Anda di halaman 1dari 59

BAB VII

Murabahah (Jual Beli)

Murabahah adalah prinsip yang diterapkan melalui mekanisme jual beli


barang secara cicilan dengan penambahan margin keuntungan bagi bank. Porsi
pembiayaan dengan akad Murabahah saat ini berkontribusi 60% dari total
pembiayaan Perbankan Syariah Indonesia. Nilai keuntungan yang didapat suatu
bank bergantung pada margin laba. Nah, pembiayaan akad murabahah adalah
dijalankan dengan basis ribhun (laba) melalui jual beli secara cicil maupun tunai.

Dalam praktiknya, murabahah adalah akad yang memberikan kemudahan


bagi perbankan syariah dalam proses perizinan dan pengawasan produk,
membantu memudahkan pelaksanaan dan pengembangan produk oleh pelaku
industri, serta memberikan kepastian hukum dan transparansi produk yang
mendukung terciptanya market conduct yang dapat mempengaruhi prinsip
perlindungan konsumen dalam layanan produk jasa perbankan syariah. Itu berarti
sebuah transaksi jual-beli amanah yaitu penjual memberikan transparansi terkait
harga modal dan margin secara jelas serta jujur kepada pembeli.

Jenis-jenis Murabahah

Dalam sistem keuangan syariah, ada beberapa macam murabahah yang dapat
digunakan untuk jual beli barang dengan harga asal dan keuntungan yang disetujui
antara penjual dan pembeli. Berikut adalah beberapa macam murabahah:

1. Murabahah Tanpa Pesanan: Murabahah tanpa pesanan adalah jenis jual


beli murabahah yang dilakukan tanpa ada pesanan terlebih dahulu. Dalam
hal ini, penjual menyediakan barang dan menentukan harga asal, sambil
pembeli bertanggung jawab untuk membayar harga asal dan keuntungan
yang ditetapkan.

2. Murabahah Berdasarkan Pesanan: Murabahah berdasarkan pesanan


adalah jenis jual beli murabahah yang dilakukan dengan adanya pesanan
terlebih dahulu. Dalam hal ini, pembeli mengirimkan pesanan ke penjual,
yang kemudian menentukan harga asal dan keuntungan yang akan
diterima.

3. Murabahah Mudharabah: Murabahah mudharabah adalah jenis jual beli


murabahah yang dilakukan dengan modal yang disediakan oleh pembeli.
Dalam hal ini, pembeli menyediakan modal yang akan digunakan untuk
membeli barang, dan penjual akan menjual barang dengan harga asal dan
keuntungan yang disetujui.

4. Murabahah Mudharabah Bersama: Murabahah mudharabah bersama


adalah jenis jual beli murabahah yang dilakukan dengan modal yang
disediakan oleh pembeli dan penjual. Dalam hal ini, pembeli dan penjual
bersama menyediakan modal untuk membeli barang, dan harga asal dan
keuntungan akan diterima oleh pembeli.

5. Murabahah Mudharabah Bersama Tawar Menawar: Murabahah


mudharabah bersama tawar menawar adalah jenis jual beli murabahah
yang dilakukan dengan modal yang disediakan oleh pembeli dan penjual,
serta adanya tawar dan menawar antara pembeli dan penjual. Dalam hal
ini, pembeli dan penjual akan bertanding untuk menjual dan membeli
barang, dan harga asal dan keuntungan akan diterima oleh pembeli.

6. Murabahah Istisna': Murabahah istisna' adalah jenis jual beli murabahah


yang dilakukan dengan barang yang belum ada. Dalam hal ini, pembeli
akan memesan barang yang belum ada, dan penjual akan menjual barang
yang akan dibuat sesuai dengan pesanan pembeli.

7. Murabahah Ijarah: Murabahah ijarah adalah jenis jual beli murabahah


yang dilakukan dengan barang yang sudah ada. Dalam hal ini, pembeli
akan membeli barang yang sudah ada, dan penjual akan menjual barang
yang sudah ada.

8. Murabahah Qardh: Murabahah qardh adalah jenis jual beli murabahah


yang dilakukan dengan modal yang diberikan oleh pembeli kepada
penjual. Dalam hal ini, pembeli akan memberikan modal kepada penjual,
dan penjual akan menjual barang dengan harga asal dan keuntungan yang
disetujui.

9. Murabahah Wadiah: Murabahah wadiah adalah jenis jual beli


murabahah yang dilakukan dengan barang yang sudah ada. Dalam hal ini,
pembeli akan membeli barang yang sudah ada, dan penjual akan menjual
barang yang sudah ada.

10. Murabahah Salam: Murabahah salam adalah jenis jual beli murabahah
yang dilakukan dengan barang yang belum ada. Dalam hal ini, pembeli
akan membeli barang yang belum ada, dan penjual akan menjual barang
yang belum ada.

11. Murabahah Mudharabah Salam: Murabahah mudharabah salam adalah


jenis jual beli murabahah yang dilakukan dengan modal yang disediakan
oleh pembeli, barang yang belum ada, dan adanya tawar dan menawar
antara pembeli dan penjual. Dalam hal ini, pembeli dan penjual akan
bertanding untuk menjual dan membeli barang yang belum ada.

12. Murabahah Mudharabah Salam Bersama: Murabahah mudharabah


salam bersama adalah jenis jual beli murabahah yang dilakukan dengan
modal yang disediakan oleh pembeli dan penjual, barang yang belum ada,
dan adanya tawar dan menawar

Perbedaan Pengertian Murabahah Masa Lalu Dan Masa Kini

Pengertian murabahah sebagai jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati dan tidak terlalu memberatkan calon pembeli masih
berlaku sekarang. Namun, terdapat perbedaan dalam pengertian murabahah masa
lalu dan masa kini.

1. Masa lalu
Murabahah dipercepatkan dengan kontrak yang tidak memungkinkan
pembeli pertama untuk menjual barang kepada pembeli kedua, yang mengandung
unsur kezaliman dalam ekonomi dan menyebabkan banyak kejahatan sosial.
Namun, dengan perkembangan hukum dan keadilan, pengertian murabahah telah
dirubah menjadi lebih transparan dan tidak mengandung unsur kezaliman.

2.Masa kini

Murabahah dipercepatkan dengan kontrak yang memungkinkan pembeli


pertama untuk menjual barang kepada pembeli kedua, yang memungkinkan
pembeli pertama untuk mengambil manfaat dari keuntungan yang diperoleh. Hal
ini disebabkan oleh perkembangan teknologi dan pengalaman, yang
memungkinkan pembeli pertama untuk menjual barang kepada pembeli kedua
lebih mudah dan cepat.

Perbedaan pengertian murabahah masa lalu dan masa kini terkait pada
kontrak yang lebih transparan dan tidak mengandung unsur kezaliman, yang
memungkinkan pembeli pertama untuk mengambil manfaat dari keuntungan yang
diperoleh.

Proses Pembiayaan Murabahah

Proses pembiayaan murabahah adalah proses yang melibatkan beberapa tahap


yang harus dilakukan oleh nasabah dan bank syariah. Berikut adalah langkah-
langkah proses pembiayaan murabahah:

1. Pengajuan Pembiayaan: Nasabah melakukan pengajuan pembiayaan


murabahah dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank
syariah, seperti dokumen pendukung, pengesahan pendapatan, dan lain-
lain.

2. Negosiasi: Nasabah bertemu dengan bank syariah untuk menyetujui jenis


dan jumlah pembiayaan yang diperlukan.

3. Pembuatan Akad: Bank syariah dan nasabah menyetujui dan mengakhiri


akad pembiayaan murabahah, yang berisi tentang jenis pembiayaan,
jumlah pembiayaan, harga pokok pembelian, tingkat keuntungan, dan lain-
lain.

4. Pengajuan Persetujuan Prinsip: Bank syariah melakukan pemberitahuan


ke nasabah melalui telepon tanpa memberikan surat persetujuan prinsip
atau Offering Letter, sebagaimana yang ditetapkan OJK.

5. Pembayaran: Nasabah melakukan pembayaran pembiayaan, yang terdiri


dari harga pokok pembelian, tingkat keuntungan, dan biaya administrasi.

6. Pembiayaan Berakhir: Setelah pembayaran selesai, pembiayaan


murabahah berakhir.

Proses pembiayaan murabahah harus dilakukan dengan transparansi,


akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran, serta sesuai
dengan prinsip syariah.

Pengakuan Dan Pengukuhan Murabahah

Pengakuan dan pengukuhan murabahah adalah proses yang penting dalam


transaksi jual beli murabahah. Berikut adalah langkah-langkah pengakuan dan
pengukuhan murabahah:

1. Pengajuan Pembiayaan: Nasabah melakukan pengajuan pembiayaan


murabahah dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank
syariah.

2. Negosiasi: Nasabah bertemu dengan bank syariah untuk menyetujui jenis


dan jumlah pembiayaan yang diperlukan.

3. Pembuatan Akad: Bank syariah dan nasabah menyetujui dan mengakhiri


akad pembiayaan murabahah, yang berisi tentang jenis pembiayaan,
jumlah pembiayaan, harga pokok pembelian, tingkat keuntungan, dan lain-
lain.

4. Pengakuan Pembiayaan: Bank syariah mengakui pembiayaan murabahah


dan menyetujui penggunaan dana tersebut oleh nasabah.
5. Pengukuhan Pembiayaan: Nasabah menguku pembiayaan murabahah dan
menjamin bahwa akan membayar harga pokok pembelian dan keuntungan
yang ditetapkan.

6. Pembelian Barang: Nasabah membeli barang dengan harga pokok


pembelian dan keuntungan yang disetujui, dan menyampaikan dokumen
terkait pembelian ke bank syariah.

7. Pengiriman Dokumen: Bank syariah menerima dokumen pembelian dan


menyetujui kebijakan pembiayaan murabahah.

8. Pembayaran: Nasabah melakukan pembayaran pembiayaan, yang terdiri


dari harga pokok pembelian, tingkat keuntungan, dan biaya administrasi.

9. Pembiayaan Berakhir: Setelah pembayaran selesai, pembiayaan


murabahah berakhir.

Proses pengakuan dan pengukuhan murabahah harus dilakukan dengan


transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran, serta
sesuai dengan prinsip syariah.

Pengakuan Harga Perolehan

Pengakuan dan pengukuhan murabahah adalah proses yang penting dalam


transaksi jual beli murabahah. Berikut adalah langkah-langkah pengakuan dan
pengukuhan murabahah:

1. Pengajuan Pembiayaan: Nasabah melakukan pengajuan pembiayaan


murabahah dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank
syariah.

2. Negosiasi: Nasabah bertemu dengan bank syariah untuk menyetujui jenis


dan jumlah pembiayaan yang diperlukan.

3. Pembuatan Akad: Bank syariah dan nasabah menyetujui dan mengakhiri


akad pembiayaan murabahah, yang berisi tentang jenis pembiayaan,
jumlah pembiayaan, harga pokok pembelian, tingkat keuntungan, dan lain-
lain.

4. Pengakuan Pembiayaan: Bank syariah mengakui pembiayaan murabahah


dan menyetujui penggunaan dana tersebut oleh nasabah.

5. Pengukuhan Pembiayaan: Nasabah menguku pembiayaan murabahah dan


menjamin bahwa akan membayar harga pokok pembelian dan keuntungan
yang ditetapkan.

6. Pembelian Barang: Nasabah membeli barang dengan harga pokok


pembelian dan keuntungan yang disetujui, dan menyampaikan dokumen
terkait pembelian ke bank syariah.

7. Pengiriman Dokumen: Bank syariah menerima dokumen pembelian dan


menyetujui kebijakan pembiayaan murabahah.

8. Pembayaran: Nasabah melakukan pembayaran pembiayaan, yang terdiri


dari harga pokok pembelian, tingkat keuntungan, dan biaya administrasi.

9. Pembiayaan Berakhir: Setelah pembayaran selesai, pembiayaan


murabahah berakhir.

Proses pengakuan dan pengukuhan murabahah harus dilakukan dengan


transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran, serta
sesuai dengan prinsip syariah.

Pengakuan Urbun

Pengakuan 'urbun' dalam pembiayaan murabahah adalah proses pengakuan


dan pengukuhan harga pokok pembelian dan keuntungan yang disetujui antara
pembeli dan penjual. Dalam proses pembiayaan murabahah, pengakuan 'urbun'
adalah salah satu tahap yang harus dilakukan oleh pihak pembiaya (bank syariah)
dan pembeli.Proses pengakuan 'urbun' dalam pembiayaan murabahah melibatkan
beberapa langkah:
1. Pengajuan Pembiayaan: Nasabah melakukan pengajuan pembiayaan
murabahah dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank
syariah.

2. Negosiasi: Nasabah bertemu dengan bank syariah untuk menyetujui jenis


dan jumlah pembiayaan yang diperlukan.

3. Pembuatan Akad: Bank syariah dan nasabah menyetujui dan mengakhiri


akad pembiayaan murabahah, yang berisi tentang jenis pembiayaan,
jumlah pembiayaan, harga pokok pembelian, tingkat keuntungan, dan lain-
lain.

4. Pengakuan 'Urbun': Bank syariah mengakui harga pokok pembelian dan


keuntungan yang disetujui oleh nasabah, yang berisi semua biaya yang
dikeluarkan untuk mempersiapkan aset hingga siap untuk digunakan.

5. Pengukuhan Pembiayaan: Nasabah menguku pembiayaan murabahah


dan menjamin bahwa akan membayar harga pokok pembelian dan
keuntungan yang ditetapkan.

6. Pembelian Barang: Nasabah membeli barang dengan harga pokok


pembelian dan keuntungan yang disetujui, dan menyampaikan dokumen
terkait pembelian ke bank syariah.

7. Pengiriman Dokumen: Bank syariah menerima dokumen pembelian dan


menyetujui kebijakan pembiayaan murabahah.

8. Pembayaran: Nasabah melakukan pembayaran pembiayaan, yang terdiri


dari harga pokok pembelian, tingkat keuntungan, dan biaya administrasi.

9. Pembiayaan Berakhir: Setelah pembayaran selesai, pembiayaan


murabahah berakhir.

Proses pengakuan 'urbun' harus dilakukan dengan transparansi, akuntabilitas,


pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran, serta sesuai dengan prinsip
syariah.
Pengakuan Piutang

Pengakuan piutang adalah proses pemberian simbol atas transaksi yang terkait
dengan piutang, yang mencakup pengakuan, pengukuran, pencatatan, dan
pelaporan. Proses pengakuan piutang melibatkan beberapa langkah:

1. Pengajuan Pembiayaan: Perusahaan melakukan pengajuan pembiayaan


murabahah dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank
syariah.

2. Negosiasi: Perusahaan bertemu dengan bank syariah untuk menyetujui


jenis dan jumlah pembiayaan yang diperlukan.

3. Pembuatan Akad: Bank syariah dan perusahaan menyetujui dan


mengakhiri akad pembiayaan murabahah, yang berisi tentang jenis
pembiayaan, jumlah pembiayaan, harga pokok pembelian, tingkat
keuntungan, dan lain-lain.

4. Pengakuan Piutang: Bank syariah mengakui piutang yang disetujui oleh


perusahaan, yang berisi semua biaya yang dikeluarkan untuk
mempersiapkan aset hingga siap untuk digunakan.

5. Pengukuran Piutang: Perusahaan menggunakan metode penyisihan


untuk mengestimasi besarnya piutang yang tidak tertagih, yang dilakukan
setiap akhir periode.

6. Pencatatan Piutang: Piutang yang diakui dijotnotekan dalam buku besar


perusahaan, yang mencakup Beban piutang tak tertagih, Cadangan piutang
tak tertagih, dan lain-lain.

7. Pelaporan Piutang: Perusahaan melapor piutang yang diakui dalam


laporan keuangan, yang menjadi dasar untuk pencatatan pengakuan
pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Proses pengakuan piutang harus dilakukan dengan transparansi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran, serta sesuai dengan prinsip
syariah.

Pengakuan Keuntungan

Pengakuan keuntungan adalah salah satu langkah penting dalam


pembiayaan murabahah. Pengakuan keuntungan dilakukan dengan dua metode
yang berbeda, yaitu metode anuitas dan metode proporsional. Metode anuitas
mengacu pada pengakuan keuntungan sebagai nilai jangka panjang yang
merupakan nilai yang diterima dari transaksi pembiayaan murabahah, sedangkan
metode proporsional mengacu pada pengakuan keuntungan sebagai persentase
dari nilai piutang murabahah yang diterima.

Pengakuan keuntungan pembiayaan murabahah dilakukan oleh Lembaga


Keuangan Syariah (LKS) dan dikenal dua metode yaitu metode anuitas dan
metode proporsional. Metode anuitas mengacu pada pengakuan keuntungan
sebagai nilai jangka panjang yang merupakan nilai yang diterima dari transaksi
pembiayaan murabahah, sedangkan metode proporsional mengacu pada
pengakuan keuntungan sebagai persentase dari nilai piutang murabahah yang
diterima.

Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)


telah menerbitkan revisi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSA K) No.
102 tentang Akuntansi Murabahah, yang memperjelas metode pengakuan
keuntungan murabahah. Potongan piutang murabahah, yang termasuk dalam
keuntungan murabahah, dapat diklasifikasikan sebagai potongan pelunasan
piutang murabahah, potongan pembayaran cicilan piutang murabahah, dan
potongan piutang murabahah yang jatuh tempo.Pengakuan keuntungan
murabahah harus dilakukan dengan tepat dan transparan, sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah, untuk menjamin keadilan dan kejujuran dalam transaksi
pembiayaan murabahah.

Pengakuan Potongan Pelunasan Dini


Pengakuan potongan pelunasan dini dalam pembiayaan murabahah adalah
proses pemotongan biaya yang diterima oleh nasabah ketika melakukan pelunasan
sebelum jatuh tempo. Pengakuan potongan pelunasan dini dilakukan oleh pihak
bank syariah sebagai bentuk pengurangan keuntungan yang akan diperoleh dari
pembiayaan murabahah.Metode pengakuan potongan pelunasan dini dalam
pembiayaan murabahah adalah metode anuitas, yang berarti potongan pelunasan
dini diakui sebagai nilai jangka panjang yang merupakan nilai yang diterima dari
transaksi pembiayaan murabahah.Pengakuan potongan pelunasan dini harus
dilakukan dengan tepat dan transparan, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,
untuk menjamin keadilan dan kejujuran dalam transaksi pembiayaan murabahah.

Pengakuan Diskon Pembelian

Dalam konteks transaksi murabahah, diskon pembelian merupakan


pengurangan harga yang diberikan oleh penjual kepada pembeli sebagai insentif
atau se bagai bagian dari perjanjian jual beli. Diskon pembelian bisa beragam,
misalnya diskon untuk pembayaran tunai, diskon untuk pembelian dalam jumlah
besar, atau diskon khusus untuk pelanggan setia.

Dalam transaksi murabahah, pengakuan diskon pembelian merupakan


deklarasi atau pengakuan yang dibuat oleh pembeli atas diskon yang diterimanya
dari penjual. Hal ini biasanya terjadi ketika pembeli menerima barang atau
layanan yang dibelinya, dan dalam proses pembayaran, pembeli menegaskan
bahwa diskon yang diberikan oleh penjual telah diterima dan diakui.

Pengakuan diskon pembelian dalam murabahah bisa menjadi bagian


penting dalam proses dokumentasi transaksi, karena dapat memastikan
transparansi dan akuntabilitas dalam perjanjian jual beli. Ini juga dapat membantu
menyelesaikan sengketa atau pertanyaan yang timbul di kemudian hari terkait
dengan harga dan kondisi pembelian.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pengakuan diskon


pembelian dalam murabahah harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah dan ketentuan hukum yang berlaku, untuk memastikan bahwa transaksi
tersebut sah dan halal secara hukum.

Pengakuan Denda

Denda dapat menjadi bagian dari perjanjian yang dibuat antara penjual dan
pembeli sebagai konsekuensi dari pelanggaran atau keterlambatan pembayaran.
Denda ini biasanya diatur dalam perjanjian jual beli dan menjadi salah satu
ketentuan yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pengakuan denda dalam murabahah adalah tindakan pengakuan yang


dilakukan oleh pembeli bahwa ia telah mengetahui dan menyetujui denda yang
akan dikenakan atas pelanggaran atau keterlambatan pembayaran sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati. Ketika pembeli menerima barang atau layanan
yang dibelinya, pengakuan denda biasanya terjadi pada saat proses pembayaran
atau pada saat menandatangani dokumen perjanjian.

Pengakuan denda merupakan bagian penting dari dokumentasi transaksi


karena memastikan bahwa pembeli menyadari konsekuensi dari pelanggaran atau
keterlambatan pembayaran dan setuju untuk mematuhi peraturan yang telah
ditetapkan. Ini juga dapat digunakan sebagai bukti dalam menyelesaikan sengketa
atau masalah yang timbul terkait dengan pembayaran atau pelaksanaan perjanjian.

Namun demikian, dalam konteks transaksi murabahah, penting untuk


memastikan bahwa ketentuan denda tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Oleh karena itu, pengaturan denda
dalam murabahah harus memperhatikan prinsip keadilan, transparansi, dan
kesepakatan antara kedua belah pihak.

Pengakuan Aktiva Murabahah

Pengakuan aktiva dalam transaksi murabahah adalah proses di mana pihak


pembeli mengakui penerimaan barang atau aset yang dibeli melalui transaksi
murabahah. Ini biasanya terjadi setelah barang atau aset telah diterima oleh
pembeli dan pembayaran telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang telah
disepakati dalam perjanjian murabahah.

Pengakuan aktiva murabahah merupakan langkah penting dalam


pencatatan transaksi keuangan dan akuntansi. Ini memungkinkan entitas yang
terlibat dalam transaksi untuk mencatat aset yang diperoleh melalui murabahah ke
dalam catatan keuangan mereka dengan benar. Pengakuan ini juga memberikan
transparansi atas aset yang dimiliki oleh entitas tersebut.

Proses pengakuan aktiva murabahah biasanya dilakukan sesuai dengan


standar akuntansi yang berlaku, baik standar internasional maupun standar yang
disepakati di dalam lembaga keuangan syariah. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa pencatatan transaksi murabahah dilakukan dengan benar dan sesuai dengan
prinsip-prinsip akuntansi yang relevan.

Selain itu, dalam konteks perbankan syariah, pengakuan aktiva murabahah


juga dapat mempengaruhi perhitungan modal dan risiko perbankan. Oleh karena
itu, penting bagi lembaga keuangan syariah untuk memahami dan menerapkan
prosedur yang tepat dalam mengakui aktiva murabahah dalam catatan
keuangannya.

Pengakuan Agunan Pada Murabahah

Dalam konteks transaksi murabahah, agunan bisa menjadi bagian dari


perjanjian antara penjual (biasanya lembaga keuangan) dan pembeli. Agunan
merupakan jaminan yang diberikan oleh pembeli kepada penjual untuk
memastikan pelunasan kewajiban pembelian. Jika pembeli tidak dapat membayar
sesuai dengan perjanjian, penjual dapat menggunakan agunan tersebut sebagai
kompensasi.

Pengakuan agunan pada murabahah adalah proses di mana pembeli secara


resmi mengakui bahwa ia telah memberikan agunan kepada penjual sebagai
jaminan pembayaran. Proses ini bisa melibatkan penandatanganan dokumen-
dokumen hukum yang menetapkan agunan tersebut, serta pencatatan secara
akuntansi dalam buku-buku keuangan.
Pengakuan agunan ini penting karena dapat memperjelas persyaratan dan
tanggung jawab pembeli dalam transaksi murabahah. Ini juga membantu
memastikan bahwa penjual memiliki jaminan yang cukup untuk menutupi risiko
pembayaran yang mungkin timbul dari transaksi tersebut.

Dalam beberapa kasus, agunan dalam transaksi murabahah dapat berupa


barang atau aset yang dibeli, atau aset lain yang dimiliki oleh pembeli. Namun,
penting untuk dicatat bahwa penggunaan agunan dalam transaksi murabahah
harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan peraturan yang berlaku, serta
memperhatikan keadilan dan transparansi dalam perjanjian antara kedua belah
pihak.

Posisi LKS Pada Transaksi Murabahah

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memiliki posisi yang krusial dalam


transaksi murabahah karena mereka berperan sebagai penjual dalam skenario ini.
Dalam transaksi murabahah, LKS membeli aset yang diminta oleh pelanggan
(pembeli) dan kemudian menjualnya kembali kepada pelanggan dengan harga
yang telah disepakati sebelumnya. Dalam hal ini, LKS bertindak sebagai penjual
atau pihak yang memberikan pembiayaan untuk pembelian aset tersebut.

Posisi LKS dalam transaksi murabahah mencakup beberapa aspek:

1. Pembiayaan: LKS menyediakan pembiayaan kepada pelanggan untuk


memungkinkan mereka memperoleh aset yang mereka butuhkan. Ini bisa
berupa barang modal, peralatan, atau aset lainnya yang diperlukan oleh
pelanggan.

2. Penjualan Kembali: Setelah membeli aset, LKS menjualnya kembali


kepada pelanggan dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Harga
penjualan biasanya mencakup biaya yang dikeluarkan oleh LKS serta
keuntungan yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Penanganan Risiko: LKS bertanggung jawab untuk menangani risiko


yang terkait dengan transaksi, seperti risiko kredit, risiko likuiditas, dan
risiko harga. LKS juga dapat mengambil langkah-langkah untuk
memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah.

4. Pengelolaan Dokumen: LKS bertanggung jawab untuk mengelola


dokumen-dokumen yang terkait dengan transaksi, termasuk dokumen
perjanjian jual beli, akad, dan dokumen-dokumen hukum lainnya yang
diperlukan.

5. Pencatatan Akuntansi: LKS harus mencatat transaksi murabahah dengan


benar dalam catatan keuangannya sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi
syariah dan standar akuntansi yang berlaku.

Posisi LKS dalam transaksi murabahah menempatkannya sebagai pihak yang


bertanggung jawab atas penyediaan pembiayaan serta pelaksanaan transaksi
dengan memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dan standar
hukum yang berlaku.

LKS Sebagai Penjual

LKS (Lembaga Keuangan Syariah) sebagai penjual dalam transaksi


murabahah adalah pihak yang menjual barang kepada nasabah dengan harga asal
dan menyetujui keuntungan yang akan diperoleh. Setelah nasabah melakukan
pelunasan piutang murabahah, LKS akan menerima uang muka sebagai bagian
dari pelunasan.

LKS Sebagai Pembeli

LKS (Lembaga Keuangan Syariah) sebagai pembeli dalam transaksi


murabahah adalah pihak yang membeli barang atau jasa dari nasabah dengan
harga asal dan menyetujui keuntungan yang akan diperoleh. Setelah nasabah
melakukan pelunasan piutang murabahah, LKS akan mengirimkan uang muka
kepada nasabah sebagai bagian dari pelunasan

Akad Murabahah dan Wakalah


1. Akad Murabahah:

 Definisi: Akad Murabahah adalah jenis akad jual beli di mana


penjual (LKS) membeli aset yang diminta oleh pembeli
(pelanggan) dan kemudian menjualnya kembali kepada pembeli
dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Pembeli biasanya
membayar kepada penjual dalam pembayaran yang ditentukan
sebelumnya, baik secara tunai atau dengan cara dicicil.

 Proses:

1. Pembeli meminta LKS untuk membelikan aset tertentu.

2. LKS membeli aset tersebut dari pasar atau pemasok.

3. Setelah pembelian, LKS menjual kembali aset tersebut


kepada pembeli dengan harga yang telah disepakati
sebelumnya, termasuk keuntungan yang diinginkan.

4. Pembeli melakukan pembayaran kepada LKS sesuai


dengan ketentuan yang telah disepakati.

 Syarat-syarat: Dalam akad murabahah, harga jual harus jelas dan


disepakati sebelum transaksi dilakukan. Penjual harus memiliki
aset yang diperlukan untuk dijual kepada pembeli.

2. Akad Wakalah:

 Definisi: Akad Wakalah adalah perjanjian wakalah (perwakilan) di


mana satu pihak (muwakkil) memberi kuasa kepada pihak lain
(wakil) untuk melakukan suatu tindakan atau transaksi atas nama
mereka.

 Proses:

1. Muwakkil memberi kuasa kepada wakil untuk melakukan


tindakan tertentu atau transaksi atas nama mereka.
2. Wakil bertindak atas nama muwakkil dan melaksanakan
tugas atau transaksi yang telah ditugaskan.

3. Wakil bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas atau


transaksi tersebut sesuai dengan kepentingan muwakkil dan
sesuai dengan instruksi yang diberikan.

 Syarat-syarat: Dalam akad wakalah, kedua belah pihak harus


sepakat tentang tugas atau transaksi yang akan dilaksanakan oleh
wakil. Wakil harus memiliki keterampilan dan kemampuan untuk
melaksanakan tugas atau transaksi tersebut.

Dalam konteks murabahah, akad wakalah dapat digunakan ketika pembeli


(muwakkil) memberi kuasa kepada LKS (wakil) untuk melakukan pembelian atas
namanya. LKS kemudian bertindak sebagai wakil untuk melakukan pembelian
dan menjual kembali aset tersebut kepada pembeli sesuai dengan akad murabahah.
Dengan demikian, akad murabahah dan akad wakalah bisa terkait dalam sebuah
transaksi.

Sharf (Jual Beli Valuta Asing)

Sharf adalah salah satu bentuk transaksi dalam fiqh (hukum Islam) yang
merujuk pada jual beli valuta asing (uang). Istilah "sharf" dalam bahasa Arab
secara harfiah berarti "pertukaran" atau "transaksi valuta asing". Dalam Islam,
hukum mengenai sharf sangat penting karena melibatkan pertukaran uang, yang
merupakan bagian integral dari kehidupan ekonomi modern.

Berikut adalah beberapa poin penting tentang sharf (jual beli valuta asing)
dalam Islam:

1. Definisi: Sharf adalah pertukaran dua mata uang yang berbeda dengan
nilai tukar yang telah disepakati di antara kedua belah pihak. Contoh
paling umum dari transaksi sharf adalah pertukaran mata uang asing
dengan mata uang domestik.
2. Aspek Syariah: Dalam Islam, syarat utama untuk transaksi sharf adalah
adanya nilai tukar yang jelas dan tidak boleh ada unsur penipuan atau
ketidakadilan. Juga, transaksi sharf harus memenuhi syarat-syarat jual beli
Islam yang umum, seperti kejelasan harga, kepemilikan aset yang
diperdagangkan, dan kepatuhan terhadap aturan-aturan syariah.

3. Hukum dalam Islam: Hukum sharf dalam Islam bisa beragam tergantung
pada kondisi dan konteks transaksi. Dalam beberapa kasus, seperti jika
nilai tukar mata uang berubah secara signifikan atau jika transaksi
melibatkan unsur riba (bunga), transaksi sharf bisa dianggap haram (tidak
halal). Namun, dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti untuk keperluan
perjalanan atau bisnis internasional, transaksi sharf bisa dianggap halal.

4. Kebijakan dan Regulasi: Pemerintah di berbagai negara dapat memiliki


kebijakan dan regulasi yang mengatur transaksi sharf. Tujuan dari regulasi
ini adalah untuk mengontrol fluktuasi nilai tukar mata uang dan
melindungi stabilitas ekonomi negara. Meskipun demikian, dalam Islam,
transaksi sharf tetap harus mematuhi prinsip-prinsip syariah yang relevan.

5. Kriteria Fatwa: Banyak fatwa dari otoritas keagamaan di berbagai negara


telah dikeluarkan untuk memberikan panduan tentang hukum sharf dalam
Islam. Fatwa tersebut mencakup pertanyaan-pertanyaan spesifik tentang
transaksi sharf dan memberikan pedoman tentang kelayakan atau
ketidaklayakan dari transaksi tersebut menurut hukum Islam.

Dalam prakteknya, transaksi sharf atau jual beli valuta asing diatur oleh aturan
hukum dan kebijakan pemerintah yang berlaku di negara-negara tersebut. Dalam
konteks ekonomi Islam, penting bagi individu dan lembaga keuangan untuk
memastikan bahwa transaksi sharf mereka mematuhi prinsip-prinsip syariah dan
tidak melanggar larangan atau ketentuan yang telah ditetapkan dalam agama
Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Afrida, Y. (2016). Analisis pembiayaan Murabahah di perbankan syariah. Jebi


(jurnal ekonomi dan bisnis islam), 1(2).

Nasution, S. F. (2021). Pembiayaan murabahah pada perbankan syariah di


indonesia. AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam, 6(1), 132-152.

Syauqoti, R. (2018). Aplikasi akad Murabahah pada lembaga keuangan


syariah. Jurnal Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan
Perbankan Syariah, 3(1).

Anugrah, Y. D. Y., & Laila, M. (2020). Analisis Konsep Penerapan Pembiayaan


Murabahah pada Perbankan Syariah. Muhasabatuna: Jurnal
Akuntansi Syariah, 2(2), 1-12.

Kusnianingrum, D., & Riduwan, A. (2016). Determinan Pembiayaan Murabahah


(Studi Pada Bank Syariah Mandiri). Jurnal Ilmu Dan Riset
Akuntansi (JIRA), 5(1).

Setiady, T. (2014). Pembiayaan Murabahah Dalam Perspektif Fiqh Islam, Hukum


Positif Dan Hukum Syariah. Fiat Justicia Jurnal Ilmu
Hukum, 8(3), 517-530.

Lathif, A. A. (2013). Konsep dan aplikasi akad murabahah pada perbankan


syariah di Indonesia. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 12(2).
BAB VIII

SALAM DAN ISTISHNA

Salam dan Istishna adalah jenis jual beli yang digunakan dalam transaksi
syariah. Salam merupakan jual beli yang dilakukan dengan harga yang sudah
disepakati dan barang yang sudah diketahui, sedangkan Istishna merupakan jual
beli yang dilakukan dengan barang yang belum ada atau belum jadi.

Pada jual beli Istishna, pembeli akan memesan barang dengan spesifikasi
tertentu dan pembayaran dapat dilakukan secara kontan atau dengan cicilan sesuai
kesepakatan kedua belah pihak. Jual beli Istishna dapat dilakukan dengan cara
membuat kontrak baru dengan pihak lain, yang dikenal sebagai kontrak
paralel.Salam dan Istishna berbeda dalam hal waktu pembayarannya. Dalam jual
beli salam, pembayaran dilakukan sebelum barang diterima, sedangkan dalam jual
beli Istishna, pembayaran dapat dilakukan sebelum, di tengah, atau diakhir
transaksi.

Salam

Salam adalah jenis jual beli yang digunakan dalam transaksi syariah.
Dalam salam, pembeli akan memesan barang dengan spesifikasi tertentu dan
pembayaran dapat dilakukan secara kontan atau dengan cicilan sesuai kesepakatan
kedua belah pihak.Pada jual beli salam, pembeli akan membayar harga pokok
pembelian dan keuntungan yang disetujui sebelum barang diterima. Harga pokok
pembelian dan keuntungan yang disetujui akan menjadi dasar untuk pembiayaan
murabahah yang akan dilakukan.Salam dapat digunakan dalam transaksi jual beli
yang dilakukan dengan barang yang sudah ada atau belum ada, yang dikenal
sebagai salam dengan barang yang ada dan salam dengan barang yang belum ada.

Model Akad Salam

1. Identifikasi Komoditas: Pihak pembeli dan penjual harus sepakat tentang


jenis komoditas yang akan diperdagangkan. Komoditas tersebut harus
jelas jenisnya dan spesifikasinya.
2. Jumlah dan Kualitas: Pihak-pihak yang terlibat harus menetapkan jumlah
komoditas yang akan diperdagangkan serta menetapkan standar kualitas
komoditas tersebut.

3. Harga: Harga komoditas harus disepakati oleh kedua belah pihak. Harga
ini bisa ditetapkan di awal, walaupun penyerahan komoditas ditunda.
Pembayaran bisa dilakukan secara penuh atau sebagian di muka.

4. Waktu Penyerahan: Waktu penyerahan komoditas harus ditetapkan secara


jelas dalam akad. Penyerahan komoditas biasanya ditunda sampai waktu
yang telah disepakati sebelumnya.

5. Syarat-syarat Tambahan: Selain syarat-syarat dasar di atas, akad salam


juga harus memenuhi syarat-syarat umum dalam jual beli Islam, seperti
kejelasan, keabsahan, dan kehalalan komoditas yang diperdagangkan.

6. Penyerahan dan Pembayaran: Setelah akad salam dibuat, pembayaran


dilakukan oleh pembeli sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
Penjual kemudian bertanggung jawab untuk menyerahkan komoditas
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

7. Dokumentasi: Transaksi akad salam harus didokumentasikan dengan baik


untuk menjaga transparansi dan keabsahan transaksi. Ini meliputi
pembuatan kontrak atau perjanjian yang mengatur syarat-syarat akad.

8. Pematuhan Syariah: Semua aspek akad salam harus mematuhi prinsip-


prinsip syariah, termasuk larangan riba, ketidakpastian, dan unsur-unsur
yang tidak sesuai dengan hukum Islam.

Dengan mengikuti model akad salam yang telah ditetapkan, pihak-pihak yang
terlibat dapat melakukan transaksi jual beli dengan cara yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah, sambil memastikan kejelasan, keadilan, dan kepastian
dalam pelaksanaan transaksi tersebut.

Perbedaan Salam dan Murabahah


1. Definisi:

 Salam: Akad Salam adalah perjanjian jual beli di mana


pembayaran dilakukan di muka oleh pembeli, tetapi penyerahan
barang ditunda hingga waktu yang akan datang. Penjual (pemilik
barang) berjanji untuk menyediakan barang tertentu kepada
pembeli di masa depan.

 Murabahah: Murabahah adalah jenis akad jual beli di mana


penjual (biasanya lembaga keuangan) membeli barang sesuai
dengan permintaan pembeli dan kemudian menjualkannya kembali
kepada pembeli dengan tambahan keuntungan yang telah
disepakati.

2. Pembayaran:

 Salam: Dalam akad salam, pembayaran dilakukan di muka oleh


pembeli kepada penjual. Pembeli membayar harga komoditas
sebelum komoditas tersebut diserahkan.

 Murabahah: Dalam murabahah, pembayaran dilakukan setelah


penjual membeli barang yang diminta oleh pembeli. Pembeli
membayar harga barang setelah barang tersebut diserahkan kepada
mereka.

3. Penyerahan Barang:

 Salam: Dalam akad salam, penyerahan barang ditunda hingga


waktu yang telah disepakati di masa depan. Penjual berjanji untuk
menyediakan barang tersebut kepada pembeli sesuai dengan syarat-
syarat akad.

 Murabahah: Dalam murabahah, penyerahan barang dilakukan


setelah pembeli melakukan pembayaran kepada penjual. Penjual
menyediakan barang sesuai dengan permintaan pembeli setelah
pembayaran diterima.
4. Tujuan:

 Salam: Akad salam umumnya digunakan untuk mendukung


kebutuhan konsumsi atau produksi di masa depan, terutama dalam
sektor pertanian dan pertambangan. Ini membantu pihak-pihak
yang terlibat untuk mendapatkan dana di muka untuk memenuhi
kebutuhan mereka.

 Murabahah: Murabahah sering digunakan dalam pembiayaan


perdagangan dan investasi. Ini memungkinkan pembeli untuk
membeli barang yang mereka butuhkan tanpa harus membayar
secara penuh di muka, sambil memungkinkan penjual untuk
mendapatkan keuntungan dari penjualan tersebut.

Dengan demikian, meskipun akad salam dan murabahah merupakan


bentuk-bentuk akad jual beli dalam hukum Islam, terdapat perbedaan dalam hal
pembayaran, penyerahan barang, tujuan, dan penggunaannya dalam berbagai
konteks ekonomi.

Salam Pararel

Akad salam paralel adalah jenis akad jual beli yang dilakukan dengan
spesifikasi dan harga barang pesanan sudah disepakati di awal akad, sedangkan
pembayaran dilakukan di muka secara penuh. Dalam akad salam paralel, pembeli
akan membayar terlebih dahulu atas suatu barang yang belum ada atau belum
diterima.

Pada akad salam paralel, pembeli akan membayar harga pokok pembelian
dan keuntungan yang disetujui sebelum barang diterima. Harga pokok pembelian
dan keuntungan yang disetujui akan menjadi dasar untuk pembiayaan murabahah
yang akan dilakukan.Akad salam paralel juga diterima dan disepakati oleh kedua
belah pihak, yaitu pembeli dan penjual, dengan adanya barang dan uang, ada
sighat (lafaz akad), dan diketahui capital cost masing-masing pihak.
Akad salam paralel merupakan jenis akad jual beli yang diperbolehkan dan
dipergunakan dalam transaksi syariah. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang
terdapat dalam Alquran, dan rukun salam paralel adalah penjual dan pembeli, ada
barang dan uang, ada sighat (lafaz akad).

Istishna

Istishna adalah salah satu bentuk kontrak jual beli dalam hukum Islam yang
digunakan untuk memproduksi barang yang belum ada. Dalam istishna, pembeli
memesan barang tertentu kepada penjual dengan spesifikasi yang telah disepakati,
dan penjual setuju untuk membuat dan menyediakan barang tersebut sesuai
dengan permintaan pembeli. Berikut adalah penjelasan lebih spesifik tentang
istishna:

1. Definisi: Istishna adalah perjanjian di mana penjual (mutsanna) setuju


untuk memproduksi dan menyediakan barang tertentu kepada pembeli
(mustasni) sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati, dengan harga
dan waktu penyerahan yang telah ditentukan.

2. Proses:

 Pembeli memesan barang tertentu kepada penjual dengan


spesifikasi yang diinginkan.

 Penjual menyetujui pesanan tersebut dan sepakat untuk membuat


dan menyediakan barang tersebut sesuai dengan spesifikasi yang
telah disepakati.

 Penjual kemudian memproduksi barang tersebut sesuai dengan


spesifikasi yang diminta oleh pembeli.

 Setelah barang selesai diproduksi, penjual menyerahkan barang


tersebut kepada pembeli sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian.

3. Pembayaran:
 Pembayaran dalam istishna bisa dilakukan secara tunai atau dicicil,
tergantung pada kesepakatan antara pembeli dan penjual.
Pembayaran bisa dilakukan sebagian di muka dan sisanya setelah
barang selesai diproduksi, atau pembayaran bisa dilakukan secara
penuh setelah penyerahan barang.

4. Jaminan Kualitas: Penjual bertanggung jawab untuk memastikan bahwa


barang yang diproduksi sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati
dalam perjanjian istishna. Pembeli memiliki hak untuk menolak barang
yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau kualitas yang diharapkan.

5. Penggunaan: Istishna umumnya digunakan dalam sektor konstruksi,


manufaktur, dan produksi barang-barang khusus yang dibuat sesuai
dengan kebutuhan spesifik pembeli. Contohnya termasuk pembangunan
rumah, pembuatan mesin atau peralatan khusus, dan proyek-proyek
infrastruktur.

6. Pencatatan dan Dokumentasi: Seperti halnya dengan transaksi lainnya


dalam hukum Islam, penting untuk mencatat dan mendokumentasikan
perjanjian istishna dengan jelas dan transparan. Ini termasuk mencatat
spesifikasi barang, harga, waktu penyerahan, dan persyaratan-persyaratan
lainnya dalam kontrak.

Dengan demikian, istishna adalah bentuk kontrak jual beli yang


memungkinkan pembeli untuk memesan barang sesuai dengan spesifikasi yang
diinginkan, sementara penjual bertanggung jawab untuk memproduksi dan
menyediakan barang tersebut sesuai dengan permintaan pembeli. Ini merupakan
instrumen yang penting dalam pembiayaan proyek-proyek konstruksi dan
produksi barang yang khusus dan tidak tersedia secara umum di pasar.

Perbedaan Murabahah, Salam, dan Istishna

1. Murabahah:
 Definisi: Murabahah adalah jenis akad jual beli di mana penjual
membeli barang atas permintaan pembeli dan kemudian
menjualkannya kembali kepada pembeli dengan tambahan
keuntungan yang telah disepakati.

 Proses: Penjual membeli barang yang diminta oleh pembeli dan


kemudian menjualkannya kembali kepada pembeli dengan harga
yang disepakati. Pembeli membayar harga barang setelah barang
tersebut diserahkan kepada mereka.

 Tujuan: Murabahah sering digunakan dalam pembiayaan


perdagangan dan investasi, memungkinkan pembeli untuk
memperoleh barang yang mereka butuhkan tanpa harus membayar
secara penuh di muka.

 Pembayaran: Pembayaran dalam murabahah dilakukan setelah


barang diserahkan kepada pembeli.

 Contoh: Pembiayaan pembelian rumah, mobil, atau barang


konsumsi dengan pembayaran di muka atau secara dicicil.

2. Salam:

 Definisi: Salam adalah jenis akad jual beli di mana pembayaran


dilakukan di muka oleh pembeli, tetapi penyerahan barang ditunda
hingga waktu yang akan datang.

 Proses: Pembeli membayar harga komoditas sebelum komoditas


tersebut diserahkan kepada mereka. Penjual berjanji untuk
menyediakan barang tersebut kepada pembeli di masa depan.

 Tujuan: Salam umumnya digunakan untuk mendukung kebutuhan


konsumsi atau produksi di masa depan, terutama dalam sektor
pertanian dan pertambangan.
 Pembayaran: Pembayaran dalam salam dilakukan di muka oleh
pembeli kepada penjual.

 Contoh: Pembayaran di muka untuk panen pertanian yang akan


datang atau pembelian barang dengan pengiriman di masa
mendatang.

3. Istishna:

 Definisi: Istishna adalah perjanjian di mana penjual setuju untuk


memproduksi dan menyediakan barang tertentu kepada pembeli
sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati.

 Proses: Pembeli memesan barang tertentu dengan spesifikasi yang


diinginkan kepada penjual. Penjual setuju untuk membuat dan
menyediakan barang tersebut sesuai dengan spesifikasi tersebut.

 Tujuan: Istishna digunakan untuk memproduksi barang yang


belum ada, seperti pembangunan rumah, pembuatan mesin atau
peralatan khusus, dan proyek-proyek konstruksi.

 Pembayaran: Pembayaran dalam istishna bisa dilakukan secara


tunai atau dicicil, tergantung pada kesepakatan antara pembeli dan
penjual.

 Contoh: Pembangunan rumah, pembuatan mesin atau peralatan


khusus, dan proyek-proyek konstruksi.

Dengan demikian, meskipun Murabahah, Salam, dan Istishna semuanya


merupakan bentuk-bentuk kontrak jual beli dalam hukum Islam, mereka memiliki
perbedaan dalam hal proses, tujuan, pembayaran, dan penggunaannya dalam
berbagai konteks ekonomi.

Istishna Pararel

Istishna Paralel (Parallel Istishna) adalah jenis istishna yang melibatkan dua
transaksi istishna yang terjadi secara paralel atau bersamaan antara tiga belah
pihak: pembeli, produsen, dan bank. Istishna paralel biasanya digunakan dalam
pembiayaan proyek konstruksi di mana bank bertindak sebagai pemberi pinjaman
atau pembiayaan. Berikut adalah penjelasan lengkap tentang istishna paralel:

1. Definisi: Istishna Paralel adalah perjanjian konstruksi yang melibatkan tiga


belah pihak, yaitu pembeli (biasanya pemerintah atau perusahaan),
produsen (biasanya kontraktor atau pembangun), dan bank. Dalam istishna
paralel, bank memberikan pembiayaan kepada produsen untuk membiayai
proyek konstruksi yang diminta oleh pembeli.

2. Proses:

 Pembeli (biasanya pemerintah atau perusahaan) memesan proyek


konstruksi tertentu kepada produsen (kontraktor atau pembangun)
dengan spesifikasi yang diinginkan.

 Produsen sepakat untuk mengerjakan proyek tersebut sesuai


dengan spesifikasi yang telah disepakati.

 Bank menyediakan pembiayaan kepada produsen untuk membiayai


biaya produksi proyek konstruksi tersebut.

 Setelah proyek selesai, produsen menyerahkan proyek tersebut


kepada pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati.

3. Tujuan:

 Tujuan utama dari istishna paralel adalah untuk membiayai proyek


konstruksi yang diminta oleh pembeli tanpa harus menggunakan
modal kas langsung dari pembeli. Dengan demikian, pembeli dapat
memperoleh proyek tersebut tanpa harus membayar secara penuh
di muka.

4. Pembayaran:

 Pembayaran dalam istishna paralel dilakukan oleh bank kepada


produsen untuk membiayai biaya produksi proyek konstruksi.
Pembeli kemudian membayar kembali pembiayaan tersebut kepada
bank sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.

5. Jaminan:

 Bank sebagai pemberi pembiayaan biasanya meminta jaminan atau


agunan dari pembeli atau produsen untuk melindungi risiko
pembiayaan yang diberikan.

6. Dokumentasi:

 Istishna paralel harus didokumentasikan dengan jelas dalam


perjanjian antara pembeli, produsen, dan bank. Ini termasuk
perjanjian konstruksi, perjanjian pembiayaan, dan dokumen-
dokumen lain yang relevan.

7. Pencatatan Akuntansi:

 Transaksi dalam istishna paralel harus dicatat secara akurat dalam


catatan keuangan bank, pembeli, dan produsen sesuai dengan
prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.

Istishna paralel adalah instrumen penting dalam pembiayaan proyek


konstruksi yang memungkinkan pembeli untuk memperoleh proyek tersebut tanpa
harus menggunakan modal kas langsung. Hal ini membantu mendorong
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur dalam masyarakat.

Pembiayaan Istishna

Pembiayaan Istishna adalah proses di mana sebuah bank atau lembaga


keuangan menyediakan dana kepada produsen atau kontraktor untuk membiayai
proyek konstruksi atau produksi barang yang diminta oleh pembeli. Pembiayaan
ini dilakukan dalam bentuk istishna, yaitu perjanjian di mana produsen setuju
untuk membuat dan menyediakan barang tertentu kepada pembeli sesuai dengan
spesifikasi yang telah disepakati. Berikut adalah penjelasan lengkap tentang
pembiayaan istishna:
1. Proses Pembiayaan Istishna:

 Permintaan Pembeli: Proses dimulai ketika pembeli (biasanya


pemerintah atau perusahaan) memesan proyek konstruksi atau
barang tertentu kepada produsen (kontraktor atau pembangun)
dengan spesifikasi yang diinginkan.

 Persetujuan Produsen: Produsen atau kontraktor kemudian


menyetujui pesanan tersebut dan sepakat untuk memproduksi dan
menyediakan barang atau melakukan pekerjaan sesuai dengan
spesifikasi yang telah disepakati.

 Pembiayaan oleh Bank: Bank atau lembaga keuangan yang


terlibat kemudian menyediakan dana kepada produsen untuk
membiayai biaya produksi proyek konstruksi atau barang yang
diminta oleh pembeli. Pembiayaan ini bisa dalam bentuk tunai atau
kredit yang disetujui.

 Pembiayaan dan Pelaksanaan Proyek: Setelah mendapatkan


pembiayaan, produsen memulai proses produksi atau konstruksi
proyek sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Proyek
kemudian diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

 Pembayaran oleh Pembeli: Setelah proyek selesai, pembeli


membayar kepada bank atau lembaga keuangan jumlah dana yang
telah diberikan kepada produsen sebagai pembiayaan. Pembayaran
ini bisa dilakukan secara langsung atau dengan cara dicicil sesuai
dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.

2. Tujuan Pembiayaan Istishna:

 Tujuan utama dari pembiayaan istishna adalah untuk


memungkinkan pembeli untuk memperoleh barang atau proyek
konstruksi yang dibutuhkan tanpa harus menggunakan modal kas
langsung. Dengan adanya pembiayaan ini, pembeli dapat
membayar secara dicicil atau setelah barang atau proyek selesai,
sementara produsen atau kontraktor dapat memulai produksi atau
konstruksi tanpa harus menunggu pembayaran penuh di muka.

3. Jaminan dan Agunan:

 Bank atau lembaga keuangan yang memberikan pembiayaan


istishna biasanya meminta jaminan atau agunan dari pembeli atau
produsen untuk melindungi risiko pembiayaan yang diberikan.

4. Pencatatan Akuntansi:

 Transaksi dalam pembiayaan istishna harus dicatat secara akurat


dalam catatan keuangan bank, pembeli, dan produsen sesuai
dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.

Pembiayaan istishna merupakan instrumen yang penting dalam


pembiayaan proyek konstruksi dan produksi barang yang memungkinkan pembeli
untuk memperoleh barang atau proyek tersebut tanpa harus menggunakan modal
kas langsung. Ini membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
infrastruktur dalam masyarakat.

Akad Pada Istishna

Akad dalam istishna adalah perjanjian antara pihak-pihak yang terlibat dalam
proses pembuatan dan penyediaan barang atau proyek yang diminta oleh pembeli.
Akad ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan transaksi. Berikut adalah penjelasan
secara spesifik tentang akad dalam istishna:

1. Pihak-pihak yang Terlibat:

 Pembeli (Mustasni): Pembeli adalah pihak yang memesan barang


atau proyek tertentu kepada produsen atau kontraktor. Pembeli
biasanya adalah pemerintah, perusahaan, atau individu yang
membutuhkan barang atau jasa tertentu.
 Produsen (Mutsanna): Produsen atau kontraktor adalah pihak yang
setuju untuk memproduksi dan menyediakan barang atau proyek
sesuai dengan spesifikasi yang diminta oleh pembeli.

 Bank atau Lembaga Keuangan: Dalam beberapa kasus, bank atau


lembaga keuangan dapat terlibat sebagai pemberi pembiayaan
kepada produsen untuk membiayai biaya produksi atau konstruksi.

2. Syarat-syarat Akad:

 Spesifikasi Barang atau Proyek: Akad harus mencantumkan


spesifikasi yang jelas tentang barang atau proyek yang diminta
oleh pembeli, termasuk ukuran, bentuk, bahan, dan fitur-fitur
lainnya.

 Harga dan Pembayaran: Akad harus menyebutkan harga


keseluruhan yang harus dibayar oleh pembeli kepada produsen atau
kontraktor. Pembayaran bisa dilakukan secara tunai atau dengan
cara dicicil sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.

 Waktu Penyerahan: Akad harus menetapkan waktu penyerahan


barang atau proyek kepada pembeli. Waktu penyerahan harus jelas
dan dapat dipertanggungjawabkan.

 Jaminan dan Agunan: Jika diperlukan, akad juga dapat


mencantumkan persyaratan tentang jaminan atau agunan yang
harus disediakan oleh pembeli atau produsen untuk melindungi
risiko transaksi.

3. Pencatatan dan Dokumentasi:

 Akad istishna harus didokumentasikan dengan baik dalam bentuk


perjanjian atau kontrak yang mengatur semua syarat-syarat dan
ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat.
 Dokumen-dokumen tersebut harus mencatat secara jelas spesifikasi
barang atau proyek, harga, pembayaran, waktu penyerahan,
jaminan, dan agunan yang telah disepakati.

Akad dalam istishna adalah landasan hukum yang mengatur hubungan


antara pembeli, produsen, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses
pembuatan dan penyediaan barang atau proyek. Dengan adanya akad yang jelas
dan transparan, semua pihak dapat bekerja sama dengan baik dalam rangka
melaksanakan transaksi istishna dengan lancar dan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah.

Spesifikasi Harga Barang

Spesifikasi harga barang dalam akad salam paralel adalah harga pokok
pembelian dan keuntungan yang disetujui sebelum barang diterima. Harga pokok
pembelian adalah harga asal yang diterima oleh pembeli, sedangkan keuntungan
adalah persen atau jumlah yang akan diperoleh oleh penjual atas transaksi
tersebut. Akad salam paralel juga dapat mengatur pembayaran sebelum barang
diterima, yang dikenal sebagai pembayaran di muka secara penuh.

Pendapatan Istishna

Pendapatan dalam transaksi istishna dapat berasal dari dua sumber utama:
biaya produksi dan margin keuntungan. Berikut adalah penjelasan lebih detail
tentang pendapatan istishna:

1. Biaya Produksi:

 Produsen atau kontraktor yang terlibat dalam istishna akan


menerima pendapatan dari biaya produksi barang atau proyek yang
diminta oleh pembeli.

 Biaya produksi mencakup semua biaya yang dikeluarkan oleh


produsen dalam proses pembuatan barang atau proyek, termasuk
bahan baku, upah tenaga kerja, biaya overhead, dan biaya lainnya
yang terkait dengan produksi.
2. Margin Keuntungan:

 Selain biaya produksi, produsen atau kontraktor juga berhak untuk


memperoleh margin keuntungan sebagai bagian dari pendapatan
dalam istishna.

 Margin keuntungan ini merupakan tambahan dari biaya produksi


yang mencerminkan keuntungan yang diharapkan oleh produsen
atas pekerjaan yang mereka lakukan.

3. Pembayaran dari Pembeli:

 Pembeli akan membayar kepada produsen atau kontraktor jumlah


total yang telah disepakati dalam akad istishna.

 Pembayaran ini bisa dilakukan secara tunai atau dengan cara dicicil
sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan dalam akad.

4. Jaminan atau Agunan:

 Dalam beberapa kasus, produsen atau kontraktor juga dapat


menerima pendapatan tambahan dari jaminan atau agunan yang
diberikan oleh pembeli atau pihak ketiga sebagai pengganti risiko
yang diambil dalam transaksi istishna.

Pendapatan dalam istishna merupakan hasil dari produksi barang atau


proyek yang diminta oleh pembeli, serta margin keuntungan yang diharapkan oleh
produsen atau kontraktor atas pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan adanya
pendapatan tersebut, produsen atau kontraktor dapat memperoleh dana yang
diperlukan untuk membiayai biaya produksi dan memperoleh keuntungan dari
transaksi istishna yang mereka lakukan.

Aktiva Dalam Penyelesaian dan Termin Istishna

Aktiva Dalam Penyelesaian (ADP) merupakan aset yang sedang dalam


proses produksi atau penyelesaian dan belum siap untuk digunakan atau dijual.
Dalam konteks istishna, Aktiva Dalam Penyelesaian merujuk pada aset yang
sedang dalam proses pembuatan atau konstruksi sesuai dengan spesifikasi yang
diminta oleh pembeli.

Sementara itu, Termin Istishna merujuk pada tanggal atau waktu dimana
barang atau proyek yang diminta oleh pembeli harus diserahkan oleh produsen
atau kontraktor. Termin Istishna biasanya ditentukan dalam perjanjian istishna dan
bergantung pada kesepakatan antara pembeli dan produsen. Termin ini
mencerminkan waktu dimana produsen harus menyelesaikan produksi atau
konstruksi barang atau proyek sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati.

Hubungan antara Aktiva Dalam Penyelesaian dan Termin Istishna adalah


bahwa Aktiva Dalam Penyelesaian akan terus ada hingga proyek atau barang yang
diminta oleh pembeli selesai dan siap untuk diserahkan. Pada saat Termin Istishna
tiba, diharapkan bahwa Aktiva Dalam Penyelesaian tersebut telah menjadi barang
jadi atau proyek yang siap untuk diserahkan kepada pembeli sesuai dengan
spesifikasi yang telah disepakati. Dengan demikian, Aktiva Dalam Penyelesaian
akan berkurang seiring dengan kemajuan produksi atau konstruksi, dan pada
akhirnya akan digantikan oleh barang jadi atau proyek yang selesai.

Utang Istishna

Utang Istishna merujuk pada kewajiban yang dimiliki oleh pembeli kepada
bank atau lembaga keuangan yang memberikan pembiayaan untuk pembiayaan
proyek konstruksi atau produksi barang dalam transaksi istishna. Dalam konteks
ini, bank atau lembaga keuangan memberikan dana kepada produsen atau
kontraktor untuk membiayai biaya produksi proyek atau barang yang diminta oleh
pembeli. Sebagai imbalannya, pembeli berkewajiban untuk membayar kembali
dana yang diberikan oleh bank atau lembaga keuangan tersebut dalam bentuk
utang istishna.

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang utang istishna:

1. Sumber Pembiayaan: Utang istishna muncul ketika bank atau lembaga


keuangan memberikan pembiayaan kepada produsen atau kontraktor untuk
membiayai biaya produksi proyek konstruksi atau produksi barang dalam
transaksi istishna. Pembiayaan ini dapat diberikan dalam bentuk tunai atau
kredit yang disetujui.

2. Kewajiban Pembeli: Sebagai imbalannya atas pembiayaan yang diterima


dari bank atau lembaga keuangan, pembeli memiliki kewajiban untuk
membayar kembali dana tersebut kepada bank atau lembaga keuangan
dalam bentuk utang istishna. Utang istishna ini merupakan kewajiban
finansial yang harus dipenuhi oleh pembeli sesuai dengan kesepakatan
yang telah ditetapkan dalam akad istishna.

3. Besaran dan Struktur Pembayaran: Besaran utang istishna ditentukan


berdasarkan jumlah pembiayaan yang diterima oleh produsen atau
kontraktor dari bank atau lembaga keuangan. Pembayaran utang istishna
dapat dilakukan secara tunai atau dengan cara dicicil sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditetapkan dalam akad istishna. Pembayaran ini
biasanya mencakup jumlah pokok utang dan bunga sesuai dengan syarat-
syarat yang telah disepakati.

4. Jaminan atau Agunan: Bank atau lembaga keuangan biasanya meminta


jaminan atau agunan dari pembeli sebagai pengamanan atas pembiayaan
yang diberikan dalam transaksi istishna. Jaminan atau agunan ini dapat
berupa aset fisik, surat berharga, atau jaminan lainnya yang dapat
diuangkan jika pembeli gagal memenuhi kewajiban pembayaran utang
istishna.

5. Pencatatan Akuntansi: Utang istishna harus dicatat secara akurat dalam


catatan keuangan pembeli sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang
berlaku. Hal ini termasuk pencatatan besaran utang, jangka waktu
pembayaran, tingkat bunga (jika ada), dan informasi lainnya yang relevan.

Utang istishna merupakan instrumen keuangan yang penting dalam


pembiayaan proyek konstruksi atau produksi barang dalam transaksi istishna.
Dengan adanya utang istishna, pembeli dapat memperoleh dana yang diperlukan
untuk membiayai proyek atau barang yang diminta tanpa harus menggunakan
modal kas langsung, sementara bank atau lembaga keuangan memperoleh
pengembalian atas dana yang diberikan dalam bentuk pembayaran utang istishna
dari pembeli.
DAFTAR PUSTAKA

Mujiatun, S. (2014). Jual beli dalam perspektif islam: Salam dan istisna’. Jurnal
Riset Akuntansi Dan Bisnis, 13(2).

Ardi, M. (2016). Asas-Asas Perjanjian (Akad), Hukum Kontrak Syariah dalam


Penerapan Salam dan Istisna. DIKTUM: Jurnal Syariah dan
Hukum, 14(2), 265-279.

FIQIH, D. D. P. IMPLEMENTASI JUAL BELI SALAM DAN ISTISHNA.

Husna, Z. (2022). Perbandingan Akad Salam Dan Istishna Dalam Transaksi Jual
Beli.

Yuliani, Y. (2017). Pengaruh pembiayaan murābaḥah, salam dan


istishna’terhadap return on asset (ROA) pada Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS), Tbk. periode 2011-2015 (Doctoral
dissertation, IAIN Padangsidimpuan).

Maksum, G. (2018). Telaah Dalil Hukum Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia Tentang Produk Perbankan Syariah Studi Fatwa
Tentang Murabahah, Salam Dan Istishna.

Puteri, D. R., Meutia, I., & Yuniartie, E. (2014). Pengaruh Pembiayaan


Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Istishna Dan Ijarah
Terhadap Profitabilitas Pada Bank Umum Syariah Di
Indonesia. Akuntabilitas, 8(1), 1-24.

Turmudi, M. (2016). Manajemen penyelesaian pembiayaan bermasalah pada


lembaga perbankan syariah. Li Falah: Jurnal Studi Ekonomi dan
Bisnis Islam, 1(1), 95-106.
BAB IX

AL-QARDH (Pinjaman)

Al-Qardh adalah konsep pinjaman dalam hukum Islam, yang merupakan


salah satu bentuk transaksi keuangan yang diperbolehkan dalam syariah. Istilah
"qardh" sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "pinjaman".

Berikut adalah beberapa poin penting terkait dengan Al-Qardh:

1. Definisi: Al-Qardh adalah perjanjian di mana seseorang atau lembaga


memberikan dana kepada pihak lain dengan syarat bahwa dana tersebut
harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu, tanpa adanya tambahan
biaya atau keuntungan bagi pemberi pinjaman.

2. Tujuan: Konsep Al-Qardh bertujuan untuk memberikan bantuan atau


bantuan keuangan kepada individu atau komunitas yang membutuhkan,
tanpa menimbulkan beban tambahan atau keuntungan bagi pemberi
pinjaman. Ini sering digunakan dalam konteks bantuan sosial, membantu
individu atau kelompok yang menghadapi kesulitan keuangan atau
kebutuhan mendesak lainnya.

3. Syarat-syarat: Meskipun Al-Qardh merupakan pinjaman tanpa bunga atau


keuntungan tambahan bagi pemberi pinjaman, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi dalam kontrak Al-Qardh:

 Prinsip Sukarela: Pinjaman harus diberikan secara sukarela oleh


pemberi pinjaman tanpa paksaan atau tekanan.

 Pokok Pinjaman: Dana yang dipinjam harus dikembalikan utuh


tanpa ada tambahan biaya atau keuntungan tambahan bagi pemberi
pinjaman.

 Jangka Waktu: Jangka waktu pengembalian harus ditentukan


dengan jelas dalam perjanjian, dan penerima pinjaman harus
mengembalikan dana pada atau sebelum tanggal yang telah
ditentukan.

 Integritas dan Kepatuhan: Penerima pinjaman harus menggunakan


dana tersebut sesuai dengan tujuan yang dijelaskan dalam
perjanjian, dan harus patuh terhadap kewajiban pengembalian.

4. Keberkahannya: Menurut ajaran Islam, memberikan pinjaman kepada


orang yang membutuhkan adalah tindakan yang diberkahi. Rasulullah
Muhammad SAW mendorong umatnya untuk memberikan pinjaman
kepada yang membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan
tambahan.

5. Implikasi Hukum: Dalam hukum Islam, pemberi pinjaman tidak


diperbolehkan untuk meminta tambahan biaya atau keuntungan atas
pinjaman yang diberikan. Namun, penerima pinjaman diharapkan untuk
mengembalikan dana sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.

Al-Qardh adalah salah satu prinsip penting dalam keuangan Islam yang
mendorong kesetaraan dan solidaritas dalam memberikan bantuan keuangan
kepada mereka yang membutuhkan, tanpa menimbulkan beban tambahan atau
keuntungan bagi pemberi pinjaman.

Riba

Dalam konteks Al-Qardh (pinjaman) dalam hukum Islam, riba mengacu pada
praktik memberikan atau menerima tambahan atau keuntungan atas pinjaman
yang diberikan. Riba dilarang dalam Islam dan dianggap sebagai dosa besar
karena melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam transaksi
keuangan. Berikut adalah beberapa cara di mana riba dapat muncul dalam Al-
Qardh:

1. Bunga atau Tambahan Biaya: Riba terjadi ketika pemberi pinjaman


meminta atau menerima tambahan biaya atau bunga atas pinjaman yang
diberikan. Ini berarti bahwa penerima pinjaman harus mengembalikan
lebih dari jumlah yang dipinjamkan tanpa adanya alasan yang sah atau
pertimbangan lain.

2. Kewajiban Pembayaran Tambahan: Riba juga terjadi jika penerima


pinjaman dipaksa untuk membayar tambahan biaya atau bunga sebagai
syarat untuk mendapatkan pinjaman. Ini dapat terjadi dalam berbagai
bentuk, seperti persyaratan untuk membayar biaya administrasi, asuransi,
atau biaya lainnya sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman.

3. Perjanjian Pengembalian dengan Syarat: Riba juga dapat terjadi jika


penerima pinjaman dipaksa untuk setuju dengan persyaratan pengembalian
yang tidak adil atau tidak wajar sebagai syarat untuk mendapatkan
pinjaman. Misalnya, jika pemberi pinjaman mengatur tingkat bunga yang
tinggi atau menetapkan persyaratan pembayaran yang tidak realistis, ini
dapat dianggap sebagai riba.

4. Tukar Menukar Pinjaman dengan Keuntungan: Riba juga dapat terjadi


jika pinjaman diubah menjadi bentuk lain, seperti jual beli atau investasi,
dengan tujuan memperoleh keuntungan atau tambahan biaya yang tidak
adil bagi pemberi pinjaman. Ini terjadi ketika pinjaman diberikan dengan
harapan untuk mendapatkan keuntungan dari investasi atau bisnis yang
dilakukan oleh penerima pinjaman.

5. Pengembalian dengan Barang atau Jasa yang Lebih Besar dari Nilai
Pinjaman: Riba juga terjadi jika penerima pinjaman dipaksa untuk
mengembalikan pinjaman dengan barang atau jasa yang memiliki nilai
lebih besar daripada jumlah yang dipinjamkan. Ini terjadi jika pemberi
pinjaman memaksa penerima pinjaman untuk mengembalikan pinjaman
dengan jumlah yang lebih besar daripada yang mereka terima.

Dalam semua bentuknya, riba dalam Al-Qardh dianggap sebagai pelanggaran


serius terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Oleh karena
itu, praktik riba dilarang keras dalam Al-Qardh dan diharamkan dalam ajaran
Islam.
Qardh Bukan Riba Nasa’

Qardh Bukan Riba Nasa' adalah konsep dalam hukum Islam yang
menyatakan bahwa pinjaman yang diberikan tanpa bunga atau tambahan biaya
kepada pihak lain, dengan tujuan untuk memberikan bantuan atau bantuan
keuangan, tidak melanggar larangan riba. Konsep ini menekankan bahwa
transaksi pinjaman yang diberikan dengan niat membantu atau memberikan
manfaat kepada penerima pinjaman tidak dianggap sebagai riba, meskipun tidak
ada tambahan biaya atau bunga yang dikenakan.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait dengan Qardh Bukan Riba Nasa':

1. Prinsip Sukarela: Pinjaman dalam Qardh Bukan Riba Nasa' harus


diberikan secara sukarela oleh pemberi pinjaman tanpa adanya paksaan
atau tekanan terhadap penerima pinjaman. Tujuannya adalah untuk
memberikan bantuan atau manfaat kepada penerima pinjaman tanpa
mengharapkan imbalan atau keuntungan tambahan.

2. Tidak Ada Tambahan Biaya atau Bunga: Dalam Qardh Bukan Riba
Nasa', tidak ada tambahan biaya atau bunga yang dikenakan atas pinjaman
yang diberikan. Penerima pinjaman hanya diwajibkan untuk
mengembalikan jumlah yang dipinjamkan tanpa ada tambahan biaya atau
keuntungan bagi pemberi pinjaman.

3. Niat Membantu atau Memberikan Manfaat: Inti dari Qardh Bukan


Riba Nasa' adalah niat pemberi pinjaman untuk membantu atau
memberikan manfaat kepada penerima pinjaman. Pinjaman diberikan
dengan tujuan untuk membantu penerima pinjaman mengatasi kesulitan
keuangan atau memenuhi kebutuhan mendesak lainnya.

4. Kepatuhan Terhadap Syarat dan Ketentuan: Meskipun pinjaman dalam


Qardh Bukan Riba Nasa' tidak melibatkan tambahan biaya atau bunga,
penerima pinjaman tetap memiliki kewajiban untuk mengembalikan
jumlah yang dipinjamkan sesuai dengan kesepakatan yang telah
ditetapkan. Mereka juga harus mematuhi syarat-syarat dan ketentuan
lainnya yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman.

5. Pencatatan dan Dokumentasi: Meskipun pinjaman dalam Qardh Bukan


Riba Nasa' tidak melibatkan bunga atau tambahan biaya, penting untuk
mencatat transaksi secara jelas dan mendokumentasikannya dengan baik.
Ini termasuk mencatat jumlah pinjaman, tanggal pengembalian, dan
informasi lain yang relevan dalam perjanjian pinjaman.

Dalam Islam, Qardh Bukan Riba Nasa' dianggap sebagai bentuk kebajikan dan
solidaritas sosial, di mana individu atau komunitas dapat memberikan bantuan
atau bantuan keuangan kepada mereka yang membutuhkan tanpa menimbulkan
beban tambahan atau keuntungan bagi pemberi pinjaman. Oleh karena itu, praktik
ini didorong dalam ajaran Islam sebagai cara untuk membantu sesama dan
meringankan penderitaan mereka yang membutuhkan.

Riba Yang Disyaratkan Dalam Qardh dan Jual Beli

Riba yang disyaratkan dalam Qardh (pinjaman) dan jual beli merupakan
bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Islam. Riba dalam konteks ini
merujuk pada tambahan atau keuntungan yang ditetapkan sebagai syarat untuk
memberikan atau menerima pinjaman, atau sebagai bagian dari transaksi jual beli.
Dalam Islam, riba adalah dilarang keras dan dianggap sebagai dosa besar karena
bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam transaksi keuangan.

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang riba yang disyaratkan dalam
Qardh dan jual beli:

1. Riba dalam Qardh (Pinjaman):

 Riba dalam Qardh terjadi ketika pemberi pinjaman menetapkan


tambahan biaya atau bunga sebagai syarat untuk memberikan
pinjaman kepada penerima pinjaman.
 Contoh riba dalam Qardh adalah ketika pemberi pinjaman
menetapkan persyaratan untuk membayar bunga atau biaya
administrasi sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman.

 Dalam Islam, pinjaman yang diberikan tanpa bunga atau tambahan


biaya, dengan tujuan memberikan bantuan atau bantuan keuangan
kepada penerima pinjaman, disebut sebagai Qardh Bukan Riba
Nasa', yang diperbolehkan dalam syariah.

2. Riba dalam Jual Beli:

 Riba dalam transaksi jual beli terjadi ketika tambahan biaya atau
keuntungan ditetapkan sebagai syarat untuk menjual atau membeli
barang atau jasa.

 Contoh riba dalam jual beli adalah ketika penjual menetapkan


harga yang lebih tinggi dari nilai yang sebenarnya atau
menambahkan biaya tambahan sebagai syarat untuk menjual
barang atau jasa kepada pembeli.

 Dalam Islam, transaksi jual beli harus dilakukan dengan kejujuran


dan transparansi, tanpa menambahkan biaya tambahan atau
keuntungan yang tidak adil bagi salah satu pihak.

Dalam kedua kasus, riba yang disyaratkan merupakan pelanggaran


terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Oleh karena itu,
umat Islam dianjurkan untuk menghindari praktik riba dan melakukan transaksi
keuangan dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah yang sesuai dengan ajaran
Islam.

Tempo Pembayaran Utang dan Tempatnya

Tempo pembayaran utang adalah jangka waktu yang ditetapkan untuk


pengembalian dana yang dipinjamkan. Sedangkan tempat pembayaran utang
merujuk pada lokasi atau tempat di mana pengembalian dana pinjaman harus
dilakukan. Dalam konteks keuangan, baik tempo maupun tempat pembayaran
utang dapat memiliki implikasi yang signifikan terhadap pelaksanaan transaksi
dan hubungan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.

1. Tempo Pembayaran Utang:

 Jangka Waktu: Tempo pembayaran utang dapat bervariasi, mulai


dari beberapa hari hingga bertahun-tahun, tergantung pada
kesepakatan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.
Jangka waktu ini harus jelas ditetapkan dalam perjanjian pinjaman
atau kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak.

 Jadwal Pembayaran: Dalam pinjaman dengan jangka waktu


tertentu, biasanya ada jadwal pembayaran yang menentukan kapan
pembayaran harus dilakukan. Pembayaran dapat dilakukan secara
bulanan, triwulanan, tahunan, atau sesuai dengan kesepakatan yang
telah ditetapkan.

 Konsekuensi Keterlambatan: Ketika penerima pinjaman tidak


mampu mengembalikan dana pada waktu yang telah ditentukan, ini
dapat menyebabkan keterlambatan pembayaran. Keterlambatan
pembayaran dapat mengakibatkan denda atau bunga tambahan,
tergantung pada ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian
pinjaman.

2. Tempat Pembayaran Utang:

 Lokasi Fisik: Tempat pembayaran utang dapat ditentukan dalam


perjanjian pinjaman, dan bisa berupa lokasi fisik seperti kantor
pemberi pinjaman atau bank tempat akun penerima pinjaman
dibuka.

 Transfer Elektronik: Dalam era digital, pembayaran utang sering


dilakukan melalui transfer elektronik melalui layanan perbankan
online atau aplikasi pembayaran digital. Tempat pembayaran dalam
hal ini adalah platform atau sistem elektronik yang digunakan
untuk melakukan transfer dana.

 Surat Wesel atau Cek: Dalam beberapa kasus, penerima pinjaman


dapat membuat surat wesel atau cek untuk membayar utang
mereka. Tempat pembayaran adalah bank yang menerbitkan surat
wesel atau cek, di mana dana akan ditarik dari rekening penerima
pinjaman.

Ketika menetapkan tempo dan tempat pembayaran utang, penting untuk


mempertimbangkan kebutuhan dan kenyamanan kedua belah pihak, serta
memastikan keterbukaan dan transparansi dalam transaksi keuangan. Hal ini akan
membantu menghindari konflik dan ketidaksepakatan di kemudian hari.

Sumber Dana

Sumber dana dalam konteks Al-Qardh (pinjaman) mengacu pada sumber


atau asal-usul dana yang dipinjamkan kepada penerima pinjaman. Al-Qardh
adalah perjanjian di mana seseorang atau lembaga memberikan dana kepada pihak
lain tanpa ada tambahan biaya atau keuntungan tambahan yang diharapkan
sebagai imbalan, dengan syarat bahwa dana tersebut harus dikembalikan dalam
jangka waktu tertentu.

Berikut adalah penjelasan tentang sumber dana dalam Al-Qardh:

1. Sumber Pribadi atau Pihak Pemberi Pinjaman: Sumber dana utama


dalam Al-Qardh biasanya berasal dari pihak pemberi pinjaman sendiri.
Pemberi pinjaman dapat memberikan dana dari tabungan pribadi mereka,
pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan atau bisnis, atau dari sumber-
sumber keuangan lainnya yang dimilikinya.

2. Dana Institusi Keuangan: Dalam beberapa kasus, sumber dana dalam Al-
Qardh dapat berasal dari institusi keuangan seperti bank atau lembaga
keuangan lainnya. Institusi-institusi ini dapat menyediakan dana dalam
bentuk pinjaman tanpa bunga atau tambahan biaya kepada individu atau
kelompok yang membutuhkan, sebagai bagian dari program bantuan atau
layanan keuangan mereka.

3. Dana Sosial atau Amal: Sumber dana juga dapat berasal dari sumbangan
sosial atau amal yang diberikan oleh individu, kelompok, atau lembaga
amal kepada mereka yang membutuhkan. Dana ini sering digunakan untuk
memberikan bantuan atau bantuan keuangan kepada mereka yang
mengalami kesulitan keuangan atau kebutuhan mendesak lainnya.

4. Sumber Dana Lainnya: Selain sumber-sumber di atas, dana dalam Al-


Qardh juga dapat berasal dari sumber-sumber keuangan lainnya yang
tersedia, termasuk warisan, hasil investasi, atau sumber dana lainnya yang
dimiliki oleh pihak pemberi pinjaman.

Penting untuk dicatat bahwa dalam Al-Qardh, dana yang dipinjamkan harus
bersumber dari sumber yang sah dan halal menurut prinsip-prinsip syariah. Selain
itu, pemberi pinjaman harus memberikan dana tanpa ada tambahan biaya atau
keuntungan tambahan yang diharapkan sebagai imbalan atas pinjaman yang
diberikan, sesuai dengan prinsip Qardh Bukan Riba Nasa'. Dengan memastikan
sumber dana yang sah dan mematuhi prinsip-prinsip syariah, Al-Qardh dapat
dilakukan dengan baik dan memberikan manfaat kepada mereka yang
membutuhkan tanpa melanggar prinsip-prinsip Islam.

Penyaluran Dana Qardh

Penyaluran dana Qardh (pinjaman) merujuk pada proses dimana pemberi


pinjaman menyalurkan dana kepada penerima pinjaman sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian Qardh. Proses ini melibatkan
langkah-langkah tertentu untuk memastikan bahwa dana disalurkan dengan tepat,
aman, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Berikut adalah langkah-langkah
umum dalam penyaluran dana Qardh:

1. Persetujuan Pinjaman: Langkah pertama dalam penyaluran dana Qardh


adalah persetujuan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman
terkait dengan jumlah pinjaman, jangka waktu pengembalian, dan syarat-
syarat lainnya. Persetujuan ini dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian
tertulis yang mencakup detail-detail transaksi.

2. Verifikasi Identitas dan Kelayakan: Sebelum menyalurkan dana, pemberi


pinjaman perlu melakukan verifikasi terhadap identitas penerima pinjaman
serta melakukan penilaian terhadap kelayakan mereka untuk menerima
pinjaman. Hal ini bisa meliputi pemeriksaan riwayat kredit, pendapatan,
dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman.

3. Penentuan Metode Penyaluran: Setelah verifikasi dilakukan, pemberi


pinjaman menentukan metode penyaluran dana. Dana Qardh dapat
disalurkan dalam bentuk uang tunai, transfer elektronik, cek, atau metode
pembayaran lainnya sesuai dengan kesepakatan antara pemberi pinjaman
dan penerima pinjaman.

4. Pencatatan Transaksi: Setelah dana disalurkan, penting untuk mencatat


transaksi dengan baik. Ini termasuk mencatat jumlah pinjaman yang
diberikan, tanggal penyaluran, identitas penerima pinjaman, dan detail-
detail lain yang relevan. Pencatatan yang akurat akan membantu
memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyaluran dana.

5. Konfirmasi Penerimaan: Setelah dana disalurkan, penerima pinjaman


biasanya diminta untuk mengkonfirmasi penerimaan dana sesuai dengan
jumlah yang telah disepakati. Ini dapat dilakukan melalui tanda terima atau
konfirmasi tertulis lainnya.

6. Pemantauan dan Pengawasan: Setelah penyaluran dana, pemberi pinjaman


perlu melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap penggunaan dana
oleh penerima pinjaman. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa dana
digunakan sesuai dengan tujuan yang dijanjikan dan bahwa penerima
pinjaman mematuhi syarat-syarat perjanjian.

7. Pengembalian Dana: Penerima pinjaman diharapkan untuk


mengembalikan dana sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah
ditetapkan dalam perjanjian Qardh. Pembayaran tersebut dapat dilakukan
secara tunai, transfer elektronik, cek, atau metode pembayaran lainnya
sesuai dengan kesepakatan.

Dengan mengikuti langkah-langkah ini, penyaluran dana Qardh dapat


dilakukan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang mengatur
transaksi keuangan dalam Islam. Ini akan memastikan bahwa pinjaman diberikan
dan digunakan dengan cara yang transparan, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai
Islam.

Qardh Berdiri Sendiri

Qardh Berdiri Sendiri adalah konsep dalam hukum Islam yang mengacu
pada pinjaman yang diberikan tanpa jaminan atau agunan (tanpa kehadiran pihak
ketiga) dan tidak terkait dengan transaksi atau perjanjian lainnya. Dalam Qardh
Berdiri Sendiri, pinjaman diberikan secara langsung dari pemberi pinjaman
kepada penerima pinjaman tanpa adanya keterkaitan dengan transaksi lain atau
tujuan tertentu.

Berikut adalah beberapa karakteristik utama dari Qardh Berdiri Sendiri:

1. Pinjaman Tanpa Jaminan: Dalam Qardh Berdiri Sendiri, tidak ada


jaminan atau agunan yang diberikan oleh penerima pinjaman sebagai
jaminan atas pinjaman yang diberikan. Pinjaman diberikan berdasarkan
kepercayaan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.

2. Tidak Terkait dengan Transaksi Lain: Qardh Berdiri Sendiri merupakan


transaksi yang mandiri dan tidak terkait dengan transaksi atau perjanjian
lainnya. Ini berarti bahwa pinjaman diberikan tanpa mempertimbangkan
transaksi lain yang mungkin terjadi antara pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman.

3. Tujuan Umum: Pinjaman dalam Qardh Berdiri Sendiri biasanya diberikan


untuk tujuan umum, seperti membantu penerima pinjaman dalam
kebutuhan mendesak atau mengatasi kesulitan keuangan tanpa adanya
kepentingan bisnis atau komersial tertentu.
4. Tidak Ada Tambahan Biaya atau Keuntungan: Seperti halnya dengan
prinsip Qardh pada umumnya, Qardh Berdiri Sendiri tidak melibatkan
tambahan biaya atau keuntungan tambahan bagi pemberi pinjaman.
Penerima pinjaman diharapkan untuk mengembalikan jumlah yang
dipinjamkan tanpa ada tambahan biaya atau keuntungan bagi pemberi
pinjaman.

5. Berdasarkan Prinsip Kebaikan dan Keadilan: Prinsip utama di balik


Qardh Berdiri Sendiri adalah memberikan bantuan atau bantuan keuangan
kepada mereka yang membutuhkan tanpa menimbulkan beban tambahan
atau keuntungan bagi pemberi pinjaman. Ini merupakan wujud dari nilai-
nilai kebaikan, keadilan, dan solidaritas sosial dalam Islam.

Qardh Berdiri Sendiri merupakan instrumen keuangan yang penting dalam


praktek keuangan Islam, yang memungkinkan individu atau lembaga untuk
memberikan bantuan keuangan kepada mereka yang membutuhkan tanpa
menimbulkan beban tambahan atau keuntungan bagi pemberi pinjaman. Dengan
demikian, Qardh Berdiri Sendiri memainkan peran penting dalam mendorong
solidaritas sosial dan membantu individu atau komunitas dalam mengatasi
kesulitan keuangan.

Pinjaman Qardh

Pinjaman Qardh, atau sering disebut sebagai Qardh Hasan, adalah jenis
pinjaman dalam hukum Islam yang diberikan tanpa bunga atau tambahan biaya
kepada penerima pinjaman. Konsep Qardh memiliki basis pada prinsip solidaritas
sosial dan membantu sesama, di mana dana dipinjamkan dengan tujuan
memberikan bantuan atau bantuan keuangan kepada individu atau komunitas yang
membutuhkan. Berikut adalah beberapa poin penting terkait dengan pinjaman
Qardh:

1. Prinsip Tanpa Bunga: Salah satu karakteristik utama dari pinjaman


Qardh adalah bahwa tidak ada bunga atau tambahan biaya yang dikenakan
kepada penerima pinjaman. Pinjaman diberikan secara sukarela dan tanpa
syarat tambahan bagi penerima pinjaman.

2. Tujuan Kebaikan: Pinjaman Qardh diberikan dengan tujuan membantu


individu atau kelompok yang mengalami kesulitan keuangan atau
membutuhkan bantuan finansial mendesak. Prinsipnya adalah untuk
membantu sesama tanpa memperoleh keuntungan materiil sebagai
imbalan.

3. Kepatuhan Syariah: Pinjaman Qardh harus mematuhi prinsip-prinsip


syariah yang mengatur transaksi keuangan dalam Islam. Ini termasuk
persyaratan bahwa pinjaman diberikan dan digunakan dengan cara yang
sesuai dengan hukum Islam.

4. Kewajiban Pengembalian: Meskipun pinjaman Qardh tidak melibatkan


bunga atau tambahan biaya, penerima pinjaman tetap memiliki kewajiban
untuk mengembalikan dana yang dipinjamkan. Pengembalian harus
dilakukan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan antara pemberi
pinjaman dan penerima pinjaman.

5. Kepatuhan Terhadap Persyaratan: Penerima pinjaman harus mematuhi


persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi pinjaman, termasuk jangka
waktu pengembalian dan kondisi lain yang mungkin diberlakukan. Ini
termasuk menggunakan dana sesuai dengan tujuan yang dijelaskan dalam
perjanjian pinjaman.

6. Transparansi dan Akuntabilitas: Baik pemberi pinjaman maupun


penerima pinjaman harus bertindak secara transparan dan bertanggung
jawab terhadap pinjaman Qardh. Hal ini termasuk mencatat transaksi
dengan baik dan melaporkan penggunaan dana secara jelas.

Qardhul Kebajikan
1. Prinsip Kesetaraan dan Keadilan: Qardhul Kebajikan didasarkan pada
prinsip kesetaraan sosial dan keadilan dalam Islam. Ini menekankan
pentingnya membantu mereka yang membutuhkan tanpa meminta imbalan
atau keuntungan materiil sebagai imbalan.

2. Niat Murni Kebaikan: Pinjaman dalam Qardhul Kebajikan diberikan


dengan niat murni untuk memberikan manfaat kepada penerima pinjaman
yang mengalami kesulitan keuangan atau membutuhkan bantuan finansial,
tanpa adanya motif keuntungan atau pengembalian dari pemberi pinjaman.

3. Tanpa Syarat Pengembalian: Salah satu ciri khas dari Qardhul Kebajikan
adalah bahwa tidak ada syarat atau persyaratan yang ditetapkan untuk
pengembalian dana yang dipinjamkan. Penerima pinjaman tidak
diharapkan untuk mengembalikan dana tersebut, meskipun mereka
memiliki kemampuan untuk melakukannya di masa depan.

4. Pemberian Sesuai Kebutuhan: Pinjaman dalam Qardhul Kebajikan


diberikan sesuai dengan kebutuhan individu atau kelompok yang
membutuhkan, tanpa membatasi atau mengatur penggunaan dana yang
dipinjamkan. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi penerima pinjaman
untuk menggunakan dana sesuai dengan kebutuhan mereka.

5. Solidaritas Sosial: Konsep Qardhul Kebajikan menggambarkan prinsip


solidaritas sosial dalam Islam, di mana individu atau komunitas dianjurkan
untuk membantu mereka yang membutuhkan tanpa meminta imbalan atau
keuntungan sebagai imbalan.

Qardh Sebagai Kelengkapan

Konsep Qardh sebagai Kelengkapan merujuk pada pinjaman yang diberikan


sebagai bagian dari suatu transaksi atau perjanjian yang lebih besar, dengan tujuan
melengkapi atau menyelesaikan transaksi tersebut. Dalam konteks ini, Qardh tidak
berdiri sendiri sebagai pinjaman murni, tetapi menjadi bagian dari transaksi yang
lebih kompleks. Berikut adalah beberapa poin penting terkait dengan Qardh
sebagai Kelengkapan:

1. Integrasi dalam Transaksi: Dalam beberapa transaksi atau perjanjian


yang lebih besar, mungkin ada kebutuhan untuk menyediakan dana
tambahan kepada salah satu pihak sebagai bagian dari kesepakatan
keseluruhan. Qardh sebagai Kelengkapan dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan ini.

2. Tujuan Menyelesaikan Transaksi: Qardh sebagai Kelengkapan bertujuan


untuk melengkapi atau menyelesaikan transaksi yang sedang berlangsung.
Dana yang dipinjamkan dapat digunakan untuk menyelesaikan transaksi
atau memenuhi kewajiban keuangan yang terkait.

3. Keterkaitan dengan Transaksi Utama: Pinjaman Qardh dalam konteks


ini terkait dengan transaksi utama atau kesepakatan yang lebih besar. Ini
berarti bahwa Qardh sebagai Kelengkapan tidak berdiri sendiri, tetapi
terkait dengan transaksi lain yang sedang berlangsung.

4. Penerima Pinjaman yang Sama: Penerima pinjaman dalam Qardh


sebagai Kelengkapan mungkin merupakan pihak yang sama dengan pihak
yang terlibat dalam transaksi utama. Dana yang dipinjamkan dapat
digunakan oleh penerima pinjaman untuk memenuhi kewajiban atau
kebutuhan yang terkait dengan transaksi tersebut.

5. Pengembalian Sesuai dengan Kesepakatan: Meskipun Qardh sebagai


Kelengkapan merupakan bagian dari transaksi yang lebih besar,
pengembalian dana yang dipinjamkan tetap mematuhi kesepakatan yang
telah ditetapkan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Hal ini
dapat mencakup jangka waktu pengembalian, jumlah yang harus
dikembalikan, dan persyaratan lain yang relevan.

Qardh dan Murabahah


Qardh dan Murabahah adalah dua konsep penting dalam hukum Islam yang
terkait dengan pembiayaan dan transaksi keuangan. Meskipun keduanya berbeda
dalam prinsip-prinsip dasarnya, keduanya digunakan untuk tujuan pembiayaan
dan pembelian dalam konteks syariah. Berikut adalah perbandingan antara Qardh
dan Murabahah:

1. Qardh:

 Definisi: Qardh adalah pinjaman yang diberikan oleh pemberi


pinjaman kepada penerima pinjaman tanpa adanya tambahan bunga
atau keuntungan tambahan yang diharapkan sebagai imbalan. Ini
adalah pinjaman murni yang diberikan berdasarkan niat kebaikan
sosial atau membantu mereka yang membutuhkan.

 Tujuan: Tujuan utama Qardh adalah untuk memberikan bantuan


atau bantuan keuangan kepada penerima pinjaman yang
membutuhkan, tanpa meminta pengembalian atau imbalan
tambahan. Qardh sering digunakan dalam situasi darurat atau
ketika seseorang membutuhkan bantuan finansial mendesak.

 Pengembalian: Penerima pinjaman diharapkan untuk


mengembalikan jumlah yang dipinjamkan sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditetapkan, tetapi tanpa ada tambahan
bunga atau keuntungan bagi pemberi pinjaman.

2. Murabahah:

 Definisi: Murabahah adalah bentuk transaksi jual beli di mana


penjual mengungkapkan harga beli barang kepada pembeli, yang
kemudian menyetujui untuk membeli barang tersebut dengan
keuntungan yang ditentukan di atas harga beli. Ini sering
digunakan dalam konteks pembiayaan pembelian barang atau
proyek.
 Tujuan: Tujuan utama Murabahah adalah untuk memfasilitasi
pembelian barang atau proyek dengan menyediakan pembiayaan
kepada pembeli. Ini memungkinkan pembeli untuk mendapatkan
barang atau layanan dengan membayar harga yang ditetapkan
bersama dengan keuntungan yang disepakati.

 Pengembalian: Pembeli diharapkan untuk membayar harga jual


barang atau layanan yang telah ditentukan bersama dengan
keuntungan yang telah disepakati kepada penjual dalam jangka
waktu tertentu.

Qardh dan Ijarah

Qardh dan Ijarah adalah dua jenis produk pembiayaan yang berbeda dalam
perbankan syariah. Qardh merupakan jenis pembiayaan yang tidak memiliki
syarat waktu pembayaran tertentu, dimana peminjam hanya wajib membayar
jumlah pinjaman yang sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima.
Sumber dana untuk akad Qardh dapat berasal dari berbagai sumber, seperti bagian
modal yang dialokasikan khusus, dana zakat, infaq, dan shadaqah.

Sedangkan Ijarah merupakan jenis pembiayaan yang memiliki syarat


waktu pembayaran tertentu, dimana peminjam harus membayar jumlah pinjaman
yang sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima sebelum tiba
waktu yang telah disepakati. Sumber dana untuk akad Ijarah dapat berasal dari
berbagai sumber, seperti harga sewa atau pemeliharaan.Akad Qardh dan Ijarah
dapat digabung dalam satu produk pembiayaan, seperti dalam dana talangan haji,
yang menggunakan skim Qardh dan Ijarah.

Qardh, Kafalah, dan Ijarah

Qardh, Kafalah, dan Ijarah adalah tiga jenis akad yang digunakan dalam
perbankan syariah.Qardh adalah jenis pinjaman yang tidak memiliki syarat waktu
pembayaran tertentu, dimana peminjam hanya wajib membayar jumlah pinjaman
yang sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima. Sumber dana
untuk akad Qardh dapat berasal dari berbagai sumber, seperti bagian modal yang
dialokasikan khusus ataupun dari dana zakat, infaq, dan shadaqah.

Kafalah adalah jenis akad yang digunakan dalam mekanisme syariah card
di Indonesia. Penerapan akad kafalah dalam syariah card terjadi ketika Penerbit
Kartu menjadi penjamin (kâfil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas
semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu
dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank
Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah
kafalah).

Ijarah adalah jenis pinjaman yang memiliki syarat waktu pembayaran


tertentu, dimana peminjam harus membayar jumlah pinjaman yang sama atau
lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima sebelum tiba waktu yang telah
disepakati. Sumber dana untuk akad Ijarah dapat berasal dari berbagai sumber,
seperti harga sewa atau pemeliharaan.

Qardh dan Salam

Qardh dan Salam adalah dua jenis akad yang berbeda dalam perbankan
syariah.Qardh adalah salah satu jenis pinjaman yang tidak memiliki syarat waktu
pembayaran tertentu, dimana peminjam hanya wajib membayar jumlah pinjaman
yang sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima. Sumber dana
untuk akad Qardh dapat berasal dari berbagai sumber, seperti bagian modal yang
dialokasikan khusus ataupun dari dana zakat, infaq, dan shadaqah.Salam adalah
jenis akad jual beli yang digunakan dalam transaksi syariah. Dalam salam,
pembeli akan membayar terlebih dahulu atas suatu barang yang belum ada atau
belum diterima. Pada saat barang diterima, pembeli akan membayar harga pokok
pembelian dan keuntungan yang disetujui sebelum barang diterima. Salam dapat
digunakan dalam transaksi jual beli yang dilakukan dengan barang yang sudah ada
atau belum ada, yang dikenal sebagai salam dengan barang yang ada dan salam
dengan barang yang belum ada.
Qardh dan Rahn

Qardh dan Rahn adalah dua konsep yang berbeda dalam perbankan
syariah.Qardh adalah jenis pinjaman yang tidak memiliki syarat waktu
pembayaran tertentu, dimana peminjam hanya wajib membayar jumlah pinjaman
yang sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima. Sumber dana
untuk akad Qardh dapat berasal dari berbagai sumber, seperti bagian modal yang
dialokasikan khusus ataupun dari dana zakat, infaq, dan shadaqah.

Rahn, sementara itu, adalah konsep yang berhubungan dengan jaminan


yang digunakan dalam transaksi pinjaman. Rahn adalah jaminan yang diterima
oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan bahwa peminjam akan mengembalikan
pinjaman yang diterima. Rahn dapat berupa barang atau jasa, dan peminjam harus
membayar biaya penyimpanan rahn selama periode pinjaman berlaku.Dalam
transaksi pinjaman, rahn dapat digunakan untuk menjamin pembayaran pinjaman,
dan peminjam harus membayar biaya penyimpanan rahn selama periode pinjaman
berlaku. Biaya penyimpanan rahn dapat dikenakan sebagai bentuk biaya
administrasi atau biaya sewa untuk menyimpan rahn.

Qardh dan Hibah

Qardh dan hibah adalah dua konsep yang berbeda dalam hukum
syariah.Qardh adalah pinjaman yang tidak memiliki syarat waktu pembayaran
tertentu, dimana peminjam hanya wajib membayar jumlah pinjaman yang sama
atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima. Sumber dana untuk akad
Qardh dapat berasal dari berbagai sumber, seperti bagian modal yang dialokasikan
khusus ataupun dari dana zakat, infaq, dan shadaqah. Akad Qardh tidak memiliki
syarat waktu pembayaran tertentu, dan peminjam hanya wajib membayar jumlah
pinjaman yang sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima.

Hibah, sementara itu, adalah kewajiban utama dari pihak yang


mengirimkan hibah untuk mengembalikan pinjaman tersebut kepada pihak yang
meminjami. Hibah dapat berupa barang, jasa, atau harta jadi, dan peminjam harus
mengembalikan pinjaman tersebut kepada pihak yang meminjami1.Akad Qardh
dan hibah memiliki sifat yang berbeda, dan tidak boleh digunakan sebagai ganti-
ganti. Akad Qardh adalah pinjaman yang tidak memiliki syarat waktu pembayaran
tertentu, sedangkan hibah adalah kewajiban utama dari pihak yang mengirimkan
hibah untuk mengembalikan pinjaman tersebut kepada pihak yang meminjami.

Qardh Dan Ariyah

Qardh dan Ariyah adalah dua jenis akad yang berbeda dalam hukum
syariah.Qardh adalah jenis pinjaman yang tidak memiliki syarat waktu
pembayaran tertentu, dimana peminjam hanya wajib membayar jumlah pinjaman
yang sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima. Sumber dana
untuk akad Qardh dapat berasal dari berbagai sumber, seperti bagian modal yang
dialokasikan khusus ataupun dari dana zakat, infaq, dan shadaqah. Akad Qardh
tidak memiliki syarat waktu pembayaran tertentu, dan peminjam hanya wajib
membayar jumlah pinjaman yang sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman
yang diterima.

Ariyah, sementara itu, adalah jenis pinjaman yang memiliki syarat waktu
pembayaran tertentu, dimana peminjam harus membayar jumlah pinjaman yang
sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman yang diterima sebelum tiba waktu
yang telah disepakati. Sumber dana untuk akad Ariyah dapat berasal dari berbagai
sumber, seperti harga sewa atau pemeliharaan.Pada akad Ariyah, terjadi berpindah
kepemilikan dan nantinya diganti, sedangkan pada akad Qardh tidak ada
berpindah kepemilikan.
DAFTAR PUSTAKA

Hannanong, I., & Aris, A. (2018). Al-Qardh al-Hasan: soft and Benevolent Loan
pada Bank Islam. DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, 16(2),
171-182.

Kahar, K., Abubakar, A., & Khalid, R. (2022). Al-Qardh (Pinjam-Meminjam)


Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Adz-Dzahab: Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Islam, 7(2), 199-209.

Rukiah, R. (2019). Implementasi sifat ta'awun dalam lembaga keuangan syariah


melalui akad al-qardh. Studi Multidisipliner: Jurnal Kajian
Keislaman, 6(1), 87-103.

Mas’Ulah, I. (2021). Legalitas Pinjaman Online Dalam Perspektif Hukum


Islam. Jurnal Hukum Ekonomi Islam, 5(2), 129-136.

Oktavia, N. W. (2020). Manajemen Risiko Pembiayaan pada Akad Al-Qardh di


BMT Assyafi’iyah (Doctoral dissertation, IAIN Metro).

Saputra, J., Sudiarti, S., & Husna, A. (2021). Konsep Al-‘Ariyah, Al-Qardh dan
Al-Hibah. Al-Sharf: Jurnal Ekonomi Islam, 2(1), 19-34.

Ismail, L. S., & Halim, A. (2018). Persepsi Takmir, Jamaah Dan Warga Terhadap
Potensi Dijadikannya Masjid Jogokariyan Sebagai Pusat
Muamalah Utang-Piutang (Al-Qardh). ABIS: Accounting and
Business Information Systems Journal, 6(2).

Anda mungkin juga menyukai