهاُۗ واش ِهد ْٓوا ِاذا‬

‫ْ َ ْ َ ُ ْ َ َّ ٗ ُ ْ ٌ ُ‬ ‫ٌ‬ ‫َ َ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬ ‫ََ ْ ُ‬


‫ق ِبك ْمُۗ‬
‫تب َايعت ْمِۖ َولا ُيضاَّۤر ك ِات ٌب َّولا ش ِه ْيد ەُۗ َواِ ن تفعلوا ف ِانه ف ُسو ٌۢ‬

‫ُ‬
‫اّٰلل ب ُكل َش ْيء َعل ْيمٌ‬
‫اّٰللُۗ َو ه ُ‬
‫اّٰللُۗ َو ُي َعل ُمك ُم ه ُ‬
‫َوَّات ُقوا ه َ‬
‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
7

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu


bermuamalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah
pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-
nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya).
Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan
janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang
itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau
tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya
mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang
saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua
orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang
perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para
saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi
perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu
bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu)
kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah,
lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan
kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan
perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka,
tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya.
Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah
pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika
kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu
kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah
8

memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha


Mengetahui segala sesuatu.”
b. Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:

‫من أسلف يف شيء يف كيل معلوم ووزن معلوم إىل أجل معلوم‬

Artinya: “Barang siapa melakukan salaf (Salam), hendaknya


ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang
jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” (HR. Bukhari)
c. Ijma’
Menurut Ibnul Munzil, ulama ulama sepakat atas kebolehan
jual beli denga cara salam. Di samping itu cara tersebut juga
diperlakukan oleh masyarakat.

d. Kaidah fiqh:

‫األصل يف املعاملة اإلابحة حىت يدل الدليل على التحرمي‬

Artinya: “Hukum asal, semua bentuk muamalah boleh


dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”4
e. Fatwa:
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Salam.5

3. Rukun Bai’ Salam

4
Masyhuri Azhar, Konsep Ba’I Salam dalam Transaksi Jual Beli Online (Jakarta:
T.pn., 2020), h. 27.
5
Dewan Syariah Nasional MUI
9

Ulama hanafiyah menyatakan bahwa rukun jual beli salam


ini hanya ijab (ungkapan dari pihak pemesan dalam memesan
barang) dan kabul (ungkapan pihak produsen untuk mengerjakan
barang pesanan). Lafadz yang dipakai dalam jual beli pesanan
menurut Ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah adalah
lafadz as-salam, as-salaf, atau al-bay (jual beli).
Adapun menurut Ulama Syafi’iyah, lafadz yang boleh
dipergunakan dalam jual beli pesanan ini hanya as-salam dan as-
salaf. Alasan Ulama Syafi’iyah adalah hanya menurut kaidah
umum (analogi) jual beli seperti ini tidak dibolehkan karena
barang yang dibeli belum kelihatan ketika akad. Akan tetapi,
syara’ membolehkan jual beli ini dengan mempergunakan lafadz
as-salam dan as-salaf Oleh sebab itu, perlu pembatasan dalam
pemakaian kata itu sesuai dengan pemakaian syara’. Adapun
rukun jual beli salam menurut jumhur ulama, selain Hanafiah,
terdiri atas:
a. Al-Aqid
Al-Aqid adalah orang yang melakukan akad. Dalam
perjanjian salam, pihak penjual disebut dengan al-mustam
ilaih (orang yang diserahi) dan pihak pembeli disebut al-
muslam atau pemilik as-salam (yang menyerahkan).
Keberadaan ‘aqid sangatlah penting, sebab tidak dapat
dikatakan akad jika tidak ada aqid, begitu pula tidak akan
terjadi jiab dan kabul tanpa adanya aqid.
b. Objek jual beli salam.

Objek jual beli salam, yaitu harga dan barang yang dipesan.
Barang yang dijadikan sebagai objek jual beli disebut al-
muslam fih Barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya dan
10

waktu penyerahannya. Harga dalam jual beli salam harus jelas


serta diserahkan waktu akad.

c. Sighat (ijab dan Kabul)


ljab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh
pada objek perikatan. Yang dimaksud dengan “sesuai
kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang
dilakukan dua belah pihak atau lebih tidak boleh, apabila
tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan
untuk melakukan transaksi riba menipu orang lain, atau
merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman
kalimat berpengaruh pada objek “perikatan” maksudnya
adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang
melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan kabul).6

4. Syarat Bai’ Salam

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli


salam adalah sebagai berikut.
a. Syarat orang yang berakad (Al-Aqid)
Ulama malikiyah dan Hanafiah mensyaratkan aqid harus
berakal, yakni sudah mumayyiz, anak yang agak besar yang
pembicaraan dan jawaban yang dilontarkan dapat dipahami
serta berumur minimal 7 tahun. Oleh karena itu, anak kecil,
orang gila, dan orang bodoh tidak boleh menjual harta
sekalipun miliknya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam
surah An-Nisa ayat 5:

6
Hariman Surya Siregar dan Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori
Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2019), h.140.
11

ُ َ ‫َ َ َ ه‬ َّ ُ َ َ
ُ ُُ ً ُّ ‫َو َلا ُت ْؤ ُتوا‬
ُ ‫الس َف َها َۤء ا ْم َوالك ُم الت ْي جعل‬
‫اّٰلل لك ْم ِق ٰيما َّو ْارزق ْوه ْم ِف ْي َها‬ ِ

ً ْ ً َ َ ُ ُ ُ ْ
‫َواك ُس ْوه ْم َوق ْول ْوا ل ُه ْم ق ْولا َّمع ُر ْوفا‬

“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum


sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam
kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok
kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dari
(hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang baik.”
Adapun Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mensyaratkan
aqid harus baligh, mumayyiz, berakal, telah mampu
memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, ulama
Hanabilah membolehkan seorang anak kecil membeli barang
yang sederhana atas seizin walinya. Kecakapan sempurna
yang dimiliki oleh orang yang telah baligh itu dititikberatkan
pada adanya pertimbangan akal yang sempurna, bukan pada
bilangan umur atau bilangan tahun yang dilaluinya. Kualitas
kekuatan akal pikiran juga dapat mempengaruhi secara
signifikan kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan
hukum atau hal-hal yang membawa dampak akan tanggung
jawab yang dipikulnya nanti di kemudian hari, seiring dengan
pengambilan posisi sebagai personal yang melakukan
perbuatan itu.7
b. Syarat yang terkait dengan pembayaran atau harga, di
antaranya sebagai berikut.

7
Hariman Surya Siregar dan Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori
Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2019), h. 141-142.
12

1) Alat bayar harus diketahui dengan jelas jumlah dan


jenisnya oleh pihak yang terlibat dalam transaksi.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan
ketidakjelasan dalam transaksi yang akhirnya
dikhawatirkan dapat menimbulkan perselisihan di
kemudian hari.
2) Pembayaran harus dilakukan seluruhnya ketika akad telah
disepakati. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga maksud
utama jual beli salam, yaitu membantu pihak yang butuh
modal untuk biaya produksi.
3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.
c. Syarat yang terkait dengan barang, di antaranya:
1) Barangnya menjadi utang atau tanggungan bagi penjual.
Dengan demikian, barang pesanan yang telah menjadi
tanggungan pihak penjual, keberadaannya tidak boleh
diserahkan kepada pihak lain.
2) Komoditinya harus dengan sifat-sifat yang jelas, misalnya
dengan disebutkan jenis, warna, ciri-ciri, macam, dan
ukurannya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
konflik antara seorang Muslim dengan saudaranya yang
menyebabkan dendam dan permusuhan di antara
keduanya. Pada era modern seperti sekarang, untuk
menambah kejelasan spesifikasi pengetahuan tentang
macam komoditi yang akan dijadikan al muslam fih dapat
ditambah dengan menghadirkan bentuk visual dari al-
mustam fih.
3) Barang yang dipesan harus selalu tersedia di pasaran sejak
akad berlangsung sampai tiba waktu penyerahan. Aturan
13

ini ditetapkan guna menjamin sebuah kepastian dapat


diserahkannya barang tersebut tepat pada waktunya.
Karena kesanggupan penjual untuk penyerahan barang
didasarkan pada upayanya untuk menyediakan barang
tersebut.
4) Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang
dijanjikan (pendapat Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah). Akan tetapi, Ulama Syafi'iyah menyatakan
bahwa dalam jual beli pesanan boleh saja barang
diserahkan waktu akad, sebagaimana dibolehkan
penyerahannya pada waktu yang disepakati bersama
sehingga memperkecil kemungkinan terjadi penipuan.8
5) Disebutkan tempat penyerahan barang.
d. Syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang
1) Syarat tentang waktu penyerahan barang
Mengenai tenggang waktu penyerahan barang dapat saja
ditentukan tanggal dan harinya, tetapi tidak semua jenis
barang dapat ditentukan demikian. Ulama Hanafiyah dan
Hanabilah mengatakan satu bulan, sedangkan Ulama
Malikiyah memberi tengang waktu setengah bulan.
2) Syarat tentang sempat penyerahan berang
Pihak pihak yang bertransaksi harus menunjuk tempat
untuk penyerahan barang yang dipesan. Ketentuan ini
ditetapkan apabila untuk membawa barang pesanan
diperlukan biaya pengiriman atau tempat terjadinya
transaksi tidak layak dijadikan tempat penyerahan barang

8
Nasrun Haroen, fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.150.
14

pesanan, seperti di tengah gurun. Namun, apabila tempat


terjadinya transaksi itu layak dijadikan tempat penyerahan
atau untuk membawanya tidak diperlukan biaya
pengiriman, maka tidak harus menunjuk tempat
penyerahan barang.
Jika kedua belah pihak yang berakad tidak mencantumkan
penentuan tempat serah terima, jual beli salam tetap
dinyatakan sah, dan tempat penyerahan bisa ditentukan
kemudian. Hal ini dikarenakan tidak ada hadis yang
menjelaskan. Apabila penyerahan barang merupakan
syarat sah jual beli salam, maka Rasulullah akan
menyebutkannya seperti beliau menyebutkan takaran,
timbangan dan waktu.
Yang perlu diperhatikan adalah dalam melakukan akad
salam syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang
bergantung pada kesepakatan di antara kedua belah pihak,
agar lebih memberikan rasa aman dan lebih menjaga agar
tidak terjadi perselisihan. Apabila barang yang dipesan
telah diterima dan kemudian terdapat cacat pada barang
itu atau tidak sesuai dengan sifat-sifat, ciri-ciri, kualitas,
kuantitas barang yang dipesan, maka pihak pemesan atau
konsumen boleh minta ganti rugi atau menyatakan apakah
ia menerima atau tidak, sekalipun dalam jual beli pesanan
ini tidak ada hak khiyar.
Dalam fikih Islam juga disebutkan bahwa apabila pada
barang yang dibeli terdapat cacat, kerusakan dan
ketidaksesuaian dengan apa yang dipesan, maka barang
yang dibeli dapat dikembalikan kepada penjualnya.
15

Ketentuan ini sebenarnya untuk menjamin hak-hak


pembeli atau konsumen agar mendapatkan barang yang
sesuai dengan yang dipesan.9
e. Syarat ljab dan Kabul (Sighat)
Adapun syarat-syarat ijab kabul yang harus dipenuhi dalam
jual beli salam adalah sebagai berikut.
1) Tujuan yang terkandung di dalam pernyataan ijab dan
kabul harus jelas dan terdapat kesesuaian sehingga dapat
dipahami oleh masing-masing pihak.
2) Pelaksanaan ijab dan kabul harus berhubungan langsung
dalam satu majelis. Apabila kedua belah pihak hadir dan
saling bertemu dalam satu tempat untuk melaksanakan
transaksi, maka tempat tersebut adalah majelis akad.
Adapun jika masing-masing pihak saling berjauhan, maka
majelis akad tempat terjadinya kabul. Pernyataan ijab dan
kabul dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan atau
surah-menyurat, atau isyarat yang memberikan pengertian
dengan jelas tentang adanya ijab dan kabul, dan dapat juga
berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab
kabul.10
3) Mengenakan kata as-salam atau as-salaf. Bila
menggunakan kata-kata jual beli (al-bai’), maka tidak sah
menurut pendapat yang lebih kuat. Alasan yang dike-
mukakan adalah karena jual beli pesanan termasuk. jual
belo yang secara qiyas tidak diperbolehkan, akan tapi

9
Hariman Surya Siregar dan Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori
Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2019), h.144.
10
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 68.
16

pelarangan ini telah dihapuskan dengan per timbangan


kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam sehingga
para ulama berpendapat perlu adanya sebuah pembatasan
terhadap penggunaan kata yang hanya sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh syara’. Oleh karena itu, syara’
membolehkan akad ini hanya menggunakan kata-kata
salam dan salaf. Namun, ada pula pendapat yang
membolehkan akad ini dengan menggunakan kata jual
beli (al-bay’) biasa dan tetap sah sebagai transaksi jual
beli.11

5. Contoh Pengaplikasian dalam Masyarakat

a. Markona adalah seorang penjual brownies. Suatu hari


Mumpuni memesan brownies rasa cokelat tiramisu
kepada Markona untuk acara seminggu ke depan. Pada
saat memesan brownies tersebut, Mumpuni langsung
membayar lunas kepada Markona dan keduanya sepakat
bahwa markona akan mengantarkan brownies tersebut
kerumah mumpuni dalam waktu 1 minggu. Setelah
seminggu ke depan brownies di antar markona kepada
mumpuni sesuai waktu yang sudah disepakati di awal
akad.
b. Juhai adalah seorang penjual pempek. Suatu hari tini
memesan 100 pempek kepada juhai untuk acara pengajian
diesok hari. Pada saat tini memesan pempek tersebut, tini
langsung membayar lunas kepada juhai dan keduanya

11
Hariman Surya Siregar dan Koko Khoerudin, Fikih Muamalah Teori
Implementasi, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2019), h.147.
17

sepakat bahwa juhai akan mengantarkan pesanan tini


kerumah esok hari. Keesokan harinya juhai mengantarkan
pesanan tini sesuai waktu yang sudah disepakati diawal
akad.

B. Jual Beli Istishna’

1. Pengertian jual beli istishna’

Secara bahasa, kata istishna’ diambil dari kata Shana’a yang


berarti membuat yang kemudian ditambahkan huruf alif, sin dan
ta sehingga menjadi istishna’. Yang berarti meminta untuk
dibuatkan/dipesan sesuatu.12
Secara terminologi Istishna’ berarti meminta kepada seseorang
untuk dibuatkan suatu barang tertentu dengan spesifikasi tertentu.
Istishna’ juga dapat diartikan sebagai akad yang dibuat seseorang
untuk membeli barang pada orang tersebut. Jadi, dalam akad
Istishna’ barang yang menjadi objek adalah barang-barang buatan
atau hasil karya.13
Menurut ahli fikih, pengertian Istishna’ adalah suatu
permintaan untuk mengerjakan sesuatu tertentu berdasarkan cara
tertentu yang materinya (bahan bakunya) dari pihak pembuat
(tukang).14
Istishna’ ini bisa terjadi dengan adanya ijab dan pemesan dan
Kabul dari si penerima pesanan. Dalam hal ini, pemesanan adalah

12
Yadi Janwari, Fikih Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2015), h. 40.
13
Imam Mustafa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2016), h. 94.
14
Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, Akad Jual Beli Dalam
Perspektif Fikih dan
Praktiknya di Pasar Modal Indonesia, Jurnal Al Adalah, Vol. XII, No. 4 2015, (Bandar
Lampung: Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, 2015), h. 788.
18

sebagai pembeli dan penerima sebagai penjual. Pada dasarnya,


akad Istishna’ sama halnya dengan salam, dimana barang yang
menjadi objek akad atau transaksi belum ada. Hanya saja, dalam
akad Istishna’ tidak diisyaratkan memberikan modal atau uang
muka kepada penerima pesanan atau penjual.
Menurut Zuhaily, bai’Istishna’ adalah akad bersama produsen
untuk sesuatu pekerjaan tertentu atau jual jual beli suatu barang
yang akan dibuat oleh produsen yang juga menyediakan barang
bakunya, sedangkan jika barang bakunya dari pemesan maka
akan menjadi akad ijarah (sewa), pemesan hanya menyewa jasa
produsen untuk membuat barang. Adapun istishna’ yang
menyerupai akad salam, karena termasuk bai’ ma’dum (jual beli
barang tidak ada), juga karena barang yang dibuat melekat pada
waktu akad pada tanggungan pembuat (shani’) atau penjual.15
Menurut Fatwa DSB No. 06/DSN MUI/IV/2000 tentang jual
beli istishna’, bai’ istishna’ merupakan kontrak penjualan antara
mustasni’ (pembeli) dan sani’ (supplier) dimana pihak supplier
menerima pesan dari pembeli menurut spesifikasi tertentu. Pihak
supplier berusaha melalui orang lain untuk membeli atau
membuat barang dan menyampaikannya kepada pemesan.
Pembayaran dapat dilakukan di awal, cicilan atau ditagguhkan
hingga waktu tertentu.16
Berdasarkan definisi-definisi istishna’ adalah akad antara dua
orang di mana salah seorang mustashni’ (pemesan) minta

15
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2021), h. 130
16
Husaini Mansur Dan Dhani Gunawan, Dimensi Perbankan Dalam Al-Qur’an,
(Jakarta: PT. Visi Citah Kreasi, 2007), h. 102.
19

dibuatkan sesuatu dengan karakteristik tertentu kepada


pembuatnya (shani’)17
Akad istishna terdapat dua jenis, yakni:
a. Akad Istishna’
Istishna’ adalah akad jual beli yang berbentuk
pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu dalam
pembuatan barang yang telah disepakati bersama antara
pemesan (pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat/ shani’).
Menurut hukum Islam istishna’ merupakan bentuk transaksi
pembiayaan yang berprinsip pada syariah. Akad Istishna’ ini
pembuatan barang melalui seseorang untuk dibuatkan barang
atau membeli barang tersebut sesuai dengan spesifikasi yang
telah disepakati antara kedua belah pihak dan akan menjual
barang tersebut kepada pembeli akhir. Penjual dan pembeli
sepakat dengan harga yang ditetapkan dan sistem
pembayaran, sistem pembayaran tersebut bisa dilakukan di
awal, cicilan, atau ditangguhkam sampai dengan waktu yang
akan datang.18
Lain dengan halnya produsen untuk dibuatkan atau
menyediakan barang pesanan. Dengan demikian penjual
berperan sebgai pembeli, yaitu dimana pihak penjual
memesan barang dari pihak lain untuk menyediakan barang
pesanan dengan cara istishna’. Akad antara produsen (yang
menyediakan barang pesanan) dan penjual berpisah dari akad
pertama antara penjual dan pembeli akhir. Akad kedua akan

17
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017), h.
101.
18
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonisa, 2004), h. 65.
20

sah, apabila akad petama telah dilakukan atau sah. Apabila


antara penjual dan produsen (yang menyediakan barang
pesanan) selesai menyelesaikan barang atau akad, maka baru
akan dilakukan akad ketiga yaitu sebagai penjual pesanan
kepada pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah di
sepakati antara pembeli dan penjual dan dengan harga yang
telah disepakati.
Jual beli dengan tempo pembayaran diperbolehkan
secara syar‟i sebagaimana diperbolehkan jual beli dengan
cara pembayaran kontan, jual beli dengan cara pembayaran
ditangguhkan hal ini diperbolehkan oleh Nabi Rasulullah
“barang siapa yang berutang dengan kurma maka hutangnya
tersebut lurus jelas takarannya, jelas timbangannya dan jelas
tempo pembayarannya. Nabi Muhammad SAW juga pernah
membeli makanan dari seseorang yang non muslim dan beliau
lalu menjadikan baju besinya sebagai jaminan.19
Jika tempo waktu yang ditentukan tidak diketahui maka
jual beli tersebut menjadi tidak sah karena tidak adanya
kejelasan dalam hal ini bisa mengembangkan kelancaran
pembayaran menjadi sesuai tuntutan akad. Hal tersebut dapat
terjadi karena penjual berhak atas pembayaran yang diberikan
pihak pembeli, penjual akan menuntut pelaksanaan
pembayaran tersebut secepat mungkin. Sebaliknya pembeli
akan menunda pembayaran selama mungkin. Hal ini akan
dapat menimbulkan perselisihan antara kedua belah pihak dan
akan menimbulkan kemudharatan. Oleh karena itu, Islam

19
Ahmad Asy-Syarbashi, Yas‟alunaka Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan
Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 187.
21

menganjurkan untuk mensyaratkan pembatasan tempo waktu


pembayaran. Apabila pihak pembeli menyepakati ketetapan
pembayaran tetap, boleh asalkan pihak penjual meridhainya. 20
b. Istishna’ Paralel
Istishna’ paralel adalah suatu penjelasan dari bentuk
akad Istishna’ antara pembuat dan pemesan, dimana untuk
memenuhi kewajiban dari penjual kepada pemesan, penjual
melakukan akad Istishna’ dengan pihak lain (sub kontraktor)
yangdapat memenuhi segala yang dipesan pembeli. Dimana
akad Istishna’ yang pertama tidak bergantung pada Istishna’
kedua.21 Istishna Paralel banyak digunakan atau diaplikasikan
pada perbankan seperti bank Islam. Ada konsekuensi bank
Islam saat menggunakan istishna paralel yaitu:22
1) Bank syari’ah yaitu sebagai pembuat kontrak pertama
tetap satusatunya pihak yang akan bertanggung jawab atas
pelaksanaan kewajiban dari istishna paralel atau
subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada.
Oleh karena itu, bank syariah sebagai sahni’ pada kontrak
pertama, bank sepenuhnya tetap bertanggungjawab akan
setiap kelalaian, pelanggaran, maupun kesalahan kontrak
yang bersal dari kontrak paralel.
2) Penerima sub kontrak dari pembuatan paralel bertanggung
jawab akan bank syariah sebagai pihak pemesan. Bank
syariah dengan pembeli tidak mempunyai hubungan

20
Ahmad Asy-Syarbashi, Yas‟alunaka Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan
Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 187.
21
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik”, (Jakarta:
GemaInsani, 2001), h.159
22
Sofyan S. Harahap, Wiroso, Muhammad Yusuf, Akuntasi Perbankan Syariah
Revisi, (Jakarta: LPFE usakti, 2006), h. 182-183.
22

hukum secara langsung pada kontrak pertama akad jual


beli istishna’. jual beli istishna’ kedua ialah kontrak
paralel, tetapi bukan bagian ataupun syarat dari kontrak
pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak
mempunyai kaitannya dengan hukum.
3) Bank syariah sebagai shani’ maupun pihak yang siap
untuk mengadakan maupun membuat barang, akan
bertanggungjawab atas pelaksanaan sub kontrak kepada
pembeli atas kesalahan dan jaminan yang akan timbul
darinya. Kewajiban ini yang akan memberi kebebasan
istishna’ paralel juga menjadi kebolehan untuk memungut
keuntungan bagi pihak bank. Jual beli dengan
menggunaka istishna paralel salah satu bentuk pekerjaaan
yang juga dianjurkan oleh Islam karena para ulama
mendefiniskan muamalah yaitu akad yang
memperbolehkan manusia untuk menukar manfaat.

2. Dasar Hukum Istishna’

Akad istishna’ adalah akad yang halal dan didasarkan secara


syar’i di atas petunjuk Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di
kalangan muslimin.
a. Al-Qur`an
‫ِا‬ ِ ِ
ُ‫ٓاٰيَيُّ َها الَّذيْ َن آ َمنُ ْاوا اذَا تَ َدايَنْ تُ ْم بِ َديْ ٍن ا ٓىل اَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُبُ ْوه‬
“Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya….” (QS. Al-Baqarah: 282)
23

Ayat di atas menjelaskan hukum mubahnya dan dalam tata


administrasi perlunya ada catatan berupa buku-buku atau kwitansi
lainnya yang diperlukan untuk ketertiban dan terjaminnya lupa
atau perbuatan penipuan, dan sebaiknya waktu pembayaran harus
ditentukan waktunya dalam jual beli.23
Jual beli Istishna’ terdapat juga dalam firman Allah SWT
surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:

ٍ ‫اط ِل اََِّلا اَ ْن تَ ُك ْو َن ِِتَ َارةً َع ْن تَ َر‬


‫اض‬ ِ ‫ٓاٰيَيُّها الَّ ِذين آمنُوا ََل ََتْ ُكلُاوا اَموالَ ُكم ب ي نَ ُكم ِابلْب‬
َ ْ َْ ْ َ ْ ْ ْ َ َْ َ
‫اّللَ َكا َن بِ ُك ْم َرِحْي ًما‬ ِ ِ
ٰٓ ‫ٰمنْ ُك ْم َوََل تَ ْقتُلُْاوا اَنْ ُف َس ُك ْم ا َّن‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka
diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS.
An-Nisa: 29)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama menyatakan


bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali
yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.

b. Hadits

ِ َِّ ‫َن نَِِب‬


ُ‫ب إِ َىل الْ َع َج ِم فَقْي َل لَه‬
َ ُ‫اّلل ص َك َاَن ََر َاد أَ ْن يَكْت‬ ٍ َ‫َعنْأَن‬
َّ َّ ‫س رضي هللا عنه أ‬

َ َ‫ ق‬.‫اصطَنَ َع َخاَتًَا ِمنْ ِفضَّة‬ ِ ِ ِ


‫َّن‬
َّ ‫ َكأ‬:‫ال‬ ْ َ‫ ف‬.‫إِ َّن الْ َع َج ِم ََل يَ ْقبَ لُو َن إََِّلكتَ ًااب َعلَْيه َخاتم‬

23
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 415
24

)‫(رواه مسلم‬.ِ‫اض ِه ِِف يَ َده‬


ِ ‫أَنْظُرإِ ََل ب ي‬
ََ ُ

Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat


kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa
raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang
distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan
cincin stempel dari bahan perak. Anas mengisahkan: seakan-
akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di
tangan beliau.” (HR. Muslim)

c. Al-Ijma’

Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya


umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut
konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada
seseorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.

d. Kaidah Fiqhiyah

Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih


yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaidah
dalam segala hal selain ibadah:

ِ ِ ِْ ‫َاألَصل ِِف ْاألَ ْشي ِاء‬


ْ ‫اإل َاب َحة َح َّىت يَ ُد َّل الدَّلْي ُل َعلَى الت‬
‫َّح ِرِْمي‬ َ ُْ

Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil
yang menunjukkan akan keharamannya.

e. Logika
25

Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan


bentuk dan kriteria yang diinginkan. Dan barang dengan
ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia
merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.

3. Rukun dan Syarat Jual Beli Istishna’

Transaksi jual beli istishna’ merupakan suatu jenis khusus


dari akad jual beli as-salam. Ketentuan jual beli istishna’
mengikuti aturan akad dan ketentuan jual beli as-salam. Maka
dari itu, pelaksanaan jual beli istishna’ harus memenuhi sejumlah
rukun, yaitu sebagai berikut:24
a. Muslam atau Pembeli, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah
pihak yang membutuhkan dan yang memesan barang.
b. Muslam Alaih atau Penjual, adalah pihak yang memproduksi
barang pesanan.
c. Objek akad, yaitu Barang yang dijadikan obyek akad
disyaratkan jelas jenisnya, ciri-ciri dan ukuranya. Syarat
barang yang diserahkan kemudian haruslah dalam status
tanggungan, kriteria barang tersebut menunjukan kejelasan
jumlah dan sifat–sifatnya yang membedakan dengan lainnya
sehingga tidak menimbulkan fitnah dan batas waktu diketahui
dengan jelas.25
Dalam Islam, tidak semua barang dapat dijadikan objek
akad misalnya minuman keras. Oleh karena itu, fuqaha
menetapkan empat syarat dalam objek akad berikut ini:

24
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 256.
25
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjnor Hasanudin, (Jakarta: Pena Pundi Akasra,
2007), h. 169.
26

1) Barang (mashnu’) harus ada ketika akad


Barang tidak sah dijadikan objek akad apabila barang tersebut
tidak ada ketika akad seperti jual beli yang sesuatu yang belum
matangdipohon atau menjual sesuatu yang masih didalam
tanah. Ada beberapa hal syara‟ yang membolehkan jual beli
atas barang yang tidak ada, seperti menjual buah– buahan yang
masih dipohon setelah tampak matang buahnya dengan syarat-
syarat tertentu.26
2) Sesuai dengan ketentuan syara
Ulama fiqh berpendapat bahwa barang yang akan menjadikan
akad harus sesuai dengan ketentua syara‟. Barang tersebut
menjadi haram apabila dipandang tidak sah akadnya.
3) Dapat diberikan waktu akad
Ahli fiqh bersepakat bahwa barang yang dijadikan akad harus
dapat diserahterima ketika sudah ada akad. Yang tidak
diserahkan ketika akad seperti jual beli burung yang masih ada
di udara tidak di pandang sebagai akad.
4) Ma’qud ‘Alaih harus diketahui oleh kedua belah pihak yang
akad
Ulama fiqh menetapkan bahwa ma’qud ‘alaih kedua belah
pihak harus mengetahui jelas akadnya. jual beli gharar, dan
barang yang tidak diketahui oleh pihak yang berakad adalah
larang sunnah.
5) Ma’qud ‘Alaih harus suci
Ulama selain Hanafiyah menerangkan bahwa ma’qud alaih
harus suci tidak najis dan tidak mutanajis. Dengan kata lain

26
Syafi’I Rahmat, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), h. 168
27

ma’qud ‘alaih yang dijadikan akad ialah segala sesuatu yang


bersih atai suci, yang dapat dimanfaatkan menurut syara’.27
d. Sighat yaitu ijab dan qabul,28 ijab adalah perkataan dari pihak
pemesan yang meminta dibuatkan kepada seseorang untuk
membuatkan sesuatu barang kepadanya dengan imbalan
tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan
untuk memberikan pernyataan persetujuannya atas hak dan
kewajibannya tersebut. Para ulama menetapkan adanya tiga
ketentuan dalam sighat (ijab dan qabul), yaitu:29
1) Ijab dan qabul harus jelas maksudnya, sehingga di pahami
oleh pihak yang melakukan akad.
2) Antara ijab dan qabul harus sesuai.
3) Antara ijab dan qabul harus bersambung dan berada
ditempat yang sama jika kedua belah pihak hadir, atau
berada di tempat yang sudah diketahui oleh keduanya.

Segala macam ketentuan akad dan serah terima,


merupakan dari jiwa yang harus merelakan dalam menyerahkan
suatu barang tersebut yang masing-masing melakukan transaksi.
Dengan demikian ijab merupakan suatu penyerahan barang,
walaupun tanpa ada kalimat penyerahan, dan sebaliknya
penerimaan barang itulah qabulnya, walaupun tanpa kalimat yang
diucapkan.
Maudhu akad adalah yang utama disyariatkanya maudhu
akad hakikatnya maksudnya dengan satu arti yaitu asli akad dan

27
Syafi’I Rahmat, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), h. 61
28
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008), h. 97.
29
Syafi‟I Rahmat, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), h. 52
28

hukum akad. Namun pada asli akad di paparkan sebelum


terujudnya akad, hukumnya dilihat dari peristiwa setelah
terjadinya akad. Sedangkan maudhu akad berada di antara
keduanya.
Hal ini sangat berkaitan erat antara hubungan batinnya
dan dzahir akad. Para ulama, ada yang menjelaskan bahwa antara
zahir dan batin akad harus saling bersesuaian. Akan tetapi ada
sebagian para ulama lainya tidak mempermasalahkan masalah
batin atau tujuan akad.
Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah menetapkan beberapa
hukum akad yang dinilai secara zahir sah, tetapi makruh tahrim
yaitu:30
1) Menjual anggur untuk dijadikan khamar.
2) Jual beli yang memunculkan suatu riba.
3) Menjual alat senjata untuk melakukan fitnah atau
pemberontakan dan lainnya.

Adapun para ulama Hanabilah, Malikiyah, dan Syiah yang


mempermasalahkan masalah batin akad, para ulama berpendapat
bahwa akad tidak hanya dilihat dari sisi dzahirnya saja, tetapi
juga batin. Dengan demikian, tujuan memandang akad dengan
sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ketentuan syara’ dianggap
batal.31.

Ketentuan dalam pembayaran jual beli istishna’yaitu:32

30
Sahrawadi. K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) h,
128.
31
Syafi‟I Rahmat, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), h. 58.
32
Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Untuk UIN, STAIN, PTAIS Dan Umum,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 48
29

1) Alat pembayaran harus diketahui bentuk dan jumlahnya, yaitu


berupa barang, uang, atau manfaat, demikian juga cara
pembayaran.
2) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama.
3) Harga tidak boleh berubah apabila sudah ditetapkan. Apabila
setelah melakukan tanda tangan akad pemesan mengubah
bentuk barang maka terdapat penambahan biaya akibat
perubahan ini maka itu menjadi tanggung jawab.
4) Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
Ketentuan tentang barang yaitu:33
1) Harus jelas spesifikasi ciri-ciri barang tersebut dan dapat
diakui sebagai hutang.
2) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan kemudian.
4) Tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5) Barang yang sudah dipesan dan belum diterima tidak boleh
diperjualbelikan
6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis
sesuai kesepakatan.
7) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih)
untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Berkaitan dengan syarat istishna’, kalangan Hanafiyah
mensyaratkan tiga hal agar istishna’ sah. Tiga syarat ini apabila

33
Dewan Syariah Nasional MUI, Tentang Jual Beli Salam, (Jakarta: T. pn., 2000),
h.1.
30

salah satunya tidak terpenuhi, maka akad istishna’ dianggap rusak


atau batal.34
a. Barang yang menjadi objek istishna’ harus jelas, baik jenis,
macam, kadar dan sifatnya. Apabila salah satu unsur ini tidak
jelas, maka akad istishna’ rusak. Karena barang tersebut pada
dasarnya adalah objek jual beli yang harus diketahui. Apabila
seseorang memesan suatu barang, harus dijelaskan
spesifikasinya bahan, jenis, model, ukuran, bentuk, sifat,
kualitasnya serta hal-hal yang terkait dengan barang tersebut.
Jangan sampai ada hal yang tidak jelas, karena hal tersebut
dapat menimbulkan perselisihan di antara para pihak yang
bertransaksi.
b. Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan
untuk keperluan dan sudah umum digunakan seperti pakaian,
perabot rumah, furniture, dan sebagainya.
c. Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu
tertentu untuk menyerahkan barang pesanan. Apabila waktu
penyerahan telah ditetapkan, maka dikategorikan sebagai
akad salam.

Akad ini tidak mempunyai tenggang waktu pesanam,


karena jika akad tersebut dibatasi dengan tenggang waktu
tertentu, menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad Abu Hasan
Asy-Syaibani, keduanya Abu Hanifah, menyatakan syarat

34
Imam Mustafa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2016), h. 96.
31

tenggang waktu ini diperbolehkan saja disepakti kedua belah


pihak, diperbolehkan juga akad ini tanpa tenggang waktu.35

Salah satu syarat yang paling penting pada akad istishna’


adalah pada bahan mentah (raw material). Dari barang pesanan
tersebut harus disediakan sendiri oleh pembuat (shani’). Apabila
bahan mentahnya berasal dari mustashni’, perjanjian ini tidak bisa
disebut akad istishna’ tetapi menjadi akad ijarah. Apabila barang
pesanan tersebut sudah jadi, tetapi tidak sesuai dengan apa yang
diminta oleh mustashni’ maka mustashni’ boleh menolak untuk
menerima barang tersebut dan shani’ harus menggantikannya
dengan barang yang sesuai yang telah ditentukan oleh mustashni’
sebelumnya. Apabila rukun dan syarat semuanya telah dipenuhi,
maka jual beli Istishna’ ini dinyatakan sah dan masing-masing
kedua belah pihak terikat dengan ketentuan yang mereka
sepakati.36

4. Skema Akad Istishna’

Sesuai dengan rukun dan syarat-syarat yang telah


diuraikan diatas, maka pelaksanaan istishna’ adalah sebagai
berikut.

35
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 142-143
36
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 146
32

5. Contoh Pengaplikasian dalam Mayarakat


a. Anton adalah seorang penjual lemari. Suatu hari Irwan ingin
membeli lemari kepada Anton sesuai dengan desain dan
ukuran yang diinginkan. Maka Irwan harus memesan terlebih
dahulu lemari yang diinginkan sesuai spesifikasi dan Irwan
harus membayar uang muka terlebih dahalu. Setelah lemari
Irwan jadi, maka Irwan harus melunasi pembayaran lemari
tersebut sesuai kesepakatan diawal.
b. Lina adalah seorang designer terkenal. Suatu hari Tuti ingin
memesan ke Lina baju gamis Abaya sesusai desain dan warna
pilihannya dan Tuti membayar uang muka terlebih dahulu
sebesar 20% harga baju gamis tersebut. Maka setelah baju
tersebut jadi sesuai dengan yang diinginkan Tuti ia harus
membayar sisa harga dari harga baju gamis tersebut yaitu
sebesar 80%.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Salam merupakan bentuk jual-beli dengan pembayaran di muka


dan penyerahan barang dikemudian hari (advanced payment atau
forward buying atau future sales) dengan harga, spesifikasi,
jumlah, kualitas, tanggal, dan tempat penyerahan yang jelas, serta
disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
2. Rukun bai’ salam Al-Aqid, Objek jual beli salam, Modal (ra’su
mal al-salam), dan Sighat (ijab dan Kabul)
3. Syarat orang yang berakad: (Al-Aqid) Ulama malikiyah dan
Hanafiah mensyaratkan aqid harus berakal, yakni sudah
mumayyiz, anak yang agak besar yang pembicaraan dan jawaban
yang dilontarkan dapat dipahami serta berumur minimal 7 tahun.
Adapun Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mensyaratkan aqid
harus baligh, mumayyiz, berakal, telah mampu memelihara
agama dan hartanya. Dengan demikian, ulama Hanabilah
membolehkan seorang anak kecil membeli barang yang
sederhana atas seizin walinya.
Syarat yang terkait dengan pembayaran atau harga: Alat bayar
harus diketahui dengan jelas jumlah dan jenisnya oleh pihak yang
terlibat dalam transaksi, Pembayaran tidak boleh dalam bentuk
pembebasan utang.
Syarat yang terkait dengan barang: Barangnya menjadi utang atau
tanggungan bagi penjual, Penyerahan barang dilakukan di
kemudian hari.

33
34

Syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang dan Syarat


ljab dan Kabul (Sighat)
4. Istishna’ berarti meminta kepada seseorang untuk dibuatkan suatu
barang tertentu dengan spesifikasi tertentu.

5. Rukun Jual Beli Istishna’


a. Muslam atau pembeli
b. Muslam Alaih atau penjual
c. Objek akad
d. Shigat yaitu Ijab qabul
6. Syarat istishna’
a. Barang yang menjadi objek istishna’ harus jelas, baik jenis,
macam, kadar dan sifatnya.
b. Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan
untuk keperluan dan sudah umum digunakan seperti pakaian,
perabot rumah, furniture, dan sebagainya.
c. Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu
tertentu untuk menyerahkan barang pesanan.

B. Saran

Kepada peneliti atau mahasiswa kami berharap topik masalah


ini dapat dikembangkan lebih dalam lagi. Terutama pembahasan
mengenai jual beli salam dan istishna’, karena tidak dapat dipungkiri
jual beli ini yang biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari.

Kepada para pembaca umumnya, kami berharap makalah ini


dapat menjadi bekal awal dalam memehami jual beli salam dan
istishna’
DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.


Jakarta: GemaInsani, 2001.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Asy-Syarbashi, Ahmad. Yas‟alunaka Tanya Jawab Lengkap tentang
Agama dan Kehidupan, Jakarta: Lentera, 2006.

Azhar, Masyhuri. Konsep Ba’I Salam dalam Transaksi Jual Beli


Online. Jakarta: T.pn., 2020.

Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Muamalah. Yogyakarta: UII


Press, 2000.

Dewan Syariah Nasional MUI, Tentang Jual Beli Salam. Jakarta: T.pn,
2000.
Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi
di Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Gunawan, Husaini Mansur Dan Dhani. Dimensi Perbankan Dalam Al-
Qur’an. Jakarta: PT. Visi Citah, 2007.
Haroen, Nasrun. fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
Muamalat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Janwari, Yadi. Fikih Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2015.
Khoerudin, Hariman Surya Siregar dan Koko. Fikih Muamalah Teori
Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2019.

35
36

Lubis, Sahrawadi. K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika,


2000.
Mustafa, Imam. Fiqh Muamalah Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2016.
Nawawi, Ismail. Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2021.
Rahmat, Syafi’i. Fiqh Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Rozalinda. Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2017.
Sabiq, Sayid. Fiqih Sunnah Terjnor Hasanudin. Jakarta: Pena Pundi
Akasra, 2006.
Sofyan S. Akuntasi Perbankan Syariah Revisi. Jakarta: LPFE usakti,
2006.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan
Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisa, 2004.

Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Anda mungkin juga menyukai