Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

MEMAHAMI MASALAH SALAM DAN


ISTISHNA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Tafsir dan Hadist Ahkam Muamalah

DosenPengampu:
Dr. Sugeng Aminudin, M.Pi

Disusun Oleh:

Fikri Nailul Autar (23602021022)


Sinta Silviani (23612051019)

PRODI EKONOMI SYARIAH

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih
muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan
bahkan sampai puluhan. Sungguh demikian,dari sekian banyak itu,ada tiga jenis jual
beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal
kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-
istishna.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan
dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-
kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui
perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan
menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli di bedakan
berdasarkan bentuk pembayaran-nya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan di bahas jenis pembiayaan salam dan istishna. Jual beli
dengan salam dan istishna ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan
keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna wajar jika masih banyak
diminati.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan tujuan dari Salam dan Istishna?


2. Apa dasar hukum Salam dan Istishna?
3. Apa saja syarat dan rukun Salam dan Istishna?
4. Apa perbedaan Salam dan Istishna?
5. Bagaimana aplikasi Salam dan Istishna dalam perbankan syariah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dan tujuan dari salam dan Istishna


2. Untuk mengetahui dasar hokum Salam dan Istishna
3. Untuk mengetahui apa saja syarat dan rukun Salam dan Istishna
4. Untuk mengetahui perbedaan Salam dan Istishna
5. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi Salam dan Istishna dalam perbankan
syariah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Tujuan dari Salam dan Istishna

Secara bahasa salam dan salaf bermakna pesanan. Menurut syara’ salam ialah
menjual sesuatu yang telah ditetapkan dengan sifat dalam suatu tanggungan. Salam
artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu
jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk
uang. Atau akad jual beli, dimana pembeli membayar uang (sebesar harga) atasbarang
yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu
akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang telah disepakati. Dalam fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 05/DSN-MUI/IV/2000, disebutkan salam adalah jual
beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan
syarat-syarat tertentu. Dalam akad salam ini terdapat akad yang disebut dengan salam
pararel. Salam pararel yaitu melaksanakan dua transaksi salam antara bank dan
nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara
simultan.2

Adapun Istishna menurut bahasa bermakna meminta membuat sesuatu. Dalam


Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, Istishna adalah jual beli barang atau jasa dalam
bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pihak pemesan dengan pihak penjual. Dalam akad Istishna ini ada akad yang disebut
dengan Istishna pararel, sedangkan Istishna pararel adalah suatu bentuk akad Istishna
antara penjual dan pemesan, dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan,
penjual melakukan akad Istishna dengan pihak lain (sub-kontraktor) yang dapat
memenuhi asset yang dipesan pemesan. Syarat akad Istishna yaitu:

1. Antara penjual dan pemesan tidak bergantung pada Istishna


2. Antara penjual dan pemesan harus terpisah dan penjual tidak boleh mengakui
adanya keuntungan selama konstruksi.

Menurut para ulama’, akad Istishna ini merupakan jenis khusus dari salam.
Perbedaannya terletak pada obyek yang diperjanjikan. Obyek Istishna secara khusus
berupa manufactur order atau kontrak produksi. Oleh karena itu, ketentuan dalam
mengikuti ketentuan dan aturan salam. Tujuan Istishna umumnya diterapkan pada
pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunanproyek perumahan,
komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan
yang sesuai adalah pembiayaan investasi.

B. Dasar Hukum Salam dan Istishna


1. Al Qur’an
Firman Allah Qs.Al-Baqarah (2):282
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk
waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
2. Al Hadits
H.R al-Baihaqi dan Ibnu Majah, serta dinilai shahih oleh Ibnu Hibban :

Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya jual
beli itu harus dilakukan suka sama suka”

H.R Bukhari:
“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan tukaran
yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui”

H.R Ibnu Majah:


“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh,
muqaradah (mudarabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan murah, bukan untuk dijual”
3. Ijma’
Menurut Ibnu Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara
salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat.
4. Kaidah Fiqih
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.

C. Syarat dan Rukun Salam dan Istishna


Rukun dan syarat Salam dan Istishna sama seperti dalam jual beli, yaitu:
1. Pihak yang berakad: pembeli (muslam) dan penjual (muslamilaih)
2. Obyek yang diakadkan
3. Akad (sighat)
Berkaitan dengan rukun dan syarat ini, dalam Fatwa DSN disebutkan beberapa
ketentuan dalam akad salam dan Istishna. Dijelaskan dalam Fatwa DSN 05/DSN-
MU/IV/2000 tentang jual beli salam, bahwa:

1. Ketentuan tentang pembayaran:


a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat.
b. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2. Ketentuan tentang barang:
a. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
b. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
c. Penyerahannya dilakukan kemudian.
d. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
e. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
f. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
3. Ketentuan Lain:
a. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat.

b. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas
berlaku pula pada jual beli istisna’.

c. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.

D. Perbedaan Antara Istishna’ dengan Salam

1. Subjek dari akad istisna’ adalah barang-barang yang diproduksi baik oleh
pabrik ataupun industri rumah tangga sedangkan jual beli salam dapat berupa
benda atau barang apa saja, tidak harus barang yang diproduksi oleh pabrik.
2. Dalam jual beli salam, harga yang disepakati harus dibayar lunas dimuka,
sedangkan pada istisna’ tidak harus demikian.

3. Pada jual beli salam, akad yang disepakati tidak dapat digugurkan oleh salah
satu pihak, sedangkan pada istisna’ selama pihak penjual atau pabrik belum
memulai kerjanya maka akad yang disepakati diawal dapat dibatalkan oleh
salah satu pihak.

4. Bagi akad jual beli salam, waktu pengiriman barang adalah unsur akad yang
sangat penting, sedangkan pada istisna’tidak. Artinya, waktu pengiriman
dapat berubah atas kesepakatan bersama sampai barang yang dimaksud dapat
selesai dibuat.

E. Aplikasi Salam dan Istishna’ dalam Perbankan syariah

1. Salam

a. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi


salam dengan nasabah.

b. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk


perjanjian tertulis berupa Akad pembiayaan atas dasar salam.

c. Penyediaan dana oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan di muka


secara penuh yaitu pembayaran segera setelah Pembiayaan atas dasar
akad salam disepakati atau paling lambat tujuh hari
setelahpembiayaan atas dasar akad salam disepakati.

d. Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk


pembebasan utang nasabah kepada Bank atau dalam bentuk piutang
Bank.

Contoh:
seorang petani lada yang bernama Ivan Pratama hendak menanam lada dan
membutuhkan dana sebesar Rp. 200.000.000, untuk satu hektar. Bank syariah
Surabaya menyetujui dan melakukan akad dimana Bank tersebut akan membeli hasil
lada tersebut sebanyak 10 ton dengan harga Rp. 200.000.000,-. Pada saat jatuh tempo
petani harus menyerahkan lada sebanyak 10 ton. Kemudian Bank tersebut dapat
menjual ladatersebutdengan hargayang relatif lebih tinggimisalnya Rp.25.000,- per
kilo. Dengan demikian penghasilan Bank adalah 10 ton x Rp. 25.000, = Rp.
250.000.000,-. Dari hasil tersebut Bank tersebut akan memperoleh keuntungansebesar
Rp. 50.000.000,-. Setelah dikurangi modal yang diberikan Bank sebesar Rp.
200.000,-.
2. Istishna
a. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan
transaksi istisna’ dengan nasabah.
b. Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk
pembebasan utang nasabah kepada Bank atau dalam bentuk piutang
Bank.
Contoh:
CV. Sungai Layang yang bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan sepatu
memperoleh order untuk membuat sepatu anak sekolah SMU senilai Rp.
60.000.000,- dan mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Surabaya. Harga
sepasang sepatu yang diajukan adalah Rp. 85.000,- dan pembayarannya diangsur
selama tiga bulan. Harga perpasang sepatu dipasaran sekitar Rp. 90.000,- dalam hal
ini Bank Syariah Surabaya tidak tahu berapa biaya produksi, CV. Sungai Layang
hanya memberikan keuntungan Rp. 5000,- perpasang sepatu atau keuntungan
keseluruhan adalah Rp. 3.529.412,- yang diperoleh dari hitungan:

Rp. 60.000.000 xRp. 5.000=Rp. 85.000

Rp.3.529.412

Bank Syariah Surabaya dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Sungai Layang
dengan harga yang lebih murah, sehingga dapat dijual kepada masyarakat dengan
harga murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Surabaya menawar harga Rp.
86.000,- per pasang, sehingga masih untung Rp. 4.000,- per pasang dan keuntungan
keseluruhan adalah:6

Rp. 60.000.000 xRp. 4.000=Rp. 2.790.697.

Rp.86.000
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas telah diketahui bahwa akad salam ialah transaksi jual
beli sesuatu yang telah ditetapkan dengan sifat dalam suatu tanggungan. Sedangkan
istishna’ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria
dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.
Dasar hukum akad salam dan istishna’ meliputi Qs. Al-Baqarah (2): 282, Qs. Al-
Maidah (5): 1; H.R al-baihaqi dan Ibnu Majah; H.R Bukhari; H.R Ibnu Majah; Ijma’
dan Kaidah hukum asal kebolehan sesuatu. Rukun akad salam dan istishna’ adalah (a)
pihak yang berakad: pembeli (muslim), dan penjual (muslim ilaih) (b) Objek yang
diakadkan (muslam fiihi) (c) modal atau uang (d) sigat (lafal Ijab dan qabul) muslim
atau pembeli.
Syarat akad salam dan istishna’ a. Modal transaksi bai al-istishna’: (1) Modal
harus diketahui (2) Penerimaan pembayaran salam, b. Al-muslam fiihi (barang): (1)
Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang (2) Harus bisa di identifikasi secara
jelas (3) Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari. Perbedaan salam dan istishna
antara lain; a. Subjek dari akad istishna’ adalah barang-barang yang di produksi,
sedangkan subjek dari akad salam tidak harus barang yang di produksi oleh pabrik, b.
Dalam akad salam harga yang disepakati harus di bayar lunas, sedangkan dalam akad
istishna’ tidak, c. Dalam akad salam yang disepakati tidak dapat digugurkan oleh
salah satu pihak, sedangkan pada istishna’ boleh, d. Dalam akad jual beli salam, waktu
pengiriman barang adalah unsur akad yang sangat penting, sedangkan pada istishna’
tidak. Aplikasinya akad salam dan istishna’ dalam perbankan syariah sebagai berikut;
bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi salam maupun
transaksi istishna’ dengan nasabah.
DAFTAR PUSTAKA

Antoni, M. S. (2001). Bank Syariah dan Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insansi.
Ghary (al), M. Q. (1999). Fathul Qarib Jilid I. Surabaya: al-Hidayah.
Mardani. (2012). Fiqih Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Musafa’ah, S. Sholihuddin, Romdlon, & Himami, F. (2013). Hukum Ekonomi dan Bisnis
Islam I. Surabaya: IAIN SA Press.

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 05/DSM-MUI-IV-2000

Anda mungkin juga menyukai