Anda di halaman 1dari 9

Murabahah

“Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli
barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan
sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank
syariah dan nasabah.”
Wikipedia

Apa itu Murabahah?

Murabahah merupakan suatu akad yang dijalankan menggunakan instrumen jual beli dengan
mengambil keuntungan. Skema ini juga dapat menjadi akses permodalan usaha melalui akad bai'
murabahah bil wa'di lisy syira' dan bai' murabahah lil amri lisy srira'. Nilai keuntungan yang
didapat perbankan bergantung pada margin laba. Pembiayaan akad Murabahah ini dijalankan
dengan basis ribhun (laba) melalui jual beli secara cicil maupun tunai.

Akad Murabahah juga termasuk ke dalam bai’ul amanah yang berarti sebuah transaksi jual-beli
amanah yaitu di mana penjual memberikan transparansi terkait harga modal dan margin secara
jelas serta jujur kepada pembeli.

Murabahah pada dasarnya adalah sebuah proses transaksi jual-beli barang di mana harga asal dan
keuntungan telah diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak sebelumnya. Sementara, Akad
Murabahah dalam perbankan Syariah dapat diartikan sebagai jenis kontrak yang sering
digunakan untuk pembelian produk oleh bank sesuai permintaan nasabah dan kemudian dijual
kepada nasabah tersebut sebesar dengan harga beli dan keuntungan yang telah disepakati
sebelumnya.

Syarat dan Ketentuan Murabahah

Akad Murabahah memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Keinginan bertransaksi dilakukan dengan kemauan sendiri.


2. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
3. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, contohnya
apabila pembelian dilakukan secara hutang.
4. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur
harga pokok barang kepada nasabah beserta biaya tambahan yang diperlukan, misal ongkos
angkut barang.
5. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu
tertentu.
6. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
7. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang.
8. Adanya ijab dan kabul.

Landasan Hukum Murabahah

Landasan hukum pada transaksi murabahah berasal dari Q.S. Al-Baqarah[2] : 275, yang
berbunyi “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Juga pada Q.S. An-
Nisa[4] : 29 yang artinya, “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu“

Kegunaan Akad Murabahah

Berikut beberapa manfaat dan kegunaan dari menggunakan transaksi Murabahah:

1. Sebagai pemenuh modal usaha kerja, investasi, maupun pembiayaan yang bersifat
konsumtif seperti angsuran rumah, kendaraan, dll.
2. Untuk pembiayaan kebutuhan produktif seperti mesin produksi, alat-alat perkantoran, dll.
3. Cara dan proses pembayaran serta jangka waktu pembayaran sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak.

Kelebihan Menggunakan Akad Murabahah

Akad Murabahah sering dipilih untuk digunakan dalam transaksi jual-beli tentu karena memiliki
banyak keuntungan maupun kelebihan dari cara lainnya, berikut beberapa di antaranya:

1. Keuntungan diketahui dan ditentukan secara jelas di awal transaksi dan merupakan hasil
dari kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini tentu berbeda dengan akad Mudharabah atau
Musyarakah yang keuntungannya tidak boleh ditentukan di awal karena harus disesuaikan
setelah mengetahui hasil usaha nasabah.
2. Margin atau keuntungan Murabahah bersifat tetap (certainty), apabila sudah disepakati
oleh kedua belah pihak maka tidak dapat diubah.
3. Transaksi Murabahah apabila dilakukan secara kredit dinilai memiliki resiko yang lebih
rendah karena tidak berhubungan dengan kondisi usaha nasabah tersebut, baik itu mengalami
untung maupun rugi. Transaksi utang - piutang ini wajib diselesaikan oleh nasabah sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.

Jenis-jenis Murabahah

Tersedia dua jenis akad Murabahah yang biasanya dilakukan:


Akad Murabahah dengan Pesanan

Pada akad Murabahah ini, transaksi jual-beli terjadi setelah penjual membeli barang yang telah
dipesan oleh pembeli terlebih dahulu. Pesanan tersebut dapat bersifat maupun tidak mengikat.
Apabila mengikat, maka pembeli tidak dapat membatalkan pesanan dan harus membayar barang
yang telah dipesan. Serta jika barang yang telah dibeli nilainya berkurang sebelum diberikan
kepada pembeli, tentu saja akan mengurangi akad dan penurunan nilai tersebut menjadi
tanggungan atau beban penjual.

Sebaliknya jika tidak mengikat, pembeli tidak wajib membayar atau dapat membatalkan barang
yang telah dipesan oleh penjual. 

Akad Murabahah Tanpa Pesanan

Sesuai nama jenisnya, penjual dapat membeli barang tanpa harus ada pesanan terlebih dahulu
dari pembeli. Akad Murabahah jenis ini termasuk bersifat tidak mengikat.
Pengertian Akad Murabahah

Murabahah berasal dari kata bahasa Arab, ribh (ar-ribhu) yang berarti keuntungan, kelebihan,
atau tambahan. Di dunia perbankan syariah, perjanjian ini terjadi antara bank dengan nasabah
yang memerlukan barang dari bank tersebut. Pada dasarnya, murabahah adalah transaksi
penjualan.

Yang membedakan akad ini dengan praktik penjualan konvensional adalah informasi yang
diberikan kepada pembeli. Menurut pendapat Utsmani, murabahah adalah bentuk jual-beli yang
menuntut penjual untuk memberi informasi kepada calon pembeli tentang harga dan biaya di
baliknya. Selain harga jual, calon pembeli juga berhak tahu tentang nilai pokok barang serta
jumlah keuntungan yang diambil penjual.

Murabahah termasuk Bai’ul Amanah

Akad murabahah termasuk dalam kategori jual beli amanah atau dalam bahasa arab disebut
bai’ul amanah. Apa itu bai’ul amanah? Ia adalah jual beli dimana penjual dipercaya untuk
menyebutkan harga belinya/harga modal dengan jujur. Bai’ul amanah terdiri dari tiga jenis yaitu
bai’ul murabahah, bai’ul tauliyah dan bai’ul wadiah.

Bai’ul Murabahah

Pada bai’ul murabahah, penjual dipercaya untuk menyebutkan modal atas barang yang ia jual
termasuk keuntungan yang hendak ia peroleh. Misalnya, Rosnita memiliki usaha kue. Ia akan
menjual kue tersebut kepada Rohman. Ketika akan menjual kue tersebut, Rosnita akan
menyebutkan modal ia ketika membuat kue beserta keuntungan yang ia dapatkan dari menjual
kue tersebut.

Bai’ul Tauliyah

Pada bai’ul tauliyah, penjual akan menjualkan barangnya sesuai dengan harga modal ketika ia
memperoleh barang tersebut. Misalnya, Rosnita yang memiliki usaha kue memerlukan modal
sebesar Rp50.000 untuk membuat kue tersebut. Kemudian ia menjual ke Rohman juga dengan
harga Rp50.000. Sehingga Rosnita mendapatkan kembali uang yang menjadi modalnya tanpa
memperoleh keuntungan sepeserpun.

Bai’ul Wadiah

Pada bai’ul wadiah, penjual akan menjualkan barangnya dibawah harga modal ketika ia
memperoleh barnag tersebut. Misalnya, Rosnita memiliki gadget yang sudah lama ia pakai.
Kemudian ia akan menjualnya ke Rohman dengan harga yang lebih rendah. Gadget tersebut ia
beli dengan harga 1juta kemudian dijual kepada Rohman dengan harga 800ribu. Maka dalam hal
ini, Rosnita rugi sebesar 200ribu.
Pendapat Ulama terkait Jual Beli Amanah

Pada dasarnya sebagian besar ulama memperbolehkan jual beli amanah dengan tiga jenis
tersebut. karena dalam transaksi tersebut terdapat keridhaan akan kedua belah pihak dan dapat
saling menguntungkan karena masing-masing mengetahui modal dan keuntungan yang
diperoleh.

Adapun ulama malikiyah tidak menyarankan jual beli amanah. Hal tersebut didasarkan karena
umumnya manusia tidak menyukai bila harga modal dan keuntungannya diketahui. Oleh sebab
itu, ulama malikiyah lebih menyarankan untuk menggunakan model transaksi ba’i al
musawamah. Jual beli ini tidak menuntuk seorang penjual untuk memberitahukan harga modal
dan keuntungan yang akan diperolehnya.

Dalam jual beli ini juga umum terjadi adanya tawar menawar harga agar mencapai kesepakatan
atas harga dan meraih keridhaan antar kedua belah pihak.

Penyempitan Makna Murabahah

Dewasa ini, akad murabahah mengalami penyempitan makna. Seringkali makna akad murabahah
hanya sekedar jual beli dengan cara cicilan sebagaimana yang dipraktikan oleh lembaga
keuangan syariah seperti Bank Syariah, BMT dan sebagainya.

Padahal makna murabahah tidak sesempit itu. Intinya bila kamu menjual barang yang disertai
dengan pengakuan akan modal dan keuntungan yang hendak diperoleh kemudian disepakati oleh
pembeli maka kamu telah melakukan transaksi murabahah. Dengan kata lain, akad murabahah
bisa terjadi jika transaksi penjualan dan pembelian memiliki margin keuntungan yang disepakati
oleh kedua belah pihak.

Dalam hal ini, pembeli berhak membatalkan keinginan untuk bertransaksi jika pada akhirnya
biaya yang dikemukakan oleh penjual tidak sesuai dengan keinginan. Pembayaran barang dalam
akad ini bisa dilakukan secara tunai atau kredit, sesuai kesepakatan sehingga tidak terbatas hanya
pada cara cicilan.

Landasan Hukum Murabahah

Landasan utama adanya transaksi murabahah adalah berasal dari Q.S. Al-Baqarah[2] : 275, yang
artinya “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Juga pada Q.S. An-
Nisa[4] : 29 yang artinya, “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu“

Fatwa MUI Terkait Murabahah


Pada era saat ini dimana transaksi murabahah erat kaitannya dengan praktik pada lembaga
keuangan syariah, maka transaksi murabahah tercantum dalam fatwa DSN NO: 04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang murabahah. Hal ini dicontohkan seperti ketika seseorang pembeli berkata,
“Beli barang ini olehmu 10 juta, nanti saya berjanji akan membelinya darimu 12juta tidak tunai
dan saya pasti akan memenuhi janji (janji yang mengikat).

Dalam hal ini dikarenakan adanya janji yang terikat yang membuat kedua belah pihak tidak
dapat menarik diri maka transaksi ini diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat dari ulama Dr.
Yusuf Al Qaradhawi dan Dr. Samid Hamud.

Landasan Hadist atas Fatwa

Landasan dari pendapat ini adalah sabda Nabi SAW yaitu, “Tidak boleh melakukan perbuatan
yang membuat mudharat bagi orang lain baik permulaan ataupun balasan” (HR. Ibnu Majah.
Dishahihkan oleh Al-Albani). Kemudian terdapat banyak dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah
yang mengharuskan seorang muslim memenuhi janjinya dan menyebut orang yang tidak
memenuhi janji sebagai orang yang munafik.

Nabi SAW bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga apabila ia berucap ia berdusta, apabila
berjanji ia ingkar dan apabila ia diberikan amanah ia khianat” (HR. Bukhari)

Pendapat Jumhur Ulama

Jumhur (mayoritas) ulama telah sepakat terkait kebolehan akad murabahah. Sebagian ulama
mendasarkan kebolehan ini deengan menganalogikan (qiyas) terhadap jual beli tauliyah yaitu
jual beli dengan harga yang sama dengan harga modalnya. Sebagaimana pada hadist Nabi SAW,
“Rasulullah SAW membeli unta untuk hijrah dari Abu bakar dengan harga at par (tauliyah);
ketika Abu Bakar ingin menghibahkan unta tersebut, Rasulullah mengatakan; “Tidak, saya akan
bayar sesuai dengan harga pokok pembelian (tsaman).””

Kemudian pada riwayat lain, Abu Bakar berkata, “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya
dua ekor unta yang telah aku siapkan keduanya untuk keluar hijrah, maka ambillah salah
satunya.” Maka beliau berkata: “Aku sudah mengambil salah salatunya dan kamu terima harga
jualnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad).

Syarat dan Rukun Terjadinya Akad Murabahah

Sebelum akad murabahah bisa terjadi, ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi, antara
lain:

Adanya pembeli dan penjual yang telah balig dan berakal sehat.

Keinginan bertransaksi dilakukan dengan kemauan sendiri tanpa adanya paksaan.

Adanya objek akad.


Adanya barang atau objek yang akan dijual.

Kejelasan harga dan kondisi barang, dengan harga yang disepakati bersama. Penjual juga harus
memberitahukan harga pokok beserta besaran keuntungan yang diinginkan kepada pembeli

Ijab dan kabul.

Skema Murabahah Sederhana

Skema Murabahah Sederhana dengan 2 pihak

Pada murabahah ini hanya melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Pada tahap pertama
si A akan menjualkan barangnya berupa motor kepada si B. Harga yang ditetapkan si A adalah
Rp12juta. Harga tersebut terdiri dari harga modal sebesar Rp10 juta dan margin sebesar Rp2 juta.
A menyebutkan dua harga tersebut kepada si B. Dikarenakan harga tersebut layak menurut B,
maka ia sepakat untuk membayar motor tersebut dengan harga total Rp12 juta.

Skema Murabahah pada Perbankan

Skema Murabahah pada Perbankan

Praktik Murabahah pada Perbankan Syariah (Kondisi Ideal)

Bila ada yang mengatakan praktik pada perbankan konvensional dan perbankan syariah adalah
sama saja, maka itu sungguh jawaban yang sangat keliru. Karena bila bicara praktik pada
perbankan konvesnional, nasabah yang hendak meminjam sejumlah uang tertentu untuk membeli
barang atau untuk keperluan lain harus membayar kembali uang yang dipinjam pada tempo
waktu yang telah ditentukan beserta tambahan uang atau bunga yang juga harus dibayar.

Adanya tambahan uang yang harus dibayar adalah bentuk dari keuntungan yang harus diperoleh
bank dari pinjaman yang ia berikan kepada nasabah. Hal tersebut dalam Islam disebut riba dan
islam mengharamkan riba sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah[2] : 275 bahwa Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Lain halnya dengan yang terjadi pada perbankan syariah. Bila bicara pada kondisi ideal, karena
sistem yang digunakan adalah jual beli murabahah maka nasabah memesan terlebih dahulu
kepada bank syariah sesuai dengan spesifikasi yang nasabah inginkan.

Kemudian bank tersebut membelikan barang yang dipesan nasabah kepada supplier secara tunai
sehingga terjadi perpindahan kepemilikan dari supplier kepada bank. Lalu, bank menjual barang
tersebut kepada nasabah dengan ditambahkan margin keuntungan dan nasabah berhak membeli
barang tersebut secara cicilan. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan murabahah lil amir
bisysyiraa.

Praktik Murabahah pada Perbankan Syariah (Kondisi Real)


Pada kondisi ideal dapat kamu lihat skema di atas. Namum, pada praktik real di lapangan bank
syariah tidak dapat melakukan praktik jual-beli. Hal ini disebabkan bank syariah berada dalam
regulasi bank Indonesia dan otoritas jasa keuangan yang mana pada regulasi tersebut teradapat
undang-undang yang mengatur bahwa perbankan tidak boleh melakukan praktik jual-beli.

Selain itu, bank syariah memiliki kendala apabila harus melakukan praktik jual-beli. Kendala
tersebut terdapat pada perhitungan pajak. Apabila bank syariah melakukan transaksi jual-beli
maka ia akan dikenakan dua kali perhitangan pajak yaitu antara supplier dengan bank dan antara
bank dengan nasabah.

Oleh sebab itu, bank tidak dapat melakukan praktik jual beli. Untuk mengatasi hal tersebut, bank
syariah meminta nasabah untuk membelikan dahulu barang yang ia ingin miliki secara tunai
kemudian diserahkan kepada bank dan bank tersebut menjual kembali kepada nasabah secara
cicil. Hal ini dikenaal dengan sebutan murabahah bil wakalah.

Ilustrasi Akad Murabahah pada Perbankan

Untuk mempermudah gambaran atas transaksi ini, berikut ilustrasinya. Misal, Afif adalah
seorang pengusaha yang membutuhkan pembiayaan untuk membeli sebuah laptop seharga 10
juta. Afif datang ke Bank Syariah (sebut saja bank A) kemudian menjelaskan akan kebutuhannya
memiliki sebuah laptop seharga 10 juta.

Ia juga menyebutkan spesifikasi laptop yang ia butuhkan. Tentunya Afif harus menyertakan
dokumen-dokumen yang menandakan bahwa Afif layak untuk dibiayai hal ini juga untuk
menghindari terjadi NPF (non performing financing) atau bahasa sederhananya kredit macet.

Setelah permohonan Afif disetujui terjadi kesepakatan margin yang ditawarkan bank dan tempo
pembayaran cicilan maka Afif diserahkan uang oleh Bank A untuk membelikan laptop yang ia
butuhkan kemudian serahkan kembali ke bank dan bank tersebut menjual kembali kepada Afif
dengan cara cicil beserta margin yang sudah disepakati.

Bila Terlambat Membayar Maka ada Denda, Bolehkah Demikian?

Pada dasarnya Bank Syariah diperbolehkan menerapkan denda apabila terjadi keterlambatan
pembayaran murabahah dari nasabahnya. Namun, nasabah yang diperbolehkan untuk dikenakan
denda adalah nasabah yang mampu tapi menunda pembayaran cicilannya. Adapun dana yang
didapatkan dari denda tersebut tidak boleh digunakan untuk operasional bank tetapi diperuntukan
sebagai dana sosial.

Acuan atas penerapan kebijakan ini diambil dari hadis Rasulullah SAW, “Menunda-nunda
pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezhaliman. Maka jika
seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan utangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang
mampu, terimalah.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad,
Malik, dan Darami).
Berdasarkan hadist tersebut apabila seorang debitur mampu tetapi ia menunda pembayaran
murabahahnya, maka itu termasuk perbuatan yang zalim kepada kreditur. Lebih khusus,
pengenaan denda adalah untuk memberikan efek jera kepada nasabah serta untuk menghindarkan
kerugian dan mudarat kepada bank syariah dan juga kepada pemilik dana.

Media untuk Melakukan Akad Murabahah

Buat kamu yang ingin mencoba melakukan akad murabahah baik dalam hal investasi ataupun
untuk mengajukan pembiayaan suatu barang maka ada beberapa media yang kamu bisa pilih,
diantaranya:

Bank Syariah, ini yang umum diketahui. Kalau kamu ingin melakukan akad murabahah pada
institusi ini maka kamu harus siap-siap untuk di screening lebih dalam karena bank akan sangat
berhati-hati untuk memberikan pembiayaan. Hal tersebut dikarenakan, bank mencoba untuk
meminimalisir non performing financing (NPF) atau gampangnya adalah kredit macet.

Lembaga Keuangan Syariah Non Bank. Kamu bisa memilih media selain bank seperti BMT,
Koperasi Syariah, BPRS dan sebagainya. Jikalau kamu memilih media ini maka kamu akan lebih
mudah mendapatkan pembiayaan. Karena, misalkan BMT sebagai lembaga keuangan mikro
islam memiliki karakteristik sangat guyub terhadap nasabahnya sehingga fungsi monitoring
sangat efektif pada lembaga ini.

Fintech Syariah. Ada banyak Fintech syariah yang hadir di Indonesia. Di antara mereka juga
menawarkan investasi dan pembiayaan dengan akad murabahah. Salah satunya Qazwa yang
memberikan fasilitas pembiayaan dengan akad murabahah yang membantu UMKM untuk bisa
memiliki peralatan untuk usahanya.

Baca Juga : Mengenal Akad Mudharabah dalam Islam

Beberapa pendapat mengatakan akad murabahah adalah sesuatu yang dibolehkan, tetapi ada juga
yang mengharamkan. Berdasarkan pendapat dari Imam Syafi’i, akad ini diperbolehkan dengan
syarat penjual dan pembeli memiliki hak khiyar. Hal tersebut berarti diperbolehkan untuk
meneruskan membatalkan akad jika ditemukan unsur-unsur yang dilarang agama seperti riba
atau menimbulkan masalah.

Untuk kamu yang tertarik dengan topik tentang ekonomi islam atau fikih, kamu bisa cek artikel
lainnya di rubrik Ekonomi Islam. Kunjungi juga channel Youtube Qazwa

untuk pembahasan terkait ekonomi islam, bisnis dan keuangan.

Anda mungkin juga menyukai