Anda di halaman 1dari 14

AKAD GHAIRU MUSAMMA

(Akad Murabahah, Istishna, Ijarah Muntahiyya Bittamlik, Dan Wadiah)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Fiqh Muamalah Klasik


Dosen pengampu : Prof. Dr. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag

Disusun Oleh :
Feri Sugiatno (1605036012)
Ambar Riyani (1605036014)
Rizki Rangga Sufendra (1605036015)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017-2018

BAB I
UIN WALISONGO 2017-2018 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Paradigma baru yang berkembang pada masa krisis ekonomi tahun 1997
dan 1998 adalah perlu dikembangkannya ekonomi kerakyatan dimana
pertumbuhan ekonomi didorong dari bawah. Hal ini berarti diperlukannya
alokasi sumber daya untuk membangkitkan golongan ekonomi lemah dan
koperasi. Tingkat bunga yang sangat tinggi pada masa krisis sampai 65 %
setahun jelas tidak mendukung berkembangnya ekonomi kerakyatan. Oleh
karena itu diperlukan perangkat lembaga keuangan baru yang tentunya
bukan berupa bunga. Karena Itu Pada dekade sekarang ini telah banyak bank
bank syariah yang menawarkan produk produknya baik itu produk yang
tabarru ataupun yang tijarah.

Wajar jika banyak perspektif negatif yang ditujukan oleh masyarakat


awam kepada Bank syariah. Sejauh ini mayoritas portofolio pembiayaan oleh
Bank Syariah didominasi oleh pembiayaan Murabahah. Sepintas memang
ada kemiripan antara pembiayaan Murabahah di Bank Syariah dan kredit
pembelian barang di Bank Konvensional. Umumnya mereka mengatakan
operasional bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional. Hanya
saja jika di Bank Konvensional menerapkan sistim bunga, maka di bank
syariah dirubah dengan istilah margin. Maka dari itu pemakalah akan
menjelaskan akad murabahah, akad istishna, IMBT, akad wadiah yad
amanah, dan akad wadiah yad dhamanah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud akad murabahah ?
2. Apa yang dimaksud akad istishna ?
3. Apa yang dimaksud dengan akad IMBT ?
4. Apa yang dimaksud akad wadiah yad amanah ?
5. Apa yang dimaksud akad wadiah yad dhamanah ?

UIN WALISONGO 2017-2018 2


BAB II
PEMBASAHAN
A. Akad Murabahah

Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual
menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan, termasuk harga
pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya laba
atau keuntungan dalam jumlah tertentu. Definisi lain murabahah adalah jual
beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.1

Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang ia


beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan
biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian (KPP).

Setelah mengetahui mengenai pengertian murabahah, sekarang


pembahasan tentang landasan hukumnya. Jual beli dengan sistem
murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini
berdasarkan pada dalil-dalil yang terdapat dalam al quran, hadits ataupun
ijma ulama. Dalil yang memperbolehkan praktek akad jual beli murabahah
adalah firman Allah swt:

Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
(QS. Al Baqarah [2]: 275)2

Rukun Murabahah :

1. Penjual (Bai)
2. Pembeli (Musytari)
3. Objek Jual Beli (Mabi)
1 Muhammad, 2009. Model-model Akad Pembiayaan di Bank Sharia, UII Pres,
Yogyakarta.

2 http://www.muhammadhafizh.com diakses pada 28 Maret 2017

UIN WALISONGO 2017-2018 3


4. Harga (Tsaman)
5. Ijab Qabul 3

1) Fatwa DSN Tentang Ketentuan Murabahah

Pembiayaan murabahah telah diatur dalam Fatwa DSN No. 04/DSN-


MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut disebutkan ketentuan umum mengenai
murabahah, yaitu sebagai berikut:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang


bebas riba.
2. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syariat
Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian
barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama
bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan
dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara
utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah
(pemesan) dengan harga jual senilai harga plus
keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu
secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut
biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati
tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan
akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus
dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk
membeli barang kepada pihak ketiga, akad jual beli

3 Karim, Adwarman A, 2001. Ekonomi islam suatu kajian kontemporer. Gema


Insani, Jakarta.

UIN WALISONGO 2017-2018 4


murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip
menjadi milik bank.

Aturan yang dikenakan kepada nasabah dalam murabahah ini


dalam fatwa adalah sebagai berikut:

1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian


suatu barang atau asset kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut ia harus membeli
terlebih dahulu assetyang dipesannya secara sah dengan
pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan asset tersebut kepada nasabah
dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum
perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak
harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan
awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut,
biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus
ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa
kerugiannya kepada nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif
dari uang muka, maka: (1) jika nasabah memutuskan untuk
membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga;
atau (2) jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik
bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank
akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak
mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

B. Akad Istishna

UIN WALISONGO 2017-2018 5


Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang di sepakati antara pemesan (pembeli/mustashni)
dan penjual (pembuat/shani). (fatwa DSN MUI )shani akan menyiapkan barang yang di pesan
sesuai dengan spesifikasi yang telah di sepakati di mana ia dapatmenyiapkan sendiri atau melalui
pihak lain (istishna pararlel).
Dalam PSAK 104 par 8 di jelaskan barang pesanan harus memenuhi kriteria ;
1. Memerlukan proses pembuatan setelah akad di sepakati
2. Sesuai dengan spesifikasi pemesan (customized), bukan produk masal dan
3. Harus di ketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis,spesifikasi teknis,kualitas,
dan kuantitasnya.
Dalam istishna paralel ,penjual membuat akad istishna kedua dengan sub kontraktor
untukmembantunya memenuhi kewajiban akad istishna pertama (antara penjual dan pemesan)
pihakyang bertanggung jawab pada pemesan tetap terletak pada penjual tidak dapat di alihkan
pada sub kontraktor karna akad terjadi antara penjual dan pemesan bukan pemesan dengan
subkontraktor. Sehingga penjual tetap bertanggung jawab atas hasil kerja subkontraktor.
Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas :
(a) jumlah yang telah di bayarkan
(b) penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu (PSAK 104 par 13)

Dalam akad Istishna, spesifikasi akad yang di pesan harus jelas, bila produk yang di pesan
adalah rumah, maka luas bangunan, model rumah dan spesifikasi harus jelas, misalnya
menggunakan bata merah, kayu jati, lantai keramik ukuran 4040, dan lain sebagainya. Dengan
spesifikasi yang rinci, diharapkan persengkataan dapat di hindari.

1). Dasar hukum akad istishna


Adapun beberapa landasan hukum mengenai akad ishtishna ini terdapat dalam firman Allah
SWT dalam surah Al-Baqarah : 275

UIN WALISONGO 2017-2018 6


Artinya : Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syetan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual
beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah
diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa
mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.

Berdasarkan ayat ini dan lainnya, para ulama menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal, kecuali yang telah secara nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan
shahih.

2). Rukun dan Ketentuan Akad Istishna


1. Pelaku terdiri atas pemesan atau pembeli (mustasni) dan penjual atau pembuat (shani)
yang telah baligh dan harus cakap hukum
2. Objek akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal istishna yang berbentuk
harga
3. Ijab qabul/serah terima.
Adapun ketentuan mengenai akad Ishtishna adalah sebagai berikut;
1) Ketentuan tentang pembayaran
a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat, demikian juga degan cara pembayarannya
b. Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi apabila setelah
akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya
akibat perubahan ini menadi tanggung jawab pembeli
c. Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan
d. Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.

UIN WALISONGO 2017-2018 7


2) Ketentuan tentang barang
a. Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, mutu)
b. Barang pesanan diserahkan kemudian
c. Waktu dn penyerahan barang harus ditetapkan nberdasarkan kesepakatan
d. Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual
e. Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
f. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepatan, pemesan pemilik
hak khiyar (hak memilik) untuk melanjutkan atau membatalkan akad
g. Dalam hal pemesanan yang sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya
mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak dirugikan karena ia telah
menjalankan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan.

C. Akad IMBT (Ijarah Muntahiya Bittamlik)


1) Pengertian Akad Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik
Berdasarkan penjelasan pasal 19 ayat (1) UU Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan
akad Ijarah Muntahiyya Bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak
guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.4
Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik merupakan salah satu bentuk kegiatan usaha bank
syariah atau Lembaga Keuangan Syariah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.
Sedangkan Pengertian Akad Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik Berdasarkan
ketentuan Bank Indonesia Berdasarkan lampiran surat edaran Bank Indonesia No.
5/26/BPS/2003 tentang Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia, yang dimaksud
dengan Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang antara lessor/
muajjir ( pemberi sewa) dengan lessee/mustajir ( penyewa) yang diakhiri dengan perpindahan
hak milik objek sewa.5

2) Mekanisme Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik


1. Penyewa ( Mustajir) mengajukan permohonan sewa guna usaha barang kepada
pemberi sewa (muajjir).
2. Muajjir menyediakan barang yang ingin disewa oleh mustajir.

4 Wangsawidjadja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Kompas Gramedia Building, 2012), hlm.267-268.

5 Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006, hlm 21.

UIN WALISONGO 2017-2018 8


3. Dilaksanakan akad penyewaan, yang berisi spesifikasi barang yang disewa, jangka
waktu, biaya sewa, dan berbagai persyaratan transaksi lainnya. Dilengkapi pula
dengan opsi pembelian pada akhir masa kontrak.
4. Mustajir membayar secara rutin biaya sewa sesuai kesepakatan yang telah
ditandatangani kepada muajjir sampai masa kontrak berakhir. Selama proses
penyewaan, biaya pemeliharaan ditanggung oleh muajjir.
5. Setelah masa kontrak berakhir, mustajir memiliki opsi pembelian barang kepada
muajjir. Apabila opsi tersebut digunakan, barang menjadi milik mustajir
sepenuhnya.6

3) Landasan Syariah Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik


a) Al-Quran

Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan. QS. al-Zukhruf [43]: 32
b) Hadits
Ahmad Abu Daud dan An-Nasa meriwayatkan dari saad bin Abi Waqqash r.a berkata: Dahulu
kami menyewa tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah
SAW melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas
atau perak.
D. Akad Wadiah
Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqih dengan al-wadiah, menurut bahasa al-wadiah
adalah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya, itu berarti al-
wadiah ialah memberikan. Makna yang kedua al-wadiah dari segi bahasa ialah menerima,
seperti seseorang berkata awdatuhu artinya aku menerima harta tersebut darinya. Secara

6 Al Arif Nur Rianto, Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung: CVPustaka Setia, 2012) hlm. 257.

UIN WALISONGO 2017-2018 9


bahasa al-wadiah memiliki dua makna, yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada
penerimanya.7
Menurut istilah al-wadiah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk
menjaga hartanya atau barangnya secara baik. Al-wadiah juga dapat diartikan sebagai titipan
dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk
menjaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan, kecurian, dan sebagainya. Yang
dimaksud dengan barang disini adalah suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat
berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam.
Adapun dasar hukum mengenai konsep akad Wadiah ini salah satunya adalah sebagaimana
telah Allah SWT jelaskan dalam surat An-Nisa ayat 58.

Artinya: Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan apabila kamu menetapakan hukum diantara manusia hendaknya kamu
menetapkanya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

1. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) mengenai akad Wadiah



Tabungan diatur dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini disebutkan
ketentuan mengenai tabungan yang berdasarkan akad wadiah, yaitu:
a. Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat simpanan.
b. Simpanan ini bisa diambil kapan saja atau berdasarkan kesepakatan.
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian bonus (Athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.

2. Macam-macam Akad Wadiah

7 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta :PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, Cet ke- VI,2010, hlm. 179.

1
UIN WALISONGO 2017-2018
0
Secara umum terdapat dua jenis Al-wadiah yaitu wadiah yad al-amanah dan Wadiah yad
dhamanah.
a. Wadiah yad Al-Amanah
Yaitu merupakan titipan murni dimana barang yang dititipkan tidak boleh digunakan
(diambil manfaatnya) oleh penitip, dan sewaktu barang titipan dikembalikan harus dalam
keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan
maka pihak yang menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab sedangkan sebagai
kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan biaya petitipan.
b. Wadiah Yad Dhamanah
Yaitu merupakan pengembangan dari wadiah yad al amanah yang disesuaikan dengan
aktifitas perekonomian. Penerima titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat
dari titipan tersebut. Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang titipan tersebut. Semua keuntungan yang diperoleh dari
pemanfaatan barang titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai imbalan kepada
pemilik barang atau dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus yang tidak disyaratkan
sebelumnya.8
Melihat definisi dan penjelasan wadiah diatas, jenis produk perbankan yang dapat
diaplikasikan dengan menggunakan akad wadiah adalah giro bank (Current Account). Karena
giro bank pada dasarnya adalah penitipan dana masyarakat di bank untuk tujuan pembayaran dan
penarikannya dapat dilakukan setiap saat. Dana titipan ini dapat dipergunakan oleh bank sebagai
penerima titipan selama dana tersebut mengendap di bank. Tetapi bank punya kewajiban untuk
membayarnya setiap saat jika nasabah mengambil dana titipan tersebut.
Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan oleh bank, nasabah dapat menerima imbalan
jasa dari pemanfaatan dana yang mengendap di bank dalam bentuk bonus. Akan tetapi bonus ini
tidak boleh diperjanjikan sebelumnya dan merupakan hak penuh bank untuk memberikannya
atau tidak.9
Adapun karakteristik akad wadiah yad dhamanah adalah sebagai berikut:
8 Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: PT. Grasindo, Cet ke- I, 2005, hlm. 20-23

9 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (DKT), Bank Syariah: Konsep , Produk dan Implementasi Operasional,
Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 61

1
UIN WALISONGO 2017-2018
1
a. Bank sebagai penerima titipan dan nasabah sebagai penitip dana.
b. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh pihak bank.
c. Bank bertanggung jawab atas barang titipan, bila terjadi kerusakan atau kehilangan.
d. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan
manfaat. Meskipun demikian tidak ada keharusan bagi pihak bank untuk memberikan hasil
pemanfaatan kepada nasabah.
e. Pemberian bonus tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi
benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
f. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank, karena pada
prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.10

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari bebagai macam penjelasan diatas, kita dapat mengambil berberapa
kesimpulan bahwasanya Akad-akad seperti Murabahah, Istishna, Ijarah
muntahiyya bittamlik (IMBT), dan akad Wadiah merupakan berberapa akad
yang dikategorikan kedalam akad Ghairu Musamma. Dari macam macam
akad tersebut, kita dapat mengetahui definisi, landasan hukum, dan rukun-
rukun dari masing-masing akad tersebut, diantaranya.
Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual
menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan, termasuk harga
pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya laba
atau keuntungan dalam jumlah tertentu.

10 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah :Dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani,Cet. I, 2001, hlm.
149.

1
UIN WALISONGO 2017-2018
2
Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang di sepakati antara pemesan (pembeli/mustashni)
dan penjual (pembuat/shani).
akad Ijarah Muntahiyya Bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan
hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.
Akad wadiah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau
barangnya secara baik. Al-wadiah juga dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki. Secara umum terdapat dua jenis Al-wadiah yaitu wadiah yad al-amanah
dan Wadiah yad dhamanah.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, 2009. Model-model Akad Pembiayaan di Bank Sharia, UII Pres,


Yogyakarta.
http://www.muhammadhafizh.com diakses pada 28 Maret 2017
Karim, Adwarman A, 2001. Ekonomi islam suatu kajian kontemporer. Gema Insani,
Jakarta.
Wangsawidjadja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Kompas Gramedia Building,
2012), hlm.267-268.
Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006, hlm 21
Al Arif Nur Rianto, Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2012) hlm. 257
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta :PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, Cet ke-
VI,2010, hlm. 179.

1
UIN WALISONGO 2017-2018
3
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: PT.
Grasindo, Cet ke- I, 2005, hlm. 20-23
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan ( DKT), Bank Syariah: Konsep ,
Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 61
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah :Dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema
Insani,Cet. I, 2001, hlm. 149.

1
UIN WALISONGO 2017-2018
4

Anda mungkin juga menyukai