5. Salam Paralel
Salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah,
dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan
pengawas syariah Rajhi Banking dan Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang
membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak
bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama. Beberapa ulama kontemporer
memberikan catatan atas transaksi salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi
semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada
riba.7[16]
6. Pembiayaan Salam Pada Perbankan Syariah
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh
karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank
bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual
beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang
harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan.
Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah
keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan
(bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus
nmenyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah
selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang
belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali
secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum pembiayaan salam dalah sebagai berikut :
a. Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam,
ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya, jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas A
dengan harga Rp. 5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
b. Apabila hasil produksinyang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah
(produsen) harus bertanggung jawab denagn cara antara lain mengembalikan dana yang telah
diterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
c. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan
(inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga
(pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme ini disebut
paralel salam.8[17]
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. AS-SALAM
Secara bahasa as-salam atau as-salaf berarti pesanan. Secara terminologis para
ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau
menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal,
Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al-Mahawi’ij
yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek
perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk
Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang
menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang
dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta harga barang
yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam).[2]
Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan
pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al-Baqarah ayat 282:[3]
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
“Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan takaran yang jelas
dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu.[4]
Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat tentang pembolehan pembayaran yang
didahulukan.
Pembiayan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian,
perkebunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk
modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana
pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar salam kembali. Dengan
melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.
b. Jelas sifat-sifatnya
c. Jelas ukurannya
4) Alat tukar/harga
3. Skema As-Salam
Menurut Fiqh :
Contoh kasus :
5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual
dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana
perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah melalui
negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per kg yang berarti
total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat keungtungan 20%.
B. AL-ISTISHNA’
1. Pengertian Al-Istishna’
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima
pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan
spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab
pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’
al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena mereka
mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual.
Pada prinsipnya bai’ al-istishna’ adalah sama dengan bai’ as-salam. Maka rukun dan
syarat istishna’ mengikuti bai’ as-salam. Hanya saja pada bai’ al-istishna’ pembayaran tidak
dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu penyerahan barang, tetapi
tergantung selesainya barang pada umumnya. Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa
3. Skema Al-Istishna’
Pesan
Beli
Jual
Contoh kasus
Seuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola
sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang.
Harga sepasang kostum biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya
ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp
38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum
itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar
bertanggung jawab.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, pembayaran modal
lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi
menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka,
tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna’ mengikuti bai’ as-salam. Hanya saja pada bai’
al-istishna’ pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu
Perbedaan salam dan istishna’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan
diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak secara kontan bisa
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu
yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada
dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu:
1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam
istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi
pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen
yang tidak bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’
sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam
tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam
istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika
bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
A. PENDAHULUAN
Persepsi masyarakat terhadap mu’amalah dalam perspektif ajaran Islam dan implentasinya hingga
hari ini masih sangat berbeda. Sebagian besar umat masih beranggapan bahwa Islam identik dengan
ibadah, sehingga aspek mu’amalah terabaikan. Demikian halnya dengan ekonomi, khususnya dalam
dunia perdagangan. Ajaran Islam dalam masalah perdagangan dirasakan menghambat atau
mengekang dalam aktifitas perdagangan, mengambil keuntungan dan sebagainya. Persepsi seperti
inilah yang menimbulkan sikap tidak kompromistis terhadap nilai-nlai Islam dalam aktifitas
perdagangan. Bila kita perhatikan sekarang ini, banyak dijumpai praktek-praktek mu'amalah yang
menggunakan tipu daya atau rekayasa. Baik yang telah jelas keharamannya berdasarkan dalil-dalil dari
nash, maupun dari masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi.
Fokus utama aktifitas berdagang adalah mencari keuntungan dengan membeli lebih murah dan
menjual dengan harga lebih mahal. Agama Islam menegaskan, menghalalkan berdagang dan
mengharamkan riba. Allohu Subhanallohu Wa Ta’ala berfirman:
"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya" (QS Al-Baqarah: 275)
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang
yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum
terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Mencari untung dan perdagangan dalam konsep Islam tidak terbatas pada keuntungan materi saja,
tetapi juga keuntungan yang bersifat non materi serta keuntungan dalam kehidupan dunia dan
akhirat.
Dalam berbagai buku fikih Islam, secara garis besar diberikan tuntunan berdagang yang sesuai dengan
tuntunan agama. Intinya meliputi, pertama, penjual dan pembeli, yaitu orang yang sudah baligh dan
berakal sehat, secara sukarela, dan bukan pemboros. Kedua, uang dan benda yang dibeli suci dari
najis, ada manfaatnya, bukan yang tabzir, barangnya dapat diserahkan, barangnya jelas sehingga tidak
terjadi penipuan. Barangnya adalah kepunyaan pemiliknya atau oleh orang yang diberi kuasa
pemiliknya (bukan curian atau yang bukan miliknya), dan adanya ijab kabul.
Di samping itu, ada jual beli yang dilarang antara lain menjual barang dengan harga yang jauh lebih
tinggi dan harga umum, menawar barang yang sudah ditawar orang lain, menghambat orang dari desa
yang akan menjual barangnya di pasar (orang dan desa yang kemungkinan tidak tahu harga pasar dan
barang yang akan dijual) sehingga barangnya dijual terlalu murah, membeli barang untuk ditimbun
atau spekulasi, jual beli barang untuk maksiat, jual beli yang bersifat mengecoh seperti mengurangi
timbangan dan menjual barang yang sudah kadaluwarsa.
Islam memberikan tuntunan lengkap untuk menghindari transaksi perdagangan yang penuh tipu
muslihat akibat keserakahan manusia, persaingan yang makin ketat, takut mengalami kerugian, dan
sebagainya. [1])
Tak dapat dipungkiri, bahwa saat ini kedudukan konsumen sangat lemah, antara lain disebabkan oleh
karena tingkat kesadaran dan tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah. Hal ini juga
diperparah oleh adanya etos-etos bisnis yang tidak benar, seperti bisnis harus bertujuan untuk
memperoleh keuntungan semata-mata, bisnis tidak memiliki nurani, dan lain sebagainya. Bentuk-
bentuk penyimpangan dan pelanggaran dalam perdagangan sering kita jumpai, bahkan hampir
setiap hari. Bila kita masuk ke dalam minimarket atau supermarket sering terpampang tulisan
“memegang berarti membeli”, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi”, bahkan
ada pemeo di masyarakat “menawar berarti membeli” .
Para ulama, seperti Ibnul Qayyim, atau sebagian ulama lainnya telah memberikan contoh mengenai
mu'amalah yang menggunakan praktek hilah atau tipu daya ini. Salah satu contoh amalan yang
berhubungan erat dengan masalah hilah ini, sebagai usaha merubah ketentuan syar'i yang telah
ditetapkan syari'at Islam adalah seorang Penjual yang ingin berlepas diri dari barang yang cacat dan ia
takut nantinya pembeli akan mengembalikannya. Maka ia pun memberikan syarat, barang yang telah
dibeli tidak boleh dikembalikan lagi bagaimanapun keadaannya. Alasannya, karena barang tersebut
sudah keluar dari toko dan praktek semacam ini banyak dilakukan di masyarakat sekarang ini. [2])
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan
(perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal." [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1353. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2353.
Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:27. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi VI:79. Sanadnya lemah
sekali karena adanya Katsier bin Abdullah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai
dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan hasan oleh al-Bukhari. Dinukil oleh at-Tirmidzi dari
perawi yang sama]
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: "Setiap
persyaratan yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu bathil." [3])
Sering kita jumpai beberapa pedagang yang sengaja memajang papan pengumuman di tokonya, yang
bertuliskan barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukarkan kembali. Bukankah perilaku pedagang
seperti ini sudah menghilangkan hak khiyar bagi pembeli? Sedangkan Hikmah disyari’atkannya khiyar
sendiri adalah memberikan kebebasan memilih kepada penjual dan pembeli demi menjaga
kemaslahatan mereka berdua dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menindaklanjuti
urusan mereka apakah tetap dilakukan atau dibatalkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
timbulnya kedengkian dan permusuhan diantara manusia.
1. Khiyar syarat, penjual dan pembeli mempersyaratkan penundaan yang tidak lebih dari 3 hari. Dan
ketika waktu yang ditentukan sudah habis, sedang transaksi itu tidak dibatalkan, maka transaksi itu
pun terwujud.
Rasululloh shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda “Jika kamu bertransaksi (jual beli), katakanlah, tidak
ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari. “ (HR. Muslim)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual beli yang mengandung khiyar, tetapi
ditunggu sampai gugurnya khiyar.
Menurut ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih milik
penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.
Ulama Syaafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadi milik pembeli.
Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak penjual.
Menurut ulama Hanabilah, dari siapa pun khiyar berasal, barang tersebut menjadi milik pembeli. [4])
2. Khiyar Majelis, ketika penjual dan pembeli telah melaksanakan jual beli dengan ijab qabul, mereka
berhak untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya, selama mereka masih duduk di tempat
transaksi. Jika mereka berpisah dari majelis transaksi ini, maka gugurlah khiyar ini.
Dari Amr bin syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallohu ‘anhuma, bahwasanya Rasululloh
shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Penjual dan pembeli berhak khiyar sebelum keduanya
berpisah, kecuali jual beli telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak
diperbolehkanberpisah karena takut jual beli dibatalkan.” (HR. Imam lima kecuali Ibnu majah).
Diriwayatkan juga oleh Daruquthni, Ibnu Huzaimah dan Ibnu jarud. Dan Dalam Riwayat lain
disebutkan: “sehingga keduanya berpisah dari tempatnya”. [5])
3. Khiyar rukyah, pembeli membeli barang yang belum pernah dilihatnya, transaksi itu sendiri sah, dan
dia berhak mendapatkan khiyar ketika melihat barang itu. Khiyar rukyah ini akan gugur jika terjadi
perubahan pada komoditas yang tidak mungkin dihilangkan. seperti orang membeli baju gamis, tapi
kemudian dipotong dan diubah menjadi kemeja. Atau pembeli menyerahkan pembayaran setelah
melihat barang tersebut. [6])
4. Khiyar ‘aib atau cacat, pembeli melihat cacat pada barang yang dibelinya, yang tidak terlihat ketika
membeli.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang
menunjukkan adanaya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik
berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang
yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu.
1. Adanya ‘aib setelah akad atau sebelumnya diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada.
2. Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang.
3. Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat.
1. Khiyar ‘aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama.
2. Membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan.
Perkara yang Menghalangi untuk Mengembalikan Barang
3. Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. [7]
a. Pandangan Ulama Tentang “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau di tukar” [8])
Tanya:”Bagaimanakah pandangan hukum syar’I mengenai tulisan yang menyebutkan Barang yang
sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau di tukar yang ditulis oleh beberapa pemilik toko pada
faktur/kwitansi yang mereka keluarkan. Apakah menurut syari’at syarat seperti ini dibolehkan? Dan
bagaimana nasehat anda mengenai masalah ini?
Jawab: Menjual barang dengan syarat bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dan
ditukar adalah tidak boleh, karena syarat tersebut tidak dibenarkan. Sebab, didalamnya mengandung
mudhorot (=ketidak maslahatan). Selain itu, karena tujuan penjual melalu syarat tersebut agar
pembeli harus tetap membeli barang tersebut meskipun barang tersebut cacat. Persyaratannya ini
tidak melepaskannya dari cacat yang terdapat pada barang. Sebab, jika barang itu cacat, maka dia
boleh mengembalikannya dan menukar dengan barang yang tidak cacat, atau pembeli boleh
mengambil ganti rugi dari cacat tersebut. Selain itu, karena pembayaran penuh itu harus diimbangi
dengan barang yang bagus dan tidak cacat. Tetapi dalam hal ini, penjual yang mengambil dengan harga
penuh dengan adanya cacat pada barang merupakan tindakan yang tidak benar. Di sisi lain, syari’at
telah memberlakukan syarat-syarat yang sudah biasa berlaku sama seperti syarat berupa ucapan. Hal
ini dimaksudkan agar pembeli selamat dari cacat, sehingga dia dapat mengembalikan barang yang
sudah dibeli jika terdapat cacat padanya, karena persyaratan barang dagangan bebas dari cacat
menurut hukum kebiasaan yang berlaku, berkedudukan sama seperti persyaratan yang diucapkan.
Al-Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyah Wal Ifta’, Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz,
Anggota: Syaikh Abdullah bin Ghudayan. Anggota: Syaikh Sholih Al-Fauzan. Anggota: Syaikh Abdul Aziz
Alu Syaikh. Anggota: Syaikh Bakr Abu Zaid [Sumber: Fatwa Lajnah Daimah, Kitab Buyuu’. Fatwa no.
13788, dikutip dari salafy.or.id offline judul: Barang Yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Dikembalikan]. [9])
2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau
pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
1) Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh
nasabahnya menyatakan bahwa
o “ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari Bank
sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai mereka “
o "Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan"
Contoh Klausula Baku yang Batal Demi Hukum
1) Setiap transaksi jual beli barang dan atau jasa yang mencantumkan Klausula Baku yang tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku;
2) Konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan Klausula Baku yang dilarang dan
pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara; [11])
Pencantuman Klausula Baku yang benar adalah yang tidak mengandung 8 unsur atau pernyataan yang
dilarang dalam Undang-Undang, bentuk dan pencantumannya mudah terlihat dan dipahami; Serta
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23,
tentang Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.[12])
D. KESIMPULAN
Tulisan yang menyebutkan barang yang telah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan lagi adalah
bathil, karena didalamnya mengandung mudhorot. Selain itu, tujuan penjual melalui syarat tersebut
adalah agar pembeli harus tetap membeli barang tersebut meskipun barang tersebut cacat, sehingga
tidak adanya hak khiyar bagi pembeli. Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengandung kedelapan unsur-
unsur yang terlarang yang tercantum di dalam UU no. 8 tersebut.
1. Pernyataan di kuitansi bahwa “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”
2. Pembeli minta harga dikurangi atau ditambah jumlah/spesifikasi barang ketika penyerahan
barang setelah ijab kabul (kesepakatan) sudah dilakukan kedua belah pihak sebelumnya.
3. Penjual minta tambahan uang lebih ketika penyerahan barang dengan alasan biaya
administrasi, ongkos kirim dan lain-lain
Pernyataan di kuitansi jual beli bahwa “Barang yang sudah dibeli tidak boleh
dikembalikan”
Dengan pernyataan seperti ini, maka pihak penjual menolak atau tidak menerima adanya
khiyar. Hal ini banyak dilakukan oleh para penjual di toko-toko. Dengan melakukan hal ini
maka penjual menutup pintu (mengharamkan) khiyar bagi pembeli.
Padahal khiyar itu disyariatkan atau dibolehkan dalam Islam karena bisa jadi ada syarat yang
tidak terpenuhi atau cacat barang yang tidak diketahui oleh pembeli sehingga ada pihak yang
tidak ridha atau merasa dirugikan.
Rasulullah Saw bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah.
Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan mendapat
berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat barang), akan
dihapuskan keberkahan jual beli mereka”. (Shahih Muslim No. 2825)
Subhanallah, betapa mulianya Islam, sampai mengatur masalah khiyar (pembatalan dalam
jual beli) karena Islam benar-benar ingin menghendaki keadilan bagi manusia, jangan sampai
ada hak yang diambil dengan jalan batil dan jangan sampai ada pihak yang tidak ridha atau
merasa dirugikan oleh pihak lain.
Imam Ahmad rh menjelaskan dalam kitabnya Al-Mughni bahwa kalau barangnya rusak pada
masa khiyar maka ada 2 kemungkinan, bisa terjadi sebelum serah terima barang atau
sesudahnya :
1. Jika barang rusak sebelum serah terima maka akad menjadi faskh (batal), barang bisa
dikembalikan dan uangnya diambil kembali atau uangnya tidak diambil tapi barangnya
ditukar dengan yang baik.
Disinilah pentingnya penjual mengetahui cacat atau rusaknya barang karena ketika menjual,
hukumnya wajib untuk memberitahunya kepada pembeli sehingga pembeli tidak merasa
dibohongi. Kalau tidak ada dusta diantara penjual dan pembeli maka Allah Swt menurunkan
keberkahan dalam akad jual beli tersebut.
1. Jika barang rusak oleh pembeli maka hak khiyar-nya batal maka tidak oleh meminta uang
kembali dan barang tidak bisa dikembalikan kepada penjual
Hal ini banyak dilakukan oleh pembeli terutama di pasar-pasar monopoli yaitu setelah selesai
akad (ijab kabul) antara penjual dan pembeli dengan harga dan jumlah/spesifikasi barang
yang telah disepakati kedua belah pihak kemudian keduanya berpisah dengan perjanjian
bahwa barangnya akan dikirim tanggal sekian.
Ketika sudah masuk tanggal pengiriman barang, pembeli dengan dengan seenaknya minta
potongan harga atau jumlah barangnya ditambah, padahal barangnya tidak ada masalah,
apalagi ditambah ancaman kalau tidak dikabulkan permintaannya, dia akan melakukan khiyar
(pembatalan). Inilah khiyar yang melanggar syar’i.
Kalaupun penjual mengabulkan keinginan si pembeli tersebut maka bisa dalam keadaan
terpaksa dan hal ini bisa menimbulkan ketidakridhaan atau keterpaksaan dari pihak penjual.
Ketika salah satu pihak tidak ridha maka Allah Swt mencabut keberkahan dari akad tersebut.
Penjual minta tambahan uang lebih ketika penyerahan barang dengan alasan biaya
administrasi, ongkos kirim dan lain-lain
Hal ini biasanya terjadi di proyek-proyek atau perkantoran yaitu ketika akad jual beli sudah
disepakati, kemudian pekerjaan sudah berjalan dan dikerjakan dengan baik, ketika akan
dilakukan pembayaran, pihak pembeli (kantor) memotong jumlah uang yang akan dibayar
dengan alasan biaya administrasi dan lain-lain.
Kalau keinginannya tidak dikabulkan, maka ada ancaman bahwa pembayaran akan dipersulit,
akan terjadi pembatalan (khiyar), tidak akan diberi pekerjaan lagi dan lain-lain. Inilah khiyar
yang melanggar syar’i yang menghilangkan keberkahan jual beli.
Ketika melakukan sebuah akad atau perjanjian terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa
cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak
memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak
membatalkan perjanjian.
1. Secara etimologi, khiyar artinya : memilih, menyisihkan dan menyaring. Secara umum
artinya adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
2. Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya : hak yang dimiliki orang yang melakukan
perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian
tersebut atau membatalkannya.
Tujuan Khiyar
Tujuan khiyar adalah agar jual beli tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Macam-Macam Khiyar
Dalam akad jual beli, dalam Islam dibolehkan untuk memilih, apakah akan meneruskan jual
beli atau akan membatalkannya. Karena terjadinya sesuatu hal khiyar dibagi menjadi 3
macam :
1. a. Khiyar Majlis
Adalah penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majlis). Khiyar majlis boleh dilakukan dalam
berbagai jual beli.
Rasulullah Saw bersabda, “Penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut maka khiyar majlis tidak berlaku lagi
atau batal.
1. b. Khiyar Syarat
Yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual ataupun oleh
pembeli, seperti seseorang berkata, “Saya jual rumah ini dengan harga 50 dinar dengan syarat
khiyar selama 3 hari” atau “Saya beli komputer ini dengan syarat bisa menjalankan program
akunting”.
Jadi, ketika sudah terima uang dan barang tapi kemudian syaratnya tidak terpenuhi maka
dibolehkan melakukan pembatalan (khiyar syarat).
Rasulullah Saw bersabda, “Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang dibeli selama 3 hari 3
malam”. (HR Ibnu Majah 2/2355, Al-Hakam 2/22, Baihaqi dalam As-Sunan 5/273 &
Daruquthni 3/56/No. 222)
1. c. Khiyar ‘Aib
Yaitu dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli, seperti
seseorang berkata, “Saya beli hp itu seharga 20 dirham, bila hp itu batere-nya nge-drop akan
saya kembalikan”.
Jadi, kalau setelah serah terima uang dan barang tapi ternyata memiliki aib yang diketahui
oleh pembeli maka boleh dilakukan pembatalan (khiyar ‘aib).
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut
disuruh berdiri di dekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya
kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan kepada penjual. (HR Ahmad & Abu Dawud)
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjualbelikan,
maka yang dibenarkan ialah kata-kata yang punya barang. Bila diantara keduanya tidak ada
saksi dan bukti lainnya.
Rasulullah Saw bersabda, “Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada
saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalkan”. (HR.
Abu Dawud)
Kesimpulan
Ingat, yang kita cari dari setiap akad atau transaksi jual beli adalah barakah dan ridha Allah,
bukan omzet dan keuntungan maka jangan menutup pintu khiyar. Kalaupun mau melakukan
khiyar, lakukanlah sesuai dengan syar’i!
Pengertian Khiyar
Akad yang sempurna haruslah terhindar dari khiyar, yang memungkinkan aqid
(orang yang akad) membatalkannya. Pengertian Khiyar menurut ualama fiqih
adalah suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan
akadnya, yakni menjadikan atau membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar
syarat, 'aib atau ru'yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar
ta'yin.
Jumlah khiyar sangan banyak. Menurut ulama Hanafiyah, jumlahnya ada 17.
Sedangkan menurut ulam Malikiyah, membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu
khiyar al-taammul (melihat, meneliti) adalah khiyar secara mutlak dan khiyar
naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau 'aib pada barang yang
dijual (khiyar al_hukmy). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis itu
batal .
Macam-macam Khiyar
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai macam-macam kkhiyar itu sendiri
sesuai dengan perspektif masing-masing dalam mengklasifikasikan jenis-jenis
khiyar,di antara pendapat tersebut sebagi berikut :