Anda di halaman 1dari 32

AKUNTANSI SYARIAH

AKADEMIK AKUNTANSI JAYABAYA – UNIVERSITAS JAYABAYA

ARYA RACHMAN 12/4/21 2019340330001


A. AKAD MURABAHAH
1. Pengertian Akad Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli suatu barang dimana penjual
menyebutkan harga jual yang terdiri atas harga pokok dan tingkat
keuntungan tertentu atas barang dimana harga jual tersebut disetujui oleh
pembeli. Dalam akad murabahah, penjual (dalam hal ini adalah bank) harus
memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan tingkat
keuntungan sebagai tambahannya. Saat ini, produk inilah yang paling
banyak digunakan oleh bank Syariah karena paling mudah dalam
implementasinya dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya.
Menurut Wiroso dalam bukunya, murabahah didefinisikan oleh para
fuqaha sebagai penjualan barang sehingga biaya/ harga pokok (cost)
barang tersebut ditambah mark-up/ keuntungan yang disepakati.
Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus memberitahu
pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah
keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Beberapa alasan mengapa transaksi murabahah begitu dominan dalam
pelaksanaan investasi perbankan Syariah, yaitu sebagai berikut:
a. Murabahah adalah mekanisme penanaman modal jangka pendek
dengan pembagian untung rugi/ bagi hasil.
b. Mark-up (keuntungan) data ditetapkan dengan cara yang menjamin
bahwa bank mampu mengembangkan dibandingkan dengan bank-bank
yang berbasis bunga dimana bank-bank Islam sangan kompetitif.
c. Murabahah menghindari ketidakpastian yang diletakkan dengan
perolehan usaha berdasarkan sistem bagi hasil.
d. Murabahah tidak mengizinkan bank Islam untuk turut campur dalam
manajemen bisnis karena bank bukanlah partner dengan klien tetapi
hubungan mereka adalah hubugan kreditur dengan debitur.

1
2. Landasan Hukum Murabahah
Al-Qur’an tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan
murabahah, walaupun ada beberapa acuan di dalamnya untuk menjual,
keuntungan, kerugian, dan perdagangan. Demikian juga, nampaknya tidak
ada juga hadits yang memiliki acuan langsung kepada murabahah.
Meskipun murabaha termasuk dalam akad jual beli dan dalam Al-
Qur’an dan beberapa ayat tentang jual beli misalnya surat Al-Baqarah ayat
275:
ِّ ‫ّٰللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
... ‫الر ٰبوا‬ ‫… َواَ َح َّل ه‬
yang artinya: “...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba...
Namun dalam ayat tersebut tidak menjelaskan jual beli yang bagaimana
atau murabahah termasuk di dalamnya atau tidak, jadi belum ada landasan
dari Al-Qur’an yang mendasari secara langsung tentang murabahah.
Para ulama awal seperti Malik dan Syafi’i yang khusus menyatakan
bahwa penjualan murabahah berlaku, tidak menyebutkan referensi dari
hadits yang jelas. Al-Kaff, kritikus kontemporer terhadap murabahah,
menyimpulkan murabahah merupakan “salah satu penjualan yang tidak
dikenal sepanjang masa Nabi atau sahabatnya”. Menurutnya, ulama yang
masyhur mulai mengungkapkan pandangan mereka mengenai murabahah
pada perempat pertama abad hijriah, atau lebih. Karena nampaknya tidak
ada acuan langsung kepadanya dalam Al-Qur’an atau Al-Hadits yang
diterima umum, para ahli harus membenarkan murabahah berdasarkan
landasan lain. malik mendukung validitasnya dengan acuan pada praktik
orang-orang Madinah.
Imam Syafi’i, tanpa bermaksud untuk membela pandangannya,
mengatakan: “Jika seseorang menunjukkan komoditas kepada seseorang
dan mengatakan, “kamu beli untukku, aku akan memberikanmu

2
keuntungan begini, begini,” kemudian orang itu membelinya, maka
transaksi itu sah”.
Ulama’ Hanafi, Marghinani, membenarkannya berdasarkan “kondisi
penting bagi validitas penjualan didalamnya, dan juga manusia sangat
membutuhkannya. Ulama Syafi’i, Nawawi, secara sederhana
mengemukakan bahwa: Penjualan Murabahah sah menurut hukum tanpa
bantahan.
Murabahah, merupakan bentuk penjualan pembayaran yang ditunda
dan perjanjian komersial resmi, walaupun tidak berdasarkan teks Al-
Qur’an dan As-Sunnah, tetapi dibolehkan dalam hukum Islam. Bank-bank
Islam telah menggunakan perjanjian murabahah dalam aktivitas
pembiayaan melalui barang-barang dagangan, dan memperluas jaringan
dan penggunaannya.

3. Rukun dan Syarat Murabahah


Adapun rukun-rukun murabahah adalah sebagai berikut:
a. Ba’iu (penjual)
b. Musytari (pembeli)
c. Mabi’ (barang yang diperjualbelikan)
d. Tsaman (harga barang)
e. Ijab Qabul (pernyataan serah terima)
Dari rukun di atas terdapat pula syarat-syarat murabahah sebagai
berikut:
a. Syarat yang berakad (ba’iu dan musytari) cakap hukum dan tidak dalam
keadaan terpaksa.
b. Barang yang diperjual belikan (mabi’) tidak termasuk barang yang
haram dan jenis maupun jumlahnya jelas.

3
c. Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga
pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan
dengan jelas.
d. Pernyataan serah terima (ijab qabul) harus jelas dengan menyebutkan
secara spesifik pihak-pihak yang berakad.

4. Kaidah-kaidah Murabahah
Adapun kaidah-kaidah yang harus diperhatian dalam melakukan jual
beli murabahah:
a. Ia harus digunakan untuk barang-barang yang halal.
b. Biaya aktual dari barang yang akan diperjual belikan harus diketahui
oleh pembeli.
c. Harus ada kesepakatan dari kedua belah pihak (pembeli dan penjual)
atas harga jual yang termasuk di dalamnya harga pokok penjualan (cost
of goods sold) dan margin keuntungan.
d. Jika ada perselisihan atas harga pokok penjualan, pembeli mempunyai
hak untuk menghentikan dan membatalkan perjanjian.
e. Jika barang yang akan dijual tersebut dibeli dari pihak ketiga, maka
perjanjian jual-beli yang dengan pihak pertama tersebut harus sah
menurut syariah.
f. Murabahah memegang kedudukan kunci nomor dua setelah prinsip
bagi hasil dalam bank Islam, ia akan dapat diterapkan dalam:
Pembiayaan pengadaan barang dan Pembiayaan pengeluaran Letter of
Credit L/C.
g. Murabahah akan lebih berguna sekali bagi seseorang yang
membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana pada
saat itu ia kekurangan likuiditas. Ia meminta pada bank agar membiayai
pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya saat diterima.

4
Harga jual pada pemasanan adalah harga beli pokok plus margin
keuntungan yang telah disepakati.
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diingikan kedua belah pihak harus
memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama.
Bank : Harus mendatangkan barang yang benar-benar
memenuhipesanan nasabah baik jenis, kualitas atau sifat-sifat
yang lainnya.
Pemesan : Apabila barang telah memenuhi ketentuan dan ia menolak
untuk menebusnya maka bank berhak untuk menuntutnya
secara hukum. Hal ini merupakan konsesus para yuris muslim
karena peranan telah dianalogikan dengan dhimmah (hutang)
yang harus ditunaikan.

5. Skema Akad Muhabarah


Berikut ini merupakan skema pembiayaan murabahah:

5
B. AKAD SALAM
1. Pengertian Akad Salam
Jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli
jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli
dengan penjual. Spesifikasi dan harga barang pesanan harus sudah
disepakati di awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka secara
penuh.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan, salam adalah akad atas
barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan
penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara
tunai di majlis akad. Ulama malikiyyah menyatakan, salam adalah akad
jual beli dimana modal (pembayaran) dilakukan secara tunai (di muka) dan
objek pesanan diserahkan kemudian dengan jangka waktu tertentu.
Sedangkan menurut Rozalinda, salam adalah bentuk dari jual beli. Secara
bahasa menurut penduduk Hijaz (Madinah) dinamakan dengan salam
sedangkan menurut penduduk Irak diistilahkan dengan salaf. Secara
bahasa salam atau salaf bermakana: “Menyegerakan modal dan
mengemudikan barang”. Jadi jual beli salam merupakan “jual beli
pesanan” yakni pembeli membeli barang dengan kriteria tertentu dengan
cara menyerahkan uang terlebih dahulu, sementara itu barang diserahkan
kemudian pada waktu tertentu.

2. Dasar Hukum Salam


Jual beli salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini
berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran di antaranya:
a. Surat Al-Baqarah: 282 yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya”.
6
b. Hadis Jual Beli Salam
“Ibn Abbas menyatakan bahwa ketika Rasul datang ke Madinah,
penduduk Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan untuk
jangka satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasul bersabda: Siapa
yang melakukan salam hendaknya melakukannya dengan takaran yang
jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu”.
(Muslich, 2015: 243).
c. Ijma’
Kesepakatan ulama’ (ijma’) akan bolehnya jual beli salam dikutip
dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu
telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat
kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Pemilik
lahan pertanian, perkebunan ataupun perniagaan terkadang
membutuhkan modal untuk mengelola usaha mereka hingga siap
dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk mengakomodir
kebutuhan mereka. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan
legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam.

3. Rukun dan Syarat Salam


Menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun
jual beli salam adalah sebagai berikut: 1). Muslam (pembeli) adalah pihak
yang membutuhkan dan memesan barang. 2). Muslam ilaih (penjual)
adalah pihak yang memasok barang pesanan. 3). Modal atau uang. Ada
pula yang menyebut harga (tsaman). 4). Muslan fiih adalah barang yang
dijual belikan. 5). Shigat adalah ijab dan qabul.

7
4. Syarat-syarat Salam
a. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad. Berarti pembayaran
dilakukan terlebih dahulu.
b. Barangnya menjadi hutang bagi si penjual.
c. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada
waktu yang dijanjikan barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu
memesan buah-buahan yang waktunya ditentukan bukan pada
musimnya tidak sah.
d. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan,
ukuran ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang
semacam itu.
e. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat itu berarti
harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifat-
sifat ini hendaknya jelas sehingga tidak ada keraguan yang akan
mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak (si penjual dan si
pembeli). Begitu juga macamnya, harus juga disebutkan.
f. Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat
menerima barang tersebut. Akad salam harus terus, berarti tidak ada
khiyar syarat.

5. Etika dalam Jual Beli Salam


Diantara etika dalam jual beli salam, ialah: 1). Masing-masing
hendaklah bersikap jujur dan tulus ikhlas serta hendaklah amanah dalam
perjanjian-perjanjian yang telah dibuat; 2). Penjual hendaklah berusaha
memenuhkan syarat-syarat yang telah ditetapkan itu; 3). Pembeli janganlah
coba menolak barang-barang yang telah dijanjikan itu dengan membuat
berbagai-bagai alasan palsu; 4). Sekiranya barang yang dibawa itu
terkurang sedikit dari pada syarat-syarat yang telah dibuat, masing-masing
hendaklah bertolak ansur dan mencari keputusan yang sebaik-baiknya.
8
C. AKAD ISTISHNA
1. Pengertian Akad Istishna
Istishna berasal dari kata shana’a yang artinya membuat kemudian.
Istishna’ secara bahasa artinya meminta dibuatkan. Menurut terminologi
merupakan perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam
kepemilikan penjual dengan syarat dibuatkan oleh penjual, atau meminta
dibuatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Menurut beberapa literatur lain istishna’ dapat diartikan sebagai transaksi
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual.

2. Karakteristik Akad Istishna


Karakteristik utama dalam transaksi dengan basis akad istishna adalah
barang pesanan harus memenuhi kriteria:
a. Memerlukan proses pembuatan;
b. Sesuai dengan spesifikasi pemesan (customized), bukan produk massal;
dan
c. Diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis,
spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya.

3. Rukun Akad Istishna


Rukun dalam transaksi dengan menggunakan akad istishna’ antara lain:
a. Pelaku
Pelaku dalam hal ini maksudnya adalah pihak pemesan (mustashni')
dan pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan
barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani'.
b. Obyek yang diakadkan
Obyek yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal adalah rukun
yang kedua dalam akad ini, sehingga yang menjadi objek dari akad ini
9
bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan
pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan.
c. Shighat (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak
pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu
untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari
pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban
dan haknya itu.

4. Syarat Akad Istishna


Selain dari rukun yang harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga
mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun.
Berikut adalah uraian di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan
barang.
a. Modal transaksi bai’ al istishna:
1) Mashnu’ menjelaskan jenis, bentuk, kadar, sifat, kualitas, kuantitas.
2) Tsaman diketahui semua pihak, bisa dibayar saat akad, dicicil atau
tangguh. Harga tidak berubah kecuali disepakati.
b. Syarat barang yang dipesan:
1) Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
2) Harus bisa diidentifikasi secara jelas
3) Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari
4) Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk
penyerahan barang.
5) Menjelaskan tempat penyerahan.
6) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.
7) Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak

10
dirugikan karena ia telah menjalakan kewajibannya sesuai dengan
kesepakatan.
8) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.

5. Ketentuan Pembayaran
Ketentuan tentang pembayaran dalam akad istishna’ adalah sebagai
berikut:
a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat, demikian juga degan cara pembayarannya.
b. Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan
tetapi apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah
spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini
menjadi tanggung jawab pembeli.
c. Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan.
d. Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.

6. Jenis dan Skema Akad Istishna


Akad istishna juga terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Istishna’
Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pemesan (pembeli, mustashni') dan penjual (pembuat, shani').
b. Istishna’ Paralel
Istishna' paralel adalah suatu bentuk akad istishna‘ antara pemesan
(pembeli, mustashni') dengan penjual (pembuat, shani'), kemudian
untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni', penjual
memerlukan pihak lain sebagai shani'.
11
D. AKAD IJARAH
1. Pengertian Ijarah
Dalam bahasa Arab, ada beberapa istilah yang berkaitan dengan janji
atau perjanjian, yaitu kata wa’ad (al-wa’du), akad (al-‘aqdu), ‘ahd (‘al-
ahdu), dan iltizam. Dalam bahasa Indonesia, juga terdapat kata janji,
perjanjian, perikatan, persetujuan, dan lainnya. Secara umum kata-kata
tersebut sering dianggap sama atau mempunyai pengertian yang serupa.
Akan tetapi, dalam kajian hukum, istilah tersebut memiliki arti dan
implikasi yang berbeda. Begitu juga kata wa’ad, ‘aqd, ‘ahd, serta iltizam1.
Lafal akad berasal dari lafal Arab al-aqd yang berarti perikatan, perjanjian,
dan permufakatan al-ittifaq. Dengan demikian, pengertian akad secara
bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya
adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan
menjadi seperti seutas tali yang satu.
Secara etimologi, al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-
‘iwadhu (ganti). Dalam pengertian terminologi, yang dimaksud dengan
ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership atau milkiyyah) atas barang itu sendiri. Dalam konteks
perbankan syariah, ijarah adalah lease contract di mana suatu bank atau
lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment) kepada salah satu
nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara
pasti sebelumnya (fixed charge).
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat atau sewa.
Transaksi ini dapat menjadi transaksi leasing sebagai pilihan kepada
penyewa/nasabah untuk membeli aset tersebut pada akhir masa
penyewaan, meskipun hal ini tidak selalu dibutuhkan. Dalam perbankan
syariah transaksi ini dikenal dengan ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa
12
yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Bank mendapatkan
imbalan atas jasa sewa tersebut. Harga sewa dan harga jual pada akhir masa
sewa disepakati pada awal perjanjian.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Al-ijarah adalah akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Akad ijarah adalah transaksi
sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa
termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk
mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.

2. Dasar Hukum Akad Ijarah


Dasar hukumnya akad ijarah antara lain terdapat dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 233:
‫ّٰللاَ َوا ْعلَ ُم ْْٓوا‬ ِّ ‫سلَّ ْمت ُ ْم َّما ْٓ ٰاتَ ْيت ُ ْم ِّب ْال َم ْع ُر ْو‬
‫ف َواتَّقُوا ه‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم اِّذَا‬ ِّ ‫َوا ِّْن اَ َر ْدت ُّ ْم اَ ْن تَ ْست َْر‬
َ ‫ضعُ ْْٓوا اَ ْو ََلدَ ُك ْم فَ ََل ُجنَا َح‬
ِّ ‫ّٰللاَ ِّب َما تَ ْع َملُ ْونَ َب‬
‫صيْر‬ ‫اَ َّن ه‬
Artinya: “Dan, jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan”
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan "apabila kamu
memberikan pembayaran yang patut". Ungkapan tersebut menunjukkan
adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara
patut.
‫ض ُع لَ ْٓه ا ُ ْخ ٰرى‬
ِّ ‫ست ُ ْر‬ َ ‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَ ٰات ُ ْوه َُّن ا ُ ُج ْو َره َّۚ َُّن َوأْت َِّم ُر ْوا بَ ْينَ ُك ْم بِّ َم ْع ُر ْو َّۚف َوا ِّْن تَعَا‬
َ َ‫س ْرت ُ ْم ف‬ َ ‫فَا ِّْن اَ ْر‬
Artinya: “kemudian jika mereka (istri-istrimu yang sudah ditalaq)
menyusukan anak-anakmu untuk kamu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan bermusyawarahlah di antaramu dengan baik, dan jika kamu

13
menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu
untuknya” (QS. At-Thalaq: 6).

3. Syarat dan Rukun Ijarah


Adapun syarat akad ijarah dikaitkan dengan beberapa rukunnya
diantaranya:
a. Syarat yang terkait dengan akid (pihak yang berakad/mu'jir dan
musta'jir):
1) Menurut Madzhab Syafi'i dan Hambali, kedua orang yang berakad
telah berusia akil baligh, sementara menurut madzhab Hanafi dan
Maliki, orang yang berakad cukup pada batas mumayyiz dengan
syarat mendapatkan persetujuan wali. Bahkan golongan syafi'iyah
memasukkan persyaratan pada akid termasuk rusyd. Yaitu mereka
mampu melakukan sesuatu atas dasar rasionalitas dan
kredibilitasnya. Maka, menurut Imam Syafi'i dan Hambali seorang
anak kecil yang belum baligh, bahkan Imam Syafi'i menambahkan
sebelum rusyd tidak dapat melakukan akad ijarah. Berbeda dengan
kedua Imam tersebut, Imam Abu Hanifah membolehkan asalkan dia
sudah mumayyiz dan atas seizin orang tuanya.
2) Ada kerelaan pada kedua belah pihak atau tidak ada paksaan. Orang
yang sedang melakukan akad ijarah berada pada posisi bebas untuk
berkehendak, tanpa ada paksaan salah satu atau kedua belah pihak
oleh siapapun.
b. Syarat yang terkait dengan ma'qud alaih (obyek sewa):
1) Obyek sewa bisa diserah terimakan; artinya barang sewaan tersebut
adalah milik sah mu'jir (orang yang menyewakan) dan jika musta'jir
(orang yang menyewa) meminta barang tersebut sewaktu-waktu
mu'jir dapat menyerahkan pada waktu itu.

14
2) Mempunyai nilai manfaat menurut syara'; Manfaat yang menjadi
obyek ijarah diketahui sempurna dengan cara menjelaskan jenis dan
waktu manfaat ada di tangan penyewa.
Menurut Imam Syafi'I, waktu manfaat atas barang sewaan harus
jelas dan tidak menimbulkan tafsir. Ia mencontohkan; "apabila
seseorang menyewa sebuah rumah satu tahun dengan akad per
bulan, maka transaksi sewa tersebut mengalami ketidak jelasan dan
dipandang batal. Oleh sebab itu, untuk keabsahaanya akad tersebut
harus diulang setiap bulan
3) Upah diketahui oleh kedua belah pihak (mu'jir dan musta'jir).
4) Obyek ijarah dapat diserahkan dan tidak cacat. Jika terjadi cacat,
ulama' fiqh sepakat bahwa penyewa memiliki hak khiyar (memilih)
untuk melanjutkan atau membatalkannya.
5) Obyek ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan syara'.
6) Obyek bukan kewajiban bagi penyewa. Misal menyewa orang untuk
melaksanakan shalat.
Syarat yang terkait dengan shighat (akad/ijab qabul); pada dasamya
persyaratan yang terkait dengan ijab dan qabul sama dengan persyaratan
yang berlaku pada jual beli, kecuali persyaratan yang menyangkut dengan
waktu. Di dalam ijarah, disyaratkan adanya batasan waktu tertentu. Maka,
sewa (ijarah) dengan perjanjian untuk selamanya tidak diperbolehkan.

4. Jenis-jenis Ijarah
Terdapat berbagai jenis ijarah, antara lain ijarah ‘amal, ijarah
'ain/ijarah muthlaqah, ijarah muntahiya hittamlik, dan ijarah multijasa.
a. Ijarah ‘Amal
Ijarah 'amal digunakan untuk memperoleh jasa dari seseorang
dengan membayar upah atas jasa yang diperoleh. Pengguna jasa disebut

15
mustajir dan pekerja disebut ajir, dan upah yang dibayarkan kepada ajir
disebut ujrah. Dalam bahasa Inggris dari ujrah adalah fee.
b. Ijarah ‘Ain atau Ijarah Muthlaqah (Ijarah Murni)
Ijarah 'ain adalah jenis ijarah yang terkait dengan penyewaan aset
dengan tujuan untuk mengambil manfaat dari aset itu tanpa harus
memindahkan kepemilikan dari aset itu. Dengan kata lain, yang
dipindahkan hanya manfaat (usufruct). Ijarah 'ain di dalam bahasa
Inggris adalah term leasing. Dalam hal ini, pemberi sewa disebut mujir
dan penyewa adalah mustajir dan harga untuk memperoleh manfaat
tersebut disebut ujrah. Dalam akad ijarah ain, tidak terdapat klausul
yang memberikan pilihan kepada penyewa untuk membeli aset tersebut
selama masa sewanya atau di akhir masa sewanya. Pada ijarah ain yang
menjadi objek akad sewa-menyewa adalah barang.
c. Ijarah Muntahiya Bittamlik
Ijarah muntahiya bittamlik atau disingkat IMBT merupakan istilah
yang lazim digunakan di Indonesia, sedangkan di Malaysia digunakan
istilah al-ijarah thumma al-bai atau AITAB. Di sebagian Timur Tengah
banyak menggunakan istilah al-ijarah wa 'iqtina atau ijarah bai'al-
ta'jiri. Yang dimaksud dengan ijarah muntahiya bittamlik adalah sewa-
menyewa antara pemilik objek sewa dengan penyewa untuk mendapat
imbalan atas objek sewa yang disewakan dengan opsi perpindahan hak
milik objek sewa baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat
tertentu sesuai akad sewa.
d. Ijrah Multijasa
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 44/DSN-
MUI/VII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa, yang dimaksud dengan
pembiayaan multijasa, yaitu pembiayaan yang diberikan oleh Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah dalam memperoleh manfaat
atas suatu jasa.
16
E. AKAD-AKAD LAINNYA
Selain akad-akad diatas, terdapat beberapa akad lainnya, diantaranya
adalah:
1. Mudharabah
Meskipun namanya mirip murabahah, akad mudharabah berbeda
dengan murabahah. Murabahah merupakan jenis akad syariah berbentuk
kerjasama usaha antara pihak pemilik modal dan pihak pengelola modal
dengan kesepakatan tertentu.
Besaran pembagian laba ditentukan di awal perjanjian. Sedangkan
apabila terjadi kerugian, maka pemilik modal akan menanggung
sepenuhnya dengan catatan pengelola tidak melakukan kesalahan atau
kelalaian disengaja atau melanggar kesepakatan.
Dalam istilah syariah, pemilik modal disebut sebagai shahibul maal,
bank syariah, dan malik. Sedangkan pihak pengelola modal yaitu nasabah,
amil, atau mudharib.

2. Mudharabah Muqayyadah
Selanjutnya, akad akad syariah adalah Mudharabah Muqayyadah. Akad
ini memiliki pengertian sama dengan akad mudharabah, yaitu akad kerja
sama antara pemilik dana dengan pengelola.
Bedanya dengan akad mudharabah, jika akad mudharabah muqayyadah
terdapat ketentuan yang disyaratkan oleh pemilik modal terkait obyek
usaha. Sehingga pengelola dana harus menjalankan usaha sesuai ketetapan
dari pemodal. Biasanya akad Mudharabah Muqayyadah digunakan dalam
bisnis berprospek tinggi.

3. Wadiah
Jenis akad syariah banyak digunakan oleh pemuda adalah wadiah.
Wadiah merupakan akad transaksi dengan skema penitipan barang/uang
17
antara pihak pertama dan pihak kedua. Sehingga pihak pertama sebagai
pemilik dana/barang telah mempercayakan asetnya kepada pihak kedua
sebagai penyimpan aset. Oleh sebab itu, pihak kedua (lembaga keuangan
syariah) harus menjaga titipan nasabah dengan selamat, aman, dan utuh.
Contoh penerapan akad wadiah pada rekening tabungan dan giro.
Sehingga tidak heran para pemuda yang belum berpenghasilan memilih
rekening berakad wadiah, karena tidak terdapat biaya administrasi setiap
bulan.

4. Musyarakah
Musyarakah merupakan akad berbentuk kerja sama usaha dimana
masing-masing pihak menyetorkan dana sebagai modal dengan porsi
sesuai kesepakatan. Sehingga modal dari berbagai pihak disatukan untuk
menjalankan suatu usaha. Kemudian usaha tersebut dikelola oleh salah satu
dari pemodal atau meminta bantuan pihak ketiga sebagai pegawai.

5. Musyarakah Mutanaqisah
Musyarakah Mutanaqisah adalah akad kerja sama antar pihak untuk
membeli suatu produk atau aset. Nantinya, salah satu pihak akan membeli
produk secara utuh dengan melakukan pembayaran bertahap pada pihak
lain.
Dalam lembaga keuangan syariah, akad Musyarakah Mutanaqisah
biasa digunakan pada pembiayaan proyek dengan nasabah. Pihak nasabah
akan mencicil modal pokok kepada perbankan syariah, tetapi pengelolaan
usaha tetap beraktivitas dengan modal tetap.

6. Wakalah
Wakalah termasuk akad akad syariah dengan sistem perwakilan antara
salah satu pihak kepada pihak lain. Akad ini banyak diterapkan pada
18
transaksi pembelian barang luar negeri atau impor untuk menyusun Letter
of Credit atau meneruskan permintaan pembeli.

7. Kafalah
Berikutnya, jenis akad syariah adalah Kafalah. Kafalah yaitu akad
penjaminan salah satu pihak kepada pihak lain. Penerapan akad kafalah
biasa dijumpai pada pembelian produk beserta garansi. Pada bidang jasa,
akad ini digunakan dalam menyusun garansi atas suatu proyek, advance
payment bond, hingga partisipasi dalam tender.

8. Hawalah
Jenis akad syariah wajib Anda ketahui yakni Hawalah. Akad ini
merupakan perjanjian atas pemindahan utang/piutang dari satu pihak ke
pihak lain. Contoh penerapannya pada layanan Post Dated Check pada
perbankan syariah. Pihak lembaga keuangan syariah memberikan
kesempatan kepada nasabah untuk menjual produknya kepada pembeli lain
dengan jaminan pembayaran berbentuk giro mundur.

9. Rahn
Rahn merupakan perjanjian dalam pegadaian suatu barang atau aset dari
pihak satu kepada pihak lain. Jadi nasabah meminjam uang kepada
lembaga keuangan syariah dengan memberikan jaminan berupa aset atau
barang berharga, tetapi pihak perbankan syariah hanya membebankan
biaya pemeliharaan aset kepada nasabah.

10.Qardh
Terakhir, macam macam akad syariah adalah Qardh. Sistem transaksi
syariah dimana nasabah meminjam dana talangan yang dibutuhkan segara

19
dalam periode singkat. Sehingga uang tersebut akan dikembalikan
secepatnya kepada bank.

F. FIQIH ZAKAT WAKAF


1. Zakat
a. Pengertian Zakat
Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah.
Sedangkan dalam istilah fiqih, zakat memiliki arti sejumlah harta
tertentu yang diambil dari harta tertentu dan wajib diserahkan kepada
golongan tertentu (mustahiqqin). Zakat dijadikan nama untuk harta
yang diserahkan tersebut, sebab harta yang dizakati akan berkembang
dan bertambah. Syekh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-
Hishni berkata :
‫اآلخ ِّذ‬
ِّ ‫اء‬ َ ُ‫اجها َ َود‬
ِّ ‫ع‬ ْ ‫ت ِّبذاَلِّكَ ِّأل َ َّن‬
ِّ ‫الما َ َل َي ْن ُم ْو ِّب َب َر َك ِّة ِّإ ْخ َر‬ ْ ‫س ِّم َي‬
ُ ‫َو‬
“Disebut zakat karena harta yang dizakati akan berkembang sebab
berkah membayar zakat dan doa orang yang menerima.” (Syekh
Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hishni, Kifayatul Akhyar,
Surabaya, al-Haramain, cetakan kedua, 2002, halaman 104)
b. Sejarah Zakat
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kapan zakat
diwajibkan. Di dalam kitab Hasyiyah al-Jamal dijelaskan bahwa Zakat
mal mulai diwajibkan di bulan Sya’ban tahun kedua hijriah bersamaan
dengan zakat fitri. Ada yang berpendapat bahwa zakat diwajibkan
sebelum baginda Nabi hijrah ke Madinah.
Namun, menurut pendapat yang masyhur di kalangan para pakar
hadits, zakat mal diwajibkan pada bulan Syawal tahun kedua hijriah
sedangkan zakat fitri diwajibkan dua hari sebelum hari raya Idul Fitri
setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah

20
al-Jamal ala al-Minhaj, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan kedua, 2003, jilid
dua, halaman 96).
c. Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu
unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Hal ini ditegaskan dalam
sebuah hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah menyebutkan bahwa
“Islam dibangun di atas 5 tiang pokok, yaitu kesaksian bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramaduan, dan naik haji bagi
yang mampu.” {HR. Bukhari & Musllim}. Oleh sebab itu hukum zakat
adalah wajib atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat
tertentu.
d. Jenis-jenis Zakat
Zakat terbagi atas dua jenis yakni :
1) Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim dan muslimah, baligh atau
belum, kaya atau tidak, dengan ketentuan bahwa dia hidup pada
malam hari raya dan memiliki kelebihan mu’nah (biaya hidup), baik
untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang yang ditanggung
nafkahnya, pada hari raya Idul Fitri dan malamnya (sehari semalam).
Besar zakat ini menurut jumhur (Maliki, Syafi’i, Hambali) setara
dengan dengan 2176 gram atau 2,2 kilogram.
Perlu disebutkan bahwa sha’ merupakan ukuran takaran, bukan
timbangan. Karenanya, maka ukuran ini sulit untuk dikonversi ke
dalam ukuran berat, sebab nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda,
tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki
berat yang tidak sama dengan berat satu sha’ beras. Oleh karenanya,
sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, para ulama

21
menyarankan agar mengeluarkan zakat fitrah sejumlah 2,5 sampai
3,0 kilogram.
2) Zakat Maal (Harta)
Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil
perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta
temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki
perhitungannya sendiri-sendiri.
e. Penerima Zakat
Golongan yang berhak menerima zakat ada delapan yaitu:
1) Fuqara’ (faqir) adalah orang yang tidak memiliki harta benda untuk
bias mencukupi kebutuhan hidupnya
2) Masakin (miskin) adalah orang yang memiliki harta benda atau
pekerjaan namun tidak bisa mencukupi
3) Amilin (amil) adalah orang-orang yang bekerja mengurus zakat dan
tidak diupah selain dari zakat.
4) Mu’allaf, orang yang baru masuk Islam. Atau bias juga orang Islam
yang masih lemah dalam menjalankan syariat Islam.
5) Riqab (budakMukatab) adalah budak yang di janjikan merdeka oleh
tuannya setelah melunasi sejumlah tebusan yang sudah disepakati
bersama dan juga dibayar secara lunas
6) Gharimin, orang memiliki tanggungan
7) Sabilillah, adalah orang yang berperang di jalan Allah
8) Ibnu Sabil, adalah orang yang memulai bepergian dari daerah tempat
zakat (baladuzzakat) atau melewati daerah tempat zakat.

22
2. Wakaf
a. Pengertian Wakaf
Wakaf merupakan istilah dari bahasa Arab ‘waqaf’. istilah wakaf
secara bahasa berarti penahanan atau larangan atau menyebabkan
sesuatu berhenti. Istilah wakaf secara istilah diartikan berbeda-beda
menurut pandangan ahli fiqih. Menurut Abu hanifah, wakaf adalah
menahan suatu benda sesuai hukum yang ada, dan menggunakan
manfaatnya untuk hal-hal kebaikan, bahkan harta yang sudah
diwakafkan bisa ditarik kembali oleh si pemberi wakaf. Berdasarkan
definisi Abu hanifah, kepemilikan harta tidak lepas dari si wakif, pihak
yang mewakafkan harta benda nya.
Mazhab hanafi menyebutkan wakaf adalah tidak melakukan
tindakan atas suatu harta tersebut, yang berstatus tetap hak milik dengan
memberikan manfaatnya kepada pihak tertentu baik untuk saat ini
ataupun waktu yang ditentukan. Sedangkan mazhab Malik berpendapat
wakaf tidak melepaskan harta yang dimiliki oleh pewakaf dan pewakaf
berkewajiban untuk memberikan manfaat dari harta yang
diwakafkannya dan tidak boleh menarik kembali harta yang
diwakafkan.
Mazhab syafi’i berpendapat bahwa wakaf merupakan pelepasan
harta dari kepemilikan melalui prosedur yang ada. Pewakaf tidak boleh
melakukan suatu tindakan kepada harta yang sudah diwakafkan
olehnya. Mazhab syafi’i juga membolehkan memberikan wakaf berupa
benda bergerak dengan syarat barang yang diwakafkan harus memiliki
manfaat yang kekal.
Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 2004, wakaf
adalah perbuatan hukum wakif, si pemberi wakaf, untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
23
dengan kepentingannya guna untuk keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
Secara umum wakaf harus memenuhi beberapa hal utama yaitu yang
memberikan wakaf dan pengelola harta wakaf harus mengalokasikan
untuk amal kebaikan. Selain itu pemberian wakaf harus bertujuan untuk
beramal kepada penerima atau kelompok yang jelas.
b. Jenis-jenis Wakaf
1) Wakaf Ahli
Wakaf ahli atau biasa disebut dengan wakaf keluarga adalah
wakaf yang dilakukan kepada keluarganya dan kerabatnya. Wakaf
ahli dilakukan berdasarkan hubungan darah atau nasab yang dimiliki
antara wakif dan penerima wakaf. Di beberapa negara, amalan
wakaf ahli ini sudah dihapus seperti di Turki, Lebanon, Syria, Mesir,
Irak dan Libya. Wakaf ahli ini dihapus karena beberapa faktor
seperti tekanan dari penjajah, wakaf ahli dianggap melanggar hukum
ahli waris, selain itu wakaf ahli dianggap kurang memberi manfaat
yang banyak untuk masyarakat umum.
Di Indonesia, wakaf ahli masih berlaku, begitu juga di Singapura,
Malaysia dan Kuwait. Hal ini dianggap karena bisa mendorong
orang-orang untuk berwakaf. Di Indonesia, wakaf ahli juga tertulis
dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2006 Pasal 30. Di dalam
Undang-Undang dituliskan bahwa,
‘Wakaf ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperuntukkan
bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan
darah (nasab) dengan Wakif.’
‘Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka
wakaf ahli karena hukum beralih statusnya menjadi wakaf khairi
yang peruntukannya ditetapkan oleh Menteri berdasarkan
pertimbangan BWI.’
24
2) Wakaf Khairi
Wakaf khairi adalah wakaf yang diberikan untuk kepentingan
umum. Wakaf khairi adalah wakaf dimana pihak pewakaf
memberikan syarat penggunaan wakafnya untuk kebaikan-kebaikan
yang terus menerus seperti pembangunan masjid, sekolah, rumah
sakit dan lain-lain. Wakaf khairi adalah jenis wakaf untuk mereka
yang tidak memiliki hubungan seperti hubungan keluarga,
pertemanan atau kekerabatan antara pewakaf dan orang penerima
wakaf.
3) Wakaf Musytarak
Wakaf musytarak adalah wakaf yang mana penggunaan harta
wakaf tersebut digunakan secara bersama-sama dan dimiliki oleh
kegerunan si pewakaf. Wakaf musytarak ini masih diterapkan oleh
beberapa negara seperti di Malaysia dan Singapura.
4) Wakaf Benda Tidak Bergerak
Selain wakaf di atas, wakaf juga dibagi menjadi wakaf
berdasarkan jenis harta. Salah satunya adalah wakaf benda tidak
bergerak. harta-harta yang dimaksud adalah bangunan, hak tanah,
tanaman dan benda-benda yang berhubungan dengan tanah.
5) Wakaf Benda Bergerak Selain Uang
Ada juga wakaf benda bergerak selain uang yaitu benda-benda
yang bisa berpindah seperti kendaraan. Selain itu ada juga benda
yang bisa dihabiskan dan yang tidak, air, bahan bakar, surat
berharga, hak kekayaan intelektual dan lain-lain.
c. Hukum Wakaf
Di dalam Al-Quran dan hadits ada beberapa dalil yang menjelaskan
tentang wakaf, meskipun tidak dijelaskan atau diterangkan secara jelas.
Karena wakaf adalah termasuk infak di jalan Allah, maka dalil dari
wakaf didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang
25
infak di jalan Allah. Disebutkan dalam AL-Quran surat Al-Imran ayat
92 yang berbunyi,
‫ع ِّل ْيم‬
َ ‫ّٰللاَ بِّ ٖه‬ َ ‫لَ ْن تَنَالُوا ْالبِّ َّر َحتهى ت ُ ْن ِّفقُ ْوا ِّم َّما ت ُ ِّحب ُّْونَ َو َما ت ُ ْن ِّفقُ ْوا ِّم ْن‬
‫ش ْيء فَا َِّّن ه‬
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan
sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan,
tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.”
Selain itu, infak di jalan Allah juga dijelaskan di dalam ayat Al-
Quran surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi,
َ ‫ض َو ََل تَيَ َّم ُموا ْال َخ ِّبي‬
‫ْث‬ ِّ ‫س ْبت ُ ْم َو ِّم َّما ْٓ اَ ْخ َرجْ نَا لَ ُك ْم ِّمنَ ْاَلَ ْر‬
َ ‫ت َما َك‬ َ ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِّذيْنَ ٰا َمنُ ْْٓوا اَ ْن ِّفقُ ْوا ِّم ْن‬
ِّ ‫ط ِّي ٰب‬
‫ي َح ِّميْد‬ٌّ ِّ‫غن‬ ‫ض ْوا فِّ ْي ِّه َوا ْع َل ُم ْْٓوا اَ َّن ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ ْٓ َّ ‫ِّم ْنهُ ت ُ ْن ِّفقُ ْونَ َو َل ْست ُ ْم ِّب ٰا ِّخ ِّذ ْي ِّه ا‬
ُ ‫َِّل اَ ْن ت ُ ْغ ِّم‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu
keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah
bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”
Selanjutnya perumpaan wakaf atau infak di jalan Allah juga
dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 261 yang berbunyi,
‫س ْۢ ْنبُلَة ِّمائَةُ َحبَّة‬
ُ ‫سنَا ِّب َل ِّف ْي ُك ِّل‬
َ ‫س ْب َع‬ ْ ‫ّٰللا َك َمثَ ِّل َحبَّة اَ ْۢ ْن َبت‬
َ ‫َت‬ َ ‫َمثَ ُل الَّ ِّذيْنَ يُ ْن ِّفقُ ْونَ اَ ْم َوالَ ُه ْم ِّف ْي‬
ِّ ‫س ِّب ْي ِّل ه‬
‫ع ِّليْم‬
َ ‫ّٰللاُ َوا ِّسع‬‫ف ِّل َم ْن َّيش َۤا ُء َو ه‬ ُ ‫ّٰللاُ يُضٰ ِّع‬ ‫َو ه‬
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah
seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap
tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.”
Selain dari Al-Quran, ada juga hadits yang menerangkan tentang
wakaf, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ini, yang
berbunyi,
ُ‫صلَّى هللا‬َ ‫ي‬ َّ ِّ‫ضا بِّ َخ ْيبَ َر فَأَتَى النَّب‬ً ‫اب أَ ْر‬ َ ‫ص‬ َ َ‫ب أ‬ َّ ‫ع َم َر بْنَ ْالخ‬
ِّ ‫َطا‬ ُ ‫ع ْن ُه َما أَ َّن‬
َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ ِّ ‫ع َم َر َر‬ ُ ‫ع ِّن اب ِّْن‬ َ
‫َس‬ ُّ َ‫صبْ َماَلً ق‬
َ ‫ط أَ ْنف‬ ِّ ُ ‫ضا بِّ َخ ْيبَ َر لَ ْم أ‬
ً ‫صبْتُ أَ ْر‬ ُ ‫سلَّ َم يَ ْستَأ ْ ِّم ُرهُ فِّ ْي َها فَقَا َل يَا َر‬
َ َ‫سو َل هللاِّ إِّنِّي أ‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬
َ
26
‫ع َم ُر أَنَّهُ ََل‬ُ ‫صدَّقَ بِّ َها‬َ َ‫صدَّ ْقتَ بِّ َها قَا َل فَت‬ َ َ‫صلَ َها َوت‬ ْ َ‫ِّع ْندِّي ِّم ْنهُ فَ َما تَأ ْ ُم ُر بِّ ِّه قَا َل إِّ ْن ِّشئْتَ َحبَّسْتَ أ‬
ِّ‫سبِّي ِّل هللا‬
َ ‫ب َوفِّي‬ ِّ ‫اء َوفِّي ْالقُ ْربَى َوفِّي‬
ِّ ‫الرقَا‬ ِّ ‫صدَّقَ بِّ َها فِّي ْالفُقَ َر‬
َ َ‫ث َوت‬ ُ ‫ُور‬
َ ‫َب َوَلَ ي‬ ُ ‫يُبَاعُ َو ََل يُوه‬
‫غي َْر ُمتَ َم ِّول‬
َ ‫ُط ِّع ُم‬ْ ‫وف َوي‬ِّ ‫علَى َم ْن َو ِّليَ َها أَ ْن يَأ ْ ُك َل ِّم ْن َها بِّ ْال َم ْع ُر‬ َ ‫ْف َلَ ُجنَا َح‬
ِّ ‫ضي‬ َّ ‫سبِّي ِّل َوال‬ ِّ ْ‫َوا‬
َّ ‫بن ال‬
“Dari Ibn Umar Radhiyallahu ‘anhu, mengatakan bahwa Umar bin
Khattab mendapatkan bagian tanah di Khaibar, kemudian Umar
menemui Nabi Muhammad SAW untuk meminta saran. Umar berkata:
‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan kekayaan berupa tanah yang
sangat bagus, yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Apa yang
akan engkau sarankan kepadaku dengan kekayaan itu?’ Nabi
bersabda: ‘Jika kamu mau, kamu bisa mewakafkan pokoknya dan
bersedekah dengannya.’ Lalu Umar menyedekahkan tanahnya dengan
persyaratan tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Umar
menyedekahkan tanahnya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk
memerdekakan budak, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak berdosa
bagi orang yang mengurusinya jika mencari atau memberi makan
darinya dengan cara yang baik dan tidak menimbun.”
Selain hadits di atas ada juga hadits yang menjelaskan bahwa
wakaf termasuk amal jariah. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim,
yang berbunyi,
َ ‫ار َية أَ ْو ِّع ْلم يُ ْنتَفَ ُع ِّب ِّه أَ ْو َولَد‬
ُ ‫صا ِّلح َي ْد‬
‫عو‬ َ :‫ع َملُهُ ِّإَلَّ ِّم ْن ثََلَث‬
ِّ ‫ص َدقَة َج‬ َ َ‫ِّإذَا َماتَ ابْنُ آ َد َم ا ْنق‬
َ ‫ط َع‬
ُ‫لَه‬
“Ketika manusia meninggal, maka terputus lah amalnya kecuali tiga
hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang selalu
mendoakannya.”
Di Indonesia sendiri, amalan wakaf sudah dilakukan oleh orang-
orang Islam sebelum Indonesia merdeka. Maka dari itu pemerintah
Indonesia menetapkan Undang-Undang yang mengatur tentang wakaf
di Indonesia. Peraturan tersebut tercantum di dalam Undang-Undang
nomor 41 Tahun 2004. Di dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan
27
pengertian wakaf, tujuan wakaf, unsur-unsur wakaf dan tata cara
pelaksanaannya dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 42 Tahun
2006.
d. Rukun-rukun dan Syarat Wakaf
Orang yang mewakafkan hartanya atau wakif. Orang yang ingin
mewakfkan hartanya memiliki syarat seperti baligh, berakal dan
merdeka atau bukan hamba sahaya. Hal ini berarti orang yang bodoh
tidak sah jika ingin mewakafkan hartanya, karena orang ini merupakan
orang yang hartanya dibekukan. Hal ini disebutkan dalam Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 286 yang berbunyi,
َ َ‫علَ ْي َها َما ا ْكت‬
ْ َ‫سب‬
‫ت‬ َ ‫سا ا ََِّّل ُو ْس َع َها لَ َها َما َك‬
ْ َ‫سب‬
َ ‫ت َو‬ ً ‫ّٰللاُ نَ ْف‬
‫ف ه‬ ُ ‫ََل يُك َِّل‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang
dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang
diperbuatnya.”
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa dalam melakukan ibadah
seseorang harus sanggup dalam mengerjakannya. Begitu juga dalam
mengamalkan wakaf. orang yang ingin memberi wakaf juga tidak boleh
memberi syarat-syarat yang haram dari syariat Islam. Jika orang yang
ingin berwakaf memberikan syarat-syarat yang memberatkan atau
menyimpang dari syariat Islam, maka wakaf tersebut hukumnya tidak
sah, seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, yang berbunyi,
‫ع َّز َو َجل‬ ِّ ‫عةَ ِّل َم ْخلُوق فِّي َم ْع‬
ِّ َّ ‫صيَ ِّة‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ‫ََل‬
َ ‫طا‬
“Tidak boleh taat kepada makhluk yang mengajak maksiat kepada
Allah.”
Penerima wakaf atau mauquf’alaih. Penerima wakaf bisa satu orang
saja. Syarat dari penerima wakaf adalah tidak memiliki tujuan maksiat
dalam penggunaan harta wakaf, dan dapat diserah terimakan. Selain itu
28
orang yang menerima wakaf juga harus berakal, karena orang yang
tidak berakal tidak bisa membelanjakan hartanya untuk tujuan yang
baik. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 5 yang
berbunyi,
‫س ْو ُه ْم َوقُ ْولُ ْوا لَ ُه ْم قَ ْو ًَل‬
ُ ‫ار ُزقُ ْو ُه ْم فِّ ْي َها َوا ْك‬ ‫سفَ َه ۤا َء اَ ْم َوالَ ُك ُم الَّتِّ ْي َجعَ َل ه‬
ْ ‫ّٰللاُ لَ ُك ْم قِّ ٰي ًما َّو‬ ُّ ‫َو ََل تُؤْ تُوا ال‬
‫َّم ْع ُر ْوفًا‬
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkan lah kepada mereka
perkataan yang baik.”
Barang yang diwakafkan atau mauquf. Barang yang diwakafkan
harus berupa barang yang sudah ditentukan. Selain itu barang yang
ingin diwakafkan bisa dialihkan hak miliknya. Barang yang harus
diwakafkan harus memiliki manfaat yang terus menerus. Maka dari itu,
makanan yang manfaatnya bisa habis seketika seperti makanan tidak
dianjurkan.
Lafal dalam wakaf. Lafal atau ucapan dalam wakaf harus lah kekal.
Ucapan yang memiliki batas tidak akan sah tentunya. Ucapan dalam
wakaf harus bisa terealisasi dan bersifat pasti serta tidak memiliki syarat
yang bisa membatalkan wakaf. Wasiat juga diperbolehkan, misalnya
jika seorang ayah mewakafkan rumahnya.
e. Saksi Wakaf
Ketika ingin mewakafkan sesuatu, sebaiknya ada saksi di dalamnya.
Hal ini untuk menghindari bahwa seseorang yang menerima wakaf
berkhianat dan tentunya untuk menjaga penerima wakaf tetap amanat.
Hal ini juga dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi,
‫س ْو ْۢق بِّ ُك ْم َواتَّقُوا ه‬
َ‫ّٰللا‬ َ ‫ض ۤا َّر كَاتِّب َّو ََل‬
ُ ُ‫ش ِّهيْد ە َوا ِّْن تَ ْفعَلُ ْوا فَ ِّانَّه ف‬ َ ُ‫َواَ ْش ِّهد ُْْٓوا اِّذَا تَبَايَ ْعت ُ ْم ۖ َو ََل ي‬
‫ع ِّليْم‬ َ ‫ّٰللاُ بِّ ُك ِّل‬
َ ‫ش ْيء‬ ‫َويُعَ ِّل ُم ُك ُم ه‬
‫ّٰللاُ َو ه‬
29
“Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis
dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah
kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
f. Keutamaan Wakaf
Tidak hanya amal bersedekah saja, amal wakaf juga memiliki
manfaat di dunia dan kehidupan akhirat. Berikut adalah manfaat dari
wakaf yaitu:
1) Mendapatkan amal jariah
Orang yang berwakaf pahalanya akan mengalir terus menerus
selama hidupnya sampai ia meninggal dunia. Hal ini dijelaskan
dalam hadits riwayat Muslim yang berbunyi,
َ ‫ار َية َو ِّع ْلم يُ ْنتَفَ ُع ِّب ِّه َو َولَد‬
‫صا ِّلح‬ َ ‫ع َملُهُ ِّإ ََّل ِّم ْن ثَ ََلثَة ِّم ْن‬
ِّ ‫صدَقَة َج‬ َ َ‫سانُ ا ْنق‬
َ ‫ط َع‬ ِّ ْ َ‫ِّإذَا َمات‬
َ ‫اْل ْن‬
ُ‫عو َله‬
ُ ‫َي ْد‬
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputus lah amalannya
kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariah, ilmu yang
dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”
2) Mempererat tali persaudaraan
Dengan mewakafkan harta yang bisa digunakan oleh masyarakat
umum tentunya akan mempererat tali persaudaraan, karena sama-
sama bisa menikmati sarana dari wakaf tersebut.
3) Membantu pembangunan negara
Harta yang diwakafkan untuk membangun sarana umum seperti
masjid, sekolah, fasilitas kesehatan atau jalanan tentunya akan bisa
dinikmati oleh orang-orang yang membutuhkan. Hal ini tentunya
sangat berpengaruh dalam pembangunan negara.

30
4) Membangun jiwa sosial yang tinggi
Tidak hanya bersedekah, mewakafkan harta benda juga menjadi
salah satu sarana untuk membangun jiwa sosial yang ada di diri
manusia. Dengan berwakaf tentunya akan meringankan beban orang
yang lebih membutuhkan.

G. ISU KONTEMPORER
Isu sendiri memiliki arti masalah yang dikedepankan atau topik yang
sedang hangat diperbincangkan, beritanya masih menjadi hilir yang tak asing
dikalangan masyarakat. Sedangkan kontemporer itu sendiri memiliki arti
kekinian, sesuatu yang terjadi sekarang atau sesuatu yang menjadi trend pada
masa sekarang.
Dari definisi diatas kita bisa menyimpulkan bahwa isu-isu kontemporer
adalah suatu pokok persoalan yang terjadi pada masa sekarang atau menjadi
trending topik pada saat ini jadi solusi penyelesaian nya harus sesuai dengan
masa sekarang yaitu masa modern.
Berkembangnya isu-isu kontemporer dikarenakan banyaknya masalah-
masalah baru yang muncul dikarenakan berkembangnya teknologi yang tak
disertai dengan kesiapan orang yang mengalaminya.
Sehingga mau tidak mau orang-orang jaman sekarang terbawa arus karena
kurangnya kesiapan dalam menerima teknologi yg baru contohnya android
yang semakin berkembang pada saat ini bukan hanya berdampak baik tapi
juga mempunyai dampak buruk pula yaitu rata-rata masyarakat mulai menjadi
pecandu android sehingga mereka sangat bergantung kepada android tersebut
dan menimbulkan kurangnya usaha untuk mencapai karena terlalu dimanjakan
oleh segala kemudahan yg ditawarkan android.

31

Anda mungkin juga menyukai