Anda di halaman 1dari 22

MA’RIFATUL INSAN

BAGIAN KE-3

THAQATUL INSAN (POTENSI MANUSIA)

1. Pengantar

Dengan memahami Ma’rifatul Insan tetunya ada bagian yang tidak


terpisahkan tentang potensi manusia yang sangat besar yang diberikan dari sang
Maha Esa, tentunya potensi yang diberikan itu sangat berperan bagi manusia dalam
menjalankan tugas sebagai pemimpin di muka bumi ini, potensi yang diberikan iu
berupa, pendengaran, penglihatan dan hati (akal). Karena sejatinya potensi yang
sudah diberikan ini akan di pertanggung jawabkan di hadapan-Nya apakah
seseorang itu Amanah dalam menjalankan tugasnya ataukah khianat, tetunya kita
sebagai makhluk yang Allah ciptakan dengan potensi yang luar biasa dan
menjadikannya pemimpin di bumi, bukan tidak mungkin ada makhluk yang lebih
besar seperti gunung, yang luas seperti lautan tetapi mereka pun tidak mampu
menjadi seorang khalifah di bumi, Allah menciptakan memberikan segala potensi
kepada manusia hanya untuk menjadikan manusia taat, tunduk, patuh dan mengabdi
(ibadah) kepada-Nya. Tetapi ada juga orang yang khianat terhadap perintah Allah
maka dia Allah jadikan dirinya hina melebihi binatang-binatang. Wallahu’alam.

2. Tujuan Intruksi Umum:

1. Memahami bahwa potensi pendengaran, penglihatan, dan hati (akal) akan


dimintai pertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas ibadah.
2. Memahami bahwa menunaikan tugas akan mempertahankan posisi
kekhilafahannya.
3. Menyadari akibat khianat terhadap tugas ibadat akan kembali pada diri
sendiri.

3. Tujuan Intruksi Khusus:

1. Dengan memahami manusia terhadap potensi yang begitu hebatnya yang


terdapat dalam diri nya sendiri, seyogyanya dia harus juga memahami bahwa
apa yang dilakukannya itu akan di pertanggung jawabkan di hadapan Allah,
segala pendengaran, penglihatan, dan hati apakah dipergunakan sesuai
perintah Tuhannya atau mengkhianati perintah Tuhannya.
2. Manusia sebagai khalifah tentunya mendapatkan posisi yang paling tinggi di
muka bumi ini sebagi makhluk yang paling sempurna dan memiliki potensi
serta akal untuk berfikir, serta mempergunakan potensinya sesuai perintah
Allah maka sesungguhnya dia telah memperthahankan posisinya sebagai
khalifah.
3. Khianat terhadap apa yang telah Allah perintahkan maka akan kembali pada
dirinya sendiri dan jika melakukan ketaatan maka akan berlaku juga terhadap
dirinya sendiri.
4. BAGAN
Pembahasan Ma’rifatul Insan
Bagian-3

Thaqotul Insan (Potensi Manusia)

1. Potensi Manusia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, potensi adalah kemampuan yang
mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan; kesanggupan;
daya; dan manusia menurut KBBI adalah makhluk yang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain) dapat disimpulkan potensi manusia adalah suatu hal yang
memungkinkan seseorang dapat mengembangkan kekuatan, kesanggupan, dan
daya.
Sedangkan menurut Myles Munroe potensi adalah kekuatan terpendam yang
belum dimanfaatkan, bakat tersembunyi atau keberhasilan yang belum diraih
padahal sejatinya kita mempunyai kekuatan untuk mencapai keberhasilan tersebut.
Menurut pandangan islam potensi manusia adalah suatu anugerah yang Allah
berikan karena Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat sempurna
dengan kemampuan Maka dari itulah Allah membekali manusia dengan segenap
potensi yang ada dalam dirinya. Potensi itu meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani
(spiritual), dan akal (mind). Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan
kepada manusia untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Manusia
diberi kebebasan untuk menentukan takdirnya. Semua itu tergantung dari
bagaimana mereka memanfaatkan potensi yang melekat dalam dirinya.
(At-tin : 95 :4)

4.sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-


baiknya.
Potensi yang diberikan Allah kepada manusia meliputi potensi pendengaran,
penglihatan dan hati.
(al-Mulk : 67 : 23)

23. Katakanlah: "Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi


kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu
bersyukur.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai potensi yang dimiliki manusia berupa
pendengaran, penglihatan dan hati.

1.1. Potensi Pendengaran

Arti pendengaran secara baahasa Pendengaran adalah kemampuan untuk


mengenali suara. Dalam manusia dan binatang bertulang belakang, hal ini
dilakukan terutama oleh sistem pendengaran yang terdiri dari telinga, saraf-saraf,
dan otak.

Sedangkan pendengaran menurut pandangan perspektif islam adalah


mendengarkan ajaran-ajaran agama Allah yang disampaikan kepadanya oleh rasul-
rasul Allah. Diberi-Nya manusia hati, akal dan pikiran untuk memikirkan,
merenungkan, menimbang dan membedakan mana yang baik bagimu dan mana
yang tidak baik, mana yang bermanfaat dan mana pula yang tidak bermanfaat.
Sebenarnya dengan anugerah-Nya itu manusia dapat mencapai semua yang baik
bagi dirinya sebagai makhluk Allah. Allah SWT berfirman dalam suarat

(an-Nahl : 16 : 78)
78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur.

1.2. Potensi penglihatan


Penglihatan adalah kemampuan untuk mengenali cahaya dan
menafsirkannya, salah satu dari indra. Alat tubuh yang digunakan untuk melihat
adalah mata. Potensi penglihatan manusia itu sangat besar mata manusia memiliki
kemampuan luar biasa untuk membedakan berbagai macam objek sehingga lahir
penafsiaran dari hal yang mata lihat.
Allah memberikan penglihatan sebagai anugerah, Dianugerahi-Nya pula
manusia mata yang dengannya ia dapat melihat, memandang dan memperhatikan
kejadian alam semesta ini.

1.3. Potensi hati


Hati menurut sains merupakan sebuah kelenjar yang "terbesar" di
dalam tubuh manusia, ini terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di
bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi.
Sedangkan menurut al-Ghazali dan al-Muhasibi, hati adalah raja yang
mengawal semua kegiatan yang berlaku pada roh, nafsu dan akal. Hati juga yang
mengarahkan kelima-lima panca indera manusia sama ada untuk melakukan
kebaikan atau keburukan (Abu Dardaa et al. 2014).
Menurut Ibn Rajab Hanbali yang dipetik oleh Mushtaq (2006), hati seperti di
dalam hadis ini diumpamakan seperti raja kepada seluruh anggota badan iaitu
tentera yang patuh dan taat. Sekiranya raja itu seorang yang baik akhlaknya, maka
kesemua tenteranya juga berakhlak baik. Namun, sekiranya raja itu buruk
akhlaknya,

maka kesemua tenteranya juga akan berakhlak buruk. Kerosakan hati ini yang akan
menyebabkan penyakit jasad dan penyakit jiwa (Mushtaq 2006).
Selain itu, di dalam hadis juga ada menyebut tentang kepentingan peranan
hati dalam menentukan akhlak seseorang. Bahkan Rasulullah SAW menyifatkan
bahawa baik atau buruk akhlak seseorang itu bergantung kepada hatinya dalam
sabdanya:

َ َ‫سدَتْ ف‬
َ ‫س َد ا ْل َج‬
. ُ‫س ُد ُكلُّه‬ َ َ‫ َوإِذَا ف‬، ُ‫س ُد ُكلُّه‬
َ ‫صلَ َح ا ْل َج‬ َ ‫ضغَةً إِذَا‬
َ ْ‫صلَ َحت‬ َ ‫أَالَ َوإِنَّ فِى ا ْل َج‬
ْ ‫س ِد ُم‬
ُ ‫أَالَ َو ِه َى ا ْلقَ ْل‬
‫ب‬
(Bukhari, Sahih, Kitab al-Iman, Bab Fadhl Man Istabra’ li Dinih, No. Hadis52)
Yang bermaksud: “Dan sesungguhnya di dalam satu jasad ada seketul
daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota dan jika rosak maka rosaklah
seluruh anggota. Ketahuilah, ia adalah hati.”Karena itu seharusnyalah manusia
bersyukur kepada-Nya dengan menjalankan.

2. Al-Mas’uliyyah (Tanggung Jawab)


Tanggung jawab adalah kesadaran diri manusia terhadap semua tingkah laku
dan perbuatan yang disengaja atau pun tidak di sengaja. Tanggung jawab juga harus
berasalah dari dalam hati dan kemauan diri sendiri atas kewajiban yang harus
dipertanggungjawabkan.
Al-mas’uliyyah yang telah dipikulkan kepadanya, yakni mempergunakan
segala nikmat Allah Ta’ala itu untuk beribadah dan patuh kepada-Nya. (adz-
Dzariyat : 51: 56)

56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.

Di saat memikul al-mas’uliyyah itu, ada dua pilihan di hadapan manusia;


apakah menindaklanjutinya dengan al-amanah (sikap amanah) atau dengan al-
khiyanah (sikap khianat). Dibawah ini adalah penjelasan mengenai sikap amanah
dan khianat.

2.1. Al-Amanah (Sikap Amanah)


Sikap amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga,
dilindungi, dan dilaksanakan. Dalam perspektif islam amanah di tunjukan dengan
prilaku Rasulullah SAW pada zaman kaum Quraisy yakni dapat di percaya dan
menjalankan semua aspek kehidupan baik dalam berdagagang dan pada hal sosial
lain. Mereka yang memilih sikap amanah, di dunia ini akan dianugerahi
kehormatan al-khilafah (kepemimpinan), sebagaimana disebutkan oleh
Allah Ta’ala dalam kitab-Nya.

(An-Nur :24: 55)

55. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Berkenaan dengan al-khilafah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan
manusia:

2.1.1. Pertama, manusia bukan pemilik yang hakiki (‘adamu haqiqatil mulkiyah),
karena Pemilik yang hakiki adalah Allah Ta’ala.

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara,
Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan,
Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Hasyr, 59:
23)

Allah itu merajai segala apa yang di bumi dan di langit, bertasbih kepada-Nya
dengan kehendak-Nya berdasarkan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, suci dari
segala yang tidak layak dan tidak sesuai dengan ketinggian dan kesempurnaan-Nya.
Tuhan Yang Maha Perkasa, menundukkan segala makhluk-Nya dengan kekuasaan-
Nya, Maha Bijaksana dalam mengatur hal ihwal mereka. Dia-lah yang lebih
mengetahui kemaslahatan mereka, yang akan membawa mereka kepada
kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat kelak.

“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Jumu’ah, 62: 1)
2.1.2. Kedua, manusia harus mengembannya sesuai dengan kehendak pihak
yang mewakilkan kepemimpinan tersebut (at-tasharruf bi-iradatil mustakhlif),
yakni Allah Ta’ala. Apa yang dikehendaki Allah Ta’ala dari mereka yang telah
diberi kekuasaan di muka bumi?

Dia berfirman,

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka


bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj, 22: 41)

Ayat di atas menegaskan bahwa mereka yang diberi kekuasaan di muka bumi
hendaknya melakukan hal-hal berikut ini:

1. Mendirikan shalat pada setiap waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
yang diperintahkan Allah. Makna yang lebih luas adalah bahwa para
pemimpin Islam hendaknya membimbing umat Islam agar menjalankan
shalat dan peribadahan dengan konsekuen, mengarahkan mereka agar
menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala, menjaga akhlak, keimanan, dan
ketakwaan mereka. Karena salah satu tujuan dari shalat adalah menyucikan
jiwa dan raga, mencegah manusia dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar
serta mewujudkan takwa yang sebenarnya.
2. Menunaikan zakat. Makna yang lebih luas adalah bahwa para pemimpin
Islam hendaknya mengarahkan umatnya agar meyakini bahwa di dalam harta
si kaya terdapat hak orang-orang fakir dan miskin. Dengan kata lain, seorang
pemimpin Islam hendaknya berupaya mewujudkan solidaritas sosial di
tengah-tengah umatnya, diantaranya adalah dengan menegakkan syariat
zakat.
3. Menyuruh manusia berbuat makruf dan mencegah perbuatan munkar. Para
pemimpin Islam memiliki tugas untuk mendorong manusia mengerjakan
amal saleh, memimpin manusia malalui jalan lurus yang dibentangkan Allah,
dan dengan kekuatannya, mereka mencegah orang-orang yang biasa
mengerjakan larangan-larangan Allah. Dengan kata lain, seorang pemimpin
Islam berkewajiban menjalankan fungsi kontrol sosial.

Tindakan mereka sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada
Allah.” (QS. Ali Imran, 3: 110)

2.1.3. Ketiga, dalam mengembannya manusia tidak boleh menentang peraturan


yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala (‘adamut ta’addi ‘alal hudud).

Sebagai pengemban khilafah, manusia wajib melaksanakan peraturan Allah


dan menjaganya. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa salah satu ciri-ciri orang
beriman itu adalah,

Artinya : 112. Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang
memuji, yang melawat, yang ruku´, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma´ruf dan
mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS. At-Taubah, 9: 112)
Jadi, sebagai individu dan pemimpin, manusia harus berupaya menjaga diri
dan umatnya agar tidak melampaui batas dan ketentuan yang telah ditetapkan
Allah Ta’ala, yaitu berupa syariat dan hukum-hukum-Nya demi kebahagiaan
mereka di dunia dan di akhirat.

2.2. Al-Khianat

Bagi manusia yang memilih sikap khianat, maka Allah Ta’ala akan
mengazab dan menghinakannya, na’udzubillahi min dzalik. Mereka yang tidak
mau menggunakan potensi dirinya untuk beribadah, diumpakan oleh
Allah Ta’ala dengan berbagai perumpamaan yang hina:

2.2.1. Kal an’am (bagaikan binatang ternak).

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan


dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7: 179)

2.2.2. Kal kalbi (bagaikan anjing).


“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya
dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-
orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’raf, 7: 176)

2.2.3. Kal qirdi (seperti monyet dan kal khinzir (seperti babi).

“Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang


yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah,
yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada)
yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut ?’.
Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang
lurus.” (QS. Al-Maidah, 5: 60)

Kutukan yang disebutkan dalam ayat di atas -dan juga disebutkan dalam surat
Al-Baqarah ayat 65- adalah menceritakan tentang orang-orang Yahudi pada masa
lalu yang melanggar ketentuan yang terdapat di dalam Taurat. Mereka
meninggalkan kewajiban beribadah pada hari Sabtu hanya karena ingin melakukan
pekerjaan duniawi menangkap ikan di laut, dimana pada hari itu ikan-ikan di laut
bermunculan dan mudah ditangkap.

Menurut Mujahid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, “Fisik mereka


tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati, jiwa dan sifat mereka dirubah menjadi seperti
kera. Oleh sebab itu mereka tidak dapat menerima pengajaran dan tidak dapat
memahami ancaman”

Namun, jumhur ulama berpendapat, bahwa mereka benar-benar bertukar rupa


menjadi kera. Disebut di dalam riwayat lain bahwa mereka yang dirubah menjadi
kera itu, tidak beranak, tidak makan, tidak minum dan tidak dapat hidup lebih dari
tiga hari.

Mengenai kutukan ini Ibnu Mas’ud berkata,

“Kami pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam


tentang kera dan babi, ‘Apakah kera dan babi yang ada sekarang merupakan
keturunan dari orang-orang Yahudi ?’. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: ‘Tidak, sesungguhnya Allah sama sekali belum pernah
mengutuk suatu kaum, lalu membiarkan mereka berketurunan. Tetapi kera
dan babi yang ada merupakan makhluk yang telah ada sebelumnya. Dan
ketika Allah murka terhadap orang-orang Yahudi, maka Dia mengutuk
mereka dan menjadikan mereka seperti kera dan babi.’” (HR. Muslim)

2.2.4. Kal khasabi (seperti kayu).


“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu
kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka.
Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa
tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah
musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga
Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai
dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Al-Munafiqun, 63: 4)

Ayat di atas menyebutkan tentang orang-orang munafik. Mereka memiliki


penampilan yang baik, pandai berbicara, dan berlisan fasih. Perkataan mereka
membuat pendengarnya akan terpesona. Padahal kenyataannya hati mereka sangat
lemah, rapuh, mudah sok, penakut, dan pengecut. Kalbu mereka kosong dari iman.
Mereka bagaikan kayu yang tersandar, tak ada kehidupan dalam diri mereka.
Manakala terdengar seruan sebagaimana seruan di dalam kemiliteran, atau
bagaikan seruan orang yang mencari barang yang hilang, mereka rasakan hal itu
ditujukan kepada mereka. Demikian itu karena hati mereka sudah memendam rasa
kecut dan takut terhadap hal-hal yang akan menimpa mereka yang
memperbolehkan darah mereka dialirkan.

2.2.5. Kal hijarah (seperti batu).

َ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ُّ َ َ ۡ َ َ َ ۡ َ َ َ َ َٰ َ ۡ َ ۢ ُ ُ ُُ ۡ َ َ ُ
َّ‫َّكٱۡل ِّجارَّة َِّّأوَّأشدَّقسوةَِّۚٗإَونَّمِّنَّٱۡل ِّجارَّة َِّّلما‬ ِّ ‫ك‬
َّ ‫مَّمنَّبعدَِّّذل ِّكَّف ِِّه‬ ‫ثمََّّقستَّقلوب‬
َ ‫َّف َي ۡخ ُر ُجَّ م ِّۡن ُه َّٱل ۡ َما ٓ ُءَّ َِّإَونَّ م ِّۡن َهاَّل َ َم‬
َّۡ‫اَّي ۡهب ُطَّ مِّن‬ َ ُ َ ََ َۡ ُ َٰ َ َۡ ۡ ُ ۡ ُ َََ
ِّ ٗۚ ‫يتفجرَّ مِّنه َّٱۡلنه َّر َِّۚٗإَونَّ مِّنهاَّلماَّيشقق‬
َ ُ َ َ َ ُ ۡ َ
ََّّ٧٤َّ‫للَّبِّغَٰفِّ ٍلَّعماَّت ۡع َملون‬
َّ ‫للِّهَّ َو َماَّٱ‬
َّ ‫خش َيةَِّّٱ‬َّ

Artinya : “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras
lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai- sungai dari
padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari
padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada
Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-
Baqarah, 2: 74)
Ayat di atas berbicara tentang watak orang-orang Yahudi. Sesudah mereka
diberi petunjuk ke jalan yang benar dan mereka sudah pula memahami kebenaran
itu, mereka lari darinya dan hati mereka mengeras seperti batu bahkan lebih keras
lagi. Padahal sekeras apa pun batu, oleh suatu sebab dapat terbelah atau retak. Lalu
memancarlah air dan kemudian berkumpul menjadi anak-anak sungai. Kadang-
kadang batu-batu itu jatuh dari gunung karena patuh kepada kekuasaan Allah. Tapi,
hati orang Yahudi lebih keras dari batu bagaikan tak mengenal retak sedikit pun.
Hati mereka tak terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama ataupun nasihat-nasihat yang
biasanya dapat menembus hati manusia.

2.2.6. Kal himar (seperti keledai).

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian


mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-
ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang
zalim.” (QS. Al-Jum’ah, 62: 5)

Orang yang tidak mau mengamalkan isi kitabullah diumpamakan oleh


Allah Ta’ala seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Bahkan mereka
lebih bodoh lagi dari keledai, karena keledai itu memang tidak mempunyai akal
untuk memahaminya sedangkan mereka itu mempunyai akal tetapi tidak
dipergunakanan.

2.2.7. Kal ‘ankabut (seperti laba-laba).


“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain
Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya
rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka
mengetahui.” (QS. Al-Ankabut, 29: 41)

Orang yang berkhianat kepada Allah Ta’ala, yakni mereka yang berbuat
musyrik, tak ubahnya bagaikan laba-laba yang membuat sarang, sangat rapuh dan
lemah, sebab sarang laba-laba itulah ibarat dari suatu bangunan rumah yang sangat
rapuh.

Oleh karena itu, at-thaqah (potensi), as-sam’u (pendengaran), al-


basharu (penglihatan), dan al-fuadu (hati) yang telah dianugerahkan
Allah Ta’ala kepada kita harus dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk
menjalankan amanah, sehingga Allah Ta’ala akan memuliakan kita di dunia dan
akhirat.

Wallahu a’lam.
3. Latihan Pembelajaran Soal Formatif !
Soal Pilihan Ganda.
1. Ataqhotul Insan adalah istilah untuk...
a. Potensi manusia
b. Sifat manusia
c. Nafsu manusia
d. Ta’rif manusia

2. As-sam’a adalah istilah untuk...


a. Potensi penglihatan
b. Potensi pendengaran
c. Potensi hati
d. Potensi akal

3. Al-bashor adalah istilah untuk...


a. Potensi penglihatan
b. Potensi pendengaran
c. Potensi hati
d. Potensi akal

4. Al-qolb adalah istilah untuk...


a. Potensi penglihatan
b. Potensi pendengaran
c. Potensi hati
d. Potensi akal

5. Al-mas’uliyyah adalah hal yang harus...


a. Dijawab
b. Ditanyakan
c. Di pertanggung jawabkan
d. Dinilai

6. Manusia yang mempertahankan dirinya sebagai khalifah di muka bumi


adalah manusia yang...
a. Khianat
b. Al-amanah
c. Gibah
d. Ma’rifah

7. Manusia yang mengingkari dan tidak mau taat atas perintah Allah di muka
bumi maka ia termasuk manusia yang...
a. Khianat
b. Al-Amanah
c. Gibah
d. .Ma’rifah

8. Manusia yang terpercaya maka ia akan‘adamu haqiqatil mulkiyah yang


artinya...
a. Pemilik yang hakiki
b. Bukan pemilik yang hakiki
c. Abdi yang taat
d. Penyembah ke benaran

9. ‘adamut ta’addi ‘alal hudud merupakan sifat orang yang amanah yang
berarti...
a. Mengikuti perintah syetan.
b. Mengikuti perintah hawa nafsu
c. Mengikuti perintah Allah
d. Mengikuti ulama

10. Manusia khianat di sebut juga sebagai al-kalbun yang memiliki arti...
a. Babi
b. Anjing
c. Lebah
d. Keledai
Kunci Jawaban !

1. Jawaban : a
Ataqhotul Insan adalah istilah yang digubakan untuk potensi manusia yang
berupa pendengaran, penglihatan dan hati.
2. Jawaban : b
As-sam’a artinya adalah mendengar, pendengaran adalah salah satu potensi
besar yang Allah berikan kepada manusia. Dengan pendengaran itu
menjadikan manusia akan lebih bisa mendengarakan apa saja perintah yang
Allah perintahkan dan apa saja yang Allah larang.
3. Jawaban : a
Al-bashor dalam bahasa arab diartikan dengan penglihatan dan istilah ini
Allah menggunakan untuk sebutan potensi penglihatan.
4. Jawaban : c
Qolb dalam bahasa arab di artikan sebagai hati yang dimana Allah
menjadikan itu sebagai sebuah anugerah kepada manusia yang
menjadikannya potensi hati.
5. Jawaban : c
Al-mas’uliyyah artinya segala sesuatu hal yang kita lakukan akan di
pertanggung jawabkan di hadapan Allah. Baik pendengaran, penglihatan
dan hati semua akan di pertanggung jawabkan.
6. Jawaban : b
Seorang yang menjalankan perintah dari Allah dan senantiasa berusaha
mempertakankan posisinya maka ia disebut dengan orang yang amanah.
7. Jawaban : a
Khianat adalah sifat orang yang tidak mau mengerjakan apa yang telah
Allah perintahkan kepada nya.
8. Jawaban : b
‘adamu haqiqatil mulkiyah di artikan sebagai bukan pemilik yang hakiki,
orang yang menjadikan Allah sebagai jalan hidupnya maka dia tidak akan
merasa sebagai pemilik tetapi merasa bahwa dia sedang mengemban
amanah dan dia menjadikan Allah sebgai pemilik yang hakiki.
9. Jawaban : b
‘adamut ta’addi ‘alal hudud di artikan dengan mengikuti perintah Allah,
orang yang amanah tentunya dia akan senantiasa taat dan mengikutu
perintah Tuhannya.
10. Jawaban : b
Al-kalbun dalam bahasa arab artinya adalah anjing ketika manusia tidak
mampu menjalankan perintah Allah dengan khianat maka diserupakan
dengan anjing.

Anda mungkin juga menyukai