Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ETIKA DAN ESTETIKA HUKUM ISLAM

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah

FILSAFAT HUKUM ISLAM

Disusun Oleh:

Septi Dwi Lestari 101200238

Sinta Khoirunisa 101200240

Kelas: SA.G

Dosen Pengampu: Ali Yasmanto, M. H. I.

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang
telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika dan Estetika Hukum Islam” ini dengan
tepat waktu. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Agung Muhammad SAW yang telah membawa kita ke jalan kebenaran yang diridhoi
Allah SWT.

Maksud kami menyusun makalah ini guna memenuhi tugas dari Bapak Ali
Yasmanto, M.H.I. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam di
Fakultas Syariah IAIN Ponorogo. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang Etika dan Estetika Hukum Islam.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ali


Yasmanto, M.H.I selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam, sebab
tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi kami.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan


dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada pembaca kami mengharapkan kritik dan saran
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, 04 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ii

DAFTAR ISI .........................................................................................................................iii

BAB I .......................................................................................................................................1

PENDAHULUAN ...................................................................................................................1

A. Latar Belakang ............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................................2

C. Tujuan ..........................................................................................................................2

BAB II .....................................................................................................................................3

PEMBAHASAN .....................................................................................................................3

A. Pengertian Etika, Estetika, dan Hukum Islam .........................................................3

1. Pengertian Etika ......................................................................................................3

2. Pengertian Estetika .................................................................................................4

3. Pengertian Hukum Islam ........................................................................................5

B. Perbedaan Pokok Antara Etika, Estetika, dan Moral .............................................8

C. Etika dan Estetika Hukum Islam ............................................................................10

1. Hukum Islam Mudah ............................................................................................10

2. Tujuan Hukum Islam Mewujudkan Kemaslahatan Dunia Akhirat ................11

3. Membolehkan Makan yang Baik dan Berhias Indah ........................................11

4. Keseimbangan Hak Rohani dan Jasmani ...........................................................12

5. Perbaikan Hak-Hak Wanita .................................................................................12

BAB III ..................................................................................................................................13

PENUTUP .............................................................................................................................13

A. Kesimpulan ................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Etika merupakan suatu hal yang selalu menarik dan tidak pernah berakhir
untuk diperbincangkan, sebab etika adalah aturan yang sangat penting dalam tatanan
kehidupan manusia. Tanpa etika dan moralitas, manusia akan meninggalkan hati
nuraninya. Manusia tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak
baik. Sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan berpikir, manusia memiliki
kedudukan khusus di antara makhluk lain. Etika merupakan salah satu cabang dari
kajian filsafat. Filsafat memasukkan etika dalam cabang aksiologi, bersamaan dengan
estetika. Maka sangat perlu mengupas tuntas tentang permasalahan etika yang
bersandarkan pada ruang lingkup filsafat, khususnya dalam perspektif filsafat Islam.
Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi etika juga tidak
bertentangan dengan agama, bahkan etika sangat diperlukan. Sebab ada dua masalah
dalam bidang moral agama yang tidak dapat dipecahkan tanpa menggunakan metode
etika yaitu, masalah interpretasi terhadap perintah atau hukum yang termuat dalam
wahyu, dan tentang bagaimana masalah moral yang baru yang tidak langsung dibahas
dalam wahyu dapat dipecahkan sesuai dengan semangat agama itu.

Tidak dapat disangkal bahwa etika tidak dapat menggantikan agama. Agama
merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral manusia. Penganut
agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agama yang diyakininya. Akan
tetapi agama itu memerlukan keterampilan etika agar dapat memberikan orientasi,
bukan sekedar indoktrinasi. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-
mata, sedangkan agama pada wahtunya sendiri. Oleh karena itu, ajaran agama hanya
terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang
dan dari semua agama dan juga dari pandangan manapun.

Hukum Islam mempunyai beberapa keindahan dan keistimewaan dan


beberapa keindahan yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling
kaya dan paling dapat memenuhi kebutuhan banyak orang serta menjamin ketenangan
dan kebahagiaan masyarakat. Jika hal tersebut dipraktekkan bersama-sama maka

1
niscaya benar-benar membentuk umat yang ideal terkumpul kekuatan, keadilan,
keteguhan, dan kehidupan yang baik.

Bicara tentang seni juga berbicara mengenai estetika. Seni bukan semata-mata
sebagai masalah perasaan dan selera pribadi, namun seni bertalian dengan hasrat
manusia yang lebih tinggi yaitu pengalaman kerohanian dan kepuasan intelektual.
Sehingga dalam makalah akan kami sajikan mengenai etika dan estetika hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Etika, Estetika, dan Hukum Islam?
2. Apa Perbedaan Pokok antara Etika, Estetika, dan Moral?
3. Apa Saja Etika dan Estetika Hukum Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari etika, estetika, dan hukum Islam.
2. Untuk mengetahui perbedaan pokok antara etika, estetika, dan moral.
3. Untuk mengetahui etika dan estetika hukum Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika, Estetika, dan Hukum Islam


1. Pengertian Etika
Secara etimologis, menurut Endang Syaifuddin Anshari, etika berarti
perbuatan, dan ada sangkut pautnya dengan kata pencipta dan yang diciptakan.
Akan tetapi, ditemukan juga pengertian etika yang berasal dari kata jamak dalam
ُ ‫ ُخ ْل‬, yang berarti: perangai,
bahasa Arab yaitu “‫”َأ ْخالَق‬. Kata mufradnya adalah ‫ق‬
budi, tabiat, dan adab (kesopanan).1 Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos
yang berarti habitat, kebiasaan, akhlak, watak. Dalam bahasa Inggris etika
diartikan sebagai ethic dan etiquette (sopan santun). Kemudian dasar hukum etika
sendiri dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi
sebagai berikut:
ْ‫ك ۖ َفاعْ فُ َع ْن ُه ْم َواسْ َت ْغفِر‬ َ ِ‫ب اَل ْن َفض ُّْوا مِنْ َح ْول‬ ًّ ‫ت َف‬
ِ ‫ظا َغلِ ْي َظ ْال َق ْل‬ َ ‫َف ِب َما َرحْ َم ٍة م َِّن هّٰللا ِ لِ ْن‬
َ ‫ت لَ ُه ْم ۚ َولَ ْو ُك ْن‬
‫ْت َف َت َو َّك ْل َعلَى هّٰللا ِ ۗ اِنَّ هّٰللا َ ُيحِبُّ ْال ُم َت َو ِّكلِي َْن‬
َ ‫اورْ ُه ْم فِى ااْل َ ْم ۚ ِر َفا َِذا َع َزم‬ ِ ‫لَ ُه ْم َو َش‬

Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah


lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka
dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad,
maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang
bertawakal.
Secara terminologis, etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau
kelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil
dari gejala-gejala alamiyah sekelompok masyarakat tersebut. 2 Etika juga sering
diartikan dengan semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa
perbuatan baik maupun buruk. Aristoteles mendefinisikan etika sebagai suatu
kumpulan yang harus dipatui oleh manusia.3 Secara istilah ada beberapa
pengertian tentang etika itu sendiri, seperti:

1
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka setia, 2011), hlm. 20-21.
2
Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2006), hlm. 5.
3
Aw. Wijaya, Etika Pemerintah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 26.

3
1. Menurut Hamzah Ya’kub etika adalah ilmu tingkah laku manusia yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip dan tindakan moral yang betul, atau
tepatnya etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang
buruk.4
2. Menurut Amin etika/akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada
lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.5

Ajaran etika berpedoman pada kebaikan dari suatu perbuatan yang dapat
dilihat dari sumbangasihnya dalam menciptakan kebaikan hidup sesama manusia,
baik buruknya seseorang dapat dilihat berdasarkan besar kecilnya ia memberikan
manfaat pada orang lain. Dalam menentukan baik buruknya seseorang, maka
yang menjadi tolak ukur adalah akal pikiran. Selain etika ada juga yang dapat
menentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk yaitu akhlak. Namun dalam
menentukan baik atau buruknya perbuatan yang menjadi tolak ukur dalam akhlak
yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah.

2. Pengertian Estetika
Secara etimologis, etika berasal dari Bahasa Yunani ”aestetis” yang berarti
pengamatan indera atau sesuatu yang merangsang indera. Dalam bahasa Inggris
menjadi aesthetics atau esthetics yang berarti studi tentang keindahan. Estetika
merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang dapat diamatidan
merangsang indera, khususnya karya seni.

Secara terminologis estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala


sesuatu yang berkaitan dengan keindahan dan mempelajari semua aspek yang
disebut keindahan. Estetika adalah filsafat yang membahas esensi dari titalitas
kehidupan estetik dan sejalan dengan zaman. Estetika juga mempersoalkan
hakikat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni mempersoalkan
hanya pada karya seni, atau artifak yang disebut seni. 6 Kebanyakan orang hanya
mengikuti arus dan menerima konsep seni seperti yang mereka dengar dan alami
setiap hari. Cara berpikir analog-mekanis ini memungkinkan karya seni
distandarisasi dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, kita tidak bisa maju dalam
4
Rafik Issa Beekum, Islamic Business Athics, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 3.
5
Ibid. Hlm. 14.
6
Akhmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 153.

4
dunia seni. Pertanyaan filosofis tentang seni membuat kita kritis untuk
mengusulkan perubahan dan kemajuan budaya seni. Oleh karena itu, seniman
akhirnya harus memiliki filosofi seninya sendiri dan mampu menerapkannya pada
karyanya guna mengembangkan budaya seni. Maka esensi dari memahami
filosofi seni sangat penting. Tanpa pemahaman filosofis yang baik, seniman
hanya mampu mengumpulkan informasi tentang berbagai teori filosofis untuk
kemudian menjadikannya sebagai pendekatan seninya terhadap kehidupan.
Misalnya, seorang seniman yang banyak membaca literatur sosialis menerapkan
prinsip-prinsip teoretis pada karyanya dan menyampaikan pesan moral yang
positif. Hal tersebut dinail sebagai tindakan positif karena seniman memberikan
kontribusi nyata pada budaya seni. Kekurangan dari tindakan tersebut adalah
kurang sesuai dengan filosofi. Seseorang yang mengumpulkan pengetahuan yang
ada dan kemudian menerapkannya adalah seorang teknokrat, bukan seorang
filsuf. Meskipun pengalaman dan dedikasi teknokrat sangat baik, namun ada
kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk pengembangan seni itu sendiri; ide-ide
baru tumbuh dari filsuf seni. Maka dari itu berfilsafat secara masif dianjurakn
agar memberikan pesona baru pada karya seni yang dikerjakan.

Imam Ghazali tidak hanya memandang estetika itu sebagai kepuasan


indrawi atau kesenangan sensual karena itu akan membawa nilai seni semakin
merosot. Seni akan membawa dampak besar terhadap jiwa manusia, bahkan akan
menentukan moral dan penghayatan keagamaannya. Dalam tradisi sufi, estetika
lebih dikaitkan dengan metafisika dan jalan kerohanian yang mereka tempuh di
jalan ilmu tasawuf. Mereka membicarakan hakikat dan fungsi seni, pengaruhnya
terhadap psikologi dan kehidupan kerohanian manusia, penggunaan karya seni
dan menumbuhkan semangat religius dan solidaritas sosial, serta cara memahami
karya seni melalui metode hermeneutika. Para sufi berpendapat bahwa semua
karya seni yang baik itu harus merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga
estetika dalam tradisi Islam dapat dikatakan sebagai jalan kerohanian.

3. Pengertian Hukum Islam


Hukum secara etimologis berasal dari akar bahasa Arab, yaitu ‫يَحْ ُك ُم‬-‫ح َك َم‬
َ
َ . Lafadz ‫ اَ ْل ُح ْك ُم‬adalah bentuk
yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi ‫ح ْك ًما‬
tunggal dari bentuk jamak ‫اَاْل َحْ َكا ُم‬. Berdasarkan akar kata ‫ح َك َم‬
َ tersebut kemudian
ِ ‫ اَ ْل‬yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan
muncul kata ُ‫ ة‬Z‫ح ْك َم‬

5
bahwa orang yang memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari maka dianggap sebagai orang yang bijaksana.7 Arti lain
yang muncul dari akar kata tersebut adalah “kendali atau kekangan kuda”, yakni
bahwa keberadaan hukum pada hakikatnya adalah untuk mengendalikan atau
mengekang seseorang dari hal yang dilarang oleh agama. Makna “mencegah
atau menolak” juga menjadi salah satu arti dari lafadz ‫ح ْك ُم‬
ُ yang memiliki akar
kata ‫ح َك َم‬
َ tersebut. Mencegah ketidakadilan, mencegah kedzaliman, mencegah
penganiayaan, dan menolak mafsadat lainnya.
Al-Fayumi dalam buku hukum Islam, menyebutkan bahwa “‫َح َك َم بِ َم ْعنَى‬
َ َ‫ضى َو ْالف‬
ْ‫صل‬ َ َ‫”ق‬. Hukum bermakna memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan
setiap permasalahan.8 Dalam kamus Oxford sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Muslehuddin, hukum diartikan sebagai “Sekumpulan aturan, baik
yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan
bangsa tertentu dan mengikat bagi anggotanya”.9
Selanjutnya Islam adalah bentuk mashdar dari akar kata ‫اِ ْسالَ ًما‬-‫يُ ْسلِ ُم‬-‫َأ ْسلَ َم‬
dengan mengikuti wazn ً‫اال‬ZZ‫اِ ْف َع‬-ُ‫ ل‬Z‫يُ ْف ِع‬-‫ َل‬Z‫ َأ ْف َع‬yang mengandung arti ُ‫ ة‬Z‫ا ُد َوالطَّا َع‬ZZَ‫َأاْل ِ ْنقِي‬,
ketundukan dan kepatuhan serta bisa juga bermakna Islam, damai, dan selamat.
Namun kalimat asal dari lafadz Islam adalah berasal dari kata -‫الَ ًما‬Z‫س‬- َ ‫يَ ْسلَ ُم‬-‫َسلِ َم‬
ً‫ َو َسالَ َمة‬yang memiliki arti selamat (dari bahaya), dan bebas (dari cacat).10
Sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 20 yang
berbunyi sebagai berikut:

‫سلَ ُم ْوا فَقَ ِد‬


ْ َ‫ فَاِنْ ا‬,‫سلَ ْمتُ ْم‬
ْ َ‫ َوقُ ْل لِّلَّ ِذيْنَ اُ ْوتُواا ْل ِكت ََب َوااْل ُ ِّميِّنَ َءا‬,‫سلَ ْمتُ َو ْج ِه َي هللِ َو َم ِن اتَّبَ َع ِن‬ ْ َ‫حآخ ْو َك فَقُ ْل ا‬
ُّ ْ‫َفاِن‬
ِ َ‫ َوهللاُ ب‬,‫ َواِنْ تَ َولَّ ْوا فَاِنَّ َما َعلَ ْي َك ا ْلبَلَ ُغ‬,‫ا ْهتَد َْوا‬
.‫ص ْي ٌر بِا ْل ِعبَا ِد‬
Artinya: Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah,
“Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab
dan kepada orang-orang buta huruf, “Sudahkah kamu masuk Islam?” Jika
mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika
mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan ayat-ayat
Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.

7
Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), hlm. 14.
8
Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 1.
9
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan
Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
10
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hlm. 654.

6
Islam bermakna sebagai sebuah ketundukan dan penyerahan diri
seorang hamba saat berhadapan dengan Tuhannya. Hal ini berarti bahwa
manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya (Allah) haruslah merasa kerdil,
bersikap mengakui kelemahan, dan membenarkan kekuasaan Allah SWT.
Kemampuan akal dan budi manusia yang berwujud dalam ilmu pengetahuan
tidaklah sebanding dengan ilmu dan kemampuan Allah SWT. Kemampuan
manusia bersifat kerdil dan sangat terbatas, semisal hanya terbatas pada
kemampuan menganalisis, menyusun kembali bahan-bahan alamiah yang telah
ada untuk diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia,
tetapi tidak mampu menciptakan dalam arti mengadakan dari yang tidak ada
menjadi ada.11

Hukum Islam (Fiqh Islam atau Syari’at Islam) adalah hasil daya upaya
para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Istilah Hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah
dijadikan bahasa Indonesia sebagai padanan kata dari lafadz fiqh Islam, atau
syari’at Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’ para
sahabat dan tabi’in.

Syari’ah secara etimologis sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi as-


Shiddieqy adalah “jalan tempat keluarnya sumber mata air atau jalan yang
dilalui air terjun”12 yang kemudian diasosiasikan oleh orang-orang Arab
sebagai ُ‫اَلطَّ ِر ْيقَةُ اَ ْل ُم ْستَقِ ْي َمة‬, sebuah jalan lurus13 yang harus diikuti oleh setiap umat
muslim. Pergeseran makna dari sumber mata air menjadi jalan yang lurus
tersebut memiliki alasan yang bisa dinalar. Setiap makhluk hidup pasti
membutuhkan air sebagai sarana menjaga keselamatan dan kesehatan tubuh,
guna bisa bertahan hidup di dunia. Demikian dengan pengertian “jalan yang
lurus” mengandung maksud bahwa syariat sebagai petunjuk bagi manusia
untuk mencapai kebaikan serta keselamatan baik jiwa maupun raga. Jalan
yang lurus itulah yang harus senantiasa dilalui oleh setiap manusia untuk
mencapai kebahagiaan dan keselamatan dalam hidupnya.

11
Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), hlm. 8-9.
12
Hasbi as-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 20.
13
Manna’ Khalil al-Qhattan, At-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tarikhan wa Manhajan (ttt: Maktabah
Wahbah, 1976), hlm. 9.

7
Secara terminologis syari’ah diartikan sebagai tata aturan atau hukum-
hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti.
Diperjelas oleh pendapat Manna’ al-Qaththan, bahwa syari’at berarti segala
ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut
akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.14

Mahmud Syaltut dalam bukunya mengatakan bahwa “Syariah adalah


peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan dasar-dasarnya
oleh Allah agar manusia berpegang teguh kepadanya dalam hubungannya
dengan Tuhannya, berhubungan dengan saudaranya sesama muslim,
berhubungan dengan saudaranya sesama manusia, berhubungan dengan alam
semesta, dan berhubungan dengan kehidupan.15

B. Perbedaan Pokok Antara Etika, Estetika, dan Moral


Perbedaan etika, estetika, dan moral. Sudah kita paparkan dalam tabel
diatas. Pada dasarnya etika dan moral memiliki keterkiatan satu sama lain,
yang mana keduanya mengacu pada gambaran tentang perbuatan, tingkah
laku, dan perangai yang baik serta prinsip atau aturan hidup manusia untuk
mengukur martabat dan harkat kemanusiaannya.

Namun disisi lain juga terdapat perbedaan yang mendasar. Tujuan


etika dalam pandangan filsafat adalah “idealitas” yang sama bagi seluruh
manusia di setiap waktu dan tempat dalam usaha untuk mencapai tujuan ini,
etika mengalami kesukaran oleh karena fisik dan anggapan orang terhadap
perbuatan itu baik atau buruk yakni sangat relatif sekali, karena setiap orang
atau golongan mempunyai konsepsi tersendiri. Selain itu etika menentukan
ukuran tingkah laku yang baik dan yang buruk sejauh yang dapat diketahui
oleh akal manusia. Pola hidup yang diajarkan Islam bahwa seluruh kegiatan
peribadatan, hidup, dan mati adalah semata-mata dipersembahkan kepada
Allah, maka tujuan terakhir dari segala tingkah laku manusia menurut
pandangan etika Islam adalah keridhaan Allah.16

Sedangkan moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan


atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan dan bertindak agar ia

14
Ibid, hlm. 9.
15
Mahmud Syaltut, Al-Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, (ttt: Dar al-Qalam, 1966), hlm. 12.
16
Barmawi Umary, Materi Akhlak (Jakarta: Ramadhani, 1988), Hal. 3.

8
menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai
orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para
pemuka masyarakat dan agama. Sedangkan estetika merupkan ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, dan
mempelajari semua apsek yang disebut keindahan yang bisa dinilai baik atau
buruk. 17

Etika Estetika Moral


Etika adalah sebuah ilmu Estetika merupakan suatu telaah Moral adalah ajaran,
bukan sebuah ajaran. berkaitan dengan apresiasi wejangan, khotbah.
keindahan dan keburukan.

Berkaiatn erat dengan Berkaitan dengan kegiatan seni. Berkaitan dengan


perbuatan manusia secara bagaimana manusia harus
universal. hidup dan bertindak agar
menjadi manusia yang
baik.
Lebih banyak bersifat teori. Estetika membahas esensi dari Lebih banyak bersifat
totalitas kehidupan estetik dan prakatisi.
artistrik yang sejalan dengan
zaman.

Untuk mempermudah pemahaman kita terkait perbedaan etika,


estetika, dan moral. Kita memaparkan masing- masing contoh dari ketiganya.
Yang pertama contoh dari etika yaitu, dilarang berkata kasar kepada orang
lain, terutama kepada yang lebih tua. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S
Al- Imran: 159
‫هّٰللا‬
‫است َۡغفِ ۡر لَ ُهمۡ َوشَا ِو ۡرهُمۡ فِى‬
ۡ ‫اعفُ ع َۡن ُهمۡ َو‬
ۡ َ‫ك ۖ ف‬
‌َ ِ‫ض ۡوا ِم ۡن َح ۡول‬
ُّ َ‫ب اَل ْنف‬ِ ‫فَبِ َما َر ۡح َم ٍة ِّمنَ ِ لِ ۡنتَ لَ ُه ۚمۡ‌ َولَ ۡو ُك ۡنتَ فَظًّا َغلِ ۡيظَ ۡالقَ ۡل‬
َ‫ااۡل َمۡ ِۚ‌ر فَا ِ َذا َعزَمۡ تَ فَتَ َو َّكلۡ َعلَى هّٰللا ‌ِؕ اِنَّ هّٰللا َ يُ ِح ُّب ۡال ُمت ََو ِّكلِ ۡين‬
Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah

17
Iqbal, Ahmad, Makalah Logika, Estetika, Etika dalam Ilmu Filsafat, Dalam Jurnal
https://www.academia.edu/10579400/Makalah_Logika_Estetika_Etika_dalam_Ilmu_Filsafat, Diakses pada
tanggal 1 September 2022, pukul 14.37.

9
ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

Contoh lain yaitu etika makan dan minum, kita tidak boleh mencela makanan.
Sesuai dengan hadist Nabi
ُ‫شتَ َهاهُ َأ َكلَهُ َو ِإنْ َك ِر َههُ تَ َر َكه‬ ُّ َ‫سلَّ َم طَعاَما ً ق‬
ْ ‫ط ِإ ِن ا‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫َاب َر‬
َ ‫َما ع‬

Artinya: “Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan, apabila beliau berselera,
(menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau memakannya, sedangkan kalau tidak
suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya.”

Contoh dari moral sendiri yaitu membuang sampah pada tempatnya, sesuai
dengan Q.S. Al-Qashash: 77
‫سا َد فِى‬ َ ‫سن َك َمٓا َأ ْح‬
َ َ‫سنَ ٱهَّلل ُ ِإلَ ْي َك ۖ َواَل تَ ْب ِغ ٱ ْلف‬ ِ ‫صيبَ َك ِمنَ ٱل ُّد ْنيَا ۖ َوَأ ْح‬
ِ َ‫َنس ن‬
َ ‫اخ َرةَ ۖ َواَل ت‬ َ ‫َوٱ ْبت َِغ فِي َمٓا َءاتَ ٰى َك ٱهَّلل ُ ٱلد‬
ِ ‫َّار ٱ ْل َء‬
ْ ِ ‫ٱَأْل ْر‬
ِ ‫ض ۖ ِإنَّ ٱهَّلل َ اَل يُ ِح ُّب ٱ ْل ُمف‬
َ‫س ِدين‬

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Contoh estetika yaitu mengapresiasi pemandangan yang indah, sebuah lukisan


yang cantik. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Imran: 191
ُ ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْقتَ ٰ َه َذا ٰبَ ِطاًل‬
َ‫س ْب ٰ َحنَك‬ ِ ‫ت َوٱَأْل ْر‬
ِ ‫س ٰ َم ٰ َو‬ ِ ‫ٱلَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُونَ ٱهَّلل َ قِ ٰيَ ًما َوقُ ُعودًا َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُونَ فِى َخ ْل‬
َّ ‫ق ٱل‬
َ ‫فَقِنَا َع َذ‬
‫اب ٱلنَّا ِر‬

Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

C. Etika dan Estetika Hukum Islam


1. Hukum Islam Mudah
Hukum Islam pada dasarnya adalah hukum yang mudah dilaksanakan
oleh manusia. Estetika ini terdapat dalam Al-Qur’an. Yaitu Q.S. Al-Baqarah ayat
7:

ٌ ‫صا ِر ِه ْم ِغشَا َوةٌ َّولَ ُه ْم َع َذ‬


‫اب َع ِظ ْي ٌم‬ َ ‫َختَ َم هللاُ َعلَى قُلُ ْوبِ ِه ْم َو َعلَى‬
َ ‫س ْم ِع ِه ْم َو َعلَى اَ ْب‬

10
Artinya: “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan
mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat”. (Q.S. Al-
Baqarah: 7).18
Allah juga berfirman dalam Q.S. Al-Maidah ayat 7:
‫الصد ُْو ِر‬
ُّ ‫ت‬ َ ‫ي َواثَقَ ُك ْم ِب ِه~ اِ ْذقُ ْلتُ ْم‬
ِ ‫ َواتَّقُوا هللاَ اِنَّ هللاَ َعلِ ْي ٌم بِ َذا‬, َ‫س ِم ْعنَا َواَطَعْن‬ ْ ‫َو ْاذ ُك ُر ْوا نِ ْع َمةَ هللاِ َعلَ ْي ُك ْم َو ِم ْيثَاقَهُ الَّ ِذ‬
Artinya: “Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya
yang telah diikatkan kepadamu, ketika kamu mengatakan,”Kami mendengar
dan kami menaati.” Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha
Mengetahui segala isi hati”. (Q.S. Al-Maidah: 7).19
Selain firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an, juga terdapat hadits Nabi
yaitu, agama yang paling disukai adalah agama yang mudah lagi lapang.
ُ ِ‫شقَةُ ت َْجل‬
ِ ‫ب التَّ ْي‬
Begitu juga dengan kaidah hukum seperti ‫س ْي َر‬ َ ‫ اَ ْل َم‬dan sebagainya.20

2. Tujuan Hukum Islam Mewujudkan Kemaslahatan Dunia Akhirat


Tujuan hukum Islam hanyalah mewujudkan kemaslahatan masyarakat
baik di dunia maupun di akhirat. Menolak kemudharatan dan ke-mafsadat-an
serta mewujudkan keadilan yang mutlak. Segala hukum Islam yang di-nash-kan
maupun hasil ijtihad tetap memperhatikan pada tujuan yang luhur ini. 21
Kemaslahatan manusia merupakan tujuan pelaksanaan syariat. Hal ini
sebagaimana termaktud dalam Al-Qur’an surah al-Anbiya’ ayat 107, yang
bunyinya sebagai berikut:

. َ‫س ْلنَ َك اِاَّل َر ْح َمةً لِّ ْل َعلَ ِميْن‬


َ ‫َو َمآاَ ْر‬

Artinya: “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai


(rahmat) bagi seluruh alam (jin dan manusia). (Q.S. Al-Anbiya’: 107).
Kata rahmat dalam ayat di atas menurut para ahli ushul fiqh,
mengandung pengertian bahwa pengutusan Rasul membawa kemaslahatan
bagi umat manusia di dunia dan akhirat.

3. Membolehkan Makan yang Baik dan Berhias Indah


Kebolehan menikmati makanan dan minuman dari rizki Allah dan
memakai pakaian serta berhias diri asal tidak berlebihan dan tidak untuk
membanggakan diri. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-A’raf ayat
31-32:

18
Kemenag RI, Al-Qur’an: Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata, (Surabaya: Penerbit Nur
Ilmu, 2020), hlm. 3.
19
Ibid, hlm. 108.
20
Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2006), hlm. 40.
21
Hasby Assiddiqie, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1975), hlm. 123.

11
‫ قُ ْل َمنْ َح َّر َم ِز ْينَةَهللاِ الَّتِ ْي~ اَ ْخ َرج‬. َ‫س ِرفِيْن‬ ْ ‫س ِرفُ ْوا اِنَّهُ اَل يُ ِح ُّب ا ْل ُم‬ ْ ُ‫س ِج ٍد َّو ُكلُ ْوا َواش َْربُ ْوا َوالَت‬ ْ ‫يَبَنِ ْي~ اَ َد َم ُخ ُذ ْوا ِز ْينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم‬
. َ‫ت لِقَ ْو ٍم يَّ ْعلَ ُم ْون‬ ِّ َ‫ َك َذلِ َك نُف‬,‫صةً يَّ ْو َم ا ْلقِيَ َم ِة‬
ِ َ‫ص ُل ااْل َي‬ َ ِ‫اخال‬ َ َ‫ق قُ ْل ِه َي لِلَّ ِذيْنَ اَ َمنُ ْوا فِى ا ْل َحيَو ِة ال ُّد ْني‬ ِ ‫الر ْز‬
ِّ َ‫ت ِمن‬ ِ َ‫لِ ِعبَا ِد ِه َوالطَّيِّب‬
Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada
setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah
(Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?
Katakanlah, semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari kiamat”. Demikiannlah kami
menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-
A’raf: 31-32).22
4. Keseimbangan Hak Rohani dan Jasmani
Islam mengajarkan kita dalam memenuhi kebutuhan tubuh dan
kebutuhan jiwa menempuh jalan yang seimbang. Hukum Islam menempatkan
umatnya pada tempat yang terletak antara kepentingan keduniaan dengan
kepentingan keakhiratan. Ajaran Islam dan perintah serta hukumnya menjadikan
umat Islam yang berwawasan di antara mereka yang terlalu dipengaruhi oleh
kehidupan kebendaan, antar mereka yang terlalu dipengaruhi oleh ajaran
rohaniyah menyiksa tubuh dan menjauhkan diri dari segala kenikmatan dunia.
Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Qashshas: 77, sebagai berikut:

َ‫ اِنَّاهلل‬,‫ض‬ َ َ‫سنْ َك َمآاَ ْحسَنَ هللاُ اِلَ ْي َك َواَل تَ ْب ِغ ا ْلف‬


ِ ‫سا َد فِى ااْل َ ْر‬ ِ ‫ص ْيبَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا َواَ ْح‬ َ ‫َّارااْل َ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن‬
ِ َ‫س ن‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِ ْي َمآاَتَكَ هللاُ الد‬

ِ ‫اَل يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْف‬


. َ‫س ِديْن‬

Artinya: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di
dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.
Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-
Qashshas: 77).
5. Perbaikan Hak-Hak Wanita
Kaum wanita dilepaskan dari belenggu kedzaliman yang membelenggu
hak-hak asasi mereka di zaman jahiliyah dan dibebaskan mereka dari
kesewenangan para suami serta diberikan kepada mereka hak dan kewajiban
yang karenanya terangkatlah mereka dari kehinaan. Mereka dijadikan anggota
yang turut bekerja dalam membina umat dan menjadi tulang punggung dalam
membangun masyarakat. Kepada para wanita diberikan beberapa hak baik

22
Kemenag RI. Al-Qur’an: Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata. (Surabaya: Penerbit Nur
Ilmu). Hlm. 154.

12
dalam bidang perkawinan maupun dalam bidang kehartaan antara suami dan
isteri seperti dalam hak dan kewajiban secara timbal balik.23

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Etika adalah ilmu yang mempelajari mana yang baik dan buruk. Estetika adalah
ilmu tentang keindahan. Hukum Islam adalah hukum yang disyariatkan oleh
Allah kepada hamba-Nya untuk ditaati.
2. Perbedaan pokok antara etika, estetika, dan moral adalah etika berkaitan dengan
perbuatan manusia bersifat universal, sedangkan moral berkaitan dengan
bagaimana manusia harus bertindak menjadi manusia yang baik, dan estetika
23
Miftahul Huda. 2006. Filsafat Hukum Islam. (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press). Hlm. 41-42.

13
yaitu pebuatan mengapresiasi keindahan baik dari sisi keindahan atau
keburukannya.
3. Etika dan estetika hukum Islam antara lain hukum Islam mudah, tujuan hukum
Islam mewujudkan kemaslahatan dunia akhirat, membolehkan makan yang baik
dan berhias indah, keseimbangan hak rohani dan jasmani, serta perbaikan hak-hak
wanita.

14
DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka setia.

Ali, Zainudin. 2006. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.

al-Qhattan, Manna’ Khalil. 1976. At-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tarikhan wa


Manhajan. ttt: Maktabah Wahbah.

As-Shiddieqy, Hasbi. 1978. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.

Assiddiqie, Hasby. 1975. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan bintang.

Badroen, Faisal. 2006. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Kencana Perdana Media
Group.

Barmawi Umary, Materi Akhlak (Jakarta: Ramadhani, 1988), Hal. 3

Beekum, Rafik Issa. 2004. Islamic Business Athics. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Huda, Miftahul. 2006. Filsafat Hukum Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.

Iqbal, Ahmad. Makalah Logika, Estetika, Etika dalam Ilmu Filsafat. Dalam Jurnal
https://www.academia.edu/10579400/Makalah_Logika_Estetika_Etika_dalam
_Ilmu_Filsafat. Diakses pada tanggal 1 September 2022, pukul 14.37.

Kemenag RI. 2020. Al-Qur’an: Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata.
Surabaya: Penerbit Nur Ilmu.

Mardani. 2015. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.


Surabaya: Pustaka Progressif.

Muslehuddin, Muhammad. 1997. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis:


Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muzakki, Akhmad. 2011. Pengantar Teori Sastra Arab. Malang: UIN Maliki Press.

Syaltut, Mahmud. 1966. Al-Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah. ttt: Dar al-Qalam.

Wijaya, Aw. 1991. Etika Pemerintah. Jakarta: Bumi Aksara.

15

Anda mungkin juga menyukai