Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah
dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan
suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan
pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian
itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan
keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-
untungan). Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa
jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia
butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.Sebagaimana ia juga
mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila
dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan
kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang
tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya penjual
mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-
cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan
demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan
uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban
apapun.Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi
permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara
transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang
ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini
merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari'at jual-beli
salam seusai larangan memakan riba.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat
beberapa rumusan masalah, antara lain :
1.      Apa pengertian salam ?
2.      Apa saja yang menjadi landasar dasar syariah dari salam ?
3.      Apa saja rukun dan syarat-syarat salam ?
4.      Apa saja jenis dari akad salam ?
5.      Bagaimana aplikasi salam dalam perbankan ?
6.      Apa keuntungan dan manfaat akad salam ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Salam
Bai’ as-salam atau disingkat salam disebut juga
dengan salaf secara bahasa berarti pesanan atau jual beli dengan
melakukan pesanan terlebih dahulu.[1] Salam ialah pembeli
memesan barang dengan memberitahukan sifat-sifat serta
kualitasnya  kepadaa penjual dan setelah ada kesepakatan.
Dengan kata lain , pembelian barang dengan membayar uang
lebih dahulu dan barang yang beli diserahkan kemudian (Dow
Payment) artinya penyetoran harga baik lunas maupun sebagian
harga pembelian sebagai bukti kepercayaan, sehubungan dengan
transaksi yang telah dilakukan.
Misalnya kata penjual: “saya jual kepadamu saatu box (box
mobil) dengan harga Rp. 1.500.000,. setelah transaksi disetujui,
pembeli membayarnya waktu itu juga walaupun boxnya belum
ada. Jadi salam ini jual beli utang dari pihak penjual dengan
kontan dari pihak pembeli, karena uangnya sudah dibayar
sewaktu akad atau dengan perkataan lain: salam adalah jual beli
berupa pesanan (in front payment sale) juga disebut dow
payment, artinya penyetoran sebagian harga pemebelian sebagai
bukti kepercayaan. Namun hal ini perlu bukti pembayaran yang
sah berupa kwitansi atau catatan yang ditandatanagani penerima
uang.[2]

B.            Landasan Syari’ah
Landasan syari’ah transaksi ba’i as-salam terdapat dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a.      Al-Qur’an
ُ‫يَأ َ يُّهَا الَّ ِذ يْن اَ َمنُوْ ا إِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن اِلَى اَ َج ٍل ُّم َس َّمى فَا ْكتُبُوْ ه‬...........
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu  bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya...(QS. Al-Baqarah:282).
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan
keterkaitan ayar tersebut dengan transaksi ba’i as-salam. Hali ini
tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf
(salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalakan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.”Ia lalu
membaca ayat tersebut diatas.
b.      Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rassulullaah ssaw.
Datang ke madinah dimana penduduknya melakukan salaf
(salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan
tiga tahun. Beliau berkata:
‫م اِلَى اَ َج ٍل َم ْعلُوْ ٍم‬cٍ ْ‫َم ْن اَ ْسلَفَ فِ ْي َشي ٍْئ فَفِ ْي َك ْي ٍل َم ْعلُوْ ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُو‬
“Barang ssiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”[3]
C.           Rukun dan Syarat Salam
Pelaksanaan ba’i as-salam harus memenuhi jumlah rukun
berikut ini:
1.      Muslam (pembeli)
2.      Muslam ilaih ( penjual)
3.      Modal atau uang
4.      Muslam fiihi(barang)
5.      Shigat (ucapan).
Disamping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i as-salam
juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat-syarat pada
masing-masing  rukun. Dibawah ini akan diuraikan dua diantara
syarat-syarat terpenting, yaitu modal dan barang.
a.         Modal transaksi ba’i as-salam
1.    Modal harus diketahui
Barang yang akan di suplai harus diketahui jenis, kualitas dan
jumlahnya.
2.     Penerimaan pembayaran salam
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan
di tempat kontrak.
b.         Al-Muslam Fiihi (Barang)
Diantara syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam al-
muslam fiihi sebagai berikut:
1.      Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
2.      Harus bisa diidentifikasikan secara jelas untuk mengurangi
kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang
tersebut.
3.      Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari
4.      Kebanyakan ulama masyarakat penyerahan barang harus ditunda
suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan
penyerahan segera.
5.      Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang
untuk penyerahan barang.
6.      Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus
menunjuk tempat yang disepakati dimana barang harus
diserahkan.

D.         Jenis Akad Salam


Ada dua jenis dari akad salam :
1.      Salam
Salam dapat didefinisikan sebagai transaksi atau akad jual
beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada ketika
transaksi dilakukan, dan pembeli melakukan pembayaran dimuka
sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.
2.      Salam paralel
Salam paralel artinya melaksanakan dua transaksi salam
yaitu antara pemesanan pembeli dan penjual serta antara penjual
dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya
(melaksanakan transaksi Bai’ As-Salam antara bank dan nasabah
dan antara bank dan suplier atau pihak ketiga lainnya secara
simultan).[4] Hal ini terjadi ketika penjual tidak memilikibarang
pesanan dan memesan kepada pihak lain untuk menyediakan
barang pesanan tersebut.
            Salam paralel dibolehkan asalkan akad salam kedua tidak
tergantung pada akad yang pertama yaitu akad antara penjual dan
pemasok tidak tergantung pada akad antar pembeli dan penjual,
jika saling tergantung atau menjadi syarat tidak diperbolehkan.
Beberapa ulama kontemporer tidak membolehkan transasksi
salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi semacam
itu dilakukan secara terus-menerus, karena dapat menjurus
kepada riba.

E.     Aplikasi Salam dalam Perbankan


Bai’ As-Salam dapat diterapkan atau digunakan pada
pembiayaan bagi barang industri dengan jangka waktu relatif
pendek dan bank tidak ada niat untuk menjadikan barang-barang
tersebut sebagai inventory (simpanan), yakni persediaan atau
barang jadi suatu perusahaan. Oleh karena itu, dilakukanlah akad
Bai’ As-Salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog,
pedagang pasar induk atau grosir. Inilah yang dalam perbankan
Islam dikenal sebagai Salam Paralel.
Salam Paralel yang diterapkan dalam industri, jelasnya
sebagai berikut :
Kalau Bai’ as-Salam diaplikasikan atau diterapkan pada
pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian
jadi) yang ukuran barang tersebut sudah diketahui umum, dengan
cara saat nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk
pembuatan pakaian jadi, bank mereferensikan penggunaan
produk tersebut. Hal ini berarti bank memesan pembuatan
pakaian jadi tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan
kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli
tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh
produsen garmen tersebut. Bila garmen tersebut telah selesai
diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut.
Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara
mengangsur maupun tunai.[5]
Secara umum, aplikasi perbankan Bai’ As-Salam dapat
digambarkan dalam skema berikut :
            Produsen ditunjuk oleh Bank

                                            4) Kirim Pesanan


 
            2) Pemesana
3) Kirim Dokumen           5) Bayar
            Barang
Nasabah                                                                              1)
Negosiasi Pesanan

            dan Bayar


Tunai                                                                             dengan
Kriteria

F.     Keuntungan dan Manfaat Akad Salam


Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena
punya hikmah dan manfaat yang besar, dimana kebutuhan
manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa dipisahkan dari
kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan
pembeli bisa sama-sama mendapatkankeuntungan dan manfaat
dengan menggunakan akad salam. Pembeli (biasanya)
mendapatkan keuntungan berupa:
1.      Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia
butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.      Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang
lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia
membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang
tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
a.       Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya
dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan
demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan
uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban
apapun.
b.      Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan
pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan
penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Dengan adanya Bai’ As-salam, tertolonglah pengusaha-
pengusaha, khususnya pengusaha yang lemah. Mereka tetap
berproduksi dan menjaga mutu barang hasil industrinya. Prinsip
tolong menolong yang sangat dianjurkan Islam dapat terwujud
dalam perdagangan dengan adanya salam ini.[6]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Salam ialah pembeli memesan barang dengan memberitahukan
sifat-sifat serta kualitasnya  kepadaa penjual dan setelah ada
kesepakatan. Dengan kata lain , pembelian barang dengan
membayar uang lebih dahulu dan barang yang beli diserahkan
kemudian.
2.      Landasan syari’ah transaksi ba’i as-salam terdapat dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadits.
3.      Pelaksanaan ba’i as-salam harus memenuhi jumlah rukun berikut
ini:
a.       Muslam (pembeli)
b.      Muslam ilaih ( penjual)
c.       Modal atau uang
d.      Muslam fiihi(barang)
e.       Shigat (ucapan).
Syarat-Syarat Salam :
1.      Modal transaksi ba’i as-salam
a.       Modal harus diketahui.
Barang yang akan di suplai harus diketahui jenis, kualitas dan
jumlahnya.
b.      Penerimaan pembayaran salam.
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan
di tempat kontrak.
2.      Al-Muslam Fiihi (Barang)
Diantara syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam al-
muslam fiihi sebagai berikut:
a.       Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
b.      Harus bisa diidentifikasikan secara jelas untuk mengurangi
kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang
tersebut.
c.       Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
d.      Kebanyakan ulama masyarakat penyerahan barang harus ditunda
suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan
penyerahan segera.
e.       Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang
untuk penyerahan barang.
f.       Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus
menunjuk tempat yang disepakati dimana barang harus
diserahkan.
4.      Ada dua jenis dari akad salam :
a.       Salam, dapat didefinisikan sebagai transaksi atau akad jual beli
dimana barang yang diperjualbelikan belum ada ketika transaksi
dilakukan, dan pembeli melakukan pembayaran dimuka
sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.
b.      Salam paralel, artinya melaksanakan dua transaksi salam yaitu
antara pemesanan pembeli dan penjual serta antara penjual
dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya
(melaksanakan transaksi Bai’ As-Salam antara bank dan nasabah
dan antara bank dan suplier atau pihak ketiga lainnya secara
simultan).
5.      Bai’ As-Salam dapat diterapkan atau digunakan pada
pembiayaan bagi barang industri dengan jangka waktu relatif
pendek dan bank tidak ada niat untuk menjadikan barang-barang
tersebut sebagai inventory (simpanan), yakni persediaan atau
barang jadi suatu perusahaan. Oleh karena itu, dilakukanlah akad
Bai’ As-Salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog,
pedagang pasar induk atau grosir. Inilah yang dalam perbankan
Islam dikenal sebagai Salam Paralel.
6.      Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa sama-sama
mendapatkankeuntungan dan manfaat dengan menggunakan akad
salam. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
a)      Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia
butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
b)      Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang
lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia
membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang
tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
a.       Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya
dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
b.      Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan
pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan
penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
B.     Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan kami
sampaikan. Kami yakin dalam penulisan maupun
penyampaiannya masih terdapat kesalahan serta kekurangan,
untuk itu kami mohon ma’af yang sebesar-besarnya. Dan saran
yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan kami selanjutnya. Dan semoga makalah ini
bermanfa’at bagi pembaca semua.
DAFTAR PUSTAKA

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di


Lembaga Keuangan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Moh. Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, Wicaksana,
Semarang, 2002.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, Gema Insani,

Jakarta, 2001.

[1] Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian

dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, Sinar Grafika,

Jakarta, 2012, hlm. 132.

[2]  Moh Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana,

Semarang 2002, hlm. 68-69.

[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori

ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001,hlm. 108.

[4]Ibid., hlm. 110.

[5]Moh. Rifai, Op. Cit., hlm. 72.

[6]Ibid., hlm. 72.

SHARE
Definisi Transaksi Salam
Lantas apa pengertian salam dalam transaksi syariah?

Salam adalah transaksi jual-beli barang secara pesanan (muslam fiih)


dimana penjual (muslam ilaihi) menyerahkan barang dagangannya di
kemudian hari sedangkan pembeli melakukan pembayaran pada saat
akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
Inti dari transaksi salam adalah penyerahan barang kemudian hari
dan pembayaran tunai dilakukan dimuka. Jadi harga sudah
ditetapkan diawal, walau penyerahan barang dikemudian hari.

Contoh, Tuan Sugiarso memesan beras pandanwangi type A


sebanyak 100 kg kepada tuan Candra dengan harga Rp1.500.000
(Rp15.000/kg) dibayar tunai. Penyerahan barang akan dilakukan
seminggu kemudian.

Hukum transaksi salam menurut syariat Islam adalah Boleh,


berdasarkan hadist nabi Muhammmad SAW:

Sponsored Ad

“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan


dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka
waktu yang diketahui” (HR. Bukhari, Sahih alBukhari [Beirut: Dar al-
Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
Yang membedakan salam dengan transaksi gijon atau ijon adalah
pada transaksi salam ketentuan terkait spesifikasi, harga, dan waktu
penyerahan harus sudah ditentukan diawal transaksi, sedang pada
transaksi gijon tidak ditentukan sehingga mengandung unsur gharar.
Ketentuan-ketentuan dalam transaksi salam yang telah disepkati
mengikat penjual dan pembeli.

Praktik Salam Pada Lembaga


Keuangan Syariah
Lantas bagaimana skema salam pada lembaga keuangan syariah
(LKS)?

Karena LKS bukanlah perusahaan dagang yang menyediakan barang,


maka biasanya untuk memenuhi barang pesanan dengan
sistem salam, LKS memesan kembali barang tersebut ke pihak lain
(pemasok/suplier) dengan akad salam. Jadi, LKS berperan ganda
yaitu sebagai penjual dan juga sebagai pembeli. Skema seperti ini
dikenal dengan istilah salam paralel.
Berikut ini adalah ilustrasi skema transaksi salam pada LKS:

Penjelasan Skema :

1. Nasabah memesan barang kepada Bank Syariah dengan akad


salam
2. Nasabah menyerahkan dana ke bank syariah sebagai modal
salam
3. Untuk memenuhi kebutuhana pemesanan dari nasabah, bank
syariah memesan barang ke suplier
4. Bank syariah menyerahkan dana ke suplier sebagai modal
salam
5. Bank syariah menerima barang pesanan dari suplier
6. Bank syariah menyerahkan barang pesanan ke nasabah
Salam paralel boleh dilakukan dengan syarat :

 Akad salam pertama antara nasabah dan LKS harus terpisah


dengan akad salam kedua antara LKS dan suplier.
 Kedua akad tersebut tidak boleh saling bergantung (ta’alluq).
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih
muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan
bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga
jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam
pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah,
as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan
dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta
kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan
melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di
depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual
beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna’. Jual beli
dengan salam dan istishna’ ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan
keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna’ wajar jika masih
banyak diminati.

B.     Rumusan Masalah

Agar pembahasan masalah dalam makalah ini terarah, maka kami merumuskan
masalah-masalah tersebut dengan rincian sebagai berikut:
1.      Apa pengertian jual beli as-salam dan al-istishna’ serta dasar hukumnya?
2.      Apa rukun dan syarat dari as-salam  dan al-istishna’?
3.      Bagaimana perbedaan as-salam  dan al-istishna’?

C.    Tujuan Penulisan

Untuk mempermudah tercapainya arah serta sasaran yang diharapkan, maka


kami merumuskan beberapa tujuan yang hendak dicapai, daintaranya:
1.      Mengetahui pengertian jual beli as-salam dan al-istishna’ serta dasar hukumnya.
2.      Mengetahui rukun dan syarat as-salam dan al-istishna’.
3.      Mengetahui perbedaan as-salam  dan al-istishna’.
BAB II

PEMBAHASAN

A.    As-Salam

1.      Pengertian Bai’ As-Salam

Secara bahasa, salam (‫لم‬cc‫ )س‬adalah  al-i'tha' (‫اء‬cc‫ )اإلعط‬dan at-taslif  (‫ليف‬cc‫)التس‬.


Keduanya  bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-
khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam didefinisikan oleh para fuqaha
secara umumnya: (‫اجال‬cc‫دل يعطى ع‬cc‫ة بب‬cc‫وف في الذم‬cc‫ع موص‬cc‫)بي‬. Jual-beli  barang yang
disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran) yang
dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah
salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam
tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan
kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam
boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan
pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced
payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah,
kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya
dalam perjanjian.
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-
Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong
oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli.
Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang
butuh kepada uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya,
penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk
tersebut benar-benar tersedia.
2.      Dasar Hukum As-Salam

Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-


Hadist.
a.       Al-Quran
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-
Baqarah : 282)
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan
utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang
utang-piutang dalam jual beli salam.
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut
dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya
bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat
tersebut.
b.      Al-Hadist
‫ا ِر‬..‫لِفُونَ فِي اَلثِّ َم‬.‫س‬ ْ ُ‫ َو ُه ْم ي‬,َ‫ة‬.َ‫لم اَ ْل َم ِدين‬..‫ه وس‬..‫لى هللا علي‬..‫ قَ ِد َم اَلنَّبِ ُّي ص‬:‫ قَا َل‬-‫ض َي هَّللَا ُ َع ْن ُه َما‬ ِ ‫ر‬-َ ‫س‬ ٍ ‫َع ِن اِ ْب ِن َعبَّا‬
‫ق‬ٌ ..َ‫ ُمتَّف‬ ) ‫وم‬ ٍ ُ‫ إِلَى أَ َج ٍل َم ْعل‬,‫وم‬ ٍ ُ‫ َو َو ْز ٍن َم ْعل‬,‫وم‬ ٍ ُ‫سلِفْ فِي َك ْي ٍل َم ْعل‬ ْ ُ‫سلَفَ ِفي تَ ْم ٍر فَ ْلي‬ ْ َ‫ ( َمنْ أ‬:‫ فَقَا َل‬,‫سنَتَ ْي ِن‬ َّ ‫سنَةَ َوال‬ َّ ‫اَل‬
‫سلَفَ فِي ش َْي ٍء‬ ْ َ‫ َمنْ أ‬:‫ي‬ ِّ ‫ َولِ ْلبُ َخا ِر‬.‫َعلَ ْي ِه‬
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan
penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun.
Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia
meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq
".Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu
‫و ِل‬..‫س‬ ُ ‫يب اَ ْل َم َغانِ َم َم َع َر‬ ُ ‫ص‬ ِ ُ‫( ُكنَّا ن‬: ‫ قَااَل‬-‫ض َي هَّللَا ُ َع ْن ُه َما‬ ِ ‫ َر‬- ‫ َو َع ْب ِد هَّللَا ِ ْب ِن أَبِي أَ ْوفَى‬،‫َوعَنْ َع ْب ِد اَل َّر ْح َم ِن ْب ِن أَ ْبزَى‬
‫ َوفِي‬- ‫ب‬ ِ ‫ َّزبِي‬.‫ ِعي ِر َوال‬.‫الش‬ َّ ‫ ِة َو‬.َ‫لِفُ ُه ْم فِي اَ ْل ِح ْنط‬.‫س‬ َّ َ‫هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم َو َكانَ يَأْتِينَا أَ ْنبَاطٌ ِمنْ أَ ْنبَا ِط ا‬
ْ ُ‫ فَن‬,‫ ِام‬.‫لش‬
 ‫ي‬ُّ ‫ َر َواهُ اَ ْلبُ َخا ِر‬ )‫سأَلُ ُه ْم عَنْ َذلِك‬ ْ َ‫ َما ُكنَّا ن‬: ‫ أَ َكانَ لَ ُه ْم َز ْرعٌ? قَااَل‬:‫ قِي َل‬.‫س ّمًى‬ َ ‫ إِلَى أَ َج ٍل ُم‬- ‫ت‬ ِ ‫ َوال َّز ْي‬:‫ِر َوايَ ٍة‬
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu
berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri
pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu
riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah
mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan
hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).
Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad
pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus
saya kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal
iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar,
pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan
kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti
itu juga.(Bukhari).
c.       Ijma’
Mengutip dari perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli
ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat
kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia.
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan
sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.

3.      Rukun dan Syarat

a.       Mu’qidain: Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan


barang. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
         Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
         Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
b.       Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
         Jelas dan terukur
         Disetujui kedua pihak
         Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung
c.        Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
         Dinyatakan jelas jenisnya
         Jelas sifat-sifatnya
         Jelas ukurannya
         Jelas batas waktunya
         Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
d.       Shigat adalah ijab dan qabul.
         harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang
dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah
benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya
diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah
pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah harus
memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.
1)      Syarat-syarat In’iqad
a.       Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah
disebutkan.
b.      Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta.
Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam  merupakan transaksi
harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan
harta, sepertihalnya akad jual beli.
2)      Syarat Sah Salam
a.       Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati,
mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan
pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli
utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam
mengandung gharar.
b.      Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan
barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka
pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan
harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai
tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau  layak dijadikan tempat
penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak
sah.
3)      Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu sebagai
berikut:
a.       Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat
diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang lain dan
tentu  mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung
putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga
dan barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli
salam.  Penyebutan karakteristik tersebut sangat perlu dilakukan untuk
menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b.      Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran,
timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat
diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan
yang tidak dapat diukur dengan takaran.
‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak salam pada binatang. Tetapi
‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jikapembayaran ditentukan pada waktu
yang telah disepakati.Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus mengizinkan
praktek penjualan di muka.[17]
c.       Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan).
d.      Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan.
Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang
alam akad salam.[18]
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai
berikut:
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-
MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a)       Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
                                                    i.            Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang,

atau manfaat;
                                                  ii.            Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance); dan

                                                iii.            Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh

pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton
dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya
bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini
petani memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum
terjadinya akad salam tersebut.
b)       Ketentuan Barang:
                                            i.            Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;

                                          ii.            Penyerahan dilakukan kemudian;

                                        iii.            Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan

kesepakatan;
                                        iv.            Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya

(qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan


                                          v.            Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
c)        Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
                                            i.            Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas

yang disepakati;
                                          ii.            Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual

tidak boleh meminta tambahan harga;


                                        iii.            Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli

rela menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta pengurangan harga


(diskon); dan
                                        iv.            Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati

dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak
boleh menuntut tambahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu penyerahan
atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli
memiliki dua pilihan:
1.      Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2.      Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah
pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya
diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian
sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka
tertutuplah peranan pengadilan agama.
Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat
berikut:
a.       Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk
beberapa penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual
meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam
Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal
dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapibelum menyerahkan barang
yang dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan
pembeli yang ada di tangan penjual. 
b.      Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c.       Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.[20]
4.      Contoh kasus
Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank
sebesar Rp 5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya
berjumlah 4 ton dan beras dijual dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan
menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton.
Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp
2.400,00 per kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga
bank mendapat keungtungan 20%.
5.      Salam Paralel
Salam paralel yaitu melaksanakan dua transaksi bai’ as-Salam antara bank
dengan nasabah, dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga
lainnya secara simultan.
Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah
menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat
pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan akad salam yang
pertama.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika
perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal
demikian diduga akan menjurus kepada riba.
Ketentuan Umum
a.      Pembatalan kontrak
Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang pembelian, menurut jumhur
ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan penuh
pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali
seluruh modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian
penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal.
b.      Penverahan muslam fihi sebelum atau pada waktunva.
Muslam ilaih harus menyerahkan muslam fihi tepat pada waktunya dengan
kualitas dan kuantitas sesuai kesepakatan.Jika muslam ilaih menyerahkan muslam
fihi dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam harus menerimanya dengan syarat
bahwa muslam ilaih tidak meminta harga yang lebih tinggi sebagai ganti kualitas
yang lebih baik tersebut.
Jika muslam ilaih mengantar muslam fihi dengan kualitas lebih rendah,
pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya.Para ulama
berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih menyerahkanmuslam
fihi yang berbeda dari yang telah disepakati.
Muslam ilaih dapat menyerahkan muslam fihi lebih cepat dari yang telah
disepakati, dengan beberapa syarat:
a)         Kualitas dan kuantitas muslam fihi telah disepakati.
b)         Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih tinggi dari kesepakatan.
c)         Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih rendah dari kesepakatan.
d)        Jika semua atau sebagian muslam fihi tidak tersedia pada waktu
penyerahan, muslam mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan
meminta kembali uangnya. Kedua, menunggu sampaimuslam fihi tersedia.

6.      Perbedaan Bai’ as Salam dengan Ijon

Banyak orang yang menyamakan bai’ as salam dengan ijon Padahal, terdapat


perbedaan besar di antara keduanya. Dalamijon, barang yang dibeli tidak diukur
atau ditimbang secara jelas dan spesifik.Demikian juga penetapan harga beli,
sangat tergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat
dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Sedangkan
transaksi bai 'as salam mengharuskan adanya 2 hal :
  Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan
transaksi salaf (salam), maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas,
timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula."
  Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam
penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali denganjalanperniagaanyang berlaku
dengan suka sama suka di antara kalian." (Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan adanya harga yang “fair” ini pemerintah diwajibkan
melakukan pengawasan dan pembinaan.
Contoh Ijon: Pembeli membeli beras yang saat itu masih belum dipanen
sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen.
Contoh Bai’ as Salam: Pembeli membeli padi sebanyak satu ton padi dari petani
yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon terdapat spekulasi yang akan merugikan salah satu pihak.
Jika pembeli memperkirakan hasil panen sebanyak lima ton dan membayar
seharga itu, sedangkan kenyataannya menghasilkan tujuh ton, maka petani
merugi. Ia tidak bisa menikmati duaton kelebihannya. Tetapi sebaliknya, jika
hasilnya hanya tiga ton maka pembeli yang merugi karena telah membayar
seharga lima ton.
Pada contoh bai' as salam, petani hanya menjual sebagian dari produknya.
Kalau terjadi gagal panen, ia hanya wajib menyediakan padi sebanyak yang dapat
dipenuhinya.
7.      Aplikasi dalam Perbankan

Bai’ as salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan


jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank
adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak bemiat untuk
menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka
dilakukan akadbai’as salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog,
pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal
sebagai salam paralel.
Bai ’ as salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri,
misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah
dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan
garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut.Hal itu berarti bahwa
bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayamya pada waktu
pengikatan kontrak.Bank kemudian mencari pembeli kedua.Pembeli tersebut bisa
saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila
garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan
tersebut.Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur
maupun tunai.

8.      Risiko dan Manfaat

Berdasarkan sifatnya yang paralel, bai'as salam mengandung risiko berdasarkan


sifatnya yang simultan,salam paralel memiliki beberapa manfaat dan risiko yang
harus diantisipasi oleh bank syariah, di antaranya:
  Default. Jika pemasok tidak bisa mendatangkan barang yang dipesan karena lalai
atau menipu. Maka, bank tidak bias memenuhi barang yang diminta
oleh  pembeli.
  Tak terjual, bank tidak bisa mencari pembeli dari barang salam. Hal terjadi
jika pemasok mengantarkan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan saat
kontrak.
  Harga, harga barang ketika diantar lebih rendah dari harga yang disepakati dengan
penjual saat kontrak.
 Manfaat bai’as salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan
harga jual kepada pembeli.

B.     AL-ISTISHNA’
1.      Pengertian Al-Istishna’

Berasal dari kata ‫ﺻﻧﻊ‬ (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah


huruf alif, sindan ta’ menjadi ‫ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ‬ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan
sesuatu.
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut
terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada
dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta
di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Secara istilah ialah akad  jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan
atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.
Menurut pandangan ulama :
  Mazhab Hanafi
‫عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل‬
Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat
mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang
punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga
sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi
dalam pandangan mazhab ini.
  Mazhab Hambali
‫بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم‬
Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak
termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-
beli dengan pembuatan (‫)بيع بالصنعة‬.
  Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah
‫الشيء المسلم للغير من الصناعات‬
Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.
Contoh Istishna’ :
Seseorang memesan sepatu berbahan kulit ke tukang sepatu dengan harga x
rupiah,untuk pembayaran bisa dilakukan secara cash,cicilan,atau ditangguhkan
sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Contohnya seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang kayu,
tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya
barang anu sejumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesananan ini adalah
bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan
atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang.
Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau
membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan menjualnya
kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem
pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus
dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan
konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan
aturan bai’ as-salam.
2.      Dasar Hukum Istishna’
Hukum transaksi bai’ istishna’ terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a.       Al-Qur’an
ِّ ‫َح َّل اللَّهُ الَْبْي َع َو َحَّر َم‬
    ‫الربا‬ َ ‫َوأ‬
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
(Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum
asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam
dalil yang kuat dan shahih.

b.      Al-hadits
‫َل لَ هُ إِ َّن‬ ‫ب إِىَل الْ َع َج ِم فَِقي‬ ِ
َ ُ‫أ ََر َاد أَ ْن يَكْت‬ ‫َن نَىِب َّ اللَّه ص َك ا َن‬
َّ ‫س رض ي اهلل عن ه أ‬ ٍ َ‫أَن‬ ‫َع ْن‬
‫أَنْظُ ُر إِىَل‬ َ َ‫ق‬.‫ض ٍة‬ َّ ِ‫ف‬ ‫اص طَنَ َع َخامَتً ا ِم ْن‬ ‫ِ مِت‬ ِ
‫ َك أَىِّن‬:‫ال‬ ْ َ‫ ف‬.ٌ ‫ َي ْقَبلُ و َن إِالَّ كتَابً ا َعلَْي ه َخ ا‬ َ‫الْ َع َج َم ال‬
‫ رواه مسلم‬.‫اض ِه ىِف يَ ِد ِه‬ ِ ‫بي‬
ََ
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima
surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin
stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibolehkan.

Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara
umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada Bai’ al-
Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan”
Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.
Menurut Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang karena
bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada
argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual,
Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di miliki
penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas
dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.
a)      Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai
kasus ijma’ atau konsensus umum.
b)      Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma’ ulama.
c)      Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak
orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka
cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk
mereka.
d)     Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah
atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si
penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.
Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu
barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran
serta bahan material pembuatan barang tersebut.

3.      Rukun dan Syarat Istishna

Pelaksanaan bai’ al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.


1)      Penjual/Pembuat
2)      Barang
3)      Sighat
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga
mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah
ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
a.         Modal Transaksi Bai al-istishna’
         Modal Harus di ketahui.
         Penerimaan pembayaran salam.
b.         Al-muslam fiihi (Barang)
         Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
         Harus bisa di identifikasi secara jelas
         Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
         Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu
waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera.
         Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyrahan
barang.
         Tempat penyerahan.
         Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
4.      Istishna’ Pararel

Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan


pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut.
Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk
memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal
sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:(a) akad
kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan
pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.
Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel.
Diantaranya sebagai berikut.
1)        Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya
pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’
pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan
demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas
setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak
pararel.
2)        Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab
terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum
secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’
kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat
untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai
kaitan hukum sama sekali.
3)        Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan
barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan
jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan
istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan
kalau ada.
5.      Contoh Kasus
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum
tim sepakbola sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua
bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum biasanya Rp 4.000,00,
sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan harga Rp 38.000,00.
Berapa keuntungan yang didapatkan bank?
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan
kostum. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau
sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal.
Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada
pembeli dengan harga pasar.
C.    Perbedaan antara Salam dan Istishna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual
beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum).
Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan
istisna’, yaitu:
1.      Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung,
sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di
angsur atau bisa di kemudian hari.
2.      Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan
istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan
begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia
mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang
untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang
baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan
penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan
oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Muslam Barang di tangguhkan dengan
Mashnu’
Kontrak Fiihi spesifikasi.
Bisa saat
Cara penyelesaian pembayaran
Di bayar kontrak, bisa di
Harga merupakan perbedaan utama antara
saat kontrak angsur, bisa
salam dan istishna’.
dikemudian hari
Salam mengikat semua pihak sejak
semula, sedangkan istishna’ menjadi
Mengikat
Sifat Mengikat secara pengikat untuk melindungi produsen
secara asli
Kontrak ikutan (taba’i) sehingga tidak di tinggalkan begitu
(thabi’i)
saja oleh konsumen secara tidak
bertanggung jawab.
Baik salam pararel maupun istishna’
Kontrak Salam
Istishna’ Pararel pararel sah asalkan kedua kontrak
Pararel Pararel
secara hukum adalah terpisah.
BAB  III

PENUTUP

Simpulan

Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat
menarik kesimpulan:
1.      Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda,  pembayaran
modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam
yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat
‘ijab qabul, dan alat tukar.
2.      Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi
menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa
dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna’  mengikuti bai’
as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna’  pembayaran tidak dilakukan secara
kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi
tergantung selesainya barang pada umumnya.
3.      Perbedaan salam dan istishna’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam
dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak
secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.

DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini, Dimyaudin., dkk.  2007. Pengantar Fiqih Muamalah. Bogor: LPPM.


Antonio , Muhammad Syafii. 1433 H/2012 M. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek.
Depok: Gema Insani.
Hadi, Abd. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam. Surabaya : Putra Media
Nusantara
Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. 1432 H/2011 M. Ensiklopedia Muslim Minhajul Muslim.
Bekasi: PT. Darul Falah.
Ananda, Dwi Rizky. 2013. Makalah Jual Beli Salam. [online]. Tersedia: http://rizkyel-
guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html. [14 Desember 2013]
Rizal, Hasan. 2013. Ba’i Istishna. [online]. Tersedia: http://hasanri.blogspot.com/ [14
Desember 2013]
Tn. 2013. Salam dan Istishna’. [online].
Tersedia : http://scarmakalah.blogspot.com/2013/01/salam-dan-
istishna_1666.html [14 Desember 2013]

Anda mungkin juga menyukai