MAKALAH
EKONOMI ISLAM
TIJAROH
Disusun oleh:
Nim: 2022395500222
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan Makalahini dengan judul “Tijaroh”. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat, serta semua umatnya hingga kini.Dan Semoga kita termasuk dari golongan yang
kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya makalah ini.
Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu
rujukan maupunpedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman,
sehingga nantinya saya dapat memperbaiki bentu kata makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Penulis sadar bahwa penulis ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan, baik.
dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan makalah yang di paparkan. Semua ini
murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh sebab itu, saya membutuhkan
kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat membangun untuk lebih
meningkatkan kualitas dikemudian hari.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………………..4
A. Latar Belakang………………………………………………………………………………………………………………….4
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………………………………………5
A. Pengertian Tijarah……………………………………………………………………………………………………………5
C. Kasus-Kasus Permasalahan………………………………………………………………………………………....7
Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………………………..11
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………………………………12
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam bermuamalah terdapat kaidah fiqh “hukum segala sesuatu adalah boleh
kecuali ada dalil yang melarangnya”. Implikasi dari kaidah ini adalah sangat
terbukanya muamalah dalam hal mengikuti perkembangan zaman. Kemajuan
peradaban dan teknologi tentu akan membuat tata cara bermuamalah mengalami
perubahan. Sistem jual beli online, jual beli saham, kartu kredit, dan lainnya tentu
tidak ada pada zaman dahulu. Salah satu kegiatan utama dalam muamalah adalah
berniaga (jual beli). Tulisan ini membahas bagaimana dan implikasi serta macam-
macam konsep berniaga dalam Al-Quran. Hubungan sosial bentuk dari dalam
kehidupan manusia adalah hubungan ekonomi.
Hubungan ekonomi ini dilakukan untuk memudahkan pemenuhan segala
kebutuhan hidupnya. Manusia memerlukan bantuan orang lain, terutama dalam
kehidupan modern di mana kehidupan manusia sudah mengarah pada spesialisasi
profesi dan produksi. Dalam hubungan ekonomi kegiatan tukar menukar harta atau
jasa merupakan sebuah fenomena yang lazim. Kegiatan tukar menukar terjadi dalam
sebuah proses yang dinamakan transaksi. Secara hukum transaksi adalah bagian dari
kesepakatan perjanjian, sedangkan perjanjian adalah bagian dari perikatan1[1].
Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan
kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual beli ketika kesepakatan telah
tercapai akan muncul hak dan kewajiban, yakni hak pembeli untuk menerima barang
dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang atau kewajban pembeli untuk
menyerahkan harga
barang (uang) dan hak penjual untuk menerima uang Salah satu perwujudan
dari muamalat yang disyari’atkan oleh Islam adalah jual beli. Jual beli yang
diperbolehkan oleh Islam adalah jual-beli yang tidak mengandung unsur riba, maisír,
dan garar. Setiap transaksi jual beli dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukun
jual beli yang ditetapkan oleh syara’. Selain itu jual beli merupakan kegiatan
bertemunya penjual dan pembeli, di dalamnya terdapat barang yang diperdagangkan
dengan melalui akad (ijabdan qabul).
Dengan demikian, keabsahan jual beli juga dapat ditinjau dari beberapa segi:
pertama, tentang keadaan barang yang akan dijual. kedua, tentang tanggungan pada
barang yang dijual yaitu kapan terjadinya peralihan dari milik penjual kepada
pembeli. ketiga, tentang suatu yang menyertai barang saat terjadi jual beli2[2].Selain
itu akad jual beli, obyek jual beli dan orang yang mengadakan akad juga menjadi
bagian penting yang harus pula dipenuhi dalam jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tijaroh
Arti Kata “tijarah” ( ) dalam Al-Quran Kata
tijarah secara bahasa merupakan mashdar (akar kata) bagi tajara – yatjuru .
Tijarah dalam Al-Quran berarti perdagangan.Tijarah atau dagang menurut istilah
fiqh adalah mengolah (mentasarrufkan) harta benda dengan cara tukar menukar
untuk mendapatkan laba (keuntungan) dengan disertai niat berdagang3[3].Yang
dinamakan harta dagangan (tijarah ) adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar
dengan tujuan untuk memperoleh laba dan harta yang dimilikinya harus
merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu merupakan
harta warisan, maka ‘ulama mazhab secara sepakat tidak menamakannya harta
dagangan4[4].
Pembahasan tijarah dalam hal ini mencakup tentang jual beli menukar suatu
barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu. Jual beli dalam bahasa
Indonesia berasal dari dua kata, yaitu jual dan beli. Yang dimaksud dengan jual
beli adalah berdagang, berniaga, menjual dan membeli barang5[5]. Sedangkan
dalam bahasa Arab, jual beli disebut denganyang berarti menjual, mengganti dan
menukar sesuatu dengan sesuatu.
Secara istilah terdapat perbedaan orientasi di antara para ulama dalam
mendefinisikan istilah tijarah sebagai berikut:
1. Menurut ar-Raghib al-
Asfahani
“Tijarah adalah mengelola
modal untuk mencari laba
(keuntungan)”
2. Menurut al-Jurjani
3. “Tijarah adalah ungkapan
tentang membeli sesuatu
untuk dijual karena (mencari)
laba”.
4. Menurut Lois Ma’luf kata
tijarah mencakup dua
pengertian
“ Jual-beli dengan tujuan
mencari laba” Dan
Artinya: Dari Rifa’ah bin Nafi’, bahwa Rasulullah saw pernah ditanya
orang,“apakah usaha
yang paling baik?” Ras}ulullah menjawab, “usaha seseorang dengan
tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur . (HR. Bazzar dan
Hakim)
Di dalam jual beli Rasulullah melarang jual beli yang mengandung unsur garar
karena dapat merugikan masing-masing pihak, seperti dalam hadis Nabi Hadis
nabi6[6]
Karena jual beli garar mengandung tipu muslihat dan spekulasi yang akhirnya
akan memudahkan seseorang untuk mencari keuntungan yang banyak dengan
jalan yang batil Wahbah az-Zuhaili<dalam bukunyaal-Fiqh aL-Islami
wa’Adilatuhu menerangkan adanya jual beli yang dianggap batal dan tidak
diperbolehkan dalam Islam dan menurut beberapa pendapat ulama dari berbagai
mazhab seperti halnya jumhur yang tidak membolehkan jual beli barang yang
tidak tampak (bai’ al- ma’dum ), yang belum jelas sifat dan keadaannya.
1. Gharar yang Dilarang terdiri dari tiga macam sebagaimana disebutkan
Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubra (4/18) :
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual anak dari anak yang
berada dalam perut unta”. (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua: Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan ( al- ma’juz
‘an taslimihi ) Seperti menjual budak yang kabur, burung di udara, ikan di
laut, mobil yang dicuri, barang yang masih dalam pengiriman,
Ketiga: Gharar karena ketidakjelasan (al-jahalah) pada barang, harga dan
akad jual belinya.
Contoh ketidakjelasan pada barang yang akan dibeli, adalah apa yang
diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata:
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al -hashah
(dengan melempar batu) dan jual beli
gharar.” (HR Muslim)
Contoh jual beli al-hashah adalah ketika seseorang ingin membeli tanah,
maka penjual mengatakan: “Lemparlah kerikil ini, sejauh engkau
melempar, maka itu adalah tanah milikmu dengan harga sekian.”
Termasuk dalam katagori ini adalah apa yang diriwayatkan Abu Sa’id al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu , bahwa ia berkata :