Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FIKIH MUAMALAH

JUAL BELI DAN HUKUM-HUKUMNYA


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Muamalah

Dosen Pengampu : M. Matin Sofwan.S.Pd.I.,M.Pd

Disusun Oleh : Kelompok 4

Dinda Fauziyah ( 2220210017 )

Intan Agustia Pancarani ( 2220210025 )

Jaka Setiawan ( 2220210027 )

S Aisyah Alipah ( 2220210038 )

PROGRAM STUDI PAI (PENDIDIKAN AGAMA ISLAM)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) YAMISA

SOREANG – BANDUNG

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................
i BAB
I.................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN...................................................................................................................
1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2
BAB II...................................................................................................................................
3
PEMBAHASAN.....................................................................................................................
3 D. Pengertian Jual Beli................................................................................................. 3
E. Hikmah dalam Melakukan Jual Beli ........................................................................ 3 A.
Syarat syarat dan rukun rukun jual beli .................................................................. 3 F. Jual
beli yang di perbolehkan dalam Islam dan jual beli yang diharamkan............ 4 G. Jual beli
yang di perdebatkan ............................................................................... 10 H. Bentuk
kerjasama dalam perdagangan ................................................................ 13 BAB
III................................................................................................................................ 15
PENUTUP...........................................................................................................................
15 I. Kesimpulan............................................................................................................ 15
J. Saran ..................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................
16

i
ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur


hubungan seseorang hamba dengan umatnya yang biasa disebut dengan
muamalah ma'allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang
biasa disebut dengan muamalah ma'annas. Nah hubungan dengan sesama
inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal
dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang
berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan
umat yang lainnya. Mulai dari jual beli sewa menyewa hutang piutang dan
lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si
penjual menjual barangnya dan si pembeli membelinya dengan
menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak. Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan setara
langsung dengan bertemunya kedua belah pihak maka pada zaman
sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan
kemajuan teknologi dan maraknya penggunaan internet kedua belah pihak
dapat bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah, Apa
saja syaratnya, Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman
sekarang sah menurut fiqih muamalah, tentu ini akan menjadi pembahasan
yang menarik untuk dibahas.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian jual beli ?


2. Apa saja hikmah dalam melakukan jual beli ?
3. Apa saja syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli ?
4. Apa saja jual beli yang dibolehkan dan jual beli yang diharamkan ?
5. Bagaimana jual beli yang diperdebatkan ?
6. Bagaimana bentuk kerjasama dalam perdagangan ?

C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan mengenai pengertian jual beli


2. Menjelaskan mengenai hikmah dalam melakukan jual beli 3.
Menjelaskan mengenai syarat syarat dan rukun rukun jual beli 4.
Menjelaskan mengenai jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang
diharamkan
5. Menjelaskan mengenai jual beli yang diperdebatkan
6. Menjelaskan mengenai bentuk kerjasama dalam perdagangan

2
BAB II

PEMBAHASAN

D. Pengertian Jual Beli


Jual beli ialah menukar sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan berdasarkan
pendapat istilah ialah menukar harta dengan harta berdasarkan pendapat
cara-cara yang telah di tetapkan-syara’. Hukum jual beli ialah halal atau
boleh.
dalam Kitab Kifayatul Ahyar disebutkan Definisi Jual beli berdasarkan
pendapat bahasa ialah: “memberikan sesuatu karena ada pemberian
(imbalan tertentu)”.
Berdasarkan pendapat Syeh Zakaria al-Anshari jual beli ialah: “Tukar
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sayyid sabiq dalam kitab Fiqh
Sunnah menerangkan jual beli secara etimologi bahwa jual beli
berdasarkan pendapat Definisi lughawiyah ialah saling menukar
(pertukaran)”.
Sedangkan berdasarkan pendapat Hamzah Ya’qub dalam bukunya, Kode
Etik Dagang Berdasarkan pendapat Islam menjelaskan: “jual beli
berdasarkan pendapat bahasa yakni ‚menukar sesuatu dengan sesuatu”.

E. Hikmah dalam Melakukan Jual Beli

Hikmah jual beli antara lain:


1. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat. 2.
Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhan atas dasar kerelaan. 3.
Masing-masing pihak merasa puas, baik ketika penjual melepas barang
dagangannya dengan imbalan, maupun pembeli membayar dan
menerima barang.
4. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram
atau secara bathil.
5. Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah SWT.
6. Dapat menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

A. Syarat syarat dan rukun rukun jual beli


Dalam menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulama terjadi perbedaan
pendapat. Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab dan qabul
yang menunjukkanpertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.
a. Adapun rukun jual-beli menurut Jumhur Ulama ada empat, yaitu:

3
1. Bai’ (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shighat (ijab dan qabul)
4. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).
b. Syarat Jual beli
Transaksi jual-beli baru dinyatakan terjadi apabila terpenuhi tiga syarat
jual-beli, yaitu:
1. Adanya dua pihak yang melakukan transaksi jual-beli
2. Adanya sesuatu atau barang yang dipindahtangankan dari penjual
kepada pembeli
3. Adanya kalimat yang menyatakan terjadinya transaksi jual-beli (sighat
ijab qabul).

Syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli adalah : a. Agar
tidak terjai penipuan, maka keduanya harus berakal sehat dan dapat
membedakan (memilih).
b. Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan, bukan karena
terpaksa.
c. Dewasa atau baligh.

Syarat benda dan uang yang diperjual belikan sebagai berikut: Bersih
atau suci barangnya. Tidak syah menjual barang yang najis seperti
anjing, babi, khomar dan lain-lain yang najis.

- Ada manfaatnya: jual beli yang ada manfaatnya sah, sedangkan yang
tidak ada manfaatnya tidak sah, seperti jual beli lalat, nyamuk, dan
sebagainya.
- Dapat dikuasai: tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya jual
beli kuda yang sedang lari yang belum diketahui kapan dapat ditangkap
lagi, atau barang yang sudah hilang atau barang yang sulit
mendapatkannya.
- Milik sendiri: tidak sah menjual barang orang lain dengan tidak
seizinnya, atau barang yang hanya baru akan dimilikinya atau baru
akan menjadi miliknya.
- Mestilah diketahui kadar barang atau benda dan harga itu, begitu juga
jenis dan sifatnya. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya saja dalam
janji (tanggungan), maka hukumnya boleh

F. Jual beli yang di perbolehkan dalam Islam dan jual beli yang
diharamkan

a. Jual beli yang diperbolehkan

4
Beberapa bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam hukum (fikih)
Islam, yaitu Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd, Bai’ al-Muqayadhah, Bai’ al Salam,
Bai’ al-Murabahah, Bai’ al-Wadhiah, Bai’ al-Tauliah, Bai’ al Inah, Bai’
al-Istishna’, dan Bai’ al-Sharf. Di bawah ini akan diurakan mengenai
pengertian dan contoh-contoh dari bentuk jual beli tersebut. 1. Bai’
al-Sil’ah bi al-Naqd ( ‫(بالنقد السلعة بيع‬
Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd yaitu menjual suatu barang dengan alat tukar
resmi atau uang. Jenis jual beli ini termasuk salah satu jenis jual beli
yang paling banyak dilakukan dalam masyarakat dewasa ini. Contoh
Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd adalah membeli pakaian atau makanan
dengan uang rupiah sesuai dengan harga barang yang telah ditentukan.

2. Bai’ al-Muqayadhah
Bai’ al-Muqayadhah yaitu jual beli suatu barang dengan barang
tertentu atau yang sering disebut dengan istilah barter. Jenis jual beli ini
tidak hanya terjadi pada zaman dulu saja, namun juga masih menjadi
salah satu pilihan masyarakat dewasa ini. Hal sangat prinsip yang harus
diperhatikan dalam menjalankan jenis jual beli ini adalah
memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan etika berbisnis dalam
Islam. Selain itu, prinsip lain yang juga harus diperhatikan adalah hal
hal yang dapat menimbulkan kerugian di antara kedua belah pihak serta
tidak memunculkan aspek ribawi, terutama terkait dengan penukaran
(barter) antara dua barang sejenis dengan perbedaan ukuran dan harga.
Contoh Bai’ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung,
pakaian dengan tas, atau binatang ternak dengan barang tertentu lainnya. 3.
Bai’ al-Salam
Bai’ al-Salam yaitu jual beli barang dengan cara ditangguhkan
penyerahan barang yang telah dibayar secara tunai. Praktik jual beli
jenis ini dapat digambarkan dengan seorang penjual yang hanya
membawa contoh atau gambar suatu barang yang disertai penjelasan
jenis, kualitas dan harganya, sedangkan barang yang dimaksudkan tidak
dibawa pada saat transaksi terjadi. Jenis jual beli ini termasuk jual beli
yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan suka rela dan
tetap memperhatikan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Dengan ketentuan ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan setelah
salah satu pihak (pembeli) menyerahkan sejumlah uang kepada pihak
yang lain (penjual/sales).
Contoh Bai’ al-Salam adalah membeli perabotan rumah tangga,
seperti kursi, meja atau almari dari seorang sales yang menawarkan
barang dengan membawa contoh gambar/foto barang. Selanjutnya,
barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu.
Contoh lainnya adalah jual beli barang yang dipajang melalui media

5
atau jaringan internet (iklan). Calon pembeli mentransfer sejumlah
uang kepada penjual sesuai harga barang, kemudian barang baru
dikirim kepada pembeli.
4. Bai’ al-Murabahah (‫(المرابحة بيع‬
Bai’ al-Murabahah yaitu menjual suatu barang dengan melebihi
harga pokok, atau menjual barang dengan menaikkan harga barang dari
harga aslinya, sehingga penjual mendapatkan keuntungan sesuai dengan
tujuan bisnis (jual beli). Tatkala seseorang menjual barang, ia harus
mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, lebih-lebih hal
itu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan demikian,
mematok keuntungan yang terlalu tinggi dapat menyulitkan kebutuhan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Dalam menentukan besaran keuntungan, maka seorang penjual
harus memiliki pertimbangan antara aspek komersial dan sosial untuk
saling ta’awun (saling menolong). Pada titik ini, bisnis yang
dijalankannya memiliki dua keuntungan sekaligus, yaitu finansial dan
sosial. Dalam agama Islam sering disebut “fiddun–ya hasanah wa fil
akhirati khasanah (kebahagiaan dunia dan akhirat)”.
Contoh Bai’ al-Murabahah adalah menjual baju yang harga
aslinya Rp. 35.000,- menjadi Rp.40.000,-. Dengan demikian, penjual
mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5000,-.
5. Bai’ al-Wadhiah (‫(الوضيعة بيع‬
Bai’ al-Wadhiah yaitu kebalikan dari jual beli Murabahah, yaitu
menjual barang dengan harga yang lebih murah dari harga pokoknya.
Sebagai contoh misalnya, seorang menjual hand phone (HP) yang baru
dibelinya dengan harga Rp.500.000,- Namun karena adanya kebutuhan
tertentu, maka ia menjual HP tersebut dengan harga Rp. 450.000,.
Praktik jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, selama hal itu
dibangun atas prinsip saling rela (‘an–taradin), dan bukan karena
paksaan.
6. Bai’ al-Tauliah (‫(التولية بيع‬
Bai’ al-Tauliah yaitu jual beli suatu barang sesuai dengan harga
pokok, tanpa ada kelebihan atau keuntungan sedikitpun. Praktik jual
beli seperti ini digambarkan dengan seseorang yang membeli sebuah
motor baru dengan harga Rp. 13.500.000. Mengingat ia memiliki
kebutuhan lainnya yang lebih penting atau pertimbangan tertentu,
maka motor tersebut dijual dengan harga yang sama
Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi
prinsip dan tujuan jual beli pada umumnya, yaitu untuk mencari
keuntungan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
(ma’isyah) seseorang. Namun perlu difahami bahwa biasanya praktik
jual beli al-tauliyah dapat terjadi secara kasuistis karena adanya suatu

6
kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual barang yang dimilikinya
sesuai harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan
sedikitpun. Jual beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan
dalam Islam, selama dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–
Taradhin), dan tidak terdapat unsur paksaan serta kezaliman.
7. Bai’ al-Inah (‫(العينة بيع‬
Bai’ al-Inah yaitu jual beli yang terjadi antara dua belah pihak
(penjual dan pembeli), di mana seseorang menjual barangnya kepada
pihak pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi, dan menjual dengan
harga lebih murah jika dibayar secara tunai (cash). Dalam fikih Islam,
jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan “al-bai’ bitsamanin
‘ajil” atau jual beli dengan sistem kredit, atau jual beli dengan
pembayaran yang ditangguhkan.
Jenis jual beli ini hukumnya Mubah (boleh), dengan syarat,
penjual harus memperhatikan hak-hak pembeli, penentuan harga yang
wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan demikian, terdapat unsur
saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli untuk
menyediakan dan melonggarkan kesulitan masing-masing pihak.
Seorang penjual membantu menyediakan barang bagi calon pembeli
sesuai kemampuan daya beli dengan memberikan waktu sesuai
kesepakatan.
Di sisi lain, penjual juga tidak diperkenankan untuk mencari
kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan ketidakmampuan
ekonomi calon pembeli demi mencari keuntungan semaksimal mungkin.
Jika hal ini terjadi, maka pembeli akan merasa terpaksa mengikuti
sistem yang ditetapkan penjual, karena kebutuhannya yang mendesak
terhadap barang tertentu.
Dalam praktik sehari-hari, tidak sedikit orang yang mengkreditkan
barang dengan melakukan penyitaan (mengambil kembali) barang yang
telah dikreditkan karena pembeli belum sanggup melunasi sesuai batas
waktu yang telah ditentukan tanpa memberikan toleransi atau
penambahan waktu. Sistem seperti ini tentu merupakan bentuk
kezaliman terhadap orang lain yang sangat dibenci dan dilarang oleh
ajaran Islam.
8. Bai’ al-Istishna’ (‫(االستصناع بيع‬
Bai’ al-Istishna’ yaitu jenis jual beli dalam bentuk pemesanan
(pembuatan) barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu sesuai
keinginan pemesan. Pemesan barang pada umumnya memberikan uang
muka sebagai bentuk komitmen dan keseriusan. Setelah terjadinya akad
atau kesepakatan tersebut, kemudian penjual memproduksi barang yang
dipesan sesuai kriteria dan keinginan pemesan.
Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan jual beli
Salam (bai’ al-Salam), namun tetap terdapat perbedaan. Di dalam

7
jual beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya sudah ada,
namun tidak dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual (salesman)
hanya membawa foto atau contoh barang (sample) saja, kemudian
diserahkan kepada pembeli setelah terjadinya kesepakatan di antara
mereka. Sedangkan dalam jual beli istishna’, barang yang diperjual
belikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru dibuat setelah
terjadinya kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai kriteria dan
jenis barang yang dipesan.
Contoh Bai’ al-Istishna’ adalah pemesanan pembuatan kursi,
almari dan lain sebagainya kepada pihak produsen barang. Jenis jual
beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang yang
diperjual belikan belum ada, asalkan dibangun di atas prinsip saling
merelakan (‘an–taradhin), transparan (tidak manipulatif), memegang
amanah, serta sanggup menyelesaikan pesanan sesuai kesepakatan
yang telah diputuskan bersama.
9. Bai’ al-Sharf (‫(الصرف بيع‬
Bai’ al-Sharf yaitu jual beli mata uang dengan mata uang yang
sama atau berbeda jenis (currency exchange), seperti menjual rupiah
dengan dolar Amerika, rupiah dengan rial dan sebagainya. Jual beli
mata uang dalam fikih kontemporer disebut “tijarah an-naqd” atau
“al-ittijaar bi al-‘umlat”. Abdurrahman al-Maliki mendefinisikan bai’
al
sharf sebagai pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau
perak, baik dengan sesama jenis dan jumlah yang sama, maupun
dengan jenis yang berbeda dan jumlah yang sama ataupun tidak.
Menurut para ulama, hukum jual beli mata uang adalah Mubah (boleh),
selama memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
ْ ‫ر‬ ْ ْ َّ
ْ ْ ْ ِ‫مل‬ ْ ‫ب م ِال َّش‬
‫ِعي‬ ِ ‫وال ف َّض ِةب‬
ِ َ ‫ِالذب ف َّضة‬
‫ح‍ملِ‍الب‬ ‍ِ
‫ح‬
ْ ‫الت‬ َّ ِ ‫ب‬ ِ‫ْ ر ب‬ ََّ ‫ه بالذ َه ِب‬
‫مث ل ل‍ ِ‍ا‬ ْ ‫ر‬
‫مو‬ ‫وال‬ ‫ال‬
َ ِ
ْ ْ َّ ‫َ ِر ب‬
‫الت‬
‫د‬
ِ ‫ي ِ ِمث ب‬َ ‫ب يَداا‬ ِ ‫وال‬
َ ‫َ ْر‍بَ‍ى‬
‫ر‬ ‫و فَ َزادَأ ا ْستَ َزا َد فَقَ ْ ِد و‬
‫ال‬
َ ِ ‫ْ ِر ب ال َّش ِعي‬
‫س‬ ‫ء‬
َ ‫رواه‬ –. ‫َوال َ‍و‬ ‫اآل ِخذ‬ ‫ْن‬
َ ‫م‬
‫مسلم فِي ِه ا‬ َ
‫م ْع ِطى أ‬

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual
dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir,
kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam,
(takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang
menambah atau meminta tambahan maka di atelah berbuat riba,
pemberi dan penerima dalam hal ini sama” [HR. Muslim].
Dalam hadits lain, dijelaskan:
ْ ،‫ض‬ َ ‫ض‬ ‫ْ وا ا‬ ‫ْ‍او‬ ‫َّ‍و ر‬
ِ،ِ ‫َوا َل ت ل‬ ‫ب ْع‬ َ ‫الَ ِ ِق إلِ َ ِر َق بلِ‍يع َوا َل تَ‍بِ‍شف وا‬
َ ‫ب ْع َ َها َعل‍ى‬
‫ْ‍ام‬
ِ ‍‫ِمثب‍ل‬
‫ث َّ ب‬
ِ ‫ِالَه‬
‫إ َّ ب‬
َ ‫ِالذَه‬
‫ب‬
‫ِ‍يع وا‬
َّ
‫الذا َل تَب‬
ْ
‫ِمث ل ل‍‍ا‬
َ ‫ض‬ ْ
‫ز ْن‬ ‫‍ى‬
َ ‫ب ْع َ َه َعل‬َ ‫مثِ ِ و‬
‫ ا َل ت ا‬، ‫ب ْع ض‬
َ
‫ه تَب َا‬ ‫ل‬
ََ ‫ ا‬، ‫و ب‬
‫ِشف وا‬
‫البخاري‬
‫ج ِِم‬
‫اب‬ ‫ومسلم‬
‫ِنَا َغاِئبا‬
‫– رواه‬.
‫وا‬
ِ ‫يع‬

8
“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama
dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya
dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan
perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan
salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah
satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak
diserahkan secara kontan” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Sekalipun kedua hadits tersebut berbicara tentang jual beli atau
pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata
uang saat ini. Hal ini tidak lain karena sifat yang ada pada emas dan
perak saat itu sama dengan uang saat ini, yaitu sebagai alat tukar atau
uang (al-nuqud). Menurut para ulama fikih, termasuk Majelis Ulama
Indonesia, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan);
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan); 3.
Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya
harus sama dan secara tunai (at-taqabudh);
4. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar
(kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. b. Jual
beli yang diharamkan
1. Jual beli gharar adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan
dan pengkhianatan.
2. Jual beli mulaqih (‫ ( قالمال يح‬adalah jual beli di mana barang yang
dijual berupa hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum
bersetubuh dengan betina.
3. Jual beli mudhamin (‫ ( مالمضا يه‬adalah jual beli hewan yang masih
dalam perut induknya.
4. Jual beli muhaqolah (‫ ( المحاقلت‬adalah jual beli buah-buahan yang
masih ada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan. 5. Jual beli
munabadzah (‫ ( لما نابذة‬adalah tukar-menukar kurma basah dengan
kurma kering dan tukar-menukar anggur basah dengan anggur kering
dengan menggunakan alat ukur takaran.
6. Jual beli mukhabarah (‫ ( المخابرة‬adalah muamalah dengan
penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkan
oleh tanah tersebut.
7. Jual beli tsunaya ( ‫ ( نثل يا‬adalah jual beli dengan harga tertentu,
sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah
barang dengan pengecualian yang tidak jelas.
8. Jual beli ‘asb al-fahl (‫ ( ع سب الفحل‬adalah memperjualbelikan bibit
pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk
mendapatkan anak.

9
9. Jual beli mulamasah (‫ ( مالمال ست‬adalah jual beli antara dua pihak,
yang satu di antaranya menyentuh pakaian pihak lain yang
diperjualbelikan waktu malam atau siang.
10. Jual beli munabadzah (‫ ( لما نابذة‬adalah jual beli dengan
melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa
mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek
jual beli.
11. Jual beli ‘urban (‫ ( ابالعر ن‬adalah jual beli atas suatu barang dengan
harga tertentu, di mana pembeli memberikan uang muka dengan
catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar
dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang
muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.
12. Jual beli talqi rukban (‫ ( كالر بان‬adalah jual beli setelah pembeli
datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan
mengetahui harga pasaran.
13. Jual beli orang kota dengan orang desa (‫ ( ب يع حاضر ل باد‬adalah
orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada
orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran.
14. Jual beli musharrah (‫ ( المصرة‬adalah nama hewan ternak yang diikat
puting susunya sehingga kelihatan susunya banyak, hal ini
dilakukan agar harganya lebih tinggi.
15. Jual beli shubrah (‫ ( لصا برة‬adalah jual beli barang yang ditumpuk
yang mana bagian luar terlihat lebih baik dari bagian dalam. 16. Jual
beli najasy (‫ ( ال نجش‬Jual beli yang bersifat pura-pura di mana si
pembeli menaikkan harga barang, bukan untuk membelinya, tetapi
untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga yang tinggi

G. Jual beli yang di perdebatkan

a. Penjualan kredit dengan tambahan harga


Jual beli dalam fiqih Islam terkadang dilakukan dengan pembayaran
kontan dari tangan ke tangan, dan terkadang dengan pembayaran dan
penyerahan barang tertunda, hutang dengan hutang. Terkadang salah
satu keduanya kontan dan yang lainnya tertunda. Kalau pembayaran
kontan dan penyerahan barang tertunda, maka itu disebut jugal beli as
Salm. Kalau penyerahan barangnya langsung dan pembayarannya
tertunda, itu disebut jual beli nasi’ah. Pembayaran tertunda itu sendiri
terkadang dibayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus.
Terkadang dibayar dengan cicilan, yakni dibayar dengan jumlah
tertentu pada waktu-waktu tertentu. Itu disebut jual beli taqsit atau
kredit. Kredit di sini merupakan cara memberikan pembayaran barang
dagangan. Jual beli kredit itu hanyalah salah satu bentuk dari jual beli
nasi’ah. Syariat

10
yang suci membolehkan jual beli nasiah itu dengan pembayaran
tertunda, demikian juga dengan jual beli as-Salm dengan penyerahan
barang tertunda.
b. Jual Beli ‘Inah
Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan misalnya: si
Fulan melakukan “ain, yakni membeli sesuatu dengan pembayaran
tertunda atau berhutang. Atau menjual barang dengan pembayaran
tertunda, lalu membelinya lagi dengan harga lebih murah dari harga
penjualan. Jual beli ini disebut‘inah karena si pemilik barang bukan
menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah “ain
(uang). Atau karena si penjual kembali memiliki “ain (benda) yang dia
jual.
Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: Jual beli manipulatif untuk
digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih dari jumlahnya.
Yakni dengan cara menjual barang dengan pem-bayaran tertunda, lalu
membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.

1. Jual Beli Wafa


Yakni jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan
hak pihak lain. Yakni kapan penjual mengembalikan uang si
pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual.
Disebut sebagai jual beli wafa (pelunasan), karena ada semacam
perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak si penjual, yaitu me
ngembalikan barangnya, kalau si pembeli mengembalikan uang
biayanya.Selayang Pandang Sejarah Jual Beli Wafa Bentuk jual beli
ini terjadi pertama kali di Bukhara dan Balkh pada awal abad ke
lima hijriyah. Yang menjadi pemicunya adalah karena kebanyakan
orang yang berharta tidak mau meminjamkan uangnya secara baik,
sementara mereka merasa berat melakukan riba, di sisi lain banyak
orang yang sangat membutuhkan harta. Oleh karena itu, mereka
mencari jalan keluar yang mereka anggap dapat merealisasikan
kemaslahatan kedua belah pihak. Manfaat bagi penjual karena bisa
mendapatkan uang yang dia inginkan tanpa harus dengan terpaksa
menjual barang mati yang bisa jadi dia bermaksud secara keras agar
tidak keluar dari kepemilikannya. Manfaat bagi pembeli sehingga
dapat mengembangkan har-tanya, jauh dari lingkaran perbuatan riba
yang terang-terangan.Proses Transaksi Jual Beli Wafa Jelas bahwa
transaksi semacam itu mengandung improvisasi berbagai macam
hukum jual beli dan berbagai hukum pegadaian

11
Dalam jual beli itu terdapat hukum-hukum jual beli, misal
nya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya penggu
naan dan pemanfaatan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk
diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si
penjual Jual beli itu juga mengandung hukum pegadaian, seperti
tidak adanya hak pembeli untuk mengkonsumsi barang dagangan
atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain. Barang itu
juga tidak bisa dipakai untuk syuf'ah, dan biaya pera-watannya atas
penjual di samping pembeli juga harus menjaga komitmen untuk
mengembalikan barang itu bila si penjual telah mengembalikan
uang pembayarannya.

2. Jual Beli dengan Sistem Panjar/Uang Muka


Panjar dalam bahasa Arab adalah urbun. Secara bahasa
artinya adalah yang dijadikan perjanjian dalam penjualan beli.
Diucapkan urbun. Mengenai arbun, tidak umum diucapkan oleh
orang-orang Arab.Adapun arti terminologisnya yaitu: Sejumlah
uang yang dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si
penjual. Bila akad itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu
dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka
menjadi milik si penjual.

3. Jual Beli Istijrar


Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret. Secara
terminologis ilmu fiqih: Membawa kebutuhan yang perlu dibeli
sedikit demi sedikit, lalu membayarnya sesudahnya.

Hukum Jual Beli Istijrar

Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini.
Perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu
harga barang ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya
yang ditunda sampai waktu memasaknya. Berdasarkan hal ini,
apabila harganya telah diketahui secara pasti, maka jual beli ini sah
menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-disi demikian, jual beli
ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah,sehingga termasuk
dalam keumuman dalil-dalil yang me-netapkan disyariatkannya jual
beli tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui, inilah yang
menjadi penyebabnya di antara para ulama

Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli


ini karena tidak diketahuinya harga pembayaran

12
H. Bentuk kerjasama dalam perdagangan

a. Syirkah dalam ekonomi Islam bisa dikatakan setara dengan konsep


joint venture dalam ekonomi konvensional. Sistem kerja sama ini
berjalan dengan menggabungkan sumber daya yang dimiliki demi
tercapainya tujuan bersama. Sumber daya yang digabungkan bisa
dalam berbagai macam bentuk yang disepakati. Mulai dari modal,
uang, keahlian, bahan baku, jaringan kerja, dan lain sebagainya.
Bentuk kerja sama syirkah umumnya dilakukan oleh dua orang atau
dua pihak, dan bisa juga lebih dari itu.
b. Bentuk Kerja Sama Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama yang melibatkan dua pihak,
yaitu pemodal yang disebut shahibul maal dan pelaksana usaha
yang disebut mudharib. Hasil dari bentuk kerja sama ini sering
disebut sebagai bagi hasil. Dan penentuan persentase bagi hasil
ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan kesepakatan. Dalam
bentuk kerja sama ini, mudharib memiliki kewajiban untuk
mengembalikan modal yang dia pinjam serta membayarkan
keuntungan sesuai kesepakatan. Pembayaran dilakukan sesuai
dengan besaran yang disepakati dan dalam rentang waktu yang
telah disepakati juga.
c. Bentuk Kerja Sama Jual Beli / Murabahah
Bentuk kerja sama jual beli dalam Islam juga sering disebut sebagai
murabahah. Dalam bentuk kerja yang sama ini, terdapat
kepemilikan barang antara penjual dan pembeli. Bentuk ini adalah
bentuk kerja yang paling umum dalam ekonomi Islam.

Ada beberapa bentuk akad yang boleh dilakukan dalam murabahah.


Yaitu bissamanil ajil, salam, istishna, isti'jar, ijarah, dan sarf yaitu :
a. Bissamanil Ajil: transaksi penjualan beli dilakukan dengan
penetapan harga yang berbeda untuk pembelian tunai dan
angsuran.
b. Salam: transaksi jual beli secara tunai, namun penyerahan
barang ditunda sesuai kesepakatan.
c. Istishna: transaksi jual beli dengan sistem pemesanan,
pembayaran dilakukan saat pengambilan barang.
d. Ijarah: transaksi jual beli jasa baik dalam bentuk penyewaan
barang, tenaga, atau keanggotaan.
e. Sarf: transaksi jual beli mata uang antar negara.

d. Bentuk Kerja Sama Pemberian Kepercayaan

13
Bentuk kerja sama ini merupakan perjanjian atas penjaminan atau
penyelesaian utang dengan pemberian kepercayaan. Dalam
melakukan kerja sama ini, ada beberapa akad umum yang
digunakan. Diantaranya adalah jaminan (kafalah atau damanah),
gadai (rahn), dan transfer hutang (hiwalah). Akad jaminan
memungkinkan adanya pengalihan tanggung jawab seseorang yang
dijamin kepada penjamin. Sedangkan gadai dilakukan dengan
memberikan barang berharga dengan nilai yang setara atau lebih
dari nilai pinjaman. Dan pemindahan hutang dilakukan untuk
memindahkan kewajiban pembayaran hutang kepada orang lain.
e. Bentuk Kerja Sama Titipan / Wadi'ah
Bentuk kerja sama ini dilakukan dengan menitipkan barang
berharga yang dimiliki seseorang kepada orang lain yang
dipercaya. Selama masa penitipan, maka orang tersebut dapat
memberikan biaya jasa penitipan kepada orang yang dia titipkan.

14
BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan

Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah


penukaran harta atas dasar saling suka rela. Hukum jual beli adalah mubah
artinya hal tersebut diperbolehkan sepanjang sukaa sama suka. Dalam
pelaksanaan jual beli yaitu :
1. Pejual dan pembeli
2. Uang atau bendaa yang beli
3. Lafad ijab dan qobul

J. Saran

Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan tata cara jual beli
yang sah menurut agama islam. Dan juga kita harus memerhatikan riba
yang terkandung didalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang
mengharamkan riba dalam islam,.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hani, U. (2021). FIQIH MUAMALAH. Banjarmasin: Universias Islam Kalimantan


Muhammad Arsyad Al-Banjary Banjarmasin.

Hasan , A. F. (2018). FIQIH MUAMALAH. Malang: UIN-Maliki Malang Press.


16

Anda mungkin juga menyukai