Anda di halaman 1dari 22

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................2

A. Pengertian Murabahah.......................................................................................2

B. Rukun dan Syarat Akad Murabahah..................................................................3

1. Rukun Jual Beli Murabahah............................................................................3

2. Syarat Jual Beli.................................................................................................3

C. Jenis-Jenis Murabahah.......................................................................................9

D. PSAK 102 Tentang Akuntansi Murabahah.....................................................10

E. Aplikasi Murabahah pada Bank Syariah Indonesia........................................13

F. Penggunaan Akad Murabahah pada Pembiayaan Murabahah di Syariah


17

BAB III PENUTUP....................................................................................................19

A. Kesimpulan......................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang universal. Islam agama yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia, secara garis besar Islam mengatur dua bagian pokok, yaitu ibadah dan muamalah.
Ibadah adalah hubungan secara vertikal, yang mengatur manusia dalam berhubungan kepada
Allah S.W.T. sebagai Tuhannya. Sedangkan muamalah ialah hubungan secara horizontal, yaitu
kegiatan-kegiatan yang menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia yang meliputi
aspek ekonomi, politik, yang menyangkut aspek ekonomi seperti jual-beli, simpan pinjam,
hutang piutang, usaha bersama dan lain sebagainya.

Masalah ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ia berkaitan denan
berbagai macam kebutuhan, seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan
lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sudah seharusnya manusia bekerja dengan mengolah
segala yang telah disediakan di alam semesta ini, dan dari hasil kebutuhan tersebut kebutuhan
manusia dapat terpenuhi, baik kebutuhan primer, sekunder dan tertier.

Akuntansi syariah yang berlandaskan nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits membantu manusia
untuk menyelenggarakan praktik ekonomi yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran
dan pencatatan transaksi dan pengungkapan hak-hak dan kewajiban-kewajiban secara adil
(Wiroso, 2011). Sehingga akuntansi sesungguhnya adalah alat pertanggungjawaban kepada Sang
Pencipta dan sesama makhluk, yang digunakan oleh manusia untuk mencapai kodratnya sebagai
khalifah.

Salah satu pembiayaan yang berlandaskan syariah adalah pembiayaan murabahah.


Pembiayaan Murabahah merupakan salah satu produk pembiayaan di perbankan syariah yang
paling mendominasi dan banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Dalam pembiayaan
murabahah diperlukan adanya perlakuan akuntansi, perlakuan akuntansi merupakan sistem
akuntansi untuk melihat bagaiman proses pencatatan terhadap produk pembiayaan yang
memakai sistem jual beli dari pihak yang terkait menjadi sistem akuntansi yang dipakai lembaga
keuangan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Murabahah
Murabahah merupakan salah satu konsep islam dalam melakukan perjanjian jual beli.
Konsep ini telah banyak digunakan oleh bank-bank dan lembaga-lembaga keuanganislam untuk
membiayaimodal kerja, dan pembiayaan perdagangan para nasabahnya.
Murabahah adalah istilah dalam fikih islam yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu
ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain
yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang
diinginkan.
Menurut dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (Fatwa, 2006) yang dimaksud dengan
Murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembelimembayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Murabahah sesuai jenisnya dapat dikategorikan dalam :
1. Murabahah tanpa pesanan artinya ada yang beli atau tidak, bank syariah menyediakan
barang dan
2. Murabahah berdasarkan pesanan artinya bank syariah baru akan melakukan transaksi jual
beli apabila ada yang pesan.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat dikategorikan dalam :
 Sifatnya mengikat artinya murabahah berdasarkan pesanan tersebut mengikat untuk
dibeli oleh nasabah sebagai pemesan.
 Sifatnya tidak mengikat artinya walaupun nasabah telah melakukan pemesanan
barang, namun nasabah tidak terikat untuk membeli barang tersebut.
Dari cara pembayaran murabahah dapat dikategorikan menjadi pembayaran tunai dan
pembayaran tangguh. Dalam praktek yang dilakukan oleh bank syariah saat ini adalah
Murabahah berdasarkan pesanan, sifatnya mengikat dengan cara pembayaran tangguh.
Yang menjadi dasar hukum dari murabahah yaitu dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat
276 yang artinya:
“…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Dan dalam hadits dari HR Ibnu Majah menyatakan bahwa:
‘Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang didalmnya
terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, nuqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR
Ibnu Majah)
Beberapa firman dan dalil yang mendukung adanya akad murabahah tersebut adalah :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian) itu” (Q.S. Al-
Maidah : 1)
“Hai orang-orang yang beriman jangalah kamu makan harta sesamamu dengan jalan
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantaramu” (Q.S. An-Nissa : 29)
Dari Abu Hurairah R.A. bahwa Nabi SAW pernah bersabda:
“Barang siapa meminjam dengan tekad mengembalikan, maka Allah akan membantu
melunasinya. Dan barang siapa meminjam dengan niat tidak mengembalikannya, maka
Allah akan membuatnya bangkrut” (Al Hadist)

B. Rukun dan Syarat Akad Murabahah


Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition),
misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli, maka jual beli tidak akan
ada. Para ekonom-ekonom Islam dan ahli-ahli Fiqh, menganggap Murabahah sebagai bagian
dalam jual beli. Maka, secara umum kaidah yang digunakan adalah jual beli. Rukun jual beli ada
tiga, yaitu akad (ijab qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’kud
alaih(obyek akad)( Hendi Suhendi. 2002: 70).

1. Rukun Jual Beli Murabahah


Dalam jual beli ada tiga rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Orang yang berakad.
2) Penjual
3) Pembeli
4) Ma’kud alaih (obyek akad):
5) Barang yang diperjual belikan.
6) Harga.
7) Akad/ Shighot:
8) Serah (Ijab)
9) Terima (Qabul)

2.Syarat Jual Beli


Selain karena faktor yang telah ada seperti akad menjadi sah atau lengkap adalah adanya
syarat. Syarat yaitu sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition).
Contohnya: adalah pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukalaf) menurut
mazhab Hanafi, bila rukun sudah terpenuhi tapi syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidak
lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak) (Adi Warmaan Azram Karim.2003 :
47).
Adapun syarat-syarat jualbeli sebagai berikut (Sulaiman Rusdid. 1954: 243), antara lain
sebagai berikut:
1) Penjual dan Pembeli
2) Berakal.
3) Dengan kehendak sendiri
4) Keadaan tidak Mubadzir (pemboros).
5) Baliq
6) Uang dan Benda yang dibeli (obyek yang diperjual belikan).
7) Suci.
8) Ada manfaat.
9) Keadaan barang tersebut dapat di serahkan.
10) Keadaan barang tersebut kepunyaan penjual atau kepunyaan yang diwakilkan
11) Barang tersebut diketahui antarasi penjual dan pembeli dengan terang dzat, bentuk,
kadar (ukuran) dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi keadaan yang
mengecewakan.
12) Ijab Qabul
13) Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeeli diam saja setelah penjual
menyatakan ijabnya begitu pula sebaliknya.
14) Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijabdan qabul.
15) Beragama Islam, syarat ini khusus utuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu
seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beraga islam kepa pembeli yang
beragama tidak islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan
merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang mu’min
Paparan tentang jual beli murabahah di atas merupakan konsep dan praktik murabahah
yang banyak dituangkan dalam berbagai literatur klasik (kitab fikih turats), dimana
komoditas/barang yang menjadi obyek murabahah tersedia dan dimiliki penjual pada waktu
negosiasi atau akad jual beli berlangsung. Kemudian ia menjual barang tersebut kepada pembeli
dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan diperoleh. Karena itu, dapat
dikatakan praktik tersebut adalah transaksi jual beli biasa, kelebihannya terletak pada
pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga menuntut kejujuran penjual dalam
menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
Dalam praktik di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk bank syariah, bentuk
murabahah dalam fikih klasik tersebut mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang
dipraktikkan pada LKS dikenal dengan murabahah li al-amir bi al-Syira’ , yaitu transaksi jual
beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas
dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut secara
murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang
disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan
berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki (Sami Hasan Hamûd. 1992 : 431).
Mengenai kedudukan hukum praktik murâbahah li al-umir bi al-Syira’ ulama
kontemporer berbeda pendapat. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau
mengharamkan. Di antara ulama yang mengakui keabsahan/kebolehan murâbahah li al-amir bi
al-Syira adalah Sami Hamud, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin,
Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Adapun argumentasi mereka adalah sebagai berikut (Ah
Azharuddin Lathif . 2014).
 Pertama, hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali terdapat
nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah
Mahdhah hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang memerintahkan untuk
melakukannya. Oleh karena itu dalam muamalah tidak perlu mempertanyakan dalil yang
mengakui keabsahan dan kehalalan, yang perlu diperhatikan adalah dalil yang melarang
dan mengharamkannya. Sepanjang tidak terdapat dalil yang melarangnya, maka transaksi
muamalah sah dan halal hukumnya.
 Kedua, keumuman nash Al-Qur’an dan hadis yang menunjukan kehalalan segala bentuk
jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya. Yusuf Qardhawi mengatakan,
dalam surat al-Baqarah; 275 Allah menghalalkan segala bentuk jual beli secara umum,
baik jual beli muqâydhah (barter), sharf (jual beli mata uang/valas), jual beli salam
ataupun jual beli mutlak serta bentuk jual beli lainnya. Semua jenis jual beli ini halal,
karena ia masuk dalam kategori jual beli yang dihalalkan Allah, dan tidak ada jual beli
yang haram kecuali terdapat nash dari Allah dan Rasulnya yang mengharamkannya.
 Ketiga, terdapat nash ulama fikih yang mengakui keabsahan akad ini, di antaranya
pernyataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm: “dan ketika seseorang memperlihatkan
sebuah barang tertentu kepada orang lain, dan berkata: “belikanlah aku barang ini, dan
engkau akan aku beri margin sekian”, kemudian orang tersebut mau untuk
membelikannya, maka jual beli tersebut diperbolehkan”. Namun demikian, orang yang
meminta untuk dibelikan tersebut memiliki hak khiyar, jika barang tersebut sesuai dengan
kriterianya, maka bisa dilanjutkan dengan akad jual beli dan akadnya sah, sebaliknya, jika
tidak sesuai, maka ia berhak untuk membatalkannya”.
Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’i memperbolehkan
transaksi Murâbahah li al-Âmir bi al-Syirâ, dengan syarat pembeli atau nasabah memiliki
hak khiyar, yakni hak untuk meneruskan atau membatalkan akad. Selain itu, penjual juga
memiliki hak khiyar, dengan demikian tidak terdapat janji yang mengikat kedua belah
pihak.
 Keempat, transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat. Hukum Islam tidak melarang
bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya, seperti riba, penimbunan
(ihtikâr ), penipuan dan lainnya, atau diindikasikan transaksi tersebut dapat menimbulkan
perselisihan atau permusuhan di antara manusia, seperti adanya gharar atau bersifat
spekulasi. Permasalahan pokok dalam muamalah adalah unsur kemaslahatan. Jika terdapat
maslahah, maka sangat dimungkinkan transaksi tersebut diperbolehkan. Seperti halnya
diperbolehkannya akad istishna, padahal ia merupakan jual beli/bai‘ al-ma’dûm (obyek
tidak ada saat akad), karena adanya kebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan, tidak
menimbulkan perselisihan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
 Kelima, pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan untuk
memudahkan persoalan hidup manusia. Syariah Islam datang untuk mempermudah urusan
manusia dan meringankan beban yang ditanggungnya. Banyak firman Allah yang
menyatakan hal ini, di antaranya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” (An-
Nisa ayat 28), dan Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu (al-Baqarah ayat 185). Kehidupan manusia di zaman sekarang lebih
kompleks, jadi mereka membutuhkan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi maksud dari
kemudahan di sini adalah menjaga kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak
sebagaimana ingin diwujudkan oleh syara’.
Adapun ulama kontemporer yang melarang dan mengharamkan praktik murabahah li al-
amir bi al-Syira’ antara lain: Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr bin Abdullah Abu Zaid,
Rafîq al-Mishrî dan lainnya. Berikut ini argumen yang memperkuat pendapat mereka ((Ah
Azharuddin Lathif . 2014):
 Pertama, transaksi murabahah di LKS/bank syariah sebenarnya bukan dimaksudkan untuk
melakukan jual beli tapi hanya sekedar hîlah atau trik untuk menghalalkan riba. Mereka
mengatakan bahwa maksud dan tujuan sebenarnya transaksi murabahah adalah untuk
mendapatkan uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke LKS/bank syariah sebenarnya
adalah untuk mendapatkan uang tunai. Sementara itu, pihak LKS/bank syariah tidak
membeli barang melainkan hendak menjualnya kepada nasabah dengan cara cicilan,
sehingga dapat dimaknai bahwa LKS/bank syariah sebenarnya tidak sungguh-sungguh
membeli barang tersebut.
 Kedua, tidak ada satu orang pun dari ulama terdahulu (salaf ) yang membolehkan
murabahah, bahkan ada yang menyatakan keharaman murabahah.
 Ketiga, transaksi murabahah termasuk jual beli ‘ înah yang diharamkan. Jual beli ‘înah
adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual beli.
 Keempat , Transaksi murabahah termasuk bay‘atâni fi bay‘ah. Rasulullah SAW telah
melarang bentuk jual beli bay‘ atâni fi bay‘ ah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi. Untuk mengetahui apakah transaksi murabahah
termasuk bay‘atâni fi bay‘ah, maka perlu mengetahui maksud dari model akad tersebut .
Menurut Imam Syafi’i bay‘atâni fi bay‘ah maksudnya adalah: Seorang penjual berkata:
Saya menjual barang ini kepada kamu Rp. 100.000,- secara tempo dan Rp.50.000,- secara
kontan, terserah mau pilih yang mana, dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya
satu pilihan pasti dan jual beli mengikat salah satu pihak.
 Kelima, Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual barang yang tidak
atau belum dimilikinya (bai’ al-ma’dûm ) , dimana pihak bank syariah dan nasabah
berjanji untuk melakukan transaksi murabahah. Untuk mewujudkan kesepakatan
tersebut,mereka membuat transaksi janji; pihak bank berjanji untuk menjual barang, dan
pihak nasabah berjanji untuk membeli barang. Keharusan nasabah untuk membeli karena
perjanjian berubah menjadi transaksi yang sebenarnya, padahal barangnya belum ada.
Bentuk ini bertentangan dengan kaidah umum syariat yang melarang jual beli pada barang
yang tidak dimiliki.
 Keenam, Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, telah mewajibkan
transaksi dengan sekedar janji. Apabila janji tersebut tidak sampai menjadi suatu
keharusan, maka tidak ada masalah dalam transaksi murabahah. Tapi apabila janji untuk
membeli itu menjadi suatu keharusan, maka para ulama banyak yang menolaknya, karena
dasar keharusan membeli tersebut tidak ada dalam kaidah umum syariat dan tidak boleh
mewajibkan transaksi hanya dengan sekedar janji.
Atas dasar perbedaan ulama di atas, Muhammad Taqi Usmani mengakui bahwa pada
mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan melainkan hanya alat untuk
menghindari “bunga bank” dan juga bukan merupakan instrumen ideal untuk mengembangkan
tujuan riil ekonomi Islam. Instrumen murabahah hanya digunakan sebagai langkah transisi yang
diambil dalam proses islamisasi ekonomi. Sedangkan untuk menghindari praktik murabahah
yang akan terjebak pada praktik hilah, bai’‘înah, bay‘atâni fi bay‘ah, dan bai’ al-ma’dûm maka
para ulama kontemporer mensyaratkan dalam praktik jual beli murabahah di lembaga keuangan
syariah sebagai berikut: 1). Jual beli murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga,
tetapi merupakan jual beli komoditas dengan harga tangguh termasuk margin keuntungan di atas
biaya perolehan yang disetujui bersama. Dalam kaitan ini, bila harga tangguh lebih tinggi dari
harga tunai maka sebelum para pihak berpisah, pilihan harga tersebut harus telah disepakati agar
terhindar dari bay‘atâni fi bay‘ah, 2).
Pemberi pembiayaan dalam hal ini bank atau lembaga keuangan syariah lainnya, harus
telah membeli komoditas/barang dan menyimpan dalam kekuasaannya, atau membeli melalui
orang ketiga sebagai agennya sebelum dijual kepada nasabahnya. Bila tidak demikian maka akan
terjadi bai’ al-ma’dûm (menjual belikan sesuatu yang belum ada/dimiliki). Namun demikian, bila
pembelian langsung ke pihak supplier tidak praktis, diperbolehkan bagi pemberi pembiayaan
untuk memanfaatkan nasabah sebagai agen/wakil dengan menggunakan akad wakalah untuk
membeli komoditas yang diperlukan atas nama pemberi pembiayaan.
Dalam kasus seperti ini, selama barang tersebut belum dibelikan oleh nasabah sebagai
agen maka tidak boleh dilakukan akad jual beli komoditas/barang antara nasabah dan pihak
pemberi pembiayaan. Bahkan bila nasabah sudah membelikan komoditasnya pun, resiko atas
rusak atau hilangnya barang masih ada pada pihak pemberi pembiayaan hingga dilakukan akad
jual beli antara kedua belah pihak. 3). Pembelian komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri
(komoditas milik nasabah) dengan perjanjian buy back (pembelian kembali) karena model
perjanjian seperti ini masuk kategori bai ‘ inah yang diharamkan oleh sebagian besar ulama.
Sejalan dengan syarat-syarat di atas, maka praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ di lembaga
Keuangan Syariah (LKS) ditempuh dengan prosedur sebagai berikut:
 Nasabah dan LKS menandatangani perjanjian umum ketika LKS berjanji untuk menjual
dan nasabah berjanji untuk membeli komoditas atau barang tertentu pada tingkat margin
tertentu yang ditambahkan dari biaya perolehan barang;
 LKS selanjutnya bisa menunjuk nasabah sebagai agennya untuk membeli komoditas yang
diperlukan nasabah atas nama LKS, dan perjanjian keagenan dengan akad wakalah
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
 Nasabah membelikan komoditas atas nama LKS dan mengambil alih penguasaan barang
sebagai agen LKS, pada tahap ini resiko komoditas masih ada pada LKS;
 Nasabah menginformasikan kepada LKS bahwa ia telah membeli komoditas/atau barang
atas nama LKS, dan pada saat yang sama menyampaikan penawaran untuk membeli
barang tersebut dari LKS
 LKS menerima penawaran tersebut dan proses jual beli berlangsung dengan pembayaran
secara cicilan/tangguh sesuai kesepakatan. Jika proses jual beli telah berlangsung maka
kepemilikan dan resiko komoditas/barang telah beralih ke tangan nasabah.
Langkah-langkah di atas diperlukan apabila LKS menjadikan nasabah sebagai agennya,
tetapi jika LKS membeli komoditas/barang langsung ke supplier maka perjanjian keagenan
seperti di atas tidak diperlukan. Dalam hal ini, setelah LKS membelikan barang langsung ke
pihak supplier maka proses jual beli antara LKS dan nasabah bisa dilaksanakan ((Ah Azharuddin
Lathif . 2014)..

C. Jenis-Jenis Murabahah
Murabahah pada prinsipnya adalah jual beli dengan keuntungan, hal ini bersifat dan
berlaku umum pada jual beli barang-barang yang memenuhi syarat jual beli murabahah. Dalam
prakteknya pembiayaan murabahah yang diterapkan Bank Bukopin Syariah terbagi kepada 3
jenis, sesuai dengan peruntukannya, yaitu:
1) Murabahah Modal Kerja (MMK), yang diperuntukkan untuk pembelian barang-barang
yang akan digunakan sebagai modal kerja. Modal kerja adalah jenis pembiayaan yang
diperlukan oleh perusahaan untuk operasi sehari-hari. Penerapan murabahah untuk modal
kerja membutuhkan kehati-hatian, terutama bila obyek yang akan diperjualbelikan terdiri
dari banyak jenis, sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan terutama dalam
menentukan harga pokok masing-masing barang.
2) Murabahah Investasi (MI), adalah pembiayaan jangka menengah atau panjang yang
tujuannya untuk pembelian barang modal yang diperlukan untuk rehabilitasi, perluasan,
atau pembuatan proyek baru.
3) Murabahah Konsumsi (MK), adalah pembiayaan perorangan untuk tujuan nonbisnis,
termasuk pembiayaan pemilikan rumah, mobil. Pembiayaan konsumsi biasanya
digunakan untuk membiayai pembelian barang konsumsi dan barang tahan lama lainnya.
Jaminan yang digunakan biasanya berujud obyek yang dibiayai, tanah dan bangunan
tempat tinggal.
4) Al-Bai’ Naqdan wal Murabahah Muajjal, bayar cicilan. Dalam praktek yang dilakukan
oleh bank syariah saat ini adalah murabahah berdasarkan pesanan, sifatnya mengikat
dengan pembayaran tangguh. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan
cara pembayaran cicilan (bitsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera
setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.

D. PSAK 102 Tentang Akuntansi Murabahah


Pengukuran, pengakuan, penyajian dan pengungkapan transaksi murabahah yang
sebelumnya diatur dalam PSAK 59 direvisi menjadi PSAK tersendiri yaitu PSAK 102 tentang
Akuntansi Murabahah. Dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbanksn Syariah hanya mengatur
pengukuran dan pengakuan transaksi murabahah yang dilaksanakan oleh Bank Syariah.
Sedangkan PSAK 102 tentang akuntansi Murabahah membahas tentang pengakuan dan
pengkuruan transaksi murabahah yang dilakukan oleh penjual dan pembeli. Pada umumya bank
syariah dalam melaksanakan transaksi murabahah hanya bertindak sebagai penjual, oleh karena
itu akuntansi bank syariah dalam transaksi murabahah hanya dibahas ”akuntansi penjual” saja.
Bank sebagai Penjual (Akuntansi Untuk Penjual)
Berikut ini adalah isi dari PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah dan angka-angka
awal tersebut menunjukkan paragraf dalam PSAK 102 :
Pada saat perolehan, aset murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan.
Pengukuran aset murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut:
 jika murabahah pesanan mengikat:
 dinilai sebesar biaya perolehan; dan
 jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak atau kondisi lainnya sebelum
diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi
nilai aset:
 jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat:
 dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang
lebih rendah; dan
 jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka
selisihnya diakui sebagai kerugian.
Diskon pembelian aset murabahah diakui sebagai:
 pengurang biaya perolehan aset murabahah, jika terjadi sebelum akad murabahah
 kewajiban kepada pembeli, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang
disepakati maka bagian yang menjadi hak pembeli
 tambahan keuntungan murabahah, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad
yang menjadi bagian hak penjual
 pendapatan operasi lain jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan
dalam akad.
Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon pembelian akan tereliminasi
pada saat:
 dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah dikurangi
dengan biaya pengembalian; atau
 dipindahkan sebagai dana kebajikan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau oleh
penjual.
Pada saat akad murabahah, piutang murabahah diakui sebesar biaya perolehan aset
murabahah ditambah keuntungan yang disepakati. Pada akhir periode laporan keuangan, piutang
murabahah dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi
penyisihan kerugian piutang.
Keuntungan murabahah diakui:
 pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh
yang tidak melebihi satu tahun; atau
 selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan
keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode
berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan
upaya transaksi murabahah-nya:
 Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini terapan untuk
murabahah tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban
pengelolaan piutang serta penagihannya relatif kecil.
 Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang
murabahah. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko
piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban untuk mengelola dan menagih piutang
tersebut relatif besar juga.
 Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan
untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban
pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktek, metode ini jarang
dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada
kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.
Pengakuan keuntungan, dalam paragraf 23 (b) (ii), dilakukan secara proporsional atas
jumlah piutang yang jatuh tempo dalam setiap periode dengan mengalikan persentase
keuntungan terhadap jumlah piutang yang jatuh tempo pada periode yang bersangkutan.
Persentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya perolehan aset
murabahah.
Berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi
murabahah dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800,00 dan keuntungan Rp200,00; serta
pembayaran dilakukan secara angsuran selama 3 tahun; dimana jumlah angsuran, pokok dan
keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sbg berikut:

Tahun Angsuran (Rp) Pokok (Rp) Keuntungan (Rp)


1 500,00 400,00 100,00

2 300,00 240,00 60,00

3 200,00 160,00 40,00

Potongan pelunasan piutang murabahah yang diberikan kepada pembeli yang melunasi
tepat waktu atau lebih cepat dari waktuyang disepakati diakui sebagai pengurang keuntungan
murabahah.
Pemberian potongan pelunasan piutang murabahah dapat dilakukan dengan menggunakan
salah satu metode berikut:
 diberikan pada saat pelunasan, yaitu penjual mengurangi piutang murabahah dan
keuntungan murabahah; atau
 diberikan setelah pelunasan, yaitu penjual menerima pelunasan piutang dari pembeli dan
kemudian membayarkan potongan pelunasannya kepada pembeli.
 Potongan angsuran murabahah diakui sebagai berikut:
 jika disebabkan oleh pembeli yang membayar secara tepat waktu diakui sebagai
pengurang keuntungan murabahah;
 jika disebabkan oleh penurunan kemampuan pembayaran pembeli diakui sebagai beban.
Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad,
dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan.
Pengakuan dan pengukuran uang muka adalah sebagai berikut:
 uang muka diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima;
 pada saat barang jadi dibeli oleh pembeli maka uang muka diakui sebagai pembayaran
piutang (merupakan bagian pokok); dan
 jika barang batal dibeli oleh pembeli maka uang muka dikembalikan kepada pembeli
setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penjual .
Penyajian
1) Piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu saldo
piutang murabahah dikurangi penyisihan kerugian piutang.
2) Margin murabahah tangguhan disajikan sebagai pengurang (contra account) piutang
murabahah.
3) Beban murabahah tangguhan disajikan sebagai pengurang (contra account) hutang
murabahah.
Pengungkapan
1) Penjual mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan transaksi murabahah, tetapi tidak
terbatas pada:
2) harga perolehan aset murabahah;
3) janji pemesanan dalam murabahah berdasarkan pesanan sebagai kewajiban atau bukan;
dan pengungkapan yang diperlukan sesuai PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan
Syariah.
Pembeli mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan transaksi murabahah, tetapi tidak
terbatas pada:
1) nilai tunai aset yang diperoleh dari transaksi murabahah;
2) jangka waktu murabahah tangguh.
3) pengungkapan yang diperlukan sesuai PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan
Syariah.

E. Aplikasi Murabahah pada Bank Syariah Indonesia


Di Indonesia, aplikasi jual beli murabahah pada bank syariah di dasarkan pada Keputusan
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank
Indonesia (PBI). Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan
murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut (Dewan Syariah Nasional MUI dan
Bank Indonesia. 2006 : 24-25).

1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2) Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.
4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.
5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara hutang.
6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara
jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu
tertentu yang telah disepakati.
8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik
bank.

Selain itu, ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahah di perbankan syariah diatur


berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No.
10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai berikut :

1) Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait
dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang;
2) Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga
perolehan dan spesifikasinya;
3) Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas
dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan
data pribadi nasabah;
4) Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah
dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter
(Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity),
keuangan (Capital ), dan/atau prospek usaha (Condition);
5) Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya;
6) Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan
nasabah;
7) Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar
Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan
8) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis
berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah; dan
9) Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan
berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.

Atas dasar peraturan yang berkaitan dengan murabahah baik yang bersumber dari Fatwa
DSN maupun PBI, perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murabahah. Namun demikian,
dalam praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah karena
beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Ada beberapa tipe penerapan murabahah dalam
praktik perbankan syariah yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:

1) Tipe Pertama penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih muamalah.
Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada
perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah
dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian
dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus
pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Untuk lebih
jelasnya
2) Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari
supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual
pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya
melakukan perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai
(cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada
umumnya nasabah membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat dengan
murabahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan
adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak
ketiga yang mengirimkan barang.

Meskipun nasabah telah menandatangani perjanjian murabahah dengan bank, perjanjian


ini kurang memiliki kekuatan hukum karena tidak ada tanda bukti bahwa nasabah
menerima uang dari bank sebagai bukti pinjaman/hutang. Untuk mengindari kejadian
seperti itu maka ketika bank syariah dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan
transaksi murabahah maka bank akan mentransfer pembayaran barang ke rekening
nasabah (numpang lewat) kemudian didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer
ke rekening supplier. Dengan cara seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer
ke rekening nasabah. Namun demikian, dari perspektif syariah model murabahah seperti
ini tetap saja berpeluang melanggar ketentuan syariah jika pihak bank sebagai pembeli
pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama
nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip, menjadi milik bank .
3) Tipe Ketiga ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan
perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad
wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu
dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda terima
uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak
berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana pinjaman. Tipe kedua
ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk
membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah dilakukan
sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank (Cecep Maskanul Hakim. 2004).

Berbagai tipe praktek jual beli murabahah di atas dilatar belakangi motivasi yang
bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih menyederhanakan prosedur sehingga bank tidak
perlu repot-repot membeli barang yang dibutuhkan nasabah tetapi cukup dengan menunjuk atau
menghubungi supplier agar menyediakan barang dan langsung mengirimkan ke nasabah
sekaligus dengan atas nama nassabah (Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan
uang ke nasabah kemudian nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan dengan
melaporkan nota pembelian kepada pihak bank (tipe III). Kedua cara tersebut sering dilakukan
perbankan syariah untuk menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dua kali yang dinilai
akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah dibandingkan bank konvensional yang
dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena dalam jual beli murabahah tipe I, di mana bank terlebih
dahulu akan membelikan barang yang dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual
ke nasabah secara murabahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan dua kali, yaitu dari
supplair ke bank dan dari bank ke nasabah. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor
9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 yang menghapus
keberlakuan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pelaksanaan pembiayaan
murabahah semakin menempatkan bank syariah semata-mata lembaga intermediary yang
bertindak sebagai penyedia dana bukan pelaku jual beli murabahah. Hal ini ditegaskan dalam
teks Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS pada point III.3, bahwa ” Bank bertindak sebagai pihak
penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah
dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang ”. Di lihat dari teks surat edaran ini, jelas ada
upaya Bank Indonesia untuk menegaskan bahwa transaksi perbankan syariah yang didasarkan
pada prinsip jual beli murabahah tetap merupakan pembiayaan sebagaimana transaksi lainnya
yang menggunakan akad mudharabah, musyarakah, salam, istishna, ijarah, dan ijarah muntahiya
bit tamlik.

F. Penggunaan Akad Murabahah pada Pembiayaan Murabahah di Syariah


Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal
kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme
pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:

1. Pengadaan Barang

Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti
pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya.
Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank
syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah
meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan
untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada
pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin
mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun,
maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain
memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi
yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee
base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya
asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga ( Wiroso. 2005 : 137).
2. Modal Kerja (Modal Kerja Barang)

Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual beli
murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan
pembelian barang berulang-ulang[1].Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak
terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam
bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau
musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang
menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance
(pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi
dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah
menggunakan transaksi jual beli.

3. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)


Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah.
Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk
renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lainlain. Transaksi dalam pembiayaan
ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang.

Adapun contoh perhitungan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:

Tuan A, pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal


kerja) guna pembelian bahan baku kertas, seniali Rp. 100 juta. Setelah dievaluasi bank syariah,
usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A
sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual
barang tersebut kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan
dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan:
(1) Tawar menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah. (2) Harga jual yang disetujui,
tidak akan berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam
masa tersebut terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank
konvensional di pasar.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan asal kata dan beberapa pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa akad
murabahah adalah suatu bentuk jual-beli dimana penjual memberi tahu keada pembeli tentang
harga pokok (modal) barang dan pembeli membelinya berdasarkan harga pokok tersebut
kemudian memberikan margin keuntungan kepada penjual sesuai dengan kesepakatan.
Jenis-jenis akad murabahah ada 2 yaitu, murabahah dengan pesanan dan murabahah tanpa
pesanan. Murabahah dengan pesanan adalah penjual tidak melakukan pembelian barang sebelum
adanya akan murabahah. Sementara murabahah tanpa pesaan, adalah penjual memiliki
persediaan barang dagangan/murabahah.
Dasar hukum akad murabahah tentunya terdiri dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Kaidah
syariah dan Fatwa DSN-MUI.
Perlakuan akuntansi murabahah menurut PSAK 102 revisi dari PSAK 59 adalah
bagaimana proses pencatatan terhadap produk pembiayaan yang memakai sistem jual beli dari
pihak-pihak yang terkait menjadi sistem akuntansi yang dipakai di lembaga syariah. Terdiri dari
akuntansi untuk penjual dan pembeli mulai dari perolehan sampai pada pengungkapan.
Bentuk khusus kontrak keuangan yang sedang dikembangkan untuk menggantikan sistem
bunga dan transaksi keuangan adalah mekanisme bagi hasil merupakan core product bagi bisnis
syariah sebab bisnis syariah secara eklisit melarang penerapan tingkat bunga pada semua
transaksi keuangannya bentuk bisnis yang berdasarkan syariah dapat dikembangkan dengan
mengacu pada konsep syariah yaitu murabahah.
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan kami sampaikan. Kami yakin dalam
penulisan maupun penyampaiannya masih terdapat kesalahan serta kekurangan, untuk itu kami
mohon ma’af yang sebesar-besarnya. Dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan kami selanjutnya. Dan semoga makalah ini bermanfa’at bagi pembaca
semua.
DAFTAR PUSTAKA

Adi Warman Azram karim, Bank Islam, analisis fiqh dan keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia,
2003.

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Surabaya : Al-Hidayah, 2002.

http://pasca.unisba.ac.id/akad-murabahah-dan-implementasinya-pada-syariah-dihubungkan-
dengan-kebolehan-praktek-murabahah-menurut-para-ulama/

Hendi Suhendi, M. Si, Fiqh Muamalah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002.

Nurhayati, Sri dan Wasilah. Akuntansi Syariah Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2011.

Sami Hasan Hamud, Tathwîr al- A’mâl al-Mashrafiyah Bimâ Yattafiq al-Syarî ’ ah al-
Islâmiyah , Aman: Mathba’ah al-Syarq, 1992.

Harahap, Sofyan Syafri, Wiroso, Muhammad Yusuf, Akuntansi Perbankan Syariah, E – Book,
Cet – 4, Jakarta: LPFE Usakti, 2010.

Wiroso, Akuntansi Transaksi Syariah, Yogyakarta, Jakarta: IAI, 2005.


KATA PENGANTAR

Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyeselaikan
makalah mata kuliah FIKIH MUAMALAH dengan judul “ Murabahah
”Kemudian shalawat serta salam kita sampaikan kepada nabi besar kita
Muhammad SAW. yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Quran dan
sunnah untuk keselamatan umat di dunia. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Demikian makalah
ini penulis susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat
kekurangan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Batam,07 February 2022

Penyusun
MAKALAH

FIQIH MUAMALAH
MURABAHAH

Dosen Pengampu: Muhammad,SQ.MA


Disusun Oleh :
(KLS II.B Ektension)

1. Rafidhah Dwitiro Iskandar (2021.9.IT.083)

PROGRAM STUDI USHULUDDIN


SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QURAN(STIQ)KEPULAUAN
RIAU TAHUN AKADEMIK 2022 M 1443 H

Anda mungkin juga menyukai