Anda di halaman 1dari 47

‫‪Kaidah Fiqih Kubro‬‬

‫القواعد الفقهية الكبرى‬

‫الأمور مبلاضدىا‬ ‫‪‬‬


‫اميلني ال يزول ابمشم‬ ‫‪‬‬
‫املشلة جتوة امخيسري‬ ‫‪‬‬
‫ال رضر وال رضار‬ ‫‪‬‬
‫امؾادت م‬
‫حمَّكة‬ ‫‪‬‬
‫اؼامل امالكم بأوىل من اىامهل‬ ‫‪‬‬

‫‪Ammi Nur Baits‬‬

‫‪1‬‬
‫ثسم هللا امرمحن امرحمي‬
‫انوّيم يرس وبأؼن‬

Pengertian
Kaidah berasal dari kata kata [‫ يقعد‬-‫ ]قعودا – قعد‬yang artinya: ‫الثبات واالستقرار‬
artinya: tetap, terpancang.

Secara istilah

‫األمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كثرية‬


Aturan-aturan yang bersifat umum, yang dapat diterapkan pada
beberapa bagian.
Gabungan dua kata: Kaidah Fiqih, secara istilah didefinisikan sebagai,
‫األمر الشرعي العملي الذي ينطبق عليه أحكام جزئياته‬
Aturan-aturan yang bersifat umum dalam masalah fiqh, yang dapat
diterapkan pada beberapa masalah-masalah fiqh. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid
Fiqh)

Apa itu Kaidah Fiqh Kubro?


Kaidah fiqh kubro berarti kaidah fiqih terbesar. Disebut demikian
karena kaidah ini berlaku dalam di hampir semua bab fiqih.
Dilihat dari cakupannya, kaidah fiqh dibagi menjadi 3 tingkatan:
Pertama, Qawaid Kulliyah Kubro
Kaidah fiqh ini memiliki cakupan paling luas, hampir semua bab fiqh.
Seperti 6 kaidah yang akan dibahas di makalah ini.
Kedua, Qawaid yang cakupannya lebih sempit dari pertama
Kaidah pada tingkata ini ada 2:

2
[1] Turunan dari kaidah yang pertama
Seperti kadiah,

‫امرضوراث ثخيح احملغوراث‬


‚Kondisi dharurat membolehkan hal yang terlarang‛
Ini merupakan turunan dari kaidah,

‫املشلة جتوة امخيسري‬


‚Setiap kesulitan, mengharuskan adanya kemudahan.‛
[2] Bukan turunan dari kaidah pertama,

‫الاجهتاد ال ينلظ ابالجهتاد‬


‚Ijthad tidak gugur dengan adanya ijtihad yang baru.‛
Ketiga, Dhawabith
Itulah Kaidah fiqh yang cakupannya hanya untuk satu masalah.
Seperti kaidah yang hanya berlaku dalam bab bersuci,

‫لك ما خرج من امسخيوني انكظ اموضوء‬


‚Semua yang keluar dari dua jalan (dubur dan qubul) bisa
membatalkan wudhu.‛
Atau yang berlaku dalam masalah kaffarah,

‫لك نفارت سخهبا مؾطية فيي ؽىل امفور‬


‚Semua kaffarah yang sebabnya maksiat, wajib disegerakan.‛

Fungsi Kaidah Fiqh


Al-Qarrafi pernah mengatakan,
‫لك فلو مل خيرج ؽىل املواؽد فويس ثيشء‬

3
‚Setiap kesimpulan fiqh yang tidak didasari qaidah, bukan fiqh
yang kuat.‛ (ad-Dzakhirah).

Diantara manfaat memahami qawaid fiqh,


1. Mengelompokkan bagian-bagian yang terpisah dalam fiqh,
untuk disatukan dalam suatu aturan yang universal dan
menyeluruh.
2. Memudahkan menghafal permasalahan-permasalahan fiqh
yang begitu luasnya. Karena dengan menguasai kaidah fiqh
sesorang dapat menguasai banyak masalah-masalah fiqh.
Al-Qarafi mengatakan,
"Siapa yang menguasai kaidah fiqh dia akan dengan mudah
menguasai permasalahn fiqh yang jumlahnya ratusan ribu."
3. Memahami kaidah fiqh membantu seorang pakar fiqh untuk
memahami metoda berfatwa dan memudahkannya untuk
mencari hukum permasalahan yang baru.
4. Memahami kaidah fiqh dapat membantu seorang pakar fiqh
terhindar dari kontradiksi dalam masalah fiqh.
5. Memahami kaidah fiqh dapat membantu seorang ahli fiqh
memahami maqhasid As Syariah

Kaidah Fiqh Vs Ushul Fiqh


Perbedaan antara Kaidah Fiqh dengan Ushul Fiqh dapat disimak
di tabel berikut:
Ushul Fiqh Kaidah Fiqh

Datang lebih dahulu daripada Datang setelah fiqh, karena


fiqh, karena ushul fiqh kaidah fiqh merupakan
merupakan metode seorang pengelompokkan beberapa
mujtahid mengeluarkan masalah fiqh dalam satu aturan
hukum fiqh dari sumber yang universal
(dalil) quran sunnah dst.

4
Tidak bisa diterapkan Bisa diterapkan langsung ke
langsung ke kasus kasus

Hukum fiqh yang dihasilkan Hukum fiqh yang dihasilkan


dari ushul fiqh haruslah dari kaidah fiqh langsung tanpa
melalui perantara. perantara.
Contoh: Kaidah ( ‫ اههني يلذيض فساد املهني‬Contoh: Kaidah (‫" )امرضر يزال‬Hal-hal
‫" )ؼنو‬Setiap kalimat larangan yang mendatangkan mudharat
menunjukkan hukum tidak harus dihapuskan".
sahnya perbuatan yang Dari kaidah ini dapat diambil
dilarang. hukum bahwa boleh memaksa
Dari kaidah ini tidak dapat penjual untuk menerima
diambil hukum akad Asuransi kembali barang cacat yang
tidak sah. Akan tetapi harus dijualnya. Yang dinamakan
ada perantara lainnya dengan khiyar 'aib.

Sumber-sumber Terbentuknya Kaidah Fiqh


Pertama, al-Quran.
Contoh: firman Allah,

‫َو َما َج َؾ َل ؽَوَ ْي ُ ْنك ِِف ِّال ِين ِم ْن َح َر ٍج‬


"Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(QS. Al Hajj: 78(

Berdasarkan kaidah ini dibolehkan gharar yang berkaitan dengan hajat


orang banyak seperti dalam jual-beli umbi-umbian yang masih berada
di dalam tanah.
Ibnu Taimiyah berkata, "madharat gharar di bawah riba, oleh karena itu
diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh orang banyak, karena jika
diharamkan madharatnya lebih besar daripada dibolehkan"

5
Kedua, Hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Contoh: kaidah dalam Khiyar majlis yaitu sabda Nabi:

‫امْ َح ِ ّي َؾ ِان ِابمْ ِخ َي ِار َما مَ ْم ي َ ْف َ َِتكَا‬


"Penjual dan pembeli dibenarkan melakukan khiyar selagi mereka berada
dalam satu majelis dan belum berpisah." (HR. Bukhari-Muslim).
Sabda Nabi tentang hak kepemilikan laba,

‫بَ من امْ َخ َر َاج ِابمضم َم ِان‬


"Keuntungan adalah milik orang yang menanggung barang yang dibeli."
(HR. Abu Daud dan Tirmizi, dan dihasankan oleh Al-Albani).
Sabda Nabi,

‫مَي َْس ِم ِؾ ْر ِق َعا ِم ٍم َحق‬


"Orang yang telah berbuat kezaliman (dengan cara mendapatkan barang
tanpa keridhaan pihak kedua) keringatnya (usahanya mengembangkan barang
tersebut) sama sekali tidak memiliki nilai yang patut dibayar." (HR. Muslim)
Ketiga, Teks ucapan para ulama mujtahid
Seperti perkataan Imam Syafi'i dalam jual beli anggur basah dengan
anggur kering tidak dibolehkan dan tidak dapat diqiyaskan dengan
hukum bolehnya menjual kurma kering dengan kurma basah:

‫امرخص ال يُخؾدمى هبا مواضؾيا‬


"Rukhsah (keringanan) tidak dapat diqiyaskan."
Imam Ahmad berkata:

‫لك ما جاز تيؾو جاز رىنو‬


"Setiap sesuatu yang boleh dijadikan objek dalam jual-beli boleh di
hadiahkan, disedekahkan dan digadaikan".

6
Keempat, Kaidah yang hasilkan oleh para ulama dari analisis istiqra'
(induksi) dengan mengumpulkan beberapa masalah-masalah fiqh
dalam sebuah kaidah fiqh. Dan kebanyakan kaidah fiqh dihasilkan
dari sumber ini. Contoh kaidah,
"Setiap benda yang suci boleh dijadikan objek transaksi ."
Kaidah ini dihasilkan dari kesimpulan beberapa permasalahan dengan
hukum yang sama, seperti tidak boleh menjual kotoran ternak, tidak
boleh menjual khamr, tidak boleh menjual anjing buruan, tidak boleh
menjual babi dan turunannya, tidak boleh menjual bangkai, tidak
boleh menjual najis dst.
Kelima, Kaidah yang dihasilkan oleh para ulama melalui takhrij
(ijtihad), diantaranya qiyas (analogi). Dimana mereka menemukan
suatu kaidah fiqh dan dari kaidah tersebut dapat diqiyaskan hal yang
lain maka mereka buat sebuah kaidah baru.
Dengan kata lain, menurunkan satu kaidah menjadi kaidah yang lain
berdasarkan analogi.
Seperti kaidah:

‫املؾروف ؼرف ًا اكملرشوط رشط ًا‬


"yang telah ditetapkan melalui pemahaman masyarakat statusnya
sama dengan syarat yang ditetapkan".

Kaidah ini adalah turunan dari kaidah:

‫امؾادت حمَّكة‬
Adat dan kebiasaan bisa menjadi sandaran hukum

Metode Qiyas dalam Menetapkan Kaidah


Terkadang ada kaidah yang diturunkan dari kaidah lain, berdasarkan
metode qiyas tertentu, diantaranya,

7
Pertama, Qiyas berdasarkan metoda qiyas awlawiy (qiyas, dengan
keadaan illat yang diqiyaskan lebih utama). Seperti kaidah,
"Suatu benda yang dilarang untuk diperjual-belikan lebih dilarang lagi
untuk diwakilkan".
Kedua, Dengan cara istishhab. Istishhab adalah menetapkan hukum
untuk sesuatu berdasarkan ketetapan hukum pada waktu sebelumnya
dikarenakan tidak ada hal yang menyebabkan hukum itu berubah.
Seperti kaidah:
"Hukum sesuatu ditetapkan berdasarkan hukumnya pada waktu
sebelumnya".
Ketiga, Qiyas dengan cara talazum 'aqly.
Talazum 'aqly yaitu hukum yang terkait dengan hukum lain, karena
itu bagian dari konsekuensinya. Seperti kaidah:
"Siapa yang memiliki sesuatu, berarti ia memiliki sesuatu fasilitas
pelengkapnya".
Keempat, Melalui cara tarjih.
Tarjih berarti mendahulukan hukum yang lebih penting dan lebih
kuat. Seperti kaidah,
"Mudharat yang akan menimpa individu boleh dipertahankan untuk
menolak mudharat bagi orang banyak".

Sejarah Ringkas Kaidah Fiqh


Munculnya kaidah fiqh, terkait erat kegiatan ijtihad para ulama.
Termasuk ijtihad yang ulama’nya ulama, yaitu Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Beliau memberikan beberapa kaidah dalam
menentukan hukum amaliyah. Dari hadis-hadis beliau, muncul
beberapa kaidah fiqh kubra (induk) sebagaimana yang telah
disebutkan.

8
Pada masa sahabat juga ditemukan beberapa atsar yang sekarang
dijadikan sebagai kaidah fiqh.
Seperti perkataan Umar bin Khattab,
ِ ‫امرش‬
‫وط‬ ِ ‫ا من َملَا ِط َػ امْ ُح ُل‬
ُ ‫وق ِؼ ْندَ ر‬
ِ
"Hak-hak seseorang dalam muamalat sesuai dengan persyaratan yang
dibuat." (HR. Bukhari)
Ini kaidah yang sangat penting dalam persyaratan.
Beliau juga menyampaikan kaidah tentang masalah ijtihad,

‫ َو َى ِذ ِه ؽَ َىل َما كَضَ ْينَا‬، ‫ْل ؽَ َىل َما كَضَ ْينَا‬


َ ْ ِ‫ث‬
Itu keputusan kami dulu, dan ini keputusan kami sekarang (HR. Ad-
Darimi).

Ucapan Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam
Mushannaf:

‫امنا امغمن ابمغرم‬


"Orang yang ikut mendapatkan laba, ia tidak wajib menjamin
kerugian."
Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dalam akad
musyarakah dan mudharabah.

Pada masa tabiin, juga ditemukan beberapa atsar yang dijadikan


sebagai kaidah fiqh oleh ulama sekarang. Seperti ucapan Syuraih yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari:

‫رش َط ؽَ َىل ه َ ْف ِس ِو َطائِ ًؾا غَ ْ َري ُم ْك َر ٍه فَي َْو ؽَوَ ْي ِو‬


َ َ ‫َم ْن‬
"Siapa yang mensyaratkan sesuatu atas dirinya tanpa dipaksa
maka dia wajib memenuhinya."

9
Kaidah ini merupakan landasan dibolehkannya klausul penalty
dalam kontrak apabila pihak pemberi jasa tidak berbuat maksimal.
Pada masa-masa ulama mazhab telah kita lihat sebelumnya ucapan
mereka yang dapat dijadikan kaidah fiqh.
Pada abad ke 4 hijriyah Abu Hasan Al Karkhi (wafat 340H)
mengumpulkan 39 kaidah fiqh mazhab Hanafi dalam salah satu buku
kecil yang sebelumnya dikumpulkan oleh Abu Thahir Ad-Dabbas.
Lalu diikuti oleh Abu Zaid Addabusi (wafat 430H) dalam bukunya
yang dikenal dengan "Ta'sis An-Nazhar".
Dalam mazhab Syafii, Abu Sa'ad al Harawi (wafat 488H)
menukil 5 kaidah induk dari Abu Thahir Ad-Dabbas. Dari sini para
ulama dari setiap mazhab berlomba untuk menulis serta
mengembangkan kaidah-kaidah fiqh dalam mazhab mereka masing-
masing.

Bersama Ulama Pelit Ilmu


Al-Qodhi Abu Said al-Harawi menceritakan,
Seorang ulama Hanafiyah di daerah Harah menyampaikan informasi
kepadannya bahwa Imam Abu Thahir ad-Dabbas – seorang ulama
hanafiyah – yang tinggal di seberang sungai, bisa menyimpulkan
semua pendapat Abu Hanifah ke dalam 17 kaidah. Mendengar info ini,
al-Qodhi Abu Said langsung melakukan safar untuk menemui Imam
Abu Thahir ad-Dabbas.
Imam Abu Thahir adalah seorang yang buta. Dan beliau memiliki
kebiasaan mengulang-ulang 17 kaidah fiqih itu setiap malam di masjid
setelah shalat isya.
Hanya saja ada yang unik dari Imam Abu Thahir. Beliau dikenal
ulama yang sangat pelit ilmu. Beliau tidak ingin orang lain bisa
dengan mudah mendapatkan ilmu dari hasil penelitian yang beliau
lakukan. Karena itu, beliau tidak ingin ada seorangpun yang
mendengarnya 17 kaidah yang selalu beliau baca setiap malam.
10
Sehingga kaidah ini baru beliau baca setelah semua jamaah masjid
pulang ke rumah.
Mengetahui hal ini, al-Qadhi Abu Said al-Harawi tidak patah arang.
Beliaupun ikut shalat jamaah isya di masjid itu. Seusai shalat, beliau
tidak keluar masjid, namun beliau bersembunyi dengan berselimut
karpet masjid.
Setelah di rasa sepi, Abu Thahir menutup pintu masjid dan beliau
mulai mengulang hafalan 17 kaidah tersebut dengan suara cukup
keras, sehingga bisa didengar seisi masjid.
Hingga seusai beliau membacakan 7 kaidah, al-Harawi yang
berselimut karpet tadi batuk. Abu Thahir kaget, ternyata ada yang
mencuri dengar hafalan kaidahnya. Beliau langsung mendekati suara
batuk itu, dan memukul al-Harawi serta menyuruhnya keluar masjid.
Kemudian beliau menghentikan kegiatan mengulang hafalan kaidah
lanjutannya di malam itu.
Selanjutnya, pulanglah Abu Said al-Hawari menemui teman-
temannya. Dan beliau menyampaikan 7 kaidah yang telah beliau
dapatkan.
Diantara ulama yang mengambil 7 kaidah ini adalah Imam al-Qodhi
Husain. Salah seorang ulama besar madzhab Syafiiyah.
(al-Asybah wa an-Nadzair, hlm. 7)
Mereka tidak rela jika ilmunya dibawa oleh orang awam agama,
sehingga bisa disalah gunakan.

11
Kaidah Fiqh Kubro

Kaidah Pertama,
‫ا ألمور مبلاضدىا‬
‚Segala urusan sesuai dengan niatnya‛

Makna Kaidah:
Bahwa semua amalan yang dilakukan mukallaf, baik ucapan
maupun perbuatan, nilainya dan hukum yang berlaku baginya,
berbeda-beda sesuai perbedaan tujuan pelaku, yang melatar
belakangi amal itu.

Contoh Kaidah:
1. Orang yang membunuh tanpa alasan yang dibenarkan
syariat, memiliki beberapa hukum, tergantung niatnya. Bisa
dihukumi qathl ‘amd, khatha, atau syibhul ‘amd.
2. Orang yang berkata kepada orang lain: ‚Ambil uang 100
ribu ini.‛
Jika niatnya cuma-cuma, statusnya hibah. Jika tidak,
statusnya utang yang wajib dikembalikan, atau amanah yang
wajib dia jaga. Jika hilang, dia menanggung ganti rugi.
Kalimatnya sama, namun konsekuensinya berbeda.
3. Orang yang menemukan barang: jika dia mengambilnya
untuk dimiliki sendiri, statusnya ghasab. Dia wajib ganti jk
barang itu rusak. Namun jika dia berniat untuk
mengumumkan dan mengembalikannya kepada pemilik,
statusnya orang yang mendapatkan amanah. Dan dia tidak
nanggung ganti rugi jika rusak di luar kesengajaan.

Kaidah Turunan
Pertama, Kaidah dalam masalah akad
12
‫امؾربت ِف امؾلود ابمللاضد واملؾاين ال اب ألمفاظ واملحاين‬
Inti akad berdasarkan maksud dan makna akad, bukan
berdasarkan lafadz dan kalimat

Misal:
1. Seseorang membeli makanan, dia mengatakan kepada
penjual: ’Pak, saya minta dibungkus dua..’ statusnya beli,
sekalipun kalimatnya minta.
2. Kantin kejujuran. Sekalipun tidak ada ucapan akad apapun,
tetap sah sebagai jual beli. Termasuk jual beli mu'athah.
3. Pembeli mengatakan ke penjual: Tolong bawa dulu hp saya,
ini amanah. Tunggu sampai saya ambil uangnya. Status
barang ini adl rahn, meskipun dia bilangnya amanah. Karena
amanah bisa diambil pemiliknya kapanpun. Sementara hp
ini tidak.
Kedua, kaidah dalam masalah sumpah
‫ىل امنية ختطص انوفظ امؾام بأو ثؾمم انوفظ اخلاص؟‬
Apakah niat, mengkhususkan lafadz yang umum, ataukah
membuat umum lafadz yang khusus

Contoh kalimat pertama,


Seorang siswa bersumpah: ‘Demi Allah, saya tidak akan bicara
kepada siapapun.’ Maksud dia, temannya yang ada di kelasnya.
Kalimatnya umum, namun karena maksud dia hanya teman di
kelasnya, maka dia boleh bicara dg orang yg tidak ada di kelas
itu.

Contoh kalimat kedua,


Seorang bersumpah, ‚Demi Allah, saya tidak akan menerima
sumbangan uang darinya.‛

13
Secara teks, dia hanya menolak sumbangan dalam bentuk uang.
Namun jika dia bermaksud semua bentuk sumbangan, maka
mencakup umum.

Ketiga, Kaidah dalam masalah diminta bersumpah


‫ىل اهميني ؽىل هية احلامف بأو ؽىل هية املس خحوف؟‬
Apakah sumpah itu mengikuti niat orang yang bersumpah atau
niat orang yang meminta sumpah?
Ulama berbeda pendapat:
1. Malikiyah & Syafiiyah berpendapat: sumpah itu
mengikuti niat orang yang mengambil sumpah (qadhi),
ketika dia diminta bersumpah dalam semua hukum.
Sehingga tidak boleh ada tauriyah maupun istitsna’
2. Hambali: Sumpah mengikuti niat orang yang besumpah,
selama masih memungkinkan dipahami dari lafadz, dan
dia bukan sebagai pihak yang dzalim.

14
Kaidah kedua
‫اميلني ال يزول ابمشم‬
‚Yakin tidak bisa gugur dengan keraguan‛

Diantara dalil yang mendukung kaidah ini


Firman Allah,
ً‫احلق شيئا‬ ُ ‫وما يد َ ِد ُػ أب‬
ِ ‫نرثُه اال عن ًا ا من امغن ال يغين من‬
Kebanyakan mereka hanya mengikuti prasangka. Padahal
prasangka sama sekali tidak menunjukkan kebenaran. (QS.
Yunus: 36)

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,


‫اذا وجد بأحدمك ِف تطنو شيئ ًا فبأشلك ؽويو بأخرج منو يشء بأم ال؟ فال خيرجن من املسجد‬
‫حىت يسمػ ضو ًات بأو جيد رحي ًا‬
Apabila ada perasaan tertentu dalam perut seseorang yang
membuat dia ragu, apakah kuntut ataukah tidak, maka jangan
dia batalkan shalatnya hingga dia mendengar suara kentut atau
mencium baunya.

Kemudian hadis dari Abdullah bin Zaid, tentang orang yang


mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali
seolah-olah dia ngentut ketika shalat. Kemduian Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
‫ال ينرصف حىت يسمػ ضو ًات بأو جيد رحي ًا‬
Jangan dia batalkan, sampai dia mendengar suara atau mencium
baunya. (HR. Bukhari & Muslim)

Kemudian hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu 'anhu,


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan orang yang
lupa jumlah rakaat ketika shalat,
15
‫اذا شم بأحدمك ِف ضالثو فمل يدر مك ضىل بأزال ًاث بأم بأرتؾ ًا! فويطرح امشم ومينب ؽىل ما‬
‫اسديلن‬
Jika kalian ragu ketika shalat, sehingga lupa berapa rakaat yang
telah dia kerjakan, 3 ataukah 4 rakaat, hendaknya dia buang
keraguan itu dan dia pilih yang meyakinkan. (HR. Muslim)

Makna Kaidah
Syak menurut ulama ahli fiqh: keraguan terhadap status
perbuatan, apakah telah dilakukan ataukah belum.
Karena itu, jika ada satu kasus yang itu secara yakin benar-benar
telah terjadi, kemudian muncul keraguan tentang
keberadaannya, maka dipertahankan apa yang meyakinkan
sampai dipastikan ada sebab yang menghilangkan keyakinan itu.

Contoh
1. Orang yang yakin telah bersuci, ketika dia ragu apakah
telah muncul hadats, maka dia tetap dinilai telah bersuci,
menurut 3 imam: Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ahmad.
Sementara Imam Malik berpendapat, ‘Orang yang ragu
dalam bersuci, dia wajib wudhu, berdasarkan kadiah:
Ragu dalam syarat menjadi penghalang terwujudnya apa
yang disyaratkan.’
2. Jika ada sepasang suami istri melakukan akad nikah yang
sah, kemduian muncul keraguan apakah pernah terjadi
talak ataukah tidak, maka nikahnya dipertahankan.
Karena talak yang statusnya keraguan, muncul di tengah
keadaan yang lebih meyakinkan, yaitu nikah, sehingga
wajib dibuang.
sementara Ibnu Qudamah mengatakan, ‘yang lebih wara’,
dinilai jatuh talak.’

16
Kedudukan Kaidah
Sebagian ulama menyebut, kadiah ini mencakup ¾ masalah
Fiqh.

Turunan Kaidah
Pertama, kaidah hukum asal
‫ا ألضل تلاء ما اكن ؽىل ما اكن‬
Hukum asal: mempertahankan apa yang sudah ada,
sebagaimana sedia kala.

Artinya, sesuatu yang pernah terjadi di suatu masa, dihukumi


tetap ada, selama tidak dijumpai adanya indikator yang
bertentangan dengannya.
Kaidah ini disebut ’Dalil al-Istishhab’ (mempertahankan
kondisi awal)

Contoh
1. Siapa yang yakin dia telah bersuci, kemudian muncul
keraguan hadats, maka dia tetap dinilai telah bersuci.
Sebaliknya, siapa yang yakin telah hadats, kemudian ragu
apakah tadi sudah bersuci atau belum, maka dia dinilai
berhadats.
2. Ada air suci yang berubah warna, dan diragukan, apa
yang menyebabkan berubah warna. Hukum asalnya
mempertahankan status sucinya.
3. Orang yang makan menjelang maghrib tanpa
memperhatikan matahari atau jam, sementara dia belum
yakin telah terbenam matahari, maka puasanya batal.
Karena hukum asalnya, belum masuk malam.

Kedua, kadiah tidak ada tanggungan


17
‫ا ألضل جراءت اذلمة‬
Hukum asal, bara’atu dzimmah (bebas tanggungan)

Artinya: pada asalnya semua manusia terbebas dari tanggungan


maupun kewajiban. Hingga ada bukti, dia punya tanggungan.
Baik terkait masalah ibadah maupun muamalah.

Contoh
1. Si A wajib melakukan amalan x, agar selamat di akhirat,
sementara tidak ada dalil. Kewajiban ini tidak berlaku.
2. Muwada’ (orang yang dititipi) mengklaim telah
mengembalikan barang titipannya. Sementara muwaddi’
(orang yang titip) mengingkarinya. Yang dikuatkan adalah
perkataan muwada’, karena dia berpegang dengan hukum
asal, tidak memiliki tanggungan terhadap barang.

Ketiga, Memilih yang lebih yakin


‫ما زخت تيلني ال يرثفػ اال تيلني‬
Yang terjadi dengan yakin, tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan yakin pula

Mana yang lebih meyakinkan, itulah yang dipilih.

Contoh
1. Siapa yang ragu, apakah dia sudah melakukan suatu
pekerjaan ataukah belum, hukum asalnya, dia belum
melakukannya.
2. Orang yang beramal, sementara dia ragu mengenai jumlah,
maka dia pilih yang lebih sedikit, karena ini yang lebih
meyakinkan.

18
3. Orang yang punya utang sementara dia ragu dengan
jumlahnya, dia harus keluarkan dalam jumlah yang
membuat dia yakin telah menggugurkan kewajibannya.
4. orang yang ragu apakah telah menceraikan istrinya
ataukah belum, tidak jatuh talak. Karena nikahnya yakin,
sementara talaknya meragukan.

Keempat, hukum asal belum ada


‫ا ألضل امؾدم‬
Hukum asal adalah tidak ada
Artinya, hukum asal dalam sifat, maupun perkara yang baru
adalah tidak ada.

Contoh
1. Ada orang yang beli mobil, sudah diserahkan dalam kondisi
normal, selang sekian hari pembeli mengaku ada yang cacat,
sementara penjual mengklaim semua normal, dan keduanya
tidak memiliki bukti, maka yang diterima perkataan penjual
disertai sumpah. Karena normal itu kondisi asal, sementara
hukum asal, tidak ada cacat.
2. Dua orang melakukan transaksi mudharabah. Pemodal
meminta bagi hasil sementara mudharib mengklaim tidak
ada untung. Yang diterima perkataan mudharib dengan
sumpah, karena dia di posisi sesuai hukum asal.
3. Peminjam mengklaim telah mengembalikan uang, sementara
pemilik uang mengklaim tidak pernah menerima
pengembalian itu. Smeua tidak ada bukti. ….

19
Kaidah Ketiga
‫املشلة جتوة امخيسري‬
Masyaqqah menharuskan adanya kemudahan

Makna kaidah
Masyaqqah secara bahasa artinya capek atau kesusahan.
Diantara nikmat Allah untuk manusia, Allah ciptakan binatang
yang berfungsi mengangkut barang mereka ke tempat jauh.
Andai tidak ada binatang tunggangan, tentu manusia harus
tidak mampu melakukannya kecuali dengan susah payah yang
melelahkan. Allah berfirman,
ِ ‫وحت ِم ُل بأزلامَ ُنك اىل ت ٍدل مل حكوهوا اب ِمغيو اال‬
‫ثشق ا أله ُفس‬
Binatang memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu
tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesulitan
(yang memayahkan) diri.. (an-Nahl: 7).

Batasan Masyaqqah
Syaikh Abdullah al-Fauzan menjelaskan,
‫ املشلة امزائدت اميت ال ميكن نوملكف أبن يس متر ؽىل حتمويا ؽادت اال‬- ‫ ىنا‬- ‫واملراد ابملشلة‬
‫ حبير ثؤدي اىل وكوع امرضر بأو ا ألذى ِف‬، ‫ وال متكن املداومة ؽوهيا‬، ‫تحذل بأكىص اجليد‬
‫امنفس بأو املال‬
Yang dimaksud masyaqqah dalam kaidah ini adalah masyaqqah
tambahan, di mana seorang mukallaf tidak mungkin untuk
terus-menerus menanggungnya, kecuali dengan menguras
banyak tenaga. Sehingga tidak mungkin dia selalu bertahan di
sana, karena ini akan membahayakan dirinya atau hartahya.
(Jam’u al-Mahsul).

Dalil Kaidah

20
Dalil yang menyebutkan kaidah ini banyak. Terutara dalil umum
yang menjelaskan bahwa syariat meniadakan adanya unsur haraj
(kesulitan) di dalamnya. Allah berfirman,
‫َو َما َج َؾ َل ؽَوَ ْي ُ ْنك ِِف ِّال ِين ِم ْن َح َر ٍج‬
Allah tidak menjadikan adanya kesulitan dalam agama (QS. al-
Hajj: 78)
Allah juga menegaskan, bahwa Dia hanya menghendaki
kemudahan,
‫رس‬ َ ْ ‫اَّلل ِج ُ ُنك امْي‬
َ ْ ‫ُرس َوال ُي ِريدُ ِج ُ ُنك امْ ُؾ‬ ُ ‫ُي ِريدُ م‬
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Dia tidak
menghendaki kesulitan. (QS. al-Baqarah: 185).
As-Syathibi mengatakan,
‫ان ا ألدةل ؽىل رفػ احلرج ؼن ىذه ا ألمة توغت مدوؿ املطػ‬
Bahwa dalil yang menunjukkan peniadaan kesulitan dari umat
ini, statusnya qath’i (absolut). (al-Muwafaqat, 1/231)

Diantara bukti bahwa syariat meniadakan adanya al-haraj,


1. Syariat memberikan adanya rukhshah
2. Syariat membedakan antara aturan yang berlaku dalam
kondisi normal dan aturan dalam kondisi terpaksa. Muslim
harus bisa membedakan.
Ibnul Wazir menulis,
‫ومن مل يفرق تني حايل الاخذيار والاضطرار؛ فلد هجل املؾلول واملنلول‬
Orang yang tidak bisa membedakan antara kondisi ikhtiyari
dan kondisi dharuri, berarti cara berpikirnya rendah dan
banyak tidak tahu dalil. (al-Awashim wa al-Qawashim,
8/174)
3. Syariat membedakan anturan untuk orang normal dengan
ahlul a’dzar (orang yang memiliki udzur).

21
4. Syariat membedakan sebagian aturan yang berlaku untuk
lelaki dan wanita

Macam-macam Keringanan Syariat


Keringan Syariat ada 2:
Pertama, keringan yang datang sejak awal dari syariat, dan ini
terjadi pada hampir semua aturan syariat. Seperti: shalat hanya 5
rakaat, tidak 50 rakaat, ada syariat sahur untuk puasa, haji hanya
bagi yang mampu, dst.
Kedua, keringanan yang diberikan oleh syariat karena adanya
udzur dan beban berat yang dialami seseorang, yang diistilahkan
denga rukhshah. Keringanan jenis inilah yang dimasukkan
dalam pembahasan kaidah ini.
Karena itu, kaidah al-Masyaqqah mengharuskan adanya
kemudahan, berkaitan dengan masalah rukhshah dengan
berbagai jenisnya. Masih dalam lingkup kaidah terkait kondisi
dharurat.

Contoh Penerapan Kaidah


Berikut beberapa contoh kasus penerapan kaidah ini,
1. Bolehnnya memanfaatkan barang milik orang lain dalam
batas yang diizinkan. Karena jika manusia hanya boleh
memanfaatkan barang yang hanya milik pribadinya, tentu
dia akan mengalami masyaqqah yang besar. Bisa dipastikan,
tidak semua yang dia manfaatkan milik pribadinya. Ada
diantaranya milik umum, bahkan milik ornag lain.
Untuk itu, adanya transaksi sewa, pinjam, dst, bagian dari
peniadaan masyaqqah bagi umat
2. Syariat juga membolehkan transaksi yang serah terimanya
tidak sama. Meskipun sepadan menurut yang melakukan
transaksi. Syariat memboehkan adanya hawalah, rahn,

22
kafalah, menggugurka sebagian utang sebagai bentuk sulh,
menebus sumpah, dst. Karena jika semua harus sama, tentu
akan menimbulkan masyaqqah.
3. Adanya wasiat, sehingga seseorang bisa memberika
hartanya kepada orang lain setelah dia meninggal. Dalam
rangka menghilangkan unsur masyaqqah.
4. Peniadaan dosa bagi mujtahid karena kesalahan ijtihad.
Sehebat apapun manusia, dia tidak akan lepas dari dosa dan
kesalahan.
5. Syariat membolehkan berdalil dengan dzan rajih (dugaan
kuat). Tidak harus semuanya pada derajat yakin dan absolut.
6. Syariat menbolehkan melihat wanita yang bukan mahram,
bagi dokter, saksi, atau orang yang melamar.
7. Bolehnya menikahi 4 wanita. Untuk meringankan beban
para wanita.
8. Adanya aturan cerai dalam pernikahan. Orang yang
menikah tidak diwajibkan mempertahankan
pernnikahannya sampai akhir hayat.
9. Adanya kaffarah dalam zihar dan sumpah. Memudahkan
bagi mukallaf.
10. Adanya pilihan dalam melaksanakan haji. Agar mereka bisa
menyesuaikan sesuai kondisi masing-masing.
11. Bolehnya bai’ salam, padahal ini termasuk bai’ ma’dum
(menjual barang yg belum di tangan).

23
Makna Rukhshah
Secara bahasa artinya as-suhulah (‫ )امسيوةل‬kemudahan,
kelembutan, dan memberikan keloggaran. Lawan dari keras.
Harga murah disebut rakhis. (al-Misbah al-Munir).
Secara istilah
‫ ثوسؾ ًا ِف امضيق‬،‫تناء ؽىل ا ألؽذار مػ كيام الميل احملرم‬
ً ‫يه ا ألحاكم اميت زحدت مرشوؼيهتا‬
Hukum yang berlaku karena adanya udzur, semetara terdapat
dalil yang melarangnya, dalam rangka memberi kelonggaran
untuk situasi mendesak. (al-Wajiz fi Qawaid Fiqh).

Macam-macam Bentuk Rukhshah


Para ulama menyebutkan ada 7 macam bentuk rukhshah;
Pertama, rukhshah isqath (menggugurkan).
Syriat menggugurkan sebagian kewajiban ibadah bagi orang
yang memiliki udzur
Kedua, rukhshah tanqish (pengurangan).
Syriat mengurangi sebagian ibadah bagi ahli udzur. Misalnya
adanya syariat qashar shalat, bolehnya shalat sambil duduk bila
sakit, dst
Ketiga, rukhshah ibdal (penggantian)
Mengganti satu ibadah dengan ibadah lain. Wudhu dan mandi
besar diganti tayammum, bagi yang udzur. Mengganti berdiri
dengan duduk ketika shalat. Mengganti gerakan rukuk sujud
dengan isyarat.
Keempat, rukhshah taqdim (mendahulukan)
Seperti jamak taqdim, atau mendahulukan zakat sebelum haul,
atau mendahulukan zakat fitrah sebelum waktu fitri ramadhan.
Kelima, rukhshah ta’khir (menunda)
Adanya Jamak ta’khir, menunda pelaksanaan puasa ramadhan
karena safar, haid, atau nifas. Mengkahirkan shalat karena
udzur.
24
Keenam, rukhshah idhtirar (terpaksa)
Keinganan melanggar yang haram, karena ada masalahat lebih
besar atau untuk menghindari bahaya lebih besar. Seperti;
Melihat aurat pasien yang dibutuhkan dokter, nadzar wanita
yang dikhitbah, makan bangkai karena kelaparan, dst.
Ketujuh, rukhshah taghyir (perubahan tata cara)
Keringanan yang berlaku untuk shalat khauf.

Turunan Kaidah
Kaidah pertama,
‫اذا ضاق ا ألمر اجسػ واذا اجسػ ا ألمر ضاق‬
Jika ada masalah sempit maka dilonggarkan dan jika terlalu
longgar disempitkan

Contoh kaidah
1. Larangan menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari,
kemudian dinasakh menjadi boleh menyimpan daging
kurban tanpa batas.
2. Jika seorang wanita tidak memiliki seorangpun lelaki yang
bisa menjadi walinya dalam safar, dia boleh menyerahkan
hak walinya kepada lelaki lain, menurut pendapat as-Syafii.
3. Diterimanya persaksian anak-anak dan wanita di tempat-
tempat yang tidak mungkin dikunjungi lelaki dewasa.
4. Diterimanya persaksian seorang wanita terait masalah
persusuan.
5. Bolehnya menggaji orang yang melakukan ibadah sosial
keagamaan, seperti imam shalat, muadzin, atau takmir,
dalam rangka menjaga syiar islam.

Kaidah Kedua,
‫امرضوراث ثلدر تلدرىا‬
25
Dharurat itu dibatasi sesuai kebutuhannya

Contoh penerapan kaidah


1. Orang yang tidak bisa rukuk dan sujud, namun bisa berdiri,
dia tetap wajib berdiri. Rukuk dan sujudnya menggunakan
isyarat.
2. Orang yang terpaksa hanya boleh makan bangkai yang
cukup untuk menahan kelaparannya, sehingga
menyelamatkan dia dari ancaman kematian
3. Dokter boleh melihat aurat hanya sebatas untuk kebutuhan
pengobatan
4. Sumpah dusta tidak boleh dilakukan dalam kondisi
dharurat. Yang dibolehkan hanya ta’ridh, untuk
megnhindari darurat
5. Pembalut luka tidak boleh menutupi bagian yang tidak ada
hubungannya dengan luka, sehingga menghalangi
sampainya air ketika wudhu atau mandi.

Kaidah ketiga,
‫ما جاز مؾذر تطل جزواهل‬
Sesuatu yang dibolehkan karena udzur, menjadi hilang dengan
hilangnya udzur itu

Contoh penerapan:
1. Orang yang tayamum menjadi wajib wudhu atau mandi jika
mendapatkan air
2. Orang yang memakai sutera karena gatal, atau luka, wajib
melepasnya jika lukanya sudah membaik
3. Orang yang makan bangkai karena kelaparan, tidak boleh
lagi makan jika menemukan makanan yang halal

26
Kaidah keempat,
‫احلاجة ثزنل مزنةل امرضورت ؽامة اكهت بأو خاضة‬
Hajah bisa berstatus sebagaimana darurat, baik hajah umum
maupun khusus

Yang dimaksud dengan hajah adalah kebutuhan manusia di


bawah kondisi darurat. Dimana jika dia tidak terpenuhi, tidak
mengancam keselamatan nyawa atau badan seseorang, hanya
saja, kehidupannya menjadi tidak normal.

Contoh Penerapan Kaidah


1. Dibolehkannya transaksi jualah, hawalah, dan salam.
Padahal ini bertabrakan dengan syarat transaksi yang sah.
Namun manusia sangat membutuhkan semua transaksi
ini. Namun ini semua dibolehkan karena hajah.
2. Foto manusia, hukum asalnya tidak diperbolehkan.
Apalagi berisi aurat. Di zaman ini, komoditas utama tidak
mungkin bisa lepas dari semua ini.

Kaidah kelima,
‫الاضطرار ال يحطل حق امغري‬
Darurat tidak membatalkan hak orang lain

Kaidah ini seolah menjadi batasan untuk kaidah ‘Darurat


membolehkan hal yang terlarang’
Sekalipun boleh melanggar larangan karena darurat, namun
tidak boleh melanggar hak orang lain.

Contoh Kaidah:

27
1. Jika ada orang yang terpaksa makan makanan orang lain, dia
wajib mengganti rugi.
2. Jika ada hewan milik orang lain yang menyerang, dia boleh
dibunuh. Dan menurut hanafiyah, wajib ganti rugi. Kecuali
jika hewan ini terkenal suka ganggu dan pemilim sudah
diingatkan, namun tetap teledor. Dalam hal ini tidak ada
gnti rugi.
3. Jika perahu kelebihan beban, dia boleh membuang harta
orang lain tanpa izin, namun wajib ganti rugi.

Kaidah Keenam
‫اذا ثؾذر ا ألضل يطار اىل امحدل‬
Jika tidak bisa melakukan yang asal, harus berpindah kepada
penggantinya.

Yang dimaksud asal: aturan baku yang harus dipenuhi.


Sedangkan badal adalah rukhshahnya.

28
Kaidah Keempat,
‫ال رضر وال رضار‬
Tidak boleh ada bahaya untuk diri sendiri maupun orang lain,
baik disengaja maupun tanpa sengaja. (Fath al-Qowi)
Atau
‫امرضر يزال‬
Segala yang membahayakan harus dihilangkan

Kalimat pertama disebutkan dalam hadis dari Sa’d bin Malik al-
Khudri radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Hadis ini statusnya hasan.

Penjelasan Umum
Kaidah ini termasuk salah satu rukun dalam syariat. Terdapat
banyak dalil dari al-Quran maupun hadis yang menjelaskan
kaidah ini.
Kaidah ini menjadi landasan banyak bab fiqh, seperti
mengembalikan barang yang memiliki aib, adanya hak khiyar,
pemboikotan dengan segala ragamnya, masalah syuf’ah, qishas,
hukuman had, kaffarah, ganti rugi barang yang rusak, dan
pemaksaan dalam menunaikan hak. Termamuk bagian dalam
aturan penentuan qadhi dan hakim.
Karena itu, memberikan hukuman kepada orang yang
melakukan pelanggaran sebagaimana yang ditetapkan dalam
syariat, tidaklah bertentangan dengan kaidah ini, meskipun
dalam penerapannya terdapat dharar yang dialami bagi orang
yang dihukum. Karena pemberian had merupakan bentuk
keadilan dan dalam rangka mencegah bahaya yang lebih besar.

Macam-macam Dharar
Memberikan Dharar kepada Orang lain ada 2:
29
Pertama, memberikan dharar kepada orang lain tanpa ada
manfaat sedikitpun bagi orang yang melakukan tindakan dharar.
Sehingga tujuannya hanya untuk menyakiti sasaran.
Ini termasuk tindakan jahat yang bernilai dosa besar.
Contoh:
Memberikan dharar dalam wasiat. Orang yang meninggal
mewasiatkan sebagian besar hartanya dengan maksud agar ahli
waris tidak mendapatkan warisan. Allah berfirman,
‫ِمن تَؾ ِد وض مي ٍة يُوىص هبِ ا بأو د ٍَين غَ ْ ِري ُمضَ ٍار‬
‛Ditunaikan sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (QS. an-Nisa: 12)

Demikian pula, merujuk istri dalam rangka mendzalimi istri.


Allah berfirman,
‫مبؾروف وال ث ُِمس ُكوى مُن‬
ٍ ٍ
ِ ّ َ ‫مبؾروف بأو‬
‫سحوى مُن‬ ‫غن بأ َجوَي مُن فبأ ِمس ُكوى مُن‬ َ ‫طولُت ام ِن‬
َ َ‫ساء فدَو‬ ُ ‫واذا‬
‫ِرضارًا مخَ ْؾخدُ وا‬
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati
akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang
ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).
janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.. (QS. al-
Baqarah: 231)

Kedua, memberikan dharar karena tujuan pribadi yang


dibenarkan.
Seperti si A menggunakan barangnya untuk tujuan pribadi,
namun ternyata mengganggu si B. Atau menghalangi si B untuk
memanfaatkan barangnya, yang menyebabkan si B mendapatkan
madharat.

30
Dalam kasus ini, ulama membaginya menjadi dua:
1. Si A menggunakan barangnya di luar kondisi normal (Ghairul
Mu’tad), seperti orang yang menyalakan api di tanahnya di
musim kering, sehingga membakar harta tetangganya. Si A
dihukumi merusak barang orang lain dan wajib ganti rugi
2. Si A menggunakan barangnya sesuai standar (ala wajh al-
Mu’tad), apakah dia harus dilarang jika mengganggu
tetangganya? Ada 2 pendapat:
a. Dia wajib dilarang, karena mengganggu orang lain. Ini
pendapat Ahmad dan Malik.
b. Dia tidak boleh dilarang, karena dia menggunakan barang
milik pribadinya. Ini pendapat Abu Hanifah dan as-Syafii.
Contoh: orang yang ternak ayam, yang menimbulkan bau
bagi tetangganya.

Makna Tidak Ada Dhirar


Diantara makna dhirar adalah membahayakan orang lain
sebagai bentuk membalas dharar yang diberikan orang lain.
Memberikan madharat kepada orang lain, sekalipun dengan
tujuan membalas dibatasi dalam syariat. Hanya boleh dilakukan
dalam kondisi sangat ketat.
Orang yang merusak harta temannya, tidak boleh dibalas
dengan merusak hartanya. Karena ini sama dengan melebarkan
dharar tanpa manfaat. Sehingga dialihkan dengan mengganti
rugi barang yang dirusak.
Ini berbeda dengan tindak kriminal terhadap fisik, ada syariat
qishas. Karena tindak kriminal tidak ada cara untuk
menghentikannya selain hukuman yang semisal.

31
Contoh Penerapan Kaidah
Jika masa sewa lahan pertanian telah usai sebelum masa panen,
maka sewa harus diperpanjang dengan biaya normal sampai
masa panen, agar tidak ada dharar yang menimpa penyewa
dengan memindahkan tanaman di lahan tersebut.
Orang yang menjual barang yang cepat rusak, (misalnya buah),
namun penjual tidak bisa ditemui sementara buah cepat busuk,
dan belum dibayar tunai, maka penjual bisa membatalkan akad
sepihak untuk dijual ke orang lain. Dalam rangka
menghilangkan dharar.
Boleh menahan orang yang dikenal suka membuat onar di
masyarakat, sampai dia bertaubat. Meskipun dia sama sekali
tidak melakukan tindak kriminal tertentu.

Turunan Kaidah
Kaidah pertama,
‫امرضر يدفػ تلدر االماكن‬
Dharar harus dihilangkan sebisa mungkin.

Artinya: segala bentuk dharar harus dihilangkan. Jika


memungkinkan, dicegah dengan cara yang tidak menimbulkan
dharar baru. Jika tidak, bisa digunakan cara yang bahayanya
seminimal mungkin.

Kaidah ini merupakan landasan wajibnya mencegah dharar


sebelum terjadi dengan cara apapun yang paling ringan
madharatnya. Dalam rangka mewujudkan maslahah mursalah.
Sehingga kaidah ini bagian dari prinsip mencega lebih baik dari
pada mengobati.
Dalilnya firman Allah,
‫هللا وؽَدُ مو ُ ْمك‬
ِ ‫ون ِت ِو ؽَدُ موا‬
َ ‫ابط اخلَ ْيلِ ُح ْر ِى ُح‬
ِ ‫وبَ ِؽ ردوا مَيُم ما اس َخ َط ْؾ ُُت من كُ مو ٍت و ِمن ِر‬
32
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu (QS. Al-Anfal: 60)

Contoh pencegahan untuk kemaslahatan umum


1. Adanya syariat jihad untuk menghalangi kejahatan musuh
2. Adanya hukuman untuk menghentikan kriminal dan
menjaga keamanan

Contoh pencegahan untuk kemaslahatan khusus


Adanya syariat syuf’ah untuk mencegah terjadinya dharar
kepada orang terdekat.
Adanya anjuran boikot jual beli bagi orang yang tidak tahu uang.
Untuk mencegah dharar dalam bentuk kerugian ketika jual beli
Adanya syariat karantina bagi orang yang bangkrut banyak
utang. Untuk melindungi hak para kreditor

Kaidah Kedua
‫امرضر يزال‬
Dharar harus dihilangkan

Kaidah ini memberi pelajaran wajibnnya menghilangkan dharar


setelah hal itu terjadi.

Contoh:
1. Jika ada barang orang lain yang menganggu jalan umum dan
orang lewat, harus dihilangkan. Demikian pula ketika
bangunan orang mengganggu orang yang lewat, harus
dihilangkan.

33
2. Orang yang merusak barang orang lain, wajib ganti rugi.
Karena dharar yang dia lakukan.
3. Jika dahan tanaman tetangga mengganggu rumah orang
lain, maka pemilik diwajibkan memotongnya.
4. Adanya hak khiyar dalam sebagian akad, tujuannya untuk
menghilangkan dharar.

Kaidah Ketiga,
‫امرضر ال يزال مبثهل‬
Dharar tidak boleh dihilangkan dengan yang semisal
Uangkapan lain:
‫امرضر ال يزال ابمرضر‬
Dharar tidak boleh dihilangkan dengan dharar

Kaidah ini memberi batas bagi kaidah-kaidah sebelumnya.


Karena sekallipun dharar wajib dihilangkan, tidak boleh dengan
cara yang menimbulkan dharar berikutnya.

Contoh:
1. Orang yang kelaparan, tidak boleh mengambil makanan
orang lain yang juga kelaparan
2. Orang yang dipaksa untuk membunuh, tidak boleh
mewujudkan paksaannya
3. Jika ada cacat pada barang sebelum dipegang pembeli,
kemudian setelah di tangan pembeli ada cacat baru lagi,
maka barang tidak boleh dikembalikan dengan alasan cacat
lama, karena ini memberikan dharar kepada penjual. Kecuali
jika penjual ridha. Jika tidak, yang dilakukan adalah menjual
membayar arsy.

34
Kaidah Keempat,
‫خيخار بأخف امرضرين‬
Dipilih solusi yang dhararnya paling ringan
Dalam teks yang lain,
‫امرضر ا ألشد يزال ابمرضر ا ألخف‬
Dharar yang lebih berat dihilangkan dengan dharar yang lebih
ringan
Atau
‫اذا ثؾارض مفسداتن روؼ بأخفيام رضر ًا‬
Apabila ada 2 mafsadah, maka diperhatikan mana yang lebih
ringan dhararnya

Contoh:
1. Jika ada orang punya luka, ketika sujud menyebabkan
kotorannya keluar, maka dia boleh berisyarat dan shalat
sambil duduk. Karena tidak sujud sempurna, lebih ringan
dhararnya dari pada keluar najis ketika shalat.
2. Jika orang shalat sambil berdiri menyebabkan banyak
auratnya terlihat, maka dia shalat sambil duduk. Karena
tidak berdiri, dhararnya lebih ringan.
3. Jika ada ayam yang menelan mutiara milik orang lain, maka
pemilik mutiara boleh membeli ayam itu untuk disembelih.
4. Jika kapal kelebihan beban, boleh membuang barang yang
ada di dalamnya. Dengan ganti rugi.
5. Boleh membelah perut ibu yang meninggal, untuk
menyelamatkan janin yang hidup di dalamnya, jika masih
ada harapan untuk hidup.
6. Jika kaum muslimin tdk bisa menghadapi kekuatan musuh,
boleh berdamai dengan membayar upeti ke mereka. Karena
dharar harta lebih ringan.

35
Kaidah Kelima,
‫يخحمل امرضر اخلاص لفػ رضر ؽام‬
Membiarkan dharar yang dampaknya terbatas, untuk
menghilangkan dharar yang dampaknya lebih luas

Syariat melindungi dharuriyat al-khams (5 kebutuhan dasar).


Sehingga semua tindakan yang menyebabkan tidak terwujudnya
salah satu dari 5 hal pokok ini, statusnya madharat yang harus
dihilangkan. Untuk mewujudkan maqashid syariah ini, dharar ‘am
harus dihilangkan sekalipun melanggar dharar khas.
Karena itulah, syariat menetapkan
1. had potong tangan, dalam rangka melindungi harta
2. had zina dan qadzaf, dalam rangka melindungi
kehormatan
3. hukuman peminum khamr, untuk melindungi akal
4. qishas untuk melindungi nyawa, dan
5. membunuh orang murtad untuk melindungi agama.
Untuk itu pula, syariat mengarahkan hukuman bunuh untuk
penyihir, karena dia menjadi sumber fitnah. Dan membunuh
orang kafir yang suka menyesatkan, karena dia mengajak
manusia melakukan kesyirikan. Maka dharar khas dibiarkan
untuk menolak dharar ’am.

Contoh penerapan:
1. Bolehnya menembak orang kafir yang berlindung di
tengah tawanan kaum muslimin, atau anak-anak, atau
wanita.
2. Boikot untuk dokter yang suka mal-praktek, dalam
rangka menjaga nyawa pasien

36
3. Boleh menetapkan harga untuk barang yang ditimbun
dan memaksa menjualnya, dalam rangka meghilangkan
dharar di masyarakat

Kaidah Keenam,
‫درء املفاسد بأوىل من جوة املطاحل‬
Menolak mafsadah lebih diutamakan dari pada mendapatkan
maslahat

Dalil kaidah ini adalah firman Allah,


‫هللا ؽَدْ و ًا ِتغ ْ َِري ِؽ ْ ٍمل‬ َ ‫وال ج َ ُس ُحوا م ِاذل َين يَدْ ؼ‬
ِ ‫ُون من ُدو ِن‬
َ ‫هللا فَيَ ُس رحوا‬
Janganlah kalian menghina berhala yang mereka sembah, karena
mereka akan membalasnya dengan menghina Allah tanpa ilmu..
(al-An’am: 108)

Menghina berhala orang kafir, ada maslahatnya, yaitu


merendahkan agama mereka. Namun ini dilarang karena bisa
berdampak mafsadah, dalam bentuk mereka balas dendam
dengan menghina Allah.

Kaidah ini bagian dari prinsip lebih mengedepankan sisi yang


mengharamkan dibandingkan sisi yang menghalalkan.
Sebagaimana dinyatakan,
‫اذا اجمتػ احلالل واحلرام بأو املحيح واحملرم غوّة احلرام‬
Jika halal dan haram berkumpul, maka lebih didominankan sisi
yang haram.

Karena memenangkan sisi haram, dalam rangka dar-ul mafasid


(menghilangkan mafsadah).

37
Kaidah Kelima,
‫امؾادت م‬
‫حمَّكة‬
Adat diperlakukan sebagai penentu

Banyak hal dalam syariat, Allah mengembalikan standar sesuatu


kepada adat dan urf yang berlaku di masyarakat.
Cara menuntut hak diyat, Allah ajarkan agar dilakukan sesuai
urf
‫وف وبأدَا ٌء امَ ْي ِو ِاب ْح َس ٍان‬
ِ ‫فَاثْحِاعٌ ِابمل َ ْؾ ُر‬
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
ِ ِ
pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). (QS. al-Baqarah: 178).

Dalam masalah wasiat, juga Allah kembalikan kepada standar


urf:
ِ ‫رض بَ َحدَ ُمكُ امْ َم ْو ُث ا ْن حَ َركَ خ ْ ًَريا امْ َو ِض مي ُة نِوْ َو ِ َال ْي ِن َو ْ َال ْك َرت َِني ِابمْ َم ْؾ ُر‬
‫وف‬ َ َ ‫ُنخِ َة ؽَوَ ْي ُ ْنك ا َذا َح‬
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
ِ ِ
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. (QS. al-Baqarah: 180).
Allah juga perintahkan agar suami mempergauli istri dengan
cara yang sesuai estándar masyarakat,
ِ ‫ارشوى مُن ِابمْ َم ْؾ ُر‬
‫وف‬ ُ ِ َ‫َوؽ‬
Pergauli istrimu dengan cara yang makruf (QS. An-Nisa: 19).

Demikian pula yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa


sallam. Dalam masalah nafkah, beliau memberi hak istri utk
mengambil sesuai urf,
‫خذي ما يكفيم وولك ابملؾروف‬

38
‚Ambillah nafkah itu yang cukup untukmu dan anakmu dengan
cara makruf.‛ (HR. Bukhari, Nasai, Abu Daud dan yang
lainnya).

Pengertian ‘Adah dan Urf


Adat secara bahasa berasal dari kata: ‘ada – ya’udu yang artinya
mengulang. ‘Adah merupakan isim untuk menunjukkan
perbuatan yang berulang.
Sedangkan Urf dari kata makruf. Kata makruf adalah kata yang
digunakan untuk menyebut sesuatu yang dikenal baik secara
logika dan syariat. Kebalikannya adalah munkar.
Al-Jurjani mengatakan,
‫امؾرف ما اس خلر ِف امنفوس ثشيادت امؾلول وثولذو امطحائػ ابملدول‬
Urf adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa, karena sesuai
akal, dan diterima oleh tabiat baik manusia. (at-Ta’rifat)

Makna Kaidah
Bahwa adat dna urf dalam pandangan syariat bisa menjadi
penentu untuk hukum-hukum terkait muamalah sesama
manusia. Selama di sana tidak ada dalil tegas yang bertentangan
dengan adat tersebut.

Adat & Adat Vs Dalil Syariat


Pertama, jika ada adat yang sesuai dengan dalil syariat, wajib
untuk diperhatikan dan diterapkan. Karena mempraktekkan hal
ini hakekatnya mempraktekkan dalil dan bukan semata adat.
Contoh: memuliakan tamu.
Kedua, jika adat bertentangan dengan dalil syariat, ada beberapa
rincian keadaan sebagai berikut,
Keadaan pertama, adat bertentangan dengan dalil dari segala
sisi. Menggunakan adat otomatis akan meninggalkan dalil.
39
Dalam kondisi ini adat sama sekali tidak berlaku. Misalnya:
tradisi koperasi simpan pinjam berbunga.
Keadaan kedua, adat bertentangan dengan dalil dalam sebagian
aspek. Dalam kondisi ini, bagian yang bertentanga dengan dalil,
wajib tidak diberlakukan. Misalnya: Dropshipping dengan cara
terutang.
Kedaan ketiga, dalil yang bertentangan dengan Urf, dibatasi
dengan latar belakang adat yang terjadi ketika itu. Misalnya,
larangan membiarkan api penerangan menyala di malam hari.
Atau larangan minum air dari mulut botol.

Syarat Adat dan Urf bisa Diberlakukan


Ada 3 syarat, dimana adat dan urf boleh diberlakukan,
Pertama, menyeluruh (ittirad)
Artinya kebiasaan itu terus-menerus dilakukan dalam setiap
waktu dan keadaan, bukan sesekali.
Kedua, dominan (ghalabah)
Adat dan kebiasaan ini terjadi pada umumnya masyarakat dan
umumnya kejadian.
Ketiga, tersebar (Syuyu’)
Artinya, tersebar secara meluas ke semua masyarakat, sehingga
hampir tidak ada satupun yang tidak mengenalnya.

Catatan:
Kaidah ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menentukan:
1. Hukum baru
2. Anjuran melakukan ibadah baru
Karena dua hal di atas, semuanya harus berdasarkan dalil.
Kaidah ini berlaku ketika ada rincian hukum yang standarnya
dikembalikan kepada adat dan urf masyarakat.

40
Contoh Penerapan kaidah
1. Fatwa larangan bagi wanita mengendarai mobil sendiri.
2. Fatwa bolehnya menggaji muadzin atau imam masjid atau
tokoh agama yang menghabiskan waktunya untuk
berkhidmat bagi umat.
3. Provokator dikenakan hukuman denda karena kerusakan
yang ditimbulkan dari provokasinya. Meskipun yang
merusak orang lain. Ini bertentangan dengan kaidah:
4. [‫’ ]امضامن ؽىل املحارش دون املدسخة‬Ganti rugi dibebankan kepada
yang bertindak langsung, bukan kepada penyebab’
5. Berlakunya ucapan talak 3 kali berturut-turut sebagai talak 3
Itu semua bisa jadi mengalami perubahan hukum, mengikuti urf
yang ada di masyarakat.

Turunan Kaidah
Kaidah Pertama,
‫اس خؾامل امناس جحة جية امؾمل هبا‬
Standar masyarakat bisa menjadi hujjah yang wajib
dipraktekkan

Urf dan estándar yang berlaku di masyarakat, selama tidak


bertentangan dengan dalil bisa dijadikan hujjah.
Jika stándar ini berlaku umum, maka dia menjadi hujjah untuk
umum.
Jika standar ini hanya berlaku di wilayah tertentu, mayoritas
ulama hanafiyah dan syafiiyah berpendapat ini tidak termasuk
hujjah yang bisa mengkhususkan nash yang umum.

41
Misal:
1. Jika si A titip kepada si B untuk membelikan barang x di
pasar, setelah mendapat barang, si B minta upah Rp 30.000.
Apakah si A wajib memberinya? Kembali kepada standar
yang berlaku di masyarakat. adakah upah itu, dan berapa
nilai normalnya?
2. Si A meminta si B menjadi karyawan. Tidak ada perjanjian di
muka mengenai gaji. Berapa gaji yang harus diterima si B?
Kembali kepada standar masyarakat.
3. Si A meminta si B memperbaiki rumah yang butuh waktu
sepekan. Berapa jam sehari si B harus bekerja?, kembali ke
standar masyarakat.

Kaidah Kedua,
‫امؾربت نوغامة امشائػ ال نونادر‬
Yang menjadi acuan adalah yang dominan dan tersebar, bukan
yang jarang terjadi
Semakna dengan,
‫ال ؽربت ابمؾرف امطارئ‬
Tidak bisa dijadikan acuan, urf yang baru datang.

Kaidah ini menjadi batas syarat berlakunya urf untuk bisa


dijadikan acuan. Urf itu berlaku jika dia menyeluruh, dominan,
dan masyhur. Demikian pula, urf harus mendahului hukum.

Contoh
Kata ‘Sabilillah’ dalam ayat zakat berlaku untuk hal yang terkait
kemaslahatan jihad dan kegiatan sosial keagamaan. Di masa
sekarang kata ‘sabilillah’ digunakan untuk masjid.

42
Untuk kasus ini, kata ‘Sabilillah’ tetap berlaku sebagaimana
makna yang berlaku di masa silam, karena tidak bisa dijadikan
acuan untuk urf yang thari’.
Kaidah Ketiga,
‫احلليلة ثَتك تدالةل امؾادت‬
Hakikat lughawiyah ditinggalkan untuk makna adat

Kaidah ini berlaku ketika bahasa bertentangan dengan urf, maka


yang diberlakukan adalah urf dan bukan makna bahasa.
Contoh:
Jika ada orang bersumpah, ‘Saya tidak akan naik honda’ makna
kata honda kembali kepada urf.

Kaidah Keempat,
‫امكذاة اكخلطاة‬
Tulisan sebagaimana ucapan.
Kalimat yang tertulis, statusnya sebagaimana ucapan. Meskipun
penulis sama sekali tidak pernah mengucapkannya.
Contoh:
1. Kantin kejujuran, tertulis ’Semua Rp. 1000’ maka semua
yang beli bisa bayar meskipun tdk ada akad
2. Undangan nikah melalui surat undangan.

Kaidah Kelima
‫املؾروف ؼرفا اكملرشوط رشطا‬
Ketentuan yang menjadi Urf, statusnya sebagaimana syarat

43
Apa yang berlaku dan menjadi standar masyarakat, statusnya
menjadi batas setiap muamalah yang dilakukan manusia,
sekalipun dia tidak menyebutkannya.
- Seorang tukang berhak mendapatkan upah satu pekan
600rb. Sekalipun dia tidak kerja sehari, karena libur.
- Hadiah ketika pelunasan utang termasuk riba jika itu
termasuk kebiasaan di masyarakat. Karena kebiasaan
statusnya sperti syarat.

44
Kaidah Keenam
‫اؼامل امالكم بأوىل من اىامهل‬
Menggunakan kalam lebih didahulukan dari pada membuang
kalam
Kaidah ini jarang disinggung para penulis yang membahas
qawaid fiqhiyah kubro. Padahal kaidah ini cakupannya sangat
luas. Sehingga sebagian ulama yang memasukkannya ke dalam
kaidah fiqh kubro.

Diantaranya, kaidah ini banyak digunakan dalam memahami


teks dalil, pembahasan tafsir, memahami hadis, dan kajian Ushul
Fiqh. Salah satu kaidah yang berlaku dalam ushul fiqh, Yang
merupakan bagian dari penerapan kaidah di atas,
‫ادلػ ملدم ؽىل امَتجيح‬
Kompromi lebih didahulukan dari pada tarjih..

Disamping itu, kaidah ini juga digunakan untuk memahami


ucapan manusia dalam muamalah mereka.

Makna Kaidah
Orang yang berakal, dalam kondisi penting, dia akan
memikirkan setiap apa yang dia ucapkan. Sehingga setiap
pembicaraannya ada konsekuensinya. Sehingga ucapan orang
yang berakal, dalam situasi tertentu, teranggap, terlindungi dan
tidak boleh disia-siakan.

Kecuali jika sama sekali tidak mungkin bisa dipahami. Dalam


kondisi ini, ucapannya boleh dibuang.

Contoh Penerapan Kaidah:

45
1. Orang yang bersumpah, ‘Demi Allah, saya sama sekali tidak
akan menyentuh barangmu!’ kemudian dia memakai
sepedanya, maka statusnya melanggar sumpah.
2. Orang mengatakan, ‘Semua yang ada di ruangan ini silahkan
dipake di tempat’ berarti dia mengizinkan untuk
memanfaatkan semua barang di ruangan itu tanpa
terkecuali.

Jika ada ucapan yang sama sekali tidak mungkin bisa dipahami,
baik secara hakiki maupun majaz, maka ucapan ini tidak
dihiraukan.
Misalnya: Seorang suami mengatakan tentang istrinya: ‚Ini
putriku.‛
Ini tidak perlu dihiraukan, karena tidak bisa dipahami dengan
pendekatan apapun. Sehingga tidak mengubah status nasab.
Dan kalimat ini juga tidak bisa dipahami talak, karena tidak ada
kalimat majaz dengan menyebut istri sebagai anak.

Tuunan Kaidah
Kaidah pertama,
‫ا ألضل ِف امالكم احلليلة‬
Hukum asal ucapan adalah sesuai makna hakiki
Makna hakiki artinya makna yang dipahami sesuai
penggunaannya dalam bahasa dan bukan majaz.

Contoh penerapan,
Jika si A mengatakan kepada si B, ‘Aku hibahkan tanah ini
untukmu.’
Jika si A minta uang tanah kepada si B, dengan alasan, kalimat
hibah itu majaz, dengan maksud jual, maka tidak diterima.

46
Karena makna hakiki dari hibah adalah pemberian tanpa
bayaran. Sementara si A dengan tegas menyatakan hibah.

Kadiah kedua,
‫اذا ثؾذر اؼامل امالكم هيمل‬
Ketika ucapan tidak memungkinkan untuk dipahami, maka dia
dianggap tidak ada.
Ketika ucapan tidak bisa dipahami, baik secara makna hakiki
atau majaz, maka dianggap tidak ada.

Misalnya ada orang yang belllum menikah. Ketika hendak


meninggal, dia mengatakan: Kuberikan rumah ini untuk anak
kandungku. Karena jelas tidak punya anak kandung, rumah ini
jatuh waris ke saudaranya. Sementara ucapan orang itu
dianggap tidak ada.

Kadiah ketiga,
‫ذهر تؾظ ما ال يخجزبأ نذهر لكو‬
Menyebutkan sebagian benda yang tidak bisa dibagi, seperti
menyebutkan keseluruhan.

Misalnya orang mengatakan, ‚Aku infakkan setengah motorku.‛


Motor tidak mungkin bisa dibagi. Sehingga yang berlaku,
diinfakkan semua motornya.

Allahu a’lam

Semoga bermanfaat

47

Anda mungkin juga menyukai