Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna: saling) dari kata ribh yang artinya
keuntungan, yakni pertambahan nilai modal (jadi artinya, saling mendapatkan keuntungan).
Menurut terminology ilmu fikih arti murabahah adalah menjual dengan modal asli bersama
tambahan keuntungan yang jelas. Jadi murabahah adalah salah satu bentuk afliaktif dari jual beli
pada umumnya. sehingga murabahah adalah bisnis yang halal dengan segala syarat yang
menjadikanya jual beli halal,dan menjadi haram karena adanya unsur-unsur yang menjadikan
jual beli haram. Dalam fiqh murabahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu, dimana
penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan, termasuk harga pembelian
barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya laba atau keuntungan dalam jumlah
tertentu.
Al Quran bagaimanapun juga, tidak pernah secara langsung membicarakan tentang murabahah,
meski disana ada sejumlah acuan tentang jual beli, laba rugi, dan perdagangan. Demikian pela
tampaknya tidak ada hadist yang memiliki rujukan langsung kepada murabahah. Landasan
hukum seperti yang diungkapkan di beberapa literature buku antara lain:
“Dari Juain bin Umair dari pamannya Nabi SAW ditanya tentang penghasilan yang paling
utama. Beliau bersabda: “Sebaik-baik penghasilan adalah jual beli yang sah, tidak terdapat unsur
penipuan dan usaha seseorang dengan tanganya”.
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, pertama jual beli secara tangguh (murabahah),
kedua muqadaradah, (mudharabah), dan ketiga mencampur gandum dengn untuk keprluan rumah
tangga, bukan untuk dijual.
Pada akad Murabahah ini, transaksi jual-beli terjadi setelah penjual membeli barang yang telah
dipesan oleh pembeli terlebih dahulu. Pesanan tersebut dapat bersifat maupun tidak mengikat.
Apabila mengikat, maka pembeli tidak dapat membatalkan pesanan dan harus membayar barang
yang telah dipesan. Serta jika barang yang telah dibeli nilainya berkurang sebelum diberikan
kepada pembeli, tentu saja akan mengurangi akad dan penurunan nilai tersebut menjadi
tanggungan atau beban penjual. Sebaliknya jika tidak mengikat, pembeli tidak wajib membayar
atau dapat membatalkan barang yang telah dipesan oleh penjual.
Sesuai nama jenisnya, penjual dapat membeli barang tanpa harus ada pesanan terlebih dahulu
dari pembeli. Akad Murabahah jenis ini termasuk bersifat tidak mengikat.
A. Rukun
1) Bai’u (penjual).
2) Musytari (pembeli).
B. Syarat Murabahah
1) Syarat yang berakad (bai‟u dan musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
2) Barang yang diperjualbelikan (mabi‟) tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun
jumlahnya jelas.
3) Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen
keuntungan dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas.
4) Pernyataan serah terima (ijab qobul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik pihak-
pihak yang berakad.
Dalam praktek di Lembaga Keuangan Syariah (LKS, bentuk murabahah yang termasuk dalam
fikih klasik tersebut mengalami beberapa penyesuaian. Murabahah yang dipraktikkan pada LKS
merupakan transaksi jual beli dimana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk
membelikan sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli
komoditas/barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah
dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan
pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang
dimiliki. Dalam prakteknya terdapat terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat dalam terwujudnya
suatu akad murabahah, yakni bank syariah, produsen/pemasok barang dan nasabah. .
Dalam Fatwa No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Dalam Fatwa DSN ditetapkan hal
hal sebagai berikut:
- Keenam: Bangkrut dalam Murabahah Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal
menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup
kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
Akad istishna’
Lafal Istishna’ berasal dari kata shana’ah ( ) صنع. yang artinya membuat sesuatu. Kemudian
ditambah alif, sin dan ta’ menjadi Istishna’ ( )استصنع. Secara etimologi istishna’ artinya minta
dibuatkan. Sedangkan menurut terminologi merupakan suatu kontrak jual beli antara penjual dan
pembeli dimana pembeli memesan barang dengan kriteria yang jelas dan harganya yang dapat
diserahkan secara bertahap atau dapat juga dilunasi. Sistem Istishna’ adalah sistem pembiayaan
atas dasar pesanan, untuk kasus ini dimana objek atau barang yang diperjual belikan belum ada.
Menurut ulama fiqh istishna’ sama dengan salam dari segi objek pesanannya yaitu sama-sama
dipesan terlebih dahulu dengan ciri- ciri dan kriteria khusus, sedangkan perbedaannya adalah jika
salam pembayarannya dilakukan diawal sekaligus sedangkan Istishna’ bisa dibayar di awal,
angsuran dan bisa juga di akhir.
Menurut mazhab Hanafi, jual beli Istishna’termasuk akad yang dilarang. Mereka mendasarkan
pada argumentasi bahwa pokok kontrak jual penjualan harus ada dan dimiliki penjual. Meskipun
demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak jual beli Istisna’ atas dasar Istihsan karena alasan
berikut ini.
1. Masyarakat telah mempraktekan jual beli istishna’secara luas dan terus menerus tanpa ada
keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan Istishna’sebagai kasus Ijma’ atau consensus
umum.
2. Jual beli Istishna’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak
bertentangan dengan al-Quran dan as- Sunnah.
3. Keberadaan jual beli Istishna’berdasarka kebutuhan masyarakat. Banyak yang sering terjadi
barang yang tidak tersedia dipasar sehingga mereka cendrung melakukan kontrak agar orang lain
membuatkan barang untuk mereka.
1. Istishna’
Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni') dan
penjual (pembuat, shani'). Berikut dibawah ini tampilan skema akad istishna’ .
2. Istishna’ Paralel
Istishna' paralel adalah suatu bentuk akad istishna‘ antara pemesan (pembeli, mustashni') dengan
penjual (pembuat, shani'), kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni', penjual
memerlukan pihak lain sebagai shani'
A. Rukun
1). Rukun Jual Beli Istishna’ Rukun dari Istishna’ yang harus terpenuhi dalam transaksi ada
beberapa hal, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan
barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.
B. Syarat
Syarat jual beli Istishna’ menurut pasal 104 s/d pasal 108 kompilasi hukum ekonomi syariah
adalah sebagai berikut:
a. Jual beli Istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan.
b. Jual beli Istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan.
c. Dalam jual beli Istishna’ identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan
pemesan.
d. Pembayaran dalam jual beli Istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati.
e. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak boleh satupun tawar menawar kembali terhadap
isi akad yang sudah disepakati.
- Terkait dengan barang Istishna’ DSN dalam fatwanya menyatakan bahwa ada beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut adalah:
f. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan kesepakatan.
Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan baranga massal.
i. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak
khiyar (hak pilih) untuk melanjutkan atau membatalkan.
Meskipun jual beli Istishna’ dibolehkan dalam Islam, akan tetapi dalam pelaksanaannya harus
memenuhi aturan-aturan hukum Islam. Seperti penipuan terhadap banyaknya barang pesanan
yang tidak sesuai dengan pembayaran yang tidak tepat pada waktu, merupakan sesuatu yang
tidak diperbolehkan dalam Islam, karena ini merupakan penzaliman karena tidak sesuai dengan
akad.
Akad Salam
Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`ân
dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyâsush shahîh).
a. Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman : س ّمًىَ يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا َتدَايَ ْنتُ ْم ِب َد ْي ٍن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم
ُ“ فَا ْكتُبُوهHai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” [al-Baqarah/2:282].
س لِفْ فِى َك ْي ٍل ْ ُس لَفَ فِى َت ْم ٍر فَ ْليْ َ َمنْ أ: الس نَتَ ْي ِن فَقَ ا َل َّ سلِفُونَ فِى الثِّ َما ِر ال
َّ سنَةَ َو ْ ُسلَّ َم ا ْل َم ِدينَةَ َو ُه ْم ي َ قَ ِد َم النَّبِ ُّى
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو
ٍ ُوم إِلَى أَ َج ٍل َم ْعل
وم ٍ ُوم َو َو ْز ٍن َم ْعل
ٍ َُم ْعل
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah telah biasa
memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaknya ia memesan dalam takaran,
timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).”
1. Pembeli (muslam)
B. Adapun Syarat:
a. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad. Berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
c. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu yang dijanjikan
barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu memesan buah-buahan yang waktunya ditentukan
bukan pada musimnya tidak sah.
d. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan, ukuran ataupun
bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
e. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat itu berarti harga dan kemauan
orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifat-sifat ini hendaknya jelas sehingga tidak ada
keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak (si penjual dan si
pembeli). Begitu juga macamnya, harus juga disebutkan.
f. Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat menerima barang
tersebut. Akad salam harus terus, berarti tidak ada khiyar syarat.
- Ketentuan fatwa DSN MUI Nomor 05/DSN MUI/IV/2000 menetapkan enam hal :
1. Ketentuan Pembayaran
2. Ketentuan Barang
4. Penyerahan Barang
tersedia.
5. Pembatalan Kontrak. Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak
merugikan kedua belah pihak.
6. Perselisihan. Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, persoalannya diselesaikan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.