PENDAHULUAN
A. Pengertian Salam
Bai’ as-salam atau disingkat salam disebut juga
dengan salaf secara bahasa berarti pesanan atau jual beli dengan
melakukan pesanan terlebih dahulu.[1] Salam ialah pembeli
memesan barang dengan memberitahukan sifat-sifat serta
kualitasnya kepadaa penjual dan setelah ada kesepakatan.
Dengan kata lain , pembelian barang dengan membayar uang
lebih dahulu dan barang yang beli diserahkan kemudian (Dow
Payment) artinya penyetoran harga baik lunas maupun sebagian
harga pembelian sebagai bukti kepercayaan, sehubungan dengan
transaksi yang telah dilakukan.
Misalnya kata penjual: “saya jual kepadamu saatu box (box
mobil) dengan harga Rp. 1.500.000,. setelah transaksi disetujui,
pembeli membayarnya waktu itu juga walaupun boxnya belum
ada. Jadi salam ini jual beli utang dari pihak penjual dengan
kontan dari pihak pembeli, karena uangnya sudah dibayar
sewaktu akad atau dengan perkataan lain: salam adalah jual beli
berupa pesanan (in front payment sale) juga disebut dow
payment, artinya penyetoran sebagian harga pemebelian sebagai
bukti kepercayaan. Namun hal ini perlu bukti pembayaran yang
sah berupa kwitansi atau catatan yang ditandatanagani penerima
uang.[2]
B. Landasan Syari’ah
Landasan syari’ah transaksi ba’i as-salam terdapat dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a. Al-Qur’an
ُيَأ َ يُّهَا الَّ ِذ يْن اَ َمنُوْ ا إِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن اِلَى اَ َج ٍل ُّم َس َّمى فَا ْكتُبُوْ ه...........
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya...(QS. Al-Baqarah:282).
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan
keterkaitan ayar tersebut dengan transaksi ba’i as-salam. Hali ini
tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf
(salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalakan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.”Ia lalu
membaca ayat tersebut diatas.
b. Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rassulullaah ssaw.
Datang ke madinah dimana penduduknya melakukan salaf
(salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan
tiga tahun. Beliau berkata:
م اِلَى اَ َج ٍل َم ْعلُوْ ٍمcٍ َْم ْن اَ ْسلَفَ فِ ْي َشي ٍْئ فَفِ ْي َك ْي ٍل َم ْعلُوْ ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُو
“Barang ssiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”[3]
C. Rukun dan Syarat Salam
Pelaksanaan ba’i as-salam harus memenuhi jumlah rukun
berikut ini:
1. Muslam (pembeli)
2. Muslam ilaih ( penjual)
3. Modal atau uang
4. Muslam fiihi(barang)
5. Shigat (ucapan).
Disamping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i as-salam
juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat-syarat pada
masing-masing rukun. Dibawah ini akan diuraikan dua diantara
syarat-syarat terpenting, yaitu modal dan barang.
a. Modal transaksi ba’i as-salam
1. Modal harus diketahui
Barang yang akan di suplai harus diketahui jenis, kualitas dan
jumlahnya.
2. Penerimaan pembayaran salam
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan
di tempat kontrak.
b. Al-Muslam Fiihi (Barang)
Diantara syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam al-
muslam fiihi sebagai berikut:
1. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
2. Harus bisa diidentifikasikan secara jelas untuk mengurangi
kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang
tersebut.
3. Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari
4. Kebanyakan ulama masyarakat penyerahan barang harus ditunda
suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan
penyerahan segera.
5. Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang
untuk penyerahan barang.
6. Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus
menunjuk tempat yang disepakati dimana barang harus
diserahkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Salam ialah pembeli memesan barang dengan memberitahukan
sifat-sifat serta kualitasnya kepadaa penjual dan setelah ada
kesepakatan. Dengan kata lain , pembelian barang dengan
membayar uang lebih dahulu dan barang yang beli diserahkan
kemudian.
2. Landasan syari’ah transaksi ba’i as-salam terdapat dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadits.
3. Pelaksanaan ba’i as-salam harus memenuhi jumlah rukun berikut
ini:
a. Muslam (pembeli)
b. Muslam ilaih ( penjual)
c. Modal atau uang
d. Muslam fiihi(barang)
e. Shigat (ucapan).
Syarat-Syarat Salam :
1. Modal transaksi ba’i as-salam
a. Modal harus diketahui.
Barang yang akan di suplai harus diketahui jenis, kualitas dan
jumlahnya.
b. Penerimaan pembayaran salam.
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan
di tempat kontrak.
2. Al-Muslam Fiihi (Barang)
Diantara syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam al-
muslam fiihi sebagai berikut:
a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
b. Harus bisa diidentifikasikan secara jelas untuk mengurangi
kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang
tersebut.
c. Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
d. Kebanyakan ulama masyarakat penyerahan barang harus ditunda
suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan
penyerahan segera.
e. Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang
untuk penyerahan barang.
f. Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus
menunjuk tempat yang disepakati dimana barang harus
diserahkan.
4. Ada dua jenis dari akad salam :
a. Salam, dapat didefinisikan sebagai transaksi atau akad jual beli
dimana barang yang diperjualbelikan belum ada ketika transaksi
dilakukan, dan pembeli melakukan pembayaran dimuka
sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.
b. Salam paralel, artinya melaksanakan dua transaksi salam yaitu
antara pemesanan pembeli dan penjual serta antara penjual
dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya
(melaksanakan transaksi Bai’ As-Salam antara bank dan nasabah
dan antara bank dan suplier atau pihak ketiga lainnya secara
simultan).
5. Bai’ As-Salam dapat diterapkan atau digunakan pada
pembiayaan bagi barang industri dengan jangka waktu relatif
pendek dan bank tidak ada niat untuk menjadikan barang-barang
tersebut sebagai inventory (simpanan), yakni persediaan atau
barang jadi suatu perusahaan. Oleh karena itu, dilakukanlah akad
Bai’ As-Salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog,
pedagang pasar induk atau grosir. Inilah yang dalam perbankan
Islam dikenal sebagai Salam Paralel.
6. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa sama-sama
mendapatkankeuntungan dan manfaat dengan menggunakan akad
salam. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
a) Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia
butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
b) Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang
lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia
membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang
tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
a. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya
dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
b. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan
pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan
penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan kami
sampaikan. Kami yakin dalam penulisan maupun
penyampaiannya masih terdapat kesalahan serta kekurangan,
untuk itu kami mohon ma’af yang sebesar-besarnya. Dan saran
yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan kami selanjutnya. Dan semoga makalah ini
bermanfa’at bagi pembaca semua.
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta, 2001.
[4]Ibid., hlm. 110.
SHARE
Definisi Transaksi Salam
Lantas apa pengertian salam dalam transaksi syariah?
Sponsored Ad
Penjelasan Skema :
PENDAHULUAN
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih
muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan
bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga
jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam
pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah,
as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan
dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta
kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan
melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di
depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual
beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna’. Jual beli
dengan salam dan istishna’ ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan
keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna’ wajar jika masih
banyak diminati.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan masalah dalam makalah ini terarah, maka kami merumuskan
masalah-masalah tersebut dengan rincian sebagai berikut:
1. Apa pengertian jual beli as-salam dan al-istishna’ serta dasar hukumnya?
2. Apa rukun dan syarat dari as-salam dan al-istishna’?
3. Bagaimana perbedaan as-salam dan al-istishna’?
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
A. As-Salam
atau manfaat;
ii. Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance); dan
pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton
dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya
bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini
petani memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum
terjadinya akad salam tersebut.
b) Ketentuan Barang:
i. Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
kesepakatan;
iv. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya
yang disepakati;
ii. Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual
dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak
boleh menuntut tambahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu penyerahan
atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli
memiliki dua pilihan:
1. Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2. Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah
pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya
diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian
sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka
tertutuplah peranan pengadilan agama.
Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat
berikut:
a. Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk
beberapa penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual
meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam
Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal
dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapibelum menyerahkan barang
yang dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan
pembeli yang ada di tangan penjual.
b. Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c. Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.[20]
4. Contoh kasus
Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank
sebesar Rp 5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya
berjumlah 4 ton dan beras dijual dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan
menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton.
Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp
2.400,00 per kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga
bank mendapat keungtungan 20%.
5. Salam Paralel
Salam paralel yaitu melaksanakan dua transaksi bai’ as-Salam antara bank
dengan nasabah, dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga
lainnya secara simultan.
Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah
menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat
pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan akad salam yang
pertama.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika
perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal
demikian diduga akan menjurus kepada riba.
Ketentuan Umum
a. Pembatalan kontrak
Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang pembelian, menurut jumhur
ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan penuh
pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali
seluruh modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian
penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal.
b. Penverahan muslam fihi sebelum atau pada waktunva.
Muslam ilaih harus menyerahkan muslam fihi tepat pada waktunya dengan
kualitas dan kuantitas sesuai kesepakatan.Jika muslam ilaih menyerahkan muslam
fihi dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam harus menerimanya dengan syarat
bahwa muslam ilaih tidak meminta harga yang lebih tinggi sebagai ganti kualitas
yang lebih baik tersebut.
Jika muslam ilaih mengantar muslam fihi dengan kualitas lebih rendah,
pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya.Para ulama
berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih menyerahkanmuslam
fihi yang berbeda dari yang telah disepakati.
Muslam ilaih dapat menyerahkan muslam fihi lebih cepat dari yang telah
disepakati, dengan beberapa syarat:
a) Kualitas dan kuantitas muslam fihi telah disepakati.
b) Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih tinggi dari kesepakatan.
c) Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih rendah dari kesepakatan.
d) Jika semua atau sebagian muslam fihi tidak tersedia pada waktu
penyerahan, muslam mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan
meminta kembali uangnya. Kedua, menunggu sampaimuslam fihi tersedia.
B. AL-ISTISHNA’
1. Pengertian Al-Istishna’
b. Al-hadits
َل لَ هُ إِ َّن ب إِىَل الْ َع َج ِم فَِقي ِ
َ ُأ ََر َاد أَ ْن يَكْت َن نَىِب َّ اللَّه ص َك ا َن
َّ س رض ي اهلل عن ه أ ٍ َأَن َع ْن
أَنْظُ ُر إِىَل َ َق.ض ٍة َّ ِف اص طَنَ َع َخامَتً ا ِم ْن ِ مِت ِ
َك أَىِّن:ال ْ َ ف.ٌ َي ْقَبلُ و َن إِالَّ كتَابً ا َعلَْي ه َخ ا َالْ َع َج َم ال
رواه مسلم.اض ِه ىِف يَ ِد ِه ِ بي
ََ
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima
surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin
stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibolehkan.
Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara
umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada Bai’ al-
Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan”
Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.
Menurut Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang karena
bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada
argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual,
Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di miliki
penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas
dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.
a) Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai
kasus ijma’ atau konsensus umum.
b) Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma’ ulama.
c) Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak
orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka
cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk
mereka.
d) Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah
atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si
penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.
Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu
barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran
serta bahan material pembuatan barang tersebut.
PENUTUP
Simpulan
Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat
menarik kesimpulan:
1. Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, pembayaran
modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam
yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat
‘ijab qabul, dan alat tukar.
2. Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi
menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa
dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna’ mengikuti bai’
as-salam. Hanya saja pada bai’ al-istishna’ pembayaran tidak dilakukan secara
kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu penyerahan barang, tetapi
tergantung selesainya barang pada umumnya.
3. Perbedaan salam dan istishna’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam
dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak
secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.
DAFTAR PUSTAKA