Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM EKONOMI ISLAM

Tentang Murabahah

Dosen Pengampu : Luthfiyah Trini Hastuti S.H., M.H.

Mata Kuliah : Hukum Ekonomi Islam E

Disusun oleh :

Muhammad Dedy (E0018258)

Rakyan Abhirama Paramadaru (E0018328)

Agatha Celia D (E0019012)

Agista Evivane B (E0019014)

ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2021
PENDAHULUAN

Murabahah pada dasarnya merupakan perjanjian jual beli yang kemudian


menjadi pembiayaan yang diterapkan dalam perbankan syariah. Maulana Taqi Usmani
menyatakan. “Originally, murabahah is a particular type of sale and not a mode of
financing.” (Faisal, 2021:3). Murabahah merupakan suatu akad yang dijalankan
menggunakan instrumen jual beli dengan mengambil keuntungan. Skema ini juga dapat
menjadi akses permodalan usaha melalui akad bai' murabahah bil wa'di lisy syira' dan
bai' murabahah lil amri lisy srira'. Nilai keuntungan yang didapat perbankan bergantung
pada margin laba. Pembiayaan akad Murabahah ini dijalankan dengan basis ribhun
(laba) melalui jual beli secara cicil maupun tunai. Akad Murabahah juga termasuk ke
dalam bai’ul amanah yang berarti sebuah transaksi jual-beli amanah yaitu di mana
penjual memberikan transparansi terkait harga modal dan margin secara jelas serta jujur
kepada pembeli. Dalam akad murabahah, penjual harus memberi tahu pembeli
mengenai harga pembelian produk.

Murabahah pada dasarnya adalah sebuah proses transaksi jual-beli barang di


mana harga asal dan keuntungan telah diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak
sebelumnya. Sementara, Akad Murabahah dalam perbankan Syariah dapat diartikan
sebagai jenis kontrak yang sering digunakan untuk pembelian produk oleh bank sesuai
permintaan nasabah dan kemudian dijual kepada nasabah tersebut sebesar dengan harga
beli dan keuntungan yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam pemesanan barang, bank syariah dapat mewakilkan (wakalah) kepada


pihak lain atau kepada nasabah itu sendiri. Jadi, yang membeli barang adalah tuan
Ahmad (contoh diatas) atas nama bank syariah X. Tapi transaksi murabahah baru boleh
dilaksanakan jika barang sudah dibeli oleh nasabah. Transaksi ini biasa dikenal
dengan murabahah bil wakalah. Jadi berbeda dengan transaksi di bank konvensional.
Di bank konvensional, nasabah pinjam uang, transaksinya pinjam-meminjam dengan
keuntungan bunga, sedang di bank syariah nasabah beli barang, transaksinya jual-beli
barang dengan keuntungan margin. Dalam Islam, transaksi pinjam-meminjam dengan
tambahan bunga dilarang karena termasuk riba, sedang transaksi jual-beli dengan
tambahan keuntungan diperbolehkan.

PEMBAHASAN

A. Konsep Akad dalam Murabahah

Murabahah berasal dari kata ribh mempunyai makna tumbuh dan berkembang
dalam perniagaan.Perniagaan yang dilakukan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan.Murabahah merupakan masdar dari rabahayuraabihu- Muraabahatan
yang berarti memberi keuntungan atas suatu barang. Menjual barang secara Murabahah
berarti, menjual barang dengan tingkat keuntungan tertentu, misalnya penjual membeli
barang dengan harga pokok Rp. 100.000,00 dan mengambil untung Rp. 10.000,00 dari
harga pokok tersebut (Ghozali dan Luluk, 2018: 42). Murabahah merupakan jual-beli
yang didasari oleh kepercayaan kepada penjual, dimana penjual harus menjelaskan
harga pokok pembelian serta jumlah keuntungan dan diketahui oleh pembeli.Dalam hal
ini, jika dilakukan di perbankan syariah pihak penjual adalah bank dan pihak pembeli
adalah nasabah.

Dalam perbankan syariah sebenarnya terdapat dua akad murabahah yang


melibatkan tiga pihak. Murabahah pertama dilakukan secara tunai antara bank (sebagai
pembeli) dengan penjual barang. Murabahah kedua dilakukan secara cicilan antara bank
(sebagai penjual) dengan nasabah bank. Lazimnya bisnis, tentu bank mengambil
keuntungan dari transaksi murabahah ini. Rukun murabahah pertama terpenuhi
sempurna (ada penjual – ada pembeli, ada barang yang diperjual-belikan, ada ijab-
kabul) demikian pula rukun murabahah kedua. Dengan demikian dapat dikatakan kedua
akad murabahah ini sah (PKES, 2008: 16).

Pada Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008


Tentang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa Akad Murabahah adalah Akad
Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba.

Murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan


nasabah dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual yang
merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan keuntungan yang diinginkan.
Dengan demikian pihak bank wajib untuk menjelaskan tentang harga beli dan tambahan
dan keuntungan yang diinginkan kepada nasabah.Jual-beli dengan akad Murabahah
hukumnya diperbolehkan, apabila ada pengkhianatan pada harga pokok maka
diperbolehkan bagi pembeli untuk melakukan khiyar (Ghozali dan Luluk, 2018: 43).

Dalam perspektif hukum Islam suatu ibadah dinyatakan sah, dan diterima oleh
Allah swt.yaitu selama terpenuhi syarat dan rukunnya, tentu demikian pula dalam
konsep murabahah (Al-Butary, 2021:59-60).

Rukun murabahah yaitu:

1) Transaktor (pihak yang bertransaksi) yaitu penjual dan pembeli. Keduanya


disyaratkan berakal dan orang yang berbeda.
2) Obyek murabahah. Barang yang diperjual-belikan disyaratkan ada (bukan
kamuflase) dan dimiliki oleh penjual. Kejelasan spesifikasi obyek jual beli
adalah keharusan karena berkaitan dengan kejujuran dan kerelaan kedua belah
pihak.
3) Ijab dan kabul. Rukun ini mensyaratkan pelaku baliġ dan berakal, kesesuaian
antara kabul dengan ijab, dan pelaksanaannya dalam satu majelis.
4) Nilai tukar (harga). Sifatnya harus pasti dan jelas baik jenis maupun jumlahnya.

Syarat-syarat murabahah yaitu:

1) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.


2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3) Kontrak harus bebas riba.
4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian.
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya: jika pembelian dilakukan secara utang. Jadi di sini terlihat adanya
unsur keterbukaan.

Secara prinsip, jika syarat dalam 1), 4) dan 5) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan :

1) Melanjutkan pilihan seperti apa adanya.


2) Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidak-setujuan atas barang yang
dijual.
3) Membatalkan kontrak.

Dengan perkataan lain secara umum, jual beli tertumpu pada akad yang intinya
ijab kabul dan kerelaan kedua belah pihak. Apabila terpenuhi, maka jual beli tersebut
sudah terlaksana dan sah.Namun begitu, masing-masing pihak memiliki hak khiyar
yang terdiri dari khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar aib. Di lembaga keuangan
syariah sekarang, murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli, dan prinsip
akad ini telah mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua
bank Islam. Perlu diingat, pada prinsipnya bahwa dalam Islam, jual beli sebagai sarana
tolong menolong (at-ta’âwun) antara sesama umat manusia yang diriďai oleh Allah swt.

B. Implementasi Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah

Pelaksanaan transaksi murabahah secara fiqih adalah sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan awal antara bank dan nasabah untuk melakukan


transaksi murbahah.
b. Pada dasarnya barang yang diinginkan nasabah belum dimiliki oleh bank
dan nasabah memberikan rincian tentang barang yang akan dibeli dan
memberikan fee/keuntungan kepada bank dengan jumlah yang
disepakati kedua belah pihak.
c. Nasabah mengajukan perintah pembelian barang kepada bank
berdasarkan spesifikasi barang yang ditentukan nasabah dan berjanji
akan membelinya dengan memberikan sejumlah keuntungan kepada
bank.
d. Bank membeli barang terlebih dahulu untuk kemudian menjual
kepada nasabah/pemesan barang. (Ridha Kurniawan, 2008:59)

Sistem jual beli murabahah yang ideal dapat diuraiakan pada skema dibawah :

Sumber : Google Images

Adapun penjelasan dari skema diatas adalah sebagai berikut : (Ridha Kurniawan,
2008:58-60)

1. Negosiasi.
Pada tahap ini, nasabah melakukan negosiasi dengan pihak bank mengenai
barang yang diinginkan oleh nasabah. Disini bank akan mengajukan
persyaratan-persyaratan kepada nasabah.
2. Perintah Pembelian Oleh Nasabah.
Setelah persyaratan yang diajukan oleh bank dipenuhi oleh nasabah dan
disetuji oleh kedua belah pihak, nasabah kemudian mengajukan perintah
pembelian barang kepada bank.
3. Pembelian Barang.
Berdasarkan kesepakatan awal yang telah disetujui bersama, bank
kemudian membeli barang yang diinginkan oleh nasabah dari
pihak pemilik barang/suplier.
4. Pembayaran.
Bank seketika itu juga melakukan pembayaran kepada pemilik barang, hal ini
menyebabkan barang beralih menjadi milik bank.
5. Penyerahan Barang Dari Pemilik Barang Kepada Bank.
6. Akad Murabahah.
Setelah barang dikuasai oleh bank, bank kemudian menjual barang tersebut
kepada nasabah secara murabahah. Pada tahap ini dilakukan penandatanganan
akad murabahah maupun akad-akad lainnya oleh kedua belah pihak.
7. Penyerahan Barang.
Setelah segala akad ditandatangani oleh kedua belah pihak, bank kemudian
menyerahkan barang kepada nasabah.

Tipe Penerapan Murabahah

beberapa tipe penerapan murabahah dalam praktik perbankan syariah yang


kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:

1) Tipe Pertama

Tipe pertama penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih muamalah.
Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada
perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke
nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan.
Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau
sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh.

2) Tipe Kedua

Tipe kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung
dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada
penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah
sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan
secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu
tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat
dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus
ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi
kepada pihak ketiga yang mengirimkan barang. Meskipun nasabah telah
menandatangani perjanjian murabahah dengan bank, perjanjian ini kurang memiliki
kekuatan hukum karena tidak ada tanda bukti bahwa nasabah menerima uang dari bank
sebagai bukti pinjaman/hutang. Untuk mengindari kejadian seperti itu maka ketika bank
syariah dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murabahah maka bank
akan mentransfer pembayaran barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian
didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier. Dengan cara
seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening nasabah. (Danni
Budianto, 2007) Namun demikian, dari perspektif syariah model murabahah seperti ini
tetap saja berpeluang melanggar ketentuan syariah jika pihak bank sebagai pembeli
pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama
nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

3) Tipe Ketiga

Tipe ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan
perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad
wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu
dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda
terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak
berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana pinjaman. Tipe
ketiga ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah
untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah
dilakukan sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank. (Cecep Maskanul
Hakim, 2004)

Penggunaan Pembiayaan Murabahah di Perbankan Syariah


Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang,
modal kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh
implementasi mekanisme pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:

a. Pengadaan Barang

Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah,
seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik
dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas,
ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank
membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap
bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank
kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah.
Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan
keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka
nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain
memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya
administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini
menjadi pendapatan fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus
ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak
ketiga. (Wiroso, 2005:137)

b. Modal Kerja (Modal Kerja Barang)

Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip
jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu
akad dengan pembelian barang berulang-ulang.

Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat


menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam
bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau
musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk
uang menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer
finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur
bunga. Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan
dalam murabahah menggunakan transaksi jual beli.

c. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)

Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli


murabahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang
dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lainlain.
Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan
berulang-ulang.

Adapun contoh perhitungan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:

Tuan A, pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah


(modal kerja) guna pembelian bahan baku kertas, seniali Rp. 100 juta. Setelah
dievaluasi bank syariah, usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka bank
syariah akan mengangkat Tuan A sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan
dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut kembali kepada Tuan A
sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh
tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan: (1) Tawar menawar
harga jual antara Tuan A dengan bank syariah. (2) Harga jual yang disetujui, tidak akan
berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa
tersebut terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank
konvensional di pasar.

Manfaat Pembiayaan Murabahah

Skema pembiayaan murabahah yang ditawarkan bank syariah mendapat


sambutan dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat (nasabah), sehingga skema
murabahah merupakan transaksi yang paling banyak diminati dan dipraktikkan
dalamoperasional perbankan syariah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain:
faktor tabiat sosiokultur pertumbuhan ekonomi yang menuntut keberhasilan yang cepat
dan menghasilkan keuntungan yang banyak, skema murabahah dengan margin
keuntungan merupakan praktik alternatif dari transaksi kredit dengan menggunkan
bunga yang biasa dilakukan oleh bank konvensional, sehingga banyak nasabah yang
biasa melakukan transaksi dengan bank konvensional beralih ke bank syariah untuk
melakukan transaksi dengan menggunakan skema murabahah.

Di samping itu, transaksi murabahah memberi banyak manfaat kepada bank


syariah, antara lain adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual
dengan harga jual kepada nasabah dan skema murabahah sangat sederhana. Hal tersebut
memudahkan penanganan administrasinya di bank Syariah. (Muhammad Syafi’i
Antonio, 2001:106-107)Selain beberapa manfaat tersebut, transaksi dengan
menggunakan skema murabahah juga mempunyai risiko yang harus diantisipasi antara
lain sebagai berikut:

Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran. Kedua,


fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank
membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.

Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena
berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau
menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain
karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila
bank telah mendandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut
akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai resiko untuk menjualnya
kepada pihak lain. Keempat, dijual; karena jual beli murabahah bersifat jual beli dengan
utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah

bebas melakukan apa pun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya.
Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar. (Muhammad Syafi’i Antonio,
2001)
Teknis Penerapan Murabahah di Perbankan Syariah

Skim Pembiayaan Murabahah

Skim pembiayaan murabahah merupakan skim yang muncul karena bank tidak
memiliki barang yang diinginkan oleh pembeli, sehingga bank harus melakukan
transaksi pembelian atas barang yang diinginkan kepada pihak lainnya yang disebut
supplier. Dengan demikian, dalam skim ini bank bertindak selaku penjual di satu sisi,
dan di sisi lain bertindak sebagai pembeli. Kemudian bank akan menjualnya lagi kepada
pembeli dengan harga yang telah disesuaikan yaitu harga beli bank dan margin
keuntungan yang telah disepakati. Pembiayaan murabahah merupakan salah satu dari
konsep pembiayaan yang berdasarkan jual beli yang bersifat amanah.

Secara sederhana yang dimaksudkan dengan murabahah adalah suatu penjualan


seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati, atau merupakan jual beli
barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang telah disepakati
antara penjual dan pembeli. Dalam teknis yang ada di perbankan Islam, murabahah
merupakan akad jual dan beli yang terjadi antara pihak bank Islam selaku penyedia
barang yang menjual dengan nasabah yang memesan dalam rangka pembelian barang
itu. Keuntungan yang diperoleh dari pihak bank Islam dalam transaksi ini merupakan
keuntungan jual beli yang telah disepakati secara bersama. Harga jual bank Islam
merupakan harga beli dari para pemasok ditambah keuntungan yang telah disepakati.
Dengan begitu pihak nasabah mengetahui besarnya keuntungan yang diambil oleh pihak
bank Islam.

Produk dengan skim murabahah merupakan produk yang paling populer dan banyak
digunakan oleh perbankan Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Beberapa
alasan yang mendasari adalah:

a) Murabahah merupakan suatu mekanisme pembiayaan investasi jangka pendek


yang cukup memudahkan serta menguntungkan pihak bank Islam dibandingkan
dengan konsep profit and lost sharing atau bagi hasil yang dianut oleh konsep
mudarabah dan musarakah.
b) Mark-up dalam murabahah ditetapkan sedemikian rupa yang memastikan
bahwa bank Islam akan dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan
keuntungan berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam.
c) Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pendapatan dari bisnis-bisnis
dengan sistem PLS.
d) Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri
manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan
mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditor dan debitur.

C. Akad Murâbahah dan Problem Implemetasinya di Lembaga Keuangan Syariah

Perbankan dan keuangan Islam telah dipahami sebagai perbankan dan keuangan
yang sejalan dengan sistem etos dan nilai Islam. Istilah "interest-free banking"
digunakan untuk menggambarkan sistem alternatif. Istilah "bebas bunga perbankan"
adalah sebuah konsep yang menunjukkan sejumlah instrumen perbankan atau operasi
yang menghindari bunga. Perbankan Islam, istilah yang lebih umum, diharapkan tidak
hanya untuk menghindari bunga transaksi, tetapi juga untuk menghindari gharar, serta
yang dilarang dalam syariat Islam. (Muhammad Ayub, 2007:73)

Diawal tahun keuangan Islam, operasi-operasi mark-up dan transaksi-transaksi


lainnya yang secara keagamaan bersifat netral dilihat sebagai suatu yang sangat
diperlukan hanya dalam batasan operasi-operasi semacam itu akan menjamin
keberlangsungan di lembaga keuangan bank Islam yang pertama. Keberagaman dan
perbedaan pendapat merupakan berkah yang menguntungkan sekaligus tidak
menguntungkan bagi bank-bank Islam. Pada satu sisi, hal tersebut memberikan
fleksibilitas dan mengindikasikan bahwa institusi dan produk-produk keuangan syariah
yang baru akan mendapatkan penerimaan yang lebih cepat. Pada sisi yang lain, hal
tersebut mengundang keraguan atas validitas keagamaan beberapa keputusan tertentu,
sehingga menyebabkan semakin sulitnya untuk menumbuhkan sebuah konsensus di
antara seluruh institusi keagamaan.

Murabahah merupakan akad jual beli sebagai turunan dari konsep akad Natural
Certanty Contracts. Dalam proses manajemen risikonya akad ini mempunyai
karakteristik risiko yang memiliki persamaan dengan akad yang berbasis bunga, akad
ini telah menjadi sebuah model pembiayaan yang disepakati oleh mayoritas ulama.
Namun, pada praktiknya dan aplikasinya didunia perbankan jenis akad ini
masihdiperdebatkan terutama oleh ulama fiqh. Perbedaan sudut pandang seperti ini
merupakan akar terjadinya risiko sebagai hasil dari tidak efektifnya sistem peradilan.
Persoalan ini merupakan awal dari kenyataan bahwa murabahah merupakan jenis akad
kontemporer. Terdapat konsensus dari para ulama fiqh bahwa jenis akad ini disepakati
sebagai jenis jual beli tangguh. Kondisi atas validitas didasarkan pada adanya objek
kenyataan bahwa bank harus membeli (menjadi pemilik) objek transaksi terlebih
dahulu, baru kemudian mentransfer hak kepemilikan pada nasabah. Pemesanan oleh
nasabah bukanlah akad jual beli, namunlebih pada sebuah janji untuk membeli.
(Thariqul Khan dan Ahmed Habib,2008:54)

Pergeseran harga di pasar tentunya sangat berkaitan dengan penurunan nilai dan
tingkat suku bunga. Dalam konteks ini, biasanya perbankan syariah menggunakan suku
bunga patokan (benchmark rate) untuk menilai (menentukan harga) beberapa instru men
keuangan. Mark-up ditentukan dengan menambah risiko primium pada suku bunga
patokan. Karena hal inilah, jika suku bunga yang menjadi patokan berubah, mark-up
dalam kontrak berpendapatan tetap yang sudah diberjalan tidak dapat disesuaikan ulang.
Sebagai akibatnya, perbankan syariah mengahadapi risiko karena pergerakan tingkat
suku bunga dipasar. (Thariqul Khan dan Ahmed Habib,2008:51)

Dalam hal prakteknya terjadi kesalahan mendasar (basic mistake) dalam


pembiayaan Murâbahah, yaitu biasanya nasabah telah melakukan kontrak jual beli
dengan supplier dan telah menyerahkan DP (down payment), karena nasabah
mengalami kesulitan likuiditas untuk membayar komoditas tersebut, kemudian nasabah
mengajukan pembiayaan kepada bank, jadi komoditas yang dijadikan obyek transaksi
telah menjadi milik nasabah terlebih dahulu, terdapat beberapa langkah yang diskip
(dilewati) oleh kedua belah pihak. Dengan demikian ada beberapa
kendala/permasalahan yang timbul dari pola transaksi ini, yaitu: (Prihantono, 2018:227)

1. Terkesan bahwa nasabah dan pihak bank bukan terjadi akad jual beli, tapi
terjadi pemberian pinjaman uang komoditas. Selanjutnya dikredit/dicicil oleh
nasabah sehingga nasabah tidak merasa berhutang pada bank secara langsung
terhadap jual beli komoditas tersebut.
2. Jika komoditas yang diakadkan antara nasabah dan bank dimiliki penuh,
dibeli dulu oleh pihak perbankan dan mengatasnamakan bank lalu dijual kembali
kepada nasabahnya, dengan demikian dua kali proses jual beli, maka hal ini akan
terkena dua kali pajak penjualan, dan harga komoditas/barang tersebut menjadi
lebih mahal.
3. Dalam transaksi pambiayaan Murâbahah bank melakukan akad
wakalahdengan pihak nasabah untuk mewakili bank dalam melaksanakan
transaksi jual beli dengan supplier. Dalam hal tersebut perbankan belum mampu
tersedianya komoditas atau barang pesanan para nasabah atau untuk
menghindari pajak berganda.
4. Terkesan pihak bank menghindari tanggungjawab terhadap Risiko
operasional, baik pada penyimpanan ataupun biaya operasional.Oleh karena itu,
pihak bank biasanya mewakilkan proses pemesanan dan penyerahan barang
kepada pihak nasabah
5. Akad Murâbahah merupakan akad transaksi jual beli, namun pada
kenyataannya digunakan untuk pembiayaan modal kerja secara
berkesinambungan. Hal ini menggeser pemaknaan tentang bentuk produk-
produk perbankan syariah yang klasik.
6. Margin keuntungan masih bersifat (benchmark).
7. Terkadang nasabah berkeinginan untuk melunasi angsuran lebih awal dari
schedule yang dijadwalkan dan biasanya menginginkan adanya diskon dari
angsuran yang wajib dibayarkan.
8. Kemudian jika nasabah mengalami default/tidak bisa membayar angsuran,
maka nilai angsuran tidak boleh berubah dan pihak bank tidak bisa mewajibkan
nasabah untuk membayar biaya pinalti.

Apabila pihak bank berhadapan dengan nasabah yang tidak jujur dan ia
mengalami default atas angsuran yang harus dibayarkan, maka bank boleh mendapatkan
kompensasi atas kerugian yang diakibatkan adanya default dari nasabah, namun hal itu
berdasarkan nasabah yang mengalami default diberikan grace period (masa tenggang)
satu bulan untuk melunasi angsuran, jika masih tidak mau membayar, maka bank boleh
mendapatkan penalty fee, jika memang alasan yang diungkapkan nasabah atas default
tersebut merupakan alasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Terlepas dari penjelasan di atas memang persoalan Murâbahah menuai beberapa


kritik pokok mengenai Murâbahah; skema-skema mark-up terhadap praktik di lembaga
keuangan syariah. Kritik Pertama; dengan resiko yang rendah dan bersifat jangka
pendek, mereka tidak berhasil memenuhi misi perbankan syariah, untuk membagi resiko
dengan debitur. Resiko yang dijalani oleh bank biasanya dan margin keuntungannya
telah ditentukan diawal. Terlebih lagi, aset pembelian di jadikan sebagai garansi dan
bank juga bisa meminta kliennya untuk memberikan suatu jaminan tertentu. Kombinasi
dari keuntungan tetap dan jaminan memastikan bahwa resiko yang ditanggung oleh
bank adalah sangat kecil. Kritik Kedua; skema-skema mark-up meniru perbankan
konvensional dengan menyamarkan keuntungan melalui permainan kata-kata dan hiyal
(tipu muslihat) lainnya. Tentu saja, dari sudut pandang ekonomi, meski bukan dari sudut
pandang legal atau regulatori, banyak diantara transaksi semacam ini dapat di samakan
dengan transaksitransaksi suku bunga: jika sebuah perusahaan membutuhkan pinjaman
100jt untuk membeli sebuah mesin, dia bisa meminjam uang tersebut dengan bunga
10% tiap tahun untuk membeli mesin atau dia bisa menyuruh bank membeli mesin
untuknya dan kemudian membayar kepada bank 110 juta setahun kemudian.
PENUTUP

A. Simpulan

Murabahah pada dasarnya adalah sebuah proses transaksi jual-beli barang di


mana harga asal dan keuntungan telah diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak
sebelumnya. Sementara, Akad Murabahah dalam perbankan Syariah dapat diartikan
sebagai jenis kontrak yang sering digunakan untuk pembelian produk oleh bank sesuai
permintaan nasabah dan kemudian dijual kepada nasabah tersebut sebesar dengan harga
beli dan keuntungan yang telah disepakati sebelumnya.

Murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan


nasabah dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual yang
merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan keuntungan yang diinginkan.
Dengan demikian pihak bank wajib untuk menjelaskan tentang harga beli dan tambahan
dan keuntungan yang diinginkan kepada nasabah. Jual-beli dengan akad Murabahah
hukumnya diperbolehkan, apabila ada pengkhianatan pada harga pokok maka
diperbolehkan bagi pembeli untuk melakukan khiya

B. Saran
Menjadikan bahan pertimbangan bagi perbankan untuk
memprioritaskanpenghimpunan DPK, karena besar kecilnya simpanan nasabah
akanmemberikan dampak yang signifikan terhadap pendanaan bank dan mempengaruhi
kondisi penyaluran pembiayaan murabahah.Margin Murabahah berpengaruh terhadap
pembiayaan. Hal ini terjadi karenaapabila bank syariah memiliki margin murabahah
yang tinggi, bank dapat menambahkan variasi produk yang diperjualbelikan pada akad
murabahah dan menyalurkan lebih banyak pembiayaan murabahah.

DAFTAR PUSTAKA

Adnans, Ridha Kurniawan. 2008. Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank
Syariah. Thesis, Universitas Sumatera Utara. Diakses dari
https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37767/057011074.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

Al-Butary, Burhanuddin. (2021). Konsep Murabahah Dalam Diktum Filsafat Ekonomi


Islam. Jurnal Human Falah, 8(1), 59-60.

Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan


Syariah.

Faisal. 2021. Perlindungan Hukum Bagi Bank Syariah dan Nasabah dalam Pembiayaan
Murabahah. Jakarta: Kencana.

Ghozali, Mohammad dan Luluk Wahyu Roficoh. (2018). Kepatuhan Syariah Akad
Murabahah Dalam Konsep Pembiayaan Pada Perbankan Syariah Di Indonesia.
Jurnal Studi Islam dan Muamalah: At-Tahdzib, 2(2), 42.
Perbankan Syariah. 2008. Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (pkes
publishing).

Prihantono. (2018). Akad Murabahah Dan Permasalahannya Dalam Penerapan Di


Lembaga Keuangan Syariah. Jurnal Al-Maslahah, 14(2), 227.

Khan, Thariqul dan Habib Ahmed. 2008. Manajemen Risiko Lembaga Keuangan
Syariah, Terj. Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Bumi Aksara.

Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance (Chichester England: John Wiley &
Sons Ltd The Atrium Southern Gate, 2007), hlm 73.

Danni Budianto, Senior Trainer Muamalat Institut, Wawancara Pribadi, Jakarta, 16


Oktober 2007 dalam “Konsep Dan Implementasi Akad Murabahah Pada
Perbankan Syariah Di Indonesia” (Ah. Azharuddin Lathif: 2009), hlm. 14.

Cecep Maskanul Hakim, Problematika Penerapan Murabahah Dalam Bank Syariah,


Paper Lokakarya Produk Murabahah di Balaikota Bogor,26 Agustus 2004. Cecep
Maskanul Hakim, Peneliti Bank Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 12
Nopember 2007 dalam “Konsep Dan Implementasi Akad Murabahah Pada
Perbankan Syariah Di Indonesia” (Ah. Azharuddin Lathif: 2009), hlm. 15.

Wiroso, Jual Beli Murabahah, (Yogyakarta, UII Press, 2005), h. 137 dalam “Konsep
Dan Implementasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia” (Ah.
Azharuddin Lathif: 2009), hlm. 17.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dan Teori ke Praktik, (Jakarta Gema Insani
Press, 2001), h. 106-107 dalam “Konsep Dan Implementasi Akad Murabahah
Pada Perbankan Syariah Di Indonesia” (Ah. Azharuddin Lathif: 2009)

Anda mungkin juga menyukai