Anda di halaman 1dari 9

Contoh Makalah Hukum Adat Tentang Kehidupan Suku Dayak

KataPengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah
ini saya menjelaskan mengenai kebiasaan dalam kebudayaan suku dayak. Makalah ini
dibuat dalam rangka memperdalam matakuliah tentang Hukum Adat dengan mempelajari
kebudayaan masyarakat yang ada di Indonesia. Saya menyadari, dalam makalah ini
masih banyak kesalahan dan kekurangan. hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman yang saya miliki. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran. Demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga Makalah ini dapat
bermanfaat

bagi

kita

Lakawali, 15 september 2016

Daftar isi
Kata pengantar
Daftar isi
Bab 1 pendahuluan
1. Latar belakang
2. Rumusan masalah
3. Tujuan
Bab 2 Pembahasan
1) Letak geografis
2) Persebaran suku-suku dayak dipulau Kalimantan
3) Pengertian suku dayak
4) Sejarah suku dayak manyan
5) Proses penguburan suku dayak manyan
6) Gallery suku dayak manyan
Bab 3 Penutup
1) Kesimpulan
2) Saran
Daftar pustaka
BABI
PENDAHULUAN
1.1LatarBelakang

semua.

Suku Dayak sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri
yang pula tidak sama secara tepat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang
hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi manusia
Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan
belajar (Garna, 1996).
Jika pengertian tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka paralel dengan
itu, kebudayaan Dayak Maanyan adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
Dayak Maanyan dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak
dengan belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar
dalam kehidupan masyarakat Dayak Maanyan, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis
yang ada di dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses belajar yang
diwariskan secara turun-temurun darigenerasikegenerasi.
Berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud kebudayaan
sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan Dayak juga dapat
ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi: Pertama, wujud kebudayan sebagai suatu
himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan. Wujud itu merupakan wujud
hakiki dari kebudayaan atau yang sering disebut dengan adat, yang berfungsi sebagai tata
kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku manusia
Dayak,.Tampak jelas di dalam berbagai upacara adat yang dilaksanakan berdasarkan siklus
kehidupan, yakni kelahiran, perkawinan dan kematian, juga tampak dalam berbagai upcara adat
yang berkaitan siklus perladangan; Kedua, wujud kebudayaan sebagai sejumlah perilaku yang
berpola, atau lazim disebut sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri dari aktivitas manusia yang
berinteraksi yang senantiasa merujuk pada pola-pola tertentu yang di dasarkan pada adat tata
kelakuan yang mereka miliki, hal ini tampak dalam sistem kehidupan sosial orang Dayak yang
sejak masa kecil sampai tua selalu dihadapkan pada aturan-aturan mengenai hal-hal mana yang
harus dilakukan dan mana yang dilarang yang sifatnya tidak tertulis yang diwariskan secara turun
temurun dari generasi ke generasi sebagai pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat
Dayak; Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, yang lazim disebut
kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil karya manusia Dayak, misalnya seperti rumah
panjang dan lain-lain. Berdasarkan atas pemahaman itu, maka kebudayaan Dayak sangat
mempunyai makna dan peran yang amat penting, yaitu merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari proses kehidupan orang Dayak. Atau dengan kata lain kebudayaan Dayak Maanyan dalam
perkembangan sejarahnya telah tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakat Dayak
sebagaipendukungnya.
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak juga
mengalami pergeseran dan perubahan. Hal ini berarti bahwa kebudayaan Dayak itu sifatnya tidak
statis dan selalu dinamik; meskipun demikian, sampai saat ini masih ada yang tetap bertahan dan
tak tergoyahkan oleh adanya pergantian generasi, bahkan semakin menunjukkan identitasnya
sebagai suatuwarisanleluhur.
Dalam makalah ini bermaksud untuk mengupas kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat
Dayak Maanyan dan memperkenalkannya salah satunya yaitu Proses Penguburan Suku Dayak
Maanyan.

1.2RumusanMasalah
1.

Bagaiman Persebaran Suku-Suku Dayak di Pulau Kalimantan?

2.

Bagaimana Sejarah Suku Dayak Maanyan?

3.

Bagaimana Tradisi dan Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan?

1.3Tujuan
1.

Mengetahui Persebaran Suku-Suku Dayak di pulau Kalimantan

2.

Mengetahui Letak dan Sejarah Suku Dayak Maanyan

3.

Mengetahui Tradisi dan Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Geografis

Antara daratan Asia dan Australia terletak Nusa Tenggara Indonesia termasuk pulau Borneo yang
oleh orang Indonesia dinamakan Kalimantan. Nama Borneo mungkin berasal dari nama Brunei
dan sering digunakan untuk menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan mungkin
berasal dari keadaan pulau yang punya banyak kali, banyak mas, dan banyak intan, sehingga
menjadi Kalimantan. Menurut beberapa pihak lain mungkin nama Kalimantan berasal dari nama
Lamanta. Lamanta adalah sagu dari pohon yang baru ditebang, yang masih mentah. Pada
umumnya nama Kalimantan digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah pemerintahan
Indonesia dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bagian di bawah pemerintahan Malaysia.
2.2

Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih
mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku
Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub
(menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai
adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan
perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini
disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman
mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum
Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang
menyebar di seluruh Kalimantan.
2.3

Pengertian Suku Dayak

Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni
pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan yang meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri dari
Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan . Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim
atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan,
rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut,
rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5
kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di
luar pulau Kalimantan:
"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan SamaBajau),
"Dayak Darat" (13 bahasa)

"Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.


"Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak
Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
"Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang
digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk
Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu.
Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak
adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
2.4 Sejarah Suku Dayak Maanyan
Suku Dayak Maanyan (olon Maanjan/meanjan) atau Suku Dayak Barito Timur merupakan salah
satu dari bagian sub suku Dayak dan juga merupakan salah satu dari suku-suku Dusun (Kelompok
Barito bagian Timur) sehingga disebut juga Dusun Maanyan. Suku-suku Dusun termasuk
golongan rumpun Ot Danum (Menurut J.Mallinckrodt 1927) walaupun dikemudian hari teori
tersebut dipatahkan oleh A.B Hudson 1967 yang berpendapat bahwa orang Maanyan adalah
cabang dari "Barito Family". Mereka disebut rumpun suku Dayak sehingga disebut juga Dayak
Maanyan. Suku Dayak Maanyan mendiami bagian timur provinsi Kalimantan Tengah, terutama di
Kabupaten Barito Timur dan sebagian Kabupaten Barito Selatan yang disebut Maanyan I. Suku
Dayak Maanyan juga mendiami bagian utara provinsi Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten
Tabalong yang disebut Dayak Warukin. Dayak Balangan (Dusun Balangan) yang terdapat di
Kabupaten Balangan dan Dayak Samihim yang terdapat di Kabupaten Kotabaru juga digolongkan
ke dalam suku Dayak Maanyan. Suku Maanyan di Kalimantan Selatan dikelompokkan sebagai
Maanyan II. Suku Maanyan secara administrasi baru muncul dalam sensus tahun 2000 dan
merupakan 2,80% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Maanyan tergabung ke
dalam suku Dayak pada sensus 1930.
Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang sekarang, mereka
berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk
dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir
Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860, yaitu wilayah
Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut, sebab dikelilingi daerahdaerah Hindia Belanda. Menurut situs "Joshua Project" suku Maanyan berjumlah 71.000 jiwa.
Menurut sastra lisan suku Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit (Majapahit)
kepada Kerajaan Nan Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa sub-etnis. Suku ini
terbagi menjadi beberapa subetnis, di antaranya:
o Maanyan Paku
o Maanyan Paju Epat (murni)
o Maanyan Dayu
o Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar)
o Maanyan Banua Lima/Paju Dime (ada pengaruh Banjar)
o Maanyan Warukin (ada pengaruh Banjar)
o Maanyan Jangkung (sudah punah, ada pengaruh Banjar)
Keunikan Suku Dusun Maanyan, antara lain mereka mempraktikkan ritus pertanian, upacara
kematian yang rumit, serta memanggil dukun (balian) untuk mengobati penyakit mereka.
2.5 Tradisi Penguburan Suku Dayak Maanyan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di
Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam peti batu (dolmen)
penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem
penguburan yang terakhir berkembang.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1. penguburan tahap pertama (primer)
2. penguburan tahap kedua (sekunder)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di
Kecamatan Pujungan, Malinau, Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang

merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan


peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah
matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
dikubur dalam tanah
diletakkan di pohon besar
dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol
pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau
beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi
abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3. wara
4. marabia
5. mambatur (Dayak Maanyan)
6. kwangkai (Dayak Benuaq)
Bagi orang Dayak Maayan, kematian tidak lebih daari perpindahan kehidupan.Ritual penguburan
dianggap hanya mengantarkan jiw aorang yang meninggal ke tempat peristirahatan sementara.
Sedangkan rituak pembakaran tulang akan mengantarkan jiwa ke surga.
Melalui ajaran leluhur Dayak Maayan memiliki konsep kematian yang sederhana namun sacral.
Menurut mereka, kematian tidak lebih dari erpindahan kehidupan. Konsep ini masih dipeprcaya
dan ditaati hingga sekarang, meskipun memerlukan biiaya yang tidak sedikit.karena untuk
menghormati kematian, mereka harus menggelar ritual kematian (JU. Loontan,1975;Fridolin
ukur,1992).
Ritual kematian yang digelar pada hakikatnya hanyalah mengantarkan liau (jiwa) agar sampai di
tempat yang dituju, yakni lewu (surge) dan agar yidak tersesat di tengah jalan . Dalam ritual
dibacakan nyanyian oleh seorang balian ( dukun) yang bermakna dua sisi, negative dan positif.
Nyanyian negative merupakan peringatan kepada liau supaya jangan tersesat, adapun positif
memperlihatkan jalan yang harus di ttempuh. Ritual kematian secara tidak langsung juga
berfungsi melindungi manusia yang masih hidup dari teguran dan gangguan liau-liau yang masih
gentayangan ( loontan,1975).
Orang Dayak Maayan memiliki tiga ritual selain ritual penguburan yaitu marabe, ngadatun, dan
ijambe. Ritual penguburan dianggap hnaya menghantarkan liau ke bukit pasaha raung ( tempat
peristirahatan sementara). Sedangkan ritual pembakaran tulang akan mengantarkan liau ke lewu
liau (surga). Makam orang-orang maayan menunjukkan hierarki social tertentu. Makam kaum
bangsawan terletak di hulu sungai, disusul kea rah hilir untuk makam kalangan prajurit,
penduduk biasa, dan yang paling hilir adalah makam untuk kaum budak
( loontan,1975;ukur,1992)
Konsep kematian orang Dayak Maanyan tampak mencerminkan sebuah pandnagan yang
sederhana namun sacral. Bagi mereka, kematian tidak lebih dari perpindahan kehidupan. Dalam
bahasa local, kematian dirumuskan dengan sederhana sebagai berikut:
Mi-idar jalan, ma-alis enoi, ngalih penyui teka manusia.
Artinya:
Berpindah jalan beralih lorong,mengalihkan langkah dari dunia manusia.
Dalam rangka memindahkan kehidupan manusia yang mati ini, suku Dayak Maanyan menggelar
ritual kematian yang pada hakekatnya hanyalah mengantarkan jiwa agar sampai ke tempat yang
di tuju. Oleh Karen itu, nyanyian balian ketika memimpin ritual terdiri dari dua sisi yakni negatif
dan positif.
Tawang kanju erang tumpalalan, angkang kedang ba ie wu jumpun hakekat; Ada malupui laln
mainsang inse, enoi esasikang piak;takut tawang ma-ulung kakenreian, umbak basikunrung bakir.
Artinya:
Agar jangan tersesat di perapatan, tertahan dihutan lebat; jangan mengikuti jalan yang berlikuliku, lorong bersimpang; seperti kaki anak ayam tersesat ke laut lepas,gelombang memukul dasyat
Sementara itu, nyanyian positif memperlihatkan jalan yang harus ditempuh. Berikut syairnya :
Lalan buka sadapa, enoi salawangan petan ; lalan banteng ue, lalan kala imasisit enoi alang
ingapeleh.
Artinya :
Jalan dibuka sedepa, lorong selebar sumpitan; jalan selurus rotan ampuh, lorong yang bening
bersih;jalan yang licin rata, seperti halusnya rotan diraut.

Ritual kematian secara tidak langsung juga berfungsi untuk melindungi manusia yang masih
hidup. Artinya , dengan menggelar ritual kematian, manusia yang masih hidup dibebaskan dari
teguran dan gangguan dari liau-liau yang masih gentayangan. Melalui ritual kematian, liau
diantarkan ke lewu liau oleh tempon telon agar bertemu dengan para leluhur.
Menurut orang Dayak Maanyan, kehidupan mendatang tidak ubahnya kehidupan sekarang ini.
Oleh karena itu, terdapat syarat-syarat tertentu yang harus disiapkan oleh keluarga dan kerabat
yang masih hidup dalam menggelar ritual kematian. Lengkap tidaknya syarat ritual tersebut akan
menentukan kedudukan liau di lewu liau. Meskipun demikian, bagi warga suku yang miskin,
bukan berarti mereka tidak dapat menggelar ritual dengan sempurna. Bagi mereka justru dapat
mempersiapkan sebaik mungkin agar liau dapat pergi ke lewu liau (jiwa) dengan lancar.
Orang Dayak Maanyan memiliki tiga ritual kematian yang dianggap sempurna yaitu marabe,
ngadatun, dan ijambe. Ketiga ritual ini dilakukan setelah ritual penguburan. Ritual penguburan
dianggap sebagai hanya mengantarkan liau ke bukit pasaha raung (tempat penyimpanan
tulang,orang dayak ngaju menyebt sanding. Pembakaran tulang ini memiliki dua tujuan, yaitu ;
1. Penyucian, yakni melenyapkan segala najis, kotor, kelemahan,kesialan dan sebagainya dari
yang orang meninggal sehingga memperoleh kesucian tanpa cacat.
2. Selaku detik penobatan mereka menjadi Sang Hyang. Oleh karena itu, tempat pembakaran
tulang itu disebut Gunung Padudusan Hyang ( Gunung Penobatan Sang Hyang).
Ritual pembakaran ini bersifat wajib . jika tidak, liau dikhawatirkan tidak dapat melanjutkan
perjalanan ke lewu liau. Liau terpaksa bertahan di bukit psaran raung, sehingga suatu ketika
mereka kehilangan daya hidup dan hilang begitu saja, di mana itu merupakan kesedihan yang
berat bagi yang meninggal dan keluarganya. Oleh karena itu, keluarga dan kerabat harus
mengantarkan sesaji guna memelihara daya dengan menggelar ritual pembakaran tulang. Jika
dalam jangka waktu yang lama tidak dilaksanakan, konon liau akan menegur dan
memperingatkan kerabatnya melalui pertanda, misalnya dengan terjadinya kecelakaan atau
terkena penyakit.
Pengetahuan orang Dayak Maanyan tentang kematian ini memiliki pengaruh sosial yang nyata
dalam kahidupan , antara lain:
1. Menghormati manusia.
Konsep ini berpengaruh terhadap sikap suku dayak maanyan terhadap manusia, khusunya yang
sudah meninggal. Ritual kematian dilakukan untuk menghormati kerabat yang wafat agar jiwanya
sampai ke liau (surga).
2. Tanggungjawab sosial dan keluarga.
Konsep ini menjadikan tanggungjawab sosial keluarga semakin jelas, yaitu mereka memiliki
tanggungjawab kepada keluarga dan leluhurnya yang telah meninggal dengan menggelar ritual.
2.6 Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan
Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong
beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah
itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa
sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang,
kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai. Beberapa orang laki-laki
pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus
yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak
yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya
akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian
diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang
diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu
tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat,
selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan
ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama
cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan
di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong
berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu
adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke
dalam rarung. Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan

bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas
menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan
dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan
makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke
kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang
kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah
sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia
fana.
2.7 Galery Suku Dayak Maanyan

Suku Dayak Maanyan

Penguburan dalam batu atau goa

Proses Penguburan Ijambe

Proses Penguburan Tiwah

penguburan dengan wadah kayu ( peti )

Proses Penguburan Wara

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kehidupan dalam masyarakat banyak membawakan atau mewarisi berbagai aturan maupun
kebiasaan yang harus diikuti oleh generasi-generasi penerus dari nenek moyang. Kebiaasan
tersebut mulai membawakan keunikan masing- masing di dalam kelompok masyarakat yang ada
di Indonesia. Adat Istiadat atau biasa di sebut kebiasaan ini merupakan kehidupan berulang-ulang
yang muncul dan berkembang terus menerus sehingga di jadikan sebagai tradisi atau peristiwa
penting yang wajib dipertahankan dan di ikuti oleh kelompok masyarakatnya. Oleh karena itu,
tradisi dan konsep kematian suku Dayak Maanyan telah menggambarkan bahwa setiap pribadi
memiliki tanggungjawab pribadi dan sosial yang tidak mudah dalam masyarakatnya. Meskipun
demikian , mereka tetap menaati konsep leluhurnya dengan menerapkan di dalam kehidupan
nyata.
3.2 Saran
Sebagai generasi muda kita di harapkan untuk mengetahui dan mengenal tradisi atau adat istiadat
di Indonesia, terutama suku terhadap adat dari daerah kita sendiri agar kebudayaan maupun adat
yang telah lama berkembang tidak punah oleh kehidupan modern seperti sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA
http://hurahura.wordpress.com/2011/07/16/religi-dan-makna-upacara-kematian-masyarakatdayak/
Fridolin Ukur, Kebudayaan Dayak, dalam Kalimantan Review ( Juli-Desember 1992).
J.U. Lontaan, 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta : Bumi
Restu.
Yekni Maunati.2006. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS

Anda mungkin juga menyukai