Penyaluran dana merupakan kegiatan utama perbankan, baik bank konvensional maupun
bank syariah. Dalam bank syariah penyaluran dana juga biasa disebut sebagai pembiayaan
sedangkan pada bank konvensional sering disebut kredit.
Pembiayaan merupakan suatu fasilitas yang diberikan bank syariah kepadamasyarakat yang
membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikupulkan oleh bank syariah dari
masyarakat yang surplus dana. Oleh karena itu, bank seharusnya memperhatikan berbagai
faktor dan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan
terhadap masalah pembiayaan atau penyaluran dana pada masyarakat.1
Dalam perbankan syariah biasanya bank menyediakan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang nyata (asset) baik yang didasarkan pada konsep jual-beli, sewa menyewa,ataupun bagi
hasil.
Secara garis besar produk penyaluran dana kepada masyarakat adalah berupa pembiayaan
didasarkan pada akad jual beli yang menghasilkan produk murabahah, salam, dan istishna.2
1. Murabahah
Murabahah adalah istilah dalam Fikih Islam yang berarti suatu bentuk jual beli
tertentu ketika penjual meyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan
biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut dan tingkat
keuntungan (margin) yang diinginkan.3
1
Siswati, Analisis Penyaluran Dana Bank Syariah, Vol.4, Jurnal Dinamika Manajemen, 2013. Hal. 1
2
Anshori Abdul Ghofur, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakart: Gadjah Mada University Press :2007),
hal.99
3
Ascarya, Akad dan Produk Syariah, 1(Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2007), hal.81-82
Di samping itu Pembiayaan Murahahah juga diatur dalam Fatwa DSN No. 04/DSN-
MUI/IV/2000 pada tanggal 1 April 2000 yang intinya menyatakan bahwa dalam
rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan
dan berbagai kegiatan, bank syariah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang
memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
2. Salam
Salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran di muka dan penyerahan
barang di kemudian hari (advanced payment atau forward buying atau future sales)
dengan harga, spesifikasi, jumlah kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas,
serta disepakat sebelumnya dalam perjanjian.
Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi
terlebih dahulu, seperti produk-produk pertanian dan produk-produk fungible (barang
yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) lainnya.
Barang-barang non-fungible seperti batu mulia, lukisan berharga, dan lain-lain yang
merupakan barang langka tidak dapat dijadikan objek salam (Al-Omar dan Abdel-
Haq, 1996). Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual
sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat
menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal
yang disepakati.
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. dengan beberapa syarat yang harus
dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para
petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk
menghidupi keluar- ganya sampai waktu panen tiba. Setelah pelarangan riba, mereka
tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga
diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertani- annya di muka
Sama halnya dengan para pedagang arab yang biasa mengekspor barang ke wilayah
lain dan mengimpor barang lain untuk keperluan negerinya. Mereka membutuhkan
modal untuk menjalankan usaha perdagangan ekspor-impor itu. Untuk kebutuhan
4
Ibid, hal 102-105
modal perdagangan ini, mereka tidak dapat lagi meminjam dari para rentenir setelah
dilarangnya riba. Oleh sebab itulah, mereka diperbolehkan menjual arang di muka.
Setelah menerima pembayaran tunai tersebut, mereka dengan mudah dapat
menjalankan usaha perdagangan mereka.
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran di muka. Salam
juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan akad salam lebih
murah daripada harga dengan akad tunai.
Transaksi salam sangat populer pada zaman Imam Abu Hanifah (80-150 AH/699-767
AD). Imam Abu Hanifah meragukan keabsahan kontrak tersebut yang mengarah
kepada perselisihan Oleh karena itu, beliau berusaha menghilangkan kemungkinan
adanya perselisihan dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan
dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak, seperti jenis komoditi, mutu, kuantitas,
serta tanggal dan tempat pengiriman.5
Salam sebagai salah satu produk perbankan yang didasarkan pada akad jual beli telah
mendapatkan pengaturan secara intrinsik dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni
pada ketentuan umum tentang Prinsip Syariah. Sedangkan dalam tataran teknis diatur dalam
ketentuan Pasal 36 huruf b poin ketiga PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang intinya menyatakan bahwa
bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian alam kegiatan usahanya
yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip jual beli berdasarkan akad salam.
Di samping itu salam juga telah diatur dalam Fatwa DSN No. 05/DSN-MUL/IV/2000 tentang
Jual Beli Salam. Adapun ketentuan dari jual beli salam adalah sebagai berikut:
5
Ibid, hal 90-91
1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan
jumlah yang telah disepakati.
2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang tinggi, penjual tidak boleh
meminta tambahan harga.
3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli
rela menerimanya, maka ia tidak boleh me- nuntut pengurangan harga (diskon).
4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan
syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh
menuntut tambahan harga.
5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau
kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki
dua pilihan, yaitu: Mem-batalkan kontrak dan meminta kembali uangnya atau
menunggu sampai barang tersedia.
6. Pembatalan kontrak. Pada dasarnya pembatalan salam boleh di lakukan, selama
tidak merugikan kedua belah pihak.
7. Perselisihan. Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
persoalannya diselesaikan melalui badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.6
3. Istishna
Istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau
komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Istishna merupakan salah satu bentuk jual
beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli
forward kedua yang dibolehkan oleh Syariah. Jika perusahaan mengerjakan untuk
memproduksi barang yang dipesan dengan bahan baku dari perusahaan, maka
kontrak/akad istishna muncul Agar akad istishna menjadi sah, harga harus ditetapkan
di awal sesuai kesepakatan dan barang harus memiliki spesifikasi yang jelas yang
telah disepakati bersama. Dalam istishna pembayaran dapat di muka, dicicil sampai
selesai, atau di belakang, serta istishna biasanya diaplikasikan untuk industri dan
barang manufaktur. Kontrak istishna menciptakan kewajiban moral bagi perusahaan
untuk memproduksi barang pesanan pembeli. Sebelum perusahaan mulai
memproduksinya, setiap pihak dapat membatalkan kontrak dengan memberitahukan
sebelumnya kepada pihak yang lain. Namun demikian, apabila perusahaan sudah
memulai produksinya, kontrak Isrishna tidak dapat diputuskan secara sepihak.
Sebagai bentuk jual beli forward, istishna mirip dengan salam Namun, ada beberapa
perbedaan di antara keduanya, antara lain:
a) Objek istishna selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa
untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak
diproduksi lebih dahulu.
b) Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan harga dalam
akad isrishna tidak harus dibayar penuh di muka melainkan dapat juga dicicil atau
dibayar di belakang.
6
Ibid
c) Akad salam efektif tidak dapat diputuskan secara tara dalam istishna akad dapat
diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi. sepihak, semen
d) Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian penting dari akad salam, namun
dalam akad istishna tidak merupakan keharusan
Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istishna, pembeli
dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa jika perusahaan
terlambat memenuhinya, pembel tidak terikat untuk menerima barang dan membayar
harganya. Namun demikian, harga dalam istishna dapat dikaitkan dengan wakan
penyerahan Jadi, boleh disepakati bahwa apabila terjadi keterlambatan penyerahan
harga dapat dipotong sejumlah tertentu per hari keterlambatan Dalam aplikasinya
bank syariah melakukan istishna paralel, yaitu bank (sebagai penerima pesanan/shant)
menerima pesasian barang dar nasabalt (pemesan/mustashni'), kemudian bank
(sebagai pemesan mustashni memesankan permintaan barang nasabah kepada
produsen penjual (shani') dengan pembayaran di muka, cicil, atau di belakang dengan
jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. 7
7
Ascarya, Akad dan Produk Syariah, 1(Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2007), hal 96-99
5. Pembeli (mustashni') tidak boleh menjual menjual barang sebelum
menerimanya. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
6. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kese- pakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan
akad.
c) Ketentuan lain-lain
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepa- katan, hukumnya
mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku
juga pada jual beli istishna.8
8
Anshori Abdul Ghofur, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakart: Gadjah Mada University Press :2007),
hal.108