MAKALAH
Disusun Oleh :
( B301 22 079)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki kebudayaan atau adat-istiadat
tersendiri yang pula tidak sama dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat
yang hidup di dalam masyarakat Suku Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas
bagi masyarakat Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik dari manusia dengan belajar (Garna, 1996).
Jika pengertian tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka paralel
dengan itu, kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia Dayak dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia
Dayak dengan belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat
berakar dalam kehidupan masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan
biologis yang ada di dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses
belajar yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud
kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan
Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi: Pertama, wujud
kebudayan sebagai suatu himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-
peraturan. Wujud itu merupakan wujud hakiki dari kebudayaan atau yang sering disebut
dengan adat, yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan
memberi arah kepada perilaku manusia Dayak, tampak jelas di dalam berbagai upacara
adat yang dilaksanakan berdasarkan siklus kehidupan, yakni kelahiran, perkawinan dan
kematian, juga tampak dalam berbagai upacara adat yang berkaitan siklus perladangan;
Kedua, wujud kebudayaan sebagai sejumlah perilaku yang berpola, atau lazim disebut
sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi yang
senantiasa merujuk pada pola-pola tertentu yang di dasarkan pada adat tata kelakuan yang
mereka miliki, hal ini tampak dalam sistem kehidupan sosial orang Dayak yang sejak masa
kecil sampai tua selalu dihadapkan pada aturan-aturan mengenai hal-hal mana yang harus
dilakukan dan mana yang dilarang yang sifatnya tidak tertulis yang diwariskan secara turun
temurun dari generasi ke generasi sebagai pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat
Dayak; Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, yang lazim
disebut kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil karya manusia Dayak, misalnya seperti
rumah panjang dan lain-lain. Berdasarkan atas pemahaman itu, maka kebudayaan Dayak
sangat mempunyai makna dan peran yang amat penting, yaitu merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari proses kehidupan orang Dayak. Atau dengan kata lain kebudayaan Dayak
dalam perkembangan sejarahnya telah tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakat
Dayak sebagai pendukungnya.
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak
juga mengalami pergeseran dan perubahan. Hal ini berarti bahwa kebudayaan Dayak itu
sifatnya tidak statis dan selalu dinamik; meskipun demikian, sampai saat ini masih ada yang
tetap bertahan dan tak tergoyahkan oleh adanya pergantian generasi, bahkan semakin
menunjukkan identitasnya sebagai suatu warisan leluhur. Dalam konteks ini, dan dalam
tulisan ini bermaksud untuk mengupas kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat
Dayak, baik yang berupa kebudayaan material maupun non material.
B. Rumusan Masalah
1. Dimana lokasi, lingkungan alam dan demografi Suku Dayak?
2. Bagaimana asal mula dan sejarah Suku Dayak?
3. Bagaimana sistem bahasa masyarakat Suku Dayak?
4. Bagaimana sistem religi masyarakat Suku Dayak?
5. Bagaimana sistem kekerabatan masyarakat Suku Dayak?
6. Bagaimana sistem ekonomi masyarakat Suku Dayak?
7. Bagaimana sistem kesenian masyarakat Suku Dayak?
8. Bagaimana sistem peralatan / perlengkapan hidup masyarakat Suku Dayak?
9. Bagaimana sistem pengetahuan masyarakat Suku Dayak?
PEMBAHASAN
2. Bahasa sehari-hari
Keberagaman etnis dan suku bangsa menyebabkan Bahsa Indonesia dipengaruhi oleh
berbagai dialeg. Namun kebanyakan bahasa daerah ini hanya digunakan dalam
lingkungan keluarga dan tempat tinggal, tidak digunakan secara resmi sebagai bahasa
pengantar di pemerintahan maupun pendidikan. Sebagian besar suku Kalimantan
Tengah terdiri dari suku bangsa Dayak. Suku bangsa dayak sendiri terdiri atas beberapa
sub-suku bangsa. Bahasa Dayak Ngaju adalah bahasa dayak yang paling luas digunakan
di Kalimantan Tengah, terutama didaerah sungai Kahayan dan Kapuas, bahasa Dayak
Ngaju juga terbagi lagi dalam berbagai dialeg seperti seperti bahasa Dayak Katingan
dan Rungan. Selain itu bahasa selain itu bahasa Ma’anyan dan Ot’danum juga banyak
digunakan. Bahasa Ma’anyan banyak digunakan didaerah aliran sungai Barito dan
sekitarnya sedangkan bahasa Ot’danum banyak digunakan oleh suku dayak Ot’danum
di hulu sungai Kahayan dan Bahasa Barito timur bagian
D. Sistem Religi
Golongan islam merupakan golongan terbesar, sedangkan agama asli dari penduduk
pribumi adalahagama Kaharingan. Sebutan kaharingan diambil dari Danum Kaharingan
yang berarti air kehidupan. Umat Kaharingan percaya bahwa lingkunan sekitarnya penuh
dengan mahluk halus dan roh-roh (ngaju ganan) yang menempati tiang rumah, batu-batu
besar, pohon-pohon besar, hutan belukar, air , dan sebagainya. Ganan itu terbagi kedalam
2 golongan, yaitu golongan roh-roh baik (ngaju sangyang nayu-nayu) dan golongan roh-
roh jahat (seperti ngaju taloh, kambe, dan sebagainya). Selain ganan terdapat pula golongan
mahluk halus yang mempunyai suatu peranan peting dalam kehidupan orang dayak yaitu
roh nenek moyang (ngaju liau). Menurut mereka jiwa (ngaju hambaruan) orang yang mati
meninggalkan tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai liau
sebelum kembali kepada dewa tertinggi yang disebut Ranying.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan mahluk-mahluk halus tersebut terwujud
dalam bentuk keagamaan dan upacara-upacara yang dilakukan seperti upacara menyambut
kelahiran anak, upacara memandikan bayi untuk pertama kalinya, upacara memotong
rambut bayi, upacara mengubur, dan upacara pembakaran mayat. Upacar pembakaran
mayat pada orang ngaju menyebutnya tiwah (Ot Danum daro Ma’anyam Ijambe ). Pada
upacara itu tulang belulang (terutama tengkoraknya) semua kaum kerabat yang telah
meninggal di gali lagi dan dipindahkan ke suatu tempat pemakaman tetap, berupa bangunan
berukiran indah yang disebut sandung.
C. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Dayak Kalimantan Tengah, didasarkan pada prinsip
keturunan ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui laki-laki
maupun wanita. Pada masa dahulu, kelompok kekerabatan yang terpenting masyarakat
mereka adalah keluarga ambilineal kecil yang timbul kalau ada keluarga luas yang
utrolokal, yaitu sebagai dari anak-anak laki-laki maupun perempuan sesudah kawin
membawa keluarganya masing-masing, untuk tinggal dalam rumah orang tua mereka,
sehingga menjadi suatu keluarga luas.
Pada masa sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga luas
utrolokal yang menjadi isi dari suatu rumah tangga. Rumah tangga ini berlaku sebagai
kesatuan fisik misalnya dalam sistem gotong royong dan sebagai kesatuan rohanian dalam
upacara-upacara agama kaharingan. Kewarganegaraan dari suatu rumah tangga tidak statis,
karena keanggotaannya tergantung pada tempat tinggal yang ditentukan sewaktu ia mau
menikah, padahal ketentuan itu dapat diubah menurut keadaan setelah menikah. Jika orang
bersama keluarganya kemudian pindah dari rumah itu, pertalian fisik dan rohani dengan
rumah tangga semula pun turut berubah.
Pada orang Dayak, perkawinan yang diangap ideal dan amat diingini oleh umum,
perkawinan antara dua orang saudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah sekandung,
yaitu apa yang disebut hajenandalam bahasa ngaju (saudara sepupu derejat kedua) dan
perkawinan antara dua orang saudara sepupu dan ibu-ibunya bersaudara sekandung serta
antara cross-cousin.
Perkawinan yang dianggap sumbang (sala horoi dalam bahasa Ngaju) adalah
perkawinan antara saudara yang ayah-ayahnya adalah bersaudara sekandung (patri-
parallel cousin), dan terutama sekali perkawinan antara orang-orang dari generasi yang
berbeda misalnya antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis
dengan mamaknya.
Upacara adat dalam system kekeraabatan Suku Dayak :
1. Perkawinan
Prosesi tradisi pernikahan Dayak Ngaju dilangsungkan dengan berbagai tahap.
Perkawinan adat ini disebut Penganten Mandai. Dalam iring-iringan, seorang ibu yang
dituakan dalam keluarga calon mempelai pria, membawa bokor berisi barang hantaran.
Sedangkan pihak keluarga calon mempelai wanita menyambutnya di balik pagar. Sebelum
memasuki kediaman mempelai wanita. Masing-masing dari keluarga mempelai diwakilkan
oleh tukang sambut yang menjelaskan maksud dan tujuannya datang dengan mengunakan
bahasa Dayak Ngaju. Namun sebelum diperbolehkan masuk, rombongan mempelai pria
harus melawan penjaga untuk bisa menyingkirkan rintangan yang ada di pintu gerbang.
Kemudian setelah dinyatakan menang pihak pria, maka tali bisssa digunting kemudian di
depan pintu rumah, calon mempelai pria harus menginjak telur dan menabur beras dengan
uang logam. Yang maksud dan tujuannya supaya perjalanan mereka dalam berumah tangga
aman, sejahtera dan sentosa. Setelah duduk di dalam ruangan, terjadi dialog diantara kedua
pihak. Masing-masing diwakilkan (Haluang Hapelek). Diatas tikar (amak badere),
disuguhkan minuman anggur yang dimaksudkan supaya pembicaraan berjalan lancar dan
keakraban terjalin di kedua belah pihak.
Sebelum dipertemukan dengan calon mempelai wanita, calon mempelai pria terlebih
dulu menyerahkan barang jalan adat yang terdiri dari palaku (mas kawin), saput pakaian,
sinjang entang, tutup uwan, balau singah pelek, lamiang turus pelek, buit lapik ruji dan
panginan jandau.
Sesuai dengan adat yang berlaku, sebelum kedua mempelai sah secara adat, mereka
harus menandatangani surat perjanjian nikah, yang disaksikan oleh orang tua kedua belah
pihak. Dan bagi para hadirin yang menerima duit turus, dinyatakan telah menyaksikan
perkawinan mereka berdua. Sebelum acara berakhir, masing-masing keluarga memberikan
doa restu kepada pengantin (tampung rawar). Dilanjutkan dengan hatata undus, saling
meminyaki antara dua keluarga ini sebagai tanda sukacita, dengan menyatukan dua
keluarga besar.
2. Kelahiran
Menurut tradisi di kalangan masyarakat Dayak , pada saat melahirkan biasanya
diadakan upacara memukul gendang/gimar dan kelentangan dalam nada khusus yang
disebut Domaq. Hal itu dimaksud agar proses kelahiran dapat berjalan dengan lancer dan
selamat. Setalah bayi lahir, tali pusar dipotong dengan menggunakan sembilu sebatas
ukuran lutut si bayi dan kemudian diikat dengan benang dan diberi ramuan obat tradisional,
seperti air kunyit dan gambir. Alas yang digunakan untuk memotong tali pusar, idealnya
diatas uang logam perak atau bila tidak ada adapat diganti dengan sepotong gabus yang
bersih. Langkah berikutnya bayi dimandikan, setelah bersih dimasukkan kedalam
Tanggok/Siuur yang telah dilapisi dengan daun biruq di bagian bawah. Sedangkan di
bagian atas, dilapisi daun pisang yang telah di panasi dengan api agar steril. Kemudian bayi
yang telah dimasukan dalam Siuur itu, dibawa kesetiap sudut ruangan rumah, sambil
meninggalkan potongan-potongan tongkol pisang yang telah disiapkan pada setiap ruangan
tadi. Hal Itu dimaksudkan agar setiap makhluk pengganggu tertipu oleh potongan tongkol
pisang itu sebagai silih berganti. Setelah itu, bayi tersebut dibawa kembali ke tempat tidur
semula, kemudian disekeliling bayi dihentakan sebuah tabung yang terbuat dari bambu
berisi air, yang disebut Tolakng, sebanyak delapan kali, dengan tujuan agar si bayi tidak
tuli atau bisu nantinya. Setelah mencapai usia empat puluh hari, diadakan upacara Ngareu
Pusokng, atau Ngerayah dalam bentuk upacara Belian Beneq, selama dua hari. Hal itu
dimaksud untuk membayar hajat, sekaligus mendoakan agar si bayi sehat dan cerdas, serta
berguna bagi keluarga dan masyaraka. Pada upacara ini juga merupakan awal dari
diperbolehkannya si bayi di masukan dan ditidurkan dalam ayunan ( Lepas Pati ). Sebelum
bayi berumur dua tahun, diadakan upacara permandian atau turun mandi di sungai untuk
yang pertama kalinya. Pada upacara ini tetap dipergunakan Belian Beneq, selama satu hari,
dengan maksud memperkenalkan si adak kepada dewa penguasa air yaitu Juata, agar kelak
tidak terjadi bahaya atas kegiatan anak tersebut yang berkaitan dengan air (Nyengkokng
Ngeragaq).
3. Kematian
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas
dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang
kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di
Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen).
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan
sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Penguburan tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya
di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan
tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir,
penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau
dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah.
- diletakkan di pohon besar biasanya untuk anak bayi dikarenakan terdapat getah yang
dianggap sebagai air susu ibu.
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan
1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol
pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun
atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar
menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3. Marabia
4. Mambatur (Dayak Maanyan)
5. Kwangkai Wara
D. Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi bagi orang Dayak di Kalimantan Tengah terdiri atas empat macam,
yaitu berladang, berburu, mencari hasil hutan dan ikan, menganyam. Dalam berladang
mereka mengembangkan suatu sistem kerja sam dengan cara membentuk kelompok
gotong-royong yang biasanya berdasarkan hubungan tetanggaan atau persahabatan.
Masing-masing kelompok terdiri atas 12-15 orang yang secara bergiliran membuka hutan
bagi-bagi ladang masing-masing anggota. Apabila kekurangan tenaga kerja laki-laki maka
kaum wanita dapat menggantikan pekerjaan kasar itu, misalnya membuka hutan,
membersihkan semak-semak, dan menebang pohon-pohon.
Siklus pengerjaan ladang di Kalimantan sebagai berikut :
1. Pada bulan Mei, Juni atau Julio rang menebang pho-pohon di hutan, setelah
penebangan batang kayu, cabang, ranting, serta daun dibiarkan mengering selama 2
bualan.
2. Bulan Agustus atau September seluruh batang, cabang, ranting, dan daun tadi harus
dibakar dan dan bekas pembakaran dibiarkan sebagai pupuk.
3. Waktu menanam dilakukan pada bulan Oktober.
Bulan Februari dan Maret, tibalah musim panen, sedangkan untuk membuka ladang
kembali, orang Dayak melihat tanda-tanda alam seperti bintang dan sebagainya serta
memperhatikan alamat-alamat yang diberikan oleh burung-burung atau binatang-binatang
liar tertentu. Jika tanda-tanda ini tidak dihiraukan maka bencana kelaparan akibat gagalnya
panen akan menimpa desa. Alat yang sering digunakan untuk menganyam adalah kulit
rotan yang berupa tikar. Pakaian asli Dayak adalah Cawat yang terbuat dari kulit kayu.
D. Sistem Kesenian
1. Tari-Tarian
a. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat
menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya
menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering
disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya
dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq.
Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan
Gantar Senak/Gantar Kusak.
b. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang
melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan
kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari
mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan
peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan
lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
c. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak
Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang
gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari ini
dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak
Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung
Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo
disebut juga Tari Gong.
d. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan
oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan
kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak
Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari
tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari
banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut
menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang
ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
e. Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan
secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along
akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini
ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
f. Tari Hudoq Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari
suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam
maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan
hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari
Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum
penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai
kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak
dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq
Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik
dengan ornamen Dayak Kenyah.
g. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan
mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian
diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
h. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit,
membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering
disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini
merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
i. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang
menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau
orang yang menebang pohon tersebut.
j. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari
daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang
memakan waktu bertahun-tahun.
k. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak
pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan
oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung,
sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian
tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
l. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung
dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-
benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama
tertentu.
m. Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan
memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi
sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
2. Rumah Adat
Rumah adat Kalimantan Tengah dinamakan rumah betang. Rumah itu panjang bawah
kolongnya digunakan untuk bertenun dan menumbuk padi dan dihuni oleh ±20 kepala
keluarga. Rumah terdiri atas 6 kamar, antara lain untuk menyimpan alat-alat perang, kamar
untuk pendidikan gadis, tempat sesajian, tempat upacara adat dan agama, tempat
penginapan dan ruang tamu. Pada kiri kamam ujung atap dihiasi tombak sebagai penolak
mara bahaya.
3. Pakaian Adat
Pakaian adat pria Kalimantan Tengah Berupa tutup kepala berhiaskan bulu-bulu
enggang, rompi dan kain-kain yang menutup bagian bawah badan sebatas lutu. Sebuah
tameng kayu dengan hiasan yang khas bersama mandaunya berada di tangan. Perhiasan
yang dipakai berupa kalung-kalung manikdan ikat pinggang. Wanitanya memaki baju
rompi dan kain (rok pendek) tutup kepala berhiasakan bulu-bulu enggang, kalung manic,
ikat pinggang, danbeberapa kalung tangan.
G. Sistem Pengetahuan
1. Dalam berpakaian dulu orang suku Dayak sering menggunakan ewah (cawat) untuk
pakaian asli laki-laki Dayak yang terbuat dari kulit kayu dan Kaum wanita memakai
sarung dan baju yang terbuat dari kulit kayu, sedangkan pada masa sekarang orang
Dayak di Kalimantan Tengah Sudah berpakaian legkap seperti : laki-laki memakai hem
dan celana dan kaum wanita memakai sarung dan kebaya atau bagi anak muda
memakai rok potongan Eropa.
2. Zaman dulu para wanita sering menggunakan anting yang banyak agar semakin
panjangnya daun telinga semakin cantik wanita tersebut, para lelakinya sering
menggunakan tato bahwa semakin banyaknya tato ditubuh lelaki tersebut maka ia akan
terliahat gagah dan ganteng.
3. Terkadang mereka sering menggunakan bahasa inggris untuk komunikasi tetapi masih
bersifat pasif.
4. Menggandalkan atau menggunakan rasi bintang untuk mengetahui apakah cocok untuk
bertanam atau berladang.
FOTO FOTO KHAS DAYAK