Abstrak
Wakalah dalam hukum Islam adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak
pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan. Wakalah dalam bahasa
Arab berarti menolong, memelihara, mendelegasikan, atau menjadi wakil yang bertindak atas nama
orang yang diwakilinya. Secara istilah, wakalah berarti tolong menolong antar-pribadi dalam suatu
persoalan ketika seseorang tidak mampu secara hukum atau mempunyai halangan untuk melakukannya.
Objek yag diwakilkan itu dapat menyangkut masalah harta benda dan masalah pribadi lainnya, seperti
nikah.1
Dari Jabir bin Abdillah ia berkata, “Aku hendak pergi menuju Khaibar, kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Apabila engkau menemui wakilku, maka ambillah
darinya 15 wasaq, apabila ia meminta bukti darimu, letakkanlah tanganmu di tulang selangkanya.”(ٌ أHR.
Abu Daud, No: 3632)
ْن َع ْب ِد هَّللا
ِ َج ِاب ِر بJabir bin Abdullah lahir di kota Yatsrib (sekarang bernama Madinah) 15 tahun
sebelum Nabi Muhammad Hijriah. Dia berasal dari keluarga yang miskin di Yatsrib. Dia berasal dari
suku Khazraj. Ayahnya pernah menikah dengan sepupunya.
َخ ْي َب َر Khaibar adalah daerah subur yang menjadi benteng utama Yahudi di jazirah Arab. Terutama
setelah Yahudi di Madinah ditaklukkan oleh Rasulullah ﷺ.
Takhrij hadist
Imam Asy-Syaukani menuturkan bahwa hadits ini menunjukkan sahnya wakalah dan seorang Imam boleh
mewakilkan urusan zakat baik memungut maupun menyerahkan kepada yang berhak 2
Kritik sanad
Hadis ini termasuk hadist hasan karena hadis yang berhubung/bersambungan sanad dari
permulaan hingga akhir dan periwayat-periwayat tersebut bersifat seperti Hadis Sahih, tetapi
mereka tidak mempunyai ingatan yang kuat.
1
Tim Suplemen Ensiklopedi Islam (2001). Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. hlm. 277. ISBN
979-8276-75-2.
2
(Muhammad bin Ali AsySyaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-Hadits, 1993 M), vol. 5, hlm. 322)
Asbabul wurud
Syarah global
Imam Asy-Syaukani menuturkan bahwa hadits ini menunjukkan sahnya wakalah dan
seorang Imam boleh mewakilkan urusan zakat baik memungut maupun menyerahkan kepada
yang berhak Kebolehan transaksi ini berdasarkan alQuran, Sunnah, dan Ijma’ Ulama. Dalam
alQur’an isyarat yang menunjukkan kebolehan melakukan akad wakalah, termaktub dalam
firman Allah n, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini” (Al-Kahfi ayat 19)
Imam Al-Qurtubi berkata, “Pengutusan salah seorang dari mereka dengan membawa uang
menunjukkan sahnya akad wakalah. Ali bin Abi Thalib pernah mewakilkan kepada saudaranya
Aqil akan sebuah urusan dengan Utsman bin Affan3
Istinbath hokum
Transaksi wakalah dapat terjadi dengan adanya imbalan atau tidak. Bilamana tanpa disertai
imbalan, maka para Ulama Fikih sepakat bahwa transaksi tersebut tidak lazim. Sehingga kedua pelaku
transaksi berhak membatalkan secara sepihak kapan saja dengan mempertimbangkan maslahat. Namun
jika disertai dengan imbalan, ada dua kondisi. Apabila disepakati dengan transaksi ju’alah, yang tidak
ditentukan waktu dan kerjanya. Maka transaksinya bersifat tidak lazim. Hanya saja menurut madzhab
Maliki, transaksinya menjadi lazin bagi pihak muwakkil disaat kerja sudah dimulai.
Sedangkan jika dilakukan dengan sistem sewa jasa, dengan menetapkan jenis kerja dan waktu. Maka
transaksinya lazim menurut Hanafiyah dan Malikiyah. Sementara menurut Hanabilah dan Syafi’iyah
tidak lazim4
Pertama, adanya pemutusan dari pihak muwakkil. Dengan beberapa syarat, di antaranya
adalah mengharuskan adanya pemberitahuan kepada wakil ketika ia diberhentikan.
Kemudian wakalah tidak berkaitan dengan hak orang lain. Selanjutnya wakalah bukan dalam
status Ijarah. Dan syarat berikutnya pemberhentian tersebut tidak akan menimbulkan dampak
negatif.
3
(Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub alMishriyah, 1964 M), 10/376)
4
(Al-Wajiz fil Fiqh al-Islami, 2/196)
Kedua, pengunduran diri dari pihak wakil. Dalam hal ini wakil harus memberitahukan
keadaan urusan yang diwakilkan, untuk menjaga hak muwakil dan mencegah kemungkinan
menderita kerugian.
Kelima, hilangnya kelayakan bertindak dari salah satu pihak seperti kematian, gila, safih,
hajr.
Daftar pustaka
Tim Suplemen Ensiklopedi Islam (2001). Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. hlm.
277. ISBN 979-8276-75-2.
(Muhammad bin Ali AsySyaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-Hadits, 1993 M), vol. 5, hlm. 322)