Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kaidah kaidah fiqih adalah kaidah- kaidah yang disimpulkan secara general dari materi
fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus- kasus baru yang
timbul, yang tidak jelas hukumnya di nash.

Adapun manfaatnya adalah memberikan kemudahan di dalam menemutukan hukum-


hukum untuk kasus- kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan
menghubungkannya dengan meteri- materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitap
fiqih serta memudahkan didalam memberikan kepastian hukum.

Para ulama fiqh mengklasifikasikan kaidah- kaidah tersebut kepada kaidah fiqh asasiyah
dan kaidah fiqh ghairu asasiyah yang terdiri dari muttafaq ‘alaih dan mukhtalaf.

Dalam makalah ini akan dikupas dua puluh kaidah, walaupun kaidah ini kedudukannya
bukan sebagai kaidah asasiyah namun keududukannya sangat penting dalam hukum islam,
dan para fiqahapun telah sepakat tentang kehujahan ini. Karena dengan berpihak kepada
empat puluh kaedah ini akan dapat menentukan berbagai macam hukum yang tidak
terhingga, dan tentu saja kaidah tersebut tidak lepas dari sumber- sumber hukum islam,
karena itulah kaedah ini disebut juga” kaedah kulliah”.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian kaidah ghairu asasiyah itu?
b. Apa saja kaidah- kaidah ghairu asasiyah beserta contohnya?
BAB II

A. Pengertian Kaidah Ghairu Asasi

Kaidah ghairu asasi termasuk dalam kategori kaidah fikih, bukan kaidah ushul. Kaidah fikih
adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan
pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru timbul, yang tidak jelas hukumnya dalam
nash. Sebelum mengetahui apa makna atau arti dari kaidah ghairu asasi, perlu diketahui apa
makna kaidah asasi itu sendiri. Kaidah Asasi atau yang terkenal juga dengan sebutan al-Qawaid
al-Khamsah adalah lima kaidah yang mencakup hampir seluruh kaidah fikih.

Menurut penulis, Kaidah Ghairu Asasi adalah kaidah-kaidah yang bukan asasi. Dapat juga
diartikan dengan kaidah-kaidah yang ruang lingkupnya di bawah kaidah asasi. Karena di bawah
kaidah asasi, maka cakupan Kaidah ghairu asasi berkurang dan tentu jumlahnya lebih banyak
daripada kaidah asasi.

B. Kaidah-kaidah Ghairu Asasi

Banyaknya jumlah kaidah ghairu asasi, membuat pemakalah memilih Qawaid Kulliyahdari kitab
al-Suyuthiberjudulal-Asybah wa al-Nadzairyang jumlahnya mencapai 40 kaidah.

Didalam makalah ini kami melanjutkan makalah yang sebelumnya, disini kami menjelaskan
akaidah ghairu asasiah 20-40.

َ ‫ال ُمتَ َعدِّى اَ ْف‬-٢٠


ِ ‫ض ُل ِمنَ القَا‬
‫ص ِر‬

“Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingan sendiri.”

Maksud kaidah di atas ialah suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan lebih luas
yakni dirasakan banyak orang lebih diutamakan daripada  perbuatan untuk kepentingan pribadi.

‫ض ُل ِمنَ النَ ْف ِل‬


َ ‫الفَرْ ضُ اَ ْف‬-٢١

“Fardhu lebih utama daripada yang sunnah.”


Maksudnya agar mendahulukan pekerjaan yang wajib daripada pekerjaan yang sunnah atau tidak
wajib. Misalnya seseorang yang mempunyai tanggungan qadha puasa ramadhan hendaknya
melaksanakan qadha puasanya daripada melakukan puasa sunnah.

ِ ‫ض ْيلَة ال ُمتَ َعلِّقَة بِنَ ْف‬


‫س ال ِعبَا َد ِة اَوْ لَى ِمنَ المتعلقة بِ َم َكانِهَا‬ ِ َ‫الف‬-٢٢

“Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadahnya sendiri lebih baik daripada yang dikaitkan dengan
tempatnya.”

Contohnya: shalat berjama’ah di luar masjid lebih baik daripada shalat sendirian di masjid.

ٍ ‫ك اِاَّل لِ َوا ِج‬


‫ب‬ ُ ‫ال َوا ِجبُ اَل يُ ْت َر‬-٢٣

“Sesuatu yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu yang wajib lagi.”

Contohnya: manusia wajib dihormati hartanya, darahnya, dan kehormatannya, kecuali apabila
diamelakukan kejahatan, maka kewajuban tadi ditinggalkankarenaadakewajiban lain
yaitumelaksanakanhukum.

ِ ْ‫ب اَ ْعظَ َم االَ ْم َر ْي ِن بِ ُخصُو‬


‫ص ِهاَل يُوْ ِجبُ اَ ْد َونَهُ َما بِ ُع ُموْ ِم ِه‬ َ ‫ َما اَوْ َج‬-٢٤

“Sesuatu yang menjadikanlebih besar dari dua perkara sebab khususnya itu tidak mewajibkan
perkara yang lebih ringan sebab umumnya.”

Maksud dari kaidah ini adanya dua perkara yang saling berlainan dalam melahirkan suatu
hukum. Yang satu merupakan perkara umum dan melahirkan hukum ringan. Sedangkan satunya
lagi perkara khusus dan melahirkan hukum berat.

Contohnya: memasuki rumah orang lain tanpa izin itu dilarang dan dapat dituntut lalu dihukum
meski hukumannya ringan. Sedangkan apabila seseorang memasuki rumah tersebut lalu mencuri
barang-barangnya, maka yang dituntut hanyalah hukum mencurinya saja.

َ ‫ع ُمقَ َّد ٌم َعلَى َما َو َج‬


‫ب بِالشَرْ ِط‬ ِ ْ‫ َما ثَبَتَ بِالشَر‬-٢٥

“Apa yang ditetapkan menurut syara’ lebih didahulukan daripada sesuatu yang wajib menurut
syarat.”
Maksud di sini adalah ketetapan yang ada di dalam syara’ itu harus diutamakan daripada undang-
undang yang ditetapkan manusia. Misalnya seseorang bernadzar apabila ia sukses dalam ujian
maka akan melakukan shalat subuh. Bernadzar seperti ini tidak diperkenankan sebab
mengerjakan shalat subuh itu memang ketentuan syara’ yang harus dikerjakan dan lebih
diutamakan bukan mengerjakan karena terpenuhi syarat yang ia buat.

ُ‫ َما َح ُر َم اِ ْستِ ْع َمالُهُ َح ُر َم اِتِّخَا ُذه‬-٢٦

“Apa yang harandigunakannya, haram pula didapatkannya.”

Maksudnya adalah apa yang haram digunakan, baik haram dimakan, diminum, ataudipakai,
maka haram pula mendapatkannya. Contohnya: khamar dan barang-barang yang memabukkan
seperti narkoba adalah haram, maka haram pula membuatnya, membelinya, membawanya,
menyimpannya, dan harga penjualannya pun haram.

ُ‫ َما َح ُر َم اَ ْخ ُذهُ َح ُر َم اِ ْعطَا ُؤه‬-٢٧

“Apa yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya.”

Atas ketentuan kaidah di atas, maka haram memberikan uang hasil korupsi, atau hasil suap.
Sebab perbuatan demikian bias diartikan tolong-menolong dalam dosa. (QS Al-Maidah: 3)

‫ال َم ْش ُغوْ ُل اَل يَ ْش َغ ُل‬-٢٨

“Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek
perbuatan lainnya.”

Contohnya: apabila seseorang telah menggadaikan hartanya pada suatu bank, maka dia tidak bias
menggadaikannya pada bank lain. Meminang wanita yang sudah dipinang orang lain.

‫ال ُم َكبَّ ُر اَل يُ َكبَّ ُر‬-٢٩

“Yang sudah dibesarkan, tidak dibesarkan lagi.”

Contohnya: membasuh sesuatu dari kotoran atau najis disunnahkan mengulang tiga kali. Namun
apabila kotoran tersebut ialah jilatan anjing maka tidak disunnahkan lagi mengulangi tiga kali
sebab sudah diperbesar dengan diharuskan mengulang sebanyak tujuh kali.
َ ِ‫ َم ِن ا ْستَ ْع َج َل َش ْيئًا قَ ْب َل اَ َوانِ ِه ُعوْ ق‬-٣٠
‫ب بِ ِحرْ َمانِ ِه‬

“Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak
mendapatkan sesuatu tersebut.”

Contohnya: belum waktu shalat lalu shalat atau belum berbuka lalu berbuka, maka baik shalat
maupun puasanya menjadi batal.

ِ ْ‫النَ ْف ُل اَوْ َس ُع ِمنَ ْالفَر‬-٣١


‫ض‬

“Sunnah lebih luas daripada fardhu.”

Misalnya niat dalam puasa sunnah boleh dilakukan pada pagi harinya sedangkan puasa wajib
harus malam harinya.

‫الواَل يَة ال َخاصَّة اَ ْق َوى من الوالية العا ّمة‬-


ِ ٣٢

“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekusaan yang umum.”

Contohnya camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada gubernur. Maksud kaidah
di atas adalah lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga yang
umum.

ُ‫اَل ِع ْب َرةَ بِالظَنِّ ْالبَيِّ ِن خَ طَ ُؤه‬-٣٣

“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya.”

Apabila seorang debitor telah membayar utangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor
ataupenanggungjawabnya membayar uang debitor atas sangkaan bahwa utang belum dibayar
oleh debitor, maka wakil debitor berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya,
karena pebayarannya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya, yaitu menyangka
utang belum dibayar debitor. Kaidah ini oleh Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki dimasukkan dalam
kaidah cabang “al-Yaqin La Yuzal bi al-Syakk.”

‫ا ِال ْشتِغَا ُل بِ َغي ِْر المقصود إِ ْع َراضٌ عن المقصود‬-٣٤

“Berbuat yang tidak dimaksud berarti berpaling dari yang dimaksud.”


Ada yang memasukkan kaidah ini dalam cabangan al-Umur bi Maqashidiha. Contohnya apabila
ada seseorang yang bersumpah untuk tidak diam dan menetap di rumah, maka seketika itu
harusnya ia keluar dari rumah. Sebab yang dimaksud dari sumpahnya adalah keluar dari rumah.

‫اَل يُ ْن َك ُر ال ُم ْختَلَفُ فيه وانما يُ ْن َك ُر ال ُمجْ َم ُع عليه‬-٣٥

“Masalah yang masih diperselisihkan tidak diingkari, sedangkan yang diingkari adalah yang
disepakati.”

Maksud kaidah di atas adalah segala sesuatu yang disepakati tentang keharamannya maka harus
benar-benar dijauhi. Misalnya tentang keharaman khamar maka kita harus menjauhi khamar.
Berbeda dengan menyemir rambut yang masih terdapat perbedaan pendapat, maka kita tidak
mengingkarinya.

ُ‫ْف َواَل َع ْك ُسه‬ َ ‫يَ ْد ُخ ُل القَ ِويُّ َعلَى‬-٣٦


ِ ‫الض ِعي‬

“Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya.”

Contohnya: dibolehkannya melakukan ibadah hajisekaligus umrah, tapi tidak sebaliknya. Dalam
hukum pidana disebut dengan teori al-tadakhul (teori absorpi/penyerapan hukuman).

ِ َ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي ال َو َسائِ ِل َمااَل يُ ْغتَفَ ُر في ال َمق‬-٣٧


‫اصد‬

“Diampuni ketika menjadi sarana, tidak diampuni ketika menjadi tujuan.”

Contohnya seorang dokter mengoperasi atau membedah tubuh pasiennya dengan tujuan
mengobati maka dibolehkan. Namun apabila ada maksud lain yang tidak baik maka tidak
dinolehkan.

‫ال َم ْيسُوْ ُر اَل يَ ْسقُطُ بِال َم ْعسُوْ ِر‬-٣٨

“Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan yang sukar dijalankan.”

Maksud kaidah ini adalah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan, harus dilakukan
sedapat mungkin yang kita sanggup lakukan. Contohnya: apabila seseorang tidak dapat sujud
dalam shalat, maka shalat tetap harus dilakukan meskipun sujudnya hanya dengan membungkuk.
Tidak berarti karena tidak bias sujud, lalu dia tidak shalat. Apabila tidak ada pemimpin yang
betul-betul memenuhi syarat maka pilihlah pemimpin meskipun tidak sempurna syaratnya.
Kaidah ini mirip dengan kaidah:

‫ما اليدرك كله اليترك كله‬

“Apa yang tidak ias dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.”

ِ ‫ار ُكلِّ ِه َواِ ْسقَاطُ بَ ْع‬


‫ض ِه َكإ ِ ْسقَا ِط ُكلِّ ِه‬ ْ ‫ْض ِه َك‬
ِ ِ‫اختِي‬ ْ َ‫ َمااَل يَ ْقبَ ُل التَ ْب ِعيْضُ ف‬-٣٩
ِ ‫اختِيَا ُر بَع‬

“Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagiannya seperti mengusahakan
seluruhnya. Demikian juga menggugurkan sebagiannya seperti menggugurkan seluruhnya.”

Redaksi lain dari kaidah ini adalah

‫ذكر البعض مااليتجزء كذكر كله‬

“Menyebutkan sesuatu yang tidak ias dibagi, seperti menyebutkan keseluruhannya.”

Contohnya: apabila seseorang menyebutkan setengah talak kepada istrinya, maka hukumnya
sama saja dengan menjatuhkan satu talak.

ْ ‫ا َذا اجْ تَ َم َع ال َسبَبُ َوال ُغرُوْ ُر َوال ُمبَا َش َرةُ قُ ِد َم‬-٤٠


ُ‫ت المباشرة‬

“Apabila berkumpulan tarasebab, tipuan, dan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan.”

Maksud kaidah suatu kasus itu terdapak tiga. Pertama, sebab terjadinya kasus. Kedua, adanya
penipuan yang membantu terjadinya kasus. Ketiga, perbuatan langsung yang mengakibatkan
kasus. Dari ketiga di atas, maka yang pertama kali diminta pertanggung jawaban adalah
perbuatan yang langsung menimbulkan kasus.

Contoh: ahmad menjual pisau kepada budi. Kemudian oleh budi, pisau tersebut digunakan untuk
membunuh. Dalam contoh ini yang terkena tuntutan hukuman adalah budi sebab dialah
pelaksananya. Namun bila ahmad adalah penjual alat-alat pembunuhan maka dia ias dituntut
juga.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Kaidah- kaidah yang telah disebutkan diatas adalah merupkan kaidah yang sangat
penting untuk memecahkan permasalah – permasalah yang ditadak jelas hukumnya
dalam nash, dimana semua kaidah tersebut bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
dari menolak kemafsadatan dalam kehidupan manusia. Karena memang pada dasrnya
tujuan syariat tersebut adalah untuk menjaga jiwa, harta, agama, dan sebagainya

Anda mungkin juga menyukai