Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONSEP DAN MEKANISME TIJARAH

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah “Studi Ekonomi Islam”

Dosen Pengampu :

Eko Zulfikar, M.Ag

Disusun oleh :

Kelompok 11

1. Muhammad Addin Firmansyah (12403193116)


2. Nur Fadlila Wiji Lestari (12403193101)
3. Violinda Dhina Widaningrum (12403193094)
SEMESTER 1
JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH 1C
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2019
Nama : Muhammad Addin Firmansyah

NIM : 12403193116

Presensi :

Nama : Nur Fadlila Wiji Lestari


NIM : 12403193101
Presensi : 15

Nama : Violinda Dhina Widaningrum


NIM : 12403193094
Presensi : 8

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah memberikan
kelancaran dan kemurahan-Nya terhadap kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah “Studi Ekonomi Islam” dalam bentuk makalah, Sholawat serta salam
semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabiyullah Muhammad, SAW.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul “Konsep dan
Mekanisme Tijarah” ini, masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini, kami
berharap dari makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
bagi kami maupun pembaca.Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Tulungagung, 9 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

PENYUSUN………….………………………………………………………. i

KATA PENGANTAR……………………………………………………....... ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………. iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………….……….. 1


B. Rumusan Masalah…………………………………………..……….. 1
C. Tujuan Penulisan……………………………………………..……… 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Tijarah………………………………………...……….… 2
B. Rukun Tijarah……………………………………………..………...…3
C. Hukum Tijarah…………………………………………..…………….7
D. Akad Tijarah………………………………………………..………….7
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………….…….16
B. Saran…………………………………………………………………16

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al tijarah dalam Al Qur‟an yaitu bisnis dan dalam bahasa arab tijaraha,
berawal dari kata dasar tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau
berniaga. Bisnis merupakan aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh seseorang
atau lembaga yang berupa barang atau jasa dalam upaya memperoleh
keuntungan.
Aktifitas perekonomian berbasis syari‟ah merupakan praktik ekonomi
yang syarat dengan nilai-nilai keislaman harus dimengerti atau dipahami oleh
para pelakunya dalam berkonsumsi, berproduksi, dan berbisnis. Dengan
demikian, sebuah bisnis tersebut didasarkan kepada prinsip-prinsip agama
seperti norma-norma yang terkait dengan sistem perekonomian Islam.
Bisnis Islami dikendalikan oleh aturan halal dan haram, baik dari cara
perolehannya maupun pemanfaatan harta. Sementara bisnis non Islam tidak
memperhatikan aturan halal dan haram dalam setiap perencanaan,
pelaksanaan,dan segala usaha yang dilakukan dalam meraih tujuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tijarah?
2. Apa saja rukun Tijarah?
3. Bagaimana hukum dari Tijarah?
4. Bagaimana akad Tijarah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Tijarah
2. Untuk mengetahui rukun Tijarah
3. Untuk mengetahui hukum Tijarah
4. Untuk mengetahui akad Tijarah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tijarah

Tijarah atau dagang menurut istilah fiqh adalah mengolah (mentas‟arrufkan)


harta benda dengan cara tukar menukar untuk mendapatkan laba (keuntungan) dengan
disertai niat berdagang.1
Yang dinamakan harta dagangan (tijarah) adalah harta yang dimiliki dengan
akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh laba dan harta yang dimilikinya harus
merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu merupakan harta
warisan, maka „ulama mazhab secara sepakat tidak menamakannya harta dagangan.2
Pembahasan tijarah dalam hal ini mencakup tentang jual beli menukar suatu
barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu. Jual beli dalam bahasa
Indonesia berasal dari dua kata, yaitu jual dan beli. Yang dimaksud dengan jual beli
adalah berdagang, berniaga, menjual dan membeli barang.3
Berdasarkan definisi yang dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa jual
beli dapat terjadi apabila:
1. Adanya pertukaran harta dengan antara kedua belah pihak
2. Adanya pemindahan hak milik dengan ganti rugi yang dapat dibenarkan yaitu
dengan menggunakan alat tukar yang sah.
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW.
Beberapa ayat al-Qur‟an yang menerangkan tentang jual beli, diantaranya dalam surat
al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:

1
M. Masykur Khoir, Abdulloh, Risalatuz Zakat, (Kediri: Duta Karya Mandiri, 2010)
hlm. 60
2
Wahbah Al-Zuhayliy, Zakat Kajian Berbagai Mazhab,(Bandung: PT. Remaja Ronda
Karya, 2000) hlm .163
3
Ibid, hlm.164

2
‫َو َأ َح اَّلل الهُا ْلب َ ْي َع َى َح از َمال ِّزبَا‬
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.(QS. Al-
Baqarah: 275)4
Juga terdapat dalam surat an-Nisa‟ ayat 29 yang berbunyi:

ٍ‫یَا َأیُّهَاا ال ِذی َنآ َم ُنىاال َت ْؤ ُآ ُلىا َأ ْم َىا َل ُك ْمبَ ْي َن ُك ْمبِا ْلبَا ِط ِِلِال َأ ْن َت ُكى َنتِ َجا َر ًة َع ْن َت َزاض‬
‫ِم ْن ُك ْم َىال َت ْق ُت ُلىا َأ ْن ُف َس ُك ْمإ ِ انال اله َ َآا َنب ِ ُك ْم َز ِحي ًما‬

Artinya: Orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-
Nisa‟:29)5
B. Rukun Tijarah
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga jual beli itu
dapat dikatakan sah oleh syara‟.Menurut jumhur ulama‟, rukun jual beli ada 4
yaitu:6

1. Ada orang yang berakad atau al-muta‟aqidain (penjual dan pembeli)


Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu:

4
Sugiyarto, Untung.2015. “Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Baqarah ayat 275”,
(https://alquranmulia.wordpress.com/2015/04/30/tafsir-ibnu-katsir-surat-al-baqarah-
ayat-275/) diakses pada 6 September 2019, pukul 08.03
5
Gulen, Fethullah.2015. “Surah An-Nisa‟[4]:29”, (https://fgulen.com/id/karya-
karya/tafsir-al-quran/1892-surah-an-nisa/49581-surah-an-nisa-4-29) diakses pada 6
September 2019, pukul 08.44
6
Sa‟adah Yuliana, Nurlina Tarmizi, Maya Panaroma, Panaroma Transaksi Ekonomi dan
Bisnis dalam Tinjauan Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Idea Press, 2017) hlm. 64

3
a. Kewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan yakni
meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk
mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si
penjual dan pembeli.
b. Memberikan jaminan atas barang tersebut dan menanggung apabila
tercacat yang tersembunyi.
2. Ijab dan qabul
Dalam artian kalimat transaksi jual beli tidak disela oleh pembicaraan lain,
tidak disela oleh terdiam yang lama, ada persesuaian antara ijab dan qabul,
tidak digantungkan kepada sesuatu yang lin dan tidak ada batasan masa.
3. Ada barang
Ma‟uqud „alaih, yakni barang yang diperjualbelikan.Syaratnya harus suci,
bermanfaat menurut kriteria syari‟at, dapat diserahterimakan, dalam
kekuasaan pelaku akad dan teridentifikasi oleh pelaku akad.
4.Ada nilai tukar pengganti barang

Adapun syarat-syarat jual beli yang harus dipenuhi adalah7:


Tentang subyeknya bahwa kedua belah pihak yang melakukan jual beli haruslah:
1. Berakal, yaitu dapat membedakan atau memilih mana yang baik bagi dirinya,
jual beli yang dilakukan oleh anak kecil dan orang gila tidak sah.
2. Dengan kehendak sendiri, yaitu dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut
salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan pada pihak
lainnya.
3. Baligh, yaitu telah dewasa menurut hukum dan cakap dalam bertindak.
4. Keduanya tidak mubazir, para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian
jual beli tersebut bukanlah manusia yang boros(mubazir), sebab orang yang
mubazir di dalam perbuatan hukum berada di bawah pengampunan/perwalian.

7
Ibid,hlm. 66

4
Tentang obyeknya adalah benda yang menjadi sebab terjadinya perjanjian
jual beli. Benda tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut8:

1. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Suci


Benda benda najis bukan hanya tidak boleh diperjualbelikan, tetapi juga
tidak sah untuk diperjualbelikan. Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a bahwa ia
mendengar Rasulullah SAW, bersabda di Makkah pada tahun penaklukkan kota
itu : “Sesungguhnya Allah melarang jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan
berhala” (HR Muttafaq Alaih)
2. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Punya Manfaat
Yang dimaksud barang harus punya manfaat adalah bahwa barang itu
tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan
manusia.Oleh karena itu para ulama As Syafi‟I menolak jual beli hewan yang
membahayakan dan idak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular,
semut.Demikian juga dengan singa, serigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-
lahwi yang memalingkan orang darizikrullah, seperti alat music. Dengan syarat
bila setelah dirusak tidak bias memerikan manfaat apapun, maka jual beli alat
musik itu batil.
3. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak sah berjual beli dengan selain pemilik langsung suatu benda,
kecuali orang tersebut menjadi wali (wilayah) atau wakil.Yang dimaksud
menjadi wali (wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak
kecil,baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi
atas benda milik anak itu. Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah
seseorang yang mendapat mandate dari pemilik barang untuk menjualkannya
kepada pihak lain.

8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama, 2013) hlm.73

5
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka
transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak
untuk menjualbarang itu.
4. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Bisa Diserahkan
Maka menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena
tidak jelas apakah unta masih bias ditemukan atau tidak. Demikian juga tidak
sah menjual burung burung yang terbang di alam bebas yang tidak bias
diserahkan, baik secara fisik maupun hokum. Demikian juga ikan ikan yang
berenang bebas di laut,tidak sah diperjualbelikan, kecual setelah ditangkap atau
bias dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual
setengah bagian dari pedang, karena tidak bias diserahkan kecuali dengan jalan
merusak pedang itu.
5. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaannya, tidak sah untuk
diperjualbelikan, kecuali setelah kedua belah pihak mengetahuinya.Baik dari
segi kuantitasnya maupun kualitasnya.
Dari segi kuantitasnya, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya, baik
beratnya, panjangnya, volumenya, atau pun ukuran ukuran lainnya. Sedangkan
dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat oleh penjual dan pembeli sebelum
akad jual beli dilakukan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah
dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin
barang itu agar tidak cepat rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak
menghalangi terpenuhinya syarat syarat jual beli. Sehingga untuk mengetahui
keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa teknik,
misalnya :
a. Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera
di brosur atau kemasan tentang data data produk secara rinci. Sepertiukuran,
berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik, dan lainnya.

6
b. Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo
atasnya, seperti umumnya sample barang.
c. Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.

C. HUKUM TIJARAH

Hukum tijarah pada prinsipnya adalah mubah (dibolehkan), hal ini


berdasarkan surah Al-Baqarah (2) ayat 275, An-Nisa (4) ayat 29, dan Al-Baqarah
(2) ayat 282. Ayat pertama membicarakan tentang praktik jual beli dan
pengharaman riba, karena tijarah termasuk jual beli, maka hukumnya sama
dengan jual beli. Ayat kedua menjelaskan tentang keharaman memakan harta
manusia secara batil, kecuali melalui perdagangan yang dilaksanakan suka sama
suka. Adapun ayat ketiga berbicara mengenai perlunya saksi dalam jual beli.

Rasulullah SAW suatu ketika pernah ditanya oleh seseorang tentang usaha
yang terbaik. Dia menjawab, yaitu "Seseorang yang bekerja dengan tangannya
sendiri dan berdagang secara baik".(HR Al-Bazzar dan disahihkan oleh Al-Hakim
dari Rifaah bin Rafi). Ayat Alquran dan sunnah Rasulullah SAW telah
menjelaskan bahwa hukum tijarah diperbolehkan9.

D. AKAD TIJARAH
Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Berdasarkan
pada tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah secara umum
dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu natural uncertainty contracts dan natural
certainty contracts.
I. Natural Uncertainty Contracts (NUC)

9
Hidayatullah, Rully. 2018. “Tijarah”,
(https://id.m.wikipedia.org/w/index.php?title=Tijarah&oldid=14041627) diakses pada 6
September 2019 pukul 21.18

7
Akad tijarah yang masuk dalam kategori NUC ini umumnya terbagi lagi menjadi
5 (lima) jenis, yaitu musyarakah, mudharabah, muzara‟ah,
musaqah, dan mukharabah10.

1. Musyarakah atau syirkah


Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang
disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar
partisipasi modal yang disertakan dalam usaha.
Landasan syar‟i Al-Qur‟an dan Al-Hadits untuk akad musyarakah ini antara
lain: “………dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
bersyarikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lain
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh……..” (QS.
Shad: 24).
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi 5 (lima) jenis, yaitu:
a. Syirkah Mufawadhah, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara dua
pihak atau lebih dengan porsi dana yang sama.
b. Syirkah al-„Inan, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara dua pihak
atau lebih dengan porsi dana yang tidak harus sama.
c. Syirkah Wujuh, yaitu kerjasama atau percampuran antara pihak pemilik
dana dengan pihak lain yang memiliki reputasi atau nama baik
(kepercayaan).
d. Syirkah Abdan, yaitu kerjasama atau percampuran tenaga atau
profesionalisme antara dua pihak atau lebih, dengan kata lain terjadi
kerjasama profesi.

10
Dr.Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam,(Depok: PT. Raja Grafindo Persada,
2015) hlm.177

8
e. Syirkah Mudharabah, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara
pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki profesionalisme atau
tenaga.

2. Mudharabah
Menurut fiqh, mudharabah atau disebut juga muqaradhah berarti
bepergian untuk urusan dagang. Secara muamalah berarti pemilik
modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya kepada
pekerja/pedagang (mudharib) untuk diperdagangkan/diusahakan, sedangkan
keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama.
Landasan syar‟i Al-Qur‟an dan Al-Hadits untuk akad mudharabah ini
antara lain: “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling
memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu…” (QS. An-Nisa‟: 29)

3. Muzara’ah
Muzara‟ah adalah akad kerjasama pengolahan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan menyerahkan lahan
pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya berasal dari
pemilik lahan.
Aplikasi dalam lembaga keuangansyariah, muzara‟ah merupakan produk
khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis.

4. Mukhabarah
Kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemilik lajan memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan diperlihara dengan imbalan tertentu
(persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap.

9
Bentuk akad kerjasama antara pemilik sawah/ tanah dan penggarap dengan
perjanjan bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap
menurut kesepakatan bersama. Sedangkan biaya dan benihnya dari pemilik
tanah, Oleh sebagian ulama, akad mukhabarah ini diperbolehkan,
berdasarkan hadits Nabi saw, artinya: “Sesungguhnya Nabi telah
menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar ditanami dan
diperlihara, dengan perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian
hasilnya.” (HR Muslim dari Ibnu Umar ra.)

5. Musaqah
Musaqah ini merupakan bentuk sederhana dari muzara‟ah karena
penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan
lahan saja. Musaqah adalah akad kerjasama dalam pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari
hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan; Aplikasi dalam
lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang
dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap
hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.

II. Natural Certainty Contracts (NCC)


Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya,
sehingga objek pertukarannya pun (baik barang maupun jasa) jumlahnya,
mutunya, harganya, dan waktu penyerahannya harus ditetapkan di awal akad
dengan pasti. Return dari kontrak-kontrak ini dapat ditetapkan secara pasti di awal
akad. Akad tijarah yang masuk dalam kategori NCC ini umumnya terbagi ke

10
dalam 6 (enam) jenis, yaitu Al-Bai‟, Al-Murabahah, As-Salam, Al-Istishna‟,
Ijarah, dan Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik (IMBT).11

1. Al-Bai’
Menurut Sunarto Zulkifli (2007), Bai‟ adalah transaksi pertukaran
antara „ayn yang berbentuk barang dengan dayn yang berbentuk uang, lazimnya
disebut sebagai transaksi jual-beli. Dalam transaksi ini, keuntungan penjualan
sudah dimasukkan dalam harga jual sehingga penjual tidak perlu
memberitahukan tingkat keuntungan yang diinginkan.
Pada dasarnya, al-bai‟ terbagi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu:

a. Al-Bai‟ Naqdan, yaitu akad jual-beli atas suatu barang atau jasa yang
pembayaran serta penyerahan barang atau jasanya dilakukan secara tunai atau
saat ini juga
b. Al-Bai‟ Muajjal, yaitu akad jual-beli atas suatu barang atau jasa yang
pembayarannya dilakukan tidak secara tunai atau dilakukan dikemudian hari
(hutang) tetapi barang atau jasanya diterima saat ini (awal periode).
c. Al-Bai‟ Taqsith, yaitu akad jual-beli atas suatu barang atau jasa yang
pembayarannya dilakukan secara cicilan selama periode hutang sedangkan
barang atau jasanya diterima di awal periode.

2. Al-Murabahah
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), al-murabahah adalah akad
jual-beli antara penjual dengan pembeli barang. Dalam transaksi jual-beli
tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan
dan tidak termasuk barang haram, demikian juga dengan harga pembelian dan
keuntungan yang diambil serta cara pembayarannya.
Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk
memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan

11
Ibid, hlm. 182

11
uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh
pembiayaan dari bank syariah untuk pengadaan barang tersebut.
Dari Shaleh bin Suhaib, dari bapaknya, Rasulullah SAW bersabda, “Tiga
perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran
secara tangguh, muqaradah (nama lain mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR.
Ibnu Majah).

3. As-Salam
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), bai‟ as salam adalah akad
jual-beli suatu barang yang harganya dibayar dengan segera sedangkan
barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati.
Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh
bank syariah dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu
penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan
dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai
yang dibayarkan segera. Tentu saja bank syariah tidak bermaksud hanya
melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk
memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi
pembelian salam oleh bank syariah selalu diikuti atau dibarengi dengan
transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan
barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu
menjadi paralel salam. Bank syariah dapat juga melakukan penjualan barang
itu dengan menggunakan skema murabahah.

4. Al-Istishna’
Pada dasarnya bai‟ al-Istishna‟ adalah salah satu pengembangan
prinsip bai‟ as-salam dimana waktu penyerahan barang dilakukan dikemudian
hari sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan.
Oleh karena al-istishna‟ merupakan jenis khusus dari bai‟ as-salam, maka

12
ketentuan dan landasan hukum syariah bai‟ al-istishna‟ mengikuti ketentuan
dan landasan hukum syariah bai‟ as-salam.

5. Ijarah
Ijarah merupakan transaksi pertukaran antara „ayn berbentuk jasa atau
manfaat dengan dayn. Dalam istilah lain, ijarah dapat juga didefinisikan
sebagai akad pemindahan hak guna atau manfaat atas barang/jasa melalui upah
sewa tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.
Jenis ijarah dapat dibagi berdasarkan objeknya, yaitu ijarah yang objek
manfaatnya dari barang (misalnya sewa mobil, sewa rumah, dan lain-lain)
dan ijarah yang objek manfaatnya dari tenaga seseorang (misalnya jasa taksi,
jasa guru, dan lain-lain). Pendapatan yang diterima dari
transaksi ijarah disebut ujrah.

6. Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik


Selain hanya sebagai kontrak sewa, ijarah juga bisa dikembangkan
menjadi kontrak sewa-beli, bentuk kontrak ini disebut Ijarah Muntahiya Bit-
Tamlik (IMBT). Kontrak IMBT ini memberikan opsi kepada penyewa untuk
memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai. Akad sewa
yang terjadi antara bank syariah (sebagai pemilik barang) dengan nasabah
(sebagai penyewa) dilaksanakan dengan cara pembayaran cicilan atau angsuran
sudah termasuk pokok harga barang. Ijarah jenis ini disertai dengan
janji (wa‟ad) yang mengikat pihak pemberi sewa untuk mengalihkan
kepemilikan kepada penyewa pada saat masa sewa telah berakhir. Proses
perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi IMBT dapat dilakukan
dengan cara:

a. Hibah (pemberian atau gift), yaitu transaksi ijarah yang diakhiri dengan
perpindahan kepemilikan barang dengan cara hibah dari pemilik objek sewa
kepada penyewa.

13
b. Promis to sell (janji menjual), yaitu transaksi ijarah yang diikuti denga janji
menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa dengan
harga tertentu.

7. Sharf
Sharf dapat juga didefinisikan sebagai prinsip jual-beli valuta dengan
valuta lainnya yang berbeda. Dalam transaksi sharf, penyerahan valuta harus
dilakukan secara tunai (naqdan) dan tidak dapat dilakukan secara tangguh.
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 28/DSN-MUI/III/2002 Tentang
Jual-beli Mata uang (Al-Sharf) menyatakan bahwa transaksi jual beli mata uang
pada prinsipnya boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Tidak ada spekulasi (untung-untungan)


b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya
harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs)
yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Fatwa DSN tersebut juga telah membagi transaksi sharf atau valuta asing
menjadi 4 (empat) jenis, yaitu12:

1. Transkasi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing


(valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau
penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Transaksi
ini hukumnya adalah BOLEH, karena dianggap tunai. Sedangkan waktu

12
Ahmad, Farhan.2008. “Aqad Sharf”,
(https://www.academia.edu/31572071/Aqad_Sharf) diakses pada 7 September 2019
pukul 14.35

14
dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari
dan merupakan transaksi internasional.
2. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang
nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk jangka
waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun.
Hukumnya adalah HARAM, karena harga yang digunakan adalah harga
yang diperjanjikan (muwa‟dah) dan penyerahannya dilakukan
dikemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum
3. tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam
bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari
(lil hajah).
4. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas
dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara
penjualan valas yang sama dengan harga forward.
Hukumnya HARAM, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
5. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka
membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas
sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal
akhir tertentu. Hukumnya HARAM, karena mengandung
unsur maisir (spekulasi).

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Yang dinamakan harta dagangan (tijarah) adalah harta yang
dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh laba dan
harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya sendiri.
Tijarah dalam Islam merupakan salah satu profesi yang
dianjurkan bahkan diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya kepada
umat muslim. Bahkan Rasulullah dalam sebuah hadistnya memberikan
penghormatan kepada orang yang berdagang (pedagang) sejajar dengan
para Nabi, syuhada, dan solihin.

B. Saran
Hendaknya dalam melakukan kegiatan ekonomi didasarkan atas
kejujuran tanpa melakukan kecurangan yang mungkin bisa merugikan
pihak lain, serta mampu menjamin barang atas kelayakan atau kualitas
yang diperjualbelikan sesuai dengan ajaran Islam.

16
DAFTAR PUSTAKA

M. Masykur Khoir, Abdulloh, Risalatuz Zakat, (Kediri: Duta Karya Mandiri, 2010)
hlm. 60

Wahbah Al-Zuhayliy, Zakat Kajian Berbagai Mazhab,(Bandung: PT. Remaja Ronda


Karya, 2000) hlm .163

Sugiyarto, Untung.2015. “Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Baqarah ayat 275”,


(https://alquranmulia.wordpress.com/2015/04/30/tafsir-ibnu-katsir-surat-al-baqarah-
ayat-275/) diakses pada 6 September 2019, pukul 08.03

Gulen, Fethullah.2015. “Surah An-Nisa‟[4]:29”, (https://fgulen.com/id/karya-


karya/tafsir-al-quran/1892-surah-an-nisa/49581-surah-an-nisa-4-29) diakses pada 6
September 2019, pukul 08.44

Sa‟adah Yuliana, Nurlina Tarmizi, Maya Panaroma, Panaroma Transaksi Ekonomi dan
Bisnis dalam Tinjauan Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Idea Press, 2017) hlm. 64

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama, 2013) hlm.73

Hidayatullah, Rully. 2018. “Tijarah”,


(https://id.m.wikipedia.org/w/index.php?title=Tijarah&oldid=14041627) diakses pada 6
September 2019 pukul 21.18

Dr.Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam,(Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2015)
hlm.177

Ahmad, Farhan.2008. “Aqad Sharf”,


(https://www.academia.edu/31572071/Aqad_Sharf) diakses pada 7 September 2019
pukul 14.35

17

Anda mungkin juga menyukai