Disusun Oleh :
Puji syukur kami haturkan kepada allah SWT. Yang telah melimpahkan
Rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Qawaid Fiqhiyyah yang berjudul Kaidah Cabang Al ‘Adah Muhakkamah
dengan tepat waktu dan kami kerjakan dengan sebaik-baiknya. Tak lupa
sholawat serta salam yang selalu dihaturkan kepada nabi besar Muhammad SAW,
semoga kita semua bisa mendapatkan syafaat dari beliau, karena Tanpa beliau kita
semua tidak dapat berkumpul dengan ajaran allah SWT yakni addinul islam.
Kami sebagai pembuat makalah ini menyadari bahwa pasti masih banyak
kekurang baik dari kalimat, tata Bahasa penyampaian ataupun penyusunan yang
terdapat dalam makalah ini, karna kesempurnaan hanyan milik allah SWT. Maka
kami sangat mengharapkan kritikan dan saran guna perbaikan untuk pembuatan
makalah di hari yang akan datang. Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan
iringan serta harapan semoga tulisan sederhana ini semoga dapat di terima dan
bermanfaat bagi semua pembaca. Atas semua ini kami mengucapkan terimakasih
bagi semua pihak yang telah ikut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully
(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa‟id fiqhiyah
mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasan dalam
makalah ini yaitu al-„adah al-muhakkamah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi
dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik
yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar
dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di
dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui
segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih dalam
waktu, tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubahubah.
Dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya (adat atau
kebiasaan ) serta lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa
tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan
kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang adat
(kebiasaan) dengan kaidah, al-„adah al-muhakkamah dengan arti adat atau
kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum. Dalam makalah
ini akan dikaji mengenai pengertian al-„aadah, dasar-dasar hukum, cabang kaidah
al-a‟aadah muhkamah.
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
2. Apa dasar hukum dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
3. Bagaimana penerapan kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
4. Apa cabang dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
2. Untuk mengetahui dasar hokum kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
3. Untuk mengetahui penerapan dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
4. Untuk mengetahui cabang-cabang dari kaidah Al ‘Adah Muhakkamah
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
muncul secara alami sebagaimana yang berlaku di tengah masyarakat, sedangkan
urf tidak bisa muncul secara alami tetapi harus melalui pemikiran dan pengalaman.
Ketiga, adat tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan
yang menjadi adat tersebut, sedangkan urf selalu memberikan penilaian pada segala
sesuatu yang menjadi tradisi dalam masyarakat.
Sedangkan Muhakkamah adalah bentuk Maf’ul dari Masdar Tahkim yang
berarti penyelesaian masalah, jadi arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam
pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan
hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.
1
Busyron. (2020). Pengantar Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Kencana. Hlm 3
7
Akan tetapi, bila aturan baku tersebut juga didasarkan pada adat, maka adat
yang terjadi pada saat ini bisa dijadikan sebagai pijakan, walaupun dampak hukum
yang ditimbulkannya akan berbeda dengan keputusan yang telah baku tersebut.2
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raaf: 199)
b. Al-Qur’an Surat An-nisa ayat 19
2
Hamim, M., & Muntaha, A. (2013). Pengantar Kaidah Fiqh Syafi'iyah. Kediri: Santri Salaf
Press. Hlm 104
8
2. Dasar Kaidah dari Hadits Rasulullah SAW
Adapun Hadis Nabi SAW. yang mendukung keberadaan adab (al-'urf)
sebagai salah satu cara istinbath hukum, di antaranya:
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah
pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
Maksud dari hadis ini adalah bahwa dalam Islam, terdapat standar moral dan
etika yang dianggap baik dan buruk. Jika sesuatu dianggap baik oleh umat Islam
berdasarkan ajaran agama, maka Allah juga menganggapnya baik. Sebaliknya, jika
sesuatu dianggap buruk oleh umat Islam, maka Allah juga menganggapnya buruk.3
Hadis ini menekankan pentingnya mengikuti pedoman agama Islam dalam
menentukan apa yang dianggap baik dan buruk. Umat Islam dipersilakan untuk
merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW untuk memahami
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianjurkan atau dilarang dalam agama.4
3
Mudjib, A. (2010). Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: kalam Mulia. Hlm 43-45
4
Moh. Mufid. Kaidah fikih ekonomi dan keuangan kontemporer (Jakarta: Kencana, 2019) 95-96
9
3. Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan
berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada
kebiasaan.
4. Menggunakan alat takaran dan timbangan dalam kilogram telah berbeda
daripada generasi terdahulu. juga kebiasaan (al-`adah) pada suatu masa,
pada awalnya mereka berjual-beli dengan menyatakan ijab dan qabul,
kemudian berubah kepada bai` al-mu`atah (bertukar tangan) saja.
5. jual beli saham yang sifatnya fluktuatif karena yang dihargai adalah kinerja
suatu perusahaan dan prospeknya di masa mendatang. Padahal, jual beli
dahulu dilakukan serah terima antara barang dengan barang (barter),
barang dengan uang, dan barang atau uang dengan jasa.
6. Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka
berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang
penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu
bata naik.
7. Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya
adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang
memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya
secara beganti-ganti.5
5
Musadad, A. (2019). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Batu: Literasi Nusantara Abadi. Hlm 165
10
Yang dimaksud oleh kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang telah
menjadi acuan, bahkan wajib untuk dijadikan pijakan selama tidak
bertentangan dengan Syari’ dan aturan-aturan baku yang lain, sebagaimana
telah dijelaskan
Adat atau kebiasaan manusia ada dua macam. Pertama, adat yang
berupa kebiasaan verbal, yakni bahasa komunikasi yang digunakan oleh
kalangan tertentu untuk makna yang tertentu pula. Kedua, adat yang berupa
tindakan non verbal, seperti berbagai macam praktek transaksi masyarakat.
b. Contoh kaidah
Keabsahan mewakafkan kitab, mushaf, dan cek atau uang bila di
daerah tersebut orang-orang telah biasa mewakafkan benda-benda semacam
itu. Padahal, hukum asal barang-barang dapat dipindahkan tidaklah sah.
2. Kaidah kedua
11
“Sesuatu yang telah dikenal karena’urf seperti yang diisyaratkan
dengan suatu syarat”
a. Makna Kaidah
Maksud kaidah ini adalah bahwa segala sesuatu yang telah menjadi
adat kebiasaan oleh masyarakat dalam transaksi-transaksi mu’amalah,
berposisi sebagaimana syarat yang ditetapkan secara sharih (jelas). Dalam
arti, kebiasaan-kebiasaan yang telah terjadi, walaupun tidak disebutkan dalam
suatu transaksi mu’amalah sebagai syarat, posisinya sama dengan syarat
(dalam hal harus dipenuhi).
b. Contoh kaidah
apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka
berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak
dibayar. Jadi tidak bisamenuntun bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal
sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah
yang sedang dibangun. Lalu dia bekerja disitu, maka dia harus dibayar
upahnya seperti yang lainnya meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab
kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila dibayar, dia mendapatkan
bayaran.
4. Kaidah Keempat
12
Kaidah ini hanya khusus bagi kalangan pedagang. Dengan begitu,
maksud kaidah ini adalah bahwa segala kebiasaan yang terjadi dalam
mu’malah (transaksi) yang dilakukan oleh pedagang berkedudukan sama
dengan syarat yang diberlakukan diantara mereka. Walaupun ketetapan
tersebut tidak pernah terucapkan
b. Contoh kaidah
seperti biaya pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di
Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam
akad pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos)
pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab penjual.
5. Kaidah kelima
13
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang
tidak berlaku dalam kenyataan”
a. Makna Kaidah
Maksudnya kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi
berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi
dalam kenyataannya.
b. Contoh kaidah
seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu
miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjekaskan dari mana asal harta tersebut.
Sama halnya seseperti seseorang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur
dia lebih tua dari si A yang diakui sebagai bapaknya.
7. Kaidah Ketujuh
14
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan
pemberian izin menurut ucapan”
a. Contoh kaidah
Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan
rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab
menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti
mempersilahkannya.
9. Kaidah Kesembilan
15
sejak ditulis, namun terhitung ketika sudah tersampaikan dan dibacakan lalu
di-qabul.6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan,
dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-
‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar
oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang
berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping
itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus
harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek
pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya,
adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam
dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan
tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan
adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Al ‘Adah Muhakkamah adalah kebiasaan yang turun temurun dari masa
lampau ada yang masih diterapkan hingga sekarang dan mungkin ada juga yang
sudah menghilang karena pengaruh dari budaya yang baru atau juga berevolusi
menjadi yang lebih baik. Contoh penerapan Al ‘Idah Muhakkamah salah satunya
yaitu tentang jual beli tanpa perjanjian, berzakat kepada fakir miskin, berqurban
bila mampu, penetapan jenis benda yang digunakan untuk mata uang yang nilai
harganya stabil, dan masih banyak lagi.
6
Nahe'i, I. (2010). Mengenal Qawa'id Fiqhiyyah. Situbondo: Tanwirul Afkar. Hlm 153-160
16
17
DAFTAR PUSTAKA
18