Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah


Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang menjadi
kebiasaan masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia yang banyak  berprofesi sebagai
pedagang. Jual beli diatur juga dalam syariah islam. Akan tetapi pengetahuan masyarakat
tentang jual beli berdasarkan syariah Islam masih kurang, oleh karena itu banyak
masyarakat yang melakukan jual beli menyimpang dari  syariat Islam.
Jual beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara tangguh. Jual
beli secara tangguh pun terbagi lagi menjadi tiga, yaitu jual beli murabahah, salam dan
istishna’. Jual beli salam dan istishna’ sebenarnya jual beli yang serupa, hanya saja
perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang dijadikan sebagai objek akad dan cara
pembayaran yang sedikit berbeda.
Pada makalah ini akan di bahas ketiga akad diatas tersebut, sehinnga para pembaca
khususnya penulis dapat lebih memahami akad jual beli murabahah, salam dan istishna
mengingat akad salam maupun istishna juga sedang berkembang saat ini dengan
dikenalnya jual beli online.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu murabahah, landasan hukum serta rukun dan syaratnya ?
2. Apa itu salam, landasan hukum serta rukun dan syaratnya ?
3. Apa itu istishna, landasan hokum serta rukun dan syaratnya ?
4. Bagaimana Aplikasi murabahah, salam, istishna dalam lembaga keuangan syari’ah?

C. Tujuan Perumusan
1. Untuk mengetahui murabahah, hukun, rukun dan syaratnya
2. Untuk mengetahui salam, hukun, rukun dan syaratnya
3. Untuk mengetahui istishna, hukun, rukun dan syaratnya
4. Untuk mengetahui Aplikasi murabahah, salam, istishna dalam lembaga keuangan
syari’ah

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Murabahah
1. Pengertian
Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (‫ر ْب ُح‬00‫)ال‬
ِ yang
berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan menurut
istilah Murabahah adalah salah satu bentuk jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam pengertian
lain Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Pembayaran atas akad jual beli Murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit. Hal inilah yang membedakan Murabahah dengan jual beli lainnya adalah
penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang
dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Dalam bai’ al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga pokok yang ia
beli dalam menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya,
pedagang eceran membeli computer dari grosir dengan harga Rp. 10.000.000,
kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp. 750.000 dan ia menjual
kepada si pembeli dengan harga Rp. 10.750.000. Pada umumnya, si pedagang
eceran tidak akan memesan dari grosiran sebelum ada pesanan dari calon pembeli
dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang
akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran kalau memang akan
dibayar secara angsuran.
Bai’ al-murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan
biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian (KPP).

Syarat keabsahan jual beli murabahah yaitu:


1. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal awal (harga
perolehan/pembelian). semuanya harus diketahui oleh pembeli saat akad; dan
ini merupakan salah satu syarat sah murabahah
2. Adanya keharusan menjelaskan keuntungan (ribh) yang ambil penjual karena
keuntungan merupakan bagian dari harga (tsaman). Sementara keharusan
mengetahui harga barang merupakan syarat sah jual beli pada umumnya.

2
3. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki/hak
kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya bahwa keuntungan dan
resiko  barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari
kepemilikan yang timbul dari akad yang sah.
4. Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika
tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (antara pembeli
pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah), karena
murabahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan
keuntungan
5. Hendaknya akad yang dilakukan terhindar dari praktik riba, baik akad yang
pertama (antara penjual dalam murabahah sebagai pembeli dengan penjual
barang) maupun  pada akad yang kedua antara penjual dan pembeli dalam
akadmurabahah.

2. Landasan Hukum
a. Al-Qur’an
Firman Allah QS. An-Nissa’ : 29
      
         
        
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”

Firman Allah QS. Al-Baqarah : 275


     
 “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

b. Al-Hadits
Hadist Nabi SAW :
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya
jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu
Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
Hadist Nabi Riwayat Ibnu Majah :

3
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

c. Rukun dan syarat


Rukun Murabahah yaitu :
1) Transaktor (pihak yang bertransaksi).
2) Obyek murabahah.
3) Ijab dan kabul.

Syarat Murabahah yaitu :
1) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.
2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3) Kontrak harus bebas riba.
4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas
barang sesudah pembelian.
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya: jika pembelian dilakukan secara utang. Jadi di
sini terlihat adanya unsur keterbukaan.

Secara prinsip, jika syarat dalam (1), (4) dan (5) tidak dipenuhi, pembeli
memiliki pilihan :
1. Melanjutkan pilihan seperti apa adanya.
2. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
3. Membatalkan kontrak.
Jual beli secara al-murabahah di atas hanya untuk barang atau produk yang
telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Bila
produk tersebut tidak dimiliki penjual, system yang digunakan adalah murabahah
kepada pemesan pembelian(murabahah KPP). Hal ini dinamakan demikian karena si
penjual semata-mata mengadakan baran untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang
memesannya.

4
B. Salam
1. Pengertian
Bai’ as-salam atau disingkat salam disebut juga dengan salaf secara bahasa
berarti pesanan atau jual beli dengan melakukan pesanan terlebih dahulu. Salam
ialah pembeli memesan barang dengan memberitahukan sifat-sifat serta
kualitasnya  kepadaa penjual dan setelah ada kesepakatan. Dengan kata lain ,
pembelian barang dengan membayar uang lebih dahulu dan barang yang beli
diserahkan kemudian (Dow Payment) artinya penyetoran harga baik lunas
maupun sebagian harga pembelian sebagai bukti kepercayaan, sehubungan dengan
transaksi yang telah dilakukan.
Misalnya kata penjual: “saya jual kepadamu saatu box (box mobil) dengan
harga Rp. 1.500.000,. setelah transaksi disetujui, pembeli membayarnya waktu itu
juga walaupun boxnya belum ada. Jadi salam ini jual beli utang dari pihak penjual
dengan kontan dari pihak pembeli, karena uangnya sudah dibayar sewaktu akad
atau dengan perkataan lain: salam adalah jual beli berupa pesanan (in front
payment sale) juga disebut dow payment, artinya penyetoran sebagian harga
pemebelian sebagai bukti kepercayaan. Namun hal ini perlu bukti pembayaran
yang sah berupa kwitansi atau catatan yang ditandatanagani penerima uang.

2. Landasan Hukum
a. Al-Qur’an

ُ‫يََأ يُّهَا الَّ ِذ يْن اَ َمنُوْ ا ِإ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِلَى اَ َج ٍل ُّم َس َّمى فَا ْكتُبُوْ ه‬....
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu  bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...(QS. Al-
Baqarah:282).

Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayar tersebut
dengan transaksi ba’i as-salam. Hali ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya
bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalakan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.”Ia lalu membaca ayat
tersebut diatas.

5
b. Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rassulullaah ssaw. Datang ke madinah
dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk
jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata:

‫َم ْن اَ ْسلَفَ فِ ْي َش ْيٍئ فَفِ ْي َك ْي ٍل َم ْعلُوْ ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُوْ ٍم اِلَى اَ َج ٍل َم ْعلُوْ ٍم‬


“Barang ssiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk
jangka waktu yang diketahui.”

3. Rukun dan syarat


Pelaksanaan ba’i as-salam harus memenuhi jumlah rukun berikut ini:
a. Muslam (pembeli)
b. Muslam ilaih ( penjual)
c. Modal atau uang
d. Muslam fiihi(barang)
e. Shigat (ucapan).

Disamping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i as-salam juga mengharuskan


tercukupinya segenap syarat-syarat pada masing-masing  rukun. Dibawah ini akan
diuraikan dua diantara syarat-syarat terpenting, yaitu modal dan barang.
1. Modal transaksi ba’i as-salam
a. Modal harus diketahui
Barang yang akan di suplai harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya.
b. Penerimaan pembayaran salam
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat
kontrak.

2. Al-Muslam Fiihi (Barang)


Diantara syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam al-muslam fiihi sebagai
berikut:
a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
b. Harus bisa diidentifikasikan secara jelas untuk mengurangi kesalahan
akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut.

6
c. Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari
d. Kebanyakan ulama masyarakat penyerahan barang harus ditunda suatu
waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera.
e. Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk
penyerahan barang.
f. Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat
yang disepakati dimana barang harus diserahkan.

C. Istishna

1. Pengertian
Transaksi istishna’ ini hukumnya boleh(jawaz) dan telah dilakukan oleh
masyarakat muslim sejak awal masa tanpa ada pihak (ulama) yang
mengingkarinya. Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahi’) dan penjual
(pembuat, shani’)
Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan
pula seperti transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli
murabahah di mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayar
cicilan, dalam jual beli istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun
uangnya sama-sama di bayar secara cicilan.
Dengan demikian, metode pembayaran pada jual beli murabahah muajjal sama
pesis dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna’, yakni sama-sama
dengan sistem angsuran(installment). Satu-satunya hal yang membedakan antara
keduanya adalah waktu penyerahan barangnya. Dalam murabahah muajjal, barang
di serahkan di muka, sedangkan dalam istishna’ barang di serahkan di belakang,
yakni pada akhir periode pembiayaan. Hal ini terjadi, karena biasanya barangnya
belum di buat/belum wujud.
Seperti halnya praktik salaam, secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna’
dalam perbankan syariah cenderung dilakukan dalam format istishna’ paralel. Hal
ini dapat di pahami karena pertama, kegiatan istishna’ oleh bank syariah
merupakan akibat dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua

7
bank syariah bukanlah produsen dari barang dimaksud. Secara umum tahapan
praktik istishna’(dan istishna’ paralel) di perbankan syariah adalah sama dengan
tahapan praktik salam. Perbedaannya terletak pada car pembayaran yang tidak di
lakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap (angsuran).

2. Landasan Hukum
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di
atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
Al-Quran

َ ‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو‬


”‫ح َّر َم الرِّبا‬
Allah telah halalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S. Al-Baqarah:275)

Hadist
Dari Anas r.a, bahwa Nabi hendak menuliskan surat kepada raja-raja non Arab,
dan dikabarkan kepada Beliau raja non Arab tidak sudi menerima surat yang tidak
di stempel. Maka beliau pun memesan agar di buatkan cincin stempel dari bahan
perak. (HR. Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi buktinya bahwa akad istishna' adalah akad yang


dibolehkan.

Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto
telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau
ulama punyangmengingkarinya. 

3. Rukun dan syarat


Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal,
yaitu :
a. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan
memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang
pesanan.

8
b. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga
(tsaman), dan
c. Shighah, yaitu ijab dan qobul.

Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i istishna’ juga mengharuskan


tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan
di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
1. Modal transaksi ba’i istishna’
a. Modal harus di ketahui
b. Penerimaan pembayaran salam
2. Al-muslam fiihi (barang)
a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
b. Harus bisa di identifikasi secara jelas
c. Penyerahan barang harus di lakukan di kemudian hari
d. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada
suatu waktu kemudian, tetapi madzhab syafi’i
e. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan
barang
f. Tempat penyerahanpenggantian muslam fiihi dengan barang lain.

D. Aplikasi murabahah,salam dan istishna dalam lembaga keuangan syari’ah

1. Murabahah
Dalam konsep di perbankan syariah maupun di Lembaga Keuangan
Syariah (BMT), jual beli murabahah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Murabahah tanpa pesanan
Murabahah tanpa pesanan adalah jenis jual beli murabahah yangdilakukan
dengan tidak melihat adanya nasabah yang memesan(mengajukan pembiayaan)
atau tidak, sehingga penyediaan barang Murabahah merupakanbagian terpenting
dari jual beli dan prinsip akad ini dilakukan oleh bank atau BMTsendiri dan
dilakukan tidak terkait denganjual beli murabahah sendiri.Dengan kata lain, dalam
murabahah tanpa pesanan, bank syariahatau BMT menyediakan barang atau

9
persediaan barang yang akandiperjualbelikan dilakukan tanpa memperhatikan ada
nasabah yangmembeli atau tidak.
Proses pengadaan barang dilakukansebelum transaksi / akad jual beli
murabahah dilakukan. Pengadaanbarang yang dilakukan bank syariah atau BMT
ini dapat dilakukan denganbeberapa cara antara lain :
1) Membeli barang jadi kepada produsen (prinsip murabahah).
2) Memesan kepada pembuat barang / produsen dengan
pembayarandilakukan secara keseluruhan setelah akad (Prinsip salam).
3) Memesan kepada pembuat barang / produsen dengan pembayaran
yangdilakukan di depan, selama dalam masa pembuatan, atau
setelahpenyerahan barang (prinsip isthisna).
4) Merupakan barang-barang dari persediaan mudharabah ataumusyarakah.

b. Murabahah Berdasarkan Pesanan
Sedangkan yang dimaksud dengan murabahah berdasarkanpesanan adalah jual
beli murabahah yang dilakukan setelah ada pesanan dari pemesan atau nasabah
yang mengajukan pembiayaan murabahah.Jadi dalam murabahah
berdasarkan pesanan, bank syariah atau BMT melakukan pengadaan barang
dan melakukan transaksi jual beli setelah ada nasabah yang memesan untuk
dibelikan barang atau assetsesuai dengan apa yang diinginkan nasabah tersebut.

2. Salam
Bai’ As-Salam dapat diterapkan atau digunakan pada pembiayaan bagi barang
industri dengan jangka waktu relatif pendek dan bank tidak ada niat untuk
menjadikan barang-barang tersebut sebagai inventory (simpanan), yakni
persediaan atau barang jadi suatu perusahaan. Oleh karena itu, dilakukanlah akad
Bai’ As-Salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar
induk atau grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai Salam
Paralel.

Salam Paralel yang diterapkan dalam industri, jelasnya sebagai berikut :

Kalau Bai’ as-Salam diaplikasikan atau diterapkan pada pembiayaan barang


industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut

10
sudah diketahui umum, dengan cara saat nasabah mengajukan permohonan
pembiayaan untuk pembuatan pakaian jadi, bank mereferensikan penggunaan
produk tersebut. Hal ini berarti bank memesan pembuatan pakaian jadi tersebut
dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari
pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan
oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen tersebut telah selesai diproduksi,
produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian
membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.

3. Istishna
Dari hasil telaahan atas Standar Operasi Prosedur produk istisna’, terdapat
beberapa hal yang dapat di cermati lebih jauh, yaitu :
a. Secara umum pemahaman bank syariah terhadap akad istishna’ adalah
berkaitan dengan pembelian suatu benda yang memiliki nilai besar dan di
produksi secara bertahap, misalnya, bangunan, pesawat terbang, dan
sebagainya.
b. Sama halnya dengan praktik salam, praktik akad istishna’ di bank syariah
hampir selalu dilakukan dalam format istishna’ paralel. Dengan demikian
praktik istishna’ di perbankan syariah lebih terorientasi pada upaya pencarian
marjin antara harga akad I dan akad II.
c. Sama halnya dengan praktik salam, praktik istishna’ di industri perbankan
syariah lebih mencerminkan kegiatan utang piutang (penyediaan dana) dari
pada kegiatan jual beli. Implikasinya adalah pengakuan piutang istishna’ lebih
mencerminkan piutang uang (sebagai akibat kegiatan penyediaan dana) dari
pada piutang barang (sebagai akibat kegiatan penyediaan dana) dari pada
piutang barang (sebagai akibat kegiatan jual beli)

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa murabahah dalah transaksi
penjualan barang dengan menyatakan harga perolehahan dan keuntungan yang disepakati
oleh penjual dan pembeli.
Salam ialah pembeli memesan barang dengan memberitahukan sifat-sifat serta
kualitasnya  kepadaa penjual dan setelah ada kesepakatan. Dengan kata lain , pembelian
barang dengan membayar uang lebih dahulu dan barang yang beli diserahkan kemudian.
pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula seperti
transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah di mana
barang diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayar cicilan, dalam jual
beli istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama di bayar
secara cicilan.

12
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adiwarman karim, Bank Islam analisis fiqih dan keuangan,PT Raja Grafindo, Jakarta, 2006

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali pers, Jakarta, 2013

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan

Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

13

Anda mungkin juga menyukai