Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH

PERSAMAAN DASAR AKUNTANSI SYARIAH


HALAMAN JUDUL
Dosen Pengampu:
Veni Soraya Dewi, M.Si.

Disusun oleh:
1. Sukma Harnawan Putra 18.0102.0091

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2021
Statement of Authorship
“Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas
terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang
lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk
makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa
saya menggunakannya.
Saya memahami bahwa tugas yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”
Nama : Sukma Harnawan Putra 18.0102.0091

Tandatangan :
Mata Ajaran : Akuntansi Keuangan Syariah
Judul Makalah/Tugas : Persamaan Dasar Akuntansi Syariah
Tanggal : 21 Maret 2022
Dosen : Veni Soraya Dewi, M.Si.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih
muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan
bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga
jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan
modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, Akad istishna
dan salam

Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah


penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko
serta kegiatan- kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli
dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayaran-nya dan waktu
penyerahan barang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan akad Salam, Istishna, dan Ijarah ?
2. Apa Saja Karakteristik dari Akad Salam, Istishna, dan Ijarah?
3. Apa landasan hukum dan rukun akad salam, Istishna, dan Ijarah?
4. Bagaimana berhentinya Akad Salam, Istishna, dan Ijarah?

C. Tujuan
1. Definisi dari dengan akad Salam, Istishna, dan Ijarah
2. Karakteristik dari dengan akad Salam, Istishna, dan Ijarah
3. Landasan hukumdan Rukun akad salam, Istishna, dan Ijarah
4. Sebab-sebab berhentinya Akad Salam, Istishna, dan Ijarah

1.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Salam


Salam berasal dari kata As salaf yang artinya pendahuluan karena pemesan
barang menyerahkan uangnya di muka. Para ahli fikih menamainya al mahawi’ij
(barang-barang mendesak) karena ia sejenis jual beli yang dilakukan mendesak
walaupun barang yang diperjualbelikan tidak ada di tempat. ”Mendesak”, dilihat
dari sisi pembeli karena ia sangat membutuhkan barang tersebut di kemudian hari
sementara dari sisi penjual, ia sangat membutuhkan uang tersebut.
Salam dapat didefinisikan sebagai transaksi atau akad jual beli di mana
barang yang diperjual belikan belum ada ketika transaksi dilakukan, dan pembeli
melakukan pembayaran di muka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di
kemudian hari. PSAK 103 mendefinisikan salam sebagai akad jual beli barang
pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam
illaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli (al muslam) pada saat akad
disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Untuk menghindari resiko yang
merugikan, pembeli boleh meminta jaminan dari penjual.
B. Jenis Akad Salam
1. Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjual belikan
belum ada ketika transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran di
muka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.

Skema Salam

Barang/Modal
(1)
Penjual Pembeli
(2)

(3)

Keterangan :
(1) Pembeli dan Penjual menyepakati akad salam.
(2) Pembeli membayar kepada penjual.
(3) Penjual menyerahkan barang.
2. Salam paralel, artinya melaksanakan 2 transaksi salam yaitu antara pemesan
pembeli dan penjual serta antara penjual dengan pemasok (supplier) atau
pihak ketiga lainnya. Hal ini terjadi ketika penjual tidak memiliki barang
pesanan dan memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang
pesanan tersebut.
Salam Forward Future
Penentuan harga Saat kontrak dibuat. Saat kontrak Saat kontrak dibuat.
dan kuantitas dibuat.
produk yang akan
dikirimkan.
Pengiriman Di masa depan sesuai Di masa depan Tidak harus ada pengiriman
barang. dengan kontrak. sesuai dengan karena pembeli/penjual dapat
kontrak. menutup kewajibannya dengan
bertukar posisi.Misalnya,Tn.A
menjual 1000kg beras untuk
pengiriman 3 bulan
kemudian.Setelah kontrak
berjalan 2 minggu penjual
dapat menutup posisi awal
dengan menjadi pembeli beras
sebesar 1000kg.
Pembayaran oleh Saat kontrak Saat barang Saat melakukan
pembeli. dibuat,pembeli harus diterima di pembelian/penjualan,investor
melunasi seluruh nilai masa depan harus menyimpan uang di
kontrak yang disetujui. sesuai dengan clearing house dan setiap hari
kontrak. akan proses mark-to-the
market.
Barang yang Barang yang halal dan Sesuai dengan Barang yang ditransaksikan
menjadi objek harus mudah ditemui kehendak distandarisasi. Umumnya future
kontrak. di pasar pembeli dan memperjualbelikan komoditas
(fungible).Umumnya penjual yang dan aset keuangan.
salam digunakan membuat
dalam kontrak jual beli kontrak
produk pertanian. forward.
Tujuan dibuatnya Memberikan modal Lindung nilai Lindung nilai dan spekulasi.
kontrak. kerja kepada penjual dan spekulasi.
untuk memproduksi.
Salam paralel dibolehkan asalkan akad salam kedua tidak tergantung pada
akad pertama yaitu akad antara penjual dan pemasok tidak tergantung pada
akad antara pembeli dan penjual, jika saling tergantung atau menjadi syarat
maka tidak diperbolehkan (terjadi taalluq).
Akad antara penjual dan pemasok terpisah dari akad antara pembeli dan
penjual. Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel
terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara
terus-menerus karena dapat menjurus kepada riba.
Perbedaan antara Salam, Forward dan Future.
A. Dasar Syariah
1. Sumber Hukum Akad Salam
a. Al Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu
menuliskannya dengan benar...” (QS 2;282)
“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu...” (QS 5;1).
b. Al-Hadits
“Barang siapa melakukan salam, hendaknya ia melakukannya dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu
yang diketahui.” (HR.Bukhari Muslim)
“tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara
tangguh muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR.Ibnu Majah).
2. Rukun dan Ketentuan Akad Salam
Rukun salam ada 3,yaitu :
a. Pelaku,terdiri atas penjual (muslam illaihi) dan pembeli (al muslam).
b. Objek akad berupa barang yang akan diserahkan (muslam fiih) dan
modal salam (ra’su maalis salam).
c. Ijab kabul/serah terima.
Ketentuan syariah,terdiri dari:
a. Pelaku mengerti hukum dan baligh.
b. Objek akad.
1) Ketentuan syariah yang terkait dengan modal salam, yaitu:
- Modal salam harus diketahui jenis dan jumlahnya.
- Modal salam berbentuk uang tunai.
- Modal salam diserahkan ketika akad berlangsung, tidak boleh
utang atau merupakan pelunasan piutang.
2) Ketentuan syariah barang salam, yaitu:
- Barang tersebut harus dapat dibedakan/diidentifikasi
mempunyai spesifikasi dan karakteristik yang jelas seperti
kualitas, jenis, ukuran sehingga tidak ada gharar.
- Barang tersebut harus dapat dikualifikasi/ditakar/ditimbang.
- Waktu penyerahan barang harus jelas, tidak harus tanggal
tertentu boleh juga dalam kurun waktu tertentu. Misalnya
dalam waktu 6 bulan atau musim panen disesuaikan dengan
kemungkinan tersedianya barang yang dipesan.
- Barang tidak harus ada di tangan penjual, tetapi harus ada pada
waktu yang ditentukan.
- Apabila barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang
ditentukan, akad menjadi fasakh/rusak dan pembeli dapat
memilih apakah menunggu sampai dengan barang yang
dipesan tersedia atau membatalkan akad sehingga penjual
harus mengembalikan dana yang telah diterima.
- Apabila barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan
yang disepakati dalam akad, maka pembeli boleh melakukan
khiar atau memilih untuk menerima atau menolak.
- Apabila barang yang dikirim memiliki kualitas yang lebih
baik, maka penjual tidak boleh meminta tambahan
pembayaran dan hak ini dianggap sebagai pelayanan kepuasan
pelanggan.
- Apabila barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah,
pembeli boleh memilih menolak atau menerimanya.
- Barang boleh dikirim sebelum jatuh tempo asalkan disetujui
oleh kedua pihak dan dengan syarat kualitas dan jumlah
barang sesuai dengan kesepakatan, dan tidak boleh menuntut
penambahan harga.
- Penjualan kembali barang yang dipesan sebelum diterima
tidak dibolehkan secara syariah.
- Kaidah penggantian barang yang dipesan dengan barang lain.
- Apabila tempat penyerahan barang tidak disebutkan, akad
tetap sah.
c. Ijab Kabul
Adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara pihak-pihak
pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis melalui
korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Berakhirnya Akad Salam
Hal-hal yang membatalkan kontrak adalah:
a. Barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan.
b. Barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati
dalam akad.
c. Barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah,dan pembeli memilih
untuk menolak atau membatalkan akad.
d. Barang yang dikirim kualitasnya tidak sesuai akad tetapi pembeli
menerimanya.
e. Barang diterima.
B. Perlakuan Akuntansi (PSAK 103)
1. Akuntansi untuk Pembeli
Hal-hal yang harus dicatat oleh pembeli dalam transaksi secara akuntansi:
a. Pengakuan piutang salam, piutang salam diakui pada saat modal usaha
salam dibayarkan atau dialihkan kepada penjual. Modal usaha salam
disajikan sebagai piutang salam.
b. Pengukuran modal usaha salam.
Modal salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan.
Jurnal :
Dr.Piutang Salam xxx
Kr.Kas xxx
Modal usaha salam dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai
wajar, selisih antara nilai wajar dan nilai tercatat modal usaha non kas
yang diserahkan diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada saat
penyerahan modal usaha tersebut.
1) Pencatatan apabila nilai wajar lebih kecil dari nilai tercatat.
Jurnal :
Dr.Piutang Salam xxx
Dr.Kerugian xxx
Kr.Aset Nonkas xxx
2) Pencatatan apabila nilai wajar lebih besar dari nilai tercatat.
Jurnal :
Dr.Piutang Salam xxx
Kr.Aset Nonkas xxx
Kr.Keuntungan xxx
c. Penerimaan barang pesanan.
1) Jika barang pesanan sesuai dengan akad, maka dinilai sesuai nilai
yang disepakati.
Jurnal:
Dr.Aset Salam xxx
Kr.Piutang Salam xxx
2) Jika barang pesanan berbeda kualitasnya.
a) Nilai wajar dari barang pesanan yang diterima nilainya sama
atau lebih tinggi dari nilai barang pesanan yang tercantum
dalam akad, maka barang pesanan yang diterima diukur sesuai
dengan nilai akad.
Jurnal :
Dr.Aset Salam xxx
Kr.Piutang Salam xxx
b) Jika nilai wajar dari barang pesanan yang diterima lebih
rendah dari nilai barang pesanan yang tercantum dalam akad,
maka barang pesanan yang siterima diukur sesuai dengan nilai
wajar pada saat diterima dan selisishnya diakui sebagai
kerugian.
Jurnal :
Dr.Persediaan-Aset Salam xxx
Dr.Kerugian Salam xxx
Kr.Piutang Salam xxx
3) Jika pembeli tidak menerima sebagian atau seluruh barang pesanan
pada tanggal jatuh tempo pengiriman, maka:
a) Jika tanggal pengiriman diperpanjang, maka nilai tercatat
piutang salam sebesar bagian yang belum dipenuhi sesuai
dengan nilai yang tercantum dalam akad dan jurnal atas bagian
barang pesanan yang diterima:
Dr.Aset Salam xxx
Kr.Piutang Salam xxx
b) Jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya, maka
piutang salam berubah menjadi piutang yang harus dilunasi
oleh penjual sebesar bagian yang tidak dapat dipenuhi dan
jurnal:
Dr.Piutang Lain-lain Penjual xxx
Kr.Piutang Salam xxx
c) Jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya dan
pembeli mempunyai jaminan atas barang pesanan serta hasil
penjualan jaminan tersebut lebih kecil dari niali piutang salam,
maka selisih antara niali tercatat piutang salam dan hasil
penjualan jaminan tersebut diakui sebagai piutang kepada
penjual (asumsi yang menjual barang jaminan adalah
pembeli).
Jurnal:
Dr.Kas xxx
Dr.Piutang Lain-lain penjual xxx
Kr.Piutang Salam xxx
Jika hasil penjualan jaminan tersebut lebih besar dari nilai tercatat
piutang salam maka selisihnya menjadi hak penjual.
Dr.Kas xxx
Kr.Utang Penjual xxx
Kr.Piutang Salam xxx
d. Denda yang diterima dan diberlakukan oleh pembeli diakui sebagai
bagian dana kebajikan.
Jurnal:
Dr.Dana Kebijakan-Kas xxx
Kr.Dana Kebijakan-Pendapatan Denda xxx
Denda hanya boleh dikenakan kepada penjual yang mampu
menyelesaikan kewajibannya tetapi sengaja tidak melakukannya lali.
Hal ini tidak berlaku bagi penjual yang tidak mampu menunaikan
kewajibannya karena force majeur.
e. Penyajian.
1) Pembeli menyajikan modal usaha salam yang diberikan sebagai
piutang salam.
2) Piutang yang harus dilunasi oleh penjual karena tidak dapat
memenuhi kewajibannya dalam transaksi salam disajikan secara
terpisah dari piutang salam.
3) Persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur sebesar
nilai terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat
direalisasi. Apabila nilai bersih yang dapat direalisasikan lebih
rendah dari baiaya perolehan maka selisihnya diakui sebagai
kerugian.
f. Pengungkapan.
1) Besarnya modal usaha salam,baik yang dibiayai sendiri maupun
yang dibiayai secara bersama-sama dengan pihak lain.
2) Jenis dan kuantitas barang pesanan.
3) Pengungkapan lain sesuai dengan PSAK No 101 tentang Penyajian
Laporan Keuangan Syariah.
2. Akuntansi untuk Penjual
a. Pengakuan kewajiaban salam, kewajiban salam diakui pada saat
penjual menerima modal usaha salam. Modal usaha salam yang
diterima disajikan sebagai kewajiban salam.
b. Pengukuran kewajiban salam.
Jurnal:
Dr.Kas xxx
Kr.Utang Salam xxx
Jika modal usaha salam dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai
wajar.
Jurnal:
Dr.Aset Nonkas xxx
Kr.Utang salam xxx
c. Kewajiban salam dihentikan pengakuannya (derecognation) pada saat
penyerahan barang kepada pembeli.
Jurnal:
Dr.Utang Salam xxx
Kr.Penjualan xxx
d. Jika penjual melakukan transaksi salam paralel, selisih antara jumlah
yang dibayar oleh pembeli akhir dan biaya perolehan barang pesanan
diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada saat penyerahan barang
pesanan oleh penjual ke pembeli akhir.
Jurnal ketika membeli persediaan:
Dr.Aset Salam xxx
Kr.Kas xxx
Pencatatan ketika menyerahkan persediaan, jika jumlah yang dibayar
oleh pembeli akhir lebih kecil dari biaya perolehan barang pesanan.
Jurnal:
Dr.Utang Salam xxx
Dr.Kerugian Salam xxx
Kr.Aset Salam xxx
Pencatatan ketika menyerahkan persediaan,jika jumlah yang dibayar
oleh pembeli akhir lebih besar dari biaya perolehan barang pesanan.
Jurnal:
Dr.Utang Salam xxx
Kr.Aset Salam xxx
Kr.Keuntungan Salam xxx
e. Pada akhir periode pelaporan keuangan, persediaan yang diperoleh
melalui transaksi salam diukur sebesar nilai terendah biaya perolehan
atau nilai bersih yang dapat direalisasi. Apabila nilai bersih yang dapat
direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan maka selisihnya diakui
sebagai kerugian.
f. Penyajian, penjual menyajikan modal usaha salam yang diterima
sebagai kewajiban salam.
g. Pengungkapan.
1) Piutang salam kepada produsen (dalam salam paralel) yang
memiliki hubungan istimewa.
2) Jenis dan kuantitas barang pesanan.
3) Pengungkapan lain sesuai dengan PSAK No 101 tentang Penyajian
Laporan Keuangan Syariah.

C. Pengertian Istishna’

Transaksi istishna’ ini hukumnya boleh(jawaz) dan telah dilakukan oleh


masyarakat muslim sejak awal masa tanpa ada pihak (ulama) yang
mengingkarinya. Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahi’) dan penjual
(pembuat, shani’)Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual
beli cicilan pula seperti transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan
jual beli murabahah di mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya di
bayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang diserahkan di belakang,
walaupun uangnya sama-sama di bayar secara cicilan.

Dengan demikian, metode pembayaran pada jual beli murabahah


muajjal sama pesis dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna’, yakni
sama-sama dengan sistem angsuran(installment). Satu-satunya hal yang
membedakan antara keduanya adalah waktu penyerahan barangnya. Dalam
murabahah muajjal, barang di serahkan di muka, sedangkan dalam istishna’
barang di serahkan di belakang, yakni pada akhir periode pembiayaan. Hal ini
terjadi, karena biasanya barangnya belum di buat/belum wujud. Seperti halnya
praktik salaam, secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna’ dalam perbankan
syariah cenderung dilakukan dalam format istishna’ paralel. Hal ini dapat di
pahami karena pertama, kegiatan istishna’ oleh bank syariah merupakan akibat
dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua bank syariah
bukanlah produsen dari barang dimaksud. Secara umum tahapan praktik
istishna’(dan istishna’ paralel) di perbankan syariah adalah sama dengan
tahapan praktik salam. Perbedaannya terletak pada car pembayaran yang tidak
di lakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap (angsuran).

Dari hasil telaahan atas Standar Operasi Prosedur produk istisna’, terdapat
beberapa hal yang dapat di cermati lebih jauh, yaitu :

1. Secara umum pemahaman bank syariah terhadap akad istishna’ adalah


berkaitan dengan pembelian suatu benda yang memiliki nilai besar dan di
produksi secara bertahap, misalnya, bangunan, pesawat terbang, dan
sebagainya.

2. Sama halnya dengan praktik salam, praktik akad istishna’ di bank syariah
hampir selalu dilakukan dalam format istishna’ paralel. Dengan demikian
praktik istishna’ di perbankan syariah lebih terorientasi pada upaya
pencarian marjin antara harga akad I dan akad II.

3. Sama halnya dengan praktik salam, praktik istishna’ di industri perbankan


syariah lebih mencerminkan kegiatan utang piutang (penyediaan dana) dari
pada kegiatan jual beli. Implikasinya adalah pengakuan piutang istishna’
lebih mencerminkan piutang uang (sebagai akibat kegiatan penyediaan
dana) dari pada piutang barang (sebagai akibat kegiatan penyediaan dana)
dari pada piutang barang (sebagai akibat kegiatan jual beli).

D. Rukun dan Syarat Istishna’

Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa
hal, yaitu :

1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan


memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi
barang pesanan.

2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan
harga (tsaman), dan

3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.[3]

Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i istishna’ juga mengharuskan


tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di
uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.

1. Modal transaksi ba’i istishna’

a. Modal harus di ketahui

b. Penerimaan pembayaran salam

2. Al-muslam fiihi (barang)

a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang

b. Harus bisa di identifikasi secara jelas

c. Penyerahan barang harus di lakukan di kemudian hari

d. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda


pada suatu waktu kemudian, tetapi madzhab syafi’i

e. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk


penyerahan barang

f. Tempat penyerahanpenggantian muslam fiihi dengan barang lain


E. Dasar Hukum Istisna’

Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di atas
petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.

1. Al-Quran

‫َوَأ َحاَّل للَّه ُْالبَ ْي َع َو َح َّر َمالرِّبا‬

“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al


Baqarah: 275”

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum
asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan
dalam dalil yang kuat dan shahih.

2. As-Sunnah

.‫ىال َع َج ِمفَقِيلَلَهُِإنَّ ْال َع َج َمالَيَ ْقبَلُونَِإالَّ ِكتَابًا َعلَ ْي ِهخَاتِ ٌم‬


ْ َ‫َع ْنَأن ٍَسرضياللهعنهَأنَّنَبِىَّاللَّ ِهص َكانََأ َرا َدَأ ْنيَ ْكتُبَِإل‬

ِ َ‫ َكَأنِّىَأ ْنظُ ُرِإلَىبَي‬:‫قَا َل‬.‫ض ٍة‬


‫ رواهمسلم‬.‫اض ِهفِىيَ ِد ِه‬ َّ ِ‫فَاصْ طَنَ َع َخاتَ ًما ِم ْنف‬

Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak
sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar
ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-
akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau."
(HR. Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi buktinya tabah wa akad istishna' adalah akad
yang dibolehkan.

3. Al-Ijma'

Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-
facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna'
adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa
ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.[5]

· Hakikat Akad Istishna’

Menurut Madzhab Hanafi Bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang


karena bertentangan dengan Bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada
argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak
dimiki penjual. Meskipun demikian, Madzhab Hanafi menyetujui kontrak
Istishna, dengan alasan menganggap baik dan perlu untuk kepentingan
umat terhadapnya.[6]

Para ahli fiqih malikiah, Syi’ah dan Hanbali mengqiaskan Bai’ al-istishna’
dengan Bai’ As-salam karena dalam keduanya barang yang dipesan belum
berada ditangan penjual manakala kontrak ditandatangani.[7]

F. Ruang Lingkup Istisna’

Pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi


syariah yang melakukan transaksi istishna ' baik sebagai penjual maupun
pembeli.

Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:

1. Perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan


perundang-undangan yang berlaku.

2. Lembaga keuangan syariah non bank seperti asuransi, lembaga


pembiayaan, dan dana pensiun; dan

3. Lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang-


undangan yang berlaku untuk menjalankan transaksi istishna’.

Selanjutnya dalam konteks pengaturan dalam Pernyataan ini istilah


entitas akan digunakan dalam pengertian meliputi lembaga keuangan syariah
dan koperasi syariah.

Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi


syariah (sukuk) yang menggunakan akad istishna'.

G. Perbedaan Istishna’ dan Salam

Istishna’ mirip dengan salam, namun ada beberapa perbedaan di antara


keduanya, antara lain :

a. Objek istisna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek


salam bisa untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu
maupun tidak diproduksi lebih dahulu.

b. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh dimuka, sedangkan harga
dalam akad istishna’ tidak harus dibayar penuh dimuka melainkan dapat
juga dicicil atau dibayar dibelakang.

c. Akad salam efektif tidak dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai


memeproduksi.
d. Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian, namun akad istishna’ tidak
merupakan keharusan.

Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istisna’,


pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa
jika perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima
barang dan membayar harganya. Namun demikian, harga dalam istisna’ dapat
diartikan dengan waktu penyerahan. Jadi, boleh disepakati bahwa apabila
terjadi keterlambatan penyerahan harga dapat dipotong sejumlah tertentu per
hati keterlambatan.
H. Pengertian Ijarah

a. Makna Secara bahasa


Menurut sayyid sabiq dalam fikih sunah, al ijarah berasal dari
kata al ajru yang berarti al ‘iwadhu (ganti/kompensasi).  Al-ijarah  berasal
dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (ganti).
b. Makna Secara Istilah
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.09/DSN/MUI/IV/2000,  Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna
(manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
 barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada
perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang
menyewakan kepada penyewa.
Dalam hal ini pengertian secara istilah , al-ijarah adalah suatu
jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan pengganti.  Al- ijarah
adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. (Santoso & Anik, 2017)
Ijarah dapat di definisikan sebagai akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan
pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas suatu barang atau jasa (mempekerjakan seseorang)
dengan jalan penggantian (membayar sewa atau upah sejumlah tertentu).
Dari pengertian diatas, ijarah sejenis dengan akad jual beli
namun yang dipindahkan  bukan hak kepemilikanya tapi hak guna atau
manfaat, manfaat dari suatu aset atau dari jasa/pekerjaan. Aset yang
disewakan (objek ijarah) dapat berupa rumah, mobil, peralatan dan lain
sebagainya, karena yang ditransfer adalah manfaat dari suatu aset,
sehingga segala sesuatu yang dapat ditransfer manfaatnya dapat menjadi
objek ijarah. Dengan demikian barang yang dapat habis dikonsumsi
tidak dapat menjadi objek ijarah, karena mengambil
manfaatnya berarti memilikinya. Bentuk lain dari objek ijarah adalah
manfaat dari suatu jasa yang berasal dari hasil karya atau dari
pekerjaan seseorang. Contoh : nona sanas menggunakan jasa penjahit
isma, atau isma mempekerjakan elin, hubungan pekerja dan pemberi kerja
(upah- mengupah) termasuk dlam akad ijarah, dan pengguna jasa harus
membayar upah.
Akad ijarah mewajibkan pemberi sewa untuk menyediakan aset
yang digunakan atau dapat diambil manfaat darinya selama periode akad
dan memberikan hak kepada pemberi sewa untuk menerima sewa upah
(ujrah). Misalnya menyewakan LCD, maka LCD tersebut harus dapat
digunakan, bukan LCD yang rusak tidak dapat diambil manfaat darinya.
Apabila setelah akad terdapat kerusakan sebelum digunakan dan
sedikitpun waktu belum berlalu maka akad dapat dikatakan batal atau
pemberi sewa harus mengganti dengan aset sejenis.
Apabila terjadi kerusakan yang mengakibatkan penurunan nilai
kegunaan dari aset yang disewakan dan bukan disebabkan kelalaian
penyewa, pemberi sewa berkewajiban menanggung biaya
pemeliharaanya selama periode akad atau menggantinya dengan aset
sejenis. Pada hakikatnya pemberi sewa seharusnya berkewajiban untuk
menyiapkan aset yang disewakan dalam kondisi yang dapat diambil
manfaat darinya.
Penyewa merupakan pihak yang menggunakan/mengambil manfaat atas
aset sehingga
 penyewa berkewajiban membayar sewa dan menggunakan aset sesuai
dengan kesepakatan (jika ada), tidak bertentangan dengan syari’ah dan
merawat atau menjaga keutuhan aset tersebut. Apabila kerusakan aset
terjadi karena kelalaian penyewa maka ia berkewajiban menggantinya
atau memperbaikinya. Selama masa perbaikan, masa sewa tidak
bertambah. Pemberi sewa dapat meminta penyewa untuk menyerahkan
jaminan atas ijarah untuk menghindari resiko kerugian (ED PSAK 107).
Dalam kontrak, tidak boleh dipersyaratkan biaya pemeliharaan
akan ditanggung penyewa karena hal ini dapat menimbulkan
ketidakpastian ( gharar). Hanya biaya pemeliharaan rutin dan tidak
material yang dapat ditanggung penyewa, seperti ganti busi pada mobil
yang disewa.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, penyewa dan pengguna jasa
atau pemberi kerja berkewajiban membayarkan sejumlah tertentu berupa
sewa atau upah sesuai dengan akad. Begitu harga itu disepakati maka
sepanjang masa akad tidak boleh berubah, misalnya: A menyewakan
rumahnya pada B dengan harga sewa Rp. 20 juta untuk waktu 2 tahun.
Dalam akad ijarah, rumah tetap milik A, B mempunyai hak untuk
menggunakan rumah tersebut selama 2 tahun, dan B berkewajiban
membayar Rp. 20 juta. Sepanjang masa akad yaitu 2 thn, harga sewa tidak
boleh berubah yaitu tetap Rp. 20 juta. Namun apabila kontrak
diperpanjang, maka atas kontrak yang baru ini boleh saja harga berubah
bisa sama, lebih tinggi atau lebih rendah.
Pengalihan kontrak atau aset yang disewa kemudian disewakan
kembali pada pihak lain, boleh dilakukan baik dengan harga sama lebih
tinggi atau rendah asalkan pemberi sewa mengizinkanya. Namun bila
disewakan kembali pada pemberi sewa, maka syaratnya adalah kedua
akad (yaitu dari pemberi sewa ke penyewa pertama atau dari penyewa
pertama kepenyewa berikutnya yang tidak lain pemberi sewa sendiri)
harus tunai. Hal ini untuk menghindari transaksi sejenis bai al innah yang
dilarang secara syariah (lihat bab 5).
Pembayaran sewa dapat dibayar dimuka, ditangguhkan ataupun
diangsur sesuai kesepakatan antara pemberi sewa dan penyewa. Apabila
yang disepakati adalah pembayaran tangguh dan terjadi penundaan
pembayaran akibat penyewa lalai (bukan karena tidak mapu secara
finansia), maka dapat dikenakan denda, yang akan dikenakan sebagai
dana kebajikan.
Apabila atas ijarah dibayarkan uang muka, dan penyewa
membatalkan akad, maka uang muka tersebut menjadi hak pemberi sewa.
Lebih disarankan agar hak pemberi sewa adalah sebesar opportunity cost
yang ditimbulkanya, yaitu uang yang bisa didapatkanya dengan
menyewakan pada pihak lain dapat sehingga selisih antara uang dimuka
dan opportunity costnya dikembalikan pada penyewa.
Akad ijarah memiliki resiko beruba gagal bayar dari penyewa, aset
ijarah rusak, atau penyewa menghentikan akad sehingga pemberi sewa
harus mencari penyewa baru. Akad ijarah hendaknya memuat aturan
tentang jangka waktu akad, besarnya sewa atau yang disewakan dan hal
lainya yang dianggap penting. Begitu kontrak disetujui maka ia bersifat
mengikat kedua belah pihak dan apabila ada perubahan pada isi kontrak
harus disepakati keduanya. Setelah akad ditandatangani, pemberi sewa
tidak dapat menyewakan aset yang telah disewakanya pada pihak lain
untuk periode akad yang sama.

Perjanjian mulai berlaku efektif ketika penyewa dapat


menggunakan aset yang disewanya bukan saat penandatanganan kontrak,
sebaliknya pada saat itu pemberi sewa berhak menerima pembayaran
sewa atau upah.

2.2 Jenis akad Ijarah


Berdasarkan objek yang disewakan, ijarah dapat dibagi 2, yaitu ;
1. Manfaat atas aset yang tidak bergerak seperti rumah atau aset
bergerak seperti mobil, motor, pakaian dan sebagainya.
2. Manfaat atas jasa berasal dari hasil karya atau dari pekerjaan seseorang.
Berdasarkan PSAK 107, ijarah dapat dibagi menjadi 3, namun yang telah
dikenal secara luas adalah dua jenis ijarah yang disebutkan pertama,
yaitu ;
1. Ijarah adalah sewa menyewa objek ijarah tanpa perpindahan resiko
dan manfaat yang terkait kepemilikan aset terkait, dengan atau tanpa
wa’ad untuk memindahkan kepemilikan dari pemilik (mu’jir)
kepada penyewa (musta’jir) pada saat tertentu.
2. Ijarah muttahiya Bin Tamlik merupakan akad ijarah dengan wa’ad
perpindahan
Perpindahan kepemilikan suatu aset yang disewakan dari
pemilik kepada penyewa, dalam ijarah muntahiya bit tamlik dapat
dilakukan jika seluruh pembayaran sewa atas objek ijarah yang
dialihkan telah diselesaikan dan objek ijarah telah diserahkan
kembali kepada pemberi sewa. Kemudian untuk perpindahan
kepemilikan akan dibuat akad baru, terpisah dari akad ijarah
sebelumnya
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Salam berasal dari kata As salaf yang artinya pendahuluan karena pemesan
barang menyerahkan uangnya di muka. Salam dapat didefinisikan sebagai
transaksi atau akad jual beli di mana barang yang diperjual belikan belum ada
ketika transaksi dilakukan, dan pembeli melakukan pembayaran di muka
sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari. Untuk
menghindari resiko yang merugikan, pembeli boleh meminta jaminan dari
penjual. 2. Salam paralel, artinya melaksanakan 2 transaksi salam yaitu antara
pemesan pembeli dan penjual serta antara penjual dengan pemasok (supplier) atau
pihak ketiga lainnya. Hal ini terjadi ketika penjual tidak memiliki barang pesanan
dan memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan tersebut.
Barang yang menjadi objek kontrak. Barang yang halal dan harus mudah ditemui
di pasar (fungible).Umumnya salam digunakan dalam kontrak jual beli produk
pertanian. Sesuai dengan kehendak pembeli dan penjual yang membuat kontrak
forward. Barang yang ditransaksikan distandarisasi. Umumnya future
memperjualbelikan komoditas dan aset keuangan. Akad antara penjual dan
pemasok terpisah dari akad antara pembeli dan penjual. - Waktu penyerahan
barang harus jelas, tidak harus tanggal tertentu boleh juga dalam kurun waktu
tertentu. a. Pengakuan piutang salam, piutang salam diakui pada saat modal usaha
salam dibayarkan atau dialihkan kepada penjual. Denda hanya boleh dikenakan
kepada penjual yang mampu menyelesaikan kewajibannya tetapi sengaja tidak
melakukannya lali. Hal ini tidak berlaku bagi penjual yang tidak mampu
menunaikan kewajibannya karena force majeur. 3) Persediaan yang diperoleh
melalui transaksi salam diukur sebesar nilai terendah biaya perolehan atau nilai
bersih yang dapat direalisasi. a. Pengakuan kewajiaban salam, kewajiban salam
diakui pada saat penjual menerima modal usaha salam. e. Pada akhir periode
pelaporan keuangan, persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur
sebesar nilai terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi.
Apabila nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan maka
selisihnya diakui sebagai kerugian. Transaksi istishna’ ini hukumnya boleh(jawaz)
dan telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak awal masa tanpa ada pihak
(ulama) yang mengingkarinya. Satu-satunya hal yang membedakan antara
keduanya adalah waktu penyerahan barangnya. Secara umum tahapan praktik
istishna’(dan istishna’ paralel) di perbankan syariah adalah sama dengan tahapan
praktik salam. 1. Secara umum pemahaman bank syariah terhadap akad istishna’
adalah berkaitan dengan pembelian suatu benda yang memiliki nilai besar dan di
produksi secara bertahap, misalnya, bangunan, pesawat terbang, dan sebagainya.
2. Sama halnya dengan praktik salam, praktik akad istishna’ di bank syariah
hampir selalu dilakukan dalam format istishna’ paralel. Sama halnya dengan
praktik salam, praktik istishna’ di industri perbankan syariah lebih mencerminkan
kegiatan utang piutang (penyediaan dana) dari pada kegiatan jual beli.
Implikasinya adalah pengakuan piutang istishna’ lebih mencerminkan piutang
uang (sebagai akibat kegiatan penyediaan dana) dari pada piutang barang (sebagai
akibat kegiatan penyediaan dana) dari pada piutang barang (sebagai akibat
kegiatan jual beli). 1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang
membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang
memproduksi barang pesanan. 2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’)
dengan spesifikasinya dan harga (tsaman), dan. 3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.
[3]. Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i istishna’ juga mengharuskan
tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di
uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang. 1. Modal
transaksi ba’i istishna’. a. Modal harus di ketahui. b. Penerimaan pembayaran
salam. 2. Al-muslam fiihi (barang). a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai
utang. b. Harus bisa di identifikasi secara jelas. c. Penyerahan barang harus di
lakukan di kemudian hari. d. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang
harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi madzhab syafi’i. e. Boleh
menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang. f.
Tempat penyerahanpenggantian muslam fiihi dengan barang lain. 1. “Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. 2. As-Sunnah. Dari Anas RA
bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan
kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak
distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan
perak. 3. Al-Ijma'. Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam
secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna'
adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada
seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak
ada alasan untuk melarangnya.[5]. Menurut Madzhab Hanafi Bai’ al-istishna’
termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan Bai’ secara qiyas. 1.
Perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. 2. Lembaga keuangan syariah non bank seperti asuransi,
lembaga pembiayaan, dan dana pensiun; dan. 3. Lembaga keuangan lain yang
diizinkan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku untuk menjalankan
transaksi istishna’. a. Objek istisna’ selalu barang yang harus diproduksi,
sedangkan objek salam bisa untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih
dahulu maupun tidak diproduksi lebih dahulu. b. Harga dalam akad salam harus
dibayar penuh dimuka, sedangkan harga dalam akad istishna’ tidak harus dibayar
penuh dimuka melainkan dapat juga dicicil atau dibayar dibelakang. c. Akad
salam efektif tidak dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memeproduksi. d.
Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian, namun akad istishna’ tidak
merupakan keharusan. Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam
akad istisna’, pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang
berarti bahwa jika perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat
untuk menerima barang dan membayar harganya. Namun demikian, harga dalam
istisna’ dapat diartikan dengan waktu penyerahan. Menurut sayyid sabiq dalam
fikih sunah, al ijarah berasal dari kata al ajru yang berarti al ‘iwadhu
(ganti/kompensasi). Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu
(ganti). Dalam hal ini pengertian secara istilah , al-ijarah adalah suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan pengganti. Dari pengertian diatas, ijarah
sejenis dengan akad jual beli namun yang dipindahkan bukan hak kepemilikanya
tapi hak guna atau manfaat, manfaat dari suatu aset atau dari jasa/pekerjaan.
Dengan demikian barang yang dapat habis dikonsumsi tidak dapat menjadi objek
ijarah, karena mengambil manfaatnya berarti memilikinya. Akad ijarah
mewajibkan pemberi sewa untuk menyediakan aset yang digunakan atau dapat
diambil manfaat darinya selama periode akad dan memberikan hak kepada
pemberi sewa untuk menerima sewa upah (ujrah). Misalnya menyewakan LCD,
maka LCD tersebut harus dapat digunakan, bukan LCD yang rusak tidak dapat
diambil manfaat darinya. Apabila terjadi kerusakan yang mengakibatkan
penurunan nilai kegunaan dari aset yang disewakan dan bukan disebabkan
kelalaian penyewa, pemberi sewa berkewajiban menanggung biaya
pemeliharaanya selama periode akad atau menggantinya dengan aset sejenis. Pada
hakikatnya pemberi sewa seharusnya berkewajiban untuk menyiapkan aset yang
disewakan dalam kondisi yang dapat diambil manfaat darinya. penyewa
berkewajiban membayar sewa dan menggunakan aset sesuai dengan kesepakatan
(jika ada), tidak bertentangan dengan syari’ah dan merawat atau menjaga
keutuhan aset tersebut. Apabila kerusakan aset terjadi karena kelalaian penyewa
maka ia berkewajiban menggantinya atau memperbaikinya. Dalam kontrak, tidak
boleh dipersyaratkan biaya pemeliharaan akan ditanggung penyewa karena hal ini
dapat menimbulkan ketidakpastian ( gharar). Hanya biaya pemeliharaan rutin dan
tidak material yang dapat ditanggung penyewa, seperti ganti busi pada mobil yang
disewa. Begitu harga itu disepakati maka sepanjang masa akad tidak boleh
berubah, misalnya: A menyewakan rumahnya pada B dengan harga sewa Rp.
Sepanjang masa akad yaitu 2 thn, harga sewa tidak boleh berubah yaitu tetap Rp.
Pengalihan kontrak atau aset yang disewa kemudian disewakan kembali pada
pihak lain, boleh dilakukan baik dengan harga sama lebih tinggi atau rendah
asalkan pemberi sewa mengizinkanya. Hal ini untuk menghindari transaksi sejenis
bai al innah yang dilarang secara syariah (lihat bab 5). Pembayaran sewa dapat
dibayar dimuka, ditangguhkan ataupun diangsur sesuai kesepakatan antara
pemberi sewa dan penyewa. Apabila atas ijarah dibayarkan uang muka, dan
penyewa membatalkan akad, maka uang muka tersebut menjadi hak pemberi
sewa. Akad ijarah hendaknya memuat aturan tentang jangka waktu akad, besarnya
sewa atau yang disewakan dan hal lainya yang dianggap penting. Setelah akad
ditandatangani, pemberi sewa tidak dapat menyewakan aset yang telah
disewakanya pada pihak lain untuk periode akad yang sama. Perjanjian mulai
berlaku efektif ketika penyewa dapat menggunakan aset yang disewanya bukan
saat penandatanganan kontrak, sebaliknya pada saat itu pemberi sewa berhak
menerima pembayaran sewa atau upah. Perpindahan kepemilikan suatu aset yang
disewakan dari pemilik kepada penyewa, dalam ijarah muntahiya bit tamlik dapat
dilakukan jika seluruh pembayaran sewa atas objek ijarah yang dialihkan telah
diselesaikan dan objek ijarah telah diserahkan kembali kepada pemberi sewa.
Kemudian untuk perpindahan kepemilikan akan dibuat akad baru, terpisah dari
akad ijarah sebelumnya .
DAFTAR PUSTAKA

Sri Nurhayati&Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai