Tentang Murabahah
Disusun oleh :
ILMU HUKUM
2021
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Murabahah berasal dari kata ribh mempunyai makna tumbuh dan berkembang
dalam perniagaan.Perniagaan yang dilakukan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan.Murabahah merupakan masdar dari rabahayuraabihu- Muraabahatan
yang berarti memberi keuntungan atas suatu barang. Menjual barang secara Murabahah
berarti, menjual barang dengan tingkat keuntungan tertentu, misalnya penjual membeli
barang dengan harga pokok Rp. 100.000,00 dan mengambil untung Rp. 10.000,00 dari
harga pokok tersebut (Ghozali dan Luluk, 2018: 42). Murabahah merupakan jual-beli
yang didasari oleh kepercayaan kepada penjual, dimana penjual harus menjelaskan
harga pokok pembelian serta jumlah keuntungan dan diketahui oleh pembeli.Dalam hal
ini, jika dilakukan di perbankan syariah pihak penjual adalah bank dan pihak pembeli
adalah nasabah.
Dalam perspektif hukum Islam suatu ibadah dinyatakan sah, dan diterima oleh
Allah swt.yaitu selama terpenuhi syarat dan rukunnya, tentu demikian pula dalam
konsep murabahah (Al-Butary, 2021:59-60).
Secara prinsip, jika syarat dalam 1), 4) dan 5) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan :
Dengan perkataan lain secara umum, jual beli tertumpu pada akad yang intinya
ijab kabul dan kerelaan kedua belah pihak. Apabila terpenuhi, maka jual beli tersebut
sudah terlaksana dan sah.Namun begitu, masing-masing pihak memiliki hak khiyar
yang terdiri dari khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar aib. Di lembaga keuangan
syariah sekarang, murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli, dan prinsip
akad ini telah mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua
bank Islam. Perlu diingat, pada prinsipnya bahwa dalam Islam, jual beli sebagai sarana
tolong menolong (at-ta’âwun) antara sesama umat manusia yang diriďai oleh Allah swt.
Sistem jual beli murabahah yang ideal dapat diuraiakan pada skema dibawah :
Adapun penjelasan dari skema diatas adalah sebagai berikut : (Ridha Kurniawan,
2008:58-60)
1. Negosiasi.
Pada tahap ini, nasabah melakukan negosiasi dengan pihak bank mengenai
barang yang diinginkan oleh nasabah. Disini bank akan mengajukan
persyaratan-persyaratan kepada nasabah.
2. Perintah Pembelian Oleh Nasabah.
Setelah persyaratan yang diajukan oleh bank dipenuhi oleh nasabah dan
disetuji oleh kedua belah pihak, nasabah kemudian mengajukan perintah
pembelian barang kepada bank.
3. Pembelian Barang.
Berdasarkan kesepakatan awal yang telah disetujui bersama, bank
kemudian membeli barang yang diinginkan oleh nasabah dari
pihak pemilik barang/suplier.
4. Pembayaran.
Bank seketika itu juga melakukan pembayaran kepada pemilik barang, hal ini
menyebabkan barang beralih menjadi milik bank.
5. Penyerahan Barang Dari Pemilik Barang Kepada Bank.
6. Akad Murabahah.
Setelah barang dikuasai oleh bank, bank kemudian menjual barang tersebut
kepada nasabah secara murabahah. Pada tahap ini dilakukan penandatanganan
akad murabahah maupun akad-akad lainnya oleh kedua belah pihak.
7. Penyerahan Barang.
Setelah segala akad ditandatangani oleh kedua belah pihak, bank kemudian
menyerahkan barang kepada nasabah.
1) Tipe Pertama
Tipe pertama penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih muamalah.
Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada
perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke
nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan.
Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau
sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh.
2) Tipe Kedua
Tipe kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung
dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada
penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah
sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan
secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu
tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat
dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus
ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi
kepada pihak ketiga yang mengirimkan barang. Meskipun nasabah telah
menandatangani perjanjian murabahah dengan bank, perjanjian ini kurang memiliki
kekuatan hukum karena tidak ada tanda bukti bahwa nasabah menerima uang dari bank
sebagai bukti pinjaman/hutang. Untuk mengindari kejadian seperti itu maka ketika bank
syariah dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murabahah maka bank
akan mentransfer pembayaran barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian
didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier. Dengan cara
seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening nasabah. (Danni
Budianto, 2007) Namun demikian, dari perspektif syariah model murabahah seperti ini
tetap saja berpeluang melanggar ketentuan syariah jika pihak bank sebagai pembeli
pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama
nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
3) Tipe Ketiga
Tipe ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan
perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad
wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu
dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda
terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak
berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana pinjaman. Tipe
ketiga ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah
untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah
dilakukan sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank. (Cecep Maskanul
Hakim, 2004)
a. Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah,
seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik
dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas,
ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank
membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap
bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank
kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah.
Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan
keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka
nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain
memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya
administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini
menjadi pendapatan fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus
ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak
ketiga. (Wiroso, 2005:137)
Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip
jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu
akad dengan pembelian barang berulang-ulang.
Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena
berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau
menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain
karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila
bank telah mendandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut
akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai resiko untuk menjualnya
kepada pihak lain. Keempat, dijual; karena jual beli murabahah bersifat jual beli dengan
utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah
bebas melakukan apa pun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya.
Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar. (Muhammad Syafi’i Antonio,
2001)
Teknis Penerapan Murabahah di Perbankan Syariah
Skim pembiayaan murabahah merupakan skim yang muncul karena bank tidak
memiliki barang yang diinginkan oleh pembeli, sehingga bank harus melakukan
transaksi pembelian atas barang yang diinginkan kepada pihak lainnya yang disebut
supplier. Dengan demikian, dalam skim ini bank bertindak selaku penjual di satu sisi,
dan di sisi lain bertindak sebagai pembeli. Kemudian bank akan menjualnya lagi kepada
pembeli dengan harga yang telah disesuaikan yaitu harga beli bank dan margin
keuntungan yang telah disepakati. Pembiayaan murabahah merupakan salah satu dari
konsep pembiayaan yang berdasarkan jual beli yang bersifat amanah.
Produk dengan skim murabahah merupakan produk yang paling populer dan banyak
digunakan oleh perbankan Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Beberapa
alasan yang mendasari adalah:
Perbankan dan keuangan Islam telah dipahami sebagai perbankan dan keuangan
yang sejalan dengan sistem etos dan nilai Islam. Istilah "interest-free banking"
digunakan untuk menggambarkan sistem alternatif. Istilah "bebas bunga perbankan"
adalah sebuah konsep yang menunjukkan sejumlah instrumen perbankan atau operasi
yang menghindari bunga. Perbankan Islam, istilah yang lebih umum, diharapkan tidak
hanya untuk menghindari bunga transaksi, tetapi juga untuk menghindari gharar, serta
yang dilarang dalam syariat Islam. (Muhammad Ayub, 2007:73)
Murabahah merupakan akad jual beli sebagai turunan dari konsep akad Natural
Certanty Contracts. Dalam proses manajemen risikonya akad ini mempunyai
karakteristik risiko yang memiliki persamaan dengan akad yang berbasis bunga, akad
ini telah menjadi sebuah model pembiayaan yang disepakati oleh mayoritas ulama.
Namun, pada praktiknya dan aplikasinya didunia perbankan jenis akad ini
masihdiperdebatkan terutama oleh ulama fiqh. Perbedaan sudut pandang seperti ini
merupakan akar terjadinya risiko sebagai hasil dari tidak efektifnya sistem peradilan.
Persoalan ini merupakan awal dari kenyataan bahwa murabahah merupakan jenis akad
kontemporer. Terdapat konsensus dari para ulama fiqh bahwa jenis akad ini disepakati
sebagai jenis jual beli tangguh. Kondisi atas validitas didasarkan pada adanya objek
kenyataan bahwa bank harus membeli (menjadi pemilik) objek transaksi terlebih
dahulu, baru kemudian mentransfer hak kepemilikan pada nasabah. Pemesanan oleh
nasabah bukanlah akad jual beli, namunlebih pada sebuah janji untuk membeli.
(Thariqul Khan dan Ahmed Habib,2008:54)
Pergeseran harga di pasar tentunya sangat berkaitan dengan penurunan nilai dan
tingkat suku bunga. Dalam konteks ini, biasanya perbankan syariah menggunakan suku
bunga patokan (benchmark rate) untuk menilai (menentukan harga) beberapa instru men
keuangan. Mark-up ditentukan dengan menambah risiko primium pada suku bunga
patokan. Karena hal inilah, jika suku bunga yang menjadi patokan berubah, mark-up
dalam kontrak berpendapatan tetap yang sudah diberjalan tidak dapat disesuaikan ulang.
Sebagai akibatnya, perbankan syariah mengahadapi risiko karena pergerakan tingkat
suku bunga dipasar. (Thariqul Khan dan Ahmed Habib,2008:51)
1. Terkesan bahwa nasabah dan pihak bank bukan terjadi akad jual beli, tapi
terjadi pemberian pinjaman uang komoditas. Selanjutnya dikredit/dicicil oleh
nasabah sehingga nasabah tidak merasa berhutang pada bank secara langsung
terhadap jual beli komoditas tersebut.
2. Jika komoditas yang diakadkan antara nasabah dan bank dimiliki penuh,
dibeli dulu oleh pihak perbankan dan mengatasnamakan bank lalu dijual kembali
kepada nasabahnya, dengan demikian dua kali proses jual beli, maka hal ini akan
terkena dua kali pajak penjualan, dan harga komoditas/barang tersebut menjadi
lebih mahal.
3. Dalam transaksi pambiayaan Murâbahah bank melakukan akad
wakalahdengan pihak nasabah untuk mewakili bank dalam melaksanakan
transaksi jual beli dengan supplier. Dalam hal tersebut perbankan belum mampu
tersedianya komoditas atau barang pesanan para nasabah atau untuk
menghindari pajak berganda.
4. Terkesan pihak bank menghindari tanggungjawab terhadap Risiko
operasional, baik pada penyimpanan ataupun biaya operasional.Oleh karena itu,
pihak bank biasanya mewakilkan proses pemesanan dan penyerahan barang
kepada pihak nasabah
5. Akad Murâbahah merupakan akad transaksi jual beli, namun pada
kenyataannya digunakan untuk pembiayaan modal kerja secara
berkesinambungan. Hal ini menggeser pemaknaan tentang bentuk produk-
produk perbankan syariah yang klasik.
6. Margin keuntungan masih bersifat (benchmark).
7. Terkadang nasabah berkeinginan untuk melunasi angsuran lebih awal dari
schedule yang dijadwalkan dan biasanya menginginkan adanya diskon dari
angsuran yang wajib dibayarkan.
8. Kemudian jika nasabah mengalami default/tidak bisa membayar angsuran,
maka nilai angsuran tidak boleh berubah dan pihak bank tidak bisa mewajibkan
nasabah untuk membayar biaya pinalti.
Apabila pihak bank berhadapan dengan nasabah yang tidak jujur dan ia
mengalami default atas angsuran yang harus dibayarkan, maka bank boleh mendapatkan
kompensasi atas kerugian yang diakibatkan adanya default dari nasabah, namun hal itu
berdasarkan nasabah yang mengalami default diberikan grace period (masa tenggang)
satu bulan untuk melunasi angsuran, jika masih tidak mau membayar, maka bank boleh
mendapatkan penalty fee, jika memang alasan yang diungkapkan nasabah atas default
tersebut merupakan alasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
A. Simpulan
B. Saran
Menjadikan bahan pertimbangan bagi perbankan untuk
memprioritaskanpenghimpunan DPK, karena besar kecilnya simpanan nasabah
akanmemberikan dampak yang signifikan terhadap pendanaan bank dan mempengaruhi
kondisi penyaluran pembiayaan murabahah.Margin Murabahah berpengaruh terhadap
pembiayaan. Hal ini terjadi karenaapabila bank syariah memiliki margin murabahah
yang tinggi, bank dapat menambahkan variasi produk yang diperjualbelikan pada akad
murabahah dan menyalurkan lebih banyak pembiayaan murabahah.
DAFTAR PUSTAKA
Adnans, Ridha Kurniawan. 2008. Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank
Syariah. Thesis, Universitas Sumatera Utara. Diakses dari
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37767/057011074.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
Faisal. 2021. Perlindungan Hukum Bagi Bank Syariah dan Nasabah dalam Pembiayaan
Murabahah. Jakarta: Kencana.
Ghozali, Mohammad dan Luluk Wahyu Roficoh. (2018). Kepatuhan Syariah Akad
Murabahah Dalam Konsep Pembiayaan Pada Perbankan Syariah Di Indonesia.
Jurnal Studi Islam dan Muamalah: At-Tahdzib, 2(2), 42.
Perbankan Syariah. 2008. Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (pkes
publishing).
Khan, Thariqul dan Habib Ahmed. 2008. Manajemen Risiko Lembaga Keuangan
Syariah, Terj. Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Bumi Aksara.
Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance (Chichester England: John Wiley &
Sons Ltd The Atrium Southern Gate, 2007), hlm 73.
Wiroso, Jual Beli Murabahah, (Yogyakarta, UII Press, 2005), h. 137 dalam “Konsep
Dan Implementasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia” (Ah.
Azharuddin Lathif: 2009), hlm. 17.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dan Teori ke Praktik, (Jakarta Gema Insani
Press, 2001), h. 106-107 dalam “Konsep Dan Implementasi Akad Murabahah
Pada Perbankan Syariah Di Indonesia” (Ah. Azharuddin Lathif: 2009)