Anda di halaman 1dari 214

USHUL FIQH DAN QAWAIDUL FIQHIYAH

Dosen Pengampu :
Drs. H. Azhari, M. A.

Disusun Oleh :

Semester/Kelas : III/A

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (ESy)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dan Qawaidul Fiqhiyah.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat
membangun sehingga ke depannya kami bisa membuat makalah yang lebih baik
dan benar. Dan tentunya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tembilahan, 02 Oktober 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I...................................................................................................... 1

BAB II..................................................................................................... 10

BAB III .................................................................................................. 20

BAB IV .................................................................................................. 31

BAB V .................................................................................................... 52

BAB VI .................................................................................................. 77

BAB VII ................................................................................................. 99

BAB IX .................................................................................................. 123

BAB X .................................................................................................... 133

BAB XI .................................................................................................. 152

BAB XII ................................................................................................. 164

BAB XIII ............................................................................................... 180

BAB XIV ............................................................................................... 187

ii
BAB I
RUANG LINGKUP
DEFINISI USHUL FIQH DAN QAWAIDUL FIQHIYAH
Disusun Oleh:
ANDI AMIN (1209.20.09068)
ARFINAS (1209.20.09069)
A. Pengertian Ushul Fiq

Menurut Prof H Satria Effendi Muh Zein, dalam Ensiklopedi Tematis


Dunia Islam, kata al-ushul adalah bentuk jamak dari al-asl, yang berarti
"landasan tempat membangun sesuatu''.  Sedangkan, ulama terkemuka dari
Damaskus, Suriah, Syekh Wahbah az-Zuhaili, mengartikan kata al-asl sebagai
"dalil''. Sedangkan secara bahasa, fiqh atau fikih berarti 'pemahaman.'

"Secara istilah, fikih adalah pengetahuan tentang hukum syarak yang


berhubungan dengan dengan perbuatan mukalaf (orang yang layak dibebani
hukum taklif) yang dalilnya digali satu per satu,'' ujar Prof Satria 

Para ulama besar memiliki pendapat masing-masing tentang definisi Ushul


Fiqh. Syekh Kamaluddin bin Himam dalam kitab Tahrir,
mendefinisikan Ushul Fiqh sebagai pengertian tentang kaidah-kaidah yang
dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fikih.

"Dengan kata lain, Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan


tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan
dengan perbuatan manusia dari dalil-dali syar'i,'' ungkap Prof Muhammad Abu
Zahrah dalam bukunya bertajuk, Ushul Fiqih. Contohnya, kata dia, Ushul Fiqh
menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib dan
larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Sedangkan, Imam al-Baidawi menyatakan, Ushul Fiqh sebagai


pengetahuan tentang dalil fikih secara umum dan menyeluruh, cara meng-
istinbat-kan atau menarik hukum dari dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku
istinbat. Lalu, apa bedanya antara ilmu fikih dan Ushul Fiqh?

1
Menurut Ensiklopedi Islam, perbedaannya terlihat pada objek kedua ilmu
tersebut. Objek Ushul Fiqh adalah dalil-dalil, sedangkan objek fikih adalah
perbuatan seseorang yang telah mukalaf (dewasa dalam menjalankan hukum).

"Jika usuli (ahli Ushul Fiqh) membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang
bersifat umum, fukaha (ahli fikih) mengkaji bagaimana dalil-dalil juz'i
(sebagian) dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang khusus.

Ilmu Ushul Fiqh hadir dengan tujuan untuk mengetahui dalil-dalil syarak,
baik yang menyangkut bidang akidah, ibadah, muamalah, akhlak, atau uqubah
(hukum yang berkaitan dengan masalah pelanggaran atau kejahatan. Dengan
demikian, menurut Ensiklopedi Islam, hukum-hukum Allah SWT dapat
dipahami dan diamalkan.

Dengan begitu, Ushul Fiqh bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana


untuk mengetahui hukum-hukum Allah SWT terhadap suatu peristiwa yang
memerlukan penanganan hukum. Dengan adanya ilmu Ushul Fiqh, agama akan
terpelihara dari penyalahgunaan dalil.

B. Pengertian Qawaid Fiqhiyah


Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan
terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk
jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata
'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah
mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah
adalah:

‫القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة‬

"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum
juz'i yang banyak."
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:

2
‫ بالرأي واالجتهاد‬b‫العلم باالحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط‬
‫ويحتاج فيه الى النظر والتأمل‬

”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil
dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang
memerlukan analisa dan perenungan".

Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah


maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:

‫االمر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها‬
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak
yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih
yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi
hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang
termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.

C. Ruang lingkup qawaid fiqhiyah


Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah
berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta
berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh
madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah
fiqh yang bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan
fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang
termasuk kategori ini adalah :
1. Al-Umuru bi maqashidiha.

2. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.

3. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.

3
4. Adh-Dhararu Yuzal,
5. Al- ’Adatu Muhakkamah.

b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang


diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan
cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti
kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-
Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih
besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah-
kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg
lebih umum.
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah
yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang
lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :
1. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
2. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi
tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan
madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi,
dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.
d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah
yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu
diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain,
dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.
Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah
hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti?
Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada
umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah.

D. Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Ushul Fiqih

4
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah
dengan qawaid ushuliyyah adalah sebagai berikut :
a. ilmu ushul fiqih merupakan parameter (tolak ukur) cara berinstinbat
fikih yang benar. Kedudukan ilmu ushul fiqih (dalam fiqih) ibarat
kedudukan ilmu nahwu dal hal pembicaraan dan penilisan, qawaid
fiqhiyyah merupakan wasilah, jembatan penghubung, antara dalil dan
hukum.
Tugas qawaid fiqhiyyah adalah mengeluarkan hukum dari fdalil-
dalil yang tafshili (terperinci). Ruang lingkup qawaid ushuliyyah
adalah dalil dan hukum seperti amr itu menunjukan wajib, nahyi
menunjukan haram, dan wajib mukhayar bila telah dikjerjakan
sebagaian orang, maka yang lainya bebas dari tanggung jawab. Qawaid
fiqhiyyah adalah qaidah kulliyah atau aktsariyah (mayoritas) yang
juz’i-juz’inya (farsial-farsialnya) beberapa masalah fiqih dan ruang
lingkupnya selslu perbuatan orang mukalaf.
b. qawaid ushuliyyah merupakan qawaid kulliyah yang dapat
diaplikasikan pada seluruh jux’i dan ruanglingkupnya. Ini berbeda
dengan qawaid fiqhiyyah yang merupakan kaidah berbeda dengan
qawaid fiqhiyyah yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas0
yang dapat diaplikasikan pada sebagaian jux’i-nya, karena ada
pengecualiannya.
c. Qawaid ushuliyyah merupakan dzari’ah (jalan) untuk mengeluarkan
hukum syara’ amali. Qawaid fiqhiyyah merupakan kumpulan dari
hukum-hukum serupa yang mempunyai ‘illat yang sama, dimana
tujuannya untuk menekatkan berbagai persoalan dan mempermudah
mengetahuinya.
d. Eksistensi qawaid fiqhiyyah baik dalam teori maupun realitas lahir
setelah furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan
mengalokasikan makna-maknanya. Adapun ushul fiqih dalam teori
ditunut eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena akan
menjadi dasar seorang fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya

5
seperti al-Qur’an terhadap sunah dan nash al-Qur’an lebih kuat dari
zahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’. Posisinyaseperti anak
terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman terhadap benih.
e. Qawaid fiqhiyyah sama dengan ushul fiqih dari satu sisi dan berbeda
dari sisi yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduannya sama-sama
mempunyai kaidah yang mencakuip berbagai juz’i, sedangkan
perbedaannya yaitu kaidah ushul adalah masalah-masalah yang
dicakup oleh bermacam-macam dalil tafshily yang dapat mengeluarkan
hukum syara’. Kalau kaidah fiqih adalah masalah-masalah yang
mengandung hukumhukum fiqih saja. Mujtahid dapat sampai
kepadanya dengan berpegang kepada masalah-masalah yang dijelaskan
ushul fiqih.
Kemudian bila seorang fakih mengapllikasikan hukum-hukum
tersebut terhadap hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah kaidah,
namun, bila ia menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan qaidah-
qaidah kuliyyah (peristiwa-peristiwa universal)yang dibawahanya
terdapat berbagai hukum juz’i maka itu disebut kaidah. Qawaid
kuliyyah dan hukum-hukum juz’i benar-benar masuk dalam madlul
(kajian) fikih, keduanya menunggu kajian mujtahid terhadap ushul
fiqih yang membangunnya.

E. Hubungan qawaid fiqhiyah dengan fiqih, ushul fiqih dan qawaid


ushuliyyah
Qawaid Fiqhiyah, fiqh, ushul fiqh dan qawaid fiqhiyah tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait
dengan perkembangan fiqih, karena pada dasarnya yang menjadi pokok
pembicaraan adalah fiqih.
Qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang
berbicara tentang fiqih. Dengan demikian kajian qawaid fiqhiyah, ushul fiqih
dan qawaid usuliyah tersebut adalah fiqih.

6
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih
adalah :

‫معرفة دال ئل الفقه اجماال وكيفية الستفادة منها وحال المستفيد‬


“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode
penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
1. Dalil (sumber hukum)
2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian
hukum dari sumbernya.
3. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali
(mengistinbath) hukum dan sumbernya.

Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil
atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau
sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh
oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum
itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk
operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari
dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan
dengan pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat
Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi

‫ واقيموا الصالة وءاتواالزكوة‬.......

“dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”


Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih,
perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah
ketentuan tersebut ( ‫)االصل فى االمر للوجوب‬.
Disamping itu qawaid fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan
dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam

7
menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya
kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya.
Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan,
misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya.
Dalam kasus seperti ini, mualaf tersebut boleh menunda sholat dari
waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat
pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”‫زال‬bb‫رار ي‬bb‫“الض‬
bahaya wajid dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara qawaid
ushuliyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyah menkaji dalil hukum (nash
al-Qur’an dan sunah) dan hukum syarak, sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji
perbuatan mukalaf dan hukum syarak.
Demikianlah hubungan antara fiqih, qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan
qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) adalah hukum yang diistinbath dari nash
al-Qur’an dan sunnah melalui pendekatan ushul fiqih yang diantaranya
menggunakan qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) yang telah diistinbath
tersebut diikat oleh qawaid fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami
dan identfikasi.

F.Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah


Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat
dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:
1. Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-
prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai
fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan
adat yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan
oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya

8
mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak
langsung.
5. Mempermudah dalam menguasai materi hukum
6. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah memahami bagian-bagian hukum dengan
mengeluarkannya dari tempatnya.

9
BAB II
PERBEDAAN USHUL FIQH DAN FIQH, OBJEK,
PEMBAHASAN USHUL FIQH, SERTA PERBANDINGAN
ANTARA QAWAID FIQHIYYAH, USHUL FIQH, DZAWABID
FIQHIYYAH
Disusun Oleh :
INDAH (1209.20.09075)

A. Ushul Fiqih
1. Definisi Ushul Fiqh
Kata Ushul Fiqh merupakan gabungan dari dua kata, yakni Ushul
berarti pokok, dasar, pondasi. Yang kedua adalah Fiqh yang berarti paham
yang mendalam. Kata Ushul yang merupakan jama’ dari kata Ashal secara
etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Arti
etimologi ini tidak jauh definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul
fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh.
Sedangkan fiqh di istilahkan sebagai ilmu yang berbicara tentang
hukum-hukum praktis (amaliy) yang penetapannya diupayakan melalui
pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci(tafshili)
dalamnash(al-Qur an dan Sunnah). Yang dimaksud dalil tafshili adalah dalil-
dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash dimana satu persatunya
menunjuk pada satu hukum tertentu.

2. Obyek Kajian Ushul Fiqh


Obyek pembahasan ilmu Ushul Fiqh adalah dalil-dalil syara’ dari segi
penunjukannya kepada suatu hukum secara Ijmali atau global dari nash. Hal
ini dapat dipahami dari gambaran al-Qur an kepada hukum tidak hanya
menggunakan satu bentuk kalimat tertentu, tetapi tampil dalam berbagai

10
bentuk, seperti shighat amr, shighat nahi, kalimat yang bersifat umum,
mutlak dan sebagainya (Alaiddin Koto: 2004: 7). Objek ushul Fiqh
merupakan metodologi penetapan hukum-hukum yang berdasarkan pada
dalil-dalil ijmali tersebut yang bermuara pada dalil syara’ ditinjau dari segi
hakikatnya, kriterianya dan macam-macamnya.
Satria Effendi memerinci obyek kajian Ushul Fiqh menjadi empat
bagian yaitu :
a. Pembahasan mengenai hokum syara’ dan yang berhubungan
dengannya, seperti hakim, mahkum fiqh, dan mahkum ‘alaih.
b. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hokum
c. Pembahasan tentang cara menggali dan menarik hukum dari
sumber-sumber dan dalil-dalil itu.
d. Pembahasan tentang ijtihad.

3. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqh


Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan dari ilmu ushul Fiqh adalah
menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci
untuk menghasilkan hukuk syara’ yang ditunjuki dalil itu. Jadi, berdasarkan
kaidah-kaidahnya dan bahasan-bahasannya maka nash-nash syara’ dapat
dipahami dan hukum yang menjadi dalalahnya dapat diketahui, serta sesuatu
yang dapat menghilangkan kesamaran lafadz yang samar dapat diketahui.
Selain itu juga diketahui juga dalil-dalil yang dimenangkan ketika
terjadi pertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lainnya.1 Termasuk
menetapkan metode yang paling tepat untuk menggali hukum dari
sumbernya terhadap sesuatu kejadian konkret yang belum terdapat nashnya
dan mengetahui dengan sempurnya dasr-dasar dan metode para mujtahid
mengambil hukum sehingga terhindar dari taqlid. Ilmu inipun juga
membicarakan metode penerapan hukum bagi peristiwa-peristiwa atau

1
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah Fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, t.th), hal. 6

11
tindakan yang secara pasti tidak ditemui nashnya, yaitu denganjalan Qiyas
istishab, dan lain sebagainya.
Menurut Khudhari Beik (1994:15) dalam kitab ushul fiqihnya merinci
tujuan ushul  fiqih sebagai berikut :
a. Mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat.
b. Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum syara’
melalui bermetode yang dikembangkan oleh para mujtahid,
sehinggga dapat memecahkan berbagai persoalan baru yang
muncul.
c. Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber dan
dalil hukum. Ushul fiqih menjadi tolak ukur validitas kebenaran
sebuah ijtihad.
d. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat dari
dalil yang mereka gunakan.
e. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan
dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat
hukum Islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil
atau pendapat tersebut dengan mengemukakan pendapatnya.2
Jadi, disini ilmu ushul fiqh memberi pengetahuan kepada umat
Islam tentang system hukum dan metode pengambilan hukum itu
sendiri. Dengan demikian diharapkan umat islam akan terhindar
dari taqlid atau ikut pada pendapat seseorang tanpa mengetahui dalil
dan alasan-alasannya.

4. Ruang Lingkup Kajian Ushul Fiqh

2
Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Pati: TB.
Himmah, t.th) Juz 1, hal. 8

12
Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai definisi yang
dipaparkan oleh para ulama ahli ilmu Ushul Fiqh dapat diketahui ruang
lingkup kajian (maudhu’)dari Ushul fiqh secara global diantaranya3:
a. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
b. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
c. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
d. Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat (mujtahid)
dengan berbagai permasalahannya.
Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa (tanpa tahun, 1 : 8)
ruang lingkup kajian Ushul  fiqh ada 4, yaitu4 :
a. Hukum-hukum syara’, karena hukum syara’ adalah tsamarah
(buah /hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.
b. Dalil-dalil hukum syara’, seperti al-kitab, sunnah dan ijma’,
karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
c. Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al-adillah), karena
ini adalah thariq al-istitsmar (jalan / proses pembuahan).
Penunjukkan dalil-dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq
(tersurat), dalalah bil mafhum (tersirat), dalalah bil dharurat
(kemadharatan), dan dalalah bil ma’na al-ma’qul (makna
rasional).
d. Mustatsmir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang
menetapkan hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan
mujtahid adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid,
sehingga harus menyebutkan syarat-syarat muqallid dan
mujtahid serta sifat-sifat keduanya.

5. Perbedaan Fiqh dan Ushul Fiqh


Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa fiqh adalah ilmu yang
berbicara tentang hukum-hukum praktis yang penetapannya diupayakan
3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarata: Al-Majlis al-a’la ai-Indonesia li al-
Dakwah al-Islamiyah, 1972) hal. 11
4
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Mesir: Darul Fikri al-Arabyu, 1958), dikutip oleh Alaidin
Koto, op.cit.hal. 4

13
melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci
(tafshili) dalam nash. Sedangkan Ushul Fiqh seperti yang didefinisikan oleh
Abdul Wahhab Khallaf adalah ilmu tentang kaidah dan pembahasan-
pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’
mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci, maka dapat di lihat
perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul Fiqh. Kalau ilmu fiqh
berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, maka ilmu ushul fiqh
berbicara tentang metode dan proses bagaimanamenemukan hukum itu
sendiri.
Dilihat dari sudut aplikasinya, fiqh akan menjawab pertanyaan “apa
hukum dari suatau perbuatan”, dan ushul Fiqh akan menjawab pertanyaan
“bagaimana cara atau proses penemuan hukum yang digunakan sebagai
jawaban permasalahan yang dipertanyakan tersebut”. Oleh karena itu, fiqh
lebih bercorak produk sedangkan ushul fiqh lebih bermakna metodologis.
Dan oleh sebab itu, fiqh terlihat sebagai koleksi produk hukum, sedangkan
ushul fiqh merupakan koleksi metodis yang sangat diperlukan untuk
memproduk hukum5.

B. Qawaid Fiqhiyyah
1. Pengertian Qawaid Fiqiyah
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan
terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk
jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata
'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah
mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah
adalah :
‫القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة‬
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan
hukum juz'i  yang banyak”6
5
Suyatno, op.cit. hal. 23
6
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandariyah Muassasah
Tsaqofah Al-Jamiiyah .1983. Hal 4

14
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-
Hanafi :
‫اد‬bb‫الرأي واالجته‬bb‫ ب‬b‫تنبط‬bb‫و علم مس‬bb‫لية وه‬bb‫العلم باالحكام الشريعة العملية من ادلتها التفص‬
‫ويحتاج فيه الى النظر والتأمل‬
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil
dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang
memerlukan analisa dan perenungan”7
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah
maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki :
‫االمر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها‬
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak
yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu”8

Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar


fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang
berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum
yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.9
Maka Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologi
adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah
atau jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi
adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih dan
kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru
yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.

2. Contoh Qawaid Fiqiyah


Kaidah-kaidah fiqhiyah mempunyai implementasi dan contoh
penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan

7
Hasbi As-Siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta:  Bulan Bintang 1975. Hal 25
8
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan Bintang. 1976. Hal 11
9
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, Hal. 13

15
ibadah ataupun mu’amalah (intraksi antara sesama manusia). Diantara
contohnya. Apabila seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan,
“Tanah ini saya wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi
dari perkataan ini adalah yang berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut
hanyalah orang-orang yang tergolong fakir, tidak selainnya. Karena dalam
perkataan tersebut ada pengikatnya secara khusus, sehingga harus
diterapkan sesuai dengan ikatannya tersebut. Ini adalah contoh pengikat
dan menyebutkan sifat. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan
tanah saya ini untuk Ahmad dan Zaid, dengan perincian, Ahmad dua
pertiga dan Zaid sepertiga”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus
diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Apabila
seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk anak-anak
Ahmad kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah
harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut.
Contoh tersebut merupakan penerapan dari salah satu Qawa’id Fiqhiyah
yang berbunyi: “Memahami Keumuman Dan Kekhususan Sebuah
Kalimat”

3. Pengertian Qawaid Ushul Fiqh


Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari
Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul
fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah
SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi
Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau
fondasi)’
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih
: ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti

16
hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan
adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak
semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya,
seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti
warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan
masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap
terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan
perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang
dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali).
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah
dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat
menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah
ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum.
Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah
lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali
ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum.
Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk
mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang
dihadapinya.

4. Contoh Qaidah Ushuliyyah


Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini
disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
a. “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang
maka didahulukan dalil yang melarang”
b. “Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”

17
c. “Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila
bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d. “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. ”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”

5. Kaidah Pokok Qawaid Fiqiyah


ِ َ‫( األُ ُم ْو ُر ِب َمق‬Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
a. ‫اص ِدهَا‬
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan terhadap suatu
perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum
(mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut10
Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk membedakan antara
perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan
tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya
niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak
pernah sholat. Begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji
dll. Kita pasti bertemu dengan yang namanya niat.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
‫اب‬ َ bَ‫ر ۡد ث‬b
َ ‫و‬b َ ‫ َو‬bَ‫س أَن تَ ُموتَ إِاَّل بِإ ِ ۡذ ِن ٱهَّلل ِ ِك ٰتَبٗ ا ُّم َؤ َّجاٗل ۗ َو َمن ي ُِر ۡد ث‬
ِ bُ‫ا َو َمن ي‬bbَ‫ؤتِ ِهۦ ِم ۡنه‬bۡ bُ‫ ُّد ۡنيَا ن‬b‫اب ٱل‬ ٍ ‫َو َما َكانَ لِن َۡف‬
١٤٥ َ‫ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة نُ ۡؤتِِۦه ِم ۡنهَ ۚا َو َسن َۡج ِزي ٱل ٰ َّش ِك ِرين‬
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran:
145)

b. ‫( المشقة تجلب التيسير‬Kesukaran mendatangkan kemudahan)

10
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah:
Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 6

18
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka
syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya
tanpa kesulitan dan kesukaran11.
Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan
tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat,
maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak
mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang
cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan
perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada
tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila
harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”(Q.S Al Baqarah : 185)
َ ُ‫ق ٱإۡل ِ ن ٰ َسن‬
٢٨ ‫ض ِع ٗيفا‬ َ ِ‫ي ُِري ُد ٱهَّلل ُ أَن يُ َخفِّفَ عَن ُكمۡۚ َو ُخل‬
 “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah.”(QS. An-Nisa: 28)

11
Ibid., Hal 10

19
BAB III
TUJUAN MEMPELAJARI QAWAID FIQHIYYAH SERTA
TUJUAN PEMBAHASAN USHUL FIQH
Disusun Oleh :
PAUZAN AZMI (1209.20.09080)

A. PENGERTIAN QAWAID FIQHIYAH

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad
warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-
Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode
atau cara)[1]. Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa
arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan
bahwa kaidah itu adalah :
ٍ ‫ت ُك ِّل َوا ِح َد ٍة ِم ْن َها ُح ْك ُم ج ُْز ِٔ ِٔىيَّا‬
‫ت َك ِثي َْر ٍة‬ َ ‫اَ ْل َق‬
َ ْ‫ضا َيا ْال ُكلِّ َي ُة الَّتِى َي ْند َِر ُج َتح‬
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan
hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
‫ُح ْك ُم ُكلِّىٌّ َي ْن َط ِب ُق َع ٰلى َج ِمي ِْع ج ُْز ِٔ ِٔىيَّا ِت ِه‬
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian
besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang
banyak dipahami, yaitu :

20
ِ ‫لِ َي َت َف َّقهُوا فِي ال ِّد‬
‫ين‬
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-
Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :

ِ ‫َمنْ ي ُِر ِدهللاُ ِب ِه َخيْرً ا ُي َف ِّق ْه ُه فِى ال ِّدي‬


‫ْن‬
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan
kepadanya kepahaman dalam agama. (‫)روه البخارى ومسلم‬
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-
hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil
yang tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
Qawaidul fiqhiyah adalah :

”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua


bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu”.

B. RUANG LINGKUP QAWAID FIQHIYAH

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah


berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta
berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh
madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu[2] :
1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah
fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan
fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang
termasuk kategori ini adalah :

a. Al-Umuru bi maqashidiha.
b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
c. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.

21
d. Adh-Dhararu Yuzal,
e. Al- ’Adatu Muhakkamah.
2. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang
diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya
lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi
adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan
menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi
adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya
yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang
5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.
3. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah
yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang
lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :
a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi
tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan
madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan
dirinci di kalangan madzhab Maliki
4. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah
yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu
diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain,
dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab. Contoh, kaidah : Hal
al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu
pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada
madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata
:hal/ /apakah.

C. TUJUAN MEMPELAJARI QAWAID FIQHIYAH

22
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan
manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah :
1. Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-
prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang
mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan
dan adat yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang
diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan
sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara
yang tidak langsung.
5. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq)
dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari
tempatnya.

D. MANFAAT KAIDAH FIQH

Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :


1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum
fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan
kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi

23
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi
dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang
berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang
diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan
sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara
yang tidak langsung.

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994):

1. Mempermudah dalam menguasai materi hokum


2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq)
dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. Mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema
yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa
hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan
atau menegakkan maslahat yang lebih besar
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

E. TUJUAN ILMU FIQH DAN USHUL FIQH

Tujuan dari ilmu fiqh adalah menerapkan hukum-hukum syariat terhadap


perbuatan dan ucapan manusia. Jadi ilmu fiqh itu adalah tempat kembali
seorang hakim dan keputusannya, tempat kembali seorang mufti dalam
fatwanya, dan tempat kembali seorang mukallaf untuk dapat mengetahui
hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan yang muncul dari
dirinya. Jadi maksud akhir yang hendak dicapai dari ilmu fiqih adalah

24
penerapan hukum syariat kepada amal perbuatan manusia, baik tindakan
maupun perkataannya. Dengan mempelajarinya orang akan tahu mana yang
diperintah dan mana yang dilarang, mana yang sah dan mana yang batal, mana
yang halal dan mana yang haram, dan lain sebagainya.
Adapun tujuan dari Ilmu Ushul Fiqih adalah menerapkan kaidah-
kaidahnya dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk
menghasilkan hukum syara’ yang ditunjuki dalil itu. Jadi berdasarkan kidah-
kaidahnya dan bahasa-bahasanya, maka nash-nash syara’ dapat dipahami dan
hukum yang menjadi dalalahnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat
menghilangkan kesamaran lafazh yang samar dapat diketahui.
Juga dikethui dalil-dalil yang dimenagkan ketika terjadi pertentangan
antara satu dalil dengan dalil lainnya. Juga berdasarkan kaidah-kaidahnya dan
bahasan-bahasannya, dapat pula hukum diistimbathkan dengan qiyas, atau
istihsan, atau istishab, atau lainya dalam kasus yang tidak terdapat nash
mengenai hukumnya. Dapat pula diadakan perbandingan antara mazhab
mereka yang berlainan mengenai hukum suatu kasus. Dengan demikian, ilmu
ushul fiqih juga merupakan landasan dari fiqih perbandingan (muqarin).
Manfaat Ushul Fiqih Ushul fiqih merupakan ilmu yang sangat bermanfaat
yang memungkinkan bagi para ulama mujtahid untuk mengambil kesimpulan
hukum langsung dari dalil-dalil syar’i dengan metode yang tepat Definisinya:
Ditinjau dari sisi kedua kata (yang menyusunnya), yaitu kata ushul dan
kata fiqh.Adapun ushul (‫)أصول‬, merupakan jama’ dari ashl (‫)أصل‬, yaitu apa-apa
yang menjadi pondasi bagi yang lainnya. Oleh karena itu, ashl jidar (‫)أصل الجدار‬
artinya pondasi dinding, dan ashl syajarah (‫ )أصل الشجرة‬artinya akar pohon.
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya
(menjulang) ke langit” (QS Ibrahim : 24).
Sementara fiqh, secara bahasa artinya pemahaman, berdasarkan firman
Allah ta’ala, “dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka memahami
perkataanku” (QS Thoha: 27-28). Fiqh secara istilah artinya pengenalan
terhadap hukum-hukum syar’i, yang sifatnya amaliyah, dengan dalil-dalilnya

25
yang detail. Karena pengenalan terhadap hukum-hukum fiqh terkadang
menyakinkan dan terkadang bersifat dugaan sebagaimana yang terdapat di
banyak masalah-masalah fiqh.
Ditinjau dari sisi nama untuk cabang ilmu tertentu, maka ushul fiqh
tersebut didefinisikan:“ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang global dan
cara menggunakannya serta menentukan keadaan dari penentu hukum
(mujtahid)”.
Faidah Ushul Fiqh:Sesungguhnya ushul fiqh adalah ilmu yang mulia
kedudukannya, sangat penting, dan yang besar faedahnya, faedahnya adalah
mengokohkan kemampuan bagi mujtahid untuk menyimpulkan hukum-hukum
syar’i dari dalil-dalilnya di atas asas yang benar.
Manfaat ushul fiqih bagi seorang Mujtahid adalah menjadi pedoman
dalam menentukan atau menetapkan sesuatu hukum syara’ berdasarkan dalil
yang ia dapatkan. Sedangkan bagi seorang Muttabi’ adalah karena ia
mengetahui dasar hukum dari satu amal yang ia kerjakan atau yang ia ikuti,
maka ia terhindar dari perbuatan taqlid, yakni mengikkuti pendapat orang lain
tanpa mengetahui dasar hukumnya, sebab orang taqlid itu ikut orang lain hanya
karena pokoknya ikut tanpa berusaha dasar apa yang ia ikuti itu.
Faedah mempelajari ilmu Ushul fiqh ialah untuk mengetahui hukum-
hukum Allah secara yakin dan zhann (dugaan keras), sehingga selamat dari
taqlid dan menjadi seorang mujtahid yang sanggup mengeluarkan hukum-
hukum furu’ (cabang) dari ketentuan-ketentuan pokok, atau sekurang-
kurangnya menjadi seorang muttabi’, yakni orang yang mampu
mengembalikan hukum-hukum furu’ (cabang) kepada ketentuan-ketentuan
pokok.
Ilmu Ushul Fiqh adalah suatu sarana untuk berijtihad, membedakan yang
benar dengan yang salah dalam menerapkan hukum dan memilih dalil-dalil
yang rajih/rojih (kuat) dari dalil-dalil yang marjuh (lemah). mengesampingkan
ilmu ini berarti menolak kekayaan hukum-hukum furu’ dan dicela oleh suatu
aqidah yang berbunyi:

26
‫ب ْال َف رْ َع‬ ْ َ ‫َمنْ َج ِه َل ااْل‬
ِ ‫ص َل لَ ْم ي‬
ِ ‫ُص‬
‫َٔا َب ًدا‬
” Barang siapa buta kepada yang pokok, maka ia tak akan mendapatkan
furu’ sama sekali (selamanya)”

Tidak dapat di sangsikan lagi bahwa apabila seseorang telah menguasai


ilmu Ushul Fiqh beserta qaidah-qaidahnya, maka ia akan memperoleh hukum-
hukum furu’ yang banyak sekali. karena dari satu qaidah Ushul Fiqh saja dapat
dikeluarkan beberapa hukum furu’ yang tidak sedikit jumlahnya dari sati
qaidah yang berberkata :

‫اَ ْل َم َش َق ُة َتجْ لِبُ ْال َتيْسِ ي َْر‬


“kemasyakatan (kesusahan) itu menarik kemudahan”

Dapat ditarik beberapa hukum furu’. antara lain dibolehkan tidak


berpuasa pada bulan ramadhan bagi orang yang sedang dalam perjalanan,
diperbolehkan bertayamum bagi orang yang sedang sakit atau tidak
mendapatkan air untuk bersembahyang, Oleh karna itu tepat sekalilah
kiranya untuk diperhatikan rangkaian kata-kata hikmah yang berbunyi:

ْ ْ ‫ب َن َط َق ِ ٔاْل‬
ِ ‫ت ااْل َصْ ُل فِى ْالقُلُو‬
َ ‫ِٕا َذا َث َب‬
ِ ‫ت ا لسُنُ ِبالفُر‬
‫ُوع‬

“apabila pokok sudah terpatri di dalam hati sanubari, terpancarlah dari


lisan beberapa ragam cabang”.

F. MANFAAT MEMPELAJARI FIQH DAN USHUL FIQH BAGI


MUSLIM INDONESIA DI ERA GLOBALISASI
Ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
memahami kandungan Al-quran dan hadits. Orang yang ingin memahami dalil-
dalil syariáh (Al-quran & Sunnah) dan menetapkan hukum suatu kasus, mestilah
mengetahui secara baik qaidah-qaidah ushul fiqh. Imam Asy-Syatibi (w.790 H),
mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri

27
(sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat
diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al quran dan hadits)
sekaligus bagaimana menerapkannya.
Al Quran dan Sunnah merupakan sumber kepercayaan, sumber hukum dan
sumber-sumber nilai islam yang meliputi aqidah, syariah dan akhlak. Teks –teks
Al quran harus di gali kandungannya dengan menggunakan disiplin ilmu khusus
yakni ILMU USHUL FIQH. Tanpa ilmu ushul fiqh kandungan hukum di dalam
Al Quran dan hadits tidak bias di formulasikan, artinya tanpa ilmu ushul fiqh
maka ayat ayat Al Quran dan teks-teks hadits tidak akan bias di gali untuk
melahirkan fiqh ( hukum islam). Ada beberapa manfaat mempelajari fiqh dan
ushul fiqh bagi umat islam di Indonesia di era globalisasi antara lain.

Secara Khusus :

1. Fiqh Ibadah : Membantu umat islam di Indonesia dalam memahami


konteks ibadah yang benar berdasarkan Al Quran dan Al Hadits
sehingga bisa meminimalisir kesalahan dalam mengamalkan (Hukum-
hukumnya, tata caranya, penjelasannya secara detail) fiqh ibadah
meliputi sholat, puasa, zakat, haji, tharahah, jenazah).

2. Fiqh Mu’amalah : Membantu umat islam di Indonesia dalam


memahami bagaimana tatacara bermu’amalah/ berhubungan dengan
sesama yang benar di dalam segala aspek kehidupan ( karena semua itu
akan di pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak) antara lain
dalam hal jual beli, daulah, negara, ekonomi, politik, perkawinan,
perceraian, hukum, pidana, hubungan international, hak waris,
pemerintahan, bermasyarakat, dll.

3. Fiqh Wanita : Membantu para wanita/muslimah dalam membentuk


pribadi yang sholehah sesuai dengan tuntunan islam.

Secara umum :
1. Membantu dalam rangka mencetak generasi rabbani

28
2. Membantu menciptakan sebuah Negara madani yang berlandaskan
islam

3. Membantu mewujudkan insan yang menjalankan syariat islam secara


kaffah( menyeluruh).

4. Sebagai pedoman/ norma /aturan dalam kehidupan sehari-hari

5. Sebagai Rambu – Rambu dan solusi dalam menjawab permasalahan


yang di hadapi oleh bangsa Indonesia.

Diantara manfaat yang akan kita dapatkan dengan mempelajari ilmu


ushul fiqih adalah :

Dengan mengetahui ushul fiqih, kita akan mengetahui dasar-dasar


dalam berdalil, dapat menjelaskan mana saja dalil yang benar dan mana
saja dalil yang palsu. Dalil yang benar adalah apa yang ada di dalam al-
qur’an, hadist rosulullah serta perkataan para sahabat, sedangkan dalil-dalil
yang palsu adalah seperti apa yang didakwahkan oleh kaum syiah, dimana
mereka mengatakan bahwa mimpi dari seorang yang mereka agungkan
adalah dalil. Atau juga kelompok lain yang mengatakan bahwa perkataan
para tabi’in adalah dalil, ini merupakan dalil yang palsu yang dapat
merusak syariat islam yang mulia ini.

Dengan ushul fiqih, kita dapat mengetahui cara berdalil yang benar,
dimana banyak kaum muslimin sekarang yang berdalil namun dengan cara
yang salah. Mereka berdalil namun dalil yang mereka gunakan tidaklah
cocok atau sesuai dengan pembahasan yang dimaksudkan, sehingga
pemaknaan salah dan hukum yang diambil menjadi keliru. Seperti halnya
mereka menghalalkan maulid nabi dengan dalil sunnahnya puasa senin,
yang mana ini sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali. Bagaimana
kita bisa mengetahui bahwa itu adalah salah?? Yakni dengan mempelajari
ushul fiqih.

29
Ketika pada jaman sekarang timbul perkara-perkara yang tidak ada
dalam masa nabi, terkadang kita bingung, apa hukum melaksanakan
demikian dan demikian, namun ketika kita mempelajari ushul fiqih,kita
akan tahu dan dapat berijtihad terhadap suatu hukum yang belum
disebutkan di dalam al-qur’an dan hadits. Seperti halnya penggunaan
komputer, microphone dll.

Dalam ushul fiqih akan dipelajari mengenai kaidah-kaidah dalam


berfatwa, syarat- serta adab-adabnya. Sehingga fatwa yang diberikan
sesuai dengan keadaan dari yang ditanyakan.

Dengan mempelajari ushul fiqih, kita dapat mengetahui sebab-


sebab yang menjadikan adanya perselisihan diantara para ulama dan juga
apa alasan mereka berselisih, sehingga dari hal ini kita akan lebih paham
dan mengerti maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yang akhirnya kita
bisa berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya
saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lainnya.

Ushul fiqih dapat menjauhkan seseorang dari fanatik buta terhadap


para kiayi, ustadz atau guru-gurunya. Begitu pula dengan ushul fiqih
seseorang tidak menjadi taklid dan ikut-ikutan tanpa mengetahui dalil-
dalilnya.

Ushul fiqih dapat menjaga aqidah islam dengan membantah


syubhat-syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang yang menyimpang.
Sehingga ushul fiqih merupakan alat yang bermanfaat untuk membendung
dan menangkal segala bentuk kesesatan.

Ushul fiqih menjaga dari kebekuan agama islam. Karena banyak


hal-hal baru yang belum ada hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul
fiqih, hukum tersebut dapat diketahui.

Dalam ushul fiqih, diatur mengenai cara berdialog dan berdiskusi


yang merujuk kepada dalil yang benar dan diakui, tidak semata-mata
pendapatnya masing-masing. Sehingga dengan hal ini, debat kusir akan

30
terhindari dan jalannya diskusi dihiasi oleh ilmu dan manfaat bukannya
dengan adu mulut.

Dengan ushul fiqih, kita akan mengetahui kemudahan, kelapangan


dan sisi-sisi keindahan dari agama islam.

BAB IV

SEJARAH USHUL FIQH SERTA SEJARAH MUNCULNYA


QAWAIDUL FIQHIYAH DARI INTERNAL DAN EKSTERNAL
Disusun Oleh :
NOFI FITRIANI (1209.20.09076)
WILDA SEPTIANA LESTARI (1209.20.09085)

A. PENGERTIAN USHUL FIQH


Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk
hukum yang dikenal dengan fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah
yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun
dalam kenyataanya, penyusunan fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu

31
ushul fiqh. Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman tentang sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh sehingga diharapkan tidak
akan mengalami kesulitan dalam memahami pertautan antara fiqh dengan ilmu
ushul fiqh.

B. LATAR BELAKANG DAN HISTORIS USHUL FIQH


Kemunculan ilmu ushul fiqh tidak terlepas dari dinamika pemikiran
hukum Islam abad ke-2 H, khususnya berkenaan dengan diskursus metode
istinbath hukum Islam. Sebagian ulama mengkhawatirkan terabaikannya ruh at-
tasyri‘ atau maqashid alsyari‘ah, sementara kelompok ulama yang lain
mengandalkan pemahaman literal dalam memahami nas Al-Qur’an dan Sunah.
Ada kekhawatiran ijtihad akan berkembang dengan tingkat kebebasan berpikir
12
yang tak terkontrol.
Sebagian ulama kemudian termotivasi untuk menformat “kode etik” dalam
ber- istinbath. Adalah Imam al-Syafi’i yang dianggap sebagai pionirnya.
13
Sebagaimana diketahui bahwa setelah Rasulullah saw. wafat, masa peletakan
dan pembentukan dasar-dasar hukum Islam dalam pengertian yang sebenarnya
telah berberakhir, sesuai dengan firman Allah swt. sebagai berikut.

Artinya : Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agama bagimu. Maka, barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q.S. al-Ma’idah [5]: 3)

12
DR.Moh.Bahruddin,M.Ag.Ilmu Ushul Fiqh (Lampung : Aura, 2019) h.11
13
Muhammad al-Khudari Beik, Tarikh Tasyri‘ al-Islami (Indonesia: Maktabah Dar Ihya’ al-
Kutub al-‘Arabiyah, 1981), hlm. 220.

32
Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada masalah penentuan
dan atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan problem-problem yang
dihadapi tetapi tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam nas Al-
Qur’an dan Sunah. Dalam konteks ini, para ulama sebagai ahli waris para Nabi
saw. (waratsat al-anbiya’) oleh Alquran dan Sunnh diberi kewenangan untuk
14
berijtihad guna menentukan dan atau menetapkan hukum Islam.

Karenanya, secara substantif ushul fiqh pada dasarnya telah tumbuh


bersamaan dengan tumbuhnya kegiatan ijtihad, yakni sejak masa sahabat. Hanya
saja pada masa sahabat ushul fiqh masih bersifat praktis-terapan, seperti ketika
sahabat akan mengeluarkan fatwa atau akan mengambil keputusan hukum dalam
proses peradilan. Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan
beberapa sahabat besar lainnya dikenal sebagai fukaha lantaran produk-produk
pemikiran hukumnya selalu menjadi acuan umat Islam saat itu. 15Artinya, pada
masa sahabat, ushul fiqh sejatinya sudah ada, namun belum berwujud sebagai
sebuah disiplin keilmuan. Pada masa tabi’in pun kondisinya relatif sama, ushul
fiqh sudah ada dan terus berkembang, namun belum terformulasi secara
sistematis.

Pada masa sahabat, aktivitas, proses dan pola ijtihad berjalan secara
alamiah. Para sahabat tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk mengambil
pelajaran hukum dari Alquran dan Sunah. Hal ini dikarenakan para sahabat
sangat paham akan motif dan konteks turunnya wahyu atau munculnya sabda
Rasulullah saw. (asbab nuzul al-ayat dan asbab wurud al-ahadits), sahabat
mengetahui ayat-ayat nasikh-mansukh, dan lain sebagainya. Di samping itu, para
sahabat juga menguasai bahasa Arab berikut kaidah-kaidahnya serta mengetahui
penggunaan kosa kata (lafal) yang digunakan dalam Alquran dan Sunah16.

Hal lain, kondisi umat Islam saat itu masih relatif homogen, umat Islam
belum ekspansi ke luar jazirah Arab sehingga belum berhadapan dengan praktik

14
DR.Moh.Bahruddin,M.Ag.Ilmu Ushul Fiqh (Lampung : Aura, 2019) h.12
15
19Ali Abd al-Kafi al-Subuki dan Taj ad-Din bin Ali al-Subuki, al-Ibhaj fi Syarh alMinhaj ,
Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984), hlm. 4
16
Muhammad al-Hudhari Beik, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1988 M),hlm.3-4.

33
kehidupan asing di luar Arab. Karenanya, aktivitas ijtihad pada era tersebut
relatif tidak atau belum memerlukan konsep-konsep teoretis ilmu ushul fiqh.
Setelah daerah kekuasaan Islam bertambah luas meliputi daerah-daerah di luar
semenanjung Arabia yang memiliki kebudayaan dan struktur masyarakat yang
17
berbeda seperti Romawi, Persia, Mesir, dan Syria, persoalan-persoalan
kemasyarakatan baru pun bermunculan yang status hukumnya tidak mudah
dirujuk secara langsung dari Alquran dan Sunah. Untuk menyelesaikan hal yang
demikian, maka para sahabat berijtihad, tetapi kerja ijtihad pada fase ini mulai
menjadi tidak sederhana. Untuk mengetahui benar atau tidaknya hasil ijtihad,
maka dalam masalah-masalah yang dianggap penting dan menyangkut
kepentingan orang banyak, para sahabat selalu bermusyawarah sehingga produk
ijtihadnya merupakan konsensus bersama (ijmak). 18

Abu Bakar diberitakan tidak mengizinkan Umar keluar dari Madinah


menyertai pasukan Muslim. Ia minta izin kepada Usamah, komandan pasukan
ekspedisi Islam, untuk menahan Umar agar tetap tinggal bersamanya. Ini
dilakukan karena ia membutuhkan orang yang memiliki pendapat yang bijak dan
tajam pikirannya dalam memecahkan soal-soal negara19. Demikian juga apabila
ditanya masalah-masalah hukum yang tidak diketahuinya, ia tidak ragu-ragu
untuk berkonsultasi dengan minta pendapat orang banyak secara terbuka.
Setelah masa pemerintahan Umar, ijtihad kolektif mengalami kesulitan lantaran
para sahabat telah mulai menyebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, seperti
ke Mesir, Suriah, Irak, Persia, dan lain sebagainya. 20

Alquran dan Sunah diturunkan dalam bahasa Arab yang bisa ditangkap
dan dipahami oleh manusia. Namun pada tataran praktis, tidak jarang para ulama
mengalami kendala dalam memahami Alquran dan Sunah, terutama ulama non-
Arab (‘ajam). Di samping itu, sebagian besar nas Alquran dan Sunah bersifat
17
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, cet. ke-7 (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), I:
238.
18
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jld. II, Cet. ke-6 (Jakarta: UI-
Press, 1986), hlm. 11.
19
Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 212
20
Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruki Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal,
cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 57.

34
zhanni al-dalalah yang multiinterpretasi, sehingga memungkinkan untuk
diinterpretasikan berdasarkan situasi dan kondisi umat Islam. Eksistensi nas
yang zanni dan interpretable ini merupakan bukti universalitas ajaran Islam, di
mana untuk aplikasinya membutuhkan kreativitas intelektual, pengambilan
konklusi hukum berdasarkan perangkat metodologi (thuruq al-istinbath).

Al-Juwaini (478 H) pernah menyatakan bahwa 90% fatwa yang


dikeluarkan para sahabat dan tabi’in serta generasi sesudahnya berasal dari
21
istinbath, bukan berasal dari nas-nas syarak secara langsung. Artinya, fatwa-
fatwa yang dikeluarkan para ulama sepanjang masa sebagian besar adalah
produk ijtihad yang tentu saja dengan mengaplikasikan ilmu ushul fiqh. Dengan
kata lain, tidaklah mudah menangkap pesan-pesan spiritual-religius dari nas
Alquran dan Sunah tanpa menggunakan piranti yang memadai, baik aspek
semantika-linguistik maupun aspek fenomenologi.

Pada dasarnya setiap orang berhak untuk berijtihad, karena ijtihad bukan
monopoli seseorang atau golongan terentu. Akan tetapi, apabila tidak ada
seleksi, limitasi, dan parameter yang terukur, tidak tertutup kemungkinan akan
terjadi manipulasi penafsiran terhadap Alquran dan Sunah, kemudian mengklaim
bahwa hanya pendapat atau penafsirannya sendiri yang paling benar. Apabila
semua pihak merasa berhak untuk melakukan interpretasi menurut versi dan
kepentingan masing-masing, pada akhirnya syariat tidak lagi menjadi rahmatan
li al-‘alamin, akan berubah menjadi “alat“ oleh orang-orang yang tidak memiliki
kompetensi untuk berijtihad. Untuk mengantisipasi hal-hal yang demikian, maka
para ulama-mujtahid membuat “rancang bangun“ metodologi ijtihad sebagai
“kode etik“ dalam memahami Alquran dan Sunah.

C. USHUL FIQH SEBELUM DIBUKUKAN


1. Masa Sahabat
Meskipun kenyataan sejarahnya ikih sebagai produk ijtihad lebih
dahulu dikenal dan dibukukan dibandingkan dengan ushul iqh, namun

21
Abu al-Ma’ali al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, cet. ke-4 (Mesir: al-Wafa’
Manshurah, 1418 H), hlm. 716.

35
menurut Muhammad Abu Zahrah, ushul iqh dalam praktiknya telah muncul
berbarengan dengan munculnya ikih. Alasannya, karena secara metodologis,
ikih tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbat, dan metode istinbat
itulah sebagai inti dari ushul iqh. Fikih sebagai produk ijtihad mulai muncul
22
pada masa sahabat. Dalam melakukan ijtihad, kata Muhammad Abu
Zahrah, secara praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah ushul iqh
meskipun belum dirumuskan dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan mereka
dalam bidang ini, di samping berakar dari bimbingan Rasulullah SAW, juga
kemampuan bahasa Arab mereka yang masih tinggi dan jernih. Mereka,
khususnya yang kemudian terkenal banyak melakukan ijtihad di bidang
hukum Islam, mengikuti langsung praktik-praktik tasyri’ (pembentukan
hukum) dari Rasulullah SAW. Mereka adalah orang-orang yang dekat
dengan Rasulullah SAW dan selalu menyertainya dan menyaksikan sendiri
peristiwaperistiwa hukum yang dipecahkan Rasulullah, sehingga mereka
tahu betul bagaimana cara memahami ayat dan dapat menangkap tujuan
pembentukan hukumnya. Di samping itu, mereka adalah generasi yang
masih bersih dan kuat kemampuan bahasa Arabnya sebagai bahasa Al-
Qur’an. Hal itu semuanya membuat mereka mampu memahami teks-teks Al-
Qur’an dan melakukan qiyas (analogi) sebagai metode pengembangan
hukum lewat substansinya. Oleh karena itu, seperti disimpulkan Khudari
Bik, ahli ushul iqh berkebangsaan Mesir, begitu Rasulullah wafat mereka
sudah siap untuk menghadapi perkembangan sosial yang mengehendaki
pemecahan hukum dengan melakukan ijtihad meskipun kaidah-kaidah ushul
iqh belum dirumuskan secara tertulis.
Dalam melakukan ijtihad, seperti disimpulkan Abd. al-Wahhab Abu
Sulaiman, guru besar ushul iqh Universitas Ummul-Qura Mekkah, mula-
mula mereka pelajari teks Al-Qur’an dan kemudian Sunnah Rasulullah. Jika
hukumnya tidak ditemukan dalam dua sumber tersebut, mereka melakukan
ijtihad, baik perorangan atau dengan mengumpulkan para sahabat untuk

22
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.15

36
bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka dike nal dengan ijma’ sahabat.
23
Di samping berijtihad dengan metode qiyas, mereka berijtihad dengan
metode istishlah yang di dasarkan atas maslahah mursalah, yaitu
kemaslahatan yang tidak ada dalil secara khusus yang mendukung dan tidak
pula ada yang menolak, namun mendukung pemeliharaan tujuan syariat.
Misalnya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf (naskah Al-Qur’an).
Dengan demikian, menurut Abd. al-Wahhab Abu Sulaiman, para
sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istislah (maslahah mursalah)
bilamana hukum suatu masalah tidak di temukan secara tertulis dalam Al-
Qur’an dan Sunnah. Praktik ijtihad para sahabat dengan memakai metode-
metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru
mulai berkembang waktu itu. Menurut Muhammad Abu Zahrah, ushul iqh
yang dirumuskan kemudian berakar dan diramu dari praktik-praktik ijtihad
para sahabat.

2. Masa tabi’in
Pada masa tabi’in metode istinbat menjadi semakin jelas dan meluas
disebabkan tambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan
baru yang muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang
mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-
Musayyab (15-94 H) di Madinah, dan ‘Alqamah ibn Qays (w. 62 H) serta
Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H) di Irak. Dalam berfatwa mereka merujuk
kepada Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan
maslahah mursalah. Pada masa ini, kata Abd. al-Wahhab Abu Sulaiman,
terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat
dijadikan hujjah (dalil hukum), dan perbedaan pendapat tentang ijma’ ahl al-
Madinah (kesepakatan penduduk Madinah) apakah dapat dipegang sebagai
ijma’. 24

3. Masa imam-imam mujathid sebelum Imam Syai’i

23
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.16
24
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.17

37
Metode ijtihad menjadi lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in, yaitu
periode para imam mujtahid sebelum Imam Muhammad bin Idris al- Syai’i
(w. 204 H), pendiri mazhab Syai’i. Dari ungkapan-ungkapan mereka dapat
diketahui metode istinbat mereka. Imam Abu Hanifah an-Nu’man (w. 150
H), pendiri mazhab Hanai umpamanya, seperti dikemukakan Muhammad
Abu Zahrah, menjelaskan dasar-dasar istinbatnya, yaitu berpegang kepada
Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang kepada Sunnah
Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat
yang disepakati para sahabat.
Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu dari
pendapat-pendapat itu dan ia tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi
pendapat sahabat. Dia tidak berpegang kepada pendapat tabi’in karena ia
juga sejajar dengan tabi’in. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal
banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian pula Imam Malik bin Anas (w. 178 H), pendiri mazhab
Maliki, dalam berijtihad mempunyai metode yang cukup jelas, seperti
tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankan praktik penduduk
Madinah sebagai sumber hukum. Satu hal yang perlu, adalah bahwa sampai
masa Imam Malik, ushul iqh belum dibukukan secara lebih lengkap dan
sistematis.
Abu Hanifah sendiri dan begitu pula Imam Malik tidak
meninggalkan buku ushul iqh. Metode istinbat Imam Abu Hanifah kemudian
disimpulkan oleh pengikutnya dari fatwa-fatwanya dan metode istinbat
Imam Malik disimpulkan dari karya-karya ikihnya.25

D. PEMBUKUAN USHUL FIQH


Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin
Idris al-Syai’i (150-204 H) tampil berperan dalam meramu, menyistematisasi
dan membukukan ushul iqh. Upaya pembukuan ushul iqh ini, seperti
disimpulkan Abd. al-Wahhab Abu Sulaiman, sejalan dengan perkembangan ilmu

25
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.18

38
pengetahuan keislaman di masa itu. Perkembangan pesat ilmuilmu keislaman
dimulai dari masa Harun al-Rasyid (145-193 H), khalifah kelima Dinasti
Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun (170-193 H) dan dilanjutkan
dalam perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa putranya bernama al-
Ma’mun (170-218H), khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198-
218 H).
Pada masa ini ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
keislaman, bahkan dikenal sebagai masa keemasan Islam. Dengan didirikannya
BaitulHikmah, yaitu sebuah perpustakaan terbesar di masanya, kota Baghdad
menjadi menara ilmu yang didatangi dari berbagai penjuru wilayah Islam.
Lembaga ini, di samping sebagai perpustakaan juga berfungsi sebagai balai
penerjemah buku-buku yang berasal dari Yunani ke dalam bahasa Arab.
Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman ini, secara disiplin ilmu
mengehendaki adanya pemisahan antara satu bidang ilmu dan bidang yang lain.
Dalam suasana pesatnya perkembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut,
ushul iqh muncul menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Sebagai ulama yang
datang kemudian, Imam Syai’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbat
para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan
metode istinbat para sahabat, dan mengetahui di mana kelemahan dan di mana
keunggulannya. Ushul Fiqh dirumuskannya di samping untuk mewujudkan
metode istinbat yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam,
juga dengan itu ia membangun mazhab ikihnya serta ia ukur kebenaran hasil
ijtihad di masa sebelumnya.
Maka oleh Imam Syai’i disusunlah sebuah buku yang diberinya judul Al-
Kitab, dan kemudian dikenal dengan sebutan AlRisalah yang berarti sepucuk
surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya merupakan lembaran-
lembaran surat yang dikirimkannya kepada ‘Abdurrahman al-Mahdi (w.198 H),
seorang pembesar dan ahli Hadis ketika itu. Munculnya buku AlRisalah
merupakan fase awal dari perkembangan ushul iqh sebagai satu disiplin ilmu.
Secara umum pembicaraan dalam buku ini berkisar pada landasan-landasan

39
pembentukan ikih, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’, fatwa sahabat,
dan qiyas.26

E. USHUL FIQH PASCA IMAM SYAI’I


Setelah kitab AlRisalah oleh Imam Syai’i, masih dalam abad ketiga,
bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Antara lain, Khabar alWahid
karya ‘Isa ibnu Aban ibn Shadaqah (w. 220 H) dari kalangan Hanaiyah, Al-
Nasikh wa alMansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164-241 H), pendiri mazhab
Hambali, dan Ibtal alQiyas oleh Daud al-Zahiri (200-270 H), pendiri mazhab
Zahiri.
Selanjutnya, pertengahan abad keempat, menurut Abd. alWahhab Khallaf,
ahli ushul iqh berkebangsaan Mesir, dalam bukunya Khulasat Tarikh alTasyri al-
Islami, ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang ikih,
dalam pengertian tidak lagi ada orang yang mengkhususkan diri untuk
membentuk mazhab baru, namun seperti dicatat Abd. al-Wahhab Abu Sulaiman,
pada saat yang sama kegiatan ijtihad di bidang ushul iqh berkembang pesat
karena ternyata ushul iqh tidak kehilangan fungsinya. Ushul iqh berperan
sebagai alat pengukur kebenaran pendapat-pendapat yang telah terbentuk
sebelumnya, dan dijadikan alat untuk berdebat dalam diskusidiskusi ilmiah.
Pertemuan-pertemuan ilmiah sering diadakan dalam rangka mengkaji hasil-hasil
ijtihad dari mazhab yang mereka anut. Hal itu mengehendaki kedalaman
pengetahuan tentang ushul fiqh.
Di antara buku ushul iqh yang disusun pada periode ini adalah Iysbat al-
Qiyas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324H), pendiri aliran teologi al-
Asy’ariyah, dan AlJadal i Ushul alFiqh oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 334
H), pendiri aliran teologi Maturidiyah. Menurut Abd. al-Wahhab Abu Sulaiman,
dengan lebih pesatnya kajian-kajian ilmiah di kalangan para pengikut mazhab,
perkembangan ushul iqh menjadi lebih pesat dan mencapai kematangannya pada
abad ke-5 dan ke-6 hijriyah.27

26
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.19
27
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.20-21

40
F.ALIRAN USHUL FIQH
Seperti dikemukakan di atas, dengan maraknya kajian-kajian ilmiah di
bidang ikih di kalangan ulama, ushul iqh menjadi lebih berkembang. Sejalan
dengan itu, bibit-bibit perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah
dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah yang memang sudah ada jauh dari
masa sebelumnya, pada masa ini lebih jelas tampak ke permukaan. Kubu ulama
Hijaz dari kalangan Malikiyah dan Syai’iyah, yang kemudian juga dianut oleh
kalangan Hanabilah, sering berada pada satu pihak, berlainan, bahkan terkadang
berhadap-hadapan dengan kubu ulama Irak dari kalangan Hanaiyah. Adanya
perbedaan di antara dua kubu tersebut bukan saja dari segi prinsip dan bentuk
kaidah yang digunakan, melainkan juga dalam sistematika penulisan dan
pengungkapan ushul fiqh.
Pada masa ini dua aliran dalam penulisan ushul iqh semakin jelas
perbedaannya, yang dikenal dengan aliran jumhur (mayoritas) ulama ushul iqh,
dan aliran Hanaiyah. Alirah jumhur terdiri dari kalangan Malikiyah, Syai’iyah,
dan kalangan Hanabilah. Aliran ini juga dikenal sebagai aliran mutakallimin,
karena para tokoh utamanya dalam pengembangannya terdiri dari para tokoh
ulama ahli ilmu kalam, seperti Qadli Abdul Jabbar, Imam al-Juwaini, dan Imam
al-Ghazali. Oleh karena para tokoh aliran ini mayoritas adalah ulama dari
kalangan Syai’iyah seperti halnya tokoh-tokoh tersebut, maka aliran ini juga
dikenal sebagai aliran Syai’iyah. Adapun aliran Hanaiyah, dikenal juga sebagai
aliran fukaha’. Di samping dua aliran tersebut, sejauh berbicara tentang metode
penulisan, pada gilirannya muncul aliran ketiga yang menggabungkan antara
kedua metode penulisan dari dua aliran tersebut. 28
Adanya beberapa aliran dalam penulisan ushul iqh, tidak dapat diartikan
bahwa aliran jumhur yang berada pada salah satu pihak, merupakan aliran yang
kompak menyepakati segala segi ushul iqhnya. Sebab pada kenyataannya, di
antara kalangan jumhur (kalangan Malikiyah, Syai’iyah, dan Hanabilah), secara

28
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.21

41
esensial terdapat berbagai perbedaan yang mendasar, yang mengakibatkan
adanya pula perbedaan pendapat di antara mereka dalam bidang ikih.
Oleh karena itu, ketika para ulama ushul iqh menguraikan dua aliran
tersebut dalam konteks ini, lebih berat tekanannya pada adanya perbedaan dalam
metode penulisan dan pengungkapan ushul iqh. Meskipun demikian, antara dua
kubu ulama tesebut, yaitu kalangan jumhur dan kalangan Hanaiyah, secara garis
besarnya bisa menggambarkan adanya dua kubu ulama ikih dalam
perkembangan ikih dalam sejarah. Sebab kubu kalangan jumhur sering berada
pada satu pihak, sedangkan kalangan Hanaiyah berada di pihak lain. Artinya,
aliran Malikiyah, Syai’iyah, dan Hanabilah mempunyai banyak kesamaan
apabila dibandingkan dengan kalangan Hanaiyah.
Dua aliran ini, meskipun telah muncul pada periode sebelumnya, tetapi
pada periode ini menjadi lebih jelas perbedaannya. Oleh karena itu, buku-buku
ushul iqh yang disusun pada periode ini dianggap sebagai buku standar bagi
perkembangan ushul iqh masing-masing aliran itu pada masa berikutnya.
Beberapa aliran yang dikenal dalam ushul iqh, seperti banyak diungkapkan
dalam kitab ushul iqh dalam bagian sejarah nya, yaitu aliran jumhur, aliran
fukaha, dan aliran yang menggabungkan antara keduanya. Pembagian kepada
tiga aliran ini lebih banyak berkonotasi kepada sistem penulisan ushul iqh,
bukan kepada perbedaan-perbedaan secara substansial. Sebab apa yang disebut
aliran jumhur, tidak berarti mereka sepakat dalam prinsip-prinsip ushul iqh
secara keseluruhan. Namun adalah benar mereka sepakat dalam banyak hal
mengenai substansi, di samping secara keseluruhan mereka sepakat dalam cara
penyusunan ushul fiqh. Lebih jauh tentang masing-masing aliran itu akan
diuraikan berikut ini :
1. Aliran jumhur ulama ushul fiqh
Aliran ini dikenal juga dengan aliran Syai’iyah dan aliran
mutakallimin. Aliran ini dikenal dengan aliran jumhur ulama karena
merupakan aliran yang dianut oleh mayoritas ulama dari kalangan
Malikiyah, Syai’iyah, dan Hanabilah terutama dalam cara penulisan
ushul iqh. Disebut aliran Syai’iyah karena orang paling pertama

42
mewujudkan cara penulisan ushul iqh seperti ini adalah Imam Syai’i,
dan dikenal sebagai aliran mutakallimin karena para pakar di bidang
ini setelah Imam Syai’i adalah dari kalangan mutakallimin (para ahli
ilmu kalam), misalnya Imam al-Juwaini, al-Qadli Abdul Jabbar, dan
al-Imam al-Ghazali.
Cara penulisan ushul fiqh aliran ini telah dirintis oleh Imam Syai’i,
kemudian dikembangkan oleh para murid dan para pengikutnya
(Syai’iyah) sehingga disebut sebagai aliran Syai’iyah. Dalam
perkembangannya, metode penyusunan ushul iqh aliran ini diikuti oleh
kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, metode ini juga
dikenal dengan metode jumhur ulama ushul iqh. Dan, oleh karena para
tokohnya umumnya dari kalangan ahli ilmu kalam sehingga dalam
penyusunannya sedikit banyaknya dipengaruhi oleh metode ilmu
kalam, maka aliran ini juga disebut sebagai aliran mutakallimin (para
ahli ilmu kalam). Beberapa ciri dari aliran ini antara lain bahwa
pembahasan ushul iqh disajikan secara rasional, ilosois, teoretis tanpa
disertai contoh, dan murni tanpa mengacu kepada mazhab ikih tertentu
yang sudah ada. Kaidah-kaidah ushul iqh mereka rumuskan tanpa
peduli apakah mendukung mazhab ikih yang mereka anut atau justru
berbeda, bahkan bertujuan untuk dijadikan timbangan bagi kebenaran
mazhab ikih yang sudah terbentuk.
Buku-buku standar dalam aliran ini yang disusun ketika itu adalah
kitab Al’Amd oleh Qadhi Abdul Jabbar al-Mu’tazili (w. 415 H), Al-
Mu’tamad i Ushul alFiqh oleh Abu al-Husein alBashri al-Mu’tazili (w.
436H), AlBurhan i Ushul alFiqh oleh al-Imam al-Haramain (w. 478
H), dan kitab AlMustashfa i ‘Ilm alUshul oleh Abu Hamid al-Ghazali
(w. 505 H). Pada periode selanjutnya empat buah buku tersebut secara
ringkas telah dirangkum oleh al-Fakhr al-Razi (544-607H), ahli ushul
iqh dari kalangan Syai’iyah, dalam bukunya yang terkenal AlMahsul i

43
‘Ilm alUshul. Dari empat buah buku di atas, yang paling populer
adalah kitab AlMustashfa oleh Al-Ghazali.29

2. Aliran fukaha atau aliran Hanaiyah


Aliran fukaha adalah aliran yang dikembangan oleh kalangan
ulama Hanaiyah. Disebut aliran fukaha (ahli-ahli ikih) karena dalam
sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh ikih. Dalam
merumuskan kaidah ushul iqh mereka berpedoman kepada pendapat-
pendapat ikih Abu Hanifah dan pendapat para muridnya serta
melengkapinya dengan contohcontoh.
Penyusunan seperti ini dilakukan oleh kalangan Hanai yah, karena
seperti telah dijelaskan di atas, Abu Hanifah tidak meninggalkan buku
ushul iqh. Ushul iqh mazhabnya disimpulkan kemudian oleh
pengikutnya dari hasil-hasil fatwanya dan hasil fatwa para muridnya.
Setiap kaidah diuji kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah
terbentuk, bukan sebaliknya di mana hasil ijtihad yang sudah terbentuk
diuji kebenarannya dengan kaidah ushul iqh seperti dalam aliran
pertama di atas.
Kitab-kitab standar yang disusun dalam aliran ini antara lain kitab
Ta’sis alNazhar oleh Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H), Ushul al-
Bazdawi oleh ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H), dan kitab
Ushul alSyarakhshi oleh Abu Bakr Syams al-Aimmah al-Syarakhshi
(w. 483 H).30

3. Aliran yang menggabungkan antara dua aliran di atas


Dalam perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh
Muhammad Abu Zahrah, muncul aliran ketiga yang dalam penulisan
ushul iqh menggabungkan antara dua aliran tersebut di atas. Misalnya
kitab Badi’ alNizam, karya Ahmad bin ‘Ali alSa’ati (w. 694 H), ahli
ushul iqh dari kalangan Hanaiyah, yang menggabungkan kitab Ushul

29
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.23-24
30
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.24-25

44
alBazdawi karya Ali ibn Muhammad al-Bazdawi dari aliran Hanaiyah
dan AlIhkam i Ushul alAhkam karya al-Amidi (w. 631 H) dari aliran
Syai’iyah, buku Jam’u alJawami’ oleh Ibnu al-Sibki (w. 771 H), ahli
ushul iqh dari kalangan Syai’iyah, dan buku AlTahrir oleh al-Kamal
Ibnu al-Humam (w. 861 H), ahli ushul iqh dari kalangan Hanaiyah.
Pada penghujung abad kedelapan Abu Ishaq al-Syatibi (w. 780 H),
ahli ushul iqh dari kalangan Malikiyah, mengarang sebuah buku yang
berjudul AlMuwafaqat i Ushul alSyari’ah. Dibandingkan dengan buku-
buku ushul iqh sebelumnya, kitab AlMuwafaqat lebih banyak
berbicara tentang maqasid alsyari’ah (tujuan hukum) sebagai landasan
pembentukan hu kum. Buku ini dianggap sebagai perkembangan
terakhir da ri ushul iqh. Buku-buku ushul iqh yang datang kemudian,
umum nya merupakan nukilan dan ulasan dari prinsip-prinsip yang
terdapat di dalam buku-buku yang tersebut di atas.31

G. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANAGAN QAWAID


FIQHIYYAH
Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga
periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan,
32
dan penyempurnaan.
1. Periode Kelahiran
Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan
pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman
kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah
hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad
SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman
tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada
masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam)
merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW.

31
Prof.Dr.H.Satria Effendi M.Zein,M.A.,Ushul Fiqh(Jakarta,KENCANA),hlm.25
32
Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998, h. 89.

45
menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis
tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang banyak
jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis Rasulullah Muhammad
SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah.
Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan
sebagai jawami’al-kalim dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-
Nadwi, menyebut beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk
qaidah-qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW.
yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-kalim yaitu
ungkapan-ungkapan yang ringkas ,namun padat makna dan berdaya cakup
luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: ‫مان‬b‫راج بالض‬b‫( الخ‬keuntungan
adalah imbalan resiko); ‫( الضرروالضرار‬Tidak ada mudharat (bahaya) dan
tidak ada pula memudharatkan); dan ‫البينة على المدعى واليمين على من انكر‬
(bukti adalah kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah
kewajiban orang yang telah membantahnya.
Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak
ketentuan hukum karena bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi,
sehingga dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah. Meskipun
terdengar sederhana, namun daya cakupnya melingkupi banyak bab fiqh. 33
Sahabat Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin
Khattab dalam kitab shahih Bukhari mengatakan: ‫مقاطع الحقوق عند الشروط‬
(Penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat) Ulama tabiin antara
lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam kitabnya al-Umm
diantaranya: ‫غر منه‬b‫قط ما هو أص‬b‫اس س‬b‫( االعظم إذا سقط عن الن‬apabila yang besar
gugur, yang kecilpun gugur). alQadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H)
membuat qaidah: ‫روه فهو عليه‬bbb‫ير مك‬bbb‫رط على نفس طائعا غ‬bbb‫( من ش‬barangsiapa
membuat janji secara suka rela tanpa paksaan, maka janji itu menjadi
tanggungannya). Hal ini menyangkut syaratsyarat yang disanggupi
seorang dalam bertransaksi.

33
Dr.H.Fathurrahman Azhari, M.H.I, Qawaid Fiqhiyah Muamalah(Banjarmasin, LPKU) hlm.29-30

46
Meskipun beberapa orang pada awal Islam disebut telah
menciptakaan qaidah, Pada umumnya, para pengkaji sulit untuk
menentukan siapakah yang menjadi perintis penyusunan disiplin ilmu ini.
Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim
(182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama yang membuat
rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang telah
dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj. Kitab tersebut telah
dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan
muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan
disebarluaskan ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut.
Qaidah yang dimaksudkan adalah seperti berikut:
“Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu
dari seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui
oleh mereka”.
Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin alHasan al-Syaibani (w.
189 H) juga melakukan rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan
adalah lebih banyak merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum).
Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi upaya pengqaidah-an hukum,
sebab banyak sekali illat hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai
qaidah hukum.
Ibnu Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah
berpendapat bahwa: Sesungguhnya sahabatsahabat kami (para ulama
Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan merintis usaha dalam penyusunan
qaidah ini. Dan orang mengikuti mereka dan mereka pula bergantung
kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.

2. Periode Pembukuan
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang
hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya
ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari tersisanya warisan fiqh

47
yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh yang disertai dengan
dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab beserta hasil
perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada
periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana
metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi
kasus-kasus hukum baru.
Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin
ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu
dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H.
sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan
memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu
khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu Tahir al-Dabbas, seorang fukaha
yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah adalah orang pertama
yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu itu, ia telah
mengumpulkan sebanyak 17 qaidah.
Usaha ini kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan alKarakhi (w.
340 H.) dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah.
Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al-
Hanafi (W. 430H.), telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun
kelima Hijrah. Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta
dengan pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut. Kegiatan
tersebut di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-
Samarqandi (w. 540 H.) dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun
ketujuh Hijrah, penulisan ilmu ini telah dilanjutkan oleh Muhammad bin
Ibrahim al- Jarmial Sahlaki (w. 613 H.) dan Izz al-Din Abd al-Salam
dengan masing-masing tulisan mereka berjudul al-Qawaid fi Furu’ al
Syafi’iyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Menjelang abad
kedelapan Hijrah muncul lagi beberapa penulis dalam ilmu ini yang telah
dilakukan oleh beberapa orang ulama pada masa itu seperti al-Asybah wa
al- Nazhair oleh Ibn al-Wakil al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh

48
al- Muqarra al-Maliki (w. 758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt
Qawaid al-Madzhab oleh al-‘Allai al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa
alNazhair oleh Taj al-Din al-Subki, al-Asybah wa alNazhair oleh Jamal
al-Din al-Isnawi (w. 772 H.), alManthur fi al-Qawaid oleh Badr al-Din al-
Zarkasyi (w. 793H), al-Qawaid fi al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-Hanbali (w.
795 H.) dan al-Qawaid fi al-Furu` oleh `Ali bin Usman al-Ghazzi (w.
799.H.). Masa ini merupakan masa keemasan dalam proses penulisan dan
pembukuan ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah.
Diabad kesembilan Hijrah, yang membukunan ilmu ini antara lain:
Muhammad bin Muhammad alZubayri (w. 707H) dengan kitabnya Asna
al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, Ibn al-Haim al-Maqdisi (w. 815H) dengan
kitabnya al-Qawaid al-Manzumah, Taqiy al-Din al-Hisni (w. 729 H.)
dengan kitabnya Kitab al-Qawaid. Diabad kesepuluh, yang merupakan
puncak usaha pembukuan ilmu ini di mana al-Imam Jalal al-Din alSuyuthi
(w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab dalam bidang ini yang
berjudul al-Asybah wa al- Nazhair. Kitab tersebut telah menggabungkan
semua qaidah yang terdapat di dalam kitab karangan al-`Allai, al-Subki
dan al-Zarkasyi. Begitu pula, Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim al-Misri telah
menyusun sebuah kitab dalam bidang ini yang turut diberi nama al-
Asybah wa alNazhair. Kitab ini pula telah memuatkan 25 qaidah
fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada dua bagian yaitu, bagian pertama
mengandung qaidah asas yang berjumlah enam qaidah, sedangkan bagian
kedua mengandung sembilan belas qaidah yang terperinci.
Diskripsi sejarah pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di
atas, maka fukaha Malikiyyah telah memainkan peranan penting dalam
pembukuan qawaid fiqhiyyah. Diantaranya ialah Juzaym yang merupakan
tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah mengarang kitab dalam bidang ini
yang berjudul al-Qawaid. Kemudian diikuti pula dengan Syihab al-Din
Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.) (dari kalangan fuqaha abad
ketujuh Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah 548 qaidah fiqh di
dalam kitabnya yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’. Tiap-

49
tiap qaidah yang dikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan
contoh-contoh masalah cabang atau furu’ yang munasabah sehingga jelas
perbedaan di antara qaidah yang terdapat di dalam kitab karangannya itu.
Dari kelompok fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang
terkenal dalam menyusun kitab qawaid fiqhiyyah ini adalah Muhammad
Izz al-Din Abd al-Salam (dari kalangan fukaha abad ketujuh Hijrah) yang
telah menulis kitab yang berjudul Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.
Kemudian pada abad kelapan Hijrah Taqiy al-Din al-Subki telah menulis
sebuah kitab yang bernama al-Asybah waal-Nazhair yang kemudian telah
disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuthi (w.
911H) dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-
Asybah wa al-Nazhair.34 Dari kelompok fukaha Hanabilah, ulama yang
terkenal, antara lain tokoh yang terlibat dalam kegiatan menulis dalam
bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang telah menulis
kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra. Selain itu, terdapat
seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang telah
menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaitu Abd al-Rahman
Ibn Rajab (w. 795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-
Fiqh.35 Periode pertumbuhan dan perkembangan berakhir dengan
tampilnya al-Majllah al-Ahkam al-‘Adhiyyah pada abad ke 11 H.

3. Periode penyemurnaan
Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah alAhkam al-
Adhiyyah, dalam versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah: ‫ال يجوز‬
‫ير بالإذنه‬bbb‫رف فى ملك الغ‬bbb‫( الحد أن يتص‬sesungguhnya tidak berhak bertindak
dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemliknya).
Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya
menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan.
Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu
penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.

50
Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang
dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan
umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100
adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal
- pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap
qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi
rinciannya.
Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab
kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang
antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-
Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang
memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu
‘Uyun al-Basa’ir.
Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang
bernama Muhammad Said alKhadimi (w. 1154H) telah menyusun sebuah
kitab usul al-fiqh yang diberi nama Majma‘ al-Haqaiq. Menerusi kitab ini,
sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya mengikuti urutan susunan
huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad dihimpunkan dalam karya
tersebut. Kemudian kitab ini telah disyarahkan pula oleh Mustafa
Muhammad dengan nama Manaf‘i al-Haqaiq.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah,
dengan jelas menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh sejak
awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius mengembangkan pembahasan
qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan atau
usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid tersebut yang ditemui sejak
awal abad ketiga Hijrah. Sejumlah permasalahan yang mempunyai
persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di
bawah satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat
dicakup di bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu
ditempatkan di bawah qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan
himpunan Qawaid fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia memberikan

51
peluang kepada generasi berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah
permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara
keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid
fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan
dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.

BAB V
MAKALAH
KONSEP AL-HAKIM
Disusun Oleh :
OLVA AINI (1209.20.09079)

A. Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa hakim mempunyai dua arti, yaitu;

‫ص َد ُرهَا‬ ِ ‫اض ُع ااْل َ ْح َكا ِم َو ُم ْثبِتُ َها َو ُم ْن‬


ْ ‫شئُ َها َو َم‬ ِ ‫َو‬
Artinya:

“Pembuat hukum yang menetapkan ,memunculkan sumber hukum”

Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam ushul fiqih, sebab

berkaitan dengan pembuatan hukum dalam syari’at islam, atau pembentuk

52
hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi

pelanggarnya. Dalam ilmu ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.

Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum.

Dalam fiqih, istilah hakim semakna dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh,

kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki.

Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at.Adapun sebelum

datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan peranan akal dalam

menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang berbuat baik diberi pahala

dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi.

Dari pengrtian pertama tentang hakim diatas,dapat diketahui bahwa

hakim adalah Allah SWT. Dia_lah pembuat hukum dan satu satunya sumber

hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam islam, tidak ada syari’at,

kecuali dari Allah SWT. Baik yang brkaitan dengan hukum hukum taklif (wajib,

sunah, haram, makruh, mubah),maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’I

(sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsoh).

Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas bersumber dari

Allah SWT.Melalui nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahid

melalui berbagai teori istinbath, separti qiyas, ijma’, dan metode istinbath

lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT.

Mazhab Syafi’I menerangkan bahwa yang bermaksud dengan al-qadhaa’

adalah memutuskan pertentangan yang terjadi di antara dua orang atau lebih

yang bersengketa dengan merujuk kepada hukum Allah. Dengan kata lain, al-

qadhaa’ adalah menetapkanhukum syara’ dalam satu permasalahan. Dalam

53
bahasa Arab, al-qadhaa’ juga biasa disebut dengan al-hukmu sebab dalam

proses pengadilan terdapat hikmah (yang satu akar kata dengan kata al-hukmu),

di mana dalam proses pengadilan, setiap sesuatu harus di tempatkan pada

posisinya yang tepat dan tindakan orang zalim harus dihentikan. Selain itu, al-

qadhaa’ biasa disebut dengan al-hukmu sebab dalam proses pengadilan ada

ihkaamu asy-syai’ (memperkokoh danmenyempurnakan sesuatu)

Kehakiman dalam bahasa Arab disebut al-Qadha’ yang bermaksud

kekuasaan yang dimiliki oleh mahkamah. Al-Qadha’ mengikut bahasa adalah

menetapkan atau menyelesaikan sesuatu. Ia merupakan antonim yang memiliki

makna yang saling berlawanan34Pendapat Ulama.

B. Pendapat Ulama’

1. Dr. Abdul Karim Zaidan

Di antara pendapat para ulama Dr. Abdul Karim Zaidan Menyatakan

Al-Qadha menurut bahasa Arab ialah menghukum, memisah dan

memutuskan. Al-Qadha dari segi istilah ialah menghukumkan di antara

beberapa orang yang bersengketa dengan undang-undang islam dengan cara

yang tertentu.

Kehakiman adalah suatu tuntutan syarak, kita telah tegaskan bahwa

kehakiman itu adalah suatu perkara yang penting bagi kehidupan

bermasyarakat dan semua masyarakat memerlukan kepada kehakiman sama

ada masyarakat Islam mahupun bukan Islam. Oleh kerna inilah Islam

34
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul hayyie Al-Kattani
(Jakarta:
Gema Insani, 2010), Cet.ke-1, Jilid 8, h. 103.

54
memerintahkan supaya melaksanakan kehakiman. Allah s.w.t berfirman di

dalam surah al-maidah:5(49),35

Syarat-syarat seorang hakim menurut dr. Abdul Karim Zaidan:

a. Pertama cukup umur / baligh, berakal dan merdeka, sesungguhnya

tugas seorang hakim memerlukan pemikiran yang matang, ini tidak

mungkin jika seseorang itu belum baligh dan lebi-lebih lagi jika

seorang itu gila.

b. Ketiga Adil, adil menjadi syarat kepada mereka yang akan menjawat

jawatan hakim. Yang dimaksudkan dengan adil menurut pandangan

fuqaha ialah tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak mengekalkan

dosa-dosa kecil serta menjauhkan diri dari melakukan sesuatu yang

boleh menjejaskan maruah.

c. Keempat ijtihad, kehakiman itu lebih kuat daripada memberi fatwa

kerana kehakiman itu member fatwa dan mengikat yang terlibat.

d. Kelima lelaki, lelaki merupakan syarat bagi seorang hakim.

e. Keenam sempurna pancaindera, yakni semestinya dia seorang yang

boleh bertutur, mendengar dan melihat.36Kedua Islam, seseorang

hendaklah seorang Islam kerana kehakiman itu merupakan kuasa

sedangkan orang bukan Islam (kafir) tidak harus sama sekali

menguasai orang Islam.

2. Syeikh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘Allusy

35
Sunan Abu Daud, Jilid ke-3, h. 288-289
6 Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, alih bahasa oleh Mohd. Saleh Ahmad, (Kuala
Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid, 1994), Cet. Ke-1, jilid 1,h. 7.
36
Ibid

55
Menyatakan kehakiman dalam bahasa Arab disebut al-Qadha yang

bermaksud kekuasaan yang di miliki oleh mahkamah. Al-Qadha mengikut

bahasa adalah menetapkan atau menyelesaikan sesuatu. Ia merupaka

antonym yang memiliki makna yang saling berlawanan.

Al-Qadha mengikut syarak pula adalah menetapkan atau memutuskan

setelah suatu perkara diajukan kepada hakim untuk melakukan sesuatu.ada

yang mengatakan ia adalah memaksa pelaksanaan hukum syarak dalam suatu

kes tertentu bagi seseorang atau pihak tertentu.37

3. Prof Madya Dr. Siti Zalaikhah md. Nor

Mentakrifkan Qadha dari segi bahasa bererti menghukum, memutuskan

dan memisahkan. Manusia memerlukan system kehakiman demi

menyelamatkan mangsa kezaliman dari terus dizalimi. Nafsu manusia yang

buruk ada kalanya boleh dikawal oleh iman tetapi ada kalanya melampaui

batas. kehakiman merupakan sesuatu yang dituntut dan fardu kifayah,

matlamat kehakiman ialah menegakan keadilan, menghapuskan kezaliman

dan mengekalkan keamanan.

Dalam mencapai matlamat tersebut, maka sudah tentulah tugas atau

bebanan yang dipikul oleh seorang hakim sungguh berat. Seseorang hakim

yang tersalah ketika berijtihad menjatuhkan hukuman diberi satu ganjaran

kerana kesalahan itu adalah dalam usaha mencari kebenaran atau untuk

sampai kepada yang benar. Sebaliknya, jika ijtihadnya betul maka dia

37
Syeikh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram,alih
bahasa oleh Nor Hasanuddin H.M. Fauzi, (Kuala Lumpur,Al-Hiadayah Publications, 2011), Cet ke-
1, Jilid ke-
4, h. 341.

56
mendapat dua ganjaran. Oleh itu, hukum islam telah menetapkan kelayakan

tertentu bagi seorang hakim dan juga kuasa perlantikannya bagi memastikan

kewibawaannya.

Kehakiman Islam merupakan suatu bidang yang terpenting didalam

pentadbiran Islam, kerana ia merupakan suatu badan bebas tanpa

dipengaruhi oleh kuasa politik. Matlamat utama kehakiman ialah

menegakkan keadilan dan melindungi agama, akal, harta, jiwa, dan

keturunan manusia daripada sebarang pencerobohan dan kezaliman.

4. Menurut Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili

Kata al-qadha berarti selesai dan sempurnanya sesuatu. Selain itu, ia

juga berarti menetapkan hukum di tengah-tengah masyarakat. Adapun arti

kata alqadhi adalah hakim. Secara terminology, kata al-qadha bererti

menangani sengketa dan pertentangan.

Dalam bahasa Arab, al-qadha juga biasa disebut dengan al-hukmu

sebab dalam proses pengadilan terdapat hikmah (yang satu akar kata dengan

kata alhukmu), di mana dalam proses pengadilan, setiap sesuatu harus di

tempatkan pada posisinya yang tepat dan tindakan orang yang zalim harus

dihentikan.

Selain itu, al-qadha biasa disebut dengan al-hukmu sebab dalam proses

pengadilan ada ihkamu asy-syai’ (memperkokoh dan menyempurnakan

sesuatu).38

C. Dalil Tentang Hakim


38
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-Kattani,
(Jakarta, Gema Insani,2010), Cet ke-1, Jilid ke 8, h. 103.

57
1. Dalil Al-Quran

a. Surah Surah Fussilat(41):12

‫س َم ۤا ٍء اَ ْم َرهَا ۗ َوزَ يَّنَّا‬


َ ‫ت فِ ْي يَ ْو َم ْي ِن َواَ ْو ٰحى ِف ْي ُك ِّل‬
ٍ ‫سمٰ ٰو‬
َ ‫س ْب َع‬ ٰ َ‫فَق‬
َ َّ‫ضى ُهن‬

‫صابِ ْي ۖ َح َو ِح ْفظًا ٰۗذلِكَ تَ ْق ِد ْي ُر ا ْل َع ِز ْي ِز ا ْل َعلِ ْيم‬


َ ‫س َم ۤا َء ال ُّد ْنيَا بِ َم‬
َّ ‫ال‬
Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. dia

mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan kami hiasi langit yang

dekat dengan bintangbintang yang cemerlang dan kami memeliharanya

dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi

Maha Mengetahui”.

b. Surah al-Israa (17): 4,

َّ‫ض َم َّرتَ ْي ِن َولَتَ ْعلُن‬


ِ ‫سدُنَّ ِفى ااْل َ ْر‬ ِ ‫س َر ۤا ِء ْي َل ِفى ا ْل ِك ٰت‬
ِ ‫ب لَتُ ْف‬ ْ ِ‫ض ْينَٓا اِ ٰلى بَنِ ْٓي ا‬
َ َ‫َوق‬

‫ُعلُ ًّوا َكبِ ْي ًرا‬

Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu:

"Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua

kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan

yang besar”.

c. Nisa’:4,58 dan 105):

ٓ ِ ‫اِنَّ هّٰللا يَأْم ُر ُكم اَنْ تُؤَ دُّوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِ َه ۙا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النَّا‬
ْ‫س اَن‬ ْ ُ َ

‫س ِم ْي ًع ۢا‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬


‫ص ْي ًرا‬
ِ َ‫ب‬ َ َ‫ت َْح ُك ُم ْوا بِا ْل َعد ِْل ۗ اِنَّ َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِنَّ َ َكان‬

58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan

hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil

ْ‫س بِ َمٓا اَ ٰرىكَ هّٰللا ُ ۗ َواَل تَ ُكن‬ َ ‫اِنَّٓا اَ ْنزَ ْلنَٓا اِلَ ْيكَ ا ْل ِك ٰت‬
ِّ ‫ب بِا ْل َح‬
ِ ‫ق لِت َْح ُك َم بَيْنَ النَّا‬

ِ ‫نِيْنَ َخ‬¢‫لِّ ْل َخ ۤا ِٕٕى‬


‫ص ْي ًما‬

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

kepadamu. Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu

(wahai Muhammad) dengan membawa kebenaran, supaya kamu

mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan

kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak

bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.”

d. Nisa’:4(141)

ْ‫ص ْونَ بِ ُك ۗ ْم فَاِنْ َكانَ لَ ُك ْم فَ ْت ٌح ِّمنَ هّٰللا ِ قَالُ ْٓوا اَلَ ْم نَ ُكنْ َّم َع ُك ْم ۖ َواِن‬
ُ َّ‫الَّ ِذيْنَ يَتَ َرب‬

ۗ َ‫ست َْح ِو ْذ َعلَ ْي ُك ْم َونَ ْمنَ ْع ُك ْم ِّمنَ ا ْل ُم ْؤ ِمنِيْن‬


ْ َ‫ب قَالُ ْٓوا اَلَ ْم ن‬ ِ َ‫َكانَ لِ ْل ٰكفِ ِريْنَ ن‬
ٌ ‫ص ْي‬

َ‫ة ۗ َولَنْ يَّ ْج َع َل هّٰللا ُ لِ ْل ٰكفِ ِريْنَ َعلَى ا ْل ُم ْؤ ِمنِيْن‬¢ِ ‫فَاهّٰلل ُ يَ ْح ُك ُم بَ ْينَ ُك ْم يَ ْو َم ا ْلقِ ٰي َم‬

‫سبِ ْياًل‬
َ
(yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan

terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah

mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” Dan

jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata, “Bukankah kami turut

memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” Maka Allah

59
akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak

akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang

beriman.

2. Dalil Al-Sunnah

‫وعن عمرو بن العاص رضي هلل عنھ أنّھ سمع رسول هلل صلّى هلل علیھ وسلّم‬

‫ وإذا حكم فاجتھد‬,‫ فلھ أجران‬,‫ فاجتھد ث ّم أصاب‬,‫ "إذا حكم الحاكم‬:‫یقول‬

‫ متّفق علیھ‬."‫ فلھ أجر‬,ْ‫ث ّم أخطا‬.

“Daripada ‘Amr bin al-‘As (r.a) bahwa beliau pernah mendengar

Rasulullah (s.a.w) bersabda: “jika seorang hakim memutuskan suatu

perkara, lalu keputusannya itu benar, maka dia mendapat dua ganjaran

pahala. Jika dia memutuskan perkara itu lalu tersilap,makadia

mendapatsatuganjaran.” (muttafaq’alaih:1414).

‫ "القضاة‬: ‫ قال رسول هلل صلّى هلل علیھ وسلّم‬:‫عن بریدة رضي هلل عنھ قال‬

ّ ‫ رجل عرف الح‬,‫ وواحد في الجنّة‬,‫ إثنان في النار‬:‫ثالثة‬


‫ق فقضى بھ فھو في‬

ّ ‫ ورجل عرف الح‬,‫الجنّة‬,


‫ق فلم یقض بھ وجار في الحكم فھو في النار‬

‫ق فقضى للنّاس على جھل فھو في النار‬


ّ ‫"ورجل لم یعرف الح‬.

‫وصححھ الحاكم‬
ّ ‫رواه األربعة‬.

60
Daripada Buraidah (r.a), beliau berkata: Rasulullah (s.a.w)
bersabda: “Hakim itu ada tiga kumpulan; dua kumpulan masuk neraka
dan satu kumpulan lagi masuk syurga. Pertama, hakim yang tahu
kebenaran lalu ia memutuskan suatu perkara berdasarkan kebenaran itu,
maka dialah hakim yang masuk syurga. Kedua, hakim yang tahu tentang
kebenaran lalu menetapkan suatu perkara tidak berdasarkan kebenaran
itu dan memutuskannya secara lazim, maka dialah hakim yang masuk
neraka. Ketiga, hakim yang memang tidak tahu kebenaran, nemun berani
memutuskan suatu perkara tanpa berdasarkan ilmu, maka inilah pula
hakim yang masuk neraka.” (Diriwayatkan oleh al-Arba’ah dan dinilai
sahih oleh al-Hakim39

D. Mazhab
Mazhab (bahasa Arab: ‫ مذھب‬mazhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang
berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang
baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara
atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama
Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah
melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya
menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-
bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang
dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain,
yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini
adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus. Mazhab
yang digunakan secara luas saat ini antara lain mazhab Hanafi, mazhab Maliki,
mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali dari kalangan Sunni. Sementara kalangan
Syi'ah memiliki mazhab Ja'fari, Ismailiyah dan Zaidiyah40.
a. Mazhab Hanafiah

39
Sunan Abu Daud, Jilid ke-3, h. 288-289
40
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mazhab

61
Kelahiran Imam Abu Hanifah, Nama lengkap imam Abu Hanifah
adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maah, berasal dari keturunan
bangsa Persia . Abu Hanifah di lahirkan di kota Kufah, kota yang
terletak di Iraq, pada tahun 80 Hijriyah (699 M) dan meninggal di
Kufah pada tahun 150 Hijriyah (767 M ) bersamaan dengan tahun
kelahiran calon ulama besar, yaitu Imam Syafi’i.
Adapun Nasab Imam Abu Hanifah dari ayahnya adalah Tsabit bin
Zautha bin Maah bin Muli Tamullah dan akhirnya Ta’labah. Ahli
sejarah yang mengatakan bahwa beliau berasal dari bangsa Arab yaitu
dari Bani Yahya bin Asad, dan adapula yang mengatakan bahwa beliau
berasal dari keturunan Ibnu Rusyd Al-Anshar lum beliau dilahirkan,
ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Kakek Abu Hanifah adalah Zautha
yang berasal dari Kabul (Afganistan) yaitu tawanan perang karena dia
berperang melawan Utsman bin Affan sewaktu menaklukkan Persia41
Penaklukan tersebut bukan hanya di Persia tetapi sampai ke
Khurasan dan Afganistan, sedangkan Zautha termasuk salah satu
pembesar negara yang ditaklukan oleh tentara Utsman dan beliau
menjadi tawanan perang, akhirnya diserahkan kepada tentara Islam
yang menang dalam peperangan tersebut. Setelah menjadi tawanan
perang ia dijadikan budak dan akhirnya bebas dari budak karena
masuk Islam.
Setelah dibebaskan dari perbudakan ia menetap di Kufah dan
selanjutnya ia berdagang sutra di kota Kufah dan lahirlah anaknya
yang diberi nama Tsabit yaitu ayah Abu Hanifah Pada awalnya Abu
Hanifah adalah seorang pedagang atas anjuran Al Sya’bi. Ia kemudian
beralih menjadi pengembang ilmu, ia termasuk generasi ketiga setelah
Nabi Muhammad SAW. Pada zamannya terdapat empat ulama yang
tergolong sahabat yang masih hidup, yaitu :
a. Anas ibn Malik di Basrah

41
Muh. Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT Raja Grapindo, 1997), Cet ke 2,
h. 97

62
b. Abdullah ibn Ubai di Kufah

c. Sahl ibn Sa’d al-Sa’id di Madinah

d. Abu al-Thufailamir ibn Wa’ilah.

Meskipun Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya

secara khusus berupa kitab fiqih, namun ilmu yang dimilikinya tidak

terkubur bersamanya, melainkan berkembang dan tersebar ke seluruh

dunia, ini sebuah berkat usaha murid-muridnya yang mengembangkan

ajarannya. Pengikutnya tersebar diberbagai Negara seperti Algeria,

Tunisia, Tripoli (Libya), sebagian Mesir, Irak. Turki, Asia Tengah,

Pakistan, India, Turkistan, Syiria dan Libanon42

Metode Istimbat Hukum Mazhab Hanafi Dari beberapa

sumber yang ditemukan bahwa yang menjadi dasar pegangan Imam

Abu Hanifah dalam berijtihad adalah sebagai berikut : pertama Al-

Kitab, kedua As-Sunah, ketiga Qaul Al-Shahabah, keempat AlIjma’,

kelima Al-Qiyas, keenam Al-Istihsan, ketujuh Al-‘Ur.

Selain itu, Hasbi Ash-Shiddiqy menguraikan dasar-dasar

pegangan Imam Hanafi adalah sebagai berikut : “pendirian Abu

Hanifah dan Hanafiyyah, ialah mengambil dari orang kepercayaan dan

lari dari keburukan, memperhatikan muamalah manusia dan apa yang

telah mendatangkan maslahat bagi urusan mereka. Beliau

menjalankan urusan atas qiyas, apabila qiyas tidak baik dilakukan

maka beliau melakukan atas istihsan selama dapat dilakukannya.

42
M. Bahri Ghazali, Perbandingan Mazhab, ( Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1992), Cet ke- 2, h.552-
54

63
Apabila tidak dapat dilakukannya, beliau kembali kepada ‘urf

masyarakat. Dan mengamalkan hadits yang terkenal yang telah di

ijma’kan ulama, kemudian beliau mengqiyaskan sesuatu kepada hadits

itu selama qiyas masih dapat dilakukan. Kemudian kembali kepada

istihsan, mana diantara keduanya yang lebih tepat”. dari uraian

tersebut dapat pula diketahui bahwa dasar-dasar pegangan mazhab

Hanafi adalah Al-Quran, Sunnah, dan fatwa shahabi.43

b. Mazhab Syafi’i

Latar Belakang Terbentuknya Mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi'i

adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-

Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab

Imam syafi‟I dilahirkan di khuzzah tahun 150 H, Ia meninggal di

mesir pada tahun 204 H. Sewaktu beliau berumur 7 tahun beliau telah

hafal Al-Qur‟an, Setelah beliau berumur 10 tahun beliau telah

menghafal Al-Muwatto‟ (kitab Imam Malik) Setelah beliau berumur

20 tahun beliau mendapat izin dari gurunya (Muslim bin Kholid) untuk

berfatwa.

Kata „Ali bin Usman: “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih

pintar dari pada syafi‟I, Sesungguhnya tidak ada satu orangpun yang

dapat menyainginya dimassa itu, ia pintar dalam segala pengetahuan,

Sehingga dalam melontarkan anak panah dapat dijamin 90% akan

mengenai sasarannya”.

43
A. Qadir Hasan, Ilmu Hadits, (Bandung : Diponegoro, 1984), h. 43-48

64
Setelah beliau hampir berumur 20 tahun beliau pergi ke madinah

karena beliau mendengar kabar Imam Malik yang begitu terkenal

seorang alim hadis dan fiqih, Disana ia beliau belajar kepada imam

malik, Kemudian beliau berjalan ke irak, disana ia bergaul dengan

Sahabasahabat imam abu Hanifah. Dan beliau terus ke parsi dan

beberapa negeri lain. Kira-kira beliau habiskan dua tahun untuk

perjalanan ini.

Dalam perjalanan beliau ke negri-negri itu bertambahlah

pengetahuan beliau tentang keadaan bahwa yang menimbulkan

perbedaan adat dan Akhlaq, sangat berguna bagi beliau sebagai alat

untuk mempertimbangkan hukum peristiwa-peristiwa yang akan beliau

hadapi. Kemudian beliau diperintah oleh Khalifah Harun ar-Rosyid

supaya tetap di baghdad.

Setelah beliau di baghdad disanalah beliau menyiarkan agama dan

pendapat-pendapat beliau diterima dari segala lapisan. Baik terhadap

rakyat maupun pemerintahan dimana beliau bergaul, bertukar pikiran

dengan ulama-ulama dan sahabat-sahabat imam Abu hanifah, sehingga

dengan pergaulan dan pertukaran pikiran itu, beliau dapat menyusun

pendapat beliau yang pertama (Qaulul Qodim). Kemudian kembali ke

Makkah sampai tahun 198 H.

Kemudian bejalan lagi sampai ke mesir dan disana beliau

menyusun pendapat beliau yang baru (Qaulul Jadid). Katakata syafi‟i

yang sangat perlu menjadi perhatian, terutama bagi ulama‟ yang

65
menyokong dan mengikuti mazhab Imam Syafi‟I ialah‟: “Apabila

Hadist itu sah, itulah mazhabku”.

Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i Metode yang digunakan

oleh Imam Syafi‟i menetapkan hukum adalah memakai dasar yaitu al-

Quran, al-Sunnah, Ijma‟, Qiyas, Istidlal a. Al-Quran dan Dasar al-

Sunnah Imam Syafi‟i menegaskan bahwa al-Quran dan Sunnah

merupakan sumber pertama syariat ia menyetarakan sunnah dengan al-

Quran, karena Rasulullah saw tidak terpikir berdasarkan hawa nafsu

karena sunnah sebagaimana pun adalah wahyu yang bersumber dari

Allah.

Sunnah yang sama darjatnya dengan al-Quran menurut mazhab

Syafi‟i adalah Sunnah Mutawatir, sedangkan Hadits Ahad diterima

oleh Imam Syafi‟i pada posisi sesudah al-Quran dan Hadits mutawatir.

Imam Syafi‟i dalam menerima hadits Ahad sebagai berikut:

a. Perawinya terpecaya, ia tidak menerima hadits dari orang yang

tidak dipercaya

b. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkan

c. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang-

orang yang meriwayatkan kepadanya.

d. Perawinya tidak menyalahi para ahli ra‟yu yang juga

meriwayatkan hadits itu.

Ijma‟ Imam Syafi‟i telah menetapkan ijma‟ sebagai hujjah

sesudah alQuran dan Sunnah sebelum Qiyas. Ijma‟ yang telah

66
disepakati oleh seluruh ulama‟ semasa terhadap suatu hukum.

Tetapi mengenai ijma‟ tidak terkait dengan riwayat dari nabi,

Imam Syafi‟i tidak menggunakan sebagai sumber, sebab seseorang

hanya dapat meriwayatkan apa yang ia dengar, tidak dapat ia

meriwayatkan sesuatu berdasarkan dugaan dimana ada

kemungkinan bahwa nabi sendiri tidak mengatakan atau

melakukan.

Imam Syafi‟i menggunakan ijma‟ berkeyakinan bahwa

setiap sunnah Nabi pasti tidak diketahui oleh sebagian.

Penggunaan ijma‟ sebagai sumber istinbath hukum menurut Imam

Syafi‟i beralaskan bahwa yakin umat tidak akan bersepakat atas

sesuatu kesalahan.

terakhir Qiyas Imam Syafi‟i menggunakan Qiyas apabila

tidak ada nashnya didalam al-Quran, al-Sunnah, atau ijma‟, maka

harus ditentukan dengan qiyas. Istidlal (Istishhab) Maulana

Muhammad Ali dalam bukunya Islamologi mengatakan bahwa

Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari

barang yang lain. Dua sumber utama yang diakui untuk ditarik

kesimpulannya ialah adat kebiasaan dan undang-undang agama

yang diwahyukan sebelum Islam.

c. Mazhab Malikiyah

Namanya Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahy

AlHimyari yang biasa di panggil Abu Abdullah, gelarnya Imam Dar

67
Al-Hijrah. Dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Seorang yang tinggi

tegap, hidungnya mancung, matanya biru, dan jenggotnya panjang.

Baik perangainya, cerdas, cepat hafal dan faham Al-Quran sejak masa

kecilnya.

Merupakan salah satu imam empat dan pemilik madzhab yang

banyak diikuti. Beliau dilahirkan oleh seorang perempuan yang

bernama Aliyah binti Syarik bin Abdurrahman bin Syarik Al-Azdiyah

pada masa kepemimpinan khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Orang

tua Imam Malik harus berada dalam masa penantian yang begitu

panjang untuk sekedar menimang sang Imam kecil. Sebab, Imam

Malik diriwayatkan berada dalam kandungan sang Ibu selama dua

tahun. Bahkan, sang Imam pernah suatu kali mengatakan beliau

dikandung ibundanya selama tiga tahun.

Bapak Imam Malik tidak disebutkan dalam bukubuku sejarah.

Bapak Imam Malik bukan seorang biasa menuntut ilmu walaupun

demikian beliau pernah mempelajari sedikit banyak hadits-hadits

Rosulullah, beliau bekerja sebagai pembuat panah sebagai sumber

nafkah bagi hidupnya dan keluarganya.

Imam Malik adalah salah seorang dari ahli fiqih yang terakhir bagi

kota Madinah dan juga terakhir bagi fuqoha Madinah. Beliau berumur

hampir 90 tahun. Menurut riwayat yang masyhur Imam Malik adalah

Imam Dar al-Hijrah (Madinah al-Munawaroh) dan ulama terkemuka

disana. Beliau dilahirkan pada tahun 93 Hijriah, dan wafat pada tahun

68
179 Hijriah. Penyebaran dan Perkembangan Mazhab Maliki Mazhab

Imam Malik tersebar sangat luas diantaranya Hijaz, Mesir, Basrah,

Tunisia, Sudan hingga ke Andalusia. Mazhab ini juga sempat

berkembang pesat di Baghdad, namun empat ratus tahun setelahnya

kembali melemah. Hijaz negeri asal mazhab sang Imam sekaligus

tempat lahir, bertumbuh, belajar, hingga akhirnya meninggal, tentu

saja menjadi basis pendukung sekaligus perkembangan mazhab Imam

Malik.

Walaupun begitu, mazhab ini juga mengalami pasang surut. Suatu

riwayat bahkan pernah menyebutkan bahwadi Madinah, mazhab ini

sempat tidak memiliki pengikut sama sekali. Namun, ketika dipimpin

oleh Ibnu Farhun, mazhab ini kembali berkembang di Hijaz, tepatnya

yaitu pada tahun 793 H. Sementara itu, di Mesir, mazhab sang Imam

bisa berkembang berkat muridmurid beliau.

Beberapa ahli sejarah berbeda pendapat tentang siapa yang pertama

kali membawa Mazhab Maliki tersebut ke Mesir. Ada yang

mengatakan Ibn AlQasim, namun ada juga yang mengatakan Utsman

bin Al-Hakam. Pastinya, mazhab ini masuk ke Mesir ketika Imam

Malik masih hidup. Mazhab inipun terus hidup dan berkembang di

Mesir sampai Imam Syafi‟i datang dan tinggal disana. Di Tunisia,

sampai saat ini Mazhab Maliki masih menjadi mazhab mayoritas.

Suatu riwayat pernah menyebutkan betapa mazhab ini berkembang

pesat di Tunisia sampai Asad bin AL-Furat datang dan menyebarkan

69
Mazhab Hanafi. Namun demikian, ketika Ibnu Badis muncul, ia

mengajak penduduk Tunisia dan negeri-negeri Magrib yang lain untuk

kembali mengikuti Mazhab Maliki.

Sejak tahun 200 H, Mazhab Maliki pun menjadi mazhab dominan

di Andalusia, menggeser dominasi Mazhab Al-Auzai. Abu Abdullah

Ziyad bin Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan nama

Syabthun diyakini sebagai orang yang membawa dan

menyebarluaskan mazhab sang Imam di wilayah tersebut. Saat ia dan

beberapa orang penduduk Andalusia menunaikan ibadah haji ke

Mekkah pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdurrahman, ia

bertemu sang Imam. Ketika pulang ke negerinya, Syabthun

menyebarkan Mazhab Maliki dan menyebutkan keutamaan imamnya.

Karena itu, mazhab ini myebar cepat di seantero negeri.44

Metode Istinbath Al-Ahkam Mazhab Malikiyah dalam menetukan

hokum adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur‟an. Sebagaimana Imam-imam lainnya, Imam Malik

menempatkan AlQuran sebagai sumber hokum paling utama

dan memanfaatkannya tanpa memberikan prasyarat apapun

dalam penerapanya.

b. Al-Sunnah. Dalam hal ini, Imam Malik mengikuti pola yang

dilakukanya dalam berpegang teguh kepada al-Qur‟an.

Artinya: Jika dalil syara‟ itu menghendaki adanya penta‟wilan,

maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta‟wil.


44
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟ ( Cet.II; Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 1190-199

70
c. Ijma‟ Ahl Madinah Mazhab Imam Malik berpandangan bahwa

karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan

keturunan langsung para sahabat dan Madinah sendiri menjadi

tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun terakhir

hidupnya, maka praktik yang dilakukan semua masyarakat

Madinah pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh

Nabi SAW sendiri. Oleh karenanya Imam Malik menganggap

praktek umum masyarakat Madinah sebagai bentuk Sunnah

yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan,

bukan kata-kata.

d. Fatwa sahabat Ketentuan hukum yang telah diambil oleh

sahabat besar berdasarkan pada Naql.

e. Qiyas Mazhab Imam Malik pernah menerapkan penalaran

deduktifnya sendiri menegenai persoalan-persoalan yang tidak

tercakup oleh sumbersumber yang telah disebutkan

sebelumnya. Namun demikian, ia sangat berhati-hati dalam

melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk

penalaran seperti itu.

f. Istislah (Mashlahah Mursalah) Istislah adalah menegkalkan apa

yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. Yang

dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang

ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para ulama

bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan

71
sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi

persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-

benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya

sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus

bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada

orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu

harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan

Nash atau Ijma.

g. Al-Istihsan Menentukan hukum dengan mengambil mashlahah

sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud

mengutamakan Istidlalul Mursah dari pada Qiyas, sebab

mengunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada

pertimbangan perasaan semata, tetapi mendasarkan pada

Maqashid al-Syari‟ah secara keseluruhan.

h. Sadd al-Zara‟i Menutup jalan atau sebab yang menuju kepada

hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam Malik

menggunakannya sebagai salah satu dasar pengambilan hukum,

sebab semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan

terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan

hukumnya haram.

i. Syar‟u man Qablana Prinsip yang dipakai oleh Mazhab Maliki

dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip ini

72
dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh

Mazhab Malik.

j. Istishab Tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang

atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang

sudah berlaku dan sudah ada dimasa lampau, maka sesuatu

yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas

hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, maka

hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.45

d. Mazhab Hanabilah

Mazhab Hambali atau Al-Hanabilah (bahasa Arab: ‫الحنابلة‬, translit.

al-ḥanābilah) adalah mazhab fikih dalam Islam yang dikemukakan dan

dikembangkan oleh Imam Ahmad bin Hambal atau Imam Hambali.

Nama lengkap Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah

Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani, beliau

dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H/780 M.

Imam Hambali dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya,

karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi, sejak kecil beliau

telah menunjukan sifat dan pribadi yang mulia sehingga menarik

simpati banyak orang dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukan

minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, beliau memulai dengan

belajar menghafal Al-Qur’an.

45
Qomaruddin Shaleh, Ayat-Ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur‟an (Cet.I; Bandung:
Diponegoro, 2002). hlm. 928.

73
Kemudian belajar bahasa Arab, Hadits, sejarah Nabi dan sejarah

para sahabat dan para tabi’in. Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi

ke Basrah untuk beberapa kali di sanalah beliau bertemu dengan Imam

Syafi’i beliau juga menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir diantaranya

guru beliau adalah Yusuf Al-Hasan bin Zaid, Husyaim, Umair, Ibn

Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad bin Hambal banyak

mempelajari dan meriwayatkan hadits dan beliau juga tidak

mengambil hadits kecuali hadits-hadits yang sudah jelas shaihnya.

Oleh karena itu akhirnya beliau berhasil mengarang kitab hadits

yang terkenal dengan kita Musnad Ahmad Hambali dan beliau mulai

mengajar berusia 40 tahun. Pada masa pemerintahan Al-Muktasim-

Khalifah Abbasiyah beliau sempat di penjara, karena sependapat

dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan

pada masa Khalifah Al-Mutawakkil beliau di bebaskan.

Imam Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun atau tepatnya

pada tahun 241 H/855 M. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-

Wathiq, sepeninggal beliau mazhab Hambali 68 berkembang luas dan

menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.

Pada masa pemerintahan Al-Muktasim-Khalifah Abbasiyah beliau

sempat di penjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan

bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan pada masa Khalifah Al-

Mutawakkil beliau di bebaskan. Imam Hambali wafat di Baghdad pada

usia 77 tahun atau tepatnya pada tahun 241 H/855 M.

74
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq, sepeninggal beliau

mazhab Hambali 68 berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab

yang memiliki banyak penganut.46

Ibnu Qayim Al-Jauziyah Muhammad bin Abu Bakar dalam

kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in menuturkan, “fatwa-fatwa Imam

Ahmad bin Hanbal dibangun di atas dasar utama yaitu:

a. Nash-nash atau teks-teks Al-Qur’an dan Hadis. Jika ia

mendapatkan nash ia memberikan fatwa berdasarkan nash

tersebut dan ia sama sekali tidak berpaling pada yang lainnya

yang bertentangan dengannya atau orang yang menentangnya.

b. Diantara dasar pokok fatwa Imam Ahmad adalah fatwa

sahabat. Imam Ahmad mengatakan jika ia mendapatkan fatwa

sahabat dan pada sebagian sahabat yang lain juga ditemukan

fatwa yang tidak bertentangan ia tidak akan berpaling pada

selain fatwa tersebut,

c. Fatwa sahabat yang lebih dekat dan selaras dengan Al-Qur’an

dan sunnah apabila terjadi perbedaan pendapat diantara

mereka, dan ia tidak keluar dari fatwa-fatwa mereka.

d. Hadist mursal dan hadist dha’if jika tidak ada sesuatu yang

menolaknya dan ini yang lebih dikuatkan dan diutamakan

daripada qiyas analogi.

46
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqih Muqaaran, (Penerbit Erlangga, P. T. Gelora Aksara Pratama,
1990), Cet Ke-1, h.

75
e. Qiyas ketika kebutuhan terhadapnya sangat mendesak dharurat

ika Imam Ahmad tidak menemukan nash tidak pula fatwa

sahabat atau salah seorang dari mereka dan tidak ada atsar

mursal maupun dha’if dalam persoalan ini, ia mempergunakan

dasar kelima, yaitu qiyas.47

47
Musthafa Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, (Jakarta ; Pustaka AlKautsar, 2014), h. 190-195

76
BAB VI

LAFADZ SEGI TAKLIFI, PENGERTIAN DILALAH,

TIPOLOGI QAWAIDAH FIQHIYYAH

Disusun Oleh :

HERU ALDI SANTOSO (1209.20.09072)

NURUL QOLBI IKHAWANA (1209.20.09078)

Kata istimbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh


Muhammad bin Ali al-Fayyumi (w. 770 H) ahli bahasa Arab dan fikih, berarti
upaya menarik hukum dari al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan ijtihad. 48 Kaidah
istimbathiyah banyak berkaitan dengan amar, nahyu, ‘am, khas, mutlak, mujmal,
mufasshal.49

A. LAFADZ DARI SEGI TAKLIFI

1. Amar (perintah)

Secara bahasa amr berarti perintah, adapun menurut istilah Amar


adalah tuntutan mengerjakan sesuatu perbuatan dari yang lebih tinggi
derajatnya untuk bawahannya. 50
Menurut mayoritas ulama ushul fiqh, amr adalah suatu tuntutan
(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
48
A. Khisni, Epistemologi Hukum Islam; Sumber dan Dalil Hukum Islam, Metode
Istimbath dan Ijtihad Dalam Kajian Epistemologi Ushul Fiqih, Semarang: Unissula Press, 2012, h.
83.
49
Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam; Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 15.
50
ibid

77
Contohnya Allah memerintahkan hambanya untuk sholat, guru
memerintahkan siswanya untuk membuat tugas mandiri.
a. Bentuk-bentuk amr
Ada beberapa bentuk kata yang telah di rumuskan oleh ahli
bahasa sebagai lafaz yang menunjukan perintah. Bentuk-bentuk
tersebut antara lain:51
1. Fi’il amr
2. Fi’il mudhari yang didahului oleh lam amar
3. Lafaz-lafaz yang mengandung arti perintah
b. Hukum-hukum yang mungkin di tunjukan oleh bentuk amr
1. Menunjukan hukum wajib seperti perintah
2. Untuk menjelaskan bahwa sesuatu boleh dilakukan, seperti
dalam surah Al- muminin ayat 51
3. Sebagai anjuran, seperti dalam surat Al- bakarah ayat 282
4. Untuk melemahkan, misalnya dalam surah Al- bakarah ayat
23
5. Sebagai ejekan dan pehinaan misalnya pirman Allah
berkenaan dengan orang yang di timpa siksa di akhirat
nanti sebagai ejekan atas diri mereka sebagaimana firman
Allah dalam surat Al- dukhan ayat 9
c. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan amr
Ada beberapa kaedah yang berhubungan dengan amr di
antaranya :
1. Pada dasaranya perintah menghendaki hukum wajib
2. Perintah itu pada dasarnya tidak meng hendaki pengulangan
3. Perintah itu pada asalnya tidak menunjukan segera
4. Memerittah sesuatu berarti memerintahkan mediumnya (alat)
dan hukum medium itu sama sama dengan hukum perintah
yang di maksud

51
Yastin Ismityas Septiani, Lafadz Dari Segi Sighat Taklif dan Lafadz Dari Segi
Penggunaannya, 2013, dikutip pada 21 september 2019 pukul 00: 56.

78
5. Perintah dengan sesuatu berarti melarang kebalikannya
6. Perintah yang jatuh setelah larangan maka hukumnya boleh.
2. Nahi (larangan)
Secara bahasa nahi berarti larangan atau mencegah. Adapun dalam
istilah usul fiqh hahi berarti tuntutan untuk meninggalkan. Jumhur ulama
sepakat bahwa pada asalnya nahi mengandung hukum haram karna semua
bentuk larangan akan mendatangkan kerusakan.
Menurut mayoritas ulama usul fiqh mendefinisikan nahi sebagai
larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan
kalimat yang menunjukan atas hal itu. Contohnya larangan merusak alam,
larangan berzina, laranngan melakukan riba. jika larangan-larangan
tersebut dilanggar manusia maka anak mengakibatkan dan kemusnahan
bagi manusia.
a. Bentuk-bentuk nahi
Dalam bahsa Arab bentuk-bentuk larangan (nahi) dapat
diketahui sebagai berikut:
1. Fi’il mudhari’
2. Lafadz-lafadz yang mengandung pengertian haram
Pada dasarnya nahi itu mengandung hukum haram, selama
tidak ada dalil yang memalingkannya. Hal ini didasari oleh
kaidah dasar nahi. Pada dasarnya larangan itu menunjukkan arti
haram.
Seperti laranganan minum khamar, larangan berjudi, dan
larangan membunuh. Jika larangan ini disertai dengan dalil lain,
maka arti nahi itu disesuaikan dengan konteks yang
menyertainya, misalnya:
a) Larangan bermakna makruh, seperti larangan Nabi
untuk sholat di kandang unta.

79
b) Nahi bermakna harapan (doa), seperti berdoa
kepada Allah supaya tidak menghukum karena
kealfaan.
c) Nahi bermakna petunjuk, contoh larangan bertanya
yang bila dijawab akan menjadikan beban.
d) Nahi bermakna menghibur (i’tinas), seperti larangan
bersedih karena Allah selalu bersama orang-orang
yang sabar.
e) Nahi bermakana angan-angan (tamanni), seperti
orang-orang yang berdosa mengharapkan agar
kembali kedunia setelah mati.
f) Nahi berarti biasa (iltimas), misalnya seorang
berkata kepada temannya: “jangan berkunjung ke
rumahku!”
g) Nahi bermakna menjelaskan suatu akibat, seperti
larangan menganggap orang yang gugur dijalan
Allah, tetapi pada hakikatnya mereka itu hidup.
h) Nahi bermakna keputusan (tay’is), seperti larangan
bagi orang kafir untuk diampuni pada hari
peperangan.
b. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan nahi
1. Pada dasarnya larangan itu menunjukkah haram
2. Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.
3. Pada awalnya nahi itu akan mengakibatkan kerusakan
secara mutlak
4. Pada dasarnya nahi itu menghendaki pengulangan
sepanjang masa.

B. Lafal Dari Segi Kandungan Pengertian


1. Lafal Umum (‘Am)

80
Secara bahasa berarti umum, merata, dan menyeluruh. 52 Adapun menurut
istilah ‘am sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim ialah ‘am
adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-
satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.
Muhammad Adib Saleh menyimpulkan lafal umum ialah lafal yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.53 Banyak kata yang menunjukan kata
yang bersifat umum, misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 233:
َ ‫ض ْعنَ أَوْ ال َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَي ِْن لِ َم ْن أَ َرا َد أَ ْن يُتِ َّم ال َّر‬
)٢٣٣(... َ‫ضا َعة‬ ُ ‫َو ْال َوالِد‬
ِ ْ‫َات يُر‬

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun


penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (QS. Al-Baqarah:
233).54
Kata al-Walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup
setiap yang bernama ibu.
a. Pembagian Lafal Umum (‘Am)
Lafal umum seperti dikemukakan oleh Musthafa Sa’id al-
Khin, guru besar usul fikih Universitas Damaskus, dibagi kepada
tiga macam, yaitu:
1) Lafal umum yang dikehendaki keumumannya dikarenakan
ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya
kemungkinan ada takhsis (pengkhususan). Misalnya dalam
al-Qur’an surah Hud ayat 6 .
‫ َويَ ْعلَ ُم ُم ْستَقَ َّرهَا‬b‫ض إِال َعلَى هَّللا ِ ِر ْزقُهَا‬
ِ ْ‫َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي األر‬
)٦( ‫ب ُمبِي ٍن‬ ٍ ‫ َو ُم ْستَوْ َد َعهَا ُك ٌّل فِي ِكتَا‬.

52
Am ialah yang meliputi seluruh objek-objeknya. Lihat: Muchtar Adam, Ulumul Qur’an;
Studi Perkembangan Pesantren Al-Qur’an, Bandung: Ma’rifat Media Utama. 2016, h. 245.
53
A. Khisni, Epistemologi Hukum Islam ... h. 93.
54
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata; Dilengkapi Dengan Azbabun Nuzul dan
Terjemahan, Jakarta: Maghfirah Pustaka. 2009. h. 37.

81
Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata55pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui
tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.56

2) Lafal umum padahal yang dimaksud adalah makna khusus


karena ada indikasi yang menunjukkan makna sepeti itu.
Misalnya dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 120.
‫ب أَ ْن يَتَ َخلَّفُوا ع َْن َرسُو ِل هَّللا ِ َوال يَرْ َغبُوا بِأ َ ْنفُ ِس ِه ْم‬
ِ ‫َما َكانَ أل ْه ِل ْال َم ِدينَ ِة َو َم ْن َحوْ لَهُ ْم ِمنَ األ ْع َرا‬
‫صةٌ فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َوال يَطَئُونَ َموْ ِطئًا‬ َ ‫صبٌ َوال َم ْخ َم‬ َ َ‫ظ َمأ ٌ َوال ن‬
َ ‫ُصيبُهُ ْم‬ ِ ‫ك بِأَنَّهُ ْم ال ي‬ َ ِ‫ع َْن نَ ْف ِس ِه َذل‬
‫ُضي ُع أَجْ َر‬
ِ ‫صالِ ٌح إِ َّن هَّللا َ ال ي‬ َ ِ‫يَ ِغيظُ ْال ُكفَّا َر َوال يَنَالُونَ ِم ْن َعد ٍُّو نَيْال ِإال ُكت‬
َ ‫ب لَهُ ْم بِ ِه َع َم ٌل‬
)١٢٠( َ‫ْال ُمحْ ِسنِين‬

Artinya: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan


orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak
turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula)
bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri
rasul. yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa
kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak
(pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah
orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana
kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang
demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. at-Taubah:
120).57semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
(QS. Huud: 6)

55
Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa. “
Tidaksatu binatang melatapun (dabah) di bumi melainkan Allahlah yang memberi rizkinya”. Yang
dimaksud dengan binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis
binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah
yang memberi rizkinya.
56
Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia
dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat
berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim. Lihat: Ahmad Hatta, Op.Cit., h.
222.
57
Ahmad Hatta, Op.Cit., h. 206.

82
Sepintas lalu dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan
makna umum yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang
Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang
lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun
yang dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah makna umum itu,
tetapi hanyalah orang- orang yang mampu.
3) Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan
bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah
sebagian cakupannya. Misalnya dalam al-Qur’an surah al-
Baqarah ayat 228.
‫ء َوال يَ ِحلُّ لَه َُّن‬bٍ ‫ات يَت ََربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَالثَةَ قُرُو‬ ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
ِ ‫ق هَّللا ُ فِي أَرْ َحا ِم ِه َّن إِ ْن ُك َّن ي ُْؤ ِم َّن بِاهَّلل‬
َ َ‫أَ ْن يَ ْكتُ ْمنَ َما خَ ل‬
‫ك إِ ْن أَ َرادُوا‬ ُّ ‫م اآل ِخ ِر َوبُعُولَتُه َُّن أَ َح‬bِ ْ‫َو ْاليَو‬
َ ِ‫ق بِ َر ِّد ِه َّن فِي َذل‬
‫لرِّجا ِل‬ bِ ‫إِصْ الحًا َولَه َُّن ِم ْث ُل الَّ ِذي َعلَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
َ ِ‫ُوف َول‬
)٢٢٨( ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ِ ‫ َعلَ ْي ِه َّن د ََر َجةٌ َوهَّللا ُ ع‬.
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'.58 tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya.59 dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah: 228).
ُ َ‫( ْال ُمطَلَّق‬al-
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu ‫ات‬bbb
mutallaqat) (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna

58
Quru' dapat diartikan suci atau haidh.
59
al ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
Kesejahteraan rumah tangga (Lihat surat An Nisaa' ayat 34).

83
umumnya itu atau sebagian. Misalnya dalam hal ini, menurut
jumbur ulama usul fikih, seperti dikemukakan oleh Muhammad
Adib Saleh, kaidah usul fikih yang berlaku adalah bahwa sebelum
terbukti ada pentakhsishnya, ayat itu harus diterapkan kepada
semua satuan cakupannya secara umum.
Berkaitan dengan lafal umum, termasuk pembahasan
tentang takhsis. Seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam
bukunya usul al-Figh, takhsis adalah penjelasan bahwa yang
dimaksud dengan suatu lafal umum adalah sebagian dari
cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain,
mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafal
umum dengan dalil. Di antara dalil-dalil pentakhsis dengan
Sunnah dan takhsis dengan qiyas. Lafal umum setelah ditakhsis,
keumumannya menjadi khusus (makna sebagian). Makna sebagian
yang masih tinggal itulah sesungguhnya yang dimaksud oleh ayat
umum semenjak diturunkan atau oleh hadis semenjak diucapkan.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa ayat-ayat al-Qur’an
dan Hadits mutawatir (Hadits yang diriwayatkan sekelompok
orang banyak yang tidak mungkin berbohong), dapat mengtakhsis
ayat-ayat umum dalam al-Qur’an. Demikian pula hadits masyhur
(Hadits yang di masa sahabat adalah hadits yaitu diriwayatkan
oleh perorangan, kemudian menjadi hadits mutawatir pada periode
tabi’in), diakui sebagai pentakhsis, karena dinilai sebagai dalil-
dalil yang sama kuatnya. Perbedaan pendapat terjadi pada Hadits
ahad, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang atau
beberapa orang yang tidak mencapai tingkat Hadits mutawatir atau
Hadits masyhur, apakah sah sebagai pentakhsis atau tidak sah.
Perbedaan pendapat ini diawali dari perbedaan dalam
menilai bobot dalalat (penunjukan) lafal umum kepada seluruh
satuannya. Menurut Abu Hanifah, penunjukan lafal umum kepada
seluruh satuan yang dicakupnya adalah pasti (qath’i).

84
Keqath’iyannya berlaku selama belum terbukti pernah ditakhsis
oleh dalil yang sama bobotnya seperti oleh ayat al-Qur’an, Hadits
mutawatir atau Hadits masyhur.
Aliran ini menggunakan alasan kebahasaan, bahwa suatu
lafal bilamana telah ditetapkan oleh penciptanya untuk seluruh
cakupannya, maka lafal itu menunjuk kepada seluruh satuannya
itu secara pasti, dan dalam pemakaiannya harus sesuai dengan
makna penciptaannya itu, karena makna itulah makna hakikat dari
lafal itu. Jika seseorang bermaksud menggunakan suatu lafal
kepada selain pengertian aslinya itu, maka perlu diiringi dengan
tanda-tanda yang menunjukkan kepada pengertian yang
dimaksudnya itu. Selama tidak ada tanda, maka secara qath’i
(pasti) kita harus memastikannya dengan pengertan hakikatnya
yaitu makna umum. Pengertian seperti inilah. Seperti
dikemukakan Abu Zahrah, yang dimaksud dengan qath’i dari lafal
umum.
Adapun adanya kemungkinan pengertian lain yang tidak
didukung oleh dalil dan hanya didasarkan atas khayal (imaginasi),
tidak mempengaruhi kepastian penunjukan suatu lafal kepada
pengertiannya. Atas dasar itu, kalangan Hanafiyah tidak menerima
Hadits ahad sebagai pentakhsis ayat-ayat umum dalam al-Qur’an.
Alasannya karena antara pentakhsis dan yang ditakhsis harus
seimbang kekuatannya. Sedangkan Hadits ahad tidak seimbang
dengan ayat- ayat umum dalam al-Qur’an. Hadits ahad meskipun
dalamnya bisa qath’i, namun dari segi kebenaran datangnya dari
Rasulullah adalah dhanny (dugaan kuat, tidak mencapai tingkat
pasti). Sedangkan ayat-ayat umum, dalam al-Qur’an baik dari segi
kebenaran datangnya dari Allah maupun dari segi penunjukannya
kepada pengertian umum adalah qath’i.
Berbeda dengan itu, mayoritas ulama secara tegas
mengatakan bahwa lafal umum secara tegas mengatakan bahwa

85
lafal umum terhadap seluruh satuan cakupannya bersifat dhanny,
karena kemungkinan besar ayat-ayat umum itulah pernah ditakhsis
oleh dalil yang sama kuat dengannya. Menurut mereka, berdasrkan
penelitian disimpulkan, bahwa pada umumnya lafal-lafal umum
dalam al-Qur’an terbukti telah ditakhsis, sehingga populer di
kalangan para ahlinya ungkapan bahwa: “ Tidak ada teks yang
umum keculi telah ditakhsis”.

2. Lafal Khusus (Khas)


Seperti dikemuakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang
mengandung suatu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang
terbatas atau lafadz yang menunukkan makna tertentu. 60 Para ulama usul
fikih sepakat, seperti dikemukakan Abu Zahrah, bahwa lafal khas dalam
nash syara’, menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara pasti (qath’i)
dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada
indikasi yang menunjukkan pengertian lain. Contoh lafal khas dalam al-
Qur’an surah al-Maidah ayat 89.
ْ ِ‫فَ َكفَّا َرتُهُ إ‬
...)٨٩(... َ‫ط َعا ُم َع َش َر ِة َم َسا ِكين‬
Artinya: ... Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi
Makan sepuluh orang miskin .... (QS. al-Maidah: 89)
َ ‫‘( ع‬asyarah) dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk
Kata ‫ َر ِة‬bb‫َش‬
bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri
sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain.

3. Mutlaq dan Mukayyad


Secara bahasa kata mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, dan kata
muqayyad berarti terikat.61 Kata mutlaq menurut istilah seperti dikemukakan
oleh Abdul Wahhab Khallaf adalah lafal yang menunjukkan suatu kesatuan
tanpa dibatasi secara harfiyah dengan suatu ketentuan, seperti misriy (artinya

60
Muchtar Adam, Op.Cit., h. 246. Lihat juga: Achmad Yasin, Ilmu Ushul fiqh; Dasar-
Dasar Istimbat Hukum, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2013, h. 212.
61
Ibid., h. 248.

86
seorang Mesir), dan Rajulun (seorang laki-laki), dan sebaliknya lafal
muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafziyah
dibatasi dengan suatu ketentuan. Misalnya, Mishriyun muslimun (seorang
berkebangsaan Mesir yang beragama Islam), dan rajulun rasyid-un (seorang
laki-laki yang cerdas).
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an ada yang bersifat mutlaq dan ada
pula yang bersifat muqayyad. Kaidah usul fikih berlaku di sini adalah bahwa
ayat yang bersifat mutlaq harus dipahami secara mutlaq selama tidak ada
dalil yang membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat muqayad harus
dilakukan sesuai dengan batasan (kaitan) nya. Misalnya mutlaq dalam al-
Qur’an surah al-Baqarah ayat 234.
‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا فَإِ َذا‬
bِ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي أَ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
َ‫ُوف َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُون‬ َ ‫بَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُّن فَال ُجن‬
)٢٣٤( ‫َخبِي ٌر‬
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka62 menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat. (QS. al-Baqarah: 234)
Ayat di atas menegaskan bahwa ‫( أَ ْز َواجًا‬azwajan) atau istri-istri yang
atas kematian suami, masa tuggu mereka (‘iddah) selama empat bulan
sepuluh hari. Kata ‘azwajan’ (istri-istri) tersebut adalah lafal mutlak karena
tidak membedakan apakah wanita itu sudah pernah digauli oleh suaminya
itu atau belum. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa masa ‘iddah
wanita atas kematian suami baik baik telah pernah dipersetubuhi oleh
suaminya itu atau belum adalah empat bulan sepuluh hari.
Contoh muqayyad dalam al-Qur’an surah al-Mujadalah ayat 3 dan 4.

62
Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan. Lihat: Ahmad Hatta, Op.Cit., h.
38.

87
‫ر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَب ِْل أَ ْن‬bُ ‫م ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَالُوا فَتَحْ ِري‬bْ ‫ُون ِم ْن نِ َسائِ ِه‬ bَ ‫َوالَّ ِذينَ يُظَا ِهر‬
‫صيَا ُم َش ْه َري ِْن‬ ِ َ‫) فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬٣( ‫يَتَ َماسَّا َذلِ ُك ْم تُو َعظُونَ بِ ِه َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬
ِ ‫ط َعا ُم ِستِّينَ ِم ْس ِكينًا َذلِكَ لِتُ ْؤ ِمنُوا بِاهَّلل‬ ْ ِ‫ فَ َم ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَإ‬b‫ُمتَتَابِ َع ْي ِن ِم ْن قَب ِْل أَ ْن يَتَ َما َّسا‬
)٤( ‫ين َع َذابٌ أَلِي ٌم‬
bَ ‫ك ُحدُو ُد هَّللا ِ َولِ ْل َكافِ ِر‬
َ ‫َو َرسُولِ ِه َوتِ ْل‬
Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya)
memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan
bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. al-Mujadalah: 3-4).
Ayat di atas, menjelaskan bahwa yang menjadi kifarat zihar
(menyerupakan punggung istrinya dengan punggung ibunya) adalah
memerdekakan seorang hambah sahaya, jika tidak mampu, wajib berpuasa
selama ‫ْن‬bِ ‫( َشه َْر ْي ِن ُمتَتَابِ َعي‬syahrain mutatabi’ain) (dua bulan berturut-turut), dan
jika tidak juga mampu berpuasa, maka memberi makan enam puluh orang
miskin.
Kata‫ ْه َري ِْن‬b ‫( َش‬syahrain) atau dua bulan dalam ayat tersebut adalah
lafal muqayyad (dibatasi) dengan ‫ْن‬bِ ‫( ُمتَتَابِ َعي‬mutatabi’ain) (berturut-turut).
Dengan demikian puasa dua bulan yang menjadi kifarat zihar itu wajib
dengan berturut-turut tanpa terputus-putus.
Permasalahan selanjutnya adalah apabila suatu lafal dalam sebuat
ayat disebut secara mutlaq, dan di ayat yang lain disebut secara muqayyad.
Ulama usul fikih sepakat untuk memperlakuan ketentuan yang terdapat
dalam ayat muqayyad terhadap ayat yang mutlaq bilamana hukum dan
sebabnya adalah sama. Contohnya pada al-Qur’an surah al-Maidah ayat 3.
)٣(... ‫ير َو َما أُ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِه‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬
ْ ‫ُح ِّر َم‬

88
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,63 daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-
Maidah: 3).
Ayat di atas yang menegaskan bahwa diharamkan atas kalian
bangkai, dan al-dam (darah), dan daging babi”. Kata ‫( ال َّد ُم‬al-dam) (darah)
dalam ayat tersebut disebut secara mutlaq tanpa membedakan antara darah
yang mengalir dan darah yang masih tinggal dalam daging sembelihan.
Dengan demikian darah yang diharamkan adalah darah yang
mengalir dari binatang sembelihan, bukan yang masih tinggal di dalam
daging, atau hati. Ulama berbeda pendapat bilamana dua ayat itu sama
hukumnya tetapi berbeda sebabnya. Contohnya, lafal ‘raqabah’ sebagai
kifarat zihar dalam Surat al-Mujadalah disebut secara mutlaq: “fatahriru
raqabatin” (maka wajib memerdekakan seorang hamba sahaya), tanpa
mensyaratkan beriman, sedangkan dalam kifarat pembunuhan bersalah.

C. Lafal Dari Segi Dilalah (penunjukan) Atas Hukum


Dalam pandangan ulama syafi’iyyah, dilalah 64 itu terbagi menjadi dua
macam yaitu mantuq dan mafhum.
1. Mantuq
Mantuq secara bahasa berarti suatu yang diucapkan. Erat
hubungannya dengan pengertian itu mantuq menurut istilah usul fikih
berarti pengertian harfiyah dari suatu lafal yang diucapkan.65
Menurut aliran ini, mantuq dibagi menjadi dua yaitu mantuq sarih
dan mantuq gharu sarih.
a. Mantuq sarih

63
Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam
ayat 145.

64
Dilalah berasal dari bahasam dalalah adalah bentuk bentuk masdar dari kata dalla
yadillu yang berarti yang menunjukkan dan kata dillah sendiri berarti petunjuk. Lihat: Maizul
Imran, Konsentrasi hukum Islam, 2015.
65
Manthuq ialah makna yang ditunuki oleh ucapan itu sendiri atau makna tersurat. Lihat:
Muchtar Adam, Op.Cit., h. 252.

89
Secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas.
Menurut istilah, seperti dikemuakan oleh Mushtafa Sa’id al-Khin, ialah
makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan
penciptanya baik secara penuh atau berupa bagiannya. Misalnya,
firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 3 yang mencantumkan hukum
boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat adil. Jika tidak, wajib
membatasi seorang saja.
‫سا ِء َم ْثنَى‬ َ ِّ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬ َ ‫ط‬َ ‫سطُوا فِي ا ْليَتَا َمى فَا ْن ِك ُحوا َما‬ ِ ‫َوإِنْ ِخ ْفتُ ْم أَال تُ ْق‬
‫الث َو ُربَا َع فَإِنْ ِخ ْفتُ ْم أَال تَ ْع ِدلُوا فَ َوا ِح َدةً أَ ْو َما َملَ َكتْ أَ ْي َمانُ ُك ْم َذلِ َك أَ ْدنَى أَال‬ َ ُ‫َوث‬
)٣( ‫تَ ُعولُوا‬
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil66, Maka (kawinilah) seorang saja67, atau budak-
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisa: 3).

b. Mantuq ghairu sarih


Mantuq ghairu sarih yaitu pengertian yang ditarik bukan dari
makna asli dari suatu lafal, tetapi sebagai konsekuensi dari suatu
ucapan. Mantuq ghairu sarih terbagi kepada tiga, yaitu:
1. Dilalah al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditujukan
langsung oleh suatu lafal, tetapi lewat pengertian logisnya
karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut
suatu lafal atau peristiwa. Misalnya, Hadits riwayat Ahmad dan
Tirmizi dari Sa’id bin zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda : “
Barang siapa yang menghidupkan (mulai mengolah) tanah
66
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
67
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

90
yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. Hadits
tersebut di samping menunjukkan hukum lewat mantuqnya
seperti yang jelas tertulis, juga lewat ‘dilalah al-ima’nya’, yaitu
bahwa aktifitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi
‘illat bagi pemilikan tanah untuknya. Dilalah al-Ima’ menjadi
‘illat bagi pemilikan tanah untuknya. Dilalah al-Ima’ ini adalah
bagian dari ibarat al-nash di kalangan Hanafiyah.
2. Dilalah al-Isyarat, yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan
oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya , tetapi
merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang
ditunjukkan oleh redaksi itu. Oleh karena erat hubungannya
dengan hukum yang jelas dalam mantuq, maka hukum yang
ditarik lewat dalalat al-isyarat ini dianggap sebagai hukum
yang ditunjuk oleh mantuq secara tidak tegas.
Sebagai contoh ayat 15 Surat al-Ahqaaf menjelaskan : “
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada
dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah
payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula),
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan ...”. Dalam ayat 14 Surat al-Luqman dijelaskan pula : “
Dan Kami perintahkan kepada manusia (bebuat baik) kepada
dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun ...”.
Mantuq ayat pertama tadi menjelaskan jumlah masa
kandungan dan jumlah masa menyusukan selama tiga puluh
bulan, dan pada ayat kedua dijelaskan masa menyusui selama
dua puluh empat bulan (dua tahun). Hal itu menunjukkan
(dilalah isyarah) bahwa sisanya yaitu enam bulan adalah masa
minimal dalam kandungan. Kesimpulan bahwa masa minimal
kandungan adalah enam bulan bukan dimaksud oleh turunnya

91
ayat tersebut. Dilalah al-isyarat ini juga dikenal sebagai dalalat
al-isyarat atau isyarat al-Nash di kalangan Hanafiyah.
3. Dalalat al-iqtida’, ialah pengertian kata yang disisipkan secara
tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak
bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan
itu. Contohnya sebuah Hadits Rasulullah menjelaskan : “
Diangkatlah dari umatku bersalah, lupa dan keterpaksaan”.
Hadits tersebut secara leterlek menunjukkan bahwa tersalah,
lupa, dan keterpaksaan diangkat (tidak dicatat benar-benar apa
adanya) dari umat Muhammad SAW. Pengertian tersebut sudah
jelas tidak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk
meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-
ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga dengan demikian
arti Hadits menjadi : “ Diangkatlah dari umatku (dosa atau
hukum) perbuatan bersalah, karena lupa atau karena terpaksa.
Dilalah al-iqtida’ di kalangan jumbur ini juga dikenal dengan
dilalah al-iqtida’ atau disebut iqtida’ al-nash di kalangan
Hanafiyah.

2. Mafhum
Mafhum secara bahasa ialah suatu yang dipahami dari suatu teks,
dan menurut istilah adalah pengertian tersirat dalam suatu lafal (mafhum
muafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan
(mafhum mukhalafah). Mafhum menurut mayoritas ulama usul fikih,
seperti tergambar dalam defenisi di atas dapat dibagi kepada dua macam,
yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah
yaitu penunjukan hukum lewat motivasi tersirat atau alasan
logis di mana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan 68. Contohnya
dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 10.
68
Dengan pengertian lain yaitu adanya penyesuaian antara ungkapan tersurat denga
tersirat. Lihat: Muhchtar Adam, Op.Cit., h. 254.

92
‫م نَارًا‬bْ ‫إن الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ أَ ْم َوا َل ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما إِنَّ َما يَأْ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِه‬
َّ
)١٠( ‫َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِعيرًا‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka). (QS. an-Nisa: 10)
Mantuq dari ayat tersebut menunjukkan haram memakan harta
anak yatim di luar ketentuan hukumnya. Segera dapat diketahui bahwa
alasan larangan tersebut adalah karena tindakan itu mengakibatkan
lenyap atau rusaknya harta anak yatim. Lewat mafhum muwafaqah
tanpa melakukan ijtihad diketahui bahwa setiap tindakan yang bisa
melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu,
membakar, dan sebagainya, adalah haram hukumnya. Mafhum
muwafaqah di kalangan jumbur ini dikenal dengan dalalat al-nash di
kalangan Hanafiyah.

b. Mafhum mukhalafah
Menurut jumbur ulama usul fikih, seperti dinukil oleh Mustafa
Sa’id al-Khin adalah menunjukkan lafal atas tetapnya hukum
kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan.
Mafhum mukhalafah didapati pada obyek hukum yang dikaitkan
dengan sifat, syarat, batasan waktu, atau jumlah bilangan tertentu,
sehingga hukum sebaliknya menurut mayoritas ulama usul fikih secara
sah dapat ditarik bilamana obyek hukum itu terlepas dari berbagai
kaitan tersebut.
Berbeda dengan itu, kalangan Hanafiyah menolak mafhum
mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum. Alasan mereka
antara lain, bahwa dapat dibuktikan dalam al-Qur’an di mana apabila
mafhum mukhalafah difungsikan, akan rusaklah pemahaman ayat
hukum. Misalnya ayat 130 Surat Ali ’Imran : “ Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda ...”.
Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut berarti halalnya riba yang tidak

93
berlipat ganda, namun pemahaman seperti itu adalah keliru, karena
riba yang tidak berlipat gandapun haram hukumnya.

D. Lafal Dari Segi Kejelasan Arti


Kalangan Hanafiyah seperti dijelaskan Adib Shahih membagi lafal dari
segi jelas dan tidak jelasnya menjadi beberapa bagian:
1. Lafal yang jelas dilalahnya
a. Zahir
Zahir secara bahasa al-wuduh (jelas), sedangkan menurut istilah,
menurut jumhur ulama Ushul Fiqh dikemukakan oleh Abdul Wahab
Khallaf ialah lafal yang menunjukkan arti secara langsung dari nas itu
tanpa memerlukan penyerta lain yang datang dari luar untuk
memahami maksud nas itu. Akan tetapi bukan pengertian itu yang
menjadi maksud utama dari pengucapannya. Karena terdapat
pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak yang
mengucapkannya maka kata zahir sangat dimungkinkan untuk
menerima takhsis, ta’wil dan naskh.
b. Nas
Secara bahasa nas berarti al-zuhur (jelas). Secara istilah nas bisa
memiliki dua pengertian yaitu pengertian umum dan khusus,
pengertian pertama sebagaimana dikemukakan oleh imam Syafi’i, nas
adalah teks al-Qur’an dan Hadits Rasulullah baik yang tegas maupun
yang tidak tegas. Nas dalam pengertian kedua (khusus), yaitu lafal
yang menunjukkan arti yang asli yang muncul dari lafal itu secara
jelas, tidak mungkin mengandungn makna lain, pengertiannya cepat
ditangkap melalui lafal itu.
Dilihat dari segi dilalahnya nas dilihat dari segi zahir, oleh karena
itu jika teradi pertentangan antara nas dan zahir maka yang
dimenangkan adalah nas untuk diamalkan. Namun demikian menurut

94
Abu Zahra nas bisa menerima ta’wil sebagaimana zahir bisa menerima
nasakh.
c. Muffasar
Muffasar menurut ulama Ushul Fiqh adalah lafal yang
menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan terperinci dan tidak
mungkin menerima ta’wil (dipalingkan maknanya). Lafal muffasar
dibagi menadi dua:
1) Lafal yang maknanya jelas dan terperinci dari semua tanpa
memerlukan penjelasan.
2) Lafal yang pada mulanya adalah mujmal atau dalam bentuk global
kemudian dari pembuat syari’at sendiri datang penjelasan yang
merincinya sampai jelas bisa diamalkan.
d. Muhkam
Muhkam69 adalah lafal yang menunjukkan maknanya secara jelas
tertutup kemungkinan untuk di ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang
dikandungnya tertutup pada kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh)
oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkan tidak menerima
pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang
tidak berlaku padanya nasakh. Misalnya kewajiban menyembah Allah.

E. Lafal Dari Segi Tidak Terangnya Arti


1. Lafal Yang Tidak Jelas Dilalahnya
a. Khafi
Khafi yaitu lafal yang maknanya jelas tetapi ketika ditetapkan
kepada kasus tertentu menimbulkan ketidak jelasan. Untuk
menghilangkan ketidak jelasan itu dibutuhkan pemikiran dan analisi.
Lawan dari khafi adalah zahir.
b. Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidak
jelasan itu disebabkan oleh lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian
69
Muhkam diambil dari kata ahkama dan hukama yang kadang-kadang berarti kuat atau
kokoh dan kadang-kadang berarti mencegah dari kerusakan. Lihat: Muhchtar Adam, Ibid., h. 103.

95
yang berbeda sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang
dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil-dalil luar
seperti lafal musytarak.

c. Mujmal
Mujmal adalah lafal yang mencakup kemungkinan segala keadaan
dan hukum yang terkandung di dalamnya. 70 Lafal mujmal tidak dapat
diketahui secara jelas tanpa adanya mubayyan (penelasan). Jika terdapat
lafal mujmal dalam al-Qur’an maka sunah berfungsi untuk
menjelasknnya. Sunah dimaksud dapat berupa perkataan atau perbuatan.
d. Mutasyabih
Mutasyabih adalah lafal tidak jelas maknanya dan tidak ada
indikator dari luar yang menjelaskan maknanya. Yang mengetahui
hakikatnya hanyalah pembuat syari’ah yaitu Allah SWT.71

F. Tipologi Qawaidah Fiqhiyyah


Kiadah fiqih merupakan istilah yang digunakan ulama fiqih untuk
pengembangan cakupan suatu hukum. Ada beberapa definisi kaidah fiqih yang
dikemukakan para ulama. Tajuddin As-Subki, seorang ulama dari mazhab
Syafii mengatakan, kaidah fiqih adalah suatu acuan umum yang dapat
diterapkan untuk mengetahui hukum dari kebanyakan persoalan parsial.
Sa’aduddin Mas’ud bin Umar At-Taftazani mengatakan, kaidah fiqih adalah
ketentuan umum yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum persoalan-
persoalan parsial. Perbedaan definisi tersebut terletak pada cakupannya.
Menurut As-Subki, tidak semua persoalan parsial dicakup oleh kaidah itu.
Karena itu, dalam definisinya ia menyebutkan “kebanyakan persoalan
parsial”. Definisinya ini banyak diikuti oleh para ahli fiqih. Adapun definisi
At-Taftazani tidak membatasi persoalan parsial yang dapat dicakup oleh kaidah
fiqih. Nama lain dari qawaid fiqhiyah adalah al-asybahah wan nazhair, yang
70
Dalam pengertian lain mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas dan belum dapat
dimengerti arti yang sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menelaskannya. Lihat:
Muchtar Adam, Ibid., h. 251.
71
Ibid., h. 104.

96
artinya kemiripan dan kesejajaran. Kaidah fiqih merupakan ketentuan yang
bisa dipakai untuk mengetahui hukum tentang kasus-kasus yang tidak ada
aturan pastinya di dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun ijmak sehingga lahirlah
fiqih baru. Prosedur untuk mendapatkan fiqih baru ini disebut dengan ilhaq,
yaitu semacam proses kias yang contohnya tidak didapatkan dari sumber
wahyu, melainkan dari fiqih yang sudah jadi.

Sejarah Munculnya Qawaid Fiqhiyah


Kaidah fiqih yang disusun oleh para ahli fiqih tidak muncul sekaligus,
sebagaimana sebuah undang-undang disusun, melainkan secara bertahap melalui
proses dan pemahaman terhadap hukum yang dikandung oleh teks suci. Kaidah
fiqih yang paling awal ditemukan dalam tulisan dan ungkapan para ulama fiqih
abad ke-2 hijriyah. Namun, tidak dapat diketahui siapa penyusun pertama kaidah
fiqih itu. Adapun kaidah fiqih sebagai salah satu ilmu tersendiri baru muncul abad
ke-4 hijriyah yang tersebar dalam mazhab fiqih.
Mazhab yang paling awal mengetrapkan kaidah fiqih adalah mazhab
Hanafi. Imam Abu Tahir Ad-Dibas, tokoh mazhab Hanafi yang hidup pada akhir
abad ke-3 sampai awal abad ke-4 hijriyah, telah mengumpulkan kaidah dasar
dalam mazhab Hanafi. Dengan demikian, kajian fiqih secara sistematis
mendahului munculnya kaidah fiqih sebagai ilmu.

Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dan Qawaid Ushuliyah


Perbedaan kaidah fiqih dan kaidah ushul perlu dijabarkan untuk
mengetahui peranannya masing-masing dari berbagai aspeknya. Perbedaan di
antara keduanya dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:
1. Aspek materi
Perbedaan dari aspek materi, kaidah ushul terdiri dari tiga perkara;
pertama, ilmu kalam, kedua, bahasa Arab, dan ketiga, gambaran hukum
syarak. Sedangkan kaidah fiqih terdiri dari tiga perkara juga; pertama,
dalil syar’i, kedua, tujuan umum syariat, dan ketiga, hukum furu’ yang
memiliki kemiripan.
2. Aspek keterikatan

97
Perbedaan dari aspek keterikatan, kaidah ushul terikat dengan dalil
tasyri’ (perundang-undangan). Sedangkan kaidah fiqih terikat dengan
perbuatan-perbuatan mukalaf.
3. Aspek penggunaan
Perbedaan dari aspek penggunaan, kaidah ushul digunakan dalam
hal penetapan hukum syarak, penetapan dalil hukum syarak dan
penetapan cara menggali hukum dari dalil syarak.Sedangkan kaidah
fiqih digunakan sebagai acuan umum berbagai permasalahan yang
dibahas dalam fiqih dalam satu payung hukum.
4. Aspek kegunaan
Perbedaan dari aspek kegunaan, kaidah ushul secara khusu berguna
bagi mujtahid yang dapat digunakan ketika menggali hukum syarak dari
dalilnya. Sedangkan kaidah fiqih berguna bagi mujtahid, hakim, mufti
dan guru, karena kaidah umum untuk berbagai kasus hukum (furu’)
secara mudah dapat dikembalikan pada kaidah fiqih tersebut.
5. Aspek keterdahuluan
Perbedaan dari aspek keterdahuluan, kaidah ushul lebih dahulu
muncul sebagai sumber dalam mendasarkan hukum dan penggaliannya.
Sedangkan kaidah fiqih lebih akhir kemunculannya sebagai persetujuan
terhadap hukum yang ditetapkan dan sebagai pengikat bagi persoalan-
persoalan yang berbeda-beda.
6. Aspek ketergantungan di antara keduanya
Perbedaan dari aspek ketergantungan di antara keduanya, kaidah
ushul tidak tergantung dengan kaidah fiqih, sedangkan kaidah fiqih
tergantung pada kaidah ushul.

98
BAB VII

LAFAZ SEGI SYARI’AH (TERANG ATAU TIDAK), KAIDAH


POKOK 1 AL UMURU BI MAQASHIDIHA SETIAP PERKARA
TERGANTUNG PADA NIATNYA

Disusun Oleh :

DHIANI PUTERI FATHMADANI (1209.20.09070)

1.1 LAFAZ SEGI SYARIAH (TERANG ATAU TIDAK)

A.Lafadz Dzahir dan Lafadz Khafy


Secara garis besar,lafadz dari kejelasan artinya, terbagi kepada
duamacam:Pertama,lafadz yang telah terang artinya dan jelas penunjukannya
terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum
dapat ditetapkan tanpa memerlukanpenjelasan dari luar.Kedua,lafadz yang belum
terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud
kecuali denganpenjelasan dari luar lafadz itu.
1.Lafadz yang Terang
artinya terbagi kepada empat tingkat yang kekuatan dari segi kejelasan
artinya berbeda. Hal ini dapat dikategorikan ke dalam: jelas, lebih jelas, sangat
jelas dan paling jelas. Urutan keempat tingkatan itu adalah :
a.Zhahir (‫)الظاهر‬
b.Nash ( ّ‫) النص‬
c.Mufassar (‫)المفسّر‬
d.Muhkam (‫)المحكم‬
Para pakar Ushul Fiqhberbeda pendapat dalam hal pembedaantingkat antara
zhahir dan nash,yaitu :

99
a. Kalangan ulama Hanafiah membedakan antara tingkatan zhahir dengan
nash.
b. Sebagian ulamaMalikiyah Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak membedakan
antara tingkatan nash dengan zhahir. Keduanya dipandang dalam
kekuatan yang sama.
c. Sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah membedakan
keduanya,yaitunashadalah tidak mengandung kemungkinan-
kemungkinandalam penunjukannya, sedangkan zhahir dalam
penunjukan terhadap artinya mengandung beberapa kemungkinan.
Bertolak dari adanya perbedaan pendapat antara nash dan zhahi
rtersebut, di bawah ini akan diuraikan penjelasan tentang keempat tingkatan
lafadz tersebut.
a. Zhahir (‫)الظاھر‬
Dalam memberikan definisi terhadap lafadz zhahir terdapat
rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul.
1. Al-Sarkhisi secara sederhana memberikan definisi:
‫مايفهم المراد منه بنفس السماع من غير تأ ّمل‬
Terjemahnya :
Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa
pemahaman yang mendalamdapat diketahui apa sebenarnya
yang dimaksud oleh pembicara dengan lafadz itu ”.
Mudahnya memahami sesuatu yang bersifat zhahir itu adalah karena
penggunaan bahasa memang ditujukan untuk itu.Hal ini dapat dilihat
dari definisi yang dikemukakan Al-Amidi berikut ini.
2. Al-Amidi memberikan definisi
‫اللفظ الظاهر ما د ّل على المعنى بالوضعاألصلى أو العرفى ويحتمل‬
‫غيرهاحتماال مرجوحا‬
Terjemahnya :
“ Lafadz zhahir adalah sesuatuyang menunjuk kepada
maknayangdimaksud denganberdasarkan apa yang digunakan oleh

100
bahasa menurut sal dan kebiasaannya, serta ada kemungkinan
dipahami darilafadzituadanya maksud lain dengan kemungkinan
yang lemah “.
3. Qadhi Abi Ya’la merumuskan definisi
‫مااحتمل معنيين أحدهما أظهرمن اآلخر‬

Terjemahnya :
“ Lafadz yang mengandung dua kemungkinan makna, namun
salah satu diantara keduanya lebih jelas “.
4. Definisi yang tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh
AbdulWahab Khalaf:
‫ما د ّل بنفس صيغته على المراد منهمن غير توقف فهم المراد منه إلى أمر‬
‫ منه هو المقصود من السياق ويحتمل التأويل‬b‫ ولم يكنالمراد‬b‫خارجى‬
Terjemahnya :

“ Lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa


yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafadz
lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta
ada kemungkinan untuk dita’wilkan(dipahami dengan maksud lain)
“.

Contoh lafadz zhahir adalah firman Allah dalam suratal-


Baqarah(2): 275:

‫ الربا‬b‫وأح ّل اﷲ البيع وح ّرم‬

Terjemahnya:

“ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “.

Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu
hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah
yang lebih mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa
memerlukan qarinah yang menjelaskannya. Meskipun demikian

101
ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan halalnya
jual beli dan haramnya riba sebagaimana yang dapat dipahami dengan
mudah, tetapi ayat itu untuk membantah anggapan orang munafik
waktu itu yang menyatakan riba itu sama hukumnya dengan jual beli.
Maksud sebenarnya dari ayat tersebut dapat diketahui dari latar
belakang diturunkannya (Asbab al-Nuzul) ayat itu.

Contoh dalam surah al-ahsyar ayat 7

‫ب َشد ْي ُد هّٰللا‬
َ ِ ‌ِ ‫ۡال ِعقَا‬
Terjemahannya :

“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah.


Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras
hukuman-Nya “.

Ayat tersebut begitu jelas artinyayaitu keharusan menaati apa


yang disuruh Rasul baik mengenai apa yang disuruhnya dan apa yang
dilarangnya, karena inilah yang mudah dipahami secara cepat
(mudah).Namun maksud sebenarnya dari ayat tersebut adalah
keharusan menerima apa-apa yang diberikan Nabi sehubungan dengan
harta rampasan perang dan tidak menolak pemberian Rasul, serta
menjauhi apa yang tidak disenangi Rasul.

Ketentuan yang menyangkut lafadz zhahir adalah bila


berhubungan dengan hukum, maka wajib mengamalkan hukum
menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain
dari lafadz itu. Pemahaman lafadz tidak menurut apa yang dipahami
menurut zhahir lafadz itu, di kalangan ahli ushul fiqh disebut
dengan“ta’wil”(‫)التأويل‬.

102
b.Nash ( ّ‫) النص‬

Pengertian nash disini tidak berarti dalil syara’ dalam


bentuktertulis seperti Al-Qur’an atau hadis dan bukan pula nash dalam
arti fiqh mazhab yaitu qaul(pendapat) imam mujtahid yang dijadikan
dasar berijtihad bagi pengikut mazhab, tetapi kedudukan lafadz dari
segi penjelasan artinya.

Para ulama mengemukakan definisi yang berbeda tentang lafadz


nash:
1. Definisi nash menurut al-Uddah:

‫ماكان صريحا فى حكم من األحكام وإن كان اللفظ محتمال فى غيره‬


Terjemahnya :
“ Lafadz yang jelas dalam hukumnya meskipun lafadz itu
mungkin dipahami untuk maksud lain “.

Meskipun arti dari suatu lafadz sudah cukup jelas, namun masih
mengandung kemungkinan adanya makna lain walaupun tingkat
kejelasan makna lain itu agak lemah.Al-Sarkhisi menganggap lafadz
nash itu lebih jelas dari zhahir karena disertai qarinah yang datang dari
lafadz si pembicara, dan jika tanpa qarinah tersebut, maka lafadz itu
tidak akan begitu jelas.

1. Ulama Hanafiyah yang membedakan antara zhahir dengan nash


memberikan definisi terhadap nash,sebagai berikut:
‫هو ماد ّل بنفس صيغته على المعنى المقصود أصالة على سيق له ويحتمل‬
‫التأويل‬
Terjemahnya :

103
“ Lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan
makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang
diungkapkan, dan ada kemungkinan dita’wilkan “.

Contoh lafadz nash adalah firman Allah dalam surat al-


Baqarah(2):275:

Terjemahnya:
“ Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “.
Secara nash,ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan
perbedaannyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap
pendapatorang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari
ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah
sangat jelas,namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain
bahkan dalam arti yang lebih jelas yaitu halalnya hukum jual beli dan
haramnya hukum riba.Pemahaman menurut cara terakhir ini disebut
pemahaman secara zhahir.
Contoh lain adalah surat al-Hasyr(59): 7:

‫ب َشد ْي ُد هّٰللا‬
َ ِ ‌ِ ‫ۡال ِعقَا‬
Terjemahannya :

“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan


apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras
hukuman-Nya “.

104
Ayat ini secara nash bertujuan untuk menyatakan keharusan
mengikuti petunjuk Rasul tentang pembagian harta rampasan, baik yang
dibolehkan maupun tidak. Karena untuk maksud inilah ayat tersebut
diturunkan menurut “asalnya”, yang dapat dipahami artinya secara
zhahir, bahwa kita wajib mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan
menghentikan apa yang dicegah Rasul untuk mengerjakannya.Dari dua
contoh di atas terlihat bahwa kedua ayat yang mempunyai arti “asal” itu
dapat pula dipahami dengan maksud lain, yang disebut ta’wil.Hal ini
berbeda dengan pandangan sebagian ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
yang membedakan antara nash dengan zhahir; dari segi zhahir ayat itu
menerima ta’wil, sedangkan dari segi nash tidak menerima ta’wil.

Nashitu dalam menunjukkannya terhadap hukum adalah lebihkuat


dibandingkan denganzhahir,karena penunjukan nash lebih terang dari
segi maknanya.Nash itulah yang dituju menurut ungkapan
“asal”,sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang
mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara
langsungitu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna
lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat
pertentangan makna antara nash dengan zhahir dalam penunjukannya,
maka didahulukan yang nash.Sehubungan dengan ini bila terdapat
pertentangan antara arti umum dengan arti khusus, maka yang harus
didahulukan pengalamannya adalah yang berdasarkan arti khusus,
karena arti khusus inilah yang dimaksud menurut asal mulanya,
sedangkan arti yang umum, meskipun memang dimaksud pula, tetapi di
dalam kerangka pengalaman seluruhsatuan arti (afrad) nya.

c.Mufassar (‫)المفسّ ر‬
Dengan ditempatkannya al-mufassarini pada urutan
ketiga,menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Ada

beberapa definisi tentang mufassar, di antaranya:


1.Al-Sarkhisi memberi definisi:

105
‫هواسم للمكشوف الذي يعرف به مكشوفا على وجه اليبقى معه احتمال‬
‫التأويل‬
Terjemahnya:
“ Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya
secara terbukadalam bentuk yang tidak ada kemungkinan
mengandung makna lain “.
2.Definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf:
‫ما د ّل بنفس صيغته على معناه المفصّل تفصيال بحيث ال يبقى معه اختمال‬
‫للتأويل‬

Terjemahnya :
“ Suatu lafadz dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk
kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya sehingga tidak
dapat dipahami adanya maknalain dari lafadz tersebut “.
Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui bahwa
hakikatlafadzmufassar adalah:
a.Penunjukannya terdapat maknanya jelas sekali.
b.Penunjukannya itu hanya darilafadznya sendiri
tanpamemerlukan qarina dari luar.
c.Karena jelas dan terinci maknanya, maka tidak mungkin
dita’wilkan Mufassar itu ada dua macam.
1) Menurut asalnya,lafadz itu memang sudah jelas dan
terincisehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut.
2) Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan
kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian
dating dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia
menjadi jelas. Lafadz seperti itu, juga disebut
dengan“mubayyan” (‫)المبين‬

106
Lafal mufassar itu dari segi petunjuknya terhadap makna yang
dimaksudkan lebih jelas dari lafal nash dan lafal dzahir,karena lafalnya
memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya
yang terinci, sehingga menjadi kan mufassar tidak mungkin untuk
dita’wil danapa yang dituju menjadi terang. Karena penjelasan mufassar
itu lebih kuat dari nash atau dzahir, bila terjadi perbenturan pemahaman
antara keduanya, maka harus didahulukan antara keduanya, maka harus
didahulukan yang mufassar. Umpamanya sabda Nabi:

‫ لك ّل صالة‬b‫ضأ‬
ّ ‫المستحاضة تتو‬

Terjemahnya :
“ Perempuan yang mustahahah harus berwudhu pada setiap
shalat “.
Hadis ini merupakan nash yang menunjukkan kewajiban
perempuan mustahadhah (mengeluarkan darah setiap melahirkan, atau
diluar waktu haid) untuk berwudhu setiap melakukan shalat karena
itulahyang dipahami dari lafalnya dan yang dituju dari ungkapannya.
Namun hadis ini mengandung kemungkinan untuk berwudhu pada
setiap shalat meskipun dilakukan beberapa shalat selama dalam waktu
itu, atau berwudhu’ untuk setiap kali shalat.
Pemahaman hadis diatas berbeda dengan sabda Nabi dalam hadis
lain yang bunyinya:
‫ لوقت ك ّل صالة‬b‫ضأ‬
ّ ‫المستحاضة تتو‬
Terjemahnya :
“ Perempuan yang mustahadhah harus berwudhu setiap kali
masuk waktu shalat “.
Hadisini secara jelas menunjukkan keharusan berwudhu untuk
setiap waktu shalat dan tidak mengandung arti untuk setiap akan
melakukan shalat, meskipun selama satu waktu shalat. Dengan adanya
hadis yang mufassar ini, maka hadis yang berbentuk nash di atas tidak
diamalkan lagi.

107
d.Muhkam (‫)المحكم‬
Lafal yang muhkam ialah:
‫ داللة واضحة بحيث ال يقبل‬b‫ما د ّل بنفس صيغته على معناه الوضعي‬
b‫اإلبطال والتبديل والتأويل‬
Terjemahnya :
“ Suatu lafal yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk
kepada maknanyasesuai dengan pembentukanlafalnya secara
penunjukkan yang jelas, sehinggatidak menerima kemungkinan
pembatalan, penggantian maupun ta’wil “.
Lafal muhkam berada pada tingkat paling atas dari segi
kejelasanartinya, karena lafal ini menunjukkan makna yang dimaksud
sesuai dengan kehendak dalam ungkapan si pembicara. Tidak
menerimanya lafal muhkam itu akan pembatalan atau nasakh,terkadang
disebabkan oleh teks lafal itu sendiri yang menghendaki demikian.
Umpamanya firman Allah dalam suratan-Nur(24): 4:
‫اَبَد ًۚا َشهَا َدةً لَهُ ْم تَ ْقبَلُوْ ا َّواَل‬
Terjemahnya:
“ Jangan kamu terima dari mereka kesaksianselama-lamanya “.
Kataً‫( أبدا‬selama-lamanya) yang tersebut dalam ayat ini
menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk
selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Contoh lain adalah sabda Nabi Muhammad:
‫لجهاد ماض إلى يوم القيامة‬

Terjemahnya :
“ Jihad itu berlaku sampai hari kiamat “
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan
tidakmungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu.Tidak
menerimanya muhkam terhadap kemungkinan nasakh,terkadang karena

108
Nabi (pembawa syara’) telah meninggal dan tidak ditemui keterangan
bahwa hukuman yang berlaku itu telah dinasakh.
dari uraian diatas jelas bahwamuhkamitu ada dua macam, yaitu:
1.Muhkam lizatihi(‫ )المحكم لذاته‬atau muhkamdengan sendirinya bila
tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu
disebabkan oleh nasakh(teks) itu sendiri. Tidak mungkin
nasakh muncul dari lafalnya dan diikuti pula oleh penjelasan
bahwa hukum dalam lafalnya dan diikuti pula oleh penjelasan
bahwahukumlafadzitu tidak mungkin dinasakhi.
2.Muhkam ligharihi(‫يره‬bb‫)المحكم لغ‬, ataumuhkamkarena faktor luar
bilatidak dapatnya lafadz itu dinasakh bukan karena naskh atau
teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada naskh yang
menaskhnya. Lafadz dalam bentuk ini dalam istilah ushul
disebut lafadz qath’i(‫ )قطعى‬penunjukkannya terhadap hokum.
Ketentuan tentang lafadz muhkam bila menyangkut hukum,
adalah wajib hukum itu secara pasti dan tidak mungkin dipahami dari
lafadz tersebut adanya alternatif lain, serta tidak mungkin pula dinasakh
oleh dalil lain. Penunjukan lafadz muhkam atas hukum lebih kuat
dibandingkan dengan tiga bentuk lafadz sebelumnya, sehingga bila
benturan pemahaman antara lafadz muhkam dengan lafadz yang
lain,maka harus didahulukan yang muhkam dalam pengamalannya.

2.Lafadz yang Tidak Terang


Artinya Lafadz yang tidak terang artinya (‫ )غير وضوح المعنى‬terbagi kepada 4
macam tingkat dalam hal ketidakjelasan pengertiannya, yaitu: tidakterang; lebih
tidak terang; sangat tidak terang; dan paling tidak terang. Penjelasannya adalah
sebagai berikut:

a.Khafi (‫)الخفى‬
Lafadz khafi ialah:
‫ما خفى معناه فى بعض مدلوالته لعارض غير الصيغة‬

109
Terjemahnya :
“ Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan
(dilalah) nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat
lafadz “.
Lafadz khafiitu sebenarnya dari segi lafadz menunjukkan arti yang
jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian lin dari
satuanartinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu
diperlukan penalaran dan ta’wil.
Sumber kesamaran dalamlafadzitu disebabkan karena dalamsalah
satu satuan artinya(afradnya)mengandung sifat tambahan dibandingkan
dengan satuan arti yang lainnya. Bisa juga karena kurang sifatnya atau
karena mempunyai nama khusus (tersendiri). Karena ada kelebihan atau
kekurangan sifat itu atau ada nama khusus itu,menyebabkan artinya
diragukan. Kesamaran arti lafadz itu dihubungkan dalam konteks satuan
arti tersebut.
Contoh lafadz khafi ini adalah lafadz‫( السارق‬pencuri) dalam firman
Allah, surat al-Maidah(5):4:
‫ ا أيديهما‬b‫والسارق والسارقة فاقطعو‬
Terjemahnya;
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan
keduanya “.
Lafadz‫ارق‬bbb‫ الس‬itu sendiri sebenarnya cukup jelas, yaitu “orangyang
mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat
penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”. Penerapan hukuman
terhadap pencuri dengan arti tersebut juga jelas. Namun lafadz“pencuri” itu
mempunyai satuan arti (afrad) yang banyak, yaitu pencopet,perampok,
pencuri barang kuburan dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan
sifat atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti diatas.
Apakah sanksi hukuman potong tangan diberlakukan terhadap semua
satuan arti itu. Disinilah timbul kesamaran tersebut.

110
Umpamanya “pencopet”, ia mengambil harta milik orang lainbukan
dengan cara sembunyi, tetapi dengan cara terang-terangan melaluisuatu
cara yang memerlukan keterampilan dalam kecepatan bertindak.“Pencopet”
berbeda dengan “pencuri” karena “pencopet” memiliki kelebihan sifat yaitu
keberanian dan kecepatan bertindak, sehingga dinamai khusus dengan
“pencopet”. Apakah lafadz“pencuri” dapat pula mencakup dengan arti
“pencopet” untuk dikenai sanksi potong tangan atau tidak, atau hanya
diberlakukan hukuman ta’zir.
Contoh lafadz khafi yang kekurangan sifat, umpamanya
lafadz“nasaby”(pencuri kain kafan atau barang kuburan). Barang yang
dicuri dalam hal ini adalah kain kafan yang pada dasarnya tidak diminati
dan tidak menjadi milik siapa-siapa. Apakah pencuri barang kuburan ini
termasuk dalam arti “pencuri” dalam hal penerapan sanksi potong tangan.
Para ulama berpendapat dalam hal menganggap kedua nama khusus itu
(pencopet dan pencuri barang kuburan) sebagai “pencuri”dalam hal
penerapan hukuman potong tangan terhadap pencurian, karena keduanya
telah menggunakan nama tersendiri meskipuntermasuk dalam arti pencuri
secara umum.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak
diperlakukannashlafadzyang mewajibkan sanksi pencurian kepada
“pencopet” dan“pencuri barang kuburan” karena “pencurian” tidak berlaku
padakeduanya. Pendapat Abu Hanifah itu disetujui oleh
pengikutnya,Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani.
Pengikut Abu Hanifah yang lain (Abu Yusuf), juga Imam Malikdan
Imam Syafi’i serta Imam Ahmad bin Hambal berpendapat
bahwa“pencopet” dan “pencuri barang kuburan” itu termasuk dalam
artiumum dari “pencuri” karenalafadz“pencuri” mencakup keduanya.Oleh
karena itu sanksi yang berlaku terhadap “pencuri” berlaku pulaterhadap
“pencopet” dan “pencuri barang kuburan”.
b. Musykil (‫)المشكل‬
Lafadz musykil ialah:

111
‫ما خفى معناه بسبب فى ذات اللفظ‬
Terjemahnya :
“ Suatu lafadz yang samar artinya, disebabkan oleh lafadz
itu sendiri “.
Ada definisi yang memberikan penjelasan terhadap defenisi diatas,
yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak
menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya diperlukan qarinah dariluar
yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafadz tersebut.Sumber
kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena
lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang
sebenarnya sehingga tidak dapat dipahami artinya dari semata-mata hanya
melihat kepada lafadzitu.
Lafadz musytarak(‫)المشترك‬termasuk kedalam bentuk ini. Mungkin
pula ketidak jelasan lafadz itu karena ada pertentangan antara apa yang
dipahami dari satunashdenganapa yang dipahami darinashlain. Dalam
memahami lafadz musykil bentuk pertama atau yang disebut juga dengan
lafadz musytarak diperlukan petunjuk dari luar lafadz, bukan dari ungkapan
lafadz itu sendiri. Dalam penemuan petunjuk dari luar itu terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama yang menyebabkan perbedaan
dalam memahami nash hukum.
c. Mujmal(‫)المجمل‬
Lafadz mujmal dalam pengertian sederhana adalah
‫ معناه على ع ّدة أحوال و أحكام قد جمعت فيه‬b‫اللفظ الذى ينطوى‬
Terjemahnya :
“ Lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan
dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya “.
Lafadz mujmal ini lebih samar (tidak terang) dibandingkan dengan
lafadz sebelumnya karena dari segi sighatnya sendiri ia tidak menunjukkan
arti yang dimaksud; tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat
membawa kita kepada maksudnya; tidak mungkin pula dapat dipahami arti

112
yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari Syari(pembuat hukum)
sendiri (dalam hal ini adalah Nabi).
Ketidakjelasan dalam lafadz mujmal itu disebabkan dari lafadz itu
sendiri, bukan dari faktor luar; seperti lafadz-lafadz yang dinukilkan oleh
Syari dari arti kata (lughawi) dan dialihkan menjadi istilah teknis
hukum.Umpamanya lafadz shalat, zakat, shiyam, haji, riba dan
sebagainya.Lafadz-lafadz tersebut sebenarnya lafadz yang terpakai dalam
bahasa arab secara arti kata, namun yang dimaksud oleh Nabi sebagai
pembuat hokum bukan menurut apa yang dipahami oleh orang Arab
dalambahasa sehari-hari. Untuk maksud itu Nabi memberikan penjelasan
dengan sunnahnya.
Perbedaan antara lafadz mujmal dengan khafi dan musykil adalah
bahwa lafadz mujmal tidak mungkin diketahui rincian maksudnya hanya
semata-mata mengandalkan dari melihat pada lafadznya sebagaimana yang
berlaku pada khafi dan tidak pula dengan semata-mata pada penalaran dan
penafsiran lafadz sebagaimana berlaku pad amusykil.Untuk memahami
secara baik maksud lafadz mujmal menurut bentuknya yang berbeda itu
serta juzu’nya yang bersamaan harus merujuk pada penjelasan resmi dari
Nabi yang menjelaskan arti dan rinciannya.
Kebanyakan dari ibarat Qur’ani khususnya yang mengenai hokum
taklifi muncul dalam bentuk mujmal. Kemudian datang sunnah
menjelaskan dan merinci hukumnya, hingga tidak ditemukan lafadz mujmal
dalam Al-Qur’an yang tidak dijelaskan oleh sunnah Nabi danoleh sebab itu
tidak timbul lagi keraguan.
Tentang bagaimana sifat mujmal yang sudah diberi penjelasan
olehNabi, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah mendapatkan
penjelasan dari Nabi menjadi “mufassar” sehingga tidak mungkin dimasuki
oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis.
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah
memperoleh penjelasan, kadang-kadang menjadizhahir atau nash dan

113
kadang-kadang menjadi mufassar, bahkan kadang-kadang menjadi
muhkam. Kerena banyak kemungkinannya maka tidak dapat dipastikan
untuk satu di antara macam-macam kemungkinan tersebut.
d. Mutasyabih(‫)المتشابه‬
Lafadz mutasyabih,secara bahasa (arti kata), adalah lafadz
yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa
persamaan.Dalam istilah hukum,lafadz mutasyabih adalah:
ْ ‫للفظ الذى يخفى معناه وال سبيل‬
‫ألن تدركه عقول العلماء‬
Terjemahnya :
“ Lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang
dapat digunakan untuk mencapai artinya “.
Ketidak jelasan lafadz mutasyabih ini karena sighatnya sendiri tidak
memberikan arti yang dimaksud tidak pula qarinahyang akan menjelaskan
maksudnya; sedangkan syar’I membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa
ada penjelasan. Dalam hal ini akal (daya nalar) manusia tidak dapat berbuat
sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil
mengakui kelemahan dan kekurang mampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk:
1. Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat
dalampembukaan beberapa surat dalam al-Qur’an seperti
‫ الم‬،‫ر‬bbb‫ ال‬،‫كهيعص‬Dan sebagainya. Potongan-potongan dalam
bentuk huruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari
segi lafadznya. Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW
sendiri tidak pernah menjelaskannya sehingga setiap
pembaca hanya akan mengatakan:‫(واﷲ أعلم‬hanyaAllah Yang
Maha Mengetahui) atau‫(واﷲ أعلم بمراده‬hanya AllahYang Maha
Mengetahui maksudnya).
2. Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah
mahapencipta dengan makhluk-Nya sehingga tidak mungkin
dipahami ayat itu menurut arti lughawinya karena Allah SWT
maha suci dari pengertian yang demikian.

114
Para ulama sepakat mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’anmemang
terdapat ayat-ayatmutasyabihkarena AllahSWTsendiri yangmengatakan
demikian, seperti tersebut dalam suratali-Imran ayat 3 :

Terjemahnya:
“ Dia-lah telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat muhkamat dan itulah Umul Kitab (pokok-pokok isi

Al-Qur’an) dan yang lain adalah (ayat-ayat) mutasyabihat “.


Disamping kesepakatan ulama tentang keberadaan ayat
mutasyabihat dalam Al-Qur’an, mereka berbada pendapat
tentangtempatnya dalam Al-Qur’an. Ibnu Hasan mengatakan bahwa tidak
ada ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an kecuali dalam dua bentuk.
Pertama dalam bentuk huruf-huruf yang disebut terpotong-potong dalam
Al-Qur’an dan kedua pada sumpah Allah dalam Al-Qur’an seperti
padasurat al-Syams(91):1-2:

Terjemahnya:
1. Demi matahari dan cahaya dipagi hari
2. dan demi bulan apabilahmengeringinya.
Ayat-ayat hukum yang mengandung beban taklif yang merupakan
pokok-pokok syari’ah Islam tidak satu pun dalam
bentukmutasyabihatdalam pengertian tersebut; tetapi semuanya jelas, baik
jelas dari lafadznya maupun jelas sesudah dijelaskan oleh sunnah Nabi.
Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa dalam Al-
Qur’anterdapat ayat-ayat mutasyabihat dalam bentuk kedua, dalam arti
bahwaayat-ayat yang arti zhahirnya menyamakan Allah dengan sifat-sifat
yangterdapat pada manusia adalah termasuk dalam ayat-ayat
mutasyabihat.Meskipun tidak mungkin mengetahui artinya, namun mereka

115
berusaha untuk sampai kepada maksudnya dengan cara menta’wilkan
ataumemalingkan arti ayat dari makna zhahirnya kepada maka lain untuk
menghindarkan diri dari menyamakan Allah dengan makhluknya. Ini
adalah pendapat ulama khalaf.
Sumber perbedaan pendapat antara ulama salaf dan ulama khalaf
sehubungan dengan pemahaman lafadz mutasyabihat adalah pada
perbedaan mereka dalam memahami firman Allah pasa surat Ali’imran(3):
7 yang merupakan sambungan ayat yang menyebutkan kata mutasyabihat
diatas yaitu:

Terjemahannya :
“ Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu
(Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah
pokok-pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka
mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam
berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur'an), semuanya dari sisi
Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali
orang yang berakal “.
Ulama salaf dalam memahami ayat tersebut meletakkan
tandaberhenti baca langsungsesudah kata Allah sehingga ayat
itumengandung arti tiada yang dapat mengetahui ta’wilnya (maksud
dariayat mutasyabihat itu) kecuali Allah. Karena itu mereka menyerahkan
haltersebut kepada ilmu Allah dan mereka tidak mencari-cari artinya.
Ulama khalaf meletakkan tanda berhenti baca setelah kata: orang-
orang yang mendalami ilmunya sehingga ayat itu berarti tidak ada

116
yangdapat mengetahui arti dari mutasyabihat itu kecuali Allah dan orang-
orangyang mendalami ilmunya karena itu orang-orang yang mendalami
ilmunya akan mengetahui ta’wilnya melalui kehendak arti yangt
erkandung dalam lafadz disamping dapat menyucikan pemikiran dari
menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar
(tidakterang) artinya dalam kelompok lafadz yang terang artinya lafadz
muhkam berada dalam tingkat atas dari segi kejelasannya. Ayat-ayatyang
meyakinkan (qath’i, sedangkan lafadz yang mutasyabihat dan yang berada
dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan
(zhanni).

1.2 KAIDAH POKOK 1 AL UMURU BI MAQASHIDIHA SETIAP


PERKARA TERGANTUNG NIATNYA
A. Pengertian kaidah AL – Umuru bi Maqosidiha

Qaidah al-Umur bi Maqahidiha merupakan qaidah yang ringkas


lafalnya namun memiliki arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan
seseorang, baik berupa perkataan maupun berupa perbuatan. Qaidah ini juga
membahas tentang bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap pekara
haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut.
jadi Qaidah ini adalah “ segala perkara tergantung kepada niatnya “.
Sedangkan secara terminologi fiqh, niat adalah kesengajaan untuk melakukan
ketaatan dan pendekatan kepada Allah SWT dengan cara melakukan
perbuatan atau dengan cara meninggalnya.  Niat itu sendiri menurut kalangan
ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu
disertai dengan pelaksanaannya. Misalnya di dalam melaksanakan shalat yang
dimaksud dengan niat adalah didalam hati dan wajib niat disertai dengan
takbirat al-ihram.
Sedangkan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada
didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari

117
maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini / beriktikad di dalam hatinya, itu
pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih
utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat
ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna
perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan
niat ibadah kepada Allah SWT dengan melakukan perbuatan yang
diperintahkan atau yang dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah SWT, tetapi
semata-mata karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir di sebuah
masjid, kemudian duduk-duduk atau tiduran di masjid tersebut, maka apakah
dia berniat “ itikaf” ataukah tidak. Bila dia berniat itikaf di masjid tersebut,
maka dia mendapat pahala dari ibadah itikafnya.[1]
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah
adalah tidak sah, tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang
termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan tadi bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Secara lebih merinci lagi, para fuqaha (ahli hukum islam) merinci
masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci),
wudhu, tayamum, mandi junuh, shalat qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji,
saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah,
seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa,
perkawilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya. Dalam fikih jinayah seperti
kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain sebagainya, sehingga
Imam al-Suyuthi menyatakan:” apabila kau hitung maalah-masalah fikih yang
berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya.
Adapun kekecualian kaidah-kaidah ini antara lain :

118
 Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah hukum adat sehingga
tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat,
azan, zikir dan membaca Al-Quran kecuali apabila bacanya dalam rangka
nazar. [2]
 Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan seperti
meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang
(haram) karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut, maksudnya
sudah tercapai. Memang betul diperlukan niat apabila mengharapkan dapat
pahala dengan meninggalkan yang dilarang.
 Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam
melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
B. Dasar Hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam
maknanya dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya
hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan
Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi. Para ulama Fiqh (Fuqaha)
memberikan perhatian lebih pada Qaidah ini, mereka banyak mengomentari
dan mengembangkannya (syarh) dalam cabang-cabang Qaidah ini.
Dasar hukum Qaidah ini sebagai berikut :
1. Terdapat pada surah al-Bayyinah ayat 5 yang menjelaskan bahwa umat
manusia dibumi hanyalah menyembah pada Sang Robbi tidak ada
sembahan makhluk lainnya kecuali pada-Nya dengan menata kembali
seberapa besar taatnya dan takwanya pada Sang Robbi.

Artinya :

119
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus” (QS al-Bayyinah: 5)

Dalam surah al-Bayyinah diperjelas dengan hadis Nabi SAW yang


diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab didalam hadis
ini menjelaskan bahwa” Setiap perbuatan itu bergantung kepada niatnya
dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya dan
barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau
karena wanita yang dinikahinya, waktu kepada yang diniatkannya.”

 Dasar Qaidah ini juga dilandasi pada Surat Ali Imran ayat 145, yang
didalamnya membahas pahala didunia dan diakhirat. Berbunyi :

Artinya:

“Barang siapa menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan


kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat,
Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.”

 Dilandasi dari QS Al-Baqarah ayat 265 yang berbunyi :

Artinya :

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya


karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti

120
sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat,
maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu perbuat.”

 Berlandaskan pada QS Al-Fath ayat 18 yang berbunyi :

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang


mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan
atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang
dekat (waktunya).”

C. Cabang-cabang Qaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha


Dalam Qaidah ini memiliki beberapa cabang yang didalamnya membahas
lebih dalam tentang niat, sekurang-kurangnya ada enam cabang Qaidah Al-
Umuru bi maqashidiha, cabang-cabangnya sebagai berikut :
a. Qaidah 1
Suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan),
maka kesalahannya membatalkan pekerjaannya.
Misalnya : seseorang hendak melakukan shalat dhuhur kemudian
niat shalat ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tidak sah. Demikian
pula seseorang hendak berpuasa untuk membayar kafarat zihar dengan
niat puasa kafarat sumpah, maka puasanya tidak sah.
b. Qaidah 2
Suatu amalan yang harus dijelaskan secara global dan tidak
disyaratkan untuk dirinci, kemudian dijelaskan secara rinci dan
ternyata salah, maka membahayakan (tidak sah).
c. Qaidah 3

121
Amalan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik secara
garis besar maupun secara rinci , apabila ditentukan (dijelaskan) dan
ternyata keliru, maka kekeliruannya tidak membahayakan (tidak
membatalkan).
d. Qaidah 4
Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum, tetapi tidak
menjadikan umum pada lafadz yang khusus.
e. Qaidah 5
Maksud suatu lafadz mengikuti niat orang yang
mengungkapkan, kecuali dalam satu tempat, yaitu lafadz sumpah di
hadapan qadhi, maka maksud lafadz mengikuti niat qadhi, bukan niat
orang yang bersumpah.

f. Qaidah 6
Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah, karena suatu
halangan padahal ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan
maka ia mendapatkan pahala.

122
BAB IX
PENETAPAN HUKUM MAQASHID SYARI’AH
KAIDAH POKOK KEDUA ( AL YAQINU LAYUZALU BI AS-
SYAQI )
Disusun Oleh :
SYAHRUDDIN (1209.20.09084)

A. Maqashid al-Syariah dalam Perspektif al-Syatibi


Al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan al-
maqasid. Kata-kata itu ialah maqasid al-syariah, al-maqasid al-syar’iyyah, dan
maqasid min syar’I al-hukm. Meskipun demikian, beberapa kata tersebut
mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh
Allah SWT.
Menurut al-Syatibi yang dimaksud dengan al-maslahah dalam
pengertian syari’ mengambil manfaat dan menolak mafsadat yang tidak hanya

123
berdasarkan kepada akal sehat semata, tapi dalam rangka memelihara hak
hamba.
Sehubungan dengan hal inilah, justifikasi pendapat al-Syatibi patut
dikemukakan bahwa akal tidak dapat menentukan baik dan jahatnya sesuatu,
maksudnya adalah akal tidak boleh menjadi subjek atas syariat. Di sini
sebenarnya dapat dipahami bahwa al- Syatibi dalam membicarakan maslahat
memberikan dua dlawabith al-maslahat (kriteria maslahat) sebagai batasan:
Pertama, maslahat itu harus bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif
yang akan membuatnya tunduk pada hawa nafsu. Kedua, maslahat itu bersifat
universal (kulliyah) dan universalitas ini tidak bertentangan dengan sebagian
juziyat-nya.
Dalam al-Muwafaqat, al-Syatibi membagi al-maqasid dalam dua bagian
penting, yakni maksud syari’ (qashdu asy-syari’) dan maksud mukallaf (qashdu
al-mukallaf);

Tujuan-tujuan syariat dalam Maqashid al-Syariah menurut al-Syatibi


ditinjau dari dua bagian. Pertama, berdasar pada tujuan Tuhan selaku pembuat
syariat. Kedua, berdasar pada tujuan manusia yang dibebani syariat. Pada tujuan
awal, yang berkenaan dengan segi tujuan Tuhan dalam menetapkan prinsip
ajaran syariat, dan dari segi ini Tuhan bertujuan menetapkannya untuk
dipahami, juga agar manusia yang dibebani syariat dapat melaksanakan, kedua,
agar mereka memahami esensi hikmah syariat tersebut.
Agar dapat memahami Maqashid al-Syariah atau tujuan syariah secara
sempurna, maka terlebih dahulu paparkan beberapa unsur dari maqashid al-
syariah, yaitu Hakim, Hukum, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih.
Al-Syatibi ketika berbicara mengenai maslahat dalam konteks al-maqasid
mengatakan bahwa tujuan pokok pembuat undang-undang (Syari’) adalah
tahqiq masalih al-khalqi (merealisasikan kemaslahatan makhluk), bahwa
kewajiban-kewajiban syari’at dimaksudkan untuk memelihara al-maqasid.
Allah SWT menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain untuk
mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalbul mashalih wa
dar’u al-mafasid). Aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk

124
kemaslahatan manusia.
Senada dengan hal tersebut menurut al-Syatibi, seorang mujtahid
berkewajiban memberikan pertimbangan hokum terhadap apa yang telah digali
dari al-Qur’an atau Sunnah berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitari
objek hukum. Apabila hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya itu tidak cocok
diterapkan pada objek hukum karena penerapan hukum itu membawa
kemudaratan, maka mujtahid itu harus mencarikan hukum lain yang lebih
sesuai, sehingga kemudaratan bisa dihilangkan dan kemaslahatan dapat
tercapai. Teori inilah yang dikenal dengan sebutan nazariyyah i’tibar al-ma’al.
Syariat Islam diturunkan oleh Allah adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Maqasid Syariah berarti tujuan
Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Kemaslahatan
yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan,
yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.
Tingkatan pertama, kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang
harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini
tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta. Untuk memelihara lima
pokok inilah Syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan
ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara
lima pokok diatas. Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan jihad :
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang zalim.
Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishash :
Artinya: Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

125
Dari ayat pertama dapat diketahui tujuan disyariatkan perang adalah
untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat
manusia untuk menyembah Allah. Melalui ayat kedua diketahui bahwa
mengapa disyariatkan qishash karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan
manusia dapat dihilangkan.
Tingkatan kedua, kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan
sekunder, di mana jika tidak terwujudkan tidak sampai mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam
menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan)
seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari
kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh jenis maqasid ini
dalam bidang ekonomi Islam misalnya mencakup kebolehan melaksanakan
akad mudharabhah, muzara’ah, musaqat dan bai’ salam, serta berbagai
aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan dan
menghilangkan kesulitan.
Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhshah
(keringanan) bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan
perintah- perintah taklif. Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa
bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari
yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit. Kebolehan
meng-qasar shalat adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.
Tingkatan ketiga, kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang
apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok
di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa
kebutuhan pelengkap, hal- hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat
yang sesuai dengan tuntutan moral dan akhlak. Contoh jenis al-maqasid ini
adalah antara lain mencakup kesopanan dalam bertutur dan bertindak serta
pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan. Jenis kemaslahatan ini
lebih memberikan perhatian pada masalah estetika dan etika, masuk dalam
katagori ini misalnya ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan
kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga penting dalam rangka menyempurnakan

126
kemaslahatan primer dan skunder.
Dalam berbagai bidang Allah mensyariatkan hal-hal yang berhubungan
dengan kebutuhan tahsiniyat. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke
Masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.

B. Pengertian Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak

Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada


keraguan didalamnya, sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang
membingungkan.

Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni :


1. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya
”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan
”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk
menghilangkannya”.
2. Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap
dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab
tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”
3. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti
yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti
yang mendukungnya”.
4. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
5. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu
(meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat
dimenangkan salah satunya”.
Untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui,
bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :
1. Al Yakin
Secara bahasa: mengetahui dan hilangnya keraguan. Al Yakin merupakan
kebalikan dari Al Syak. Bisa disimpulkan bahwa Al Yakin adalah bentuk
penetapan dan penenangan atas sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi

127
keraguan. Keyakinan yang ada tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru
datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan yang sederajat.
2. Ghalabah al Dzan
Ghalabatul al dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada
dua kemungkinan. Ia menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih
condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih
unggul disebut Ghalabatul al dzan.
3. Al Dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat
dan bisa mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan
enggan juga membuang lainnya yang lemah maka inilah yang disebut al dzan.
Sedangkan jika hati berpegang pada salahsatunya dan membuang yang lain
maka disebut Ghalabatul al dzan
4. Al syak
Al syak secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al
syak adalah setara antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan
diantara dua perkara dan hati tidak condong pada salahsatunya. Sementara Al
Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka
disebut Al Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan
dan yang lemah disebut salah duga/al wahn.

C. Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta


Contoh Penerapannya:

Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak diatas kemudian dibagi


menjadi kaidah-kaidah cabangnya yakni :

 (Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)


Kaidah ini semakna pula dengan (Apa yang ditetapkan berdasrkan
waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu
tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya)

128
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki
status hukum yang pasti sebelumnya, harus tetap dipertahankan
sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut tidak bisa diubah,
selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.
Misal :
1. Aminah meyakini bahwa ia telah punya wudhu (suci), tetapi
kemudian ia ragum apakah sudah batal atau belum. Berdasarkan
kaidah ini ia tetap dihukumi punya wudhu. Sebab, sebelumya ia
yakin bahwa ia telah berwudhu. Keyakinannya tersebut tidak
bisa dihilangkan denga keraguannya yang mengatakan bahwa ia
telah mengalami hadas.
2. Fandi memiliki hutang kepada Anton. Fandi kemudian mengaku
bahwa ia telah membayar hutang tersebut, tetapi anton tidak
mengakuinya. Dalam hal ini, Fandi tetap dihukumi punya
hutang, sampai ia benar-benar mampu membuktikan bahwa
dirinya telah membayar hutangnya kepada Anton

 (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)

Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari


tuntutan, baik hal Allah maupun hak Adami. Setelah dia lahir muncullah
hak dan kewajiban pada dirinya. Misal :

1. Anak kecil bebas dari tanggung jawab melakukan kewajiban


sampai ia baligh.
2. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat
pernikahan sampai ada bukti adanya akad nikah yang sah.

 (Hukum asal adalah ketiadaan)


Kaidah ini dapat lebih jelas denganKaidah (hukum asal pada sifat-
sifat yang datang kemudian adalah tidak ada)Misal :

129
1. Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli
tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang
dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat
iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum
asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada
kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti
yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang
tersebut masih ditangan penjual.

 (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)

Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i,


sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga terdapat (Hukum
asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
dengannya) secara substansi sama saja.
Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu dalam suatu
peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang
paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat
yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan
bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh.
Misal :
1. Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya,
kemudian keluarlah bayi dalm keadaan hidup dan sehat. Selang
bebarapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya bayi itu
tidak disandarkan keapada pemukulan yang terjadi pada waktu
yang lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waku paling
dekat dengan keamtiannya.

 (Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya). Misal :
1. Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang
keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.

130
 Dikalangan madzhab Hanafi ada pula (Hukum asal segala sesuatu
adalah larangan[haram])
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh mu’amalah, sedangkan
untuk fiqh ibadah digunakan kaidah (Hukum asal ibadah mahdhah
adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya), kaidah ini
semakna dengan (Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sampai
datangnya syari’ah) dan kaidah (Yang meragukan tentang hukum
wajibnya, maka tidak wajib dilakukan).

 (Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan
pula)

Misal :

1. Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian


ternyata orang tersebut tertangkap sedang melakukan kejahatan,
maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.
2. Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A
telah membayar utangnya kepada si B, misalnya ada kuitansi yang
ditandatangani si B yang menyatakan bahwa hutang A sudah lunas.
Maka, si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari
hutangnya.

 (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus
tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thowaf, seseorang ragu apakah
yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang
meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang
berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka
bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.

131
 (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Kaidah teresebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok
kaidah ushul daripada kaidah fiqh. Alasannya, kaidah tersebut
berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah bahasa
berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Misal :
1. Apabila seseorang berkata:”Saya mau mewakafkan harta saya
kepada anak Kyai Ahmad”. Maka anak dalam kalimat tersebut
adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula
cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa,
gadai dan lain-lainnya di dalam akad harus diartikan dahulu dengan
arti kata yang sebenarnya, bukan arti kiasannya.

 (Hukum asal bersenggama adalah haram)


Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal
haram adalah melakukan persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini
disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan persetubuhan dengan
perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya
bisa menghalalkannya, yakni pernikahan. Misal :
1. Arfan ragu mengenai sah tidaknya akad nikahnya dengan Ani.
Karena Arfan meragukan salah satu dari syarat nikah, maka ia
tidak boleh berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum asal
melakukan hubungan badan adalah haram.

Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi


yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la Yuzal bi al-Syak”, yakni sebagai
berikut.

 (Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)


Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada
kreditor, kemudian wakil debitor atau penanggungjawabnya membayar
lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh

132
debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta
dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya
dilakukan atas dasar prasangka yang jelas salahnya.
 (Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu
persangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yangsalah itu zatnya.
Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris,
maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris
yang dikira-kira.

BAB X
Nasakh Mansukh dan Al-masyaqqatu Al-tasyir
Disusun Oleh :
ELISA (1209.20.09071)
SULISNA (1209.20.090883)

2.1. NASAKH MANSUKH


A. Pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh

133
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus,
menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan
menggganti. Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali
mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama ‫االزلة‬: yang berarti
hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang
sering berkata  ‫مس الظل‬¢¢¢¢‫حت الش‬¢¢¢¢‫نس‬ (Cahaya Matahari menghilangkan
bayang-bayang, dan secara istilah dapat didefinisikan sebagai berikut
antara lain :
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’
terdahulu danmenggantinya dengan ketentuan hukum baru yang
dibawahnya.Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat
13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul
menjadi bebas.
b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan
menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT.
Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5 dan al-Baqorah :106
c. ‫رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنه‬ artinya mengangkatkan hukum
syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian
dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya
Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang
tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus
mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang
dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang
mengartikan dengan ‫الحكم المرتفع‬ Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-
Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat.

Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka


untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan[ dan jika anak itu semuanya

134
perempuan lebih dari dua[ Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah SSSSdipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf[
(Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang
diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan
dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-
Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara
eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara
lain :
a)  Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum
tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang
dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an
dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa
perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran
(Sunah)

135
b) Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’.
Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-
Nisa’: 59
c) Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d) Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama
dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan
B. Cara Mengetahui Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diat
pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk
mengetahuinya.Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan
bahwa Al-Nasakh Wa al- Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara
sebagai berikut :
1) Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :‫ االفزوروها‬,‫ور‬¢¢¢‫ارة القب‬¢¢¢‫كنت نهيتكم عن زي‬.Hadis tersebut Menasakh
Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk
berziarah kubur.
2) Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang
Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut
dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada
ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3) Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang
kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang
keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
C. Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dalam Kajian Hukum Islam Terdapat alasan yang mendasar
mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat
kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut
adalah :
a. Terkait status hukum Islam.
b. Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan
fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum.

136
c. Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-
Qur’an.
d. Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
e. Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad
f. Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.

D. Macam Dan Jenis Nasakh


Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas
kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima.
Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap
Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di
Nasakh ayat 13.
2. Nasakh Qur’an dengan Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu : Nasakh
Qur’an dengan Hadis Ahad. Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini
tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I
sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak
logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus dihapus oleh
sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan)

3. Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.


Jumhur ulama’,   Menurut  Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad,
Nasakh jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari
wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat
dalam QS. Al-Najm:3-4.
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis
Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan

137
Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-
Baqarah:106
4. Sunah dengan Qur’an
Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di
dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang
kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
‫ فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن‬,‫ كان عاشوراء صياما‬:‫عن عائشة قالت‬
‫شاء افطر‬
(‫)رواه بخارى ومسلم‬
Artinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah
wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha,
maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS.
Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak
dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan
beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i
adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan
Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya

138
Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal
sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai
penjelasan atas Qur’an.
5. Nasakh Sunah dengan SSunah.
Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :
a. Mutawatir dengan Mutawatir
b. Ahad dengan Ahad
c. Ahad dengan Mutawatir
d. Mutawatir dengan Ahad.
Bagi Jumhur ulama’ dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi
masalah menjadi bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima
kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir dengan Ahad.
Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang
terkandung di dalamnya.
E. Bentuk Nasakh Dalam al-Qur’an
Al-Qattan dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi
Nasakh dalam al-Qur’an dalam 3 macam, yaitu :
1. Pertama Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya.
  Artinya keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus sehingga
tidak dapat kita jumpai lagi dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi
debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya
keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan
jenis Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu. Namun demikian
dalam literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini merujuk pada
Hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa :
.‫م‬.‫ فتف فى رسول هللا ص‬.‫كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات فنسخن بخمسى معلومات‬
)‫(وهن مما يقرأ من القران‬
Menurut Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat
diterima, sebab keberadaan jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar
Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat bahwa penetapan Nasakh dan
penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah dua hal yang

139
berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar
ahad sedangkan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau
khabar Muatawatir.
2. Kedua Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.
Contoh Nasakh ini adalah ayat idah selama satu tahun yang di
Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam QS.
Al-Baqarah: 240

Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara


kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-
isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234
Artinya : “ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah
habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Hikmah yang dapat kita petik atas keberadaan jenis Nasakh ini adalah
1. Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk
diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca
untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT sebab
Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
3. Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap.

140
Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar Bin
khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan :
‫كان فيما انزل من الق ران الشيخ والشيخة اذأ زنيا فارجمو هما البتة نكاال من هللا‬

Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat


(Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau
keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati )
sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari
lafalnya dalam Mushaf Usmani (al-Qur’an) tentu kita tidak akan
menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun
ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap berlaku.
Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak dapat di terima,
sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan
memastikan turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.

F. Nasakh Berpengganti Dan Tidak Berpengganti


1. Nasakh berpengganti
Di lihat dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a. Nasakh dengan badal akhof ( pengganti yang lebih ringan )
b. Nasakh dengan badal Mumatsil ( pengganti serupa )
c. Nasakh dengan badal Atsqal ( pengganti yang lebih berat ).

2. Nasakh tanpa Badal.


Jenis Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang terdapat
dalam penghapusan kewajiban bersedekah ketika hendak menghadap
Rasul sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Mujadalah : 12 yang di
Nasakh ayat 13.

G. Pandangan para ulama terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh

141
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah
diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh
dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan
hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang
berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh
dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara
pendapat-pendapat tersebut adalah :
1. Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi.
Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur
ulama’.Dasar hukum yang mereka pakai adalah : Bahwa perbuatan
Allah tidakv bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan
ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut,
maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak.
Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
b. QS. Al-Baqarah:106
c. Hadis Dari Ibn Abbas yang menyatakan :
‫ ال ادع‬:‫ اقرؤنا ابى واقعنانا وانا لتدع من قول ابى وذاك ان أبيا يقول‬.‫قال عمر رضى هللا عنه‬
‫(رواه ابن‬.…‫ وقد قال هللا عز وجل ننسخ من ايته اوننسها‬.‫م‬.‫شئا سمعته من رسول هللا ص‬
)‫عباس‬

2. Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak.


Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat
Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia
berpedoman pada QS. Fushilat:42
3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan.
Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum
Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil
bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus
apa yang telah di FirmankanNya.

142
H. Hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dari uraian di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian Nasakh
dan Mansukh memiliki hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah
tersebut dapat kita petakan menjadi 2 macam yaitu hikmah secara umum
dan hikmah secara khusus yang merujuk pada jenis penggati hukumnya.
Hikmah-hikmah tersebut adalah :
a. Secara umum hikmah Al-Nasakh Wa  al-Mansukh adalah :
1) Membuktikan Bahwa Syariat Agama Islam adalah Syari’at yang
sempurna.
2) Memelihara kepentingan hamba.
3) Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti ataupun tidak mengikuti.
4) Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap kondisi umat
manusia.
5)  Kemudahan dan kebaikan bagi umat.
b. Secara khusus hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh di lihat dari segi
penggantinya adalah:
1) Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga
kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam
penghapusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
2) Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah menentukan
hukum baru sebagaimana yang terdapat dalam perintah untuk
menghadap Baitul Maqdis yang di
3) Nasakh menghadap Ka’bah.
4)  Nasakh dengan Badal Astqal hikmanya adalah untuk menambah
kebaikan dan pahala umat.
5) Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah sebagai bentuk
dispensasi bagi umat manusia.

2.2. MASYAQQATU TAJLIBU AL- TAYSIR


A. Pengertian Kaidah dan Klasifikasi Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir
‫ْال َم َشقَّةُ تَجْ لبُ التَّ ْي ِس ُر‬

143
Artinya : “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.

Al-Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu
kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al-
taysir secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan.seperti di dalam hadis
Rasulullah saw disebutkan:

‫إِ َّن ال ِّد ْينَ يُ ْس ٌر‬

Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan


Muslim)

Kaidah Kesukaran itu dapat menarik kemudahan  artinya kesukaran


menyebabkan adanya suatu kemudaha,. hukum yang dipraktiknya
menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran,
maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesukaran.Hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf (subjek
hukum), maka  syariah memudahkannya sehingga mukkalaf mampu
melaksanakannya tanpa tanpa kesukaran dan kesulitan.
Dari paparan di atas terdapat kesukaran yang dihadapi mukallaf, maka
diperlukan pengecualian hukum, yang dalam pelaksanaannya diperhatikan
tabiat manusia, kondisi dan kemampuan memikul hukum. Akan tetapi ada
standar umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan karenanya tidak
menyebabkan kemudahan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti digigit
semut pada waktu sholat, malas berzakat padahal mencapai nishab, atau
terasa lapar apabila sedang berpuasa, dalam hal ini Dr.Wahbah az-Zuhaili
membagi Al-Masyaqqah (kesukaran) menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1. Al-Masyaqqah al-‘Azhimah (kesukaran yang sangat berat), seperti
kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan.
Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa
melakasanakan ibadah dengan sempurna. Kesukaran semacam ini
membawa kemudahan.

144
2. Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang pertengahan, tidak
sangat berat juga tidak sangat ringan). Kesukaran semacam ini harus
dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada kesukaran yang sangat
berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada
kesukaran yang ringan, maka kemudahan di situ. Hal ini tergantung
kondisi seseorang dengan berbagai pertimbangan.
3. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar
waktu puasa, malas naik haji padahal sudah dikategorikan mampu, dan
lain sebagainya. Kesukaran (masyaqqah) semacam ini bisa ditanggulangi
dengan mudah dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah.
Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat, taat kepada perintah Allah
lebih utama daripada kesukaran (masyaqqah) yang ringan ini,
apalagi masyaqqah ini bisa ditanggulangi.
Dari tiga tingkatan yang penulis kutip berdasarkan pendapat
Dr.Wahbah az-Zuhaili di atas, yang menjadi kategori masyaqqah tajlib
at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan) adalah kategori yang
pertama, alasannya karena lebih tepat terhadap kaidah kemudharan harus
dihilangkan (al-dharar yuzal), sedangkan pada kategori kedua dan ketiga
adalah apa yang dimaksud masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat
menarik kemudahan).
B. Sebab Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir
Adapun dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga telah
menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan)
kemudahan (rukhsah), yaitu:
1) Kekurangmampuan bertindak hukum (  ُ‫)النَّ ْقص‬, Misalnya, orang gila dan
anak kecil tidak wajib melaksanakan sholat, puasa, bayar zakat dan naik
haji. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan perilaku ini disebut
unsur pemaaf.
2) Kesulitan yang umum (‫) ُع ُموْ ُم اَ ْلبَ ْل َوى‬, seperti debu yang berserakan di jalan,
maka tidak mungkin seseorang untuk menghindar, atau adanya hama

145
tikus yang jumlahnya sangat banyak menyerang satu desa kemudian
meninggalkan air kencingnya yang kering.
3) Bepergian (ُ‫فَر‬bbb‫)اس‬,
َّ Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat jumat.
َ ‫)اَ ْل َم‬,  Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit
4) Keadaan sakit ( ُ‫رض‬bbb
memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan
Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat. Ditundanya
pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang
mentruasi.
5) Keadaan terpaksa (ُ‫ َراه‬bbb‫)اَاْل ِء ْك‬, Seperti di ancam orang lain untuk
membatalkan puasa ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
6) Lupa ( ُ‫يَان‬b ‫)اَلنِّ ْس‬, Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu
puasa.
7) Ketidaktahuan (‫)اَ ْل َج ْه ُل‬, Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena
tidak tahu, kemudian berdagang dengan praktik riba.

Adapun rasionalisasi kemudahan dalam islam ialah, Allah SWT,


sebagai musyarri’  memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-
Nya itu allah mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi
kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambatan itu tidak terjadi kekeliruan
maka dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi
kemaslahatan manusia sendiri.

A. Macam-macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir

َ َّ‫ق األَ ْم ُر إِت‬


1. ‫س َع‬ َ ‫إِ َذا‬
َ ‫ضا‬

Artinya : “Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya


meluas”

Kaidah ini, adalah kaidah yang dibuat oleh asy-Syafii. Maksud dari
kaidah ini adalah bahwa apabila sesuatu itu ada kesempitan/kesukaran
dalam menjalankannya, maka dalam keadaan yang demikian ini “wilayah-
wilayah”yang semula dilarang menjadi diperbolehkan. Contohnya seorang

146
laki-laki dewasa diharamkan memegang tubuh perempuan dewasa yang
bukan mahromnya, namun apabila di suatu daerah hanya terdapat satu
orang yang ahli dalam urut tulang dan dia laki-laki, sementara ada
perempuan yang tulangnya harus diurut, maka laki-laki yang bukan
mahromnya itu boleh menolong (menyentuh dan melihat aurat) perempuan
tersebut. Kebalikan dari kaidah ini adalah:

2. َ‫ضاق‬ َ َّ‫إِ َذا إِت‬


َ ‫س َع‬

Artinya : “Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya


menyempit”

Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa


diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Contohnya apabila
perempuan yang patah tulang telah sembuh karena mendapat pengobatan
urut tulang dari laki-laki, maka tukang urut laki-laki tersebut tidak boleh
lagi menyentuh dan melihat auratnya.

3. ‫صا ُر إِلَى البَ َد ِل‬ ْ َ‫إِ َذا تَ َع َّذ َر األ‬


َ ُ‫ص ُل ي‬

   Artinya : “Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada


penggantinya”

Contohnya: Seseorang yang meminjam barang kepunyaan orang


yang dikenalnya, (seperti : Kipas angin, kompor, buku, tipe-X, pulpen,
mobil, dan lain-lain) kemudian benda tersebut  telah rusak atau hilang
sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka
penggantinya adalah barang yang sama mereknya, ukurannya, atau
diganti dengan harga barang tersebut dengan harga di pasaran. Contoh
lain seperti orang yang sulit mendapatkan air maka diperbolehkan
bertayamum.

4. ُ‫َما اَل يُ ْم ِكنْ الت ََح ُر ْز ِم ْنهُ َم ْعفُو َع ْنه‬

Artinya : “Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya),


maka hal itu dimaafkan”

147
Contohnya : Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang,
maka seringkali yang membeli dagangannya adalah perempuan yang
terbuka auratnya, maka dalam kondisi yang demikian tidak mungkin
terhindar.

ِ ‫ص اَل تُنَا طُ ِبا ْل َم َعا‬


5.  ‫صى‬ ُ ‫ال ُر َخ‬

Artinya : “Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan


kemaksiatan”

Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di dalam


hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau
dosa).Contohnya seperti orang yang menggunakan rukhsah puasa dengan
membatalkannya dengan niat apabila staminanya kembali kuat akan
membunuh orang lain. Contoh lain seperti orang yang bepergian ketempat
prostitusi, kemudian setelah itu ia kehabisan uang dan merasa kelaparan,
dan tidak ditemukan makanan yang halal kemudian ia mendapatkan seekor
tikus lalu memakannya. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang
menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging tikus.

Berbeda dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan


seperti untuk usaha yang halal, bersilaturahmi, atau menuntut Ilmu.
Kemudian dipertengahan jalan kehabisan uang serta tidak ada makanan
kecuali yang diharamkan, maka memakannya diperbolehkan dengan
sekedar menghilangkan rasa lapar yang membahayakan jiwa.

6. ‫المجا ِز‬
َ ‫صا ُر إِلَى‬ َ ْ‫إِ َذا تَ َع َّذ َرت‬
َ ُ‫الحقِيقَةُ ي‬

Artinya : “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang


sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti
kiasannya”

Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada


anak Haji Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq
sudah lama meninggal, yang ada adalah hanyalah cucunya bernama

148
Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu
kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin
mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.

7. ‫إِ َذاتَ َع َّذ َر إِ ْع َما ُل الكَاَل ِم يُ ْه َم ُل‬

Artinya : “Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan


tersebut ditinggalkan”

Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku


saudara sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu
keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan orang
tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.

ِ ‫يُ ْغتَفَ ُر ِفي ال َّد َو ِام َما اَل يُ ْغتَفَ ُر ِف ْي ا ِإل ْبتِد‬
8. ‫َاء‬

Artinya : “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa


dimaafkan pada permulaannya”

Contohnya : Mahasiswa yang menyewa kost atau barak maka


diharuskan membayar uang muka oleh pemilik kost atau barak. Apabila
sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin melanjutkan  sewaan
berikutnya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.

9. ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي ا ِإل ْبتِدَا ِء َما اَل يُ ْغتَفَ ُر فِ ْي ال َّد َو ِام‬

Artinya : “Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada


kelanjutannya”

Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa
judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang
tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya.
Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman
keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram
tersebut.

10. ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي الت ََّوابِع َما اَل يُ ْغتَفَ ُر فِي َغ ْي ِرهَا‬

149
Artinya : “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan
pada yang lainnya”

Contohnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen,


kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena karung tersebut
mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan pada
yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan
diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.

B. Implikasi dan Impelementasi Kaidah Masyaqqah dalam Lembaga


Keuangan Syariah

Terlihat dampak yang dimunculkan oleh kaidah al Masyaqqah


Tajlibu al Taysir dalam penetapan hukum lembaga keuangan syariah.
Dampak ini terlihat ketika hukum Islam membolehkan transaksi-transaksi
dalam lembaga keuangan syariah baik bank, non bank dan lembaga
pembiayaan syariah.Sejak awal Islam belum ada lembaga keuangan seperti
sekarang ini, saat itu hanya ada satu lembaga yang mengurusi keuangan
negara yaitu baitul mal. Baitul mal ini berfungsi sebagai pengolah dan
peghimpun dana negara atau kas negara yang bersumber dari zakat dan
wakaf orang-orang Islam untuk diberikan kepada yang berhak. 
Dengan berkembangnya zaman, muncullah lembaga-lembaga yang
khusus menangani keuangan, dari pengolahdana, penghimpun dana, hingga
pembiyaan. Teks-teks dalam syariat pun tidak menjelaskan ketika lembaga-
lembaga tersebut dijadikan sebagai salah satu yang berakad dalam transaksi
jual beli.Islam sebagai agama yang mudah, tidak membebankan umatnya
untuk melangsungkan hidupnya dengan tetap beribadah. Kaidah al
Masyaqqah Tajlibu al Taysir memberikan jawaban atas persoalan lembaga-
lembaga tersebut.Dengan melihat bahwa lembaga-lembaga keuangan
tersebut merupakan hajat atau kebutuhan manusia, dan hajat bisa menempati
tempatnya dharurah.Ketika terdapat dharurah maka hukum yang diambil
adalah yang ringan. Dalam hal ini lembaga keuangan yang dijadikan sebagai

150
akid atau ma`kud tersebut diperbolehkan sebagai takhfif (keringanan) bagi
umat Islam.
Sebagaimana dalam ketetapan Majlis Ulama Indonesia yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasioanal (DSN) Nomor : 22/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Istisna` Paralel, menjelaskan bahwa akad
jual beli istisna` yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah (LKS) pada
umumnya secara paralel yaitu sebuah bentuk akad istisna` antara nasabah
dengan lembaga keuangan syariah, kemudian untuk memenuhi
kewajibannya kepada nasabah, lembaga keuangan syariah memerlukan
pihak lain sebagai Shani’.
Begitu juga dalam Fatwa DSN Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002
Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji, Fatwa ini menjelaskan bahwa salah
satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat
adalah pengurusan haji dan talangan pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah
Haji (BPIH) dan lembaga keuangan syari'ah (LKS) perlu merespon
kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Dalam hal ini
lembaga keuangan syariah berfungsi sebagai pembiaya bagi nasabah yang
membutuhkan dana untuk melunasi biaya pelaksanaan haji, akad yang
digunakan adalah akad ijarah (sewa). Nasabah menyewa LKS untuk
membiayai pelunasan pemberangkatan haji.Kegiatan ini juga menggunakan
prinsip al Qard, dimana nasabah meminjam jasa LKS untuk melunasi
kebutuhannya.

Contoh lain dari dampak kaidah ini adalah transaksi-transaksi yang


dikukan dalam lembaga keuangan, seperti obligasi syariah, pengalihan
hutang, pembiyaan rekening Koran, letter of credit, syariah card dan lain
sebagainya. Baik yang menggunakan akad wakalah, hiwalah, bai` salam
ataupun ijarah.Semisal dalam pengalihan hutang, apabila seseorang
berhutang, dan dia tidak mampu untuk membayarnya, kemudian datang
kepada lembaga keuangan syariah untuk melakukan transaksi hiwalah.Maka
hal ini LKS sebagai muhal alaih dan orang tersebut sebagai muhil.

151
BAB XI
IJTIHAD DAN TAKLID

152
(KAIDAH POKOK KE 4 AD DHARARU)
Disusun Oleh :
M. ZULKIFLI (1209.20.09075)

A. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Pemahaman ijtihad dalam Islam adalah sebuah usaha dengan suatu
kesungguhan untuk mengetahui hukum Syari’a dari dalil Syariah sesuai dengan
syarat penggunaan akal sehat dan pertimbangan matang. Mereka yang
berijtihad disebut dengan Mujtahid.
Orang yang Mujtahid biasanya adalah orang yang beragama Islam, baik
itu imam atau ulama. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat untuk memperlakukan kehidupan ibadah kepada Allah yang
perkara tidak akan dibahas dalam sumber pegangan para umat Muslim.
Pandangan lain tentang ijtihad adalah untuk mencurahkan semua
kemungkinan untuk menghasilkan sesuatu perkara yang besar. Istilah ijtihad
berarti semua kemungkinan untuk mengetahui hukum syariat. Adapun orang
yang melakukan itu, Mujtahid disebutkan.
Pengertian Ijtihad Menurut Para Ahli
 Menurut Hanafi
Ijitihad adalah untuk menghabiskan energi (memeras pikiran) untuk
menemukan hukum agama (syara ‘) melalui salah satu bukti syara ‘ dan
dengan cara tertentu.
 Menurut Joseph Qardlawi,
Adalah pencurahan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Penggunaan kata ijtihad hanya terhadap masalah penting yang
membutuhkan banyak perhatian dan energi.
 Menurut Al-Amidi,

153
Ijtihad adalah untuk mengabdikan semua kemampuan untuk mencari
hukum syara bahwa Dhonni adalah, sampai merasa bahwa ia tidak dapat
mencari kekuatan ekstra.

1. Hukum Ijtihad
Ijtihad dalam Islam ialah harus mengerahkan semua kemampuan untuk
mengetahui hukum syar’i atas dalil syariatnya. Hukumnya ialah wajib bagi
siapa saja yang mampu melakukannya, karena Allah telah berfirman,

ِّ ‫سأَلُوا أَ ْه َل‬
َ‫الذ ْك ِر إِنْ ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬ ْ ‫فَا‬

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika


kamu tidak mengetahui.” [An-Nahl/16 : 43, Al-Anbiya/21 : 7]

Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui


yang haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang
luas dan mengkaji nash-nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-
pendapat para ahlul ilmi agar tidak menyelisihi itu semua.
Di antara manusia, ada golongan para penuntut ilmu (thalib ‘ilm) yang
hanya mengetahui sedikit ilmu tapi telah menganggap dirinya mujtahid
(mampu berijtihad).
Akibatnya ia menggunakan hadits-hadits umum yang sebenarnya ada
hadits-hadits lain yang mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits
yang mansukh (dihapus) karena tidak mengetahui hadits-hadits nasikhnya
(yang menghapusnya).
Atau menggunakan hadits-hadits yang telah disepakati ulama bahwa
hadits-hadits tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak
mengetahui kesepakatan para ulama.Fenomena semacam ini tentu sangat
berbahaya, maka seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang
dalil-dalil syari’at dan dasar-dasarnya.
Jika ia mengetahuinya, tentu bisa menyimpulkan hukum-hukum dari
dalil-dalilnya. Di samping itu, ia pun harus mengetahui ijma’ para ulama
sehingga tidak menyelelisihi ijma’ tanpa disadarinya.

154
Jika syarat-syarat ini telah terpatri dalam dirinya, maka ia bisa berijtihad.
Ijtihad bisa juga dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja.
Yang mana ia mengkaji dan menganalisa sehingga menjadi seorang
mujtahid dalam masalah tersebut, atau dalam suatu bab ilmu, misalnya bab
thaharah saja, ia mengkaji dan menganalisanya sehingga menjadi seorang
mujtahid dalam masalah tersebut.

2. Dalil Ijtihad
Berikut dibawah ini merupakan dalil ijtihad, berdasarkan Al-Quran dan
Hadits:
 Dalil Al-Qur’an
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An-Nissa; 59)
Kebolehan ijtihad juga didasarkan pada firman Allah surat Al-Hasyir
ayat 2: “…Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Melalui ayat ini Allah Memerintahkan orang-orang yang mempunyai
pandangan untuk mengambil i’tibar (pelajaran) atas mala petaka yang
menimpa kaum yahudi disebabkan tingkah laku mereka yang tidak baik
sebagaimana dikemukakan pada awal ayat ini. Maksud dari ayat tersebut
ialah: Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu perkara, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul….
 Dalil Hadits
Dalil yang menceritakan tentang muaz bin jabal yang diutus nabi
menjadi hakim di yaman. Dalam hadits ini terjadi dialog antara nabi
dengan muaz, nabi saw bertanya kepada muaz, “bagaimana engkau
memutuskan hukum ?”menjawab pertanyaan ini ia menjawab secara

155
berurutan, “yaitu Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah, kemudian dengan
melakukan ijtihad” . nabi kemudian membenarkan jawaban muaz ini
dengan mengatakan: “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq
atas diri utusan nabi Allah dengan apa yang di ridhai Allah dan Nabi-
NYA. “ (HR. Abu Daud).

4. Bentuk dan Metode Ijtihad


Berikut dibawah ini merupakan beberapa metode ijtihad, diantaranya:
a. Ijma ‘, adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli pada
masalah di satu tempat pada suatu waktu.

b. Qiyas, hukum harus menyamakan satu hal bahwa tidak ada ketentuan di
dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan (lainnya) hukum di dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul karena perbandingan illat.
c. Istidlal, adalah untuk menarik kesimpulan dari dua hal yang berbeda.
d. Masalin Al-Murhal, adalah sebuah cara untuk menemukan hukum dari
suatu hal yang tidak memiliki ketentuan baik di dalam Al-Qur’an maupun
dalam kitab-buku hadist, berdasarkan pertimbangan manfaat masyarakat
atau kepentingan publik.
e. Istishan, adalah cara untuk menentukan hukum dengan menyimpang dari
ketentuan yang ada untuk keadilan dan signifikansi sosial. Atau cara untuk
membuat keputusan yang tepat sesuai dengan keadaan.
f. Istisab, hukum suatu isu harus menetapkan sesuai dengan keadaan
sebelumnya, sampai ada bukti untuk mengubahnya.
g. Urf atau adat istiadat ialah tidak bertentangan dengan hukum Islam
masih dapat dikonfirmasi harus berlaku untuk masyarakat yang
bersangkutan.

5. Macam-Macam Ijtihad
Berikut dibawah ini merupakan macam macam ijtihad, diantaranya:
 Ijtihad Fardhi

156
Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa
orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain
menyetujuinya dalam suatu perkara
 Ijtihad Jami’i
”Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua
mujtahidin.”

6. Fungsi Ijtihad
Berikut dibawah ini beberapa fungsi ijtihad, diantaranya:
 Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan solusi hukum jika ada suatu
masalah yang harus diterapkan hukumnya, tetapi tidak dijumpai dalam
Al-Quran maupun hadis. Jadi, jika dilihat dari fungsi ijtihadtersebut,
maka ijtihad mendapatkan kedudukan dan legalitas dalam Islam.
Meskipun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang,
tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad. Orang
yang berijtihad harus memiliki syarat sebagai berikut:
Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam,Memiliki
pemahaman mendalam tentang bahas Arab, ilmu tafsir, usul fiqh, dan
tarikh (sejarah),Mengenal cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan
melakukan qiyas,Memiliki akhlaqul qarimaah

A. Taklid
1. Pengertian taklid
Taklid atau Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengetahui sumber atau alasannya. Seperti seseorang itu mengikuti
pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya.
Orang seperti ini disebut Muqallid. Hukum-hukum amaliyyah dapat
kita bagikan kepada dua : Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa
memerlukan penelitian dan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh dalil yang qath’i dan yang dapat diketahui dengan
segera. Ia disebut sebagai al-ma’lum minad din bidDloruroh.

157
Contohnya ialah hukum tentang kewajiban shalat lima waktu,
kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat dalam shalat dan
sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat Islam.
Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian
terhadap dalil-dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak
dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad.
Masalah-masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak
sekali, seperti masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah,
apakah batal wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam
kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dari AlQur’an.
Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui apakah
hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian
ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab
dan perbedaanperbedaan pendapat dikalangan ulama’ terjadi dalam
masalah yang seumpama ini.
Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid. Kebanyakan
ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak mampu untuk
berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau fatwa dari
para mujtahid. Menurut Al-Amidi, ibnu alNajib dan Kamal al-
Hummam, tidak wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu.
Dalam satu masalah, mereka boleh beramal dengan madzhab ini,
kemudian dalam masalah lain mereka beramal dengan madzhab lain.
Berdasarkan madzhab ini, jika kita bertaqlid dengan madzhab Syafi’i
dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita bertaqlid dengan
madzhab ini dalam semua masalah. Dibenarkan mengamalkan pendapat
dari madzhab-madzhab lain.
Taqlid yang diharamkan ialah: Pertama Bertaqlid kepada seseorang
tanpa mengindahkan Al-Qur’an dan sunnah. Kedua Bertaqlid kepada
seseorang yang tidak diketahui kemampuannya berijtihad. Taqlid yang
berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada

158
buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal (Imam
Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali). Jamaludin al
Qosini (w. 1332 H): “segala perkataan atau pendapat dalam suatu
madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi
hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang
mengatakan perkataan itu”. Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid
kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya
sendiri yang ditulis dalam kitabkitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak
dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus. Taqlid yang umum :
seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil
rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan
agamanya. Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini.
Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut
dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin
memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka
ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada
padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain
Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya dalam
pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala
perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang
kebolehannya masih dipertanyakan.” Beliau juga berkata :
“Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan
yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang
memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya,
dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang
dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya,
pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar.
Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan
adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-

159
dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat
salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim (tahu)
tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama
tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang
dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain
yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad
telah menegaskan akan hal tersebut.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu
dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk
mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau
ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat. Pada dasarnya hukum asal
dari taklid adalah dilarang, ia menjadi dibolehkan ketika seseorang
tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam
memahami nash-nash AlQur’an dan As-Sunnah.

C. Ad-Dhararu
1. Pengertian Ad Dhararu
Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang
berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian
di antaranya adalah:
a. Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat di sini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian
anggota badannya karena ia tidak makan.
b. Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian
atau dari kesusahan yang teramat sangat.
c. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah
mengkhawatirkan diri dari dari kematian berdasarkan keyakinan
atau hanya sekedar dugaan.

160
d. Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah
batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang
maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
e. Darurat adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang
sangat darurat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan
itu membolehkan sesuatu yang dilarang.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas penulis mengambil


kesimpulan bahwa Dharurah adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Konsepsi kaidah memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun
oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti)
pada orang lain.

Penjelasan kaedah ad-dharûrah yuzalu


Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka
harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis
rasulullah:

‫ار‬ ِ َ‫ض َرر َوال‬


َ ‫ض َر‬ َ َ‫ال‬
“Tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan”

Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1. Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan bagimu ada manfaat tapi bagi
tetanggamu ada mudarat”.Sedangkan al-dhirar diartikan dengan bagimu tidak
ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan.
2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “membuat kemudaratan” dan
al-dhirar diartikan membawa kemudaratan di luar ketentuan syari’ah.
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya
yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga

161
dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan
karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam
perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam
menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak
mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan
haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain
(tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum sitetangga. Misalnya,
jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang
telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia
tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif
yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah
bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.
“Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudara” artinya, apabila
suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat
dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari
kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang
lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakakn
tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi
dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi
dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa
yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan
yang mempesulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk
menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.
Ada juga contoh lainnya mengenai kaedah ad-dharûrah yuzalu antara lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena
perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.

162
2. Larangan menghancurkan pahon-pahon, membunuh anak kecil, orang
tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat perperangan dan pendeta
agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
3. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
4. Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga
untuk menghilangkan kemudaratan
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya
yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga
dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan
karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam
perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam
menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak
mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan
haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain
(tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum sitetangga. Misalnya,
jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang
telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia
tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif
yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah
bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.
“Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudara” artinya, apabila
suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat
dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari
kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang
lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakakn
tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi
dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi

163
dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa
yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan
yang mempesulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk
menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.
Ada juga contoh lainnya mengenai kaedah ad-dharûrah yuzalu antara lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena
perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Larangan menghancurkan pahon-pahon, membunuh anak kecil, orang
tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat perperangan dan pendeta
agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
3. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
4. Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga
untuk menghilangkan kemudaratan.

164
BAB XII

TENTANG METODE IJTIHAD, MUJTAHID, AL-ADAH AL


MUHAKAMAH (TRADISI YANG DAPAT MENJADI
PERTIMBANGAN HUKUM)

Disusun Oleh :

SARDA NOVITASARI (1209.20.09082)

A. Ijtihad dan Mujtahid


Ijtihad dan Mujtahid adalah dua kategori konsekuensi ilmiah yang tidak
dapat dipisahkan. Ijtihad yang lahir mengatasnamakan metode keterampilan
menggali suatu peristiwa hukum yang terjadi, kehadirannya menuntut varian lain
yaitu dimensi keahlian. Dimensi keahlian tidak terwujud tanpa seseorang yang
dipandang cakap menggali peistiwa hukum tadi dengan kualifikasi-kualifikasi
yang telah tersedia. Dalam konteks ini, maka varian mujtahid perlu dihadirkan
dengan penjelasan-penjelasan berdasarkan tingkatan-tingkatan atau derajat yang
kemudian disebut mujtahid dengan berbagai dimensinya.
Menurut ulama usul, yang dimaksud dengan Ijtihad, sebagaimana
dikemukakan oleh Abdullah bin Abd al-Muhsin at-Turki ialah:
"Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara' yang
bersifat zanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya". Secara ethimologis kata ijtihad berarti kerja keras, telaten,
berkemauan tinggi dan bersungguh-sungguh. Mengingat pengertian ijtihad yang

165
sangat mengandalkan kemampuan instrumen fisik dan nalar, maka dapat
dipahami bila para ulama menawarkan beberapa kualifikasi yang sebagian
ditetapkan dengan ketat sebagian lagi tidak bagi setiap orang yang ingin
melakukan ijtihad. Adapun mujtahid adalah bentuk kata fa'il (pelaku) yang
berarti orang yang bersunguh-sungguh dengan mengerahkan segala
kemampuannya yang rasional, menggali (mempelajari) ajaran Islam yang
tertuang dalam al-Qur'an dan Hadits, dengan analisanya yang tepat, memberikan
pertimbangan tentang hukum-hukum Islam.
Sejalan dengan kredibilitas mujtahid sebagai orang yang dianggap mampu
menggali hukum syara', sudah selayaknya ia mengetahui (menguasai) bahasa
Arab. Di kalangan ulama telah sepakat perlunya mujtahid menguasai bahasa
arab dari berbagai aspeknya; baik aspek nahwu, saraf, mutlak, muqqyyad, lafazh
'am dan khash, haqiqi dan majazi, dilalat lafazh, muhkam dan mutasyabihat,
nash dan fahw-nya (arti atau maksudnya). Akan tetapi, mereka tidak
mensyaratkan mujtahid menguasai bahasa arab dengan mahir setingkat dengan
pakar bahasa arab seperti Ashmu'i dan Sibaweh. Dari aspek penguasaan bahasa,
mujtahid dipandang cukup dengan kemampuannya mengemukakan beberapa
aspek bahasa arab dari kitab pengarang terkenal seperti kitab Mufradat alQur'an
yang ditulis oleh al-Raghib al-Ashfibani dan kitab an-Nihayat fi Gharib al-
Hadits wa al-Atsar yang ditulis oleh Ibn al-Atsir.
Alasan perlunya mujtahid menguasa bahasa arab, menurut para ulama,
karena al-Qur'an dan Hadits merupakan kitab syari'ah yang disampaikan dengan
bahasa Arab. Bahkan, menurut mereka/beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits
sendiri yang menunjukkan bahwa al--Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab.
Rasyid Ridla setuju bahasa Arab merupakan salah satu syarat berijtihad.
Bahkan ia menekankan perlunya seorang mujtahid menguasai bahasa Arab dari
sisi tata · bahasa, susunan kata, termasuk kemampuan lengkap yang
berhubungan dengan ilmu kebahasaan. Kemampuan bahasa seperti ini
dibutuhkan agar mujtahid dapat menangkap (memahami) makna yang
terkandung dalam al-Qur'an maupun hadits.

166
Secara ideal para mujtahid selayaknya dapat menghafal seluruh ayat al-
Qur'an tetapi dalam kehidupan yang sudah demikian maju dengan tersedianya
sumber-sumber buku, seperti kitab tafsir ayat al-ahkam dan kitab-kitab lain yang
bertalian dengan masalah ulum al-Qur'an, para mujtahid tidak perlu dibebani
menghafal seluruh al-Qur'an karena akan mengalami kesulitan. Sementara
persoalaan-persoalan baru yang terus bermunculan tidak dapat dipecahkan
dengan cepat. Dengan tidak dikuasainya seluruh ayat al-Qur'an oleh mujtahid
tidak berarti menentang prinsip persyaratan kemampuan dalam berijtihad.
Karena yang dibutuhkan dalam ijtihad adalah kemampuan mujtahid
memecahkan objek permasalahan sejalan dengan pengetahuannya dalam
menangkap maksud yang terkandung dalam al-Qur'an. Jadi, yang penting bukan
menghafal al-Qur'an di luar kepala tetapi bagaimana sang mujtahid memahami
hukum-hukum syari'at yang terkandung dalam al-Qur'an dan mengetahui ayat-
ayat hukum yang menjadi nas bagi hukum-hukum tersebut. Dengan kata lain
mujtahid mempunyai kemampuan metodologi dalam menangkap makna (pesan)
al-Qur'an yang dijadikan sumber istinbath.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tentang sunnah, menurut Wahbah
Zuhaili, sebagaimana halnya dengan al-Qur'an, mujtahid harus mengetahui
sunnah baik bahasa maupun kandungan hukumnya tetapi tidak harus· menghafal
seluruh hadits. Hanya saja ia harus berkemampuan merujuk kepada hadits yang
dijadikan acuannya ketika melakukan istinbath hukum, yaitu dengan mengetahui
letak hadits melalui kamus hadits.
Keluasan pengetahuan seorang mujtahid di bidang hadits dapat
memberikan pengaruh padanya untuk tidak dengan mudah menggunakan ar-ray
(akal) dan qiyas (qiyas- adalah Imam Asy-Syafi’i mendefinisikan sebagai suatu
upaya pencarian (keterangan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap
sesuatu yang pernah diinformasikan dalam Al-Quran dan Hadis .) dalam
berijtihad pada tempat yang ada nasnya. Namun tidak berarti mujtahid
dipaksakan menghafal seluruh hadits itu di luar kepala, cukup seandainya ia
mengetahui letak hadits-hadits tersebut sehingga pada saatnya diperlukan
dengan cepat dapat menemukannya.

167
Dalam hal pengetahuan mujtahid kepada sunnah, ada hal-hal yang penting
dikaji berkenaan dengan sunnah sebagai persyaratan mutlak yang diperlukan
seorang mujtahid yaitu penguasaan beberapa aspek dari sunnah itu sendiri.
Menurut Muhammad Rasyid Ridla, sunnah sebagai penjelas alQur'an
wajib ditaati untuk tidak boleh menyimpang dari padanya. Sebagai sumber
hukum, hadits harus diposisikan oleh mujtahid sebagai dasar hukum setelah al-
Qur'an dan tidak dibenarkan menempatkan fiqh mendahului kedudukan hadits.
Dalam pesan-pesannya yang disampaikan kepada kelompok pembaharu
(mujtahid), Ridla menekankan kepada pemikir Islam (mujtahid, penggali
hukum) agar dapat menguasai Hadits baik dari sisi kualitas sanad, dilalat,
ta'arudl maupun tarjib. Dalam hal Hadits yang kualitasnya ahad, Ridla tidak
membolehkan mujtahid untuk menjadikannya sebagai sumber hukum.
Selain nasikh mansukh seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad,
hendaknya mengetahui hadits-hadits yang bertentangan secara lahir dan
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melakukan penafsiran terhadapnya.
Pengetahuan demikian diperlukan supaya mujtahid mampu mencari jalan keluar
dari kondisi hadits yang secara lahiriyah tampaknya bertentangan. Setelah
langkah ini ditempuh, seorang mujtahid baru dapat menjadikan hadits tersebut
sebagai pegangan dalam melakukan ijtihad.
Contoh Hadits yang secara lahiriah bertentangan ialah hadits masalah riba.
Dalam sebuah sabda Rasulullah Saw dinyatakan;
"Usamah telah menceritakan padaku bahwa Nabi Saw bersabda: tidak ada
riba kecuali riba nasi'at (riba yang muncul dari utang piutang)" (H.R. al-Bukhari)
Hadits ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi'at, yaitu riba yang berawal
dari pinjam meminjam uang. Dengan demikian riba alfadll tidaklah haram. Akan
tetapi, dalam hadits lain Rasulullah Saw menyatakan:
"Abdurrahman telah menceritakan pada kami dari Abu Bakrah, bahwa
Rasulullah Saw berkata; janganlah kamu jual emas dengan emas, perak dengan
perak, kecuali dalam jumlah yang sama. Dan juallah emas dengan perak atau
perak dengan emas menurut yang engkau mau" (H.R. Bukhari).

168
Hadits ini mengandung hukum bahwa riba alfadll diharamkan. Antara
kedua hadits tersebut terkandung pertentangan hukum dalam masalah riba
alfadll. Hadits pertama membolehkan dan hadits kedua mengharamkan.
Mengetahui sebab wurud suatu hadits sangat diperlukan untuk dapat
mengetahui hadits baik secara tektual maupun secara kontekstual. Pengetahuan
tentang asbab al-wurud ini dirasakan lebih penting di dalam upaya memahami
hadits-hadits hukum, sekalipun tidak semua hadits Nabi mempunyai asbab al-
wurudnya. Hal ini disebabkan bahwa kandungan hadits untuk sebagian bersifat
kondisional dan lokal. Dengan kata lain, hadits sebagai sumber hukum. Untuk
sebagian merupakan penjelmaan nabi yang empirik dari kandungan hukum al-
Qur'an sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam. Penjelmaan nabi
tersebut dipandang sebagai fakta sosiologis yang lebih kuat dari pada fakta
sosiologis umumnya karena ia dijelmakan oleh seorang yang terbebas dari
kesalahan (ma'shum). Menurut Fazlurrahman, seorang nabi adalah seorang yang
keseluruhan waktu dan perilaku aktualnya jauh lebih tinggi dari manusia pada
umumnya. Oleh karena itu; pengetahuan wurud hadits merupakan keniscayaan
bagi seorang yang akan melakukan ijtihad.
Seorang mujtahid diharuskan juga mengetahui ikhtilaf (perbedaan
pendapat) yang terjadi di antara para fukaha. Misalnya mengetahu perbedaan
pendapat dan metode antara ulama fiqh di Madinah dan ulama fiqh di Irak.
Dengan demikian mujtahid secara rasional akan mampu memilah mana pendapat
yang dianggap valid dan yang tidak, kaitan dekat atau jauhya dengan sumber al-
Qur'an dan hadits.
Imam Syafi'i merupakan ulama yang sangat mendukung bagi yang akan
melakukan ijtihad untuk memuhami qiyas dengan mendalam. Menurutnya
ijtihad itu sebenamya upaya berfikir untuk mengetahui jalan-jalan qiyas. Bahkan
ia berpendapat ijtihad itu sendiri adalah qiyas. Oleh karena itu, seorang mujtahid
harus benar-benar mengetahui qiyas yaitu . dengan mengetahui hukum-hukum
asal berdasarkan nash sebagai sumber hukum. Upaya ini penting diketahui oleh
mujtahid untuk dapat menentukan hukum asal mana yang lebih dekat dengan
objek yang menjadi sasaran ijtihadnya. Mujtahid yang ingin melahirkan qiyas

169
sebagai mana disebut diatas, menurut Abu Zahrah, diperlukan mengetahui empat
hal:

1. Mengetahui seluruh nas yang menjadi dasar hukum asal beserfa' 'illatnya
untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’ (cabang).
2. Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh
mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta
sifat-sifat 'illat sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan
dengan furu’.
3. Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salaf yang saleh dalam
mengetahui 'illat-'illat-nya hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai
prinsip penetapandlan penggalian hukum fiqh.
4. Mengetahui maksud-maksud hukum; Hukum atau syari'ah Islam
diciptakan tidak lain bertujuan buat mensejahterakan seluruh umat
manusia. Dalam bahasa usul tujuan hukum itu disebut dengan istilah
maqashid asy-syari'at. Asy-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat
mempergunakan kata-kata yang berbeda dalam kaitannya dengan
maqashid ary-ryari'at. Kata-kata itu ialah maqashid asy-syari'at,
almaqashid ary-syari'at fi asy-ryari'at dan maqashid min syar'i al-bukm.
Semua kata yang ditulis berbeda itu, menurut penulis, intinya mengandung
pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah
swt.

Sayyid Muhammad Musa dengan sistematik telah mengelompokkan


syarat-syarat ijtihad ke dalam beberapa poin berikut di bawah ini:
Pertama, persyaratan umum (asy-syuruth al-'ammat), yang mencakup
syarat balig, berakal sehat, kuat daya nalarnya, dan beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (asy-syuruth al-asasiyayt), yang merupakan
syarat-syarat . pokok yang menekan· mujtahid supaya mempunyai
kemampuan cakap di bidang mengetahui al-Qur'an, memahami sunnah,
memahami maksud-maksud hukum syari'ah dan mengetahui kaidahkaidah
umum hukum Islam.

170
Ketiga, persyaratan penting (asy-syuruth al-hammat), merupakan
syarat penting yang hahus dimiliki mujtahid. Syarat-syarat dimaksud
adalah menguasai bahasa Arab, mengetahui ilmu ushul Fiqh mengetahui
ilmu matik atau logika, dan mengetahui hukum asal (al-bara'at al-
ashliyyat).
Keempat, persyaratan pelengkap (asy-syuruth at-takmiliyyat). Syarat
ini menetapkan agar mujtahid tidak berijtihad tentang masalah yang sudah
ada dalilnya secara qath'i, mengetahui posisi khilafiyyat, dan - menjaga
ketakwaan dan keshalehan.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyat membagi peringkat mujtahid ke dalam
empat bagian;
Pertama, orang yang mengetahui kitab Allah, sunnah Rasul-Nya dan
ucapan-ucapan para sahabat sehingga ia mampu memberikan pemecahan
hukum terhadap peristiwa yang menantangnya di tengah-tengah
masyarakat. Mujtahid dalam tingkatan ini meskipun masih terikat dengan
pendapat pendahulunya tidak berarti menghilangkan kedudukannya
sebagai mujtahid karena masih dipandang cakap menggali hukum dari
sumbernya. Al-Syafi'i dalam satu sisi ia mengikuti 'Atha dalam masalah
haji tetapi statusnya tetap dipandang sebagai mujtahid bukan muqallid.
Kedua, mujtahid muqqyyad ialah mujtahid yang terbatas dalam
lingkungan mazhab imam yang diikutinya. Ia mengetahui fatwa,
perkataan, sumber dan metode ijtihad imam yang dianutnya. Bahkan ia
sanggup berijtihad ten tang pristiwa-peristiwa barn yang oleh imam yang
dianutnya belum dijumpai pemecahan hukumnya sehingga memungkinkan
ia tidak mengikuti ijtihad imamnya. Akan tetapi, ia tetap berpola dan
memberikan fatwa berdasarkan metode ijtihad imamnya.
Ketiga, mujtahid fl al-madzhab (dalam satu madzhab), di mana ia
mengaitkan dirinya pada madzhab tersebut. Mujtahid pada level ini sangat
mengenal dalil dan fatwa-fatwa imamnya. Ia tidak hendak lepas dari apa
yang telah digariskan oleh imamnya. Oleh karena itu, ia tidak perlu
mengetahui al-Qur'an, sunnah dan konstelasi bahasa Arab, karena

171
mengenai kasusnya telah merasa cukup dengan apa yang telah digariskan
oleh imamnya.
Keempat, komunitas manusia yang menggabungkan dirinya pada satu
madzhab, mengetahui fatwa-fatwa dalam madzhab tersebut dan dirinya
merasa mantap dan nyaman menjadi muqallid. Bila komunitas tadi
menjelaskan masalah dengan al-Qur'an dan sunnah, itu semata untuk
mendapatkan berkahnya bukan sebagai hujjah hukum.
Gambaran adanya isyarat perkembangan ijtihad sejak masa Nabi,
terlukis pula pada peristiwa sekelompok sahabat Nabi Muhammad Saw
yaitu Umar ibnu al-Khaththab clan Mu'adz ibnu Jabal r.a. Ketika keduanya
bepergian, di tengah perjalanan tiba waktu shalat subuh, sementara mereka
tidak mendapatkan air padahal mereka dalam keadaan mempunyai hadats
besar (junub) yang mengharuskan mereka mandi. Menghadapi situasi
demikian, kedua sahabat melalui nalarnya mengambil tindakan dan
keputusan sendiri-sendiri. Mu'adz berkeputusan menggulingkan seluruh
anggota tubuhnya di atas tanah (padang pasir) guna bertayamum dan
mengerjakan shalat subuh. Tindakan ini dilakukan oleh Mu'adz, dengan
dasar menganalogikan bahwa bersuci dengan debu sama hukumnya
dengan bersuci menggunakan air. Prinsip Umar sangat berbeda dengan
ijtihad yang dilakukan oleh Mu'adz, Umar mengambil tindakan dengan
tetap mencari air dan dengan terpaksa ia mengakhirkan shalat subuhnya.
Kedua sahabat melaporkan kepada Nabi tentang peristiwa yang
dialaminya itu setelah keduanya kembali dari perjalanan. Rasulullah Saw.
tidak membenarkan tindakan yang dilakukan oleh kedua sahabat. Lalu
Rasulullah menjelaskan bahwa qiyas yang dilakukan Mu'adz bernilai fasid
karena bertentangan dengan ayat al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 43:
" ... Dan jika kamu dalam keadaan sakit, atau sedang berada di tengah
perjalanan, keluar dari tempat buang air atau habis menyentuh wanita
(bersenggama), kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah (debu) yang baik (suci); kemudian
usaplah muka clan kedua tanganmu ... "

172
Masa-masa tragis pemikiran Fiqh Islam yang memakan waktu sekitar
kurang lebih . sembilan abad sejak pertengahan abad keempat sampai
akhir abad ketiga belas, merupakan fase kemunduran yang dalam titik
klimaksnya dijuluki sebagai 'periode taqlid' clan 'penutupan ijtihad'.
Periode kelam ini telah membiarkan realitas memanuti paham clan
pendapat-pendapat para ulama (mujtahid) masa lalu dengan tanpa lagi
mendayagunakan nalarnya. Lebih celakanya sebagian fuqaha menyambut
era kemunduran dengan merelakan jendela ijtihad ditutup rapat-rapat.
Ijtihad mutlak yang selama ini menjadi andalan tidak lagi diakui karena
telah dihalangi oleh aturan persyaratan ijtihad secara kaku clan ketat.
Menurut sebagian pemikir Islam kontemporer, di masa itu mujtahid hanya
diperkenankan melakukan kajian campuran dan perbandingan tentang
hukum Islam dari aliran-aliran fiqh yang berbeda. Mengenai tertutupnya
pintu ijtihad masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ulama.
Ulama syi'ah yang notabenenya mengijinkan ijtihad terbuka, demikian
juga di kalangan ulama sunni dan bahkan antar intern sesama kaum ahli
sunnah sekalipun, tengah terjadi benturan pendapat mengenai soal tertutup
atau tidaknya pintu ijtihad ini.

A. Mufti
Mufti adalah orang yang diberi wewenang untuk menghasilkan fatwa
dengan cara ijtihad. Tugas Mufti adalah mengenalkan dan menerapkan syariat
Islam dalam suatu masyarakat. Syarat untuk menjadi mufti adalah menguasai
ilmu ushul fikih, fikih dan syariat Islam serta memiliki sifat yang mulia dan
sehat. Fatwa (Kata fatwa dalam bahas arab disebut ifta’, yang berarti
memberikan penjelasan, hukum, atau keputusan. Fatwa secara sederhana
adalah jawaban atas suatu kejadian) yang dibuat oleh Mufti harus mengikuti
perkembangan zaman.
Mufti berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’
yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat Muslim. Umat akan selamat
apabila mufti memberikan fatwa yang benar. Sebaliknya umat akan tersesat

173
apabila mufti salah di dalam berfatwa. Maka seorang mufti harus memiliki
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Syarat umum, mufti harus seorang yang sudah mukallaf yaitu muslim,
dewasa, dan sempurna akalnya.
b. Syarat keilmuan, mufti harus mempunyai keahlian dan kemampuan
untuk melakukan ijtihad, seperti: pengetahuan bahasa, pengetahuan
Alqur’an, dan sunnah Nabi, ijma’, pengetahuan ushul fiqh, dan tujuan
hukum.
c. Syarat kepribadian, mufti harus adil, dapat dipercaya dan mempunyai
moralitas. Syarat ini harus dimiliki seorang mufti karena secara
langsung mufti akan menjadi panutan masyarakat.
d. Syarat pelengkap, mufti harus mempunyai keteguhan niat, tenang
jiwanya, hasil fatwanya tidak membingungkan atau menimbulkan
kontroversi dan dikenal di tengah umat.

Pemilihan mufti harus mempertimbangkan kepercayaan


masyarakat terhadapnya, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan
tentang hal-hal yang halal dan haram untuk dilakukan dalam kehidupan
bermasyarakat. Persyaratan dasar untuk menjadi Mufti adalah memiliki
kemampuan melakukan ijtihad. Dalam pelaksanaannya, Mufti harus
dipilih dari para mujtahid yang memiliki pemikiran yang adil dan jujur
terhadap masyarakat yang diberi fatwa. Mufti juga harus menguasai ilmu
ushul fikih, fikih, dan syariat Islam. Sifat pribadi yang harus dimiliki oleh
Mufti yaitu tidak melakukan perbuatan haram dan sia-sia, memiliki
pendirian yang teguh, tidak bersikap sombong, dan sehat rohani maupun
jasmani.
Mufti menghasilkan fatwa yang bersifat mengikuti keadaan sosial
dalam suatu masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Perannya adalah
sebagai pemberi nasihat melalui fatwa yang dibuatnya. Tujuannya adalah
untuk melaksanakan pemikiran syariat Islam. Fatwa yang dihasilkan oleh
mufti dapat merubah kehidupan sosial dalam masyarakat yang diberi

174
fatwa. Fatwa tersebut tidak berasal dari pendapat pribadinya. Mufti akan
memberikan fatwa yang berkaitan dengan permasalahan praktis yang
sumber hukumnya tidak disampaikan secara jelas dalam Al-Qur'an dan
Sunah. Nilai-nilai dalam kedua sumber syariat Islam tersebut kemudian
akan dikaji sehingga menghasilkan fatwa yang dapat menyelesaikan
permasalahan tersebut.
Pemberian fatwa harus dilandasi dengan pengetahuan tentang
tradisi yang berlaku dalam masyarakat yang meminta fatwa kepada Mufti.
Ideologi yang berkembang dalam suatu masyarakat harus
dipertimbangkan, sehingga fatwa yang dihasilkan oleh Mufti dapat
diterapkan secara tepat. Selain itu, fatwa yang dihasilkan harus mengikuti
perkembangan zaman sehingga tidak mempersulit masyarakat dalam
menerapkannya.
Mufti tidak boleh menolak memberikan fatwa apabila ada
permintaan dari masyarakat awam. Namun mufti juga tidak boleh selalu
membuat fatwa Jika suatu fatwa sudah tidak sesuai dengan keadaan dalam
suatu masyarakat, maka Mufti dapat membatalkan fatwa yang telah dibuat
sebelumnya dan menggantinya dengan fatwa baru disertai dengan alasan
yang jelas. Fatwa yang dibuat oleh Mufti tidak boleh digunakan untuk
kepentingan dan keuntungan pribadinya. Selain itu, fatwa yang merujuk
pada mazhab tertentu harus berasal dari kitab fikih yang diakui secara
umum oleh masyarakat yang meminta fatwa.

B. Al-‘adah Muhakkamah
“Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa
dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’.
Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada dasarnya
atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan
bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang
diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka

175
memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-
nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat
meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka
mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti
inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya,
tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya
menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara
selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat
penunjang hukum-hukum syara’.
Secara bahasa,al-‘adah diambil dari kata a-‘aud (‫ )العود‬atau al-mu’awadah (
‫ )المعاودة‬yang artinya berulang(‫)التكرار‬

Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-‘adah dengan:


“Sesuatu ungkapandari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang
terulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”
Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada dua macam
pertimbangan yang harus diperhatikan. Pertama, pertimbangan keadaan
kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya, dimana dan kapan terjadinya,
bagaimana proses kejadiannya, mengapa terjadi, dan siapa saja pelakunya.
Kedua, perimbangan hukum. Dalam perimbangan hukum inilah terutama
hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam Al-Qur’andan Al-Hadis, adat
kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan
dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim
dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau. Jadi maksud
kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat menjadi
sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama oleh
seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan
dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil
nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah
adat.

176
● Dasar Hukum Al-‘adah
Ketika hadis ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadis nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadis nabi yang
menguatkannya. Sedangkan kaidah tersebut setelah di kritisi dan diasah
oleh para ulama sepanjang sejarah hukum Islam, akhirnya menjadi kaidah
yang mapan.
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf serta berpaling dari orang-orang yang bodoh”(QS. Al-
A’raaf:199)
Artinya: “Dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 228)
Artinya: “Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang
ma’ruf (baik)” (an-Nisa:19)
Artinya: “Kaffarat (melanggar sumpah) ialah memeberi makan
sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu atau memberi pakaian” (QS. al-Maidah:89)

● Kekecualian dari kaidah


Seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa al-‘adahyang
dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al-‘adah al-shahihah,
bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak dapat
digunakan apabila:
1. al-‘adah bertentangan dengan nash baik Al-Qur’an maupun Al-Hadis,
seperti: saum terus-terusanatau saum empat puluh hari atau tujuh hari
siang malam, kebiasaan judi, menyabung ayam, kebiasaan menanam
kepala hewan korban waktu mebuat jembatan, kebiasaan memelihara babi
atau mmperjual belikan daging babi, dan lain sebagainnya.
2. al-‘adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan
kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau
kesukaran, seperti: memboroskan harta,hura-hura dalam acara perayaan,
memaksakan dalam menjual (jual beli dedet-sunda), dan lain sebagainnya.

177
3. al-‘adah berlaku pada umumnya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya
yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh
beberapa orang saja maka tidak di anggap adat

● Kaidah-Kaidah Cabang
Diantarakaidah-kaidah cabang dari kaidahal-‘adah muhkamah adalah
sebagai berikut:

a) “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah


(alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan”

Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat


kebiasaaan dimasyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap
anggota masyarakat menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaian
kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang
menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.

b) “Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah


adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.
Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa
dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya
sekali-sekali terjadi dan/atau tidak berlaku umum. Kaidah ini
sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu
terus-menerus dilakkandan bersifat umum (keberlakuannya).
Contohnya: apabila seseprang berlangganan majalah atau surat
abar, maka majalah atau surat kabar itu diantar kerumah pelanggan.
Apabila pelanggan tidak mendapat majalah atau surat kabar
tersebut maka ia bisa komplain(mengadukannya) dan menuntutnya
kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.
c) “Adat yang diakui adalah yang umunya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Ruayidi menggunakan ungkapan lain yaitu:

178
d) “Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang
terjadi”
Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu
hamil terpanjang, tetapi bula menggunakan kaidah diatas, maka
waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun. Demikian
pula menentukan menopause dengan 55 tahun.

e) “Sesuatu yang telah dikenal karena’urf seperti yang diisyaratkan


dengan suatu syarat”

Maksudnya : adat kebiasaaan dalam bermuamalah


mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang di buat, meskipun
tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya : apabila orang
bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka
berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong
itu tidak dibayar. Jadi tidak bisamenuntun bayaran. Lain halnya
apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang
biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun. Lalu
dia bekerja disitu, maka dia harus dibayar upahnya seperti yang
lainnya meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan
tukang kayu atau tukang cat apabila dibayar, dia mendapatkan
bayaran.

f) “ Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai


syarat di antara mereka”
Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya
dibidang muamalah saja, dan itu pun dikalangan pedagang.
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di
antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi. Kaidah ini
lebih mengkhususkan adat atau ‘urf yang ada (terbiasa) diantara
para pedagang saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam
kaitannya dengan kaidah al-adah muhakkamah. Sehingga maksud
kaidah ini adalah segala sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal

179
dikalangan para pedagang, maka posisi (status hukum) sesuatu ini
adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku
diantara mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas
dalam sebuah akad atau ucapan. Namun aplikasi kaidah ini tidak
hanya berlaku untuk transaksi antara sesama pedagang saja, akan
tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait
dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Adapun
contoh aplikasi kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi
penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli.
Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya
angkutan ke lokasi pembeli.

g) “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”


Maksudnya kaidah ini adalah sesuatu ketentuan
berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat seperti telah dikemukakan
pada bagian c. Adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti
penetapan hukum berdasarkan nash.
Contohnya: apabila sseseorang menyewa rumah atau toko
tanpamenjelaskansiapa yangbertempat tinggal dirumah atau toko
tersebut, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut
tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan
izizn orang yang menyewakan.

h) “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkann adat kebiasaan seperti


yang tidak berlaku dalam kenyataan’
Maksudnya kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi
berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin
terjadi dalam kenyataannya. Contohnya: seseorang mengaku
bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi dia tidak
bisa menjekaskan dari mana asal harta tersebut. Sama halnya

180
seseperti seseorang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur dia
lebih tua dari si A yang diakui sebagai bapaknya.

i) “Arti hakiki ( yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk


arti menurut adat”
Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila
ada arti lain yang ditunjukkan oleh adat kebiasaan. Contohnya;
yang disebut jual beli adalah penyerahan uang danpenerimaan
barang olehsipembeli serta sekaligus penyerahan barang dan
penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi, apabila sipembeli
sudahmenyerahkan tanda jadi (uang muka),maka berdasarkan adat
kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjualtidak bisa
lagi membatalkan jual belinnya meskipun harga barang naik.

BAB XIII
(Kaidah pokok 6 Jalbu Al-Mashalih Wa Dar’ul Mafasid,
mengambil manfaat dan meninggalkan kerusakan)
Disusun Oleh :
M.HASNADI (1209.20.09074)
SAHBUDI (1209.20.09081)

A. Pengertian Kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid


Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid adalah meraih kemaslahatan dan
menolak kemafsadatan (kerusakan). karena pada dasarnya manusia dalam
sehari-hari tidak jauh dengan hal yang maslahah dan mafsadat seperti yang
dikatakan oleh Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-
Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah
muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat.
Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag

181
menyebabkan mafsadat72. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan
seluruh yang mafsadat dilarang.

B. Kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid


b‫هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا‬
"Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud
Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara
bersama-sama

‫اين ما وجدت المسلحة فثم شرع هللا‬


”Kapan saja ditemukan kemashlahatan, maka itu syari’at Allah”
Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya qawaid al-Ahkam fi
Musholih al-Anam mengatakan bahwa seluruh Syariah itu adalah maslahat, baik
dengan cara menolak mafsadah atau dengan meraih maslahah. Kerja manusia itu
ada yang mebawa kepada mashlahat ada pula yang menyebabkan mafsadah.
Baik maslahat maupun mafsadah ada yang untuk kepentingan duniawiyah dan
ada yang untuk kepentingan ukhrowiyah, dan ada juga yang untuk kepentingan
duniawiyah sekaligus ukhrowiyah. Seluruh yang maslahat diperintahkan oleh
syariat dan seluruh yang mafsadat dilarah oleh syariat. Setiap kemaslahatan
memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaatnya serta
pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki tingkat-tingkatannya dalam
keburukan dan kemudharatannya.73
Kemaslahatan dapat dibagi menjadi tiga bagian :
1. Kemaslahatan dari wajibat, setiap hal yang wajib pasti membawa
kemaslahatan. Contohnya sholat fardu.
2. Kemaslahatan dari mandubat (tindakan yang sunah). Contohnya Sholat
Sunah.Semua hal yang wajib maupun yang mandubat adalah sesuatu yang
membawa kemaslahatan, apabila kita melaksanakan perintah Allah, maka
72
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Kencana,
2011), hlm.27

73
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.2

182
kita termasuk orang yang bertakwa. Adapun Allah memberikan jaminan
kepada orang yang bertakwa, diantaranya:
‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا‬
ِ َّ‫َم ْن يَت‬

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan


baginya jalan keluar. QS. Ath-Thalaq: 2

‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ ِم ْن أَ ْم ِر ِه يُ ْسرًا‬


ِ َّ‫َو َم ْن يَت‬

Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan
kemudahan baginya dalam urusannya.QS. Ath-Thalaq: 4

‫ق هَّللا َ يُ َكفِّرْ َع ْنهُ َسيِّئَاتِ ِه َويُ ْع ِظ ْم لَهُ أَجْ رًا‬


ِ َّ‫َو َم ْن يَت‬
Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.QS.
Ath-Thalaq: 5

3. Kemaslahatan dari mubahat (tindakan yang jawaz), yang dimaksud mubah


disini adalah bukan sesuatu yang jika dikerjakan ataupun ditinggalkan
tidak akan mendapat pahala ataupun berdosa. Tapi, sesuatu yang jika
sudah diperbuat maka akan menimbulkan dua kemungkinan yaitu akan
jadi baik atau bahkan buruk. Jika hal mubah yang kita perbuat sesuai
dengan syariat Islam maka insyaallah akan mendapat pahala dan
sebaliknya. Contohnya, Makan dan minum.

Kemafsadatan juga dibagi menjadi dua bagian:


1. Kemafsadatan dari makruhat (tindakan yang makruh), contohnya,
memakan hal-hal yang menyebabkan bau tidak nyaman, berkumur ketika
berpuasa.
2. Kemafsadatan dari muharromat (tindakan yang haram), 74contohnya adalah
berzina
74
Izzuddin Ibn Abd Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Kemaslahatan Manusia, terj.
Ahmad Ibnu Izar, (Bandung: Musa Media, 2011), hlm. 7

183
C. Penerapan Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid.
Sebagian besar kemashlahatan dunia dan mafsadatnya telah diketahuai
akal pengetahuan. Melaksanakan kesamashlahatan murni dan menolak
kemafsadatan murni merupkan perbuatan yang sanagat terpuji bagi manusia.
Demikian pula, dalam mendahulukan kemashlahatan yang lebih unggul dan
menolak kemafsadatan yang lebih unggul atau menolak kemafsadatn yang
lebih unggul terlebih dahulu, kemudian mengerjakan kemashlahatan tingkat
biasa atau mengerjakan kemashlahatan yang lebih unggul, kemudian menolak
kemafsadatan tingkat biasa, perihal tersebut sudah ada consensus atas
kebaikannya oleh ahli hukum.

Dalam syariat terdapat perbedaan manayang harus didahulukan antara


menolak kemafsadatan atau mengerjakan kemadharatan, hal ini pada
prinsipnya hanya berorientasi pada sulitnya mengetahui tingkat keunggulan
masing-masing. Banyak manusia yang mengalami kebingungan, akhirnya
mereka tidak mengerjakan kemashlahatn dan tidak memberantas
kemafsadatan.75

Ulama ushul membagi mashlahah pada tiga bagian yaitu:


1. Jalbul Masholih, Apabila menghadapi maslahat pada waktu yang sama,
dan harus dipilih salah satunya, maka pilihlah yang paling maslahat
‫ر ِعبَا ِدالَّ ِذينَ يَ ْستَ ِمعُونَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُونَ أَحْ َسنَه‬bْ ‫فَبَ ِّش‬..
….Beri kabar gembiralah hamba-hambaku yang mendengarkan ucapan-
ucapan orang dan mengambil jalan paling baik diantanya…QS. Az-Zumar:
17-18

‫ك يَأْ ُخ ُذوا بِأَحْ َسنِهَا‬


bَ ‫ َو ْأ ُمرقَوْ َم‬....

75
Izzuddin Ibn Abd Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Kemaslahatan Manusia,
terj. Ahmad Ibnu Izar, (Bandung: Musa Media, 2011), hlm. 3-4

184
“….Perintahkanlah kepada umatmu untuk mengambil yang paling
baik….QS. Al-A’raaf: 145
Dari kedua ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
ketika ada dua perkara yang baik, maka ambillah perkara yang paling baik
diantara keduanya.

Sebagai contoh, menghormati tamu adalah suatu yang maslahat,


wiridan setelah sholat juga maslahat, lalu ketika kita sehabis sholat dan ada
seorang tamu yang datang, maka temuilah tamu itu dan tinggalkanlah
wiridan karena menghormati tamu adalah sesuatu yang membawa
maslahat bagi kita pribadi juga bagi sang tamu sendiri. Sedangkan
mashlahat dari wiridan adalah hanya untuk diri kita sendiri.

2. Mashlahah “dar’ul mafasid” (mashlahah dharuraat) Apabila menghadapi


mafsadat pada waktu yang sama, maka cara memilih untuk
meninggalkannya adalah dahulukan yang paling buruk akibatnya karena
pada hakikatnya mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan mafsadat
berarti mengejar maslahat.

ِ ْ‫يل لَهُ ْم اَل تُ ْف ِسدُوا فِي اأْل َر‬


َ‫ إِنَّ َما نَحْ نُ ُمصْ لِحُون‬b‫ض قَالُوا‬ َ ِ‫َوإِ َذا ق‬
Artnya : Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-
orang yang mengadakan perbaikan". (QS. Al-Baqarah: 11)

Contohnya: Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kontraksi


yang sangat parah, sampai akhirnya dokter memberikan pilihan kepada
keluarga tersebut untuk memilih salah satu jiwa yang harus dikorbankan.
Dalam kasus ini maka yang harus dikorbankan adalah sang anak. Karena
ketika menyelamatkan seorang ibu kemungkinan sang ibu bisa hamil
kembali. Tapi ketika yang diselamatkan sang anak, anak tersebut hanya
akan dibesarkan oleh sang ayah seorang.

Contoh lain juga terdapat pada surat an-Nisa 148

185
‫ال يُ ِحبُّ هَّللا ُ ْال َجه َْر بِالسُّو ِء ِمنَ ْالقَوْ ِل إِال َم ْن ظُلِ َم َو َكانَ هَّللا ُ َس ِميعًا َعلِي ًما‬
Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terang-
terangan kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. )QS. An-Nisa: 148.

Perkataan yang buruk adalah suatu hal yang tidak baik, sedangkan
dzalim ke pada orang lain juga termasuk perbuatan tercela. Alah Swt. tidak
menyukai perkataan, dengan demikian perkataan yang buruk adalah hal
yang mafsadat karena segala sesuatu yang makruh adalah mafsadat, tapi
jika ada orang yang dzalim kepada kita maka kita diperbolehkan
mengucapkan perkataan yang buruk itu karena untuk menangkal
kerusakan yang lebih besar bisa dilakukan dengan kerusakan yang lebih
kecil.

3. Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih.


Apabila terkumpul antara maslahat dan mafsadat dan antara
maslahat dan mafsadatnya sama-sama kuat, maka menolak mafsadat lebih
utama dari pada meraih maslahat.

Contohnya, pada suasana panas, tidak berkumur dalam wudhu


ketika berpuasa. Berkumur ketika berwudhu adalah suatu hal yang sunah,
namun ketika melakukan kumur-kumur ketika berwudhu dikhawatirkan
akan membatalkan puasa, maka lebih baik tinggalkanlah kumur-kumur
tersebut.76

Tapi apabila mafsadatnya lebih besar maka yang harus dipilih


adalah yang maslahatnya. Sebagai contoh:

‫اس َوإِ ْث ُمهُ َما أَ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما‬


ِ َّ‫ع لِلن‬bُ ِ‫ك ع َِن ْالخَ ْم ِر َو ْال َمي ِْس ِر ۖ قُلْ فِي ِه َما إِ ْث ٌم َكبِي ٌر َو َمنَاف‬
bَ َ‫يَسْأَلُون‬
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
(QS. Al-Baqarah: 219)

76
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: Maktabah as-Sa’adiyyah Putra)

186
Ayat di atas menjelaskan bahwa khamar memiliki mashlahat dan
juga mafsadat. Tapi menurut ayat di atas, mafsadat dari khamar lebih
banyak dari pada mashlahat nya. Maka dari itu tinggalkanlah khamar.

D. Mencegah Kerusakan Lebih Didahulukan Daripada Mengambil Manfaat


(Dar-ul mafasid muqqadaman ‘ala jalbil mashalih)
Ini adalah satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ahli fiqih dari ketegasan
syariat dalam masalah larangan. Maksudnya , manakala suatu perkara memiliki
sisi manfaat dan sisi mafsadah (kerusakan). Jika diperhatikan sisi mafsadah maka
akan hilang manfaatnya. Dalam kondisi seperti ini yang harus lebih diperhatikan
adalah sisi mafsadah. Karena kerusakan mudah sekali menjalar , seperti api yang
melalap kayu bakar.
Contoh :
1. Tidak diperbolehkan menjual anggur kepada orang yang akan
membuatnya menjadi khamer, meskipun ia berani membayar dengan harga
lebih tinggi. Tidak diperbolehkan membuat atau menjual khamer,
meskipun mendatangkan keuntungan yang besar.
2. Wanita tidak boleh bekerja di tempat yang bercampur baur dengan laki-
laki yang bukan muhrim. Begitu juga dengan kaum adam karena sisi
negatifnya lebih banyak.
Kaidah fiqih ini juga didukung oleh hadist nabi ‫“ ; ﷺ‬Tidak
halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, melakukan
perjalanan denga jarak yang ditempuh selama satu hari, kecuali dengan
mahramnya” (HR bukhari dan muslim)

Perlu diketahui bahwa yang menjadi tolok ukur maslahat dan mafsadah
yang terdapat pada suatu perkara adalah kebiasaan yang sudah lazim. Karenanya,
jika sebuah perbuatan, biasanya mendatangkan mafsadah, maka perbuatan
tersebut tidak boleh dikerjakan. Mafsadah disini bukanlah mafsadah yang jauh
lebih kecil dibanding dengan maslahatnya. Misalnya perbuatan yang mengandung

187
mafsadah. Namun, perbuatan itu juga jelas-jelas membawa manfaat yang lebih
besar dari mafsadah yang ada. Maka perbuatan itu diperbolehkan.

Contoh :
1. Memotong bagian tubuh yang terluka untuk menyelamatkan nyawa orang
tersebut. Karena jika dibiarkan maka keselamatan nyawa orang tersebut
akan terancam.
2. Berbohong dalam rangka menyelesaikan permusuhan dua orang yang
bertikai. Karena jika pertikaian tersebut dibiarkan, maka akan
mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan atau bahkan kekacauan
semakin meluas.

BAB XIV

TA’ARUF SERTA APLIKASI QAWA’IDUL FIQHIYYAH

DALAM TRANSAKSI EKONOMI KONTEMPORER


Disusun Oleh :

ZULHIJA AMILIA (1209.20.09086)

2.1. TA’ARUF

A. Pengertian Ta’aruf

Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan


antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati
zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra’ ayat 32:

‫ٱلزن ٰ َٓى ۖ إِنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح َشةً َو َسٓا َء َسبِي ًل‬ ۟ ‫َوالَ تَ ْق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah


suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’[17]: 32)

188
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk, bahwa Allah
menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku- suku
serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan)
dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-
Hujurat ayat 13:

َ ‫م ُشعُوبًا َوقَبَٓائِ َل لِتَ َع‬bْ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا َخلَ ْق ٰنَ ُكم ِّمن َذ َك ٍر َوأُنثَ ٰى َو َج َع ْل ٰنَ ُك‬
‫ارفُ ٓو ۟ا ۚ إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم‬
‫ِعن َد ٱهَّلل ِ أَ ْتقَ ٰى ُك ْم ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم خَ بِي ٌر‬

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 13)77
Dari ayat di atas maka dapat diketahui bahwa kalimat ta’aruf itu asal
katanya dari bahasa arab “ta’arofu”(artinya: saling mengenal) dan secara istilah
ta’aruf adalah proses saling mengenal antara seseorang dengan orang lain
dengan maksud untuk saling mengerti dan memahami. Sedangkan dalam
Konteks Pernikahan, maka ta’aruf dimaknai sebagai “Aktivitas saling mengeal,
mengerti dan memahami untuk tujuan meminang atau menikah.”78
Dengan demikian, islam memiliki etika dalam pergaulan dan mengadakan
perkenalan antara pria dan wanita sebelum menuju jenjang pernikahan, dimana
tahapan awal pada umumnya melalui proses ta’aruf. Setelah bertemu dan
tertarik satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal kepribadian, latar
belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah
pihak. Dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia yang dimuliakan
Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh, bila di antara
mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling

77
M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pres, 2009) hlm.
22-23
78
http://saif1924.wordpress.com/2008/01/02/penjelasan-seputar-ta%E2%80%99aruf-dan- walimah/
diakses pada tanggal 01 Juni 2013

189
mengenal kondisi keluarga masing-masing, misalnya dengan jalan
bersilaturahmi ke orang tua keduannya.79Ta’aruf bisa juga dilakukan jika kedua
belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk
bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khithbah – ta’aruf dengan
mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling
mengenal.

Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan


pendekatan. Ta’aruf sangat berbeda dengan pacaran. Ta’aruf secara syar’i
memang diperintahkan oleh Rasulullah saw. bagi pasangan yang ingin nikah.

B. Aturan serta ta’aruf dalam Islam

Rumah tangga yang bahagia, harmonis, sejahtera dan penuh ketenangan


memang menjadi sebuah harapan setiap orang yang belum menikah, sehingga
dilakukan beberapa usaha pendahuluan agar semuanya bisa terwujud, ini tidak
lain agar di kemudian hari tidak menemui penyesalan. Bentuk usaha tersebut
adalah dengan memilih calon pasangan yang kemudian dilanjutkan dengan
Nadzru (melihat kepada calon) ini tidak khusus pada laki-laki saja perempuan
pun disunnahkan untuk melihat kepada laki- laki yang hendak meminangnya.
Nadzru dalam Islam merupakan salah satu kesunnahan sebelum melangkah ke
Khitbah (peminangan), ini dilakukan agar diketahui keadaan jasmani dan
rohani si wanita, apakah benar-benar normal, memiliki cacat atau bahkan
gangguan jiwa, sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada Sahabat Mughirah
ketika ia akan meminang pada salah satu wanita:

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia pernah meminang pada seorang wanita,


lalu Rasulullah bertanya kepadanya: “Sudahkan kamu melihat dia?”
Mughirah menjawab: belum, kemudian beliau bersabda: “Lihatlah dia
terlebih dahulu, agar kamu nanti bisa bersamanya lebih abadi (dalam

79
M.A. Tihami, Op.Cit., hlm. 23.

190
keharmonisan rumah tangga)”. (HR. al-Nasai, Ibnu Majah dan al-
Turmudzi )

Dalam hadits lain:

Dan hadits yang diriwayatkan Abi Dawud wa ghairih ini, oleh beberapa
‘ulama dijadikan landasan hukum diperbolehkannya laki-laki melihat kepada
calon pinangannya, bahkan merupakan suatu kesunnahan: ِ

“Apabila dalam hati seseorang sudah mantap akan meminang wanita


maka tidak ada bahaya baginya untuk melihat terlebih dahulu wanita yang
akan dipinang.” (HR. Abi Dawud wa ghairih)

Disunnahkannya Nadzru (melihat) ini sebelum adanya peminangan,


karena apabila dilaksanakan setelahnya, dikhawatirkan salah satu dari kedua
calon pasangan tidak berkehendak melanjutkan kejenjang pernikahan, bisa jadi
karena adanya cacat, gangguan jiwa atau yang lain setelah melihatnya, padahal
yang demikian ini termasuk Idza’ (menyakitkan) orang lain dan jelas- jelas
dilarang oleh syari’at Islam.
Tidak pula disyaratkan adanya izin dari kedua atau salah satu pihak,
karena sudah ada izin syar’i secara langsung, walaupun dikhawatirkan
menimbulkan fitnah dan bahkan disertai syahwat, ini karena sudah menjadi
kebutuhan bagi seseorang yang akan menikah, sehingga pelaksanaan
perkawinan nanti berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas. Namun
apabila seseorang yang hendak meminang tidak bisa atau tidak menginginkan
untuk melihat kepada calon pinangannya, disunnahkan mengutus wanita lain
(lebih utama adalah mahram dari laki-laki yang hendak meminang) agar ia
melihat wanita yang akan dipinang dan nantinya bisa menjelaskan tentang
keadaan sang calon.
Dalam melihat tidaklah lepas dari kekhawatiran atas Fitnah dan Syahwat,
maka seseorang melihat kepada calonnya tidak mutlak pada anggota tubuh
yang dikehendak, seperti yang biasa terjadi saat ini di sebagian daerah. Hukum
boleh ini hanya sebatas melihat anggota tubuh selain aurat dalam shalat, artinya

191
seorang laki-laki boleh melihat yang akan dipinang/ dipersunting hanya pada
wajah dan kedua telapak tangan (bagian dalam dan luar) saja, sebab dalam
literatur agama dikatakan bahwa wajah bisa menunjukan kecantikannya
sedangkan telapak tangan bisa mewakili kehalusan kulit serta keseluruhan budi
pekerti dan wataknya. Begitu juga bagi wanita yang akan dipinang boleh-boleh
saja melihat anggota tubuh, selain anggota tubuh antara lutut sampai pusar pria
yang akan meminangnya.

Selain ketentuan di atas, seorang laki-laki yang hendak meminang


disyaratkan pula mengetahui dan yakin bahwa wanita tersebut tidak bersuami
dan tidak dalam keadaan ‘Iddah Raj’iyyah, serta memiliki prasangka bahwa
lamarannya pasti diterima. Kemudian diperbolehkan pula Tikrar(mengulangi)
dalam melihat walaupun lebih dari tiga kali sampai jelas keberadaannya agar
nanti tidak ada penyesalan setelah menyatu dalam pernikahan, akan tetapi
apabila dengan melihat satu kali saja sudah cukup, maka diharamkan untuk
mengulanginya kembali, karena hukum diperbolehkannya nadzru ini semata-
mata karena Dlarurat, jadi walaupun diperbolehkan tetap sebatas yang
diperlukan saja. Sebagaimana dalam satu Qo’idah:

“Yang diperbolehkan karena dharurat, diukur menurut kadar


keperluannya.”80

C. Tata Cara Ta’aruf Menurut Syari’at Islam

Ketika melakukan ta'aruf, seseorang baik pihak laki-laki atau perempuan


berhak untuk bertanya yang mendetail, seperti tentang penyakit, kebiasaan
buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam
menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal
nantinya.81Pihak yang ditipu akan merasa dizhalimi dan dicurangi, sehingga
mendendam pihak yang menipunya. Dapat dipastikan, pihak yang ditipu itu
akan merasa kecewa dan tidak puas dengan pernikahan tersebut, memandang
80
Yusuf Chudlori, Baity Jannaty: Membangun Keluarga Sakinah (Surabaya: Khalista, 2009) cet
ke-I, hlm. 32-35.
81
http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan- pacaran.htmldiakses
pada tanggal 31 Mei 2013

192
rendah pasangannya, dan tidak mempercayai pasangan yang pernah menipu,
mencurangi dan menutup-nutupi kebenaran darinya. Dalam upaya ta’aruf
dengan calon pasangan, pihak laki-laki dan perempuan dipersilahkan
menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-
masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus
dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan hanya berdua saja,
tetapi harus ada yang mendampinginya dan yang utama adalah wali atau
keluarganya. Jadi ta’aruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada
pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan
panjang berdua. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan data
global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing- masing
pihak cukup penting.

Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat


langsung wajahnya dengan cara yang seksama, bukan hanya sekedar curi-curi
pandang atau mengintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang
calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung face to face,
bukan melalui media foto, lukisan atau video.

Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak
ada salahnya untuk dilihat. Dan khusus dalam kasus ta`aruf, yang namanya
melihat wajah itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu
dipelototi dengan seksama. Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh
disana. Begitu juga dia boleh meminta diperlihatkan kedua tapak tangan calon
istrinya. Juga bukan melihat sekilas, tapi melihat dengan seksama. Karena
tapak tangan wanita pun bukan termasuk aurat.

Selain urusan melihat fisik, ta’aruf juga harus menghasilkan data yang
berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-
lainnya. Hanya saja, semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan
sesuai dengan koridor Syariat Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik
dari keluarga calon istri atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan
untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton, boncengan, kencan, dan sebagainya

193
dengan menggunakan alasan ta’aruf. Janganlah ta’aruf menjadi pacaran.
Sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilat antara pasangan yang belum resmi
menjadi suami istri.
Bila kita cermati ayat atau hadits tentang pernikahan, maka kita akan
menemukan bahwa kita di anjurkan untuk menikah dengan orang yang kita
sukai. Dalam hal ini, suka menjadi “Hal” atau Syarat untuk menikah. Nabi
Muhammad saw. bersabda dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh imam
Ahmad dengan sanad hasan dari Jabir Bin Abdillah Al-Anshari yang
menuturkan bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda “Jika
salahseorang di antara kalian hendak melamar seorang wanita dan mampu
melihat (tanpa sepengetahuan wanita tersebut), bagian dan anggota tubuh
wanita tersebut, sehingga bisa mendorongnya untuk menikahinya, maka
lakukanlah”.
Juga hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl
bin Sa’ad As-Saidi. Dia menceritakan bahwa ada seorang wanita yang
mendatangi Rasulullah saw. dan mengatakan “Wahai Rasulullah aku datang
untuk menghadiahkan diriku padamu”. Rasulullah saw. lantas memandangnya
dari atas sampai bawah, setelah itu menundukkan kepala.
Allah swt. berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 52 :
ۢ ۤ
ٍ ‫ك النِّ َسا ُء ِم ْن بَ ْع ُد َوٓاَل اَ ْن تَبَ َّد َل بِ ِه َّن ِم ْن اَ ْز َو‬
‫اج َّولَوْ اَ ْع َجبَكَ ُح ْسنُه َُّن‬ َ َ‫اَل يَ ِحلُّ ل‬

“Tidak Halal bagi kamu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu,


tidak boleh pula mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun
kecantikannya menarik hatimu”. (Al-Ahzab:52).

Juga Firman Allah swt. dalam surat An-Nisa ayat 3 :

َ َ‫فَا ْن ِكحُوا َما ط‬ 


‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء‬

“Maka nikahilah oleh kalian wanita yang kalian sukai”.

194
Dari penjelasan ini jelas bahwa Ta’aruf berfungsi untuk mengetahui hal-
hal yang bisa membuat kita tertarik / suka dan yakin akan menikahi orang
tersebut.82

D. Tujuan Dan Manfaat dari Berta’aruf


Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan
manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan
maksiat. Ta’aruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon
pasangan. Disamping itu manfaat berta’aruf yaitu agar kita tidak terjebak pada
ghurur. Ta’aruf bukan sekedar formalitas saja namun benar- benar
dilaksanakan untuk saling mengenal, mencari informasi akhlak, kondisi
keluarga, saling menimbang, dsb.83 Disamping itu terdapat tujuan dan manfaat
lain juga yang dapat diambil dari ta’aruf, yaitu:
Pertama, Ta'aruf itu sebenarnya hanya untuk penjagaan sebelum menikah.
Jadi kalau salah satu atau keduanya tidak merasa cocok bisa menyudahi
ta'arufnya. Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya
orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit
putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta'aruf, yang Insya’ Allah niatnya untuk
menikah Lillahi Ta'ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang
bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.
Kedua, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar
informasi mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya.
Bahkan kalau kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan
kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari.
Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap
penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang lainnya. Informasi bukan cuma
dari si calon langsung, tapi juga dari orang- orang yang mengenalnya (sahabat,
guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya
baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu dan penuh kepura-
82
http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan-pacaran.html diakses
pada tanggal 31 Mei 2013
83
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Taaruf&oldid=6035957diakses pada tanggal 01 Juni
2013

195
puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu (sampai
makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki biarpun
lagi bokek tetap berlagak kaya, traktir ini dan itu (padahal dapat duit dari
minjem teman atau hasil ngerengek ke orang tua).
Ketiga. Dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah
dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini akan
menghemat waktu yang cukup besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran
yang sudah lama pacarannya, tetapi sering merasa belum bisa mengenal
pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?
Keempat. Melalui ta’aruf kita boleh mengajukan criteria calon yang kita
inginkan. Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah, tetapi bila ada yang
kurang cocok bisa dipertimbangkan dengan memakai hati dan pikiran yang
sehat. Keputusan akhirpun tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui
shalat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran.
Kadang hal buruk pacarnya, misalnya suka memukul, suka mabuk, tetap
diterimanya padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau
sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.
Kelima. Kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke
khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan
kita dari berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan
"digantung" pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya
adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.

Keenam. Dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki


dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi
kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) menjadi semakin kecil, yang artinya
kita terhindar dari zina.84

http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan- pacaran.htmldiakses
84

pada tanggal 31 Mei 2013

196
2.2. APLIKASI QAWAIDUL FIQHIYYAH DALAM TRANSAKSI
EKONOMI KONTEMPORER

A. Pengertian Qawaidul Fiqhiyyah

Qawaid (‫ )قواعد‬adalah jamak dari kata qoidah ‫))قاعدة‬. Dan secara etimologi
bermakna asas ‫ ))اساس‬yang berarti pangkal, dasar, asas dari segala sesuatu. 85Dan
Fiqih ‫ الفقه‬adalah faham atau tahu. Menurut istilah yang digunakan para ahli Fiqh
(fuqaha). Fiqh itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari’at Islam
yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.86
Menurut al-Zarqa’,fiqih secara istilah adalah putusan-putusan umum yang
biasanya mencakup sebagian besar dari bagian-bagiannya.87Sedangkan muamalah‫م‬
‫ عاملة‬secara bahasa berasal dari kata ‫ معاملة‬- ‫ل‬¢¢¢‫ يعام‬- ‫ل‬¢¢¢‫عام‬yang artinya saling
bertindak, saling berbuat dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah
Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan cara yang ditentukan. Bila dihubungkan denganlafaz fiqh, mengandung
arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam
pergaulan hidup di dunia.
Dalam kehidupan muamalah maliyah, pemakaian qawa’id fiqhiyyah
menjadi sesuatu yang sangat penting. Seiring perkembangan zaman, keperluan
adanya qaidah yang lebih banyak tampaknya tidak dapat dihindarkan.
Banyak sekali usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa.
Sudah tentu dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan masyarakat
yang semakin meningkat, melahirkan model transaksi baru yang membutuhkan
penyelesaiannya dari sisi hukum Islam dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqih.
Penyelesaian yang Islami dan mampu menyelesaikan masalah-masalah
kehidupan yang nyata, sudah tentu caranya adalah dengan menggunakan kaidah-
kaidah ini.
‫اإلبَا َحةُ إالَّ أَ ْن يَ ُد َّل َد لِ ْي ٌل َعلَى تَحْ ِر ْي ِمهَا‬
ِ ‫األَصْ ُل فِى ال ُم َعا َملَ ِة‬
85
Azat Ubaid ad-Da’asi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz, (Damaskus: dar at-
Tarmizi. 1989) cet. 3, hal 7.
86
Ibid, hlm 7.
87
Syaikh ahmad bin syaikh muhammad al-Zarqa’, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus:
dar al-Qalam 1989), cet. 2, hal 33.

197
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi,
pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama
(mudharabah atau musyarakah), perwakilan(wakalah), dan lain-lain, kecuali yang
tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan seperti
tipuan(tadlis),ketidakpastian (taghrir), perjudian dan riba.

Dalam transaksi ekonomi di lembaga keuangan syariah, tidak lepas dari


akadMusya̅rakah, Mudha̅rabah, Mura̅bahah, musawamah, ijarah, wakalah,
Musahamah, Wadi’ah, dan banyak lagi akad dan konsep ekonomi di lembaga
keuangan syariah yang dimana konsep tersebut ditetapkan dan disepakati atas
kaidah-kaidah fiqih.
Adapun kaidah kaidah fiqih yang diterapkan dalam transaksi ekonomi di
lembaga keuangan syariah sebagai berikut:

1. Kaidah - kaidah Fiqh dalamTransaksi(‘Aqad)

‫ضى ْال ُمتَ َعا قِ َد ْي ِن َونَتِي َْجتُهُ َماإِ ْلتِزَ َماهُ بِالتَّ َعاقُ ِد‬
َ ‫اَاْل َصْ ُل فِى ْال َع ْق ِد ِر‬
“Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan
akad dan hasilnya apa yang salingditentukan dalam akad tersebut”.
Maksud kaidah diatas adalah bahwa setiap transaksi harus didasarkan atas
kebebasan dan kerelaan, tidak ada unsur paksaan atau kekecewaan salah satu
pihak, bila itu terjadi maka transaksinya tidak sah.88Contohnya pembeli yang
merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat
yang disembunyikan.

ِ ‫البَا ِط ُل الَيَ ْقبَ ُل‬


َ‫اإل َجا َزة‬
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

88
Drs. H. Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1993), hlm.184.

198
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah
terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh
salah satu pihak.89Contohnya, lembaga keuangan syariah tidak boleh melakukan
akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun
sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan
haram oleh DSN, akad baru sah apabila lembaga keuangan lain mau
menggunakan akad yang diberlakukan pada lembaga keuangan syariah, yaitu akad
atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.

َ ‫إِ َذا بَطَ َل ال َّش ْي ُئ بَطَ َل َمافِي‬


‫ض ْمنِ ِه‬
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya.”

Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si


pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian
kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang
menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si
pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan
uang (harga barangnya).

ِ َ‫ال َع ْق ُد َعلَى األَ ْعي‬


b‫ان َكال َع ْق ِد َعلَى َمنَافِ ِعهَا‬
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat
benda tersebut”

Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa
pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang
objeknya, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum
dan akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti
rukun dan syaratnya sama.

ِ ‫ع إالَّبِالقَب‬
‫ْض‬ ُ ُّ‫الَيَتِ ُّم التَّبَر‬
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”

89
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih., (Jakarta, 2006) hlm. 131.

199
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan untuk kebajikan semata seperti
hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya
dilaksanakan.90
َ ‫ط َكانَ ِم ْن َمصْ لَ َح ِة ال َع ْق ِد أَوْ ِم ْن ُم ْقت‬bٍ ْ‫ُكلُّ شَر‬
‫َضاهُ فَهُ َو َجائِ ٌز‬
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut,
maka syarat tersebut dibolehkan.”

Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila
barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerimaan gadai
berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, dan yang lainnya.91

‫د‬bِ ُ‫ىال ُمتَ َعاقِ َد ْينِ َونَتِ ْي َجتُهُ َمااِ ْلتَزَ َماهُبِالتَّ َعاق‬
ْ ‫ض‬ ْ ِ‫األَصْ لُف‬
َ ‫ىال َع ْق ِد ِر‬
“Suatu transaksi pada dasarnya harus dilandasi kerelaan kedua belah pihak dan
hasilnya adalah sah dan mengikat kedua belah pihak terhadap diktum yang
ditransaksikan.”
َ‫البَا ِطلُاَل يَ ْقبَاُل ِإل َجا َزة‬
“Transaksi yang batal (karena tidak memenuhi unsur syarat ataupun rukun) tidak
berubah menjadi sah karena dibolehkan.”

Contohnya seseorang muslim yang berkomitmen dalam berperilaku


ekonomi secara syariah melakukan transaksi keuangan dengan jasa keuangan
yang menggunakan sistem bunga. Meskipun pihak jasa keuangan membolehkan
dan menerima transaksi tersebut, tetapi transaksinya batal.
َ ‫إِ َذابَطَاَل ل َّش ْيئُبَطَلَ َم‬
ُ‫اض ِمنَه‬
“Apabila suatu transaksi batal, maka akan batal pula secara otomatis diktum-
diktumdalam transaksi tersebut.”92

90
Ibid., hlm. 135.
91
Ibid., hlm. 137.
92
Ibid, hlm. 134.

200
Misalnya seseorang membeli rumah kepada pemiliknya. Ketika salah satu
membatalkan transaksi pembelian rumah tersebut, maka si pembeli memulangkan
rumah tersebut dan si pemilik rumah memulangkan sejumlah harga rumah
tersebut.
‫ْال َع ْق ُد َعلَىاأْل َ ْعيَانِ َك ْال َع ْق ِد َعلَى َمنَافِ ِعهَا‬
“Bertransaksi dengan obyek benda, sama hukumnya dengan bertransaksi dengan
obyek manfaat benda tersebut.”93
Misalnya seseorang mengontrak rumah dengan mengambil manfaat untuk
tinggal atau hunian, atau membeli rumah tersebut, maka syarat dan rukunnya
transaksi tersebut akan berlaku sama harus terpenuhinya.
َ َ‫ُكلُّشَرْ ٍط َكانَ ِم ْن َمصْ لَ َح ِة ْال َع ْق ِدأَوْ ِم ْن ُم ْقت‬
‫ز‬bٌ ِ‫ضاهُفَهُ َو َجائ‬

‘Setiap syarat dalam suatu transaksi yang bertujuan untuk kesuksesan dan tujuan
transaksi tersebut, maka dibolehkan.”94

Misalnya dalam jual-beli salam, bila dalam transaksi tersebut disyaratkan


bahwa dana pembelian dititipkan kepada bank (pihak ketiga) sebelum serah
terima barang yang dibeli untuk menghindari wanprestasi salah satu pihak, maka
dibolehkan.
‫َض ْي قُ ِّد َم ْال َمانِ ُع‬
ِ ‫ض ْال َمانِ ُع َوالم ْقت‬
َ ‫إِ َذا تَ َعا َر‬
“Apabila saling bertentangan antara ketentuan hukum yang mencegah dengan
yang mengharuskan pada waktu yang sama, maka didahulukanlah yang
mencegah”

Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila ada dalil atau bukti kenyataan
yang bertentangan antara yang mencegah dengan yang mengharuskan pada waktu
yang sama, maka didahulukan yang mencegah. Contoh : A menyewakan rumah
kepada B untuk waktu 1 tahun. Kemudian sebelum habis waktu 1 tahun si A
menjual rumah kepada si C. Maka si A tidak bisa menyewakan rumah kepada
93
Ibid, hlm. 135.
94
Ibid, hlm. 137.

201
Csebelum habis kontraknya kepada si B. Dalam hal ini, yang mecegah
penyarahannya adalah rumah si A yang sedang dikontrakan oleh si B, sedangkan
yang mengharuskan penyerahan adalah rumah kontrakan tersebut telah dibeli oleh
si C dari si A.95
‫ا ِإل ْستِدَا َمةُ أَ ْق َوى ِم ْن ا ِإل ْبتِدَا ِء‬
“Melanjutkan hukum yang telah ada lebih kuat daripada memulai”

Maksud kaidah ini adalah jika seorang yang memiliki suatu benda atau hak
tertentu, maka benda atau hak tersebut tetap menjadi miliknya selama tidak ada
bukti-bukti lain yang membatalkan haknya tersebut. Misalnya, ada bukti dia telah
menjualnya secara sah. Bahkan barang yang hilang atau dicuri orang, maka
barang tersebut menjadi hak pemiliknya. Sebab, dia telah memilikinya sebelum
benda itu hilang.96

2. Kaidah-kaidah Fiqihpada Lembaga Keuangan Syariah

‫ص َّرفَفِى ِم ْل ِك ْال َغي ِْربِاَل إِ ْذنِ ِه‬


َ َ‫ز أِل َ َح ٍد أَ ْنيَت‬bُ ْ‫اَل يَجُو‬
Tidak dibenarkan seseorang mendistribusikan milik orang lain tanpa adanya
pemberian otoritas dari pemiliknya.

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah suatu unit jasa pelayanan


keuangan yang melayani lalulintas transaksi keuangan. Transaksi baik tunai,
secara angsuran, maupun Letter of Credit (LC), serta transaksi elektronik akan
mendapat pelayanan secara legal bila dilakukan oleh orang atau badan hukum
yang memiliki kecakapan hukum untuk bertindak hukum atau bertransaksi secara
sah dan akan menolak pelayanan bertransaksi bagi pihak yang tidak memiliki hak
atau tidak cakap bertindak hukum atau bertransaksi. Semisal, lembaga keuangan
syariah tersebut tidak akan men-tasharruf-kan (menggunakan) kepemilikan orang
lain tanpa seizin pemiliknya.
95
Ibid., hlm. 175.
96
Ibid., hlm. 176-177.

202
‫ل‬bٌ ‫صرُّ فِفِى ِم ْل ِك ْال َغي ِْربَا ِط‬
َ َّ‫اأْل َ ْم ُربِالت‬
Perintah menasharrufkan (memanfaatkan) properti orang lain (tanpa izin
pemiliknya) adalah batal.
Transaksi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat dikatakan sah dan
legal apabila dilaksanakan oleh pihak-pihak yang secara hukum memiliki
kecakapan untuk bertransaksi dan memiliki hak penuh obyek transaksi perbankan
tersebut. Apabila ada suatu instruksi transaksi kepada pihak tertentu atau dengan
obyek transaksi tertentu yang bukan miliknya atau bukan di bawah kekuasaannya,
maka transaksi perbankan tersebut batal demi hukum.
َ ُ‫ْالغَرْ ُمبِ ْال َغ ْن ِم } يَ ْعنِيإِنَّ َم ْنيَنَالُنَ ْف َع َش ْيئٍيَحْ تَ ِمل‬
{ ُ‫ض َر َره‬
Resiko sejalan dengan keuntungan (yakni orang yang memperoleh manfaat atas
sesuatu, pada saat yang sama harus mau berkorban bila terjadi resiko dari usaha
yang telah memberikan keutungan kepada dirinya)

Salah satu produk lembaga keuangan syariah adalah Mudha̅rabah (trust


financing/trust investment) yang mempunyai dua simpul yang saling berkaitan
antara memperoleh keuntungan dengan sistem partnership (antara pemilik modal
dan pelaku usaha) dan menanggung resiko kerugian bila usaha gagal. Kegagalan
suatu usaha dalam sistem Mudha̅rabah dibedakan pada dua kategori; pertama, bila
kegagalan usaha atau kerugian disebabkan oleh murni persaingan usaha, maka
kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Kedua, bila kerugian suatu usaha
dikarenakan faktor kesengajaan oleh pelaku usaha, maka nilai ganti rugi atas
kerugian usaha di tanggung oleh pelaku usaha.
‫اَل يَجُوْ ُزأِل َ َح ٍد أَ ْنيَأْ ُخ ُذ َماأَل َ َح ٍدبِاَل َسبَبٍشَرْ ِع ٍّي‬
Tidak boleh bagi seseorang mengambil milik orang lain tanpa sebab syar’i.
Kaidah ini penekanan maknanya pada adanya dasar hukum syara’ atau
tidak adanya hukum syara’ dalam pemungutan, pengambilan, pelunasan hutang
dan lain semisalnya. Bila tidak ada dasar hukum syara’, maka pihak manapuntidak
dibenarkan untuk mengambil, memungut, menagih ataupun mengambil paksa
property atau kepemilikan orang lain.
‫تَبَ ُّدلُ َسبَبِ ْال ِم ْل ِك َكتَبَ ُّداِل ْل َعي ِْن‬

203
Rotasi pertukaran sebab kepemilikan sama dengan rotasi pertukaran bendanya
itu sendiri.97
Misalnya, seseorang pembeli meninggal dunia, kemudian obyek
pembelian/barang yang dibeli, dibeli kembali oleh pihak lain melalui ahli
warisnya. Kalau nilai harganya lebih murah dari harga awal karena dikatakan
cacat kepemilikan, maka tidak sah jual beli tersebut karena kepemilikan barang
tersebut jelas.
ً‫ص َو ِرالتَّ َعالِ ْيقِتَ ُكوْ نُاَل ِز َمة‬ ِ ‫ْال َم َو‬
ُ ‫اع ْي ُدبِا ْكتِ َسا ِء‬
Janji yang diiringi persyaratan adalah lazim.

Produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tidak jarang memberikan


reward kepada nasabah berupa poin tertentu yang pada gilirannya dapat ditukar
dengan hadiah tertentu untuk menarik hati nasabah berinvestasi di lembaga
keuangan syariah tersebut, dengan ketentuan nasabah selalu meningkatkan saldo
tabungannya. Pemberian reward menjadi kewajiban pihak lembaga bila nasabah
telah melaksanakan syaratnya dengan menambah saldo tabungan dalam jumlah
dan waktu tertentu sebagai persyaratan.
‫ْال ُم َعلَّقُبِال َّشرْ ِطيَ ِجبُثُبُوْ تُهُ ِعنَ َدثُبُوْ تِال َّشرْ ِط‬

Pihak yang dibebani oleh syarat wajib memenuhinya ketika sesuatu yang
disyaratkan dipenuhi.
Dalam transaksi sewa beli, pihak penyewa beli setelah melengkapi
dokumen administrasi kepada pihak lembaga dengan membayar sejumlah DP
(down paymant) diberikan hak untuk menempati obyek transaksi tersebut berupa
sebuah rumah hunian. Pihak penyewa beli wajib membayar angsuran cicilan
rumah tersebut hingga lunas, sebagai konsekuensi logis atas diktum transaksi
sewa beli antara dirinya dengan sebuah lembaga.98
‫ارالتَّحْ ِر ْي ُم‬
ِ ‫ض‬ ْ ِ‫ىال َمنَافِ ِع ْال ِحلُّ َوف‬
َ ‫ىال َم‬ ْ ِ‫اأْل َصْ لُف‬

97
Ahmad al-Nadwy, Jamharah al-Qawâid al-Fiqhiyyah, hlm 356.
Transaksi sewa-beli adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak
98

milik atas benda yang disewakan kepada penyewa setelah selesai masa sewa. Dewan Syariah
Nasional (DSN)-Majlis Ulama Indonesia (MUI), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI,
(Ciputat: Gaung Persada, 2006), hlm. 160.

204
Pada dasarnya semua yang bermanfaat boleh dilaksanakan dan semua yang
mendatangkan bahaya haram dilaksanakan.

Contoh produk perasuransian adalah pada produk wakalah bi al-ujrah


yaitu suatu bentuk pendelegasian suatu urusan kepada seseorang atau badan usaha
atau lembaga keuangan untuk berbuat sesuai yang diinginkan orang yang
menyerahkan urusan tersebut, di mana orang, badan usaha atau lembaga keuangan
yang mengelola urusan tersebut mendapatkan upah (manfaat).
‫ص ِد َو ْال َم َعانِ ْىاَل لِأْل َ ْلفَا ِظ َو ْال َمبَانِى‬
ِ ‫ىال ُعقُوْ ِدلِ ْل َمقَا‬
ْ ِ‫ْال ِع ْب َرةُف‬
Penilain pada semua bentuk akad berdasarkan pada tujuan dan maknanya, bukan
berdasarkan lafal dan bentuknya.

Suatu transaksi di lembaga keuangan syariah selalu didasarkan pada


klausul cakupan akad tersebut baik yang mengikat pihak-pihak yang melakukan
transaksi maupun konsekuensi yang ditimbulkan dari transaksi tersebut. Dalam
kontek wadi’ah(tabungan), mulanya merupakan akad yang bersifat tolong
menolong antara sesama manusia tanpa ada imbalan jasa dan tidak boleh
dimanfaatkan. Tetapi karena akad wadi’ah ini mengikuti prinsip qardh dengan
pengalihan akad menjadi tahawul al-‘aqd, maka implikasi hukumnya menjadi
sama dengan qardh. Improvisasi produk lembaga keuangan syari’ah ini
melegitimasi pengelolaannya pada lembaga keuangan syariah. Pihak lembaga
jugadibolehkan untuk mengelola dana titipan nasabah (wadi’ah), kemudian dari
keuntungannya dapat diberikan sebagai bonus kepada nasabah wadi’ah oleh pihak
lembaga yang tidak dijanjikan dari awal.

3. Kaidah-kaidah Fiqh tentang al-Maal (Aset Kekayaan)

‫م‬bٌ ‫ أَكْاُل ْل َمالِبِ ْالبَا ِطلِ َح َرا‬.


Mengkonsumsi materi yang berasal dari pendapatan yang dilarang oleh
syâri’atadalah haram hukumnya.99

99
Ahmad al-Nadwy, Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, hlm. 305.

205
Contohnya membelanjakan harta dari hasil korupsi, kolusi, merampok,
menipu, upah perbuatan zina, keuntungan berdagang barang haram dan lain-lain
adalah haram untuk memakannya.
‫د‬bِ ‫اأْل َ ْم َوالُتُضْ َمنُبِ ْالخَ طَأِ َك َماتُضْ َمنُبِ ْال َع ْم‬
Aset kekayaan menjadi tanggungjawab seseorang untuk menggantinya manakala
karena faktor kesalahan sama dengan tanggungjawabnya bila merusaknya
secara sengaja.100

Contohnya, bila seorang supir mobil rental yang merental mobil, dalam
perjalanan ia menabrak atau ditabrak oleh mobil lainnya, maka ia menanggung
biaya perbaikan atau mengganti mobil yang direntalnya.
b‫ضىبِأ َ ْمثَالِهَا‬
َ ‫ال ُّديُوْ نُإِنَّ َماتُ ْق‬
Hutang-hutang dapat dilunasi dengan (nilai barang yang dihutang) yang
semisalnya (senilai).101

Contohnya bila seseorang berhutang seekor kambing jantan pada orang


lain, maka ia membayar hutang tersebut dengan jenis dan spesifikasi kambing
yang sama kepada pihak yang memberi piutang tersebut dan tidak harus dengan
kambing yang dahulu dihutangkan kepadanya dengan catatan kambing yang
dibayarkan nilainya sama.
َ َ‫ فَ َعلَ ْي ِها َ ْنيَت‬: ‫صلَلَه ُِر ْب ٌح ِم ْن َوجْ ٍه َمحْ ظُوْ ٍر‬
‫ص َّدقَبِ ِه‬ َ ‫َم ْن َح‬
Barang siapa memperoleh keuntungan yang mengandung unsur sesuatu yang
dilarang, maka hendaklah ia mengeluarkan sedekah dari keuntungan tersebut.102

Misalnya, kalau seorang pedagang pengecer yang mengambil barang


dagangannya pada toko grosir mensyaratkan hanya berdagang pada kota Jakarta
saja misalnya, dan ternyata pedagang pengecer tersebut berjualan barang
dagangannya di kota-kota lain selain Jakarta, maka hendaklah ia bersedekah dari
keuntungan yang diperolehnya.
100
Ibid, hlm. 344.
101
Ibid, hlm. 370.
102
Ibid, hlm. 403.

206
َّ ‫اأَل َجْ ُر َوال‬
‫ض َمانُاَل يَجْ تَ ِم َعا ِن‬

Pemberian gaji (upah) dan tanggungjawab untuk mengganti kerugian tidak dapat
disatukan.103

Contoh, bila seseorang merental mobil truk untuk angkutan barang,


kemudian ia membebani muatan truk tersebut melebihi tonase yang ditentukan
untuk mobil truk tersebut sehingga menimbulkan kerusakan. Maka penyewa wajib
memperbaiki mobil truk tersebut dan dan tetap wajib membayar sewanya.
‫َو َسائِاُل ْل َح َرا ِم َح َرا ٌم‬

Sesuatu yang menjadi sarana suatu perbuatan yang menghantarkan kepada


keharaman, maka sesuatu tersebut adalah haram hukumnya.104

Contohnya adalah menjual kondom tanpa disertai regulasi persyaratan


dalam transaksi penjualan dengan menunjukkan akta nikah bagi pembeli. Maka
menjual alat kontrasepsi tersebut haram hukumnya karena menjadi sarana berzina.

4. Kaidah-kaidah Fiqih tentang arbitrase ekonomi dan penyelesaian sengketa


ekonomi di lembaga keuangan syariah

ِ َ‫ْالبَيِّنَةُ ُح َّجةٌ ُمتَ َع ِّديَةٌ َواإْل ِ ْق َرا ُر ُح َّجةٌق‬


ٌ‫اص َرة‬

Alat bukti otentik adalah alat bukti yang mempunyai nilai pembuktian mutlak
(bagi pihak-pihak yang berkepentingan), sedang ikrar (pengakuan) hanyalah
bukti relatif bagi yang menyatakannya.105

Bila terjadi sengketa perdata ekonomi. Maka pihak yang memiliki bukti
otentik berupa kwitansi, dokumen yang sah dari instansi terkait, faktur
pembayaran atau semisal cara lisan, status alat buktinya lebih kuat dibandingkan
dengan alat bukti pengakuan yang hanya dapat menguatkan gugatannya secara
pribadi.
103
Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm,hlm. 431
104
Ahmad Al-Nadwy, Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyyah,hlm. 480.
105
Ahmad al-Nadwy, Jamharah al-Qawâid al-Fiqhiyyah, hlm 423.

207
‫م‬bِ‫ض َولَ ِك ْناَل يَحْ تَلُّ َم َعهُ ُح ْك ُم ْال َحا ِك‬
ِ ُ‫اَل ُح َّجةَ َم َعالتَّنَاق‬

Sesuatu yang diperdebatkan tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi juga tidak
dapatmenafikan keputusan hakim.106

Menjadikan landasan hukum dari sesuatu yang masih dalam proses


debatable adalah tidak dibenarkan kecuali sudah menjadi keputusan hukum yang
memiliki kekuatan yang mengikat atau in crach.

‫اعلِاَل االَ ْم ُر َمالَ ْميَ ُك ْن ُمجْ بَرًا‬ ْ َ‫ضافُ ْالفِ ْعإُل ِ ل‬


ِ َ‫ىالف‬ َ ُ‫ي‬
Suatu perbuatan itu dimintakan pertanggungjawaban kepada pelakunya dan
bukan kepada yang memerintahkan perbuatan tersebut, kecuali pada suatu kasus
yang terpaksa.107

Bila terjadi suatu wanprestasi dari suatu perjanjian antara A dan B, di


mana A melakukan wanprestasi atas perintah C tanpa paksaan. Maka A
bertanggung jawab atas wanprestasi yang ia lakukan.
ْ َ‫ضافُ ْال ُح ْك ُماِل‬
‫ر‬bِ ‫ىال ُمبَا ِش‬ َ ُ‫اش ُر َو ْال ُمتَ َسبِّبُي‬
ِ َ‫إِ َذااجْ تَ َم َع ْال ُمب‬

Apabila terdapat dua orang terlibat suatu perkara, yang seorang terlibat
langsung dan yang lain hanya terlibat sebab-sebab, maka hukum dibebankan
pada orang yang terlibat secara langsung saja.108

َّ ‫ْال َج َوا ُزال َّشرْ ِعيُّيُنَافِيال‬


َ‫ض َمان‬
Hal yang dibolehkan syariat tidak dapat dijadikan beban/tanggungan.

Bila seorang nasabah menarik dana dari lembaga keuangan tertentu dan
mendapatkan pelayanan prima dari teller dan ia memberi tip kepada teller tersebut

106
Ibid, hlm. 424
107
Ibid, hlm. 425
108
Ibid, hlm. 428

208
adalah sesuatu yang dibolehkan, tetapi tidak berarti bahwa setiap penarikan dana
dari lembaga tersebut, nasabah harus terus memberikan tip ke teller tersebut.

‫َماأَوْ َجبَأ َ ْعظَ َماأْل َ ْم َر ْينِيَ ُخصُّ هُاَل يُوْ ِجبُأ َ ْه َونَهَابِ ُع ُموْ ِم ِه‬

Sesuatu yang dengan karakter khususnya mewajibkan perkara yang lebih tinggi
diantara dua perkara, tidak secara otomatis mewajibkan yang lebih rendah jika
dilihat dari karakter umumnya.109

Sebagai contoh adalah sengketa pailit pada akad Mudha̅rabah, bila


pailitnyausaha disebabkan oleh human error sang Mudha̅rib, maka ia wajib
mengganti kerugian modal usaha shahib al-mal, tetapi bila pailitterjadi diluar
kemampuan Mudha̅rib dan faktor mekanisme pasar yang mempengaruhinya,
maka sanksi teringannya adalah kerugian ditanggung shâhib al-mâl sebagaimana
termaktub dalam diktum akad.

‫ْال َم ْش ُغوْ لُاَل يُ ْش َغ ُل‬

Obyek aktifitas tertentu tidak boleh dijadikan obyek aktifitas lainnya.

Sebagai contoh adalah tidak dibenarkan seseorang menggadaikan kembali


barang atau benda yang sebelumnya sudah digadaikan, baik kepada penerima
gadai pertama (sebagai jaminan hutang kedua) maupun kepada pihak ketiga.
Begitu pula kaidah - kaidah fiqh ini berlaku untuk melarang seseorang melakukan
transaksi dua kali pada satu obyek barang transaksi, seperti menggadaikan rumah
sekaligus menyewakannya kemudian menjualnya sebelum masa sewa berakhir.

‫صةُأَ ْق َوى ِمن َْال ِواَل يَ ِة ْال َعا َّم ِة‬


َّ ‫ْال ِواَل يَةُ ْالخَا‬

Wilayah (kekuasaan) khusus lebih kuat dari pada wilayah umum.

Dalam bidang ekonomi, kaidah - kaidah fiqh ini akan berkaitan dengan
managemen wilayah (kekuasaan) yang dimiliki oleh otoritas tertentu. Misalnya

109
Ibid, hlm. 429

209
General Manager suatu perusahaan lembga keuangan syariah yang berkedudukan
di Indonesia, yakni di Jakarta tidak memiliki wewenang dan tidak boleh intervensi
atas managemen operasional salah satu lembaganya di wilayah Jawa Barat
misalnya, karena secara kewilayahan, lembaga yang berada di propinsi Jawa Barat
mempunyai otoritas wilayah tersendiri yang dipegang oleh Branch Manager
provinsi Barat.

‫اَل يُ ْن َكر ُْال ُم ْختَلَفُفِ ْي ِه َوإِنَّ َمايُ ْن َكر ُْال ُمجْ َم ُع َعلَ ْي ِه‬
Hal-hal yang diperselisihkan tidak dapat diingkari, yang wajib diingkari adalah
hal-hal yang sudah disepakati.

Secara lebih rinci kaidah-kaidah fiqh ini memberikan arahan kepadakita


bahwa ketidakbolehan mengingkari hal-hal yang masih diperselisihkandidasarkan
pada asumsi bahwa fuqaha yang berpendapat tentang haramnyasesuatu itu
tidaklah lebih utama dari fuqaha yang menghalalnya.

‫ر‬bِ ْ‫ْال َم ْيسُوْ ُراَل يَ ْسقُطُبِ ْال َم ْعسُو‬


Kemampuan mengerjakan yang ringan tidak gugur kesunahannya atau
kewajibannya disebabkan timbul kesulitan.

Agama Islam sebagai bentuk kasih sayang Allah Swt kepada manusia,
syariat-Nya diciptakan sesuai dengan prototipe manusia itu sendiri. Adanya beban
syari’at berupa kewajiban yang nampak berat bagi manusia, pasti disertai
alternatif-alternatif tertentu yang sifatnya lebih ringan dengan tujuan agar syari’at
Islam tetap dapat dilaksanakan oleh mukallaf meskipun si mukallaf tersebut dalam
kondisi sulit. Contoh dalam bidang ekonomi adalah seseorang yang yang
memiliki harta sampai nishab (batas kewajiban dikeluarkan zakatnya) zakat,
sementara sebagian hartanya tidak berada di tangannya, maka sesuai dengan

210
pendapat yang kuat, ia diwajibkan membayar zakat sesuai dengan jumlah harta
yang berada di tangannya.110

Drs. H. Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta : Rajawali
110

Pers, 1993), hlm.196.

211

Anda mungkin juga menyukai