Anda di halaman 1dari 12

COVER

MAKALAH

EKONOMI ISLAM

TIJAROH

Disusun oleh:

Nama: M. Ainul Yaqin

Nim: 2022395500222

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITU AGAMA ISLAM IBRAHIMY

Jl. KH. Hasyim Asy’ri No 01, Dusun Kerajan,

Kemberitan, Kec Genteng, Kab Banyuwangi


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan Makalahini dengan judul “Tijaroh”. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat, serta semua umatnya hingga kini.Dan Semoga kita termasuk dari golongan yang
kelak mendapatkan syafaatnya.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya makalah ini.
Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu
rujukan maupunpedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman,
sehingga nantinya saya dapat memperbaiki bentu kata makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Penulis sadar bahwa penulis ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan, baik.
dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan makalah yang di paparkan. Semua ini
murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh sebab itu, saya membutuhkan
kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat membangun untuk lebih
meningkatkan kualitas dikemudian hari.

Banyuwangi, 28Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………………..4

A. Latar Belakang………………………………………………………………………………………………………………….4

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………………………………………5

A. Pengertian Tijarah……………………………………………………………………………………………………………5

B. Dalil Tentang Tijarah…………………………………………………………………….………………………………….6

C. Kasus-Kasus Permasalahan………………………………………………………………………………………....7

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………………………………………………………..11

Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………………………..11

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………………………………12
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam bermuamalah terdapat kaidah fiqh “hukum segala sesuatu adalah boleh
kecuali ada dalil yang melarangnya”. Implikasi dari kaidah ini adalah sangat
terbukanya muamalah dalam hal mengikuti perkembangan zaman. Kemajuan
peradaban dan teknologi tentu akan membuat tata cara bermuamalah mengalami
perubahan. Sistem jual beli online, jual beli saham, kartu kredit, dan lainnya tentu
tidak ada pada zaman dahulu. Salah satu kegiatan utama dalam muamalah adalah
berniaga (jual beli). Tulisan ini membahas bagaimana dan implikasi serta macam-
macam konsep berniaga dalam Al-Quran. Hubungan sosial bentuk dari dalam
kehidupan manusia adalah hubungan ekonomi.
Hubungan ekonomi ini dilakukan untuk memudahkan pemenuhan segala
kebutuhan hidupnya. Manusia memerlukan bantuan orang lain, terutama dalam
kehidupan modern di mana kehidupan manusia sudah mengarah pada spesialisasi
profesi dan produksi. Dalam hubungan ekonomi kegiatan tukar menukar harta atau
jasa merupakan sebuah fenomena yang lazim. Kegiatan tukar menukar terjadi dalam
sebuah proses yang dinamakan transaksi. Secara hukum transaksi adalah bagian dari
kesepakatan perjanjian, sedangkan perjanjian adalah bagian dari perikatan1[1].
Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan
kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual beli ketika kesepakatan telah
tercapai akan muncul hak dan kewajiban, yakni hak pembeli untuk menerima barang
dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang atau kewajban pembeli untuk
menyerahkan harga
barang (uang) dan hak penjual untuk menerima uang Salah satu perwujudan
dari muamalat yang disyari’atkan oleh Islam adalah jual beli. Jual beli yang
diperbolehkan oleh Islam adalah jual-beli yang tidak mengandung unsur riba, maisír,
dan garar. Setiap transaksi jual beli dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukun
jual beli yang ditetapkan oleh syara’. Selain itu jual beli merupakan kegiatan
bertemunya penjual dan pembeli, di dalamnya terdapat barang yang diperdagangkan
dengan melalui akad (ijabdan qabul).
Dengan demikian, keabsahan jual beli juga dapat ditinjau dari beberapa segi:
pertama, tentang keadaan barang yang akan dijual. kedua, tentang tanggungan pada
barang yang dijual yaitu kapan terjadinya peralihan dari milik penjual kepada
pembeli. ketiga, tentang suatu yang menyertai barang saat terjadi jual beli2[2].Selain
itu akad jual beli, obyek jual beli dan orang yang mengadakan akad juga menjadi
bagian penting yang harus pula dipenuhi dalam jual beli.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tijaroh
Arti Kata “tijarah” ( ) dalam Al-Quran Kata
tijarah secara bahasa merupakan mashdar (akar kata) bagi tajara – yatjuru .
Tijarah dalam Al-Quran berarti perdagangan.Tijarah atau dagang menurut istilah
fiqh adalah mengolah (mentasarrufkan) harta benda dengan cara tukar menukar
untuk mendapatkan laba (keuntungan) dengan disertai niat berdagang3[3].Yang
dinamakan harta dagangan (tijarah ) adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar
dengan tujuan untuk memperoleh laba dan harta yang dimilikinya harus
merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu merupakan
harta warisan, maka ‘ulama mazhab secara sepakat tidak menamakannya harta
dagangan4[4].
Pembahasan tijarah dalam hal ini mencakup tentang jual beli menukar suatu
barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu. Jual beli dalam bahasa
Indonesia berasal dari dua kata, yaitu jual dan beli. Yang dimaksud dengan jual
beli adalah berdagang, berniaga, menjual dan membeli barang5[5]. Sedangkan
dalam bahasa Arab, jual beli disebut denganyang berarti menjual, mengganti dan
menukar sesuatu dengan sesuatu.
Secara istilah terdapat perbedaan orientasi di antara para ulama dalam
mendefinisikan istilah tijarah sebagai berikut:
1. Menurut ar-Raghib al-
Asfahani
“Tijarah adalah mengelola
modal untuk mencari laba
(keuntungan)”
2. Menurut al-Jurjani
3. “Tijarah adalah ungkapan
tentang membeli sesuatu
untuk dijual karena (mencari)
laba”.
4. Menurut Lois Ma’luf kata
tijarah mencakup dua
pengertian
“ Jual-beli dengan tujuan
mencari laba” Dan

Sesuatu yang diperdagangkan”.

B. Dalil Tentang Tijarh


Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Beberapa ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang jual beli, diantaranya
dalam
1. surat al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.7 (QS. Al-Baqarah: 275)

2. Juga terdapat dalam surat an- Nisa>’ ayat 29 yang artinya


Artinya: Orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa>’:
29)

3. Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah SAW


diantaranya adalah hadis dari Rifa’ah yang berbunyi:

Artinya: Dari Rifa’ah bin Nafi’, bahwa Rasulullah saw pernah ditanya
orang,“apakah usaha
yang paling baik?” Ras}ulullah menjawab, “usaha seseorang dengan
tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur . (HR. Bazzar dan
Hakim)

C. Kasus-kasus atau Permasalahan,


allah swt menghalalkan jual beli dan melarang memakan harta manusia dengan
cara bahtil, yaitu berniaga dengan cara gharar.

Di dalam jual beli Rasulullah melarang jual beli yang mengandung unsur garar
karena dapat merugikan masing-masing pihak, seperti dalam hadis Nabi Hadis
nabi6[6]
Karena jual beli garar mengandung tipu muslihat dan spekulasi yang akhirnya
akan memudahkan seseorang untuk mencari keuntungan yang banyak dengan
jalan yang batil Wahbah az-Zuhaili<dalam bukunyaal-Fiqh aL-Islami
wa’Adilatuhu menerangkan adanya jual beli yang dianggap batal dan tidak
diperbolehkan dalam Islam dan menurut beberapa pendapat ulama dari berbagai
mazhab seperti halnya jumhur yang tidak membolehkan jual beli barang yang
tidak tampak (bai’ al- ma’dum ), yang belum jelas sifat dan keadaannya.
1. Gharar yang Dilarang terdiri dari tiga macam sebagaimana disebutkan
Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubra (4/18) :

“Adapun al-Gharar, dibagi menjadi tiga: ( pertama ) jual beli


yang tidak ada barangnya, seperti menjual anak binatang yang masih
dalam kandungan, dan susunya, (kedua): jual beli barang yang tidak bisa
diserahterimakan, seperti budak yang lari dari tuannya, (ketiga ): jual beli
barang yang tidak diketahui hakikatnya sama sekali atau bisa diketahui
tapi tidak jelas jenisnya atau kadarnya “(Adil al-‘Azzazi di dalam Tamam
al-Minnah (3/305) juga menyebutkan hal yang sama)
Berikut ini rincian dari tiga macam jual beli gharar yang dilarang:
Pertama: Gharar karena barangnya belum ada (al-ma'dum).
Contoh dari jual beli al-ma’dum adalah apa yang terdapat dalam hadist
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau berkata :

“Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual anak dari anak yang
berada dalam perut unta”. (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua: Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan ( al- ma’juz
‘an taslimihi ) Seperti menjual budak yang kabur, burung di udara, ikan di
laut, mobil yang dicuri, barang yang masih dalam pengiriman,
Ketiga: Gharar karena ketidakjelasan (al-jahalah) pada barang, harga dan
akad jual belinya.
Contoh ketidakjelasan pada barang yang akan dibeli, adalah apa yang
diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata:
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al -hashah
(dengan melempar batu) dan jual beli
gharar.” (HR Muslim)
Contoh jual beli al-hashah adalah ketika seseorang ingin membeli tanah,
maka penjual mengatakan: “Lemparlah kerikil ini, sejauh engkau
melempar, maka itu adalah tanah milikmu dengan harga sekian.”
Termasuk dalam katagori ini adalah apa yang diriwayatkan Abu Sa’id al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu , bahwa ia berkata :

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam


melarang dari Al -Munabadzah dan Al-
Mulamasah”. (HR Bukhari dan Muslim)
Al-Munabadzah adalah seorang penjual berkata kepada pembeli: “Kalau
saya lempar barang ini kepadamu maka wajib untuk dibeli”
2. Bentuk Kedua: Gharar Yang Diperbolehkan
Jual beli gharar yang diperbolehkan ada empat macam: (pertama)
jika barang tersebut sebagai pelengkap, atau (kedua) jika ghararnya
sedikit, atau (ketiga) masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap
sesuatu yang remeh, (keempat) mereka memang membutuhkan transaksi
tersebut.
Imam Nawawi menjelaskan hal tersebut di dalam Shahih Muslim (5/144):
“Kadang sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli, karena
hal itu memang dibutuhkan (masyarakat), seperti seseorang tidak
mengetahui tentang kwalitas pondasi rumah (yang dibelinya), begitu juga
tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang hamil. Hal – hal
seperti ini dibolehkan di dalam jual beli, karena pondasi (yang tidak
tampak) diikutkan (hitungannya) pada kondisi bangunan rumah yang
tampak, dan memang harus begitu, karena pondasi tersebut memang tidak
bisa dilihat. Begitu juga yang terdapat dalam kandungan kambing dan
susunya.“ (lihat juga Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari, Kitab: al- Buyu’,
Bab: Bai’ al -Gharar )
Beberapa contoh gharar lain yang diperbolehkan :

1. Menyewakan rumahnya selama sebulan. Ini dibolehkan


walaupun satu bulan kadang 28, 29, 30 bahkan 31 hari.
2. Membeli hewan yang sedang mengandung dengan adanya
kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan
atau betina, kalau lahir sempurna atau cacat.
3. Masuk toilet dengan membayar Rp. 2000,- padahal tidak
diketahui jumlah air yang digunakan
4. Naik kendaran angkutan umum atau busway dengan membayar
sejumlah uang yang sama, padahal masing-masing penumpang
tujuannya berbeda-beda.
Jual beli dengan gharar semacam ini dibolehkan menurut kesepakatan para
ulama. Berkata Imam Nawawi di dalam al- Majmu’ Syarhu al-Muhadzab,
(9/311):
“Menurut kesepakatan ulama, semua yang disebut di atas diperbolehkan.
Para ulama juga menukil ijma’ tentang bolehnya menjual barang- barang
yang mengandung gharar yang sedikit.”
Ibnu Qayyim di dalam Zadu al- Ma’ad (5 /727) juga mengatakan: “Tidak
semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan
(sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi
penghalang keabsahan akad jual beli.“ (Lihat juga Ibnu Taimiyah dalam
al-Fatawa al-Kubra: 4/ 18 )

3. Bentuk Ketiga: Gharar yang Masih Diperselisihkan


Gharar yang masih diperselisihkan adalah gharar yang berada di
tengah –tengah antara yang diharamkan dan yang dibolehkan, sehingga
para ulama berselisih pendapat di dalamnya. Hal ini dikarenakan
perbedaaan mereka di dalam menentukan apakah gharar tersebut sedikit
atau banyak, apakah dibutuhkan masyarakat atau tidak, apakah sebagai
pelengkap atau barang inti
Contoh gharar dalam bentuk ketiga ini adalah menjual wortel, kacang
tanah, bawang, kentang dan yang sejenis yang masih berada di dalam tanah.
Sebagian ulama tidak membolehkannya seperti Imam Syafi’I, tetapi
sebagian yang lain membolehkannya seperti Imam
Malik, IbnuTaimiyah ( Majmu Fatawa: 29/33), Ibnu Qayyim (Zadu
al- Ma’ad: 5/728) .
Penulis cenderung mendukung pendapat yang membolehkan tetapi
dengan syarat bahwa penjual dan pembeli sama- sama mempunyai ilmu
tentang barang-barang yang dijual tersebut, seperti apabila keduanya adalah
petani yang mengetahui kwalitas wortel, bawang, kentang yang berada di
dalam tanah dengan melihat kwalitas daunnya atau batangnya atau dengan
cara yang lain. Ini seperti halnya seorang laki-laki yang melamar seorang
perempuan dengan hanya melihat
wajah dan kedua telapak tangannya. Walaupun ini masuk dalam
katagori gharar, karena laki-laki yang melamar tidak melihat anggota badan
yang tertutup dari perempuan yang dilamar, tetapi paling tidak, wajah dan
kedua telapak tangan, biasanya sudah mewakili apa yang tertutup dan tidak
bisa dilihat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya dalam transaksi muamalah jual beli hukumya boleh (mubah)
kecuali ada dalil yang mengharamkannya,sebagaimana yang telah disepakati oleh
mayoritas ulama fiqih mereka dengan menetapkan sebuah kaidah fiqhiyah, namun
pada jual beli gharar terdapat dalil yang mengharamkan jual beli gharar karena
jual beli tersebut mengandung unsur ketidakpastian yang melibatkan kedua belah
pihak.
Jual Beli Gharar atau dalam Ilmu Ekonomi dikenal dengan ketidakpastian
atau resiko dalam istilah Fiqh Muamalah adalah melakukan sesuatu secara
membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi, atau mengambil resiko sendiri
dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa
akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut Ibnu taimiyah, gharar terjadi karena seseorang tidak tahu apa yang
tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli dan terjadi karena
adanya incomplete information. Incomplete information tersebut dialami oleh
kedua belah pihak.
Jual Beli gharar dijelaskan dalam alquran pada surat Albaqarah ayat 188 yang
artinya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Abu Salamah mengabarkan kepada
kami, dari Ubaidillah bin Umar, dari Abu Zinad, dari A'raj dari Abu Hurairah RA,
ia berkata, "RasuluIIah SAW melarang jual-beli gharar dan hashaat."
Berdasarkan dalil diatas, telah jelas dijelaskan bahwa jual beli ghrara dilarang,
dan rasulullah sendiri pun melarang jual beli gharar tersebut. Secara kajian ushul
fiqih pun dijelaskan bahwa kemudhratan harus dihilangkan.
Setiap perkara yang mendatangkan kemudharatan harus dihilangkan,
ketidakpastian mendatangkan kemudharatan dan kemashlahatan mendatangkan
manfaat. Begitupun dengan jual beli gharar, karena jual beli ini mengandung
unsur ketidakpastian dalam beberapa hal, Allah dan Rasul-Nya pun melarang jual
beli gharar dalam alquran dan hadits sebab jual beli tersebut dapat menghilangkan
keberkahan dan dapat menimbulkan banyak kerugian baik pihak penjual maupun
pembeli. Garis besarnya jual beli di bolehkan asal sesuai dengan ketentuan syariat
islam
DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi, abd al-Hary. 1994. Metode Tafsir Mawdhu’iy, sebuah pengantar.


Jakarta: PT RajaGrafindo.
Al-khatan, Manna Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu quran. Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa.
Azwar, Karim Adiwarman. 2012. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada. hafizasharf. Islamic muamalat. Tersedia di:
http://hafizashraf.blogspot.com/2013/09/elemen-al-gharar-dalam-transaksi-
umat.html pondok ngaji online. Tersedia di:
http://pondokngajionline.blogspot.com/2013/03/tafsir-jalalain-surat-al-baqarah-
ayat_27.html (online, dikutip tanggal 28 Oktober 2023)
Tafsir alquran al karim. Tafsir albaqarah ayat 188-195.tersedia di:
http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-al-baqarah-ayat-188-195.html (online,
dikutip tanggal 28 Oktober 2023)

Anda mungkin juga menyukai