Anda di halaman 1dari 19

SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI

Makalah ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Ahmad Munirul Hakim, M.Ag

Disusun Oleh :

M. Yuhri Kairul Anam 33020200072

Siti Nurul Lailatur Rohmah 33020200139

Fita Oktaria 33020200140

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kemudahan
dalam menyelesaikan makalah dengan judul “SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK
DISEPAKATI” ini dapat selesai pada waktunya. Sesungguhnya tanpa pertolongan dan
kehendaknya tentu kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat. Serta
Sholawat dan Salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada Rasulullah SAW.
Terima kasih kepada pembimbing kami bapak “Ahmad Munirul Hakim, M.Ag” yang
sudah mengajarkan kami dengan sabar dan tidak lupa juga kami ucapkan kepada teman-teman
yang ikut serta dan berkontribusi serta memberikan ide-idenya sehingga makalah dapat disusun
dengan baik dan rapi, dan tak lupa terima kasih juga kepada dosen pengampu mata kuliah
karena sudah menugaskan kami untuk membuat makalah ini. Kami berharap semoga makalah
ini bisa menambah pengetahuan teman-teman serta para pembaca. Namun tak terlepas dari itu,
kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun semangat demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Salatiga, 28 Maret 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... 2

DAFTAR ISI..................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 4

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 4
C. Tujuan .................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 6

A. Sad Al Dzuriah .................................................................................................... 6


1. Pengertian Sad Al Dzuriah............................................................................... 6
2. Kehujjahan Sad Al Dzuriah ............................................................................. 7
3. Macam-macam Sad Al Dzuriah ....................................................................... 9
4. Contoh Sad Al Dzuriah ................................................................................... 10
B. Al Urf.................................................................................................................... 10
1. Pengertian Al Urf ............................................................................................ 11
2. Kehujjahan Al Urf........................................................................................... 12
3. Macam-Macam Al Urf .................................................................................... 13
4. Syarat Al Urf Dijadikan Pijakan Hukum ........................................................ 15

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 16

A. KESIMPULAN ................................................................................................... 16
B. SARAN ................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syari’at Islam merupakan penutup semua risalah samawiyah yang membawa
petunjuk dan tuntunan Allah SWT. Untuk umat manusia dan dalam wujudnya yang
lengkap. Oleh karena itu Allah mewujudkan syari’at Islam sebagai syari’at yang abadi.
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik
dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan
tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru
bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits
Nabi.
Hal itu dibuktikan dengan adanya kaidah-kaidah hukum fiqh yang dapat
memberikan jawaban terhadap kebutuhan permasalahan maupun hajat yang berubah
dari masa ke masa seiring dengan perkembangan zaman. Hal itu ditunjukkan dengan
adanya dua hal penting dalam hukum Islam, yaitu (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tidak akan berubah sepanjang zaman. Dan (2) pembukaan jalan
bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara
shorikh dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi
ra’yu adalah hal yang tidak bisa lepas darinya. Karena itu dalam hal ushul fiqih sebuah
ilmu ynag mengatur proses ijtihad, dikenallah beberapa landasan penetapan hukum
yang berlandaskan pada penggunaan ra’yu para fuqaha. Diantaranya adalah ‘Urf, Sadd
Dzari’ah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ad Dzuriah dan Al Urf
2. Bagaimana kehujjahan dari Ad Dzuriah dan Al Urf
3. Apa saja macam-macam dari Ad Dzuriah dan Al Urf
4. Contoh dari Ad Dzuriah dan Al Urf

C. Tujuan

4
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Ad Dzuriah dan Al Urf
2. Untuk mengetahuin kehujjahan dari Ad Dzuriah dan Al Urf
3. Apa saja macam-macam dari Ad Dzuriah dan Al Urf
4. Memahmi contoh dar
5. i Ad Dzuriah dan Al Urf

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sad Al-Dzuriah
a. Pengertian

Kata sadd adz-dzari’ah merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata,
yaitu sadd dan adz-dzari’ah Secara etimologis, kata as-sadd merupakan kata benda abstrak
(mashdar) dari sadda, yasuddu, saddan. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang
cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (‫ )الذَّ ِر ْيعَة‬merupakan kata benda
(isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya sesuatu 1. Bentuk jamak
dari adz-dzari’ah (‫ )الذَّ ِِر ْيعَة‬adalah adz-dzara’i (‫)الذَّ َرائِع‬. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul
fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya alQarafi, istilah yang digunakan adalah
sadd adz-dzara’i. Kata Al-dzari’ah dikalangan ahli Ushul diartikan :

‫الشيء إلى يقا وطر وصيلة ماكان‬

“Sesuatu yang menjadi perantara atau jalan pada sesuatu yang lain”

Dalam sebuah karya Al-Muwaffat, Asy-Syatibi mengatakan bahwa sad al-dzariah


yakni menolak sesuatu yang boleh agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang tidak
diperbolehkan atau dilarang 2. Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman , Sad Al-Dzariah
yakni meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang dilarang.
Sedangkan menurut Ibnu Al-Qayim Al-Jauziyyah sad al-dzuriah adalah jalan atau perantara
yang bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun diperbolehkan 3. Dari berbagai pandangan

1 Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),hlm. 164.
2 Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul alFiqh, (Beirut: Dara
l-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal 257-258.
3 Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos, 1996), hlm. 160

6
tersebut maka ditarik kesimpulan bahwa Sad Al-Dzuriah adah menetapkan hukum larangan
atas suatu perbuaan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun tidak diperbolehkan
untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

Jadi Sad Al-Dzariah adalah mencegah atau menyumbat sesuatu yang menjadi
kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan.
Pada dasarnya obyek sad al dzariah adalah segala perbuatan yang ditinjau dari segi akibatnya
yang dibagi menjadi 4 yakni :

1. Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan atau bahaya

2. Perbuatan yang jarang, yang berakibat kepada kerusakan atau bahaya

3. Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan sebuah bahaya

4. Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai


tujuan yang kuat timbulnya kerusakan tersebut. 4

b. Kehujjahan Sad al-Dzariah

Di kalangan para ulama ushul fiqh terjadi beberapa perbedaan pendapat dalam
menetapkan kehujjahan sadd ad-dzariah sebagai dalil syara'. Ulama malikiyah dan hanabillah
dapat menerima kehujjahan sebagai salah satu syara'. Alasannya antara lain :

1. QS Al-Anam 108
ُ ‫َِّللاِفَ َي‬
‫سبُّواِاللَّ ٍه ِع ْلمِ َعد ًْواِ ِبغَيْر‬ ِ ‫سبُّواِالَّذِينَ ِ َي ْدعُونَ ِمِ نْ ِد‬
ِ َّ ‫ُون‬ ُ َ‫َو ََلِت‬
Artinya : Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain
Allah,karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.(QS.Al-An’am:108)5
2. Hadits
ِِ‫يسبِأباِالرجلِفيسب‬,‫يارسولِهللاِوهلِيشتمِالرجلِوالديه؟قال”نعم‬:‫قالوا‬,‫منِالكبائرشتمِالرجلِوالديه‬
ِ‫ويسبِأمهِفيسبِأمه(رواهِالبخاريِومسلمِوأبوداود‬,‫أباالرجلِأباه‬
Artinya: Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua
orang tuanya.Lalu Rosulullah SAW.ditanya,Wahai Rosulullah ,bagaimana mungkin
seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya.Rosulullah SAW.menjawab,”Seseorang

4 Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 132-133.


5 Muhammad Thahir an-Naifir,Ushul al-Fiqh,112.

7
yang mencaci maki ayah orang lain,maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain,dan
seseorang mencaci maki ibu orang lain,maka orang lain pun akan mencaci maki
ibunya.(HR.Bukhari,Muslim,dan Abu Dawud).6

Ulama’ Hanafiyah,Syafi’iyah,dan Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari’ah dalam


masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah –masalah lain. Sedanangkan
Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan udzur,misalnya seorang musafir atau yang
sakit dibolehkan meninggalkan sholat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan sholat
dzuhur.Namun,sholat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam,agar tidak dituduh sengaja
meninggalkan sholat Jum’at. Dalam memandang dzari’ah,ada dua sisi yang dikemukakan oleh
para ulama’ ushul:

1. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu.Contohnya,seorang laki-laki yang


menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan
agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertama.Perbuatan ini
dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
2. Dari segi dampaknya(akibat),misalnya seorang muslim mencaci maka sesembahan
orang,sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci Allah.Oleh karena
itu,perbuatan seperti itu dilarang. 7

Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah
dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah
niat dan akad.Menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah ,dalam suatu transaksi,yang dilihat
adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi.Jika sudah memenuhi syarat dan
rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah.Adapun masalah niat diserahkan kepada
Allah SWT.Menurut mereka,selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari
perilaku maka berlaku kaidah.

‫واللفظ األسم أمورالعباد والمعتبرفي المعنى أوامرهللا المعتبرفي‬.

Artinya:“Patokan dasar dalam hal- hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat ,sedangkan
yang berkaitan dengan hak- hak hamba adalah lafadznya.

6 Muhammad Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa Taf’iilan(Makkah;Dar


Thoibah al-Khadlro’),49.
7 Muhammad Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa Taf’iilan(Makkah;Dar

Thoibah al-Khadlro’),47.

8
Akan tetapi,jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang
ada,maka berlaku kaidah:

‫والمباني َلباأللفاظ بالمقاصدوالمعاني العقود في العبرة‬.

Artinya:“Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna,bukan
lafadz dan bentuk formal(ucapan).

Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah dan Hanabilah ,yang menjadi ukuran adalah niat
dan tujuan.Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah.Namun,apabila tidak
sesuai dengan tujuan semestinya,tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya
sesuai dengan tujuan tersebut,maka akadnya tetap dianggap sah,tetapi ada perhitungan antara
Allah dan pelaku,karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja.Apabila
ada indikator yang menunjukkan niatnya,dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan
syara’,maka akadnya sah.Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’,maka
perbuatannya dianggap rusak,namun tidak ada efek hukumnya. Golongan zhahiriyyah tidak
mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
syara’.Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah
saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.

c. Macam macam Sad Al-Dzariah

Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis
kemafsadatan.8

1. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan

Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam 9, yaitu:

• Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan
chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan.
• Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau
Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan
dilakukannya prbuatan yang dilarang.

8 Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos, 1996). Hlm. 162.
9 Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos, 1996). Hlm. 162.

9
• Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini
berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan
mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang.
• Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang,
dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan
kerusakan.
2. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:

• Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti


meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk.
Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
• Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk
perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
• Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan,
namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih
besar dari kebaikannya.
• Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa
kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.

d. Contoh Sad Al-Dzariah

Dalam kitab ‫ رييعه لذا ا سد‬dikatakan bahwa” apakah didalam ‫ بيع‬dan ‫ح نكا‬
terdapat ‫ ”? رييعه لذا ا سد‬tidak pasti”. Apabila niat sebelum dan sesudah akad itu baik,
maka tidak ‫ه‬akan merusak akad tersebut, sebaliknya apabila niat sebelum dan
sesudahnya itu tidak ditempatkan pada tempatnya maka niat tersebut akan merusak
akad yang dilakukan. Imam syafi’I berkata: apabila tidak ada niat yang merusak ‫بيع‬
dan ‫ ح نكا‬maka tidak akan rusak keduanya, karna ‫ عقد‬yang dilakukan adalah benar.
Contoh lain adalah Ada perbuatan yang dilarang secara langsung dan ada yang
dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum
khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti
membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan
perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya

10
tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum
khamar, maka perbuatan itu dilarang.. Dengan menetapkan hukumnya, sama dengan
perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah
perbuatan-perbuatan yang dilarang.10

B. Al 'Urf
a. Pengertian

Secara etimologi ‘urf berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu (‫ يعرف‬- ‫)عرف‬, yang berarti: sesuatu
yang dikenal dan baik, sesuatu yang tertinggi, berurutan, pengakuan, dan kesabaran. 11 Secara
terminologi, ‘urf adalah keadaan yang sudah tetap dalam diri manusia, dibenarkan oleh akal
dan diterima pula oleh tabiat yang sehat. 12 ini menjelaskan bahwa perkataan dan perbuatan
yang jarang dilakukan dan belum dibiasakan oleh sekelompok manusia, tidak dapat disebut
sebagai ‘urf. Begitu juga hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan, namun ia bersumber dari nafsu
dan syahwat, seperti minum khamar dan seks bebas, yang sudah menjadi sebuah tradisi
sekelompok masyarakat, tidak bisa dikategorikan sebagai ‘urf. Artinya, ‘urf bukanlah suatu
kebiasaan yang menyimpang dari norma dan aturan.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, ‘urf adalah apa saja yang dikenal dan dibiasakan oleh
masyarakat, serta dijalankan secara kontinu, baik berupa perkataan dan perbuatan ataupun
meninggalkan suatu perkara yang dilarang. Sedangkan Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan ‘urf
sebagai segala hal yang telah menjadi kebiasaan dan diakui oleh orang banyak, baik dalam
bentuk perbuatan yang berkembang di antara mereka, ataupun lafal yang menunjukkan makna
tertentu, yang berbeda dengan makna bahasa. Definisi ini mencakup al-‘urf al-‘amaliy atau
actual custom, dan al-‘urf al qauliy atau verbal custom.

Adapun al-‘âdah atau adat berasal dari kata al-‘audah (kembali) atau al-tikrâr
(pengulang-ulangan). Secara umum adat adalah kecenderungan (berupa aktivitas atau
ungkapan) pada satu objek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada objek pekerjaan,
baik dilakukan oleh individu ataupun kolektif. Akibat akumulasi pengulangan itu, ia dinilai

10 Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr). Hal 72


11 Wahbah al-Zuhailiy, Usûl al-Fiqh al-Islâmiy, Vol. II, (Damaskus: Dâr al-Fikr, Cetakan 16, 2008), hlm. 104
12 Ahmad Fahmi Abu Sunnah, Al-‘Urf wa al-‘Âdah fî Ra’yi al-Fuqahâ’, (Kairo: Dâr al-Basâir, 2004), 28; ‘Adil bin

‘Abd al-Qadir bin Muhammad Waliy Qutah, al-‘Urf…, hlm. 89.

11
sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktivitas itu telah mendarah daging dan
hampir menjadi watak pelakunya. Maka di dalam istilah Arab, adat dianggap sebagai “al-
tabî’ah al-tsâniyah” (tabiat kedua) bagi manusia. Menurut Ibnu Amir al-Hajj, adat adalah suatu
perkara yang diulang-ulang tanpa sangkut-paut akal dalam prosesnya (‘alâqah ‘aqliyyah).
Definisi ini mencakup aksi (al-fi’li) dan ucapan (al-qaul) yang diulang-ulang, baik itu
bersumber dari individu ataupun kelompok.

Para ahli usul fikih menggolongkan pengertian ‘urf ke dalam tiga kategori yaitu :

1. Kelompok pertama berpendapat bahwa kata al-’urf adalah sinonim dari kata adat.
2. Pendapat kedua menyatakan bahwa al-‘urf lebih umum daripada al-‘âdah. Al-‘urf
mencakup verbal custom dan actual custom, adapun adat hanya mencakup actual
custom.
3. Kelompok ketiga berpendapat bahwa adat lebih umum daripada al-‘urf. Sebab, adat
mencakup apa saja yang bersumber dari akal, tabiat, dan yang tidak berkaitan dengan
akal, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, baik bersumber dari individu ataupun
masyarakat.

Terlepas dari perbedaan di atas, kedua hal tersebut adalah sinonim. Sebab, titik
perbedaan dan persamaan dalam dua hal ini muncul karena banyaknya definisi yang
ditawarkan oleh masing-masing ulama. Sedangkan dalam tataran praktis, fukaha nyaris tidak
membedakan kedua istilah tersebut. Dengan kata lain, perbedaan para ahli usul fikih di atas
hanyalah perbedaan ungkapan (ikhtilâf lafdzi) dan tidak mengandung perbedaan yang
signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.

b. Kehujjahan Al Urf

Para ulama sepakat bahwa ‘urf harus berdasarkan pada al Qur’an, hadis, ijmak, dan
dalil ‘aqli.

1. Adapun dalil dari al-Qur’an,


Allah SWT berfirman: “Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan
perintahkanlah dengan al-‘urf dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (QS.
al-A’raf: 199). Abdul Karim Zaydan menyatakan bahwa al-‘urf yang dimaksud
ayat ini adalah hal-hal yang telah diketahui nilai baiknya dan wajib dikerjakan. 13
Wahbah al-Zuhaily menambahkan bahwa yang dimaksud al-‘urf di sini adalah

13 Abdul Karim Zaydan, al-Wajîz fi Us}ûl al-Fiqh, (Cairo: Muassasah al-Risâlah, 2001), hlm. 254

12
makna etimologinya, yaitu sesuatu yang dianggap baik dan telah dikenal. Selain
ayat di atas, terdapat juga ayat-ayat yang menunjukkan bahwa adat sebagai
sumber hukum atas segala apa yang belum ada ketentuannya dalam nas-nas
syariat, seperti besar kecilnya nafkah untuk istri, kadar mut’ah untuk istri yang
telah diceraikan, kadar memberi makan orang miskin dalam kafârat al-yamîn,
dan sebagainya.
2. Sedangkan dasar kaidah ini dari hadis Rasulullah SAW di antaranya adalah
sabda beliau kepada Hindun, istri Abu Sufyan, sebagaimana diriwayatkan oleh
Sayyidah Aisyah RA, ketika melaporkan kebakhilan suaminya dalam hal
nafkah. Rasulullah bersabda: “Ambillah secara wajar (dari hartanya) yang
mencukupimu dan anak-anakmu.” 14 Di samping itu, sebuah hadis marfû’
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, menegaskan bahwa pandangan positif kaum
Muslimin terhadap suatu hal, menjadikan ia juga bernilai positif di sisi Allah
SWT, sehingga bisa dijadikan pijakan hukum. Dengan demikian, adat tidak
perlu ditentang atau dihapus, sebab ia bisa dijadikan sandaran hukum selama
tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki Allah SWT.

Imam Syatibi menyebutkan bahwa al-‘urf bisa dijadikan pijakan hukum berdasarkan
atas konsensus (ijmâ’) para ulama, selagi untuk kemaslahatan umat manusia. Jika syariat tidak
menganggap keberadaan adat sebagai salah satu sumber hukum, maka Allah telah
membebankan sesuatu di luar kemampuan manusia (taklîf bi mâ lâ yutâq). Dan hal itu tidak
mungkin dan tidak akan pernah terjadi. Di samping itu, jika bukan karena adat, maka tidak
akan pernah diketahui asal agama, sebab agama tidak akan dikenal kecuali dengan kenabian,
kenabian dikenal dengan mukjizat, dan mukjizat adalah hal-hal yang terjadi di luar adat atau
kebiasaan manusia. Jika adat tidak dianggap eksistensinya, hal-hal yang di luar adat pun tidak
akan ada nilainya.15

Dalam beberapa redaksi kaidah fikih. Untuk menunjuk kata ‘urf para ulama usul sering
memakai istilah adat, begitu pun sebaliknya. Seperti kaidah “‫”تتركِالحقيقةِبدَللةِاَلستعمالِوالعادة‬,16
kata al-‘âdah dalam kaidah ini juga bermakna al-‘urf. Dalam literatur fikih terdapat ungkapan
“Hâdha tsâbit bi al-‘urf wa al-‘âdah”, ketetapan ini berlandaskan adat dan ‘urf. Penyebutan

14 Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani, Nail al-Awtâr, Vol. VI, Tahkik oleh Nasr Farid Muhammad Washil, (Cairo: al-
Maktabah al-Taufîqiyyah, T.Th.), 449, hadis no. 2976
15 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwâfaqât, Vol. II, (Cairo: al-Maktabah al-Taufîqiyyah, T.Th.), 245-246
16 Lajnah min Asatidhah Qism al-Fiqh bi Kulliyat al-Syari’ah wa al-Qanun, Qawâid al-Fiqh al-Islâmiy bain al-

Nazariyyah wa al-Tatbîq, (Kairo: Universitas Al-Azhar, 2007), hlm. 188.

13
kata ‘urf setelah kata adat hanya berfungsi sebagai penguat dan tidak mengandung makna
berbeda.

c. Macam-macam Al 'Urf

Dari segi Objeknya, ‘Urf dibagi menjadi dua macam 17, yaitu :

1. ‘Urf Lafdzi ( Qauliy (verbal custom) )

‘Urf Lafdzi adalah ungkapan atau istilah tertentu yang diberikan oleh suatu
komunitas untuk menunjuk makna tertentu, dan tidak ada kecenderungan makna
lain, sehingga makna itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran. Contohnya,
sebagian masyarakat mengkhususkan ungkapan “daging” pada daging sapi,
meskipun secara bahasa kata itu mencakup seluruh daging yang ada. Dengan
demikian, apabila seorang pedagang daging memiliki bermacam-macam daging,
lalu pembeli mengatakan, “Saya beli daging satu kilogram”, pedagang itu langsung
mengambil daging sapi, karena berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat.

2. 'Urf ‘Amaliy ( Actual Custom).


‘Urf ‘Amaliy (actual custom) adalah sejenis pekerjaan atau aktivitas
tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang
sebagai norma sosial, baik itu berupa al-a’mâl al-‘âdiyah (kebiasaan), atau
muamalah keperdataan seperti bay’ mu’âtah, kredit, upah, kebiasaan hari libur
kerja, dan lain sebagainya.

Dari segi Cakupannya, ‘Urf dibagi menjadi dua macam yaitu :

1. ‘Urf ‘Âmm (general custom)


‘Urf Âmm (general custom) adalah kebiasaan yang berlaku menyeluruh pada suatu
tempat, masa, dan keadaan, atau kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan daerah. Contohnya: memberi hadiah (tip) kepada orang
yang telah memberikan jasanya kepada kita.
2. ‘Urf Khas (special custom)
‘Urf Khas (special custom) adalah adat yang berlaku hanya pada suatu tempat,
masa dan keadaan tertentu saja, atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu dan tidak tampak pada komunitas lainnya. Contohnya,

17 Op. Cit, hlm. 107

14
mengadakan halalbihalal yang biasa dilakukan oleh umat Islam Indonesia pada
setiap hari raya Idul Fitri.

Dari segi Keabsahannya dalam perspektif syarak, ‘Urf dibagi menjadi dua
kategori,18 yaitu :

1. ‘Urf Sahîh (valid custom)


‘Urf Sahîh (valid custom) adalah suatu kebiasaan manusia yang tidak
bertentangan dengan dalil syarak, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan
tidak pula sebaliknya, tidak membatalkan yang wajib, serta tidak menyebabkan
mafsadah (kerugian atau kerusakan).36 Contohnya, kebiasaan masyarakat dalam
membayar mas kawin dengan salah satu cara; dengan kontan ataupun dengan
utang, memberikan hadiah bingkisan (selain mas kawin) kepada mempelai
wanita, baik sebelum ataupun ketika akad nikah. Dikarenakan kebiasaan-
kebiasaan di atas tidak bertentangan dengan syarak, maka ia boleh dilestarikan
dan dijadikan pijakan hukum.
2. ‘Urf Fâsid (invalid custom)
‘Urf Fâsid (invalid custom) yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok
orang atau masyarakat, akan tetapi berlawanan dengan ketentuan syariat karena
menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Misalnya perjanjian-
perjanjian yang bersifat riba, menarik hasil pajak perjudian, meminum arak ketika
pesta, dan lain sebagainya.

d. Syarat-syarat Al ‘Urf agar bisa dijadikan Pijakan Hukum

Syarat Al 'Urf bisa dijadikan pijakan Hukum harus memenuhi syarat-syarat


sebagai berikut :

1. Adat harus berlaku konstan dan menyeluruh, atau minimal dilakukan kalangan
mayoritas (Aghlabiyah). 19 Imam Suyuthi mengatakan bahwa tradisi yang
dijadikan pijakan dalam penetapan hukum adalah tradisi yang berlaku konstan
dan tetap, bukan yang berubah-ubah.

18 Abdul Wahhāb Khallāf, Masâdir al-Tasyrî’…, hlm. 148


19 Op. Cit, hlm. 120.

15
2. Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaannya. 20 Imam Suyuthi
menuturkan bahwa ‘Urf yang dijadikan dasar hukum adalah yang sudah ada dan
masih berlaku ketika terjadi penetapan hukum. Sedangkan ‘Urf yang belum ada
atau belum berlaku, tidak bisa diperhitungkan dalam penetapan suatu hukum.
3. Tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai
substansial adat (madmûn al-‘âdat).21 Seperti seseorang yang memperkerjakan
orang lain dari pagi hingga siang dengan gaji yang telah disepakati, maka ia
tidak berhak menuntut pekerjanya untuk bekerja sampai sore dengan dalih
bahwa kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut adalah bekerja sampai sore.
4. Tidak bertentangan dengan teks syariat, dalam artian adat atau ‘Urf tersebut
harus berupa ‘Urf sahîh}, sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek
substansial nas.22

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal
oleh manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan
pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Sadd Dzari’ah diartikan sebagai upaya
mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang pada
dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau
tindakan lain yang dilarang. Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-
ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti
syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan lain-lain. Syariat sebelum kita
adalah hukum- hukum yang berlaku umat sebelum datang risalah Nabi
Muhammad sejauh yang dapat dibaca dalam Al-Quran atau dinukilkan oleh
Nabi Muhammad SAW, karena Al-quran dan Hadits Nabi banyak berbicara
tentang syariat terdahulu

20 Ibid, hlm. 121


21 Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al-‘Urf…, 122; ‘Abdul Karim Zaydan, al-Wajîz…, hlm. 257.
22 Op. Cit, hlm. 120

16
B. Saran
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari apa yang telah kita bahas bersama,
tentang ‘urf dan dzari’ah. Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah kami, dan kami sadar bahwa makalah kami masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan kami
terima demi kesempurnaan makalah ini.

Daftar Pustaka

Dr. H. Sulaiman Abdullah. 1995. Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul
alFiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.)
Drs. H. Nasrun Haroen, M. A. 1996. Ushul Fiqh. Jakarta:Logos.

Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 132-133.


Muhammad Thahir an-Naifir,Ushul al-Fiqh,112.
Muhammad Bakar Ismail Habib,Maqaashid as-Syari’ah al-Islamiyah Ta’shilan wa
Taf’iilan(Makkah;Dar Thoibah al-Khadlro’),49.

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr). Hal 72

Abu Sunnah, Ahmad Fahmi. 2004. al-‘Urf wa al-‘Âdah fî Ra’yi al-Fuqahâ’. Kairo: Dâr al-
Basâir.

17
Khallaf, ‘Abdul Wahhāb. 1993. Masâdir al-Tasyrî’ al-Islâmiy Fîmâ Lâ Nassa Fîhi. Kuwait:
Dâr al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tauzî’, Cet. 6. T.Th. ‘Ilm Us}ûl al-Fiqh. Cairo: Dâr al-Qalam.

Lajnah min Asatidhah Qism al-Fiqh bi Kulliyat al-Syari’ah wa al-Qanun. 2007. Qawâid al-
Fiqh al-Islâmiy bain al-Nazariyyah wa al-Tatbîq. Kairo: Universitas Al-Azhar.

Al-Syatibi, Abu Ishaq. T.Th. al-Muwâfaqât, Vol. II. Cairo: al-Maktabah al-Taufîqiyyah.

Al-Syaukani. Muhammad bin ‘Ali. T.Th. Nail al-Awtâr, Vol. VI, Tahkik oleh Nasr Farid
Muhammad Washil. Cairo: al-Maktabah al Taufîqiyyah

Zaydan, ‘Abdul Karim. 2001. al-Wajîz fi Us}ûl al-Fiqh. Cairo: Muassasah al-Risâlah.

Al-Zuhailiy, Wahbah. 1999. al-Wajîz fi Us}ûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âsir, Edisi
Revisi Cetakan Pertama. 2008. Us}ûl al-Fiqh al-Islâmiy, Vol. II. Damaskus: Dâr al-Fikr,
Cetakan 16.

18
19

Anda mungkin juga menyukai