SOREANG – BANDUNG
2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................
i BAB
I.................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN...................................................................................................................
1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2
BAB II...................................................................................................................................
3
PEMBAHASAN.....................................................................................................................
3 D. Pengertian Jual Beli................................................................................................. 3
E. Hikmah dalam Melakukan Jual Beli ........................................................................ 3 A.
Syarat syarat dan rukun rukun jual beli .................................................................. 3 F. Jual
beli yang di perbolehkan dalam Islam dan jual beli yang diharamkan............ 4 G. Jual beli
yang di perdebatkan ............................................................................... 10 H. Bentuk
kerjasama dalam perdagangan ................................................................ 13 BAB
III................................................................................................................................ 15
PENUTUP...........................................................................................................................
15 I. Kesimpulan............................................................................................................ 15
J. Saran ..................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................
16
i
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
1. Bai’ (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shighat (ijab dan qabul)
4. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).
b. Syarat Jual beli
Transaksi jual-beli baru dinyatakan terjadi apabila terpenuhi tiga syarat
jual-beli, yaitu:
1. Adanya dua pihak yang melakukan transaksi jual-beli
2. Adanya sesuatu atau barang yang dipindahtangankan dari penjual
kepada pembeli
3. Adanya kalimat yang menyatakan terjadinya transaksi jual-beli (sighat
ijab qabul).
Syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli adalah : a. Agar
tidak terjai penipuan, maka keduanya harus berakal sehat dan dapat
membedakan (memilih).
b. Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan, bukan karena
terpaksa.
c. Dewasa atau baligh.
Syarat benda dan uang yang diperjual belikan sebagai berikut: Bersih
atau suci barangnya. Tidak syah menjual barang yang najis seperti
anjing, babi, khomar dan lain-lain yang najis.
- Ada manfaatnya: jual beli yang ada manfaatnya sah, sedangkan yang
tidak ada manfaatnya tidak sah, seperti jual beli lalat, nyamuk, dan
sebagainya.
- Dapat dikuasai: tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya jual
beli kuda yang sedang lari yang belum diketahui kapan dapat ditangkap
lagi, atau barang yang sudah hilang atau barang yang sulit
mendapatkannya.
- Milik sendiri: tidak sah menjual barang orang lain dengan tidak
seizinnya, atau barang yang hanya baru akan dimilikinya atau baru
akan menjadi miliknya.
- Mestilah diketahui kadar barang atau benda dan harga itu, begitu juga
jenis dan sifatnya. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya saja dalam
janji (tanggungan), maka hukumnya boleh
F. Jual beli yang di perbolehkan dalam Islam dan jual beli yang
diharamkan
4
Beberapa bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam hukum (fikih)
Islam, yaitu Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd, Bai’ al-Muqayadhah, Bai’ al Salam,
Bai’ al-Murabahah, Bai’ al-Wadhiah, Bai’ al-Tauliah, Bai’ al Inah, Bai’
al-Istishna’, dan Bai’ al-Sharf. Di bawah ini akan diurakan mengenai
pengertian dan contoh-contoh dari bentuk jual beli tersebut. 1. Bai’
al-Sil’ah bi al-Naqd ( (بالنقد السلعة بيع
Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd yaitu menjual suatu barang dengan alat tukar
resmi atau uang. Jenis jual beli ini termasuk salah satu jenis jual beli
yang paling banyak dilakukan dalam masyarakat dewasa ini. Contoh
Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd adalah membeli pakaian atau makanan
dengan uang rupiah sesuai dengan harga barang yang telah ditentukan.
2. Bai’ al-Muqayadhah
Bai’ al-Muqayadhah yaitu jual beli suatu barang dengan barang
tertentu atau yang sering disebut dengan istilah barter. Jenis jual beli ini
tidak hanya terjadi pada zaman dulu saja, namun juga masih menjadi
salah satu pilihan masyarakat dewasa ini. Hal sangat prinsip yang harus
diperhatikan dalam menjalankan jenis jual beli ini adalah
memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan etika berbisnis dalam
Islam. Selain itu, prinsip lain yang juga harus diperhatikan adalah hal
hal yang dapat menimbulkan kerugian di antara kedua belah pihak serta
tidak memunculkan aspek ribawi, terutama terkait dengan penukaran
(barter) antara dua barang sejenis dengan perbedaan ukuran dan harga.
Contoh Bai’ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung,
pakaian dengan tas, atau binatang ternak dengan barang tertentu lainnya. 3.
Bai’ al-Salam
Bai’ al-Salam yaitu jual beli barang dengan cara ditangguhkan
penyerahan barang yang telah dibayar secara tunai. Praktik jual beli
jenis ini dapat digambarkan dengan seorang penjual yang hanya
membawa contoh atau gambar suatu barang yang disertai penjelasan
jenis, kualitas dan harganya, sedangkan barang yang dimaksudkan tidak
dibawa pada saat transaksi terjadi. Jenis jual beli ini termasuk jual beli
yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan suka rela dan
tetap memperhatikan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Dengan ketentuan ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan setelah
salah satu pihak (pembeli) menyerahkan sejumlah uang kepada pihak
yang lain (penjual/sales).
Contoh Bai’ al-Salam adalah membeli perabotan rumah tangga,
seperti kursi, meja atau almari dari seorang sales yang menawarkan
barang dengan membawa contoh gambar/foto barang. Selanjutnya,
barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu.
Contoh lainnya adalah jual beli barang yang dipajang melalui media
5
atau jaringan internet (iklan). Calon pembeli mentransfer sejumlah
uang kepada penjual sesuai harga barang, kemudian barang baru
dikirim kepada pembeli.
4. Bai’ al-Murabahah ((المرابحة بيع
Bai’ al-Murabahah yaitu menjual suatu barang dengan melebihi
harga pokok, atau menjual barang dengan menaikkan harga barang dari
harga aslinya, sehingga penjual mendapatkan keuntungan sesuai dengan
tujuan bisnis (jual beli). Tatkala seseorang menjual barang, ia harus
mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, lebih-lebih hal
itu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan demikian,
mematok keuntungan yang terlalu tinggi dapat menyulitkan kebutuhan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Dalam menentukan besaran keuntungan, maka seorang penjual
harus memiliki pertimbangan antara aspek komersial dan sosial untuk
saling ta’awun (saling menolong). Pada titik ini, bisnis yang
dijalankannya memiliki dua keuntungan sekaligus, yaitu finansial dan
sosial. Dalam agama Islam sering disebut “fiddun–ya hasanah wa fil
akhirati khasanah (kebahagiaan dunia dan akhirat)”.
Contoh Bai’ al-Murabahah adalah menjual baju yang harga
aslinya Rp. 35.000,- menjadi Rp.40.000,-. Dengan demikian, penjual
mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5000,-.
5. Bai’ al-Wadhiah ((الوضيعة بيع
Bai’ al-Wadhiah yaitu kebalikan dari jual beli Murabahah, yaitu
menjual barang dengan harga yang lebih murah dari harga pokoknya.
Sebagai contoh misalnya, seorang menjual hand phone (HP) yang baru
dibelinya dengan harga Rp.500.000,- Namun karena adanya kebutuhan
tertentu, maka ia menjual HP tersebut dengan harga Rp. 450.000,.
Praktik jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, selama hal itu
dibangun atas prinsip saling rela (‘an–taradin), dan bukan karena
paksaan.
6. Bai’ al-Tauliah ((التولية بيع
Bai’ al-Tauliah yaitu jual beli suatu barang sesuai dengan harga
pokok, tanpa ada kelebihan atau keuntungan sedikitpun. Praktik jual
beli seperti ini digambarkan dengan seseorang yang membeli sebuah
motor baru dengan harga Rp. 13.500.000. Mengingat ia memiliki
kebutuhan lainnya yang lebih penting atau pertimbangan tertentu,
maka motor tersebut dijual dengan harga yang sama
Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi
prinsip dan tujuan jual beli pada umumnya, yaitu untuk mencari
keuntungan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
(ma’isyah) seseorang. Namun perlu difahami bahwa biasanya praktik
jual beli al-tauliyah dapat terjadi secara kasuistis karena adanya suatu
6
kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual barang yang dimilikinya
sesuai harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan
sedikitpun. Jual beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan
dalam Islam, selama dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–
Taradhin), dan tidak terdapat unsur paksaan serta kezaliman.
7. Bai’ al-Inah ((العينة بيع
Bai’ al-Inah yaitu jual beli yang terjadi antara dua belah pihak
(penjual dan pembeli), di mana seseorang menjual barangnya kepada
pihak pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi, dan menjual dengan
harga lebih murah jika dibayar secara tunai (cash). Dalam fikih Islam,
jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan “al-bai’ bitsamanin
‘ajil” atau jual beli dengan sistem kredit, atau jual beli dengan
pembayaran yang ditangguhkan.
Jenis jual beli ini hukumnya Mubah (boleh), dengan syarat,
penjual harus memperhatikan hak-hak pembeli, penentuan harga yang
wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan demikian, terdapat unsur
saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli untuk
menyediakan dan melonggarkan kesulitan masing-masing pihak.
Seorang penjual membantu menyediakan barang bagi calon pembeli
sesuai kemampuan daya beli dengan memberikan waktu sesuai
kesepakatan.
Di sisi lain, penjual juga tidak diperkenankan untuk mencari
kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan ketidakmampuan
ekonomi calon pembeli demi mencari keuntungan semaksimal mungkin.
Jika hal ini terjadi, maka pembeli akan merasa terpaksa mengikuti
sistem yang ditetapkan penjual, karena kebutuhannya yang mendesak
terhadap barang tertentu.
Dalam praktik sehari-hari, tidak sedikit orang yang mengkreditkan
barang dengan melakukan penyitaan (mengambil kembali) barang yang
telah dikreditkan karena pembeli belum sanggup melunasi sesuai batas
waktu yang telah ditentukan tanpa memberikan toleransi atau
penambahan waktu. Sistem seperti ini tentu merupakan bentuk
kezaliman terhadap orang lain yang sangat dibenci dan dilarang oleh
ajaran Islam.
8. Bai’ al-Istishna’ ((االستصناع بيع
Bai’ al-Istishna’ yaitu jenis jual beli dalam bentuk pemesanan
(pembuatan) barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu sesuai
keinginan pemesan. Pemesan barang pada umumnya memberikan uang
muka sebagai bentuk komitmen dan keseriusan. Setelah terjadinya akad
atau kesepakatan tersebut, kemudian penjual memproduksi barang yang
dipesan sesuai kriteria dan keinginan pemesan.
Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan jual beli
Salam (bai’ al-Salam), namun tetap terdapat perbedaan. Di dalam
7
jual beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya sudah ada,
namun tidak dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual (salesman)
hanya membawa foto atau contoh barang (sample) saja, kemudian
diserahkan kepada pembeli setelah terjadinya kesepakatan di antara
mereka. Sedangkan dalam jual beli istishna’, barang yang diperjual
belikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru dibuat setelah
terjadinya kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai kriteria dan
jenis barang yang dipesan.
Contoh Bai’ al-Istishna’ adalah pemesanan pembuatan kursi,
almari dan lain sebagainya kepada pihak produsen barang. Jenis jual
beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang yang
diperjual belikan belum ada, asalkan dibangun di atas prinsip saling
merelakan (‘an–taradhin), transparan (tidak manipulatif), memegang
amanah, serta sanggup menyelesaikan pesanan sesuai kesepakatan
yang telah diputuskan bersama.
9. Bai’ al-Sharf ((الصرف بيع
Bai’ al-Sharf yaitu jual beli mata uang dengan mata uang yang
sama atau berbeda jenis (currency exchange), seperti menjual rupiah
dengan dolar Amerika, rupiah dengan rial dan sebagainya. Jual beli
mata uang dalam fikih kontemporer disebut “tijarah an-naqd” atau
“al-ittijaar bi al-‘umlat”. Abdurrahman al-Maliki mendefinisikan bai’
al
sharf sebagai pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau
perak, baik dengan sesama jenis dan jumlah yang sama, maupun
dengan jenis yang berbeda dan jumlah yang sama ataupun tidak.
Menurut para ulama, hukum jual beli mata uang adalah Mubah (boleh),
selama memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
ْ ر ْ ْ َّ
ْ ْ ْ ِمل ْ ب م ِال َّش
ِعي ِ وال ف َّض ِةب
ِ َ ِالذب ف َّضة
حملِالب ِ
ح
ْ الت َّ ِ ب ِْ ر ب ََّ ه بالذ َه ِب
مث ل ل ِا ْ ر
مو وال ال
َ ِ
ْ ْ َّ َ ِر ب
الت
د
ِ ي ِ ِمث بَ ب يَداا ِ وال
َ َ ْربَى
ر و فَ َزادَأ ا ْستَ َزا َد فَقَ ْ ِد و
ال
َ ِ ْ ِر ب ال َّش ِعي
س ء
َ رواه –. َوال َو اآل ِخذ ْن
َ م
مسلم فِي ِه ا َ
م ْع ِطى أ
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual
dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir,
kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam,
(takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang
menambah atau meminta tambahan maka di atelah berbuat riba,
pemberi dan penerima dalam hal ini sama” [HR. Muslim].
Dalam hadits lain, dijelaskan:
ْ ،ض َ ض ْ وا ا ْاو َّو ر
ِ،ِ َوا َل ت ل ب ْع َ الَ ِ ِق إلِ َ ِر َق بلِيع َوا َل تَبِشف وا
َ ب ْع َ َها َعلى
ْام
ِ ِمثبل
ث َّ ب
ِ ِالَه
إ َّ ب
َ ِالذَه
ب
ِيع وا
َّ
الذا َل تَب
ْ
ِمث ل لا
َ ض ْ
ز ْن ى
َ ب ْع َ َه َعلَ مثِ ِ و
ا َل ت ا، ب ْع ض
َ
ه تَب َا ل
ََ ا، و ب
ِشف وا
البخاري
ج ِِم
اب ومسلم
ِنَا َغاِئبا
– رواه.
وا
ِ يع
8
“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama
dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya
dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan
perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan
salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah
satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak
diserahkan secara kontan” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Sekalipun kedua hadits tersebut berbicara tentang jual beli atau
pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata
uang saat ini. Hal ini tidak lain karena sifat yang ada pada emas dan
perak saat itu sama dengan uang saat ini, yaitu sebagai alat tukar atau
uang (al-nuqud). Menurut para ulama fikih, termasuk Majelis Ulama
Indonesia, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan);
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan); 3.
Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya
harus sama dan secara tunai (at-taqabudh);
4. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar
(kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. b. Jual
beli yang diharamkan
1. Jual beli gharar adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan
dan pengkhianatan.
2. Jual beli mulaqih ( ( قالمال يحadalah jual beli di mana barang yang
dijual berupa hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum
bersetubuh dengan betina.
3. Jual beli mudhamin ( ( مالمضا يهadalah jual beli hewan yang masih
dalam perut induknya.
4. Jual beli muhaqolah ( ( المحاقلتadalah jual beli buah-buahan yang
masih ada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan. 5. Jual beli
munabadzah ( ( لما نابذةadalah tukar-menukar kurma basah dengan
kurma kering dan tukar-menukar anggur basah dengan anggur kering
dengan menggunakan alat ukur takaran.
6. Jual beli mukhabarah ( ( المخابرةadalah muamalah dengan
penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkan
oleh tanah tersebut.
7. Jual beli tsunaya ( ( نثل ياadalah jual beli dengan harga tertentu,
sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah
barang dengan pengecualian yang tidak jelas.
8. Jual beli ‘asb al-fahl ( ( ع سب الفحلadalah memperjualbelikan bibit
pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk
mendapatkan anak.
9
9. Jual beli mulamasah ( ( مالمال ستadalah jual beli antara dua pihak,
yang satu di antaranya menyentuh pakaian pihak lain yang
diperjualbelikan waktu malam atau siang.
10. Jual beli munabadzah ( ( لما نابذةadalah jual beli dengan
melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa
mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek
jual beli.
11. Jual beli ‘urban ( ( ابالعر نadalah jual beli atas suatu barang dengan
harga tertentu, di mana pembeli memberikan uang muka dengan
catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar
dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang
muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.
12. Jual beli talqi rukban ( ( كالر بانadalah jual beli setelah pembeli
datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan
mengetahui harga pasaran.
13. Jual beli orang kota dengan orang desa ( ( ب يع حاضر ل بادadalah
orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada
orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran.
14. Jual beli musharrah ( ( المصرةadalah nama hewan ternak yang diikat
puting susunya sehingga kelihatan susunya banyak, hal ini
dilakukan agar harganya lebih tinggi.
15. Jual beli shubrah ( ( لصا برةadalah jual beli barang yang ditumpuk
yang mana bagian luar terlihat lebih baik dari bagian dalam. 16. Jual
beli najasy ( ( ال نجشJual beli yang bersifat pura-pura di mana si
pembeli menaikkan harga barang, bukan untuk membelinya, tetapi
untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga yang tinggi
10
yang suci membolehkan jual beli nasiah itu dengan pembayaran
tertunda, demikian juga dengan jual beli as-Salm dengan penyerahan
barang tertunda.
b. Jual Beli ‘Inah
Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan misalnya: si
Fulan melakukan “ain, yakni membeli sesuatu dengan pembayaran
tertunda atau berhutang. Atau menjual barang dengan pembayaran
tertunda, lalu membelinya lagi dengan harga lebih murah dari harga
penjualan. Jual beli ini disebut‘inah karena si pemilik barang bukan
menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah “ain
(uang). Atau karena si penjual kembali memiliki “ain (benda) yang dia
jual.
Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: Jual beli manipulatif untuk
digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih dari jumlahnya.
Yakni dengan cara menjual barang dengan pem-bayaran tertunda, lalu
membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.
11
Dalam jual beli itu terdapat hukum-hukum jual beli, misal
nya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya penggu
naan dan pemanfaatan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk
diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si
penjual Jual beli itu juga mengandung hukum pegadaian, seperti
tidak adanya hak pembeli untuk mengkonsumsi barang dagangan
atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain. Barang itu
juga tidak bisa dipakai untuk syuf'ah, dan biaya pera-watannya atas
penjual di samping pembeli juga harus menjaga komitmen untuk
mengembalikan barang itu bila si penjual telah mengembalikan
uang pembayarannya.
Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini.
Perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu
harga barang ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya
yang ditunda sampai waktu memasaknya. Berdasarkan hal ini,
apabila harganya telah diketahui secara pasti, maka jual beli ini sah
menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-disi demikian, jual beli
ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah,sehingga termasuk
dalam keumuman dalil-dalil yang me-netapkan disyariatkannya jual
beli tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui, inilah yang
menjadi penyebabnya di antara para ulama
12
H. Bentuk kerjasama dalam perdagangan
13
Bentuk kerja sama ini merupakan perjanjian atas penjaminan atau
penyelesaian utang dengan pemberian kepercayaan. Dalam
melakukan kerja sama ini, ada beberapa akad umum yang
digunakan. Diantaranya adalah jaminan (kafalah atau damanah),
gadai (rahn), dan transfer hutang (hiwalah). Akad jaminan
memungkinkan adanya pengalihan tanggung jawab seseorang yang
dijamin kepada penjamin. Sedangkan gadai dilakukan dengan
memberikan barang berharga dengan nilai yang setara atau lebih
dari nilai pinjaman. Dan pemindahan hutang dilakukan untuk
memindahkan kewajiban pembayaran hutang kepada orang lain.
e. Bentuk Kerja Sama Titipan / Wadi'ah
Bentuk kerja sama ini dilakukan dengan menitipkan barang
berharga yang dimiliki seseorang kepada orang lain yang
dipercaya. Selama masa penitipan, maka orang tersebut dapat
memberikan biaya jasa penitipan kepada orang yang dia titipkan.
14
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
J. Saran
Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan tata cara jual beli
yang sah menurut agama islam. Dan juga kita harus memerhatikan riba
yang terkandung didalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang
mengharamkan riba dalam islam,.
15
DAFTAR PUSTAKA