Anda di halaman 1dari 18

KAIDAH CABANG AL ‘ADAH MUHAKKAMAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qowaid Fiqhiyyah


Dosen Pengampuh :
Dr. H. Imam Annas Mushlihin, M.H.I

Disusun Oleh :

Muhammad Akmal (22401165)

PRODI STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada allah SWT. Yang telah melimpahkan
Rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Qawaid Fiqhiyyah yang berjudul Kaidah Cabang Al ‘Adah Muhakkamah
dengan tepat waktu dan kami kerjakan dengan sebaik-baiknya. Tak lupa
sholawat serta salam yang selalu dihaturkan kepada nabi besar Muhammad SAW,
semoga kita semua bisa mendapatkan syafaat dari beliau, karena Tanpa beliau kita
semua tidak dapat berkumpul dengan ajaran allah SWT yakni addinul islam.
Kami sebagai pembuat makalah ini menyadari bahwa pasti masih banyak
kekurang baik dari kalimat, tata Bahasa penyampaian ataupun penyusunan yang
terdapat dalam makalah ini, karna kesempurnaan hanyan milik allah SWT. Maka
kami sangat mengharapkan kritikan dan saran guna perbaikan untuk pembuatan
makalah di hari yang akan datang. Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan
iringan serta harapan semoga tulisan sederhana ini semoga dapat di terima dan
bermanfaat bagi semua pembaca. Atas semua ini kami mengucapkan terimakasih
bagi semua pihak yang telah ikut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Kediri, 27 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
A. Latar Belakang ............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan .......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6
A. Definisi Kaidah Al ‘Adah Muhakkamah ..................................................... 6
B. Dasar hukum kaidah Al-‘Adah Muhakkamah ............................................. 8
C. Contoh Penerapan Kaidah Al’Adah Muhakkamah ...................................... 9
D. Cabang kaidah Al ‘Adah Muhakkamah ..................................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 16
A. Kesimpulan ................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully
(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa‟id fiqhiyah
mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasan dalam
makalah ini yaitu al-„adah al-muhakkamah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi
dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik
yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar
dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di
dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui
segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih dalam
waktu, tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubahubah.
Dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya (adat atau
kebiasaan ) serta lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa
tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan
kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang adat
(kebiasaan) dengan kaidah, al-„adah al-muhakkamah dengan arti adat atau
kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum. Dalam makalah
ini akan dikaji mengenai pengertian al-„aadah, dasar-dasar hukum, cabang kaidah
al-a‟aadah muhkamah.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
2. Apa dasar hukum dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
3. Bagaimana penerapan kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
4. Apa cabang dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
2. Untuk mengetahui dasar hokum kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
3. Untuk mengetahui penerapan dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
4. Untuk mengetahui cabang-cabang dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kaidah Al ‘Adah Muhakkamah


Dalam kamus lisan arabi disebutkan bahwa “ad‐daidan” dan “ad‐dábu”
berarti karakteristik dan kebiasaan yang dilakukan secara kontinu, dinamakan
demikian karena pelakunya membiasakan hal tersebut. dalam kamus mufrodat Ar-
raghib Al-asfahani disebutkan arti “al‐áud” yaitu, kembali terhadap sesuatu setelah
berpaling darinya baik sebelum nya berpaling karena dzat, perkataan, dan keingin
‘Adah atau ‘adat secara bahasa bermakna berulang-ulang. Sedangkan ‘adat
menurut istilah adalah perkara yang diulang-ulang tanpa ‘alaqah ‘aqliyah
(hubungan yang bersifat rasional. ‘adat juga didefinisikan sebagai ungkapan
(istilah) untuk berbagai hal yang ada di hati yang berulang-ulang dan diterima oleh
watak dasar manusia. ‘Adat mencakup setiap perbuatan yang sudah lumrah yang
dibiasakan oleh manusia, atau setiap lafal yang sudah dikenal yang digunakan untuk
menunjukkan makna tertentu.
Dalam pengertian dan substansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-adah,
yaitu al-urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya
atau meninggalkannya. Dalam kajian Ushul fiqh ‘adat dan ‘urf digunakan untuk
menjelaskan tentang kebiasaan yang berkembang di masyarakat. ‘Urf secara
etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.
Sementara adat seperti yang sudah dijelaskan tadi adalah sesuatu perbuatan yang
dikerjakan secara berulang tanpa hubungan rasional. Dalam konteks ini, ‘adat dan
‘urf adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima dan dianggap baik oleh
masyarakat
Adapun alasan perbedaan antara adat dan urf, sebagai berikut: Pertama, adat
bisa berlaku secara umum, baik dilakukan oleh orang banyak maupun individual,
sedangkan urf harus dilakukan oleh mayoritas ma- syarakat, sehingga tidak
dinamakan urf jika hanya dilakukan oleh seba- gian orang saja. Kedua, adat bisa

6
muncul secara alami sebagaimana yang berlaku di tengah masyarakat, sedangkan
urf tidak bisa muncul secara alami tetapi harus melalui pemikiran dan pengalaman.
Ketiga, adat tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan
yang menjadi adat tersebut, sedangkan urf selalu memberikan penilaian pada segala
sesuatu yang menjadi tradisi dalam masyarakat.
Sedangkan Muhakkamah adalah bentuk Maf’ul dari Masdar Tahkim yang
berarti penyelesaian masalah, jadi arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam
pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan
hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.

Maksud dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah ‫حمكمة‬ ‫ العادة‬adalah syariat


menjadikan adat sebagai pijakan dan dalil bagi hukum permasalahan yang tidak
ada nashnya. Jadi maksudnya ialah bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang
khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam
(hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau
belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin
ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa
mematahkan sebuah adat.1
Adat tidak serta merta dapat digunakan untuk menetapkan hukum,
melainkan harus terpenuhi beberapa syarat, yaitu :
1. Adat tersebut merupakan adat yang telah berlaku secara umum, tidak
hanya khusus pada individu. Dengan begitu yang dipandang adalah
kebiasaan masyarakat, bukan kebiasaan individu
2. Adat tersebut merupakan adat yang telah disepakati sebelum
terjadinya kasus atau peristiwa.
3. Adat yang terjadi tidak bertentangan dengan aturan-aturan Syari’,
maqashid al-syari’ah, dan aturan-aturan yang lain telah baku
(tertulis). Sebab, adat adalah aturan tertulis (baik hukum Islam atau
hukum Negara) maka adat harus dikalahkan.

1
Busyron. (2020). Pengantar Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Kencana. Hlm 3

7
Akan tetapi, bila aturan baku tersebut juga didasarkan pada adat, maka adat
yang terjadi pada saat ini bisa dijadikan sebagai pijakan, walaupun dampak hukum
yang ditimbulkannya akan berbeda dengan keputusan yang telah baku tersebut.2

B. Dasar hukum kaidah Al-‘Adah Muhakkamah


1. Dasar Kaidah dari Al-Qur’an
Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang mengindikasikan adat sebagai dasar
penetapan hukum, yaitu:
a. Al-Quran Surat Al-A’raaf ayat 199

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raaf: 199)
b. Al-Qur’an Surat An-nisa ayat 19

ِ ‫عا ِش ُر ۡو ُه َّن ِب ۡال َمعۡ ُر ۡو‬


‫ف ۚ ََا ِۡۡ ََ ِر ۡهُ ُ ُم ۡۡ ُه َّن ََ َعٰۤى ا َ ۡۡ َ َۡك َر ُه ۡۡا ش َۡۡــــا َّو ََ ۡۡ َع ََ الّٰهُُ َِ ۡۡ ُِ َ َۡۡ ارا ََ ِِ ۡۡ ارا‬ َ ‫َو‬
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa:
19)
c. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 228

َ ُُ‫عَّٰ ْۡ ِه َّن دَ َر َجةٌ ۗ َوالّٰه‬


‫ع ِزَ ٌْز َح ِك ْۡ ٌم‬ ِ ِۖ ‫عَّٰ ْۡ ِه َّن ِب ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ف َو ِل ِّٰر َجا ِل‬ ْ ‫َولَ ُه َّن ِمِْ َُ الَّذ‬
َ ‫ِي‬
“Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di
atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)

2
Hamim, M., & Muntaha, A. (2013). Pengantar Kaidah Fiqh Syafi'iyah. Kediri: Santri Salaf
Press. Hlm 104

8
2. Dasar Kaidah dari Hadits Rasulullah SAW
Adapun Hadis Nabi SAW. yang mendukung keberadaan adab (al-'urf)
sebagai salah satu cara istinbath hukum, di antaranya:

"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah
pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
Maksud dari hadis ini adalah bahwa dalam Islam, terdapat standar moral dan
etika yang dianggap baik dan buruk. Jika sesuatu dianggap baik oleh umat Islam
berdasarkan ajaran agama, maka Allah juga menganggapnya baik. Sebaliknya, jika
sesuatu dianggap buruk oleh umat Islam, maka Allah juga menganggapnya buruk.3
Hadis ini menekankan pentingnya mengikuti pedoman agama Islam dalam
menentukan apa yang dianggap baik dan buruk. Umat Islam dipersilakan untuk
merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW untuk memahami
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianjurkan atau dilarang dalam agama.4

C. Contoh Penerapan Kaidah Al’Adah Muhakkamah


1. Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan
dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos
sebesar kebiasaan yang berlaku.
2. Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya,
ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat
menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.

3
Mudjib, A. (2010). Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: kalam Mulia. Hlm 43-45
4
Moh. Mufid. Kaidah fikih ekonomi dan keuangan kontemporer (Jakarta: Kencana, 2019) 95-96

9
3. Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan
berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada
kebiasaan.
4. Menggunakan alat takaran dan timbangan dalam kilogram telah berbeda
daripada generasi terdahulu. juga kebiasaan (al-`adah) pada suatu masa,
pada awalnya mereka berjual-beli dengan menyatakan ijab dan qabul,
kemudian berubah kepada bai` al-mu`atah (bertukar tangan) saja.
5. jual beli saham yang sifatnya fluktuatif karena yang dihargai adalah kinerja
suatu perusahaan dan prospeknya di masa mendatang. Padahal, jual beli
dahulu dilakukan serah terima antara barang dengan barang (barter),
barang dengan uang, dan barang atau uang dengan jasa.
6. Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka
berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang
penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu
bata naik.
7. Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya
adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang
memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya
secara beganti-ganti.5

D. Cabang kaidah Al ‘Adah Muhakkamah


1. Kaidah pertama

“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah


(alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan”
a. Makna kaidah

5
Musadad, A. (2019). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Batu: Literasi Nusantara Abadi. Hlm 165

10
Yang dimaksud oleh kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang telah
menjadi acuan, bahkan wajib untuk dijadikan pijakan selama tidak
bertentangan dengan Syari’ dan aturan-aturan baku yang lain, sebagaimana
telah dijelaskan
Adat atau kebiasaan manusia ada dua macam. Pertama, adat yang
berupa kebiasaan verbal, yakni bahasa komunikasi yang digunakan oleh
kalangan tertentu untuk makna yang tertentu pula. Kedua, adat yang berupa
tindakan non verbal, seperti berbagai macam praktek transaksi masyarakat.
b. Contoh kaidah
Keabsahan mewakafkan kitab, mushaf, dan cek atau uang bila di
daerah tersebut orang-orang telah biasa mewakafkan benda-benda semacam
itu. Padahal, hukum asal barang-barang dapat dipindahkan tidaklah sah.
2. Kaidah kedua

“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah


adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
a. Makna Kaidah
Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan
pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-sekali terjadi
dan/atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua
syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus dilakkandan bersifat
umum (keberlakuannya).
b. Contoh Kaidah
Apabila seseprang berlangganan majalah atau surat abar, maka
majalah atau surat kabar itu diantar kerumah pelanggan. Apabila pelanggan
tidak mendapat majalah atau surat kabar tersebut maka ia bisa
komplain(mengadukannya) dan menuntutnya kepada agen majalah atau surat
kabar tersebut.
3. Kaidah ketiga

11
“Sesuatu yang telah dikenal karena’urf seperti yang diisyaratkan
dengan suatu syarat”
a. Makna Kaidah
Maksud kaidah ini adalah bahwa segala sesuatu yang telah menjadi
adat kebiasaan oleh masyarakat dalam transaksi-transaksi mu’amalah,
berposisi sebagaimana syarat yang ditetapkan secara sharih (jelas). Dalam
arti, kebiasaan-kebiasaan yang telah terjadi, walaupun tidak disebutkan dalam
suatu transaksi mu’amalah sebagai syarat, posisinya sama dengan syarat
(dalam hal harus dipenuhi).
b. Contoh kaidah
apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka
berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak
dibayar. Jadi tidak bisamenuntun bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal
sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah
yang sedang dibangun. Lalu dia bekerja disitu, maka dia harus dibayar
upahnya seperti yang lainnya meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab
kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila dibayar, dia mendapatkan
bayaran.
4. Kaidah Keempat

“ Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat


di antara mereka”
a. Makna Kaidah

12
Kaidah ini hanya khusus bagi kalangan pedagang. Dengan begitu,
maksud kaidah ini adalah bahwa segala kebiasaan yang terjadi dalam
mu’malah (transaksi) yang dilakukan oleh pedagang berkedudukan sama
dengan syarat yang diberlakukan diantara mereka. Walaupun ketetapan
tersebut tidak pernah terucapkan
b. Contoh kaidah
seperti biaya pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di
Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam
akad pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos)
pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab penjual.
5. Kaidah kelima

“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”


a. Makna Kaidah
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah
memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama
dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
b. Contoh Kaidah
Apabila sseseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskansiapa
yangbertempat tinggal dirumah atau toko tersebut, maka si penyewa bisa
memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar
rumah kecuali dengan izizn orang yang menyewakan.
6. Kaidah keenam

13
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang
tidak berlaku dalam kenyataan”
a. Makna Kaidah
Maksudnya kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi
berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi
dalam kenyataannya.
b. Contoh kaidah
seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu
miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjekaskan dari mana asal harta tersebut.
Sama halnya seseperti seseorang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur
dia lebih tua dari si A yang diakui sebagai bapaknya.
7. Kaidah Ketujuh

“Arti hakiki ( yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti


menurut adat”
a. Makna Kaidah
Arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang
ditunjukkan oleh adat kebiasaan.
b. Contoh kaidah
penyerahan uang dan penerimaan barang oleh sipembeli serta
sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan
tetapi, apabila sipembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka),maka
berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si
penjualtidak bisa lagi membatalkan jual belinnya meskipun harga barang
naik.
8. Kaidah Kedelapan

14
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan
pemberian izin menurut ucapan”
a. Contoh kaidah
Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan
rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab
menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti
mempersilahkannya.
9. Kaidah Kesembilan

“Tulisan sebanding dengan ucapan.”


a. Makna Kaidah
Yang dimaksud kaidah ini adalah bahwa hal-hal yang diungkapkan
menggunakan tulisan sam hal dengan hal-hal yang diungkapkan melalui
ucapan. Kesamaan ini berupa sesuatu yang dapat muncul dari keduanya.
Dengan begitu, maka sesuatu yang bisa muncul sebagai akibat dari sebuah
tulisan.
b. Contoh Kaidah
jika sebuah tulisan dimaksudkan untuk akad yang melibatkan
persetujuan pihak lain, seperti jual-beli, sewa, kerjasama, pernikahan, dan
lainnya, maka tulisan tersebut berfungsi sebagai legalitas akad pada saat
tersampaikan dan dibaca kemudian dijawab dengan qabul dari pihak kedua.
Dengan demikian, tempat tersampaikannya tulisan tersebut menjadi majlis
akad (tempat akad dilangsungkan), dan tulisan tidak memiliki konsekuensi
hukum sebelum tersampaikan. Artinya, tulisan tidak berkonsekuensi hukum

15
sejak ditulis, namun terhitung ketika sudah tersampaikan dan dibacakan lalu
di-qabul.6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan,
dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-
‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar
oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang
berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping
itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus
harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek
pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya,
adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam
dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan
tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan
adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Al ‘Adah Muhakkamah adalah kebiasaan yang turun temurun dari masa
lampau ada yang masih diterapkan hingga sekarang dan mungkin ada juga yang
sudah menghilang karena pengaruh dari budaya yang baru atau juga berevolusi
menjadi yang lebih baik. Contoh penerapan Al ‘Idah Muhakkamah salah satunya
yaitu tentang jual beli tanpa perjanjian, berzakat kepada fakir miskin, berqurban
bila mampu, penetapan jenis benda yang digunakan untuk mata uang yang nilai
harganya stabil, dan masih banyak lagi.

6
Nahe'i, I. (2010). Mengenal Qawa'id Fiqhiyyah. Situbondo: Tanwirul Afkar. Hlm 153-160

16
17
DAFTAR PUSTAKA

Busyron. (2020). Pengantar Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Kencana.


Hamim, M., & Muntaha, A. (2013). Pengantar Kaidah Fiqh Syafi'iyah. Kediri:
Santri Salaf Press.
Mudjib, A. (2010). Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: kalam Mulia.
Mufid, M. (2019). Kaidah Fikih Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer. Jakarta:
Kencana .
Musadad, A. (2019). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Batu: Literasi Nusantara
Abadi.
Nahe'i, I. (2010). Mengenal Qawa'id Fiqhiyyah. Situbondo: Tanwirul Afkar.

18

Anda mungkin juga menyukai