NIM : 116221011853
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah B
Mufassar : -
Muhkam : -
b. Khafi :-
Musykil :-
Mujmal : perintah membelamjakan harta, tidak dijelaskan bagaimana tata cara
membelanjakan harta yang dimaksud.
Mutasyabih: -
2. Jelaskan!
a. Ta’lili
Ijtihad ta’lili yaitu memeberi seluruh daya kesungguhan untuk memperoleh
suatu hukum yang tidak ada padanya nash qathh’i, nash zanni dan tidak ada
pula ijma’.
Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpenggang kepda tanda-
tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’, seperti qiyas dan
istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bi al ra’yi.
Contoh hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan dengan mengatakan
ucapan “akh.”
فَاَل تَقُلْ لَهُ َما أُفٍّ َواَل تَ ْنهَرْ هُ َما َوقُلْ لَهُ َما قَوْ اًل َك ِري ًما.
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan “akh” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada
hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati
orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah”
yang diucapkan anaknya kepadanya.
b. Istislahi
Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan
kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan menggunakan
pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenaimasalah yang
mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada
nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak
mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah
itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa
daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.
Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa
prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan
kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu:
daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer),tahsiniyyah
(kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini ditujukan kepada persoalan yang
ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung dan hal-hal
lain yang tidak dijelaskan oleh nash.
c. Ta’arud al-Adillah
Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan. Sedangkan al-adillah adalah
jamak dari kata dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil. Persoalan
ta’arudl al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqih ketika
terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya
pada derajat yang sama.
Secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama
ushul fiqih di antaranya:
a. Imam Al-Syaukani mendefinisikannya dengan suatu dalil yang
menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain
menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.
b. Kamal Ibn Al-Human dan Al-Taftahzani keduanya ahli fiqih Hanafi,
mendefinisikannya dengan pertentangan dua dalil yang tidak mungkin
dilakukan kompromi antara keduanya.
Contoh pertentangan dalam ayat Al-Qur'an adalah seperti ketentuan tentang
'iddah wanita yang kematian suami. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2:
234, menyatakan bahwa wanita-wanita yang kematian suami 'iddahnya adalah
4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan antara wanita itu hamil atau tidak.
Secara umum Allah menyatakan bahwa, apabila seorang wanita yang
kematian suami, maka 'iddahnya selama 4 bulan sepuluh hari. Dalam surat Al-
Thalaq, 65: 4, Allah menyatakan bahwa wanita yang hamil 'iddahnya sampai
melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai hidup
(talak) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung
pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai hidup
maupun cerai mati, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian,
terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang
kematian suami.
d. Teori Darurat
Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau
teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah
seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau
hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat
ia sangat kelaparan.
kesimpulannya, hal-hal yang dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada
kebutuhan yang mendesak, yakni dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah
keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut,
ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau dengan kata lain, kondisi darurat atau
kebutuhan yang sangat mendesak membuat seseorang boleh mengerjakan hal-
hal yang dilarang oleh syariat.
3. Menurut saya dalam mata kuliah ini nilai yang cocok untuk saya dan dapat di
pertanggungjawabkan adalah –b, karena dalam mata kuliah ini saya masih agak sedikit
sulit memahaminya, mungkin karena kemampuan bahasa arab saya tidak mendukung
sehingga sulit memahami istilah-istilah yang kadang muncul dalam bahasa arab.