terutama kehidupan komunal mereka di rumah panjang. Di samping itu, cara hidup komunal
masyarakat Dayak Iban merupakan sebuah tema penelitian yang menarik mengingat dalam
masyarakat modern dewasa ini orang pada umumnya tinggal dalam keluarga inti dalam
rumah pribadi. Penelitian tentang kehidupan komunal masyarakat Dayak Iban dapat
memberi sumbangan pemahaman antropologis dan filosofis mengenai keragaman cara
hidup manusia. Istilah “Dayak” lazim digunakan untuk menyebutpenduduk asli Pulau
Kalimantan. Dahulu istilah “Dayak” digunakan dengan nada
hinaan. Kata “Dayak” sendiri berarti ‘hulu’dan ‘manusia’. Para peneliti Eropa sekitar tahun
1800-an, mendefinisikan “Dayak” sebagai manusia pedalaman, non-Muslim, primitif, tidak
berperadaban dan citra negatif lainnya.
Berbicara tentang kebudayaan berarti berbicara tentang pikiran, karya dan hasil karya
manusia secara menyeluruh yang terjadi melalui suatu proses pembelajaran
bersama. Kebudayaan merupakan hasil dari kreasi dan perjuangan manusiadalam rangka
merealisasikan dirinya. Proses realisasi diri manusia dalam masyarakat Dayak Iban tampak
dalam kebersamaan dengan orang lain dalam komunitas rumah panjang. Jadi, kebudayaan
masyarakat Dayak Iban berpusat di rumah panjang. Proses realisasi diri manusia Dayak Iban
tampak dalam setiap wujud kebudayaan yang mereka hasilkan di rumah panjang.
Dayak Iban dikenal sebagai masyarakat yang hingga saat ini mampu bertahan dan
beradaptasi dengan lingkungan. Mereka hidup secara komunal dalam rumah panjang,
atau rumah panjae dalam bahasa mereka. Sikap hidup bersama tampak dalam kebersamaan
secara berdampingan dengan masyarakat lainnya di luar komunitas mereka. Hal ini rupanya
terkait dengan semangat egaliter yang sangat tampak dalam pola hidup bersama yang
mereka hayati.
Kajian tentang kebudayaan Dayak Iban ini bermaksud menepis berbagai stereotipe
negatif tentang identitas Dayak, misalnya cap sebagai suku liar, perusak hutan, tak beradab,
pemburu kepala, primitif, terpencil dan lain-lain. Masih tetap bertahannya tradisi hidup di
rumah panjang menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Iban menjunjung tinggi nilai budaya
yang diwariskan dari leluhur mereka. Berbagai macam aktivitas budaya kerap dilakukan di
rumah panjang. Hal ini berarti bahwa selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah
panjang juga menjadi pusat kebudayaan Dayak Iban.
Selanjutnya kebudayaan yang menjadi fokus pembahasan artikel ini adalah
kebudayaan masyarakat Dayak Iban yang bermukim di kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat, Indonesia. Pembatasan ini dimaksudkan untuk membedakan masyarakat Dayak Iban
di Indonesia dengan Masyarakat Iban di Serawak, Malaysia bagian timur, dan di Brunei
Darussalam.
Perlu dibedakan antara Iban sebagai rumpun suku dan Iban sebagai subsuku. Istilah
“Rumpun Iban” (Ibanic Groups) mengacu kepada rumpun suku. Rumpun Iban terdiri dari
beberapa subsuku, seperti Iban, Mualang, Kantuk (Kantu’), Ketungau, Banyur, Desa, dan
Seberuang. Rumpun Iban tersebar di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei
Darussalam. Di Indonesia, mereka menyebar di tujuh kabupaten, yakni Kapuas Hulu,
Bengkayang, Sambas, Sintang, Melawi, Sanggau dan Sekadau. Sementara itu, istilah “Dayak
Iban” mengacu kepada salah satu subsuku yang termasuk ke dalam rumpun Iban.
Subsuku Iban termasuk salah satu subsuku terbesar dalam Rumpun Iban. Masyarakat
Dayak Iban mendiami dua negara sekaligus yakni Indonesia dan Malaysia. Di
Indonesia, Dayak Iban mendiami wilayah Kabupaten Putusibau yang tersebar di enam
kecamatan, yakni Putusibau, Embaloh Hulu, Batang Lupar, Badau, Empenang, dan Embau.
c. Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan mengatur hidup manusia dalam kelompok. Sistem
kekerabatan, misalnya, memiliki kaitan dengan sistem kesatuan hidup setempat
berdasarkan aspek penghunian rumah panjang yakni kebersamaan keluarga-keluarga inti.
Keluarga-keluarga inti menempati satu gugusan yang tidak terpisah satu sama lain dalam
komunitas rumah panjang Iban. Sistem kekerabatan dalam masyarakat Iban menekankan
aspek kebersamaan dalam bilek. Bilek ialah sebuah ruang untuk tempat tinggal keluarga-
keluarga dalam rumah panjang Iban.
Masyarakat Iban juga dikenal sebagai masyarakat yang egaliter. Harus diakui, dalam
masyarakat Iban ada orang yang memiliki pengaruh yang lebih tinggi, seperti Tuai Rumah
yakni orang yang dianggap tua, fungsionaris adat, dan pimpinan dalam melaksanakan
upacara adat dalam komunitas rumah panjang, dan Temenggung, pemegang kekuasaan
tertinggi dalam kepengurusan adat yang membawahi beberapa Tuai Rumah. Namun
demikian, otoritas mereka sebatas hanya pada kepengurusan adat. Selebihnya dalam
kenyataan hidup bersama sehari-hari tidak ada tingkatan tinggi rendah.
Pada hakikatnya, rumah panjang (rumah panjae) Iban merupakan kesatuan sosial yang
terikat kesadaran wilayah dan genealogis. Kesadaran genealogis berarti keluarga Dayak yang
berwujud keluarga batih maupun keluarga luas yang hidup dalam satu rumah tangga
memiliki rasa kebersamaan hidup berdasarkan garis keluarga. Sementara kesadaran wilayah
lebih mengarah pada kesadaran akan kepemilikan tanah, air dan alam sekitar yang berada
dalam satu kawasan adat.
Garis keturunan orang Iban bersifat ambilineal. Adat menetap setelah menikal adalah
utrolokal yang berarti ada yang tinggal di bilek suaminya atau istrinya. Tiap bilek didiami
oleh satu keluarga luas yang terdiri darikeluarga batih anak laki–laki dan keluarga batih anak
perempuan. (Melalatoa, 1995:307).
Masyarakat Suku Iban memiliki organisasi sosial yang disebut Pangurus Adat. Pangurus
adat inilah yang merupakan pemimpin informal dalam masyarakat ini. Segala permasalahan
yang menyangkut adat selalu ditujukan kepada pangurus adat. Meskipun pemimpin formal
sudah ada, seperti Kepala Desa dan perangkatnya, namun fungsinya kurang maksimal,
kecuali mengurus hal-hal yang berhubungan dengan KTP atau surat-surat keterangan
lainnya. Sedangkan urusan lain yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari ditangani
oleh pangurus adat.
Pangurus adat dalam masyarakat Iban terdiri dari satu orang Temenggung, patih,
(wakil temenggung), Kebayan, dan Tuai rumah (Kepala rumah panjang). Dalam
melaksanakan tugasnya, pangurus adat ini membawahi satu Menua (nama untuk satu
wilayah adat). Wilayah adat tersebut menjadi daerah otonomi sepenuhnya para pangurus
adat tersebut. Menua lain tidak dapat mencampuri adat istiadat yang berlaku di Menua
tersebut.
Tidak seperti pemimpin formal yang mendapatkan imbalan berupa honor atau gaji
dalam melaksanakan tugasnya. Pangurus adat tidak mendapatkan imbalan apapun juga.
Mereka bekerja sukarela demi adat. Apabila ada permasalahan yang besar/berat, mereka
rela menyediakan waktunya berharihari sampai masalah itu selesai. Namun demikian
apabila permasalahan itu tidak dapat diselesaikan lewat adat, maka akan diserahkan kepada
pihak kepolisian dan pengadilan setempat. Jadi di daerah ni antara hukum adat dan hukum
nasional berjalan bersama dalam mengatasi setiap permasalahan yang ada di masyarakat.
d. Bahasa
Bahasa suatu suku bangsa yang besar, yang terdiri dari berjuta-juta penduduk, selalu
memiliki variasi akibat faktor perbedaan geografis, lapisan sosial, serta lingkungan sosial
dalam masyarakat suku bangsa tadi. Berdasarkan ciri-ciri kesamaan dialek, budaya dan
lokasi, para peneliti dalam bidang etnolinguistik, yakni Nothofer, James T. Collin, A. B.
Hudson, dan Paul Kroeger; mengelompokkan suku Dayak Iban ke dalam kelompok yang
dikenal dengan sebutan Kelompok Ibanik (Ibanic Group). Kelompok suku Dayak yang
termasuk ke dalam kelompok Ibanik terdiri dari sebelas suku kecil. Suku-suku kecil yang
dimaksud antara lain Dayak Mualang, Kantu’, Desa, Seberuang, Bugau dan Ketungau.
Hubungan di antara mereka ditandai oleh penggunaan bahasa yang hampir sama
artinya, misalnya dalam kata makan (makai), berjalan (bejalai). Meskipun demikian ada pula
perbedaan-perbedaan di antara mereka. Misalnya, untuk kata “kemana” dalam bahasa
orang Iban dan Kantuk dipakai kata kini sedangkan dalam bahasa orang Mualang digunakan
kata kikai. Jika seorang dari Suku Mualang berbicara menggunakan bahasanya, maka bahasa
itu akan dimengerti pula oleh orang lain dari Suku Iban, demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan penjelasan ini dapat dimengerti bahwa hubungan penggunaan bahasa dalam
rumpun Iban hampir sama.
Bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari bagi suku Dayak Iban adalah
bahasa benadai. Bahasa ini dituturkan oleh semua subsuku Iban. Benadai artinya diambil
dari kata dasar nadai yang berarti “tidak”. Tidak terlalu jelas mengapa orang biasa
menggunakan istilah benadai untuk mengelompokkan kesamaan bahasa pada rumpun Iban
dan orang Iban sendiri. Ada kemungkinan bahwa pengelompokan itu berdasarkan kesamaan
pada akhir setiap kata dalam rumpun Iban misalnya penggunaan akhiran ai pada setiap kata,
contoh makai, nyumai, pulai, dan lain-lain.
Dalam berkomunikasi sehari-hari lebih banyak digunakan bahasa Iban. Dalam
cerita/tradisi lisan bahasa Iban digunakan dalam gaya dan bentuk bervariasi sesuai kondisi
cerita/tradisi lisan yang bersangkutan. Jadi ada bahasa yang informal/sehari-hari, bahasa
formal/tinggi, seperti dalam prosa liris, upacara adat, perdukunan, pantun.
Bahasa Iban yang digunakan dalam sastera lisan dituturkan mengikuti pola dan gaya
tersendiri, seperti pengulangan kata, frase, kalimat yang frekuensinya tinggi, penyebutan
istilah yang berhubungan dengan jagat raya, ketokohan, pekerjaan dan kehidupan lainnya.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, ada suatu ciri khas yang mudah dimengerti
oleh orang-orang di luar pemakai bahasa Iban. Ciri-ciri itu adalah adanya pemakaian kata
“ai” di hampir setiap katanya. Contoh: jalan menjadi “jalai” , panjang menjadi “panjai” ,
makan menjadi “makai” dan sebagainya.
Selain ciri khas tersebut, dalam bahasa Iban juga ditemukan tingkatan-tingkatan dalam
penggunaan bahasa, meskipun tidak serumit seperti dalam bahasa Jawa. Ada kalanya
seseorang harus menggunakan kata/bahasa halus, seperti apabila hendak berbicara dengan
orang tua atau orang yang belum dikenal. Contohnya kata „nuan‟ yang artinya kamu,
dipakai untuk berbicara dengan orang yang dihormati, seperti kepada orangorang tua,
kepala adat, tuan rumah, dan sebagainya. Namun apabila berbicara dengan kawan seusia
atau orang yang lebih kecil dan sudah akrab, cukup menggunakan kata „dek/dik‟ yang
artinya juga kamu.
Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti
menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".
Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis
yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon
bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapatbahaya.
Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam,
harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada
saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, namakorban tidak disebutkan.
Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang
telah tua meninggal dunia.
Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual
belanga,tempayan tajau.
Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah,
hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya
pantangan adat.
Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb,didekat
batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil
atau memetik buah yang ada dipohon itu.
g. Sistem Religi
Agama adalah suatu sistem tata keimanan atau keyakinan atas adanya suatu yang
mutlak di alam dan suatu sistem tata peribadatan manusia kepada yang dianggapnya mutlak
itu. Disamping hal tersebut merupakan suatu sistem norma yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya yang sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata pribadatan.
Pada saat ini, hampir seluruh masyarakat suku Iban, terutama yang bermukim di
Kecamatan Batang Lupar memeluk agama protestan. Namun demikian, adat istiadat dan
kepercayaan lama sebagai warisan leluhur yang turun-temurun masih dilakukan. Dalam adat
dan kepercayaan masyarakat Suku Iban, mereka percaya bahwa yang tertinggi diantara
mereka adalah „Betara‟. Dalam setiap kesempatan (baik itu upacara adat atau pun
pembacaan manteramantera pengobatan), nama itu selalu disebut dan dipanggil dengan
harapan dapat menghadiri dan memberkati jalannya ritual yang dilakukan.
Selain percaya kepada Batera, mereka percaya bahwa ada roh-roh halus yang
senantiasa berada di sekeliling manusia. Roh itu ada yang baik dan ada yang jahat. Tiap
sungai, gunung, hutan, pohon besar, bukit bahkan rumah ada roh yang menunggunya. Roh-
roh ini dianggap dan dipercaya sebagai roh-roh suci yang selalu melindungi, mengayomi,
menjaga dan memelihara warga masyarakat setempat sekaligus juga yang suka mengganggu
dan menyebabkan bala bencana bagi masyarakat. Oleh sebab itu, pada kesempatan ritual-
ritual seperti tersebut diatas, roh-roh itu semua dipanggil, diberi „makan‟ (sesaji) dengan
tujuan, bagi roh-roh yang baik akan senantiasa melindungi, dan bagi roh yang jahat tidak
akan mengganggunya.
Menurut kepercayaan setempat, adanya roh-roh tersebut berasal dari jasad nenek
moyang mereka yang telah meninggal, tetapi jasad tersebut diakui masih tetap hidup
mendampingi kehidupan manusia. Roh yang dianggap baik adalah roh nenek moyang yang
semasa hidupnya menjadi penguasa yang disegani masyarakat atau pahlawan bagi
daerahnya. Kepada roh ini masyarakat senantiasa mohon perlindungannya.
Sebaliknya, roh jahat adalah penjelmaan dari arwah nenek moyang yang semasa
hidupnya memiliki tabiat yang jelek. Roh ini pun bagi masyarakat Iban tetap dihormati
sebagaimana roh yang baik. Kepercayaan kepada roh nenek moyang ini dalam bahasa
populernya disebut animisme.
Selain percaya terhadap roh-roh halus, masyarakat Suku Iban juga percaya akan
adanya sesuatu kekuatan gaib yang menyelimuti kehidupan sehari-hari mereka.
Kepercayaan yang biasa disebut dengan istilah dinamisme ini yakni percaya kepada benda-
benda yang memiliki suatu kekuatan yang dianggap melebihi kekuatan manusia biasa.
Adapun benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan gaib ini antara lain berupa benda-
benda mati seperti batu-batu atau senjata dan sebagainya. Terhadap bendabenda ini
masyarakat senantiasa menghormati dan menjaga jangan sampai mereka mengganggunya.
Apabila masyarakat melanggarnya, maka benda-benda itu akan marah dan dapat
menimbulkan malapetaka bagi masyarakat lewat wabah penyakit atau hama tanaman dan
sebagainya.
Masyarakat yang hidup dalam alam kebudayaan tradisional, memiliki kepercayaan
yang penuh magis. Kepercayaan terhadap hal-hal magis dan sakral itu timbul karena
manusia tidak mampu memenuhi tuntutan jawaban akan adanya kekuatan supranatural di
luar jangkauan manusia. Melalui praktik-praktik magis dan ritual mereka berupaya menjalin
hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi itu. Selain itu ada beberapa teori yang
mengatakan bahwa manusia itu kagum akan hal-hal yang luar biasa dalam hidupnya. Ada
pula teori yang lebih subjektif yaitu adanya suatu getaran atau emosi dalam diri manusia
akibat pengaruh rasa kesatuan sebagai masyarakat.
Alam pikir masyarakat Dayak Iban bersifat religius-magis. Mereka mempercayai
adanya roh-roh baik dan roh halus atau hantu. Sebelum masyarakat Dayak menganut agama
Kristen, mereka adalah penganut animisme. Animisme berarti percaya pada adanya roh
yang mendiami suatu tempat tertentu atau sebatang pohon yang dianggap keramat.
Meskipun hingga saat ini banyak suku Dayak Iban menganut agama Kristen, mereka
tetap berpegang teguh pada adat dan tradisi leluhur mereka. Adat istiadat tetap
dipertahankan karena dengan demikian mereka seperti memiliki pedoman hidup yang
mengatur mereka dengan segala unsur kehidupannya. Adat istiadat amat penting bagi
keamanan dan ketertiban mereka. Masyarakat Iban yang masih hidup di rumah panjang
mengatur hidup mereka berdasarkan keyakinan akan adanya kekuatan di luar diri mereka.
Jean-Francois Blehaut memberi penjelasan berikut tentang sistem religi masyarakat Iban:
The Iban religion, centred on the rice cult and characterised by the exaltation of their own
social virtues, is a shopisticated animism in which a complex phanteon of gods is dominated
by two beings: Lang or Singalang Burong, syimbolised by the Brahminy Kite who rules over
the sky and war, and Puyang Gana, god of earth and rice.
Dalam sistem religi masyarakat Iban dikenal apa yang dinamakan dengan Singalang
Burong, penguasa langit, dan Puyang Gana, penguasa tanah dan padi. Konsep keyakinan ini
tertanam kuat dalam masyarakat Iban hingga kini meskipun sudah memeluk agama Kristen.
Keyakinan akan adanya Dewa tersebut, memberi rasa aman akan hidup dan
keberlangsungannya.
Tingkah laku masyarakat Dayak pada umumnya selalu dibimbing oleh perasaan takut
akan kekuatan gaib yang ada di alam semesta ini. Alam semesta dalam tataran pemikiran
orang Dayak dipenuhi dengan makhluk-makhluk yang tidak kelihatan, sakti dan memiliki
kekuatan.Pendek kata sikap hidup orang Dayak selalu diwarnai akan perasaan takut dan
berhati-hati terhadap alam. Perasaan takut sekaligus bersatu dengan rasa hormat akan
adanya kekuatan yang lebih tinggi itu.
Kepercayaan timbul dalam kelompok masyarakat Dayak sebagai pendukung
kebudayaan karena manusia dianggap tidak dapat menjawab adanya kekuatan supranatural
di luar jangkauan akal mereka.Kekuatan ini menimbulkan pertanyaan bagi manusia sehingga
manusia melakukan berbagai macam cara untuk mencari hubungan dengan kekuatan yang
lebih tinggi itu.
Agama tradisional mereka telah mengajarkan bagaimana harus bersikap terhadap
alam. Sikap tersebut masih mereka pelihara hingga kini. Alam telah memberi mereka
berbagai macam hasilnya. Alam telah menyediakan berbagai keperluan hidup masyarakat
Dayak.
Untuk menjaga keseimbangan ini, maka dalam setiap upacara, baik itu upacara adat,
hendak memulai suatu pekerjaan atau upacara gawa‟ yang lain, harus memberikan sesaji
dan minta izin, supaya pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar tanpa
gangguan apapun. Karena begitu kompleksnya sistem kepercayaan mereka, maka pendapat
Coomans yang disadur Al Qadrie (1991:1-14) mengatakan bahwa sistem kepercayaan
masyarakat Dayak umumnya hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya,
kehidupan sosial, ekonomi, budaya seharihari. Ini berarti bahwa kepribadian, tingkah laku,
sikap perbuatan dan kegiatan sosial orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung oleh dan
dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat istiadat
atau hukum adat, tetapi juga dengan nilai-nilai budaya atau etnisitas.
SIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah masyarakat Dayak Benuaq telah memiliki nilai
hidup organic, menjaga biodiversity (keanekaragaman hayati), memiliki perilaku konservasi
(menjaga lingkungan secara berkelanjutan) yang mengakar dan nilai tersebut diupayakan
diturunkan dari generasi ke generasi dalam bentuk kearifan lokal dalam berhubungan
dengan alam. Lingkungan hutan telah membentuk budaya yang kompleks dan menjadi
sistem keyakinan dan sebaliknya budaya sosial turut membentuk kualitas lingkungan, yaitu
dari perilaku masyarakatnya dalam mengelola lingkungan. Perilaku masyarakat Dayak
Benuaq yang mentaati aturan adat sebagai hukum yang mengatur etika dalam pengelolaan
lahan, pemanfaatan hutan dan sungai dilandasi atas pemikiran, persepsi dan sikap yang
telah diturunkan sepanjang generasi. Bahwa sebagai bagian dari masyarakat Dayak Benuaq,
mereka bertugas menjaga keharmonisan dengan alam, dengan menghormati dan
bertanggung jawabnya pada hewan dan tanaman (biospheric) di lingkungan hutan.
Modernisasi kampung hutan akibat pergeseran hubungan generasi muda Benuaq
dengan pendatang yang bekerja di perkebunan, perkayuan dan pertambangan. Perubahan
budaya tradisional-modern pada masyarakat Benuaq kini berada dalam kondisi masyarakat
transisi yang sangat memerlukan pendekatan komunitas dalam pengembangan wilayah dan
sosialnya. Agar pemberdayaan potensi masyarakat lokal tetap memperhatikan nilai,
kesejahteraan, memerdekakan akses atas hak masyarakat indigenous dalam menentukan
self-determined model bagi komunitas mereka sendiri. Sehingga perlu ada perlindungan
tata hukum lokal dan pranata ada agar sistem budaya lokal masih berfungsi dalam mengatur
perilaku masyarakat lokal, khususnya sebagai penguat dan kontrol perilaku ekologis.