Anda di halaman 1dari 37

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya dan suku bangsa.


Dayak   merupakan salah satu dari ribuan suku yang terdapat di Indonesia. Dayak 
ini dikenal sebagai salah satu suku asli di Kalimantan. Mereka merupakan salah
satu penduduk mayoritas di provinsi tersebut. Kata Dayak dalam bahasa lokal
Kalimantan berarti orang yang tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada
tempat tinggal mereka yang berada di hulu sungai-sungai besar.

Agak berbeda dengan kebudayaan Indonesia lainnya yang pada umumnya


bermula di daerah pantai, masyarakat suku Dayak menjalani sebagian besar
hidupnya di sekitar daerah aliran sungai pedalaman Kalimantan.

Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal
sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok 
kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar. Setiap sub suku memiliki
budaya unik dan memberi ciri khusus pada setiap komunitasnya.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai


berikut:

1.  Dimana lokasi suku Dayak dan bagaimana keadaan alamnya?


2.  Darimana asal mula suku Dayak?
3.  Apa bahasa yang digunakan oleh suku Dayak?
4.  Bagaimana sistem teknologi suku Dayak?
5.  Bagaimana sistem mata pencaharian suku Dayak?
6.  Bagaimana organisasi sosial pada suku Dayak?

1
 

7.  Bagaimana sistem pengetahuan pada suku Dayak?


8.  Kesenian apa saja yang terdapat di masyarakat suku Dayak?
9.  Bagaimana sistem religi masyarakat suku Dayak?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan dari pnulisan makalah ini adalah agar pembaca mengetahui:

1.  Lokasi dan lingkungan alam


2.  Asal mula san sejarah
3.  Bahasa yang digunakan
4.  Sistem teknologi
5.  Sistem mata pencaharian.
6.  Organisasi sosial
7.  Sistem pengetahuan
8.  Kesenian
9.  Sistem religi

1.4 Sistematika Penulisan  

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Identifikasi Masalah

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

1.4 Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi

2
 

2.2 Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa

2.3 Bahasa

2.4 Sistem Teknologi

2.5 Sistem Mata Pencaharian

2.6 Organisasi Sosial

2.7 Sistem Pengetahuan

2.8 Kesenian

2.9 Sistem Religi

DAFTAR PUSTAKA

3
 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi Suku Dayak

Kalimantan Tengah adalah salah satu dari provinsi-provinsi Republik 


Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan Indonesia. Provinsi Kalimantan
Tengah terdiri dari lima kabupaten, yaitu: Kotawaringin Barat, Kotawaringin
Timur, Kapuas, Barito Utara dan Barito Selatan. Luas seluruh Kalimnatan Tengah
adalah 152.600 kilometer persegi sehingga melebihi luas Pulau Jawa dan Madura.
Namun daerah itu menurut sesnsus 1961 hanya berpenduduk 497.000 jiwa, jadi
kepadatan penduduk rata-rata hanya 3.3 orang saja per tiap kilometer persegi.
Sebagaian besar penduduknya terdiri dari orang Dayak yang terbagi atas beberapa
suku bangsa seperti Ngaju, Ot Danum, Ma`anyan, Ot Siang, Lawangan, Katingan,
dan sebagainya. Mereka ini berdiam di desa-desa sepanjang sungai-sungai besar
dan kecil seperti sungai-sungai Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya,
Seruyan, dan lain-lain.

Penduduk Kalimantan Tengah selain orang Dayak yang merupakan


penduduk asli daerah itu, adapula keturunan orang-orang pendatang. Mereka ini
adalah orang-orang Banjar, Bugis, Madura, Makasar, Melayu, Cina, dan lain-lain.

Dalam makalah ini, kebudayaan penduduk pendatang itu tidak akan kami
bicarakan. Yang menjadi pokok pembicaraan dalam makalah ini adalah penduduk 
asli daerah tersebut yang terdiri dari orang Dayak. Dari sekian banyak macam
orang dayak di Kalimantan Tengah, hanya 3 suku Dayak saja yang kami akan
bahas diantaranya adalah Ngaju, Ot Danum, dan Ma`anyan.

Tempat tinggal suku bangsa Ngaju adalah di sepanjang sungai-sungai


besar Kalimantan Tngah seperti Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhin, Barito, dan

4
 

Katingan. Sedangkan tempat kediaman orang Ot Danum adalah selain di


sepanjang sungai-sungai besar seperti Kahayan, Rungan, Barito, dan Kapuas juga
di hulu sungai-sungai dari Kalimantan Barat seperti sungai Melawi. Suku-suku
bangsan Ngaju dan Ot Danum yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah
mereka yang berdiam di sungai Kapuas dan Kahayan. Secara administratif 
kenegaraan, kediaman mereka ini termasuk bagian dari kabupaten Kapuas. Di
daerah aliran sungai Kahayan suku bangsa Ngaju berdiam di sebelah hilir
sedangkan suku bangsa Ot Danum di daerah hulu. Batas kediaman orang Ngaju di
hulu Kahayan hanya samapai di Tumbang Miri saja sebagai desanya yang
terakhir, sedangkan di hilir terus turun sampai ke muara sungai Kahayan. Letak 
kediaman orang Ot Danum adalah di hulu Kahayan, yaitu daerah sebelah utara
Tumbang Miri. Jika desa-desa orang Ot Danum pada umumnya merupakan
daerah eksklusif dari orang Ot Danum, maka sebaliknhya desa-desa orang Ngaju
makin ke hilir makin kemasukan orang-orang dari luar yang bukan Dayak.

Suku Bangsa Ma`anyan tersebar di berbagai bagian dari Kabupaten Barito


Selatan yaitu, di tepi timur Sungai Barito, terutama di antara anak-anak sungainya
seperti Patai, Telang, Karau, dan Dayu. Di timur, daerah suku bangsa Ma`anyan
bersentuhan dengan wilayah orang Banjar dari daerah hulu sungai dari Provinsi
Kalimantan Selatan, dibarat berbatasan dengan suku-suku bangsa Bakumpai, dan
orang Banjar dari daerah Hulu Sungai dari Sungai Barito, di selatan dibatasi tanah
paya-paya di selatan Sungai Patai, dan di utara sampai ke Sungai Ayu di sebelah
utara Buntuk. Di daerah aliran sungai-sungai Karau dan Ayu, orang Ma`anyan
banyak bercampur dengan suku bangsa daya lain, yaitu suku bangsa Lawangan,
yang memang sudah mendiami wilayah itu sebelum orang Ma`anyan
memasukinya.

Mengenai hinungan ketiga suku nagsan tersebut, ada sarjana seperti


Mallinckrodt yang menganggapnya berasal dari satu strams yaitu stamras der Ot
Danum. Mengani hal ini perlu dilakukan penelitian lebih dalam. Menurut
pengakuan orang Ngaju, memang orang Ngaju berasal dari orang-orang Ot
Danum juga, tetapi kemuadian karena mereka berdiam di daerah hilir, lambat laun

5
 

mereka telah mengalami perubahan kebudayaan, sebagai akibat dari akulturasi


dengan kebudayaan orang-orang pendatang. Kebenaran pendapat ini sudah tentu
perlu diuji lagi, tatapi jika kita teliti sebentar memang tak dapat kita sangkal
bahwa orang-orang Dayak di seluruh Kalimantan, terutama yang hidup di
pedalaman sesungguhnya memiliki corak kebudayaan. kesatuan mereka ini adalah
berdasarkan persamaan dalam beberapa unsur kebudayaan, yaitu misalnya mata
pencaharian hidup yang berdasarkan perladangan.

Mengenai jumlah penduduk dari ketiga suku-suku Dayak yang dibicarakan


dalam makalah ini, kami hanya memperoleh bahan dari Ot Danum dab Ma`anyan
saja, sedangkan dari orang Ngaju tidak. Jumalah penduduk Ot Danum kurang
lebih adalah 5.900 jiwa dan jumlah penduduk Ma`anyan diantara 3.000 sampai
4.000 jiwa.

Orang-orang Dayak di Kalimantan Tengah mendiami desa-desa yang


terletak jauh satu dari yang lain, di tepi-tepi atau eekat sunagi-sungai besar dan
kecil dari provinsi itu. Komunikasi antara satu desa dengan desa lain pada
umumnya melalui air, dan jarang sekali melalui darat. Hal ini disebabkan karena
daerah dimana desa-desa itu didirikan masih merupakan daerah hutan tropis dan
semak belukar bawah yang padat. Untuk mengunjungi suatu desa, orang harus
merapatkan perahunya pada sebuah tempat berlabuh yang dibuat dari balok-balok.
Satu desa pada umumnya mempunyai sekitart 100-500 rumah.

Rumah-rumah desa pada umumnya didirikan di tepi jalan yang dibuat


sejajar ataupun tegak lurus dengan sungai. Rumah penduduk pada umumnya
dibuat dari sirap (lempengan kayu) atau kulit kayu. Rumah-rumah itu pada
umumnya didirikan diatas tonggak-tonggak setinggi kira-kira dua setengah meter,
sehingga untuk memasukinya, kita harus menaiki tangga yang dibuat dari
setengah balok yang diberi lekuk-lekuk tempat kaki berpijak. Dahulu rumah-
rumah gaya lama di Kalimantan Tengah merupakan rumah panjang yang oleh
orang-orang Ngaju dan Ot Danum di sebut betang. Betang tersebut dapat
mempunyai ruangan-ruangan kecil sampai 50 banyaknya. Rumah semacam itu

6
 

kini sudah jarang di Kalimantan Tengah, tetapi masih banyak terdapat di daerah
utara, yaitu di daerah-daerah suku bangsa Ot Siang dan Murung. Di daerah
sungai Kahayan hanya di daerah suku bangsa Ot Danum saja yang masih terdapat
rumah betang.

Bentuk rumah yang paling umum kini terdapat di Kalimantan Tengah


adalah rumah-rumah yang lebih kecil yang didiami oleh satu samapai lima
keluarga batih yang berkerabat, yaitu yang terdiri dari satu keluarga batih senior
ditambah dengan keluarga batih anak-anaknya, baik laki-laki maupuan yang
perempuan, yang dapat kita sebut keluarga luas yang utrolokal. Pada orang
Ma`anyan, rumah demikian disebut lewu.

2.2 Asal Usul dan Sejarah Suku Bangsa

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau


kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya
masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda,
Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu
kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.

Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang
lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku
Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip,
merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat,
budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku
Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman
mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975


dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6
suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu

7
 

menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di


seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu


daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya.
Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan =
pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka
menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai
Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia.
Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok 
Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah
nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa)
dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit
(Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul
Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang
mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.

Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama
sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan
diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang
diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal da ri kata Daya” yang
artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau
perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun
kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan
propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih
memegang teguh tradisinya.

Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di


banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah
adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan,
Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang
beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak,

8
 

demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di
Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir
dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni
Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih
dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama
Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap


proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat
setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku
terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya
Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan
budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama
Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada
masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik 
mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka
(merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan
menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi
keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika
bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke
daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan,
dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di
kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka.
Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi
oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan
agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik,
maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang
Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan
dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri

9
 

Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di
Kalimantan Barat.

masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka


percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut:
Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang
tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan
Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa
tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet
Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh
kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri
masuk semakin jauh kepedalaman.

Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh
karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap
telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar.
(Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi
kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah
agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku
melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek 
moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku
dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu)
memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai
suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat
istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku
Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama
Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau
kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya
urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai,
karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara
lainnya.

10
 

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di


percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar
Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil )
penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan
komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung
mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut
menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan
ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah


menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk 
senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan
Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari
ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di
kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang
mereka segani.

Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang


tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik 
dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar,
1 kelompok kecil yakni:

1.  Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit,
Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak,
Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai
gerak tari, enerjik, stakato, keras.
2.  Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu,
Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll.
Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri
gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
3.  Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau,
Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa,

11
 

Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas


(perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya
(perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu)
Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai
Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan
tidak terlalu halus.
4.  Banuaka" Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya.
Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip
kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
5.  Kayaanik, punan, bukat dll.

Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar
groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena
menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya
Dayak Mali / ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang.
kemudian Dayak Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak 
Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong,
Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.

Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea,


Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian
daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan,
Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu:
dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang
semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain
desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari
belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga
taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa
balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai
mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung
beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh
(antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara

12
 

lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok kal-
teng), Leboyan.

2.3 Bahasa

Bahasa yang digunakan termasuk kelompok Ibanic group seperti halnya


kelompok Ibanic Lainnya:Kantuk, bugao, desa, seberuang,Ketungau, sebaruk dan
kelompok Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan / logat dalam kalimat
dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan akhiran
kata i dan e, i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian inai
dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r ( R
berkarat ), serta logat pengucapannya, walauun mengandung arti yang sama.

2.4 Sistem Teknologi

Orang dayak di Kalimantan Tengah, seperti orang ngaju, ot-Danum, dan


ma‟anyan, sudah lama berhubungan dengan orang luar seperti orang Melayu,
Jawa, Bugis, Cina, Arab dan Eropa. Walaupun demikian sebelumnya berkembang
sistem pendidikan sekolah. Penduduk kalimantan Tengah maih terkurung dalam
alam lingkungannya sendiri. Beberapapemuda Dayak Kalimantan Tengah yang
telah mendapatkan pendidikan modern, dengan penuh idealisme berusaha untuk 
memajukan suku bangsanya., antara lain dengan mendirikan organisasi “sarikat
dayak” dalam tahun 1919 dan “koperasi Dayak” dalam tahun 1928 kedua
organisasi tadi lebur jadi “Pakat Dayak” yang bergerak dalam lapangan sosial,
ekonomi dan politik.

Setelah kemerdekaan orang Dayak Ngaju berhasratagar kalimantan


Tengah menjadi sebuah propinsi sendiri, lepas dari kalimantan selatan. Hasrat itu
diperjuangkan oleh organisasi “Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah” dan
perjuangan mereka berhasil dengan terbentuknya propinsi kalimantan tengah pada
tanggal 23 Mei 1957

13
 

Sejak saat itu orang kalimantan tengah mulai membangun daerahnya yang
merupakan hutan rimba.kekayaan kalimantan tidak terutama terletak dalam
kekayaan isi buminya, yang mengandung minyak bumi, emas dan intan
sedangkan hutan rimbanya juga mengandung kekayaan kekayaan yang dapat
diexploitasi. Sayang bahwa usaha usaha pembamgunan tidak selalu lancar. Hal ini
rupanya tidak terletak kepada sifatkurang kemampuan dan sikap mental dari orang
Dayak Kalimantan Tengah, tetapi merupakan suatu akibat kemacetan menyeluruh
yang dialami oleh negara negara kita pada tahun tahun terakhir ini.

2.5 Sistem Mata Pencaharian

a. Berladang

Mata pencaharian suku dayak di Kalimantan adalah berladang. Berladang


adalah pekerjaan yang memakan banyak sekali tenaga. Untuk mengerjakannya,
penghuni dari suatu rumah tangga saja tidak mencukupi; mereka harus
memperoleh bantuan dari tetangga mereka. Oleh karena itu maka di desa Telang
di daerah Ma‟anyan misalnya, telah dikembangkan suatu sistem kerjasama dengan
 jalan membentuk kelompok gotong royong, yang biasanya berdasarkan hubungan
ketetanggaan atau persahabatan. Kelompok ini terdiri dari 12-15 orang, yang
secara bergiliran membuka hutan bagi ladang masing-masing anggota.

Siklus pengerjaan ladang di Kalimantan adalah sebagai berikut: Pada


bulan-bulan Mei, Juni atau Juli orang menebang pohon-pohon di hutan. Setelah
penebangan, batang-batang kayu, cabang-cabang, ranting-ranting, serta daun-
daunnya dibiarkan mengering selama dua bulan, setelah mana paling lambat pada
bulan Agustus atau September seluruhnya tadi sudah harus dibakar, karena
setelah itu musim hujan sudah tiba. Abu bekas pembakaran tadi dibiarkan sebagai
pupuk. Setelah itu tibalah masanya untuk mulai menanam, yaitu kira-kira bulan
Oktober. Pekerjaan ini di daerah Ma‟anyan dilakukan secara bergotong-royong.
Para laki-laki berbaris dimuka sambil menusuk-nusuk tanah dengan tongkat
tugalnya, sedangkan para wanitanya berbaris mengikuti di belakang, sambil
memasukkan beberapa butir padi ke dalam lubang-lubang yang dibuat oleh kaum

14
 

laki-laki tadi. Pekerjaan selanjutnya yaitu merawat serta menjaga pertumbuhan


bibit tersebut menjadi tanggungan rumah tangga masing-masing. Untuk keperluan
ini sebagian atau seluruh warga dari suatu rumah tangga berdiam di dangau 
mereka sampai selesai panen nanti. Ladang tadi perlu dilindungi dari binatang-
binatang liar seperti babi hutan dan rusa, dan juga kera-kera yang gemar mencabut
tanaman dalam ladang. Di sekitar ladang-ladang orang Dayak Kalimantan Tengah
pada umumnya memasang perangkap-perangkap yang terdiri dari setangkai
bambu yang ujungnya diruncingi bagaikan tombak, dan yang dapat lepas secara
otomatis, apabila tali yang menghubunginya dilanggar binatang yang hendak 
memasuki ladang. Alat ini oleh orang Ngaju disebut dondang, dan oleh orang
Ma‟anyan disebut pusi. Alat ini sering diberi racun sehingga merupakan alat yang
amat berbahaya. Di antara bulan-bulan Februari dan Maret, tibalah musim panen.
Hal ini tergantung pada jenis padi yang ditanam. Di Kalimantan Tengah paling
sedikit ada tiga jenis padi yang ditanam orang, yaitu padi enam bulanan yang
terbanyak ditanam, padi empat bulanan, dan padi ketan yang juga empat bulanan.
Padi ketan terutama ditanam untuk keperluan upacara-upacara, antara lain untuk 
membuat arak yang oleh orang Ngaju/Ot-Danum disebut anding.

Di samping padi, orang Kalimantan Tengah juga menanam tanaman-


tanaman lain di ladang-ladang mereka, seperti ubi kayu, ubi rambut, keladi,
terong, nanas, pisang, tebu, cabe, berbagai macam labu-labuan, dan adakalanya
 juga tembakau. Dari semua itu yang paling banyak ditanam adalah ubi kayu yang
bukan saja dimakan ubinya, tetapi juga sangat digemari daun-daunnya sebagi
lauk-pauk. Pohon buah-buahan yang banyak ditanam di ladang adalah durian,
cempedak, dan suatu pohon yang amat penting adalah pinang. Baik laki-laki
maupun wanita gemar sekali makan sirih dan pinang.

b. Berburu, Mencari Hasil Hutan, dan Mencari Ikan

Kemudian mata pencaharian suku dayak kalimantan tengah yaitu berburu,


mencari hasil hutan, dan mencari ikan. Sumber protein orang Dayak Kalimantan
Tengah pada umunya dipenuhi dengan makanan yang terdiri dari ikan-ikan

15
 

sungai. Daging babi, kerbau dan ayam walaupun sangat digemari, bukanlah
merupakan makanan sehari-hari, tetapi makanan pada waktu ada upacara-upacara
adat atau pada waktu desa kebetulan dikunjungi tamu-tamu penting. Di hutan
sekitar tempat kediaman ada juga binatang liar seperti babi hutan dan rusa, tetapi
karena senjata api kurang dimiliki mereka, maka daging-daging binatang tersebut
hanya menjadi makanan yang bersifat kadangkala saja. Alat tradisionil orang
Ngaju untuk berburu selain dondang tersebut di atas, masih ada beberapa lagi
yang penting, umpamanya lonjo(tombak), ambang (parang),  jarat (jerat),
sipet (berisikan ranjau kayu atau bambu runcing) yang disebut tambuwung.

Masa sesudah panen sampai dimulainya lagi pembukaan ladang biasanya


dipergunakan untuk menambah nafkah dengan mata pencaharian sambilan, yaitu
mengumpulkan rotan, karet, damar di hutan, atau ke gosong-gosong sungai untuk 
mendulang bijih-bijih emas, atau menambak sungai untuk menangkap ikan. Hasil
hutan dan sungai itu sebagian dikonsumsi sendiri, dan lebihnya dijual kepada
tengkulak-tengkulak yang berasal dari daerah pesisir dan yang dalam waktu-
waktu tertentu mengunjungi desa-desa dipehuluan. Kecuali itu sudah tentu ada
  juga orang Dayak yang membawanya sendiri ke kota-kota untuk menjualnya
sendiri di pasar. Di daerah hulu seperti tempat kediaman orang Ot-Danum, tidak 
dikenal warung-warung, apalagi pasar.

Orang Dayak terkenal sekali dengan kesenian menganyam kulit rotan,


yang berupa tikar, keranjang-keranjang, dan topi-topi. Pekerjaan menganyam
adalah pekerjaan kaum wanita. Produksi mereka yang berupa amak (tikar)
diperdagangkan di pasar-pasar Kuala Kapuas, Banjarmasin, Sampit dan lain-lain.
Dulu orang Kalimantan Tengah rupa-rupanya juga sudah dapat menenun kain dari
kapas atau kulit kayu, tetapi pada masa ini kesenian itu sudah dilupakan orang.
Demikian juga karena sudah banyak kain import masuk ke pedalaman, kain dari
kulit kayu sudah tidak dibuat lagi. Dulu memang pakaian asli laki-laki Dayak 
adalah ewah(cawat) yang terbuat dari kulit kayu, sedangkan kaum wanita
memakai sarung dan baju dari kulit kayu. Pada masa ini orang Dayak di
Kalimantan Tengah sudah berpakaian lengkap seperti orang Indonesia lainnya di

16
 

daerah pantai yaitu bagi laki-laki hem dan celana, dan bagi kaum wanita sarung
dan kebaya atau bagi yang muda-muda rok potongan Eropah.

2.6 Organisasi Sosial

a. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan orang Dayak Kalimantan Tengah, baik Ngaju, Ot-


Danum maupun Ma‟anyan, berdasar kan prinsip keturunan ambilineal, yang
menghitungkan hubungan kekerabatan untuk sebagian orang dalam masyarakat
melalui orang laki-laki dan untu sebagian orang yang lain dalam masyarakat itu
 juga, melalui orang-orang wanita.

Pada masa dahulu, pada waktu di daerah Kalimantan Tengah masih ada
rumah-rumah panjang, maka kelompok kekerabatan yang terpenting dalam
masyarakat mereka adalah keluarga-ambilineal kecil. Bentuk keluarga ini timbul
kalau ada keluarga-luas yang utrolokal. Untuk memperkuat rasa identitet itu,
maka dikembangkan orientasi terhadap nenek moyang yang hidup dua sampai tiga
angkatan yang lampau.

Pada masa sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah


keluarga-luas utrolokal yang di Kalimantan Tengah biasanya menjadi isi dari
suatu rumah tangga. Rumah tangga ini juga berlaku sebagai kesatuan fisik 
misalnya dalam sistem gotong royong, dan sebagai kesatuan rohaniah dalam
upacara-upacara agama Kaharingan. Setiap keluarga-luas mempunyai ruh
pelindung sendiri, dan beberapa di antaranya memuja ruh-ruh nenek moyangnya
sendiri. Kecuali itu, setiap rumah tangga Kaharingan mempunyai pantangan
terhadap makanan khusus yang harus ditaati oleh warga-warganya. Kewargaan
dari suatu rumah tangga tidak statis, karena kewargaan anggota-anggotanya
semata-mata tergantung dari tempat tinggal yang ditentukan pada waktu ia mau
menikah, padahl ketentuan itu dapat diubah menurut keadaan setelah menikah.

17
 

Jika seorang bersama keluarganya kemudian pindaj keluar dari rumah itu,
pertalian fisik dan rohani dengan rumah-tangga semula pun turut berubah.

Seperti halnya dengan suku-suku bangsa lain di dunia, saat peralihan yang
penting dalam lingkaran hidup orang Dayak Kalimantan Tengah adalah
perkawinan. Pada orang Dayak ada perkawinan yang dianggap ideal dan amat
diingini oleh umum, yaitu perkawinan yang antara dua orang bersaudara sepupu
yang kakek-kakeknya adalah saudara sekandung, yaitu apa yang disebut hajenan 
dalam bahasa Ngaju (saudara sepupu derajat kedua). Selain itu juga dianggap baik 
perkawinan di antara dua orang saudara sepupu yang ibu-ibunya bersaudara
sekandung, dan di antara cross-cousin. Perkawinan yang dianggap sumbang (sala
horoi dalam bahasa Ngaju), adalah perkawinan di antara saudara sepupu yang
ayah-ayahnya adalah bersaudara sekandung (patri-parallel cousin), dan terutama
sekali perkawinan di antara orang-orang dari generasi yang berbeda, misalnya
antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis dengan
mamaknya. Persetubuhan di antara seorang mamak dengan kemenakannya
dianggap sedemikian buruknya, sehingga untuk itu perlu diadakan upacara
sebagai penghapus dosa. Dalam hal ini kedua orang yang bersalah tadi diharuskan
makan dari dulang tempat makan babi sambil merangkak di hadapan warga desa
yang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara tersebut. Pantang-pantang
kawin tersebut, jika dilanggar berarti tulah besar yang menurut kepercayaan orang
Ngaju dan Ot-Danum dapat mendatangkan bencana bukan saja pada orang-orang
yang bersangkutan, tetapi juga pada seluruh warga desa, sehingga perlu
dinetralisasi dengan upacara penawar seperti yang diceritarakan di atas. Orang-
orang Dayak Kalimantan Tengah tidak melarang gadis-gadis mereka menikah
dengan orang-orang dari suku bangsa lain, asalkan saja laki- laki “asing” tersebut
bersedia untuk tunduk kepada adat mereka, dan bersedia terus berdiam di desa
mereka.

Pada suku-suku bangsa Ngaju dan Ot-Danum, seorang anak yang telah
mencapai umur 20 tahun bagi seorang laki-laki dan 18 bagi seorang wanita,
biasanya dicarikan jodoh oleh orang tuanya. Pada zaman dahulu, orang Dayak 

18
 

berkuasa penuh atas pemilihan jodoh anak-anak mereka, tetapi kini keadaan sudah
berubah, dan para pemuda-pemudi yang sudah bersekolah boleh bebas mencari
teman hidupnya masing-masing, asalkan calon mereka mendapat persetujuan dari
orang tua mereka. Maka biasanya orang tua si pemuda adalah pihak pelamar, dan
untuk hal itu mereka akan pergi ke rumah orang tua si gadis untuk menyerahkan
hakumbang auch(bahasa Ngaju), yaitu semacam uang lamaran sebesar Rp 10-Rp
500 (pada tahun 1960), sambil menerangkan maksud kedatangannya. Sesudah itu
orang tua si gadis akan mengumpulkan semua kaum kerabat mereka yang dekat,
dan membicarakan masalahnya dengan mereka. Selama beberapa hari sebelum
keputusan dapat diambil, para kerabat dekat tersebut dengan saksama akan
melakukan penyelidikan tentang tingkah laku si calon menantu untuk mengetahui:
apakah ia seorang yang berwatak baik, apakah ia bukan keturunan budak, dan
apakah ia bukan keturunan hantuen. Hakumbang auchsegera dikembalikan jika
ternyata bahwa si pemuda tidak memenuhi syarat, dan itu berati bahwa pinangan
ditolak.

Kalau lamaran diterima, maka diadakan upacara peresmian pertunangan


dan perundingan mengenai langkah-langkah selanjutnya. Biaya pesta ini
seluruhnya ditanggung oleh pihak keluarga si gadis, dan binatang yang khusus
disembelih pada kesempatan ini adalah babi. Menyembelih ayam untuk pesta ini
dianggap hina. Sebelum dimulai dengan perundingan yang dilakukan pada tengah
hari, pihak laki-laki menyerahkan hadiah-hadiah yang berupa sehelai bahalai 
(sarung panjang untuk wanita), bahan kain untuk kebaya, minyak wangi, cincin
emas dan sebagainya, tergantung dari kemampuan yang memberi. Setelah ini,
segera dimulailah perundingan antara kedua belah pihak untuk menentukan antara
lain hari pernikahan, besarnya biaya yang harus disumbangkan oleh pihak laki-
laki untuk membiayai pesta perkawinan, besarnya emas kawin (Ngaju  palaku),
dan sebagainya.

Jangka waktu di antara pesta pertunangan dengan pesta perkawinan adalah


di antara satu bulan sampai tiga tahun, tergantung dari hasil keputusan
perundingan. Sebelum melakukan upacara perkawinan, seorang gadis jika

19
 

kebetulan masih mempunyai kakak perempuan yang sehingga waktu itu belum
  juga kawin, harus juga menghadiahkan kakaknya tersebut sebuah gong atau
keramik Cina, untuk menolak bencana yang akan terjadi di dalam perkawinannya,
karena sudah berani melangkahi hak-hak kakaknya. Hadiah ini oleh orang Ngaju
disebut  panangkalau. Adat pelamaran yang diuraikan di atas berlaku pada
masyarakat Ngaju, tetapi dengan beberapa perbedaan kecil juga pada orang Ot-
Danum.

Adat melamar terurai di atas juga terdapat pada suku bangsa Dayak 
Ma‟anyan yang menurut Hudson disebut pipakatan yaitu perkawinan yang diurus
oleh orang tua, karena di- mapakat-i, (dimufakati) oleh orang tuanya, tetapi selain
  bentuk perkawinan tersebut di atas, pada orang Ma‟anyan ada satu bentuk 
perkawinan lagi yang pada dewasa ini sudah mulai umum, yaitu ijari(berasal dari
kata  jadi atau lari), atau kawin lari. Walaupun namanya “kawin lari” tetapi bukan
berarti bahwa dengan larinya sepasang merpati itu, perkawinan sudah dapat
terjadi. Larinya itu hanya baru merupakan tindakan pertama menuju ke upacara
perkawinan adat. Demikianlah jika ada dua orang yang sepakat untuk hidup
bersama, maka mereka lari menuju ke rumah kepada adat yang disebut  panghulu,
atau ke rumah seorang kawan baik yang mempunyai kedudukan baik di dalam
masyarakat. Kepada tokoh-tokoh itu mereka sampaikan keputusan hati mereka,
dan tokoh itulah yang kemudian menghubungi orang-orang tua kedua belah pihak 
tersebut. Jika orang tua tidak keberatan, maka kontrak perkawinan segara dibuat,
dan upacara perkawinan darurat daoat dilangsungkan dengan cepat. Pesta
perkawinan yang dilangsungkan ini disebut kawin setengah. Setelah selesai
berlangsungnya pesta perkawinan ini, dua sejoli tersebut sudah boleh hidup
bersama sebagai suami isteri untuk waktu tiga bulan. Dalam waktu itu mereka
diwajibkan untuk berusaha mengumpulkan biaya guna membeayai pesta
perkawinan menurut adat. Dalam usahanya ini mereka seringkali mendapat
bantuan dari kerabatnya yang mampu, umpamanya mereka diperbolehkan untuk 
menyadap karet diladang karetnya. Perkawinan semacam ini tidak selalu dapat
berlangsung dengan lancar, karena perundingan gagal bukan saja karena soal

20
 

besarnya mas kawin, tetapi juga persoalan tempat kediaman setelah nikah dari
keduanya itu. Ijari juga dijalankan oleh orang-orang yang perjodohannya tidak 
disetujui oleh orang-orang tuanya.

Perkawinan orang Dayak Kalimantan Tengah pada umunya adalah


monogami, hal ini bukan saja berlaku pada mereka yang beragama Nasrani, tetapi
 juga pada mereka yang beragama Kaharingan. Adat kaharingan sebenarnya tidak 
melarang seorang laki-laki mengambil lebih dari seorang isteri, tetapi dalam
prakteknya hal itu jarang sekali dapat dilakukan, karena adat wajib membayar
 palakulagi yang bukan sedikit jumlanya itu.

Di Kalimantan Tengah angka perceraian adalah cukup tinggi. Menurut


Hudson, ditiga desa di daerah orang Ma‟anyan, 25% dari perkawinan-perkawinan
diakhiri dengan perceraian. Perceraian pada orang Ngaju, Ot-Danum, maupun
Ma‟anyan biasanya terjadi karena tidak setianya salah satu pihak. Perceraian
sebagai akibat seorang isteri mandul tak pernah terjadi, karena ada adat
mengadopsi anak yang dilakukan secara luas. Pada perceraian, anak-anak yang
masih kecil biasanya ikut dengan ibunya, sedangkan anak-anak yang sudah agak 
besar menjadi tanggungan kaum kerabat dari kedua belah pihak menurut keadaan.

b. Sistem Kemasyarakatan

Seperti telah dikatakan di atas, Propinsi Kalimantan Tengah terdiri dari


satu kotamadya dan lima kabupaten. Kotamadya tersebut adalah Palangka Raya
yang didirikan di atas wilayah desa Pahandut di Kabupaten Kapuas. Palangka
Raya adalah ibu kota Propinsi Kalimantan Tengah. Adapun kelima kabupaten
Kalimantan tersebut adalah:

1)  Kotawaringin Barat  (ibukota: Pangkalan Bun), merupakan daerah aliran


sungai-sungai Kotawaringin, Lamandau, an Arut.
2)  Kotawaringin Timur  (Ibukota: Sampit), merupakan daerah aliran Sungai-
sungai Pembuan (Seruyan), dan Sampit (Mentaya).
3)  Kapuas (Ibukota: Kuala Kapuas), merupakan daerah aliran Sungai-sungai
Katingan (Mendawai), Kahayan dan Kapuas.

21
 

4)   Barito Selatan (Ibukota: Muntok), merupakan daerah aliran Sungai-sungai


Patai, Telang, Dayu, Paku karau, dan Ayuh.
5)    Barito Utara (Ibukota: Muara Teweh), merupakan daerah aliran Sungai-
sungai Montalat, Teweh, Lahai, Busang, dan Murung.

Propinsi Kalimantan Tengah dikepalai oleh seorang Gubernur dan


Kebupaten dikepalai oleh seorang Bupati yang diangkat oleh Gubernur.
Berhubung kesukaran komunikasi di Kalimantan Tengah, maka pengaruh seorang
Bupati menjadi besar sekali. Dulu Kabupaten dibagi menjadi beberapa
kewedanaan, dan masing-masing kewedanaan dibagi lagi menjadi kecamatan-
kecamatan, tetapi sejak tahun 1964 kawedanaan dihapuskan. Kecamatan
selanjutnya dibagi lagi ke dalam desa-desa yang dikepalai oleh seorang  pembekal.
Di dalam satu desa di samping ada seorang  pembekal yang merupakan kepala
desa urusan adiministratif pemerintahan desa, ada seorang kepala lagi yang
khusus mengurus adat setempat yang disebut  panghulu. Para  panghulu tersebut
berada di bawah seorang kepala adat di tingkat kecamatan yang disebut demang.
Panghulu dari suatu desa dalam hal mengurus adat desanya didampingi oleh satu
dewan orang-orang tua yang di daerah Ma‟anyan disebut mantir.

Seperti telah diterangkan di muka penduduk Kalimantan Tengah, selain


mempunyai desa-desa induk, juga mempunyai desa-desa ladang semi-permanen.
Jika mengingat mata pencaharian hidup orang Dayak Kalimantan Tengah adalah
berdasarkan perladangan yang harus berpindah-pindah, maka rupa-rupanya desa
asli dari mereka adalah justru desa ladang yang semi-permanen dan bukan desa
induk yang permanen. Menurut Hudson, desa-desa induk adalah rupa-rupanya
bentuk kesatuan setempat dibentuk oleh Pemerintah Kolonial sejak kira-kira tahun
1856. Pada dewasa ini, walaupun sudah ada desa-desa induk yang permanen,
tetapi karena mata pencaharian hidup orang Dayak Kalimantan Tengah masih
tetap berladang, maka sebagian besar dari orang desa, terutama yang masih kuat
bekerja, hidup di desa-desa ladang mereka untuk lebih dari enam bulan tiap-tiap
tahun.

22
 

Pemerintahan desa. Pemerintahan desa secara formil berada di tangan


 pembekal dan  penghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administratif, dan
 penghulu sebagai kepala adat dalam desa. Syarat untuk menjadi  pembekaladalah
kemampuan menulis dan membaca huruf latin, mempunyai rumah dan
mempunyai pengaruh di desanya. Adapun syarat bagi seorang  panghulu adalah
keahlian dalam soal-sola adat. Demikian seorang ahli adat, panghulu harus
bertindak dalam hal memutuskan perkara-perkara hukum adat dan menjadi wakil
desanya pada upacara-upacara adat yang diadakan di desa tetangga. Kedudukan
 pembekal dan  panghulu sangat terpandang di desa. Mereka memperoleh jabatan
mereka melalui pemilihan oleh warga desa. Dahulu kedua jabatan dirangkap oleh
seorang kepala desa yang disebut  patih, tetapi kemudian karena pekerjaan
administratif makin bertambah dengan kemajuannya zaman, maka terjadi
pemisahan tersebut.

Hukum Adat. Hukum adat orang-orang Dayak di seluruh Kalimantan,


termasuk juga dari Kalimantan yang kini menjadi wilayah Malaysia dan Brunai,
telah pernah diseragamkan dalam suatu musyawarah besar yang diadakan di desa
Huron Anoi (Tumbang Anoi) Kahayan Hulu, Kalimantan Tengah. Musyawarah
ini berlangsung di antara 22 Mei sampai dengan 24 Juli 1894. Musyawarah ini
yang oleh orang Dayak Kalimantan Tengah dikenal sebagai Perdamaian
Tumbang Anoi, dihadiri oleh kepala-kepala adat dan demang-demang dri antara
lain Kalimantan Selatan, Barat, Timur, dan juga dari Utara. Di dalam musyawarah
tersebut telah diseragamkan garis-garis besar hukum adat, agar dapat dijadikan
pedoman bagi seluruh orang Dayak seluruh Kalimantan, agar tidak terjadi lagi
kesimpang-siuran yang dapat menimbulkan pertentangan di antara sesama orang
Dayak. Sejak itu hukum adat yang berlaku diseluruh Kalimantan adalah
berdasarkan keputusan musyawarah tersebut.

Hukum adat Kalimantan menurut Hadson adalah hukum setempat yang


tidak tertulis. Sanksi dari hukum adat kebanyakan berupa pemberian ganti
kerugian (Ma‟anyan danda). Maksud pembayaran ganti kerugian adalah
mengembalikan keseimbangan ketenangan masyarakat yang dikacaukan oleh

23
 

kejahatan seperti misalnya pembunuhan., melarikan isteri orang, dan sebagainya.


Hukum adat selain menentukan hukuman terhadap pelanggaran adat yang berupa
denda secara materiel, juga mengharuskn si pelanggar membayar denda secar
upacara, yaitu dengan maksud memulihkan keseimbangan alam dengan jalan
mengambil hati para dewa agar tidak marah lagi. Demikian maka setiap
dandadapat terdiri dari dua bagian, yaitu pembayaran berbentu benda-benda
materiel (uang, benda-benda antik) dan berbentuk sajian binatang kepada para
dewa. Suatu upacara yang penting dalam rangka ini adalah upacara memercikkan
darah binatang sajian ke sekililing desa, dengan maksud sebagai penawar.
Upacara ini pada orang Ma‟anyan disebut  pilah. Upacara pilah dilakukan
misalnya jika di desa telah terjadi pelanggaran pantangan kawin, sumbang, zina.
Untuk penawarnya harus dikurbankan seekor babi dan darahnya dipercik-
percikkan pada pohon-pohon buah-buahan yang tumbuh di sekeliling desa dengan
secabang daun-daunan, dengan maksud agar pohon-pohon tersebut dapat berubah
lagi dengan baik. Upacara tersebut juga terdapat di antara orang Ngaju dan Ot-
Danum, yaitu terutama jika terjadi persetubuhan di antara seorang mamak dengan
kemenakannya.

Keputusan hukum adat tidak pernah dijatukan oleh seorang, melainkan


oleh suatu sidang yang terdiri dari dewan orang tua di bawah  penghulu sebagai
ketua. Dalam mengambil keputusan, sidang hukum adat ini harus selalu
memperhatikan dua dasar jiwa hukum adat, yaitu menanyakan apakah perkara
yang sama ini pernah terjadi sebelumnya, dan kedua, berusaha agar hukuman
yang akan dijatuhkan itu berdasarkan keadilan. Karena berpedoman kepada dua
prinsip dasar tersebut, maka hukum adat orang Dayak adalah luwes dan mudah
berubah. Jika sidang hukum adat desa tidak mengambil keputusan mengenai suatu
perkara yang rumit, maka perkara tersebut diajukan kepada demang, kepala adat
tingkat kecamatan. Keputusan sidang hukum adat harus ditaati, jika tidak maka
terdakwa akan diisolasikan dari masyarakat desanya secara fisik dan rohaniah.
Nasib orang yang sedemikian itu buruk sekali, karena sejak itu ia tidak lagi berada
dalam perlindungan adat. Ia akan dijauhi dan diboikot oleh tetangga-tetangganya.

24
 

Seorang dari desa Siong di daerah Ma‟anyan misalnya, telah diadili karena
memperkosa isteri orang lain, tetapi ia tidak mau menerima keputusan sidang
hukum adat. Ia diisolasikan, maka pada waktu anaknya meninggal dunia, tidak 
ada orang desa yang mau membantu mangurus jenazahnya, bahkan mereka
melarangnya memakamkan jenzanh itu di tempat pemakaman umum. Perlakuan
ini akhirnya memaksa ia untuk tunduk.

Pada dewasa ini di Kalimantan Tengah selain berlaku hukum adat, berlaku
 juga hukum pidana R.I. walaupun di antara kedua hukum tersebut sering terjadi
pertentangan, tetapi kebanyakan adalah saling mengisi. Umpamanya di salah satu
desa di Paju Sepuluh (daerah Ma‟anyan), telah ada kejadian bahwa sebuah
perangkap untuk rusa di hutan menyebabkan kecelakaan dan membunuh seorang
laki-laki yang merupakan anak tunggal dari suami isteri yang sudah lanjut
umurnya. Karena kejadian itu menurut hukum pidana tidak disebabkan oleh
kejahatan, maka pemiliki perangkap tadi diserahkan kepada kebijaksanaan sidang
hukum adat. Sidang hukum adat kemudian telah men- danda-nya dan mengatur
agar ia dapat di adopsi oleh orang tua si korban, sehingga dengan demikian ia
dapat memberi nafkah kepada orang tua tadi itu.

Sampai pada tahun 1968 di Kalimantan Tengah sudah terbentuk tiga


tempat peradilan Agama/Masyarakat, yaitu:

1)  Peradilan Agama/Masyarakat Sampit, yang mewilayahi: daerah


kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat.
Pusatnya adalah di Pangkalan Bun.
2)  Peradilan Agama/Masyarakat Kapuas, yang mewilayahi: daerah
Kabupaten Kapuas dan Kotapraja Palangka Raya, Pusatnya adalah di
Kuala Kapuas.
3)  Peradilan Agama/Masyarakat Muara Teweh, yang mewilayahi: daerah
Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan. Pusatnya
adalah Muara Teweh.

2.7 Sistem Pengetahuan Suku Dayak  

25
 

Suku Dayak mempunyai kode yang umum dimengerti oleh suku bangsa
Dayak, kode ini dikenal dengan sebutan “Totok Bakakak”. Macam –  macam
Totok Bakakak:

• Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti
menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".

• Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang
gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.

• Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya. 

• Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti
mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat
bahaya.

• Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar. 

• Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati
tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena
tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama
korban tidak disebutkan.

• Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga
yang telah tua meninggal dunia.

• Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga,
tempayan tajau.

• Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan


rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena
adanya pantangan adat.

• Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb,


didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang
mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.

26
 

2.8 Kesenian

Bentuk kesenian suku Dayak tidak bisa dilepaskan dari sejarah


sosiologisnya. Berawal dari masyarakat primitif yang menganut animisme-
dinamisme, kebudayaan suku ini berakulturasi dengan kebudayaan kaum
pendatang seperti Jawa dan Tionghoa.
Agama yang dianggap lahir dari budaya setempat adalah Kaharingan.
Pengaruh kuat agama Hindu dalam proses akulturasi ini menyebabkan
Kaharingan dikategorikan ke dalam cabang agama tersebut. Dalam perkembangan
berikutnya, ada akulturasi budaya Islam pengaruh Kesultanan Banjar di pusat
kebudayaan suku Dayak.
Meskipun begitu, sebagian masyarakat Dayak tergolong teguh memegang
kepercayaan dinamismenya. Untuk kelompok ini, sebagian besar memutuskan
untuk memisahkan diri dan masuk semakin jauh ke pedalaman.

Macam-macam Kesenian Suku Dayak  


Kebudayaan suku Dayak yang khas membentuk estetika yang tercermin dalam
budaya dan keseniannya, meliputi seni tari, seni musik, seni drama, seni rupa, dan
sebagainya.
1.  Seni Tari

Banyaknya suku dan subsuku Dayak menimbulkan beragamnya seni tari


tradisional. Secara garis besar, berdasarkan vocabuler tari, bisa diklasifikasikan
menjadi 4 kelompok.
Tarian dengan gerak enerjik, keras dan staccato, adalah ciri kelompok tari
Kendayan, yang dimiliki oleh suku Dayak Bukit, Banyuke, Lara, Darit, Belangin,

27
 

Bakati, dan lain-lain, di sekitar Pontianak, Landak, dan Bengkayang.Tarian


dengan gerak tangan membuka, gerakan halus, adalah ciri vocabuler tari Ribunic
atau Bidayuh, yang berkembang di kalangan suku Dayak Dayak Ribun, Pandu,
Pompakang, Lintang, Pangkodatan, Jangkang, Kembayan, Simpakang, dan lain-
lain, di sekitar Sanggau Kapuas.Tarian dengan gerak pinggul yang dominan
adalah ciri tari kelompok Ibanic yang dimiliki suku Dayak Iban, Mualang,
Ketungau, Kantuk, Sebaruk, dan sebagainya, di sekitar Sanggau, Malenggang,
Sekadau, Sintang, Kapuas, dan Serawak.Sedikit lebih halus adalah ciri kelompok 
Banuaka, yang dimiliki oleh suku Dayak Taman, Tamambaloh, Kalis, dan
sebagainya, di sekitar Kapuas Hulu. 
Sebagian besar tari Dayak adalah tari ritual upacara sesuai dengan agama
Kaharingan. Misalnya, tari Ajat Temuai Datai. Tarian ini populer di kalangan
Dayak Mualang dan berfungsi sebagai upacara penyambutan terhadap pahlawan
yang pulang mengayau.
Di masa lalu, mengayau berarti pergi membunuh musuh, namun sekarang
mengalami pergeseran makna. Mengayau berarti „melindungi pertanian,
mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu
 bangunan‟. 
Beberapa contoh tari yang lain, misalnya sebagai berikut.
1.  Tari Gantar
Tarian ini menggambarkan orang menanam padi. Tongkat
menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian di
dalamnya menggambarkan benih pada dan wadahnya. Tarian ini cukup
terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara
lainnya. Tarian ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun
 juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga
versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar
Kusak.
2.  Tari Kancet Papatai/Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah
berperang melawan musuhnya. Tarian ini sangat lincah, gesit, penuh

28
 

semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penarinya. Dalam


tarian ini, penari mempergunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah
dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju
perang. Tarian ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan
alat musik Sampe.
3.  Tari Kancet Ledo/Tari Gong
Jika tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan
keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya tarian Kancet Ledo
menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis bagaikan sebatang padi
yang meliuk-liuk lembut ditiup angin. Tari ini dibawakan oleh seorang
wanita dengan memakai pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dan pada
kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung
Enggang. Tarian ini biasanya ditarikan di atas sebuah gong, sehingga
Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4.  Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung
yang dimuliakan oleh suku Dayak karena dianggap sebagai tanda
keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian
tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti
Tarian Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan
bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan
posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh
tanah/lantai. Tarian ini lebih menekankan pada gerakan burung Enggang
ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.  Tari Serumpai
Ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq yang dilakukan
untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing
gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian ini diiringi alat musik 
Serumpai (sejenis seruling bambu).
6.  Tarian Belian Bawo

29
 

Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit,


mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah
diubah menjadi tarian, tarian ini sering disajikan pada acara-acara kesenian
lainnya. Tarian ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq.

7.  Tari Kuyang


Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir
hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon besar dan tinggi agar tidak 
menggangu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
8.  Tarian Pecuk Kina
Trian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang
berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar
(Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
9.  Tarian Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah
dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya,
tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di
Apo Kayan yang bernama Nyik Selung sebagai tanda syukur dan
kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini
berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
10.  Tari Ngerangkau
Tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan
Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang
dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga
menimbulkan irama tertentu.
11. Tarian Baraga‟Bagantar  
Awalnya Baraga‟Bagantar adalah upacara belian untuk merawat
bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini
sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
2.  Seni Musik 

30
 

Tidak jauh beda dengan seni tari, seni musik suku Dayak 
didominasi musik-musik ritual. Musik itu merupakan alat berkomunikasi
dan menyampaikan pesan kepada roh-roh. 
Beberapa jenis alat musik suku Dayak adalah prahi, gimar, tuukng
tuat, pampong, genikng, glunikng, jatung tutup, kadire, klentangan, dan
lain-lain.
Masuknya Islam memberi pengaruh dalam seni musik Dayak,
dengan dikenalnya musik tingkilan dan hadrah. Musik Tingkilan
menyerupai seni musik gambus dan lagu yang dinyanyikan disebut
  betingkilan yang berarti „bersahut-sahutan‟. Dibawakan oleh dua orang
pria-wanita dengan isi lagu berupa nasihat, pujian, atau sindiran.
Berikut adalah beberapa kesenian musik suku Dayak 
1.  Ngendau
Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan
oleh para remaja baik laki-laki ataupun perempuan secara bersaut-sautan.
2.  Kalalai-lalai
Kalalai-lalai ialah nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak 
Mamadi daerah Kotawaringin.
3.  Natum
Natum ialah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan.
4.  Natum Pangpangal
Natum Pangpangal ialah ratap tangis kesedihan pada saat terjadi
kematian anggota keluarga yang dilagukan.
5.  Dodoi
Dodoi ialah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau
dirakit.
6.  Dondong
Dondong ialah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong
padi.
7.  Marung

31
 

Marung ialah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan
meriah.

8.  Ngandan
Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia
yang ditujukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan rasa
kasih sayang.
9.  Mansana Bandar
Mansana artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama
seorang tokoh yang sangat dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman
lewu uju dan diyakini bahwa tokoh Bandar bukan hanya sekedar mitos.
Hingga saat ini orang-orang tertentu yang bernazar kepada tokoh Bandar.
Keharuman namanya karena pada kepribadiannya yang sangat simpatik 
dan menarik, disamping memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang
tiada duanya. Banyak sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan
tokoh Bandar ini, namun dengan versi yang berbeda-beda.
10.  Karunya
Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai
pemujaan
kepada RanyingHatala.Dapat juga diadakan pada saat upacara
pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut
kedatangan tamu yang sangat dihormati.
11. Baratabe
Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu.
12. Kandan
Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut
baik oleh laki-laki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila
pesta yang diadakan untuk menyambut tamu yang dihormati maka
kalimat-kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan,
doa dan harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini

32
 

biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang
dan Murung, Kabupaten Barito Hulu.
13. Dedeo atau Ngaloak 
Dedeo atau Ngaloak sama dengan Kandan hanya istilahnya saja
yangberbeda, karena Dedeo atau Ngaloak adalah tradisi Suku Dayak 
DusunTengah didaerah Barito Tengah, Kalimantan Tengah.
14. Salengot
Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta
pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat
untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam
menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai
tersebut.

Alat musik yang biasa terdapat di dalam kebudayaan Suku Dayak adalah
sebagai berikut :
1.  Garantung
Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat dari
tembaga.
2.  Sarun
Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam.
Bunyi yang dihasilkan hanya lima nada.
3.  Salung
Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu.
4.  Kangkanung
Kangkanung ialah sejenis gong dengan ukuran lebih kecil
berjumlah lima biji, terbuat dari tembaga.
5.  Gandang Mara
Gandang Mara ialah alat musik perkusi sejenis gendang dengan
ukuran setengah sampai tiga per empat meter. Bentuki silinder yang
tewrbuat dari kayu dan pada ujung permukaan di tutup kulit rusa yang

33
 

telah di keringkan. Kemudian di ikat rotan agar kencang dan lebih kencang
lagi diberi pasak.

3.  Seni Drama 


Drama tradisional ditemukan pada masyarakat Kutai dalam bentuk 
kesenian Mamanda. Drama ini memainkan lakon kerajaan dan dimainkan
dalam upacara adat seperti perkawinan atau khitanan. Bentuk 
pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak.

4.  Seni Rupa


Seni rupa Dayak terlihat pada seni pahat dan patung yang
didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam
dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat. Ada macam-
macam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut.
Patung azimat yang dianggap berkhasiat mengobati
penyakit.Patung kelengkapan upacara.Patung blontang, semacam patung
totem di masyarakat Indian. Selain itu, seni rupa Dayak terlihat pada seni
kriya tradisional seperti kelembit (perisai), ulap doyo (kain adat), anjat (tas
anyaman), bening aban (kain gendongan), seraong (topi), dan lain-lain.
Kesenian suku Dayak adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang
layak dibanggakan.
2.9 Sistem Religi
Berdasarkan religinya, penduduk propinsi Kalimantan Tengah (suku
dayak) dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu Islam, agama pribumi,
Kristen, dan Katolik. Menurut laporan Perwakilan Departemen Agama Propinsi
Klimabtan Tengah, maka orang islam merupakan golongan terbesar. Jumlah besar
dari orang islam itu sudah tentu disebabkan karena di Propinsi Kalimantan
Tengah sekarang ini ada banyak orang pendatang. Di daerah hilir sungai-sungai
besar banyak orang pribumi atau orang dayak yang juga telah menjadi orang
Islam sejak lebih dari satu abad lamanya, tetapi sebelum zaman perang dunia ke

34
 

II, mereka biasanya tidak mau dianggap orang dayak lagi karena sebutan itu
berarti orang udik, dan di dalam zaman itu dianggap merendahkan.  
Agama asli penduduk pribumi adalah agama Kaharingan. Sebutan itu
dipergunakan sesudah perang dunia ke II, waktu diantara penduduk pribumi
Kalimantan timbul suatu kesadaran akan kepribadian budaya mereka sendiri dan
suatu keinginan kuat untuk menghidupkan kembali kebudayaan Dayak yang asli.
Agama kristen mulai masuk mulai pertengahan abad yang lalu, dan aliran agama
kristen yang pada masa sekarang ini paling besar jumlah penganutnya adalah
aliran Gereja Kalimantan Evangelis. Agama katolik baru disebarkan di kalangan
orang Dayak mulai pada zaman kemerdekaan.
Umat Kaharingan percaya bahwa alam sekitar hidupnya itu penuh dengan
makhluk-makhluk halus dan ruh-ruh yang menempati tiang rumah, batu-batu
besar, pohon-pohon besar, hutan belukar, dan air, pokoknya alam sekeliling
tempat tinggal manusia. Ada dua golongan ruh-ruh, ada golongan ruh-ruh yang
baik dan golongan ruh jahat. Disamping itu ada pula makhluk halus yang
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Dayak, ialah ruh
nenek moyang. Menurut kepercayaan suku Dayak, jiwa yang mati itu
meninggalkan tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia
sebagai ruh nenek moyang. Lama kelamaan ruh nenek moyang itu akan kembali
kepada dewa tertinggi yang disebut “Ranying”, tetapi proses itu akan memakan
waktu yang lama dan melalui berbagai macam rintangan dan ujian hingga
akhirnya masuk ke dunia ruh yang bernama “Lewu Liau”dan menghadap
Ranying.
Terwujudnya kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan makhluk 
halus lainnya terwujud dalam upacara keagamaan. Ada suatu rangkaian upacara
yang dilakukan prang pada peristiwa-peristiwa penting selama hidupnya, seperti
upacara menyambut kelahiran anak, upacara memandikan bayi untuk 
pertamakalinya, upacara memotong rambut bayi, dan juga upacara mengubur dan
pembakaran mayat. Jika orang Dayak mati, mayatnya akan di letakkan di sebuah
peti kayu berbentuk perahu lesung dan kemudian di bakar secara besar-besaran
yang disebut “Tiwah”. Dan setelah proses pembakaran itu selesai, tulang belulang

35
 

terutama tengkoraknya digali lagi dan kemudian pihak keluarga memindahkannya


ke pemakaman yang tetap, sebuah bangunan yang berukiran indah, yang disebut
“Sandung”. 
Karena acara pemakaman itu dilakukan secara besar-besaran oleh
sejumlah keluarga, maka acara itu dapat berlangsung seminggu sampai tiga
minggu berturut-turut. Karena banyaknya pengunjung yang ingin menyaksikan
upacara itu, maka dibutuhkan biaya yang sangat besar oleh karena itu terpaksa
upacara itu hanya bisa dilakukan sekali dalam tujuh atau delapan tahun sekali.
Upacara itu juga diisi dengan nyanyian-nyanyian yang amat panjang tanpa
menggunakan teks dan juga menampilkan tarian suci yang menarik.
Orang dayak juga mengenal upacara-upacara keagamaan yang dilakukan
oleh beberapa keluarga, yaitu upacara yang bersangkutan dengan pertanian di
ladang, dengan maksud untuk menambah kesuburan tanah, menolak hama, dan
hasil bumi yang berlimpah. Dalam upacara tersebut, yang dipimpin oleh seorang
yang bernama “Balian”, sering tampak berbagai unsur ilmu gaib. 

36
 

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:


Djambatan.

http://www.anneahira.com/kesenian-suku-dayak.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/suku_Dayak 

http://travel.okezone.com/read/2011/02/24/407/428449/mengenal-dekat-
suku-dayak 

http://www.kutaikartanegara.com/senibudaya/tari.html

37

Anda mungkin juga menyukai