Anda di halaman 1dari 26

Jual Beli Salam

1. Pengertian Jual Beli Salam


Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan
pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.1[10]
Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat,
barang itu ada di dalam tanggungan si penjual. Misalnya si penjual berkata, “ Saya jual
kepadamu satu meja tulis dari jati, ukurannya 140x100 cm, tingginya 75 cm, sepuluh laci,
dengan harga Rp. 100.000,- “. Pembeli pun berkata, “ Saya beli meja dengan sifat tersebut
dengan harga Rp. 100.000,-”. Dia membayar uangnya sewaktu akad itu juga, tetapi mejanya
belum ada. Jadi, salam ini merupakan jual beli utang dari pihak penjual dan kontan dari pihak
pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad.2[11]

2. Rukun dan Syarat Salam


Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun
rukun salam adalah sebagai berikut:
a. Muslam atau pembeli
b. Muslam ilaih atau penjual
c. Modal atau uang
d. Muslam fiihi atau barang
e. Sighat atau ucapan3[12]
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a. Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
b. Barangnya menjadi utang bagi penjual
c. Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan
barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang waktunya
ditentukan bukan pada musimnya tidak sah
d. Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut
kebiasaan cara menjual barang itu
e. Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada
keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti
harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda
f. Disebutkan tempat menerimanya.4[13]

3. Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa


Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam.
Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa
tidak perlu.
b. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual
beli biasa tidak dapat dijual.
c. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan
kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa
dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam jual
beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang
berlangsung.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya
barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak
salam.5[14]
4. Dasar Hukum Jual beli Salam
Landasan syariah dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:
a. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi
bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam)
yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan
diizinkan-Nya.” Ia lalu membaya ayat tersebut.
b. Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya
melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun.
Beliau berkata: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk
dijual.” (HR Ibnu Majah)6[15]

5. Salam Paralel
Salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah,
dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan
pengawas syariah Rajhi Banking dan Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang
membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak
bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama. Beberapa ulama kontemporer
memberikan catatan atas transaksi salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi
semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada
riba.7[16]
6. Pembiayaan Salam Pada Perbankan Syariah
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh
karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank
bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual
beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang
harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan.
Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah
keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan
(bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus
nmenyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah
selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang
belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali
secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum pembiayaan salam dalah sebagai berikut :
a. Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam,
ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya, jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas A
dengan harga Rp. 5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
b. Apabila hasil produksinyang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah
(produsen) harus bertanggung jawab denagn cara antara lain mengembalikan dana yang telah
diterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
c. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan
(inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga
(pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme ini disebut
paralel salam.8[17]

C. Jual Beli Istishna’


1. Pengertian Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang
lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang
telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas
harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam.
Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’
al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.9[18]
2. Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah
sebagai berikut:
a. Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
b. Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c. Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan
pemesanan
d. Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap
isi akad yang sudah disepakati
f. Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan
hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
a. Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta
b. Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak,
yaitu penjual dan pembeli
c. Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.10[19]

3. Dasar Hukum Istishna’


Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan
berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin
sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa
Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu
cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau
duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai
cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian
beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya
selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya.
Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’
sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah
mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.11[20]
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar
qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu
mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi perselisihan atas
jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-
ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.12[21]
4. Istishna’ Paralel
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat
menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat
dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama.
Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.
Ada beberapa konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna’ paralel.
Diantaranya sebagai berikut:
a. Bank islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel atau subkontrak
untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak
pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran
kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
b. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap bank islam
sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah
dengan kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan
merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak
tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
c. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan
yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna; paralel, juga
menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.13[22]

5. Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah


Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’ pembayarannya dapat
dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.14[23] Bila nasabah
membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat
memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang
dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah
keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka
secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank
meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran
untuk proses berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan
jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses
produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesai dengan kuantitas dan kualitas yang
telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah
dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka status dari barang tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank
tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali
dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses
pembelian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari
produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktikanya, potential buyer tersebut telah
diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak
pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil
produksi tersebut disewakan skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh
keuntungan dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil
sewa (ijarah).15[24]

D. Perbedaan Murabahah, Salam dan Istishna’


Murabahah, salam, dan istishna’ merupakan jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli.
Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual beli adalah bahwa nasabah yang
membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank
dengan harga sebesar harga pokok ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank
(profit margin) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah
pihak. Murabahah merupakan jual beli, dimana barangnya sudah ada, sedangkan dalam salam
dan istishna’ adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.16[25]

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian as-salam dan al-istishna’ serta dasar hukumnya?

2. Apa rukun dan syarat dari as-salam dan al-istishna’?

3. Bagaimana perbedaan as-salam dan al-istishna’ ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian as-salam dan al-istishna’ serta dasar hukumnya.

2. Untuk mengetahui rukun dan syarat as-salam dan al-istishna’.

3. Untuk mengetahui perbedaan as-salam dan al-istishna’?


BAB II

PEMBAHASAN

A. AS-SALAM

1. Pengertian As-Salam dan Dasar Hukumnya

Secara bahasa as-salam atau as-salaf berarti pesanan. Secara terminologis para

ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau

menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal,

sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.[1]

Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al-Mahawi’ij

yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek

perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk

melakukan pembayaran terlebih dahulu.

Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang

menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang

dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta harga barang

yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam).[2]

Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan

pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al-Baqarah ayat 282:[3]

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu

yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara

kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya

sebagaimana Allah mengajarkannya…”


Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim

yang artinya berbunyi :

“Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan takaran yang jelas

dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu.[4]

Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat tentang pembolehan pembayaran yang

didahulukan.

Pembiayan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian,

perkebunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk

modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana

pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar salam kembali. Dengan

melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.

2. Rukun dan Syarat Jual Beli As-Salam

1) Mu’aqidain : Pembeli (muslam) dan penjual ( muslam ilaih)

a. Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).

b. Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).

2) Obyek transaksi ( muslam fih):

a. Dinyatakan jelas jenisnya

b. Jelas sifat-sifatnya

c. Jelas ukurannya

d. Jelas batas waktunya

e. Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas


3) Sighat ‘ijab dan qabul

4) Alat tukar/harga

a. Jelas dan terukur

b. Disetujui kedua pihak

c. Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung

3. Skema As-Salam

Menurut Fiqh :

Pesan, lalu bayar

Penyerahan barang sesuai


kesepakatan

Dalam praktek perbankan :

Pesan, lalu bayar


Penyerahan barang sesuai
kesepakatan

Jual dengan harga


yang lebih tinggi

Contoh kasus :

Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp

5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual

dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana

perhitungannya?

Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah melalui

negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per kg yang berarti

total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat keungtungan 20%.

B. AL-ISTISHNA’

1. Pengertian Al-Istishna’

Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima

pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan

spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab

pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’

al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena mereka

mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual.

Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’ atas dasar istishan.[5]

Tujuan istishna’ umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek

seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan,

dan sarana jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.[6]

2. Rukun dan Syarat al-Istishna’

Pada prinsipnya bai’ al-istishna’ adalah sama dengan bai’ as-salam. Maka rukun dan

syarat istishna’ mengikuti bai’ as-salam. Hanya saja pada bai’ al-istishna’ pembayaran tidak

dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu penyerahan barang, tetapi

tergantung selesainya barang pada umumnya. Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa

dipastikan kapan bangunannya selesai.

3. Skema Al-Istishna’

Pesan

Beli
Jual

Contoh kasus

Seuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola

sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang.

Harga sepasang kostum biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada

bank dengan harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?

Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya

ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp

38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum

itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar

C. Perbandingan Antara as- Salam dan al-Istishna’

Subyek Salam Istishna’ Keterangan

Pokok Muslam Mashnu’ Barang ditangguhkan dengan

Kontrak Fih spesifikasi

Harga Dibayar Bisa di awal, Cara penyelesaian pembayaran

tunai saat tangguh, dan merupakan perbedaan utama

kontrak akhir antara salam dan istishna’


Sifat Mengikat Mengikat Salam mengikat semua pihak

Kontrak secara asli secara ikutan sejak semula, sedangkan ishtisna’

menjadi pengikat untuk

melindungi produsen sehigga

tidak ditinggalkan begitu saja

oleh konsumen secara tidak

bertanggung jawab.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, pembayaran modal

lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan

penjual, Obyek transaksi, Sighat ‘ijab qabul, dan alat tukar.

Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi

menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka,

tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna’ mengikuti bai’ as-salam. Hanya saja pada bai’
al-istishna’ pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu

tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.

Perbedaan salam dan istishna’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan

diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak secara kontan bisa

dilakukan di awal, tengah atau akhir.

C. Perbedaan antara Salam dan Istishna’

Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu
yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada
dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu:
1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam
istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi
pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen
yang tidak bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’
sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam
tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam
istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika
bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.

SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN DAN KETERANGAN


Pokok Muslam Barang di tangguhkan dengan
Mashnu’
Kontrak Fiihi spesifikasi.
Bisa saat
Cara penyelesaian pembayaran
Di bayar kontrak, bisa di
Harga merupakan perbedaan utama antara
saat kontrak angsur, bisa
salam dan istishna’.
dikemudian hari
Salam mengikat semua pihak sejak
semula, sedangkan istishna’ menjadi
Mengikat
Sifat Mengikat secara pengikat untuk melindungi produsen
secara asli
Kontrak ikutan (taba’i) sehingga tidak di tinggalkan begitu
(thabi’i)
saja oleh konsumen secara tidak
bertanggung jawab.
Baik salam pararel maupun istishna’
Kontrak Salam
Istishna’ Pararel pararel sah asalkan kedua kontrak
Pararel Pararel
secara hukum adalah terpisah.

Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar atau


Dikembalikan



Oleh Ummu Reza

A. PENDAHULUAN

Persepsi masyarakat terhadap mu’amalah dalam perspektif ajaran Islam dan implentasinya hingga
hari ini masih sangat berbeda. Sebagian besar umat masih beranggapan bahwa Islam identik dengan
ibadah, sehingga aspek mu’amalah terabaikan. Demikian halnya dengan ekonomi, khususnya dalam
dunia perdagangan. Ajaran Islam dalam masalah perdagangan dirasakan menghambat atau
mengekang dalam aktifitas perdagangan, mengambil keuntungan dan sebagainya. Persepsi seperti
inilah yang menimbulkan sikap tidak kompromistis terhadap nilai-nlai Islam dalam aktifitas
perdagangan. Bila kita perhatikan sekarang ini, banyak dijumpai praktek-praktek mu'amalah yang
menggunakan tipu daya atau rekayasa. Baik yang telah jelas keharamannya berdasarkan dalil-dalil dari
nash, maupun dari masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi.

Fokus utama aktifitas berdagang adalah mencari keuntungan dengan membeli lebih murah dan
menjual dengan harga lebih mahal. Agama Islam menegaskan, menghalalkan berdagang dan
mengharamkan riba. Allohu Subhanallohu Wa Ta’ala berfirman:

"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya" (QS Al-Baqarah: 275)

[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang
yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum
terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.

[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

Mencari untung dan perdagangan dalam konsep Islam tidak terbatas pada keuntungan materi saja,
tetapi juga keuntungan yang bersifat non materi serta keuntungan dalam kehidupan dunia dan
akhirat.

Dalam berbagai buku fikih Islam, secara garis besar diberikan tuntunan berdagang yang sesuai dengan
tuntunan agama. Intinya meliputi, pertama, penjual dan pembeli, yaitu orang yang sudah baligh dan
berakal sehat, secara sukarela, dan bukan pemboros. Kedua, uang dan benda yang dibeli suci dari
najis, ada manfaatnya, bukan yang tabzir, barangnya dapat diserahkan, barangnya jelas sehingga tidak
terjadi penipuan. Barangnya adalah kepunyaan pemiliknya atau oleh orang yang diberi kuasa
pemiliknya (bukan curian atau yang bukan miliknya), dan adanya ijab kabul.
Di samping itu, ada jual beli yang dilarang antara lain menjual barang dengan harga yang jauh lebih
tinggi dan harga umum, menawar barang yang sudah ditawar orang lain, menghambat orang dari desa
yang akan menjual barangnya di pasar (orang dan desa yang kemungkinan tidak tahu harga pasar dan
barang yang akan dijual) sehingga barangnya dijual terlalu murah, membeli barang untuk ditimbun
atau spekulasi, jual beli barang untuk maksiat, jual beli yang bersifat mengecoh seperti mengurangi
timbangan dan menjual barang yang sudah kadaluwarsa.

Islam memberikan tuntunan lengkap untuk menghindari transaksi perdagangan yang penuh tipu
muslihat akibat keserakahan manusia, persaingan yang makin ketat, takut mengalami kerugian, dan
sebagainya. [1])

B. BENTUK-BENTUK PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN DALAM PERDAGANGAN

Tak dapat dipungkiri, bahwa saat ini kedudukan konsumen sangat lemah, antara lain disebabkan oleh
karena tingkat kesadaran dan tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah. Hal ini juga
diperparah oleh adanya etos-etos bisnis yang tidak benar, seperti bisnis harus bertujuan untuk
memperoleh keuntungan semata-mata, bisnis tidak memiliki nurani, dan lain sebagainya. Bentuk-
bentuk penyimpangan dan pelanggaran dalam perdagangan sering kita jumpai, bahkan hampir
setiap hari. Bila kita masuk ke dalam minimarket atau supermarket sering terpampang tulisan
“memegang berarti membeli”, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi”, bahkan
ada pemeo di masyarakat “menawar berarti membeli” .

Para ulama, seperti Ibnul Qayyim, atau sebagian ulama lainnya telah memberikan contoh mengenai
mu'amalah yang menggunakan praktek hilah atau tipu daya ini. Salah satu contoh amalan yang
berhubungan erat dengan masalah hilah ini, sebagai usaha merubah ketentuan syar'i yang telah
ditetapkan syari'at Islam adalah seorang Penjual yang ingin berlepas diri dari barang yang cacat dan ia
takut nantinya pembeli akan mengembalikannya. Maka ia pun memberikan syarat, barang yang telah
dibeli tidak boleh dikembalikan lagi bagaimanapun keadaannya. Alasannya, karena barang tersebut
sudah keluar dari toko dan praktek semacam ini banyak dilakukan di masyarakat sekarang ini. [2])

Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan
(perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal." [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1353. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2353.
Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:27. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi VI:79. Sanadnya lemah
sekali karena adanya Katsier bin Abdullah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai
dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan hasan oleh al-Bukhari. Dinukil oleh at-Tirmidzi dari
perawi yang sama]

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: "Setiap
persyaratan yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu bathil." [3])

C. HAK-HAK KONSUMEN YANG TERABAIKAN

Sering kita jumpai beberapa pedagang yang sengaja memajang papan pengumuman di tokonya, yang
bertuliskan barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukarkan kembali. Bukankah perilaku pedagang
seperti ini sudah menghilangkan hak khiyar bagi pembeli? Sedangkan Hikmah disyari’atkannya khiyar
sendiri adalah memberikan kebebasan memilih kepada penjual dan pembeli demi menjaga
kemaslahatan mereka berdua dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menindaklanjuti
urusan mereka apakah tetap dilakukan atau dibatalkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
timbulnya kedengkian dan permusuhan diantara manusia.

Khiyar sendiri mempunyai bentuk yang bermacam-macam:

1. Khiyar syarat, penjual dan pembeli mempersyaratkan penundaan yang tidak lebih dari 3 hari. Dan
ketika waktu yang ditentukan sudah habis, sedang transaksi itu tidak dibatalkan, maka transaksi itu
pun terwujud.

Rasululloh shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda “Jika kamu bertransaksi (jual beli), katakanlah, tidak
ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari. “ (HR. Muslim)

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual beli yang mengandung khiyar, tetapi
ditunggu sampai gugurnya khiyar.

Menurut ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih milik
penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.

Ulama Syaafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadi milik pembeli.
Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak penjual.

Menurut ulama Hanabilah, dari siapa pun khiyar berasal, barang tersebut menjadi milik pembeli. [4])
2. Khiyar Majelis, ketika penjual dan pembeli telah melaksanakan jual beli dengan ijab qabul, mereka
berhak untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya, selama mereka masih duduk di tempat
transaksi. Jika mereka berpisah dari majelis transaksi ini, maka gugurlah khiyar ini.

Dari Amr bin syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallohu ‘anhuma, bahwasanya Rasululloh
shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Penjual dan pembeli berhak khiyar sebelum keduanya
berpisah, kecuali jual beli telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak
diperbolehkanberpisah karena takut jual beli dibatalkan.” (HR. Imam lima kecuali Ibnu majah).
Diriwayatkan juga oleh Daruquthni, Ibnu Huzaimah dan Ibnu jarud. Dan Dalam Riwayat lain
disebutkan: “sehingga keduanya berpisah dari tempatnya”. [5])

3. Khiyar rukyah, pembeli membeli barang yang belum pernah dilihatnya, transaksi itu sendiri sah, dan
dia berhak mendapatkan khiyar ketika melihat barang itu. Khiyar rukyah ini akan gugur jika terjadi
perubahan pada komoditas yang tidak mungkin dihilangkan. seperti orang membeli baju gamis, tapi
kemudian dipotong dan diubah menjadi kemeja. Atau pembeli menyerahkan pembayaran setelah
melihat barang tersebut. [6])

4. Khiyar ‘aib atau cacat, pembeli melihat cacat pada barang yang dibelinya, yang tidak terlihat ketika
membeli.

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang
menunjukkan adanaya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik
berkurang sedikit atau banyak.

Menurut ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang
yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu.

Syarat Tetapnya Khiyar ‘aib

1. Adanya ‘aib setelah akad atau sebelumnya diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada.

2. Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang.

3. Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat.

Waktu Khiyar ‘aib

1. Khiyar ‘aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama.
2. Membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan.
Perkara yang Menghalangi untuk Mengembalikan Barang

1. Ridha setelah mengetahui adanya cacat

2. Menggugurkan khiyar, baik secara jelas, atau adanya petunjuk

3. Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. [7]

a. Pandangan Ulama Tentang “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau di tukar” [8])

Tanya:”Bagaimanakah pandangan hukum syar’I mengenai tulisan yang menyebutkan Barang yang
sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau di tukar yang ditulis oleh beberapa pemilik toko pada
faktur/kwitansi yang mereka keluarkan. Apakah menurut syari’at syarat seperti ini dibolehkan? Dan
bagaimana nasehat anda mengenai masalah ini?

Jawab: Menjual barang dengan syarat bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dan
ditukar adalah tidak boleh, karena syarat tersebut tidak dibenarkan. Sebab, didalamnya mengandung
mudhorot (=ketidak maslahatan). Selain itu, karena tujuan penjual melalu syarat tersebut agar
pembeli harus tetap membeli barang tersebut meskipun barang tersebut cacat. Persyaratannya ini
tidak melepaskannya dari cacat yang terdapat pada barang. Sebab, jika barang itu cacat, maka dia
boleh mengembalikannya dan menukar dengan barang yang tidak cacat, atau pembeli boleh
mengambil ganti rugi dari cacat tersebut. Selain itu, karena pembayaran penuh itu harus diimbangi
dengan barang yang bagus dan tidak cacat. Tetapi dalam hal ini, penjual yang mengambil dengan harga
penuh dengan adanya cacat pada barang merupakan tindakan yang tidak benar. Di sisi lain, syari’at
telah memberlakukan syarat-syarat yang sudah biasa berlaku sama seperti syarat berupa ucapan. Hal
ini dimaksudkan agar pembeli selamat dari cacat, sehingga dia dapat mengembalikan barang yang
sudah dibeli jika terdapat cacat padanya, karena persyaratan barang dagangan bebas dari cacat
menurut hukum kebiasaan yang berlaku, berkedudukan sama seperti persyaratan yang diucapkan.

Wabillahi Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa meleimpahkan kesejahteraan dan


keselamatan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.

Al-Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyah Wal Ifta’, Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz,
Anggota: Syaikh Abdullah bin Ghudayan. Anggota: Syaikh Sholih Al-Fauzan. Anggota: Syaikh Abdul Aziz
Alu Syaikh. Anggota: Syaikh Bakr Abu Zaid [Sumber: Fatwa Lajnah Daimah, Kitab Buyuu’. Fatwa no.
13788, dikutip dari salafy.or.id offline judul: Barang Yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Dikembalikan]. [9])

b. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menetapkan bahwa Klausula
Baku[10]) yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha,
apabila dalam pencantumannya mengandung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :

1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;

2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;

4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau
pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

Contoh Klausula Baku yang dilarang Undang-Undang

1) Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh
nasabahnya menyatakan bahwa

o “ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari Bank
sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai mereka “

2) Kuitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :

o "Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan"

o "Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan"
Contoh Klausula Baku yang Batal Demi Hukum

1) Setiap transaksi jual beli barang dan atau jasa yang mencantumkan Klausula Baku yang tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku;
2) Konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan Klausula Baku yang dilarang dan
pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara; [11])

Pencantuman Klausula Baku yang benar adalah yang tidak mengandung 8 unsur atau pernyataan yang
dilarang dalam Undang-Undang, bentuk dan pencantumannya mudah terlihat dan dipahami; Serta
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23,
tentang Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.[12])

D. KESIMPULAN

Tulisan yang menyebutkan barang yang telah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan lagi adalah
bathil, karena didalamnya mengandung mudhorot. Selain itu, tujuan penjual melalui syarat tersebut
adalah agar pembeli harus tetap membeli barang tersebut meskipun barang tersebut cacat, sehingga
tidak adanya hak khiyar bagi pembeli. Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengandung kedelapan unsur-
unsur yang terlarang yang tercantum di dalam UU no. 8 tersebut.

Khiyar (Pembatalan dalam akad Jual Beli) yang Melanggar Syar’i


(edisi 9)
Kebiasaan yang menjadi pemandangan sehari-hari dan sering dilakukan antara lain :

1. Pernyataan di kuitansi bahwa “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”
2. Pembeli minta harga dikurangi atau ditambah jumlah/spesifikasi barang ketika penyerahan
barang setelah ijab kabul (kesepakatan) sudah dilakukan kedua belah pihak sebelumnya.
3. Penjual minta tambahan uang lebih ketika penyerahan barang dengan alasan biaya
administrasi, ongkos kirim dan lain-lain

Pernyataan di kuitansi jual beli bahwa “Barang yang sudah dibeli tidak boleh
dikembalikan”

Dengan pernyataan seperti ini, maka pihak penjual menolak atau tidak menerima adanya
khiyar. Hal ini banyak dilakukan oleh para penjual di toko-toko. Dengan melakukan hal ini
maka penjual menutup pintu (mengharamkan) khiyar bagi pembeli.

Padahal khiyar itu disyariatkan atau dibolehkan dalam Islam karena bisa jadi ada syarat yang
tidak terpenuhi atau cacat barang yang tidak diketahui oleh pembeli sehingga ada pihak yang
tidak ridha atau merasa dirugikan.

Rasulullah Saw bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah.
Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan mendapat
berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat barang), akan
dihapuskan keberkahan jual beli mereka”. (Shahih Muslim No. 2825)

Subhanallah, betapa mulianya Islam, sampai mengatur masalah khiyar (pembatalan dalam
jual beli) karena Islam benar-benar ingin menghendaki keadilan bagi manusia, jangan sampai
ada hak yang diambil dengan jalan batil dan jangan sampai ada pihak yang tidak ridha atau
merasa dirugikan oleh pihak lain.

Imam Ahmad rh menjelaskan dalam kitabnya Al-Mughni bahwa kalau barangnya rusak pada
masa khiyar maka ada 2 kemungkinan, bisa terjadi sebelum serah terima barang atau
sesudahnya :

1. Jika barang rusak sebelum serah terima maka akad menjadi faskh (batal), barang bisa
dikembalikan dan uangnya diambil kembali atau uangnya tidak diambil tapi barangnya
ditukar dengan yang baik.

Disinilah pentingnya penjual mengetahui cacat atau rusaknya barang karena ketika menjual,
hukumnya wajib untuk memberitahunya kepada pembeli sehingga pembeli tidak merasa
dibohongi. Kalau tidak ada dusta diantara penjual dan pembeli maka Allah Swt menurunkan
keberkahan dalam akad jual beli tersebut.

1. Jika barang rusak oleh pembeli maka hak khiyar-nya batal maka tidak oleh meminta uang
kembali dan barang tidak bisa dikembalikan kepada penjual

Pembeli minta harga dikurangi atau ditambah jumlah/spesifikasi barang ketika


penyerahan barang setelah ijab kabul (kesepakatan) sudah dilakukan kedua belah
pihak sebelumnya

Hal ini banyak dilakukan oleh pembeli terutama di pasar-pasar monopoli yaitu setelah selesai
akad (ijab kabul) antara penjual dan pembeli dengan harga dan jumlah/spesifikasi barang
yang telah disepakati kedua belah pihak kemudian keduanya berpisah dengan perjanjian
bahwa barangnya akan dikirim tanggal sekian.
Ketika sudah masuk tanggal pengiriman barang, pembeli dengan dengan seenaknya minta
potongan harga atau jumlah barangnya ditambah, padahal barangnya tidak ada masalah,
apalagi ditambah ancaman kalau tidak dikabulkan permintaannya, dia akan melakukan khiyar
(pembatalan). Inilah khiyar yang melanggar syar’i.

Kalaupun penjual mengabulkan keinginan si pembeli tersebut maka bisa dalam keadaan
terpaksa dan hal ini bisa menimbulkan ketidakridhaan atau keterpaksaan dari pihak penjual.
Ketika salah satu pihak tidak ridha maka Allah Swt mencabut keberkahan dari akad tersebut.

Penjual minta tambahan uang lebih ketika penyerahan barang dengan alasan biaya
administrasi, ongkos kirim dan lain-lain

Hal ini biasanya terjadi di proyek-proyek atau perkantoran yaitu ketika akad jual beli sudah
disepakati, kemudian pekerjaan sudah berjalan dan dikerjakan dengan baik, ketika akan
dilakukan pembayaran, pihak pembeli (kantor) memotong jumlah uang yang akan dibayar
dengan alasan biaya administrasi dan lain-lain.

Kalau keinginannya tidak dikabulkan, maka ada ancaman bahwa pembayaran akan dipersulit,
akan terjadi pembatalan (khiyar), tidak akan diberi pekerjaan lagi dan lain-lain. Inilah khiyar
yang melanggar syar’i yang menghilangkan keberkahan jual beli.

Khiyar dalam Jual Beli

Ketika melakukan sebuah akad atau perjanjian terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa
cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak
memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak
membatalkan perjanjian.

Pengertian Khiyar (Hak Pilih)

1. Secara etimologi, khiyar artinya : memilih, menyisihkan dan menyaring. Secara umum
artinya adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
2. Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya : hak yang dimiliki orang yang melakukan
perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian
tersebut atau membatalkannya.

Tujuan Khiyar

Tujuan khiyar adalah agar jual beli tersebut tidak merugikan salah satu pihak.

Macam-Macam Khiyar

Dalam akad jual beli, dalam Islam dibolehkan untuk memilih, apakah akan meneruskan jual
beli atau akan membatalkannya. Karena terjadinya sesuatu hal khiyar dibagi menjadi 3
macam :

1. a. Khiyar Majlis
Adalah penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majlis). Khiyar majlis boleh dilakukan dalam
berbagai jual beli.

Rasulullah Saw bersabda, “Penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah”. (HR.
Bukhari dan Muslim)

Bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut maka khiyar majlis tidak berlaku lagi
atau batal.

1. b. Khiyar Syarat

Yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual ataupun oleh
pembeli, seperti seseorang berkata, “Saya jual rumah ini dengan harga 50 dinar dengan syarat
khiyar selama 3 hari” atau “Saya beli komputer ini dengan syarat bisa menjalankan program
akunting”.

Jadi, ketika sudah terima uang dan barang tapi kemudian syaratnya tidak terpenuhi maka
dibolehkan melakukan pembatalan (khiyar syarat).

Rasulullah Saw bersabda, “Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang dibeli selama 3 hari 3
malam”. (HR Ibnu Majah 2/2355, Al-Hakam 2/22, Baihaqi dalam As-Sunan 5/273 &
Daruquthni 3/56/No. 222)

1. c. Khiyar ‘Aib

Yaitu dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli, seperti
seseorang berkata, “Saya beli hp itu seharga 20 dirham, bila hp itu batere-nya nge-drop akan
saya kembalikan”.

Jadi, kalau setelah serah terima uang dan barang tapi ternyata memiliki aib yang diketahui
oleh pembeli maka boleh dilakukan pembatalan (khiyar ‘aib).

Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut
disuruh berdiri di dekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya
kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan kepada penjual. (HR Ahmad & Abu Dawud)

Berselisih dalam Jual Beli

Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjualbelikan,
maka yang dibenarkan ialah kata-kata yang punya barang. Bila diantara keduanya tidak ada
saksi dan bukti lainnya.

Rasulullah Saw bersabda, “Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada
saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalkan”. (HR.
Abu Dawud)

Kesimpulan
Ingat, yang kita cari dari setiap akad atau transaksi jual beli adalah barakah dan ridha Allah,
bukan omzet dan keuntungan maka jangan menutup pintu khiyar. Kalaupun mau melakukan
khiyar, lakukanlah sesuai dengan syar’i!

Pengertian Khiyar
Akad yang sempurna haruslah terhindar dari khiyar, yang memungkinkan aqid
(orang yang akad) membatalkannya. Pengertian Khiyar menurut ualama fiqih
adalah suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan
akadnya, yakni menjadikan atau membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar
syarat, 'aib atau ru'yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar
ta'yin.

Jumlah khiyar sangan banyak. Menurut ulama Hanafiyah, jumlahnya ada 17.
Sedangkan menurut ulam Malikiyah, membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu
khiyar al-taammul (melihat, meneliti) adalah khiyar secara mutlak dan khiyar
naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau 'aib pada barang yang
dijual (khiyar al_hukmy). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis itu
batal .

Macam-macam Khiyar
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai macam-macam kkhiyar itu sendiri
sesuai dengan perspektif masing-masing dalam mengklasifikasikan jenis-jenis
khiyar,di antara pendapat tersebut sebagi berikut :

Ulama Malikiyah membagi khiyar kepada :

1. Khiyar al-taammul(melihat,meneliti) :Khiyar mutlak


2. Khiyar naqish (kurang) :apabila terjadi kekuranggan atau aib pada barang
yang di jual.

Anda mungkin juga menyukai