Anda di halaman 1dari 13

I.

Haram zatnya (objek transaksinya)

Suatu transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan merupakan
objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol,
narkoba, organ manusia, dll.

II. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)

1. MAYSIR

 Semua bentuk perpidahan harta ataupun barang dari satu pihak kepada pihak lain tanpa
melalui jalur akad yang telah digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi melalui
permainan, seperti taruhan uang pada permainan kartu, pertandingan sepak bola, pacuan
kuda, pacuan greyhound dan seumpamanya. Mengapa dilarang? Karena (1) permainan
bukan cara untuk mendapatkan harta/keuntungan (2) menghilangkan keredhaan dan
menimbulkan kebencian/dendam (3) tidak sesuai dengan fitrah insani yang berakal dan
disuruh bekerja untuk dunia dan akhirat.

bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan
tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik
perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian,
seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.

Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah
sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya’…” (QS. Al Baqarah : 219)

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan  syetan, maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maaidah : 90)
Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan
perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat
ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha yang
dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami kerugian yang
sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga
diharamkan dalam sistem keuangan Islam.

2. GHARAR/TAGHRIR

 Sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau dipastikan kewujudannya secara
matematis dan rasional baik itu menyangkut barang (goods), harga (price) ataupun waktu
pembayaran uang/penyerahan barang (time of delivery). Taghrir dalam bahasa Arab
gharar, yang berarti : akibat, bencana, bahaya, resiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah
fiqh muamalah, taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa
pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang
mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis akibatnya, atau memasuki kancah
resiko tanpa memikirkan konsekuensinya. Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila
seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli.
Taghrir dan tadlis terjadi karena adanya incomplete information yang terjadi pada salah
satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus taghrir terjadi bila ada unsure
ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties).

 Menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah: Al-ghararu 
manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina amroini aghlabuhuma wa
akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam
pandangan kita  dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”.

Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian  tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir,
yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya
menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya
mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. Dengan demikian menurut
bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan
tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang
yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak
saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu
depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian
(ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam,
kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak
didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang
tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:

1. Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
2. Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak
diketahui ketika beli).
3. Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
4. Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.

Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan  yang
begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi
secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.

Secara umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi 4 :

2.1. Gharar dalam Kuantitas

Misalnya seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik
rokok atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah pihak baik
petani tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai berapa pastinya
jumlah tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas barang yang ditransaksikan.

2.2. Gharar dalam Kualitas


Misalnya seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing
yang masih berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli tidak
mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan sehat, cacat, atau
bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang yang diperjualbelikan.

2.3. Gharar dalam Harga

Misalnya Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000 jika dibayar
lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak ada kejelasan
mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi motornya dalam
waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah yang menjadi suatu
ketidakpastian dalam transaksi.

2.4. Gharar menyangkut waktu penyerahan

Misalnya Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut bernilai
Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan Basti untuk
membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan segera diserahkan begitu
ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian mengenai kapan handphone tersebut akan
ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan ditemukan. Hal ini menimbulkan gharar dalam
waktu penyerahan barang transaksi.

3. RIBA

Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai
bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;

‫ َع‬C‫ َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي‬C‫ا َوأَ َح‬CC‫ ُل الرِّب‬C‫ ُع ِم ْث‬C‫ا ْالبَ ْي‬CC‫الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ الرِّبا ال يَقُو ُمونَ إِاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذلِكَ بِأَنَّهُ ْم قَالُوا إِنَّ َم‬
َ‫ار هُ ْم فِيهَا خَالِ ُدون‬ ِ َّ‫ك أَصْ َحابُ الن‬ َ ِ‫َو َح َّر َم الرِّبا فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَى فَلَهُ َما َسلَفَ َوأَ ْم ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ َو َم ْن عَا َد فَأُولَئ‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275]

Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw

ٍّ ‫ِدرْ هَ ُم ِربَا يَأْ ُكلُهُ ال َّر ُج ُل َوه َُو يَ ْعلَ ُم أَ َش ُّد ِم ْن ِس‬
ً‫ت َوثَاَل ثِ ْينَ ِز ْنيَة‬

“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka
itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba
adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam, yaitu: 1. Al-Qur’an “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran:130). “Hai orang-
orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya”. (QS. Al Baqarah: 278-279) 2. Hadits • Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata,
Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama
dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah). • Jabir berkata bahwa
Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang
yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian Beliau bersabda, “Mereka itu semuanya
sama”. (HR.Muslim).
3.1 Jenis – Jenis Riba

  Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Riba hutang-piutang dan riba jual-
beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan
kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengenai pembagian
dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami: “Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu
riba fadl, riba al yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba
al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan
nash al Qur’an dan hadits Nabi. l. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). 2. Riba Jahiliyyah Hutang dibayar lebih dari
pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3.Riba Fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. 4.Riba Nasi’ah Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

3.2 Jenis Barang Ribawi

Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan
panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan
umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi Emas dan perak, baik
itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya. Bahan makanan pokok seperti beras,
gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

4. BAI’ AL MUDTARR

Adalah jual beli dan pertukaran dimana salah satu pihak dalam keadaan sangat
memerlukan (in the state of emergency) sehingga sangat mungkin terjadi eksploitasi oleh pihak
yang kuat sehingga terjadi transaksi yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan
pihak lainnya.
5. IKRAH

Segala bentuk tekanan dan pemaksaan dari salah satu pihak untuk melakukan suatu akad
tertentu sehingga menghapus komponen mutual free consent. Jenis pemaksaan dapat berupa
acaman fisik atau memanfaatkan keadaan seseorang yang sedang butuh atau the state of
emergency. Imam Ibnu Taimiyah ra mengatakan bahwa dalam keadaan darurat (state of
emergency) seseorang yang memilik stock barang yang dibutuhkan orang banyak harus
diperintahkan untuk menjualnya dengan harga pasar, jika dia enggan melakukannya pihak
berkuasa dapat memaksanya untuk melakukan hal tersebut demi menyelamatkan nyawa orang
banyak. (Majmu al Fatawa, vol. 29 hal.300).

6. GHABN

Adalah dimana si penjual memberikan tawaran harga diatas rata-rata harga pasar (market
price) tanpa disadari oleh pihak pembeli.

Ghabn ada dua jenis yakni: Ghabn Qalil (Negligible) dan Ghabn Fahish (Excessive).

Ghabn Qalil: adalah jenis perbedaan harga barang yang tidak terlalu jauh antara harga pasar dan
harga penawaran dan masih dalam kategori yang dapat dimaklumi oleh pihak pembeli.

Ghabn Fahish adalah perbedaan harga penawaran dan harga pasar yang cukup jauh bedanya.

7. BAI’ NAJASH.

 Dimana sekelompok orang bersepakat dan bertindak secara berpura-pura menawar


barang dipasar dengan tujuan untuk menjebak orang lain agar ikut dalam proses tawar
menawar tersebut sehingga orang ketiga ini akhirnya membeli barang dengan harga yang
jauh lebih mahal dari harga sebenarnya. Larangan Rasul saw: “..Janganlah kamu
meminang seorang gadis yang telah dipinang saudaramu, dan jangan menawar barang
yang sedang dalam penawaran saudaramu; dan janganlah kamu bertindak berpura-pura
menawar untuk menaikkan harga..”
 Adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan)
palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual
produk itu akan naik. Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan
isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang
bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang
sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh : ini
sangat rentan terjadi ketika pelelangan suatu barang. Biasanya yang mengadakan
pelelangan bekerja sama dengan beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas
untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata
lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.

8. IHTIKAR

 Adalah menumpuk-numpuk barang ataupun jasa yang diperlukan masyarakat dan


kemudian si pelaku mengeluarkannya sedikit-sedikit dengan harga jual yang lebih mahal
dari harga biasanya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih cepat dan
banyak. Para ulama tidak membatasi jenis barang dan jasa yang ditumpuk tersebut
asalkan itu termasuk dalam kebutuhan essential, maka Ihtikar adalah dilarang. Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa yang menimbun (barang & jasa kebutuhan pokok) maka
telah melakukan suatu kesalahan.”

 Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas


keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang
dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan
masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi
pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang
dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup
tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut
dengan mengambil keuntungan yang berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan
oleh pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm
oleh para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif
yang sudah dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
9.GHISH

Menyembunyikan fakta-fakta yang seharusnya diketahui oleh pihak yang terkait dalam
akad sehingga mereka dapat melakukan kehati-hatian (prudent) dalam melindungi
kepentingannya sebelum terjadi transaksi yang mengikat. Dalam Common Law akad seperti ini
dikenal dengan sebutan Akad Uberrime Fidae Contract dimana semua jenis informasi yang
seharusnya diketahui oleh pelanggan sama sekali tidak boleh disembunyikan. Jika ada salah satu
informasi berkenaan dengan subject matter akad tidak disampaikan, maka pihak pembeli dapat
memilih opsi membatalkan transaksi tersebut.

10. TADLIS

 Adalah tindakan seorang peniaga yang sengaja mencampur barang yang berkualitas baik
dengan barang yang sama berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan
mendapat keuntungan lebih banyak Tindakan “oplos” yang hari ini banyak dilakukan
termasuk kedalam kategori tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering melakukan ‘inspeksi
mendadak’ ke pasar-pasar untuk memastikan kejujuran para pelaku pasar dan
menghindari konsumen dari kerugian.
 Yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk
menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud
untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang
diperjualbelikan.

Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun
waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.

Sebagai contoh : apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat
lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli,
maka transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.
11. Talaqqil jalab atau talaqqi rukban

Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban
yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan.

Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban adalah sebagian pedagang
menyongsong kedatangan barang dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya,
lalu ia menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para
pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga
sebenarnya.

Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

ُ‫ أَ ْن يُتَلَقَّى ْال َجلَب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ل هَّللا‬Cُ ‫نَهَى َرسُو‬.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim no. 1519).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,

Cُ ‫و‬C‫ ِه ُس‬Cِ‫ َغ ب‬Cَ‫ هُ َحتَّى يُ ْبل‬C‫لم – أَ ْن نَبِي َع‬CC‫ه وس‬CC‫ فَنَهَانَا النَّبِ ُّى – صلى هللا علي‬، ‫ُكنَّا نَتَلَقَّى الرُّ ْكبَانَ فَنَ ْشت َِرى ِم ْنهُ ُم الطَّ َعا َم‬
‫ق‬
‫الطَّ َع ِام‬

“Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik
mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual beli
semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR.
Bukhari no. 2166).

Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia
menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia
berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli (Lihat
Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ِ َ‫ق فَه َُو بِ ْال ِخي‬
‫ار‬ َ ‫فَ َم ْن تَلَقَّاهُ فَا ْشت ََرى ِم ْنهُ فَإِ َذا أَتَى َسيِّ ُدهُ السُّو‬.‫ب‬
َ َ‫الَ تَلَقَّ ُوا ْال َجل‬

“Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli
barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan
penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan
jual beli)” (HR. Muslim no. 1519).

Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan
atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada
atau tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).

12. Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk orang desa (pedalaman)

Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang pedalaman
atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-
barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan
mendapatkan harga yang lebih tinggi”.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« ُ‫ه‬Cَ‫ونُ ل‬CC‫ال الَ يَ ُك‬C ِ ‫س َما قَوْ لُهُ الَ يَبِي ُع َحا‬
َ Cَ‫ض ٌر لِبَا ٍد ق‬ ُ ‫ قَا َل فَقُ ْل‬. » ‫ض ٌر لِبَا ٍد‬
ٍ ‫ت ِال ْب ِن َعبَّا‬ ِ ‫الَ تَلَقَّ ُوا الرُّ ْكبَانَ َوالَ يَبِي ُع َحا‬
‫سا ًرا‬
َ ‫ِس ْم‬

“Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo
untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa
maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi
calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).

Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 84).

Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini
menjadi terlarang, yaitu:
1. Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh
orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang
dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
2. Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar
secara diangsur, maka tidaklah masalah.
3. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu,
maka tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 83)

13. Risywah (Suap)

Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau
lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk
mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-
Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan
kepentingan tertentu” (lisanul Arab, dan mu’jam wasith).

Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar
atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani 148).

Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap)
dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam
menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa
besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah
berikut ini:

1. Firman Allah ta’ala:

َ‫م تَ ْعلَ ُمون‬Cُْ‫اإلث ِم َوأَ ْنت‬


ْ ِ‫اس ب‬ ِ ‫م بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا إِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن أَ ْم َو‬Cْ ‫َوال تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك‬
ِ َّ‫ال الن‬

”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
1. Firman Allah ta’ala:

ِ ْ‫ب أَ َّكالُونَ لِلسُّح‬


‫ت‬ ِ ‫َس َّما ُعونَ لِ ْل َك ِذ‬

”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram” (QS Al Maidah 42).

Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah.
Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT

1. Rasulullah SAW bersabda:

‫ي َو ْال ُمرْ ت َِش َي‬


Cَ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الرَّا ِش‬
َ ِ ‫لَ َعنَ َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan
dishahihkan oleh at-Tirmidzi).

1. Nabi Muhammad SAW bersabda:

«‫ «الرشوة في الحكم‬: ‫ يا رسول هللا وما السحت؟ قال‬: ‫»ك ّل لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا‬

“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak
untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”,
“Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap
dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap

Anda mungkin juga menyukai