Anda di halaman 1dari 8

AKAD ISTISHNA

A. Pengertian Istishna
Al- Istishna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua belah pihak
berdasarkan pesanan dari pihak lain dan barang pesanan akan sesuai dengan
spesifikasi yang telah di sepakati dan menjulanya dengan harga dan cara
pembayaran yang telah di sepakati terlebih dahulu. Istishna adalah akad penjualan
antara al-mustashni (pembeli) dengan as-shani (produsen yang bertindak sebagai
penjual). berdasarkan akad istishna, pembeli menugasi produsen untuk membuat
atau mengadakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang di syaratkan
dan menjualnya sesuai dengan harga yang di sepakati. Adapun secara istilah al-
istishna adalah permintaan atau pesanan dari pihak pemesan tentang sesuatu yang
khusus dan dikerjakan dengan cara yang khusus.
Dalam kontrak istishna, pembuat barang menerima pesanan dari pemberi.
Pembayaran atas transaksi jual beli dengan akad istishna dapat di laksanakan di
muka, dengan cara angsuran dan / atau di tangguhkan sampai jangka waktu pada
masa yang akan datang.
Mekanisme pembayaran  istishna harus di sepakati dalam akad dan dapat di
lakukaan dengan tiga cara, yaitu  :
1. Pembayaran di muka, yaitu pembayaran  di lakukan secara keseluruhan pada
saat akad sebelum aset istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli
akhir (nasabah).
2. Pembayaran di lakukan pada saat penyerahan barang , yaitu pembayaran di
lakukan pada  saat barabg di terima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini di
mungkunkan adanya pembayaran termin sesuai dengan proses pembuatan aset
istishna.
3. Pembayaran di tangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelah aset istishna di
serahkan oleh bank kepada pembeli akhir.

Istishna’ adalah akad yang menyerupai akad salam , karena bentuknya


menjual barang yang belum ada (ma’dum) dan sesuatau yang akan dibuat itu pada
akad ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual.

1
Hanya saja ada beberapa perbedaan dengan salam karena :
1. Dalam ishtisna’ harga atau alat pembayarana tidak harus dibayar dimuka
seperti pada akad salam.
2. Tidak ada ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan.
3. Barang yang dibuat tidak harus ada dipasar.
Dari sisi lain ishtisna’ ini hampir sama dengan ijarah (sewa –menyewa), namun
berbeda dengan ijarah , karena dalam istisna’ si pembuat atau produsen 
menggunakan barang atau bahan yang dibuat dari hartanya sendiri bukan dari harta
mustasyi’ atau pemesan.

B. Dasar Hukum Istishna


Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa istishna adalah sah atas dasar
qiyas dan aturan umum syariah karena memang jual beli biasa dan si penjual akan
mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.
Ada beberapa dasar hukum dari istishna, yaitu :
1. Al-Qur’an
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah:
275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal
setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil
yang kuat dan shahih.
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”(al-
Baqarah: 282)
2. As-Sunnah
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-
Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim).

2
Dari perbuatan yang di lakukan oleh nabi di atas, dapat kita jadikan bukti
nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.
3. Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto
telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad
yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang
sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk melarangnya.
4. Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah
umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
“ Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang
menunjukkan akan keharamannya.”
5. Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna
a. Pelaku, harus cakap hukum dan baligh.
b. Objek akad:
    Ketentuan tentang pembayaran :
1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang,
barang, atau mamfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
2) Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi
apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam
akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung 
jawab pembeli.
3) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
4) Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
   Ketentuan tentang barang :
1) Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, motu) sehingga
tidak ada lagi jahalah dan perselisian dapat dihindari.
2) Barang pesanan diserahkan kemudian.
3) Waktu dan penyerahan pesanan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
4) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.

3
5) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan
kesepakatan.
6) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
mebatalkan akad.
7) Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak
dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan
kesepakatan.
c. Ijab kabul
Adanya pernyataan dan espresi saling ridha/rela diantara pihak-pihak akad
yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komonikasi mudern.
d. Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan
kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di
dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para
produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan
mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam
ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan
hidup masyarakat.
C. Rukun dan Syarat Istishna
Pelaksanaan  al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini
1. muslam atau pembeli
2. muslam ilaih atau penjual
3. modal atau uang
4. muslam fiihi
5. sighat atau ucapan
Syarat al-istishna’

4
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan
tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan
diuraikan di antara dua syarat terpenting, yaitu modal dan barang.
1. Modal Transaksi al-istishna’
a. Modal Harus di ketahui.
b. Penerimaan Pembayaran Salam
2. Al-muslam fiihi (Barang)
a. Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
b. Harus bisa di identifikasi secara jelas
c. Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
d. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada
suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan
segera.
e. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk
penyerahan barang.
f. Tempat penyerahan.
g. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
D. Skema Akad
Dalam pembiayaan istishna, bnak bertindak sebagai penerima pesanan, juga
sebagai pemesan barang yang di inginkan oleh nasabah.
Berikut ini merupakan skema pembiayaan istishna :
1. Skema istishna bila produsen di pilih bank

5
Keterangan :
a. Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual. Dalam pemesanan
barang telah di jelaskan spesifikasinya, sehingga bank akan menyediakan
barang sesuai dengan pesanan nasabah.
b. Setelah menerima pesanan nasabah, maka pihak bank akan segera
memesan barang kepada pembuat / produsen. Produsen  akan membuat
barang sesuai pesanan bank.
c. Bank menjual barang kepada pembeli / pemesan dengan harga sesuai
dengan kesepakatan.
d. Setelah barang selesai di buat, maka akan di serahkan oleh produsen
kepada nasabah atas perintah pihak bank.
2. Skema istishna bila produsen di pilih nasabah

 Keterangan :

6
a. Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual atau bank
mewakilkan nasabah untuk memesan kepada produsen.
b. Bank  menjual kepada pembeli/ nasabah
c. Bank syariah membeli dan memesan barang sesuai dengan pesanan yang
telah di perjanjikan antara pihak bank dan pembeli  atau nasabah.

Anda mungkin juga menyukai