Anda di halaman 1dari 17

PESAN RANG GAEK

KIEH KATO SAMPAI


OLEH : H. MAS’OED ABIDIN

Minangkabau adalah pula wilayah sastra. Generasi


Minangkabau terkenal kuat, karena kato. Kata adalah sesuatu
kekuatan budaya yang dominan di dalam pergaulan bertata kerama
di Minangkabau.
Bila seseorang tidak mengerti dengan kiasan dan ujung kata
yang ditujukan kepadanya, maka ia dipandang sebagai orang
"kurang" atau orang yang rendah pikir, sehingga digambarkan
dengan ungkapan berikut:

"tak tahu di rundiang kato putuih


tak tahu di kieh kato sampai"

(tak tahu pada rundingan kata putus


tak tahu pada kiasan kata sampai).1

Hancurnya moral lebih banyak disebabkan kehancuran


penegak moral itu. Bila kita melihat salah satu bimbingan syarak,
maka moralitas satu kaum atau bangsa dipegang utamanya oleh
kaum ibu.
Di Minangkabau kaum ibu disebut bundo kanduang.
Pesan Agama menjelaskan bahwa “kaum perempuan adalah
tiang sebuah negeri, bila dia baik akan baik pula negeri itu dan bila
mereka telah rusak, akan binasalah negeri itu”.
Maka tidak salah manakala orang Minangkabau menghormati
kaum perempuan. Wisramn Hadi, menyebutkan Minangkabau
“Negeri kaum Perempuan”, tidaklah berlebihan.
Karena itu menjaga muruah (marwah) sebagai perempuan
dan juga lelaki yang akan melindungi perempuan itu, menjadi amat
penting dalam kato di Minangkabau, seperti yang diungkapkan
dengan:

1
Kearrifan berkata-kata menjadi kekuatan dari kato di Minangkabau. Sebab
kato di Minangkabau berisi kearifan, kias, dan perumpaan, yang terkait erat
dengan bayan dan balaghah, mantik dan ma’any.
"Arang lah tacoreang di muko,
aiklah sakuliliang badan
Lah cabiak baju di dado
Tak ka tatutuik jo tapak tangan"

(Arang sudah tergores di muka,


Aib telah sekeliling tubuh,
Telah robek baju di dada
Tak akan tertutup dengan telapak tangan). 2

Menambah yang telah ada merupakan bakti kepada ibu


sebagai imbalan dari kasih sayangnya yang tidak mungkin terbalas
itu, sehingga seorang ibu menasehati jejakanya yang baru menikah:

“Kok indak ka manambah


jan dicinto mangurangi
Kok tak ado pitih balanjo,
elok usaho dipabanyak,
kok tak ado pulo usaho,
tolonglah urang jo bicaro,
panjangkan aka jo budi”

(Kalau tidak akan menambah


jangan dicita mengurangi
kalau tak ada uang belanja
baiklah usaha diperbanyak
kalau tak ada pula usaha
tolonglah orang dengan bicara
panjangkan akal dengan budi).3

Demikianlah seorang laki-laki harus menjaga ketentraman


rumah, kendati pun pada suatu waktu ia akan menjadi sumando
(semenda) orang lain. Di rumah isterinya itu, janganlah pula sampai
menyusahkan.

2
Sangat perlu kehati-hatian dalam bertindak, berfikir dan berlaku, karena
sekali kesalahan dilakukan, maka akan mencoreng kening, artinya membuat
malu, tidak hanya peribadi yang melakukan, akan tetapi terkait kepada
hubungan kekerabatan, menyamping bersaudaka, berkarib kerabat, dan keatas
kebawah dalam berbako-baki atau berkarib bait (qariibun dan ba’iidun).
3
Sebenarnya ada keharusan menjaga harta pusaka, memelihara,
memanfaatkan dan menambah. Sangat disesalkan jika perilaku hanya
menghabiskan harta pusaka itu. Ada bimbingan realitas PDPH (Pandangan
Dunia dan Pandangan Hidup) orang Minangkabau, bahwa harta bukan untuk
dinikmati kini semasa hidup pemilik harta saja, tapi ata kewajiban untuk
menjaga dan mewariskan kepada anak cucu, generasi pengganti, dalam
bentuk Harta Pusaka Tinggi (HPT) dan Harta Pusaka Rendah (HPR).
Di sini pun laki-laki sebagai suami menjadi pagar baja bagi
keluarga istrinya.
Dia harus menjadi ”sumando niniak mamak” (semenda ninik
mamak), yang tahu akan tugas dan kewajibannya di rumah istrinya.
Andaikata para jejaka yang meninggalkan rumah ibundanya
gagal dalam memenuhi bebannya, maka kesalahan tumbuh karena
kelalaian diri seorang jua adanya.

“Bukan salah bungo limbayuang


Salah dek banda mangulito
Buka salah bundo manganduang
Salah dek badan nan buruak pinto

(Bukan salah bunga lembayung


salahnya bamban manggelita
bukan salah bunda mengandung
salahnya badan yang buruk pinta)4
Kesalahan diri karena tidak hendak memperbaiki akan
berujung kepada penyesalan sepanjang hayat. Tidak dapat tidak
akan membawa badan larat melarat, berrurai air mata.
Kesalahan diri lazimnya datang karena tidak mau menuruti
nasehat dan petuah orang tua jua adanya.

“Lieklah mande dadak mande


Habih dikaih ayam sajo
Lieklah mande anak mande
Makan bakuah aia mato”

(Lihatlah bunda dedak bunda


habis dikais ayam saja
Lihatlah bunda anak bunda
Makan berkuah air mata).

Petaruh kepada seorang lelaki jejaka yang beranjak


meninggalkan rumah, dengan teguh dilakukan oleh ayah bunda.
Pesan pertama yang mesti diikuti dan dipegang dalam tata
pergaulan adalah menghormati ibu.
4
Kesalahan karena kelalaian diri bukan disebabkan karena kesalahan
keturunan. Ajaran syarak juga mengajarkan bahwa Allah tidak akan mengubah
nasib satu kaum sebelum kaum itu mengubah sikap laku (anfus) mereka lebih
dahulu. (liohat QS ar Ra’d : 11). Jadi kekuatan kato di Mingankabau
mempunyai sasaran ke arah pembentukan watak.
Di manapun kita berada ada keharusan mencari ibu atau
mandeh, sebelum mencari yang lainnya.
Senyatanya ini adalah ajaran syara’ atau agama Islam yang
hakiki, bahwa sorga dan kebahagiaan ada pada kerelaan seorang
ibu.
Ridha Allah akan diperdapat karena ridhanya ayah bunda.
Kemudian dilanjutkan bahwa sorga terletak di bawah telapak
ibu. Di sinilah pertanda hidupnya akal budi dengan menghormati
ayah dan ibu.

Kok buyuang pai ka pakan


Iyu bali balanak bali
Ikan panjang bali dahulu
Kok iyo buyuang ka bajalan
Ibu -- mande -- cari dunsanak cari
Induak samang cari dahulu

(Kalau anak pergi ke pekan


yu beli belanak beli
ikan panjang beli dahuu
kalau bujang pergi berjalan
ibu cari dunsanak cari
induk semang cari dahulu).5

Sinar dari garis ibu itulah hakikinya turunan manusia. Ibu yang
mengandung sembilan bulan sepuluh hari dengan derita di atas
derita. Garis ibu pulalah garis turunan manusia pertama kali.
Tidaklah manusia akan hadir kebumi, beranak pinak jika yang ada
hanya kaum Adam belaka.
Dari pada Adam yang ditempa dari tanah ibarat tembikar itu,
dengan kekuasaan Allah ditiupkan ruh kedalam jasadnya yang telah
berupa dan berbentuk.
Adam pun diberi kemulian dengan ilmu. Dihiasi pula hidupnya
dengan kehendak, nafsu dan keinginan yang dikendalikan oleh akal
fikiran sehat , dan dikunci oleh akal budi. Konon, dari batang tubuh
Adam ini diambil sebilah tulang rusuknya oleh Allah Azza Wajalla
untuk menciptakan nenek kita Siti Hawa.

5
Penghormatan terhadap ibu menjadi pelajaran utama penghormatan kepada
siapa saja. Penghormatan kepada ibu adalah sederjat di bawah pengabdian
kepada Allah SWT.
Sesungguhnya, peristiwa ini ibrah atau ibarat sangat dalam
bahwa lelaki dan perempuan adalah batang tubuh yang satu Maka
ada kewajiban, bahwa antara satu dan lainnya, antara kaum lelaki
dan kaum perempuan, mesti saling menjaga harkat kemuliaan.
Dari batang tubuh yang satu itu pula kemudian dilahirkan laki-
laki dan perempuan yang banyak, beranak pinak, bercucu bercicit,
hingga kegenerasi kini dan esok, sampai hari kiamat nanti.
Maka nasehat dan petuah tidak semata datang dari ayah.
Tetapi bermula dari ibu, melalui jujai dan menjujai.
Di sini kita melihat kearifan budaya adat Minangkabau yang
meletakkan penghormatan kepada mande hingga memakai sistim
matrilineal, yang bukan matriarchaat, sebab kekuasaan ayah masih
dominan dalam nasab.
Karena itu, orang Minangkabau bernasab ke ayah, bersuku
ke ibu dan bersako ke mamak, dengan artian bermartabat gelar
dari mamaknya.
Maka nasehat mande adalah symbol garis turunan ibu. Ketika
nasehat mande tidak dihiraukan, bencana akan dating timpa
bertimpa, dan malapetaka mengintai dimana-mana.

Ijuk akan sama di hamparan,


berbandar ke Limau purut,
esok akan sama dirasakan,
nasehat bunda tidak diturut.

(ijuk akan sama di hamparan,


Berbandar ke Limau Purut,
Esok akan sama dirasakan,
Bila nasehat bunda tidak dituruti.

Walaupun bahaya itu dirasakan juga bersama-sama kelak


kemudian hari di yaumil mahsyar (isuak kan samo dirasokan).
Namun ucapan kato dari ibu itu bukan berarti penyesalan, akan
tetapi hanyalah karena hendak berbagai sedih saja.
Hakekat nasehat dari mande dalam garis keturunan ibu, jika
selalu diperpegangi akan menjadi sesuatu yang baik.

Siriah naiak junjuangan naiak


Bari bajanjang kayu laban
Sansai baiak binaso baiak
Badan ang juo manangguangkan
(sirih naik junjungan naik
beri berjenjang kayu laban
sengsara baik binasa baik
badanmu juga menanggungkan)

Ibu yang memberikan pedoman dan nasehat itu tidak akan


apa-apa, anak laki-laki yang akan menanggungkan (merasakan),
bila menyimpang dari ketentuan pesan tersebut.
Seorang laki-laki secara fitrah banyak menentukan sesuatu
perbuatan dengan alamnya. Andaikata dalam sesuatu pencapaian
harapan, di alami benturan-benturan kehidupan, maka kembalilah
harapan itu ditumpahkan kepada ibu (bukan ayah), sebagaimana
harapan Malin Deman kepada Mande (ibu) Rubiah yang melakoni
peranan ibu Minangkabau dalam Kaba Malin Deman:

“Anak todak dikulik lokan


Disemba dek buruang alang
Dibao tabang ka sasaran
Hinggok di rantiang kayu landak
Jikok indak mande katokan
Nyao putuih badanlah hilang
Tasirah tanah pakuburan
Kasiah sayang bacarai indak”

(anak todak di kulit lokan


disambar oleh burung elang
dibawa terbang ke sasaran
hinggap di ranting kayu landak
jika tidak bunda katakan
nyawa putus badanlah hilang
termerah tanah pekuburan
kasih sayang bercerai tidak).6

Dalam sikap hidup bermasyarakat dijelaskan dalam fatwa


adat:

“Kaluak paku kacang balimbiang


pucuaknyo lenggang-lenggangkan
dibao urang ka Saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Dijago nagari jan binaso.
6
Kasih sayang ibu sepanjang jalan, tidak akan pernah habis. Maka
penghormatan kepada ibu adalah pelajaran utama yang menjadi PDPH di
Minangkabau
(keluk paku kacang belimbing
pucuknya lenggang-lenggangkan
dibawa orang ke Saruaso
Anak dipangku kemenakan dibimbing
Orang kampung dipertenggangkan
Dijaga nagari jangan binasa).7

Dalam pepatah adat, akan digambarkan sebagai obyek


penelaahan akan tetapi juga harus dijadikan suri tauladan sebagai
guru, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan berikut:

"Panakiak pisau sirauik


Ambiak galah batang lintabuang
Salodang ambik ka nyiru
Nan satitiak jadikan lauik
Nan sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadikan guru"

(Penakik pisau seraut


ambil galah batang lintabung
salodang jadikan niru
yang setitik jadikan laut
yang sekepal jadikan gunung
alam terkembang jadikan guru).8

Di sini ternyata lagi, betapa besar pengaruh monisme yang


mengakibatkan aspek emosional bahasa itu. Coba kita perhatikan
pepatah adat Minangkabau berikut:

"Kalau dibalun sabalun kuku


Kalau dibantang saleba alam
Walau sagadang bijo labu
Bumi jo langik ado didalam"

(Kalau digumpal sekecil kuku


kalau dibentang selebar alam
Walau sebesar biji labu
Bumi dan langit ada di dalam).

"Kalimaia ditimpo batin


Mati ditimpo galo-galo
7
Selain menjaga keluarga satu nasab, dan kaum se suku, maka orang se
kampung juga menjadi tanggung jawab bermasyarakat.
8
Belajar kepada alam sebagai satu sunnatullah akan mempertajam kearifan di
dalam berusaha, dan menempuh kehidupan di dunia.
Dalam laia ado babatin
Dalam batin bakulimaik pulo

(Kelemayar ditimpa batin


mati ditimpa gala-gala
dalam lahir ada berbatin
dalam batin berkelipit pula).

Emosi yang kuat dapat meraba isi ungkapan paradok di atas.


Begitupun "dalam laia ado babatin" merupakan alihan dari
"dalam tersurat ada tersirat". Oleh sebab itu pula pepatah-pepatah
seperti dibahas tidak kita pandang sebagai sikap pesimistis, sebab
selamanya harus dicari pada daerah jangkauan emosi.
Perhatikanlah pula pepatah yang berikut ini ;

"kok mandi di hilia-hilia


kok manyauak di bawah-bawah
kok bakato marandah-randah
kok anak bapisau tajam
kok bapak badagiang taba

sapandai-pandai mancancang
tungkahan juo nan kalusuah
sapandai-pandai batenggang
sipangka juo nan ka luluah"

(kalau mandi di hilir-hilir


kalau menyauk di bawah-bawah
kalau berkata merendah-rendah
jika anak berpisau tajam
kalau ayah berdaging tebal
sepandai-pandai mencencang
landasan juga yang akan lusuh
sepandai-pandai bertenggang
sipangkal juga yang akan luluh).9

Penghargaan terhadap alam mengajak emosi untuk


menempuh jalan belakang, atau dari seluruh penjuru (atau yang

9
Setiap peribadi orang Minangkabau harus mempunyai persiapan yang cukup
matang, karena individualism tidak berlaku di dalam kehidupan kekerabatan di
Minangkabau. Kebaikan akan diraih dalam kebersamaan. Karena itu, sikap
sombong dan membanggakan diri sangat tidak diterima di dalam tata
pergaulan bermasyarakat. Umumnya masyarakat yang hidup dalam realitas
kebersamaan akan lebih kuat dari pada kehidupan yang ditata hanya untuk
kepentingan sendiri-sendiri semata.
tersirat) untuk memperoleh hakekat yang dikandung oleh pepatah
tersebut. Nanti jika emosi sudah sanggup meraba, barulah pikiran
kita menampak kebenarannya.
Demikian terang, betapa aspek emosional itu selalu
bergandengan dengan logika dalam bahasa Minangkabau yang
berfungsi sebagai pendalam pengertian dan menjaga keindahan
bahasa.
Namun aspek ini tidaklah mengarah kepada ungkapan "Bila
emosi telah berbicara, pupuslah (habislah) semua pertimbangan
akal".
Maka dalam bertutur bahasa Minangkabau, emosi
mengendalikan akal pikiran, dan dalam semasa pikiran juga
memandu emosi. Di sini terlihat besarnya hikmah yang
dianugerahkan Allah SWT kepada manusia.
Allah SWT berfirman, “man yu’ta al hikmata faqd utiya
khairan katsiran”, maknanya, siapa yang diberi hikmah tentulah dia
telah mendapatkan anugerah yang sangat besar.
Hikmah diperdapat melalui ajaran agama (syarak mangato),
dan melalui pembelajaran, pendalaman dan pemahaman dari ilmu
pengetahuan. Di samping itu, yang paling menentukan pula di
dalam pembentukan watak anak manusia adalah, pembiasaan terus
menerus dari kebiasaan (‘urf) luhur, yang telah tumbuh dan
berekembang baik sejak anak-anak turunan berusia dini.
Pendidikan watak itu, dimulai dari pembiasaan berbahasa
yang santun, elok dan indah dari lingkungan keluarga, rumah
tangga dan pergaulan keseharian. Dari sini dimulai langkah PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini) itu.
Kedua unsur di antara "rasa dan periksa" itu, akan selalu isi
mengisi. Di sini pula terlihat keharusan materi pendidikan untuk
sebisanya dapat mempertimbangkan aspek rasa dan aspek logika
dalam masyarakat.
Bagi orang tua-tua di Minangkabau hal ini disadari sebagai
tanggung jawab mereka. Tanggung jawab untuk mewariskan kepada
generasi pelanjut yang akan datang. Agar tata berbahasa di dalam
mengungkapkan maksud dan tujuan yang akan di utarakan jelas
serta tidak menghadirkan konflik, baik bagi yang mengungkapkan,
apalagi bagi yang akan menerima.
Kehati-hatian dengan perilaku seseorang sangat penting, oleh
karena akibatnya tidak ditanggung sendirian saja. Moral ini
digagaskan oleh pepatah:
"ingek-ingek nan mamanjek
nan di bawah jaan jatuah
ingek dahan nan ka maimpok
rantiang kok nan kamalato"

(ingat-ingat yang memanjat


yang di bawah jangan jatuh
ingat dahan yang akan menimpa
ranting yang akan melata).

Selanjutnya konsep tentang hidup bersama dapat dilihat dalam


fatwa berikut:

"dikaba baik baimbauan


dikaba buruak ba ambauan
jauah cinto mancinto
dakek jalang manjalang”,

(jika ada kabar baik diimbaukan


jika ada kabar buruk berdatangan
jika jauh ingat mengingat
bila dekat jelang menjelang).

Konsep mengenai perimbangan pertentangan, sebagaimana


keharusan sifat manusia yang tidak mungkin baik selalu atau jahat
selalu Sebagaimana dipahami dalam kehidupan bahwa “inna az
zaman qad istadara”, artinya “zaman selalu berubah dan
musim senantiasa berganti, maka tidak mungkin manusia dan
satu keadaan tetap adanya. Yang selalu ada adalah berubah selalu.
Perubahan, bagaimanapun deras ataupun tenangnya hanya
mungkin diarahkan kepada satu jurusan yang dikehendaki dengan
pertolongan pengaruh luar
Dalam hal penggunaan bahasa ungkapan di Minangkabau,
juga diterapkan dengan bahasa dan sastra yang indah. Seperti ;

"sayang di anak dilacuk-I,


sayang di kampuang ditinggakan"

(sayang pada anak dilecuti,


sayang pada kampung ditinggalkan).
Penggunaan ungkapan ini memberi arti dalam kehidupan
berkeluarga. Peringatan dan pendidikan tetap dilakukan dengan
kasih sayang. Namun, di dalam pelaksanaan, atau realitas masih
terbuka kemungkinan, ketika bersua pembangkangan.
Kedua orang tua yang memiliki wewenang mendidik dan
membentuk watak generasi pelanjutnya, masih mempunyai jalan
terbuka. Penerapan aturan yang tegas, untuk melaksanakan
hukuman atas pembangkangan, dan dilakukan semata karena kasih
sayang jua adanya. Sekali bukan karena balas dendam tanpa
kendali.
Di sinilah kekuatan sastra lisan Minangkabau, yang tidak
hanya kuat dalam ungkapan tetapi juga teguh dalam konsep. Di
dalam sikap bergaul, konsep keseimbangan ini tetap dijalankan.
Sebagai dijelaskan oleh pepatah kehidupan sebagai berikut ;

"jikok tagang bajelo-jelo


jikok kandua badantiang-dantiang
dari pai suruik nan labiah
samuik tapijak indak mati
alu tataruang patah tigo"

(jika tegang berjela-jela


jika kendur berdenting-denting
dari pergi surut yang banyak
semut terpijak tidak mati
alu tertarung patah tiga).10

Hendaklah dimaklumi, bahwa perimbangan pertentangan itu


terlihat juga dalam menentukan serta melaksanakan berbuat,
seperti dilukiskan dengan indah penuh makna di dalam ungkapan
berikut:

"mancancang indak mamutuihkan


manikam indak manabuak-i
mangauik indak mangameh-an
mangaruak indak mahabih-i"

(mencencang tidak memutuskan


menikam tidak menembus
meraup tidak mengemasi
mengeruk tidak menghabisi).

10
Satu kearifan budaya yang kuat itu adalah kemampuan mengendalikan diri.
Konsep hidup bergaul dengan mengedepankan
keseimbangan, menjadi kekuatan besar di dalam berhadapan
dengan lawan.
Taktik yang tepat dan tidak semata lihai tidak dapat tidak
harus dipakai. Semacam penerjemahan langsung dari bimbingan
syarak “fabima rahmatin min Allah, lintalahum …” , artinya
dengan rahmat Allah dan kelembutan menghadapi cara-cara
lawan, dan dengan keteguhan prinsip beradat yang dipunyai
generasi Minangkabau, niscaya akan lintuh hati lawan itu.
Prinsip perimbangan dan pertentangan juga dapat terasa
di dalam sastra pepatah Minangkabau, sebagai berikut:

"kok taimpik nan di ateh


kok takuruang nan di lua
angguak anggak geleang amuah
unjuak nan indak babarikan"

(jika terhimpit yang di atas


jika terkurung yang di luar
angguk enggak geleng mau
unjuk yang tidak diberikan).
Ada satu kesalahan dalam pemakaian istilah sastra pepatah
yang satu ini. Sering diganti kata nan (artinya yang) dengan kata-
kata nak (artinya hendak). Makna dan maksudnya akan jauh
berbeda.
Hal yang diungkapkan pepatah ini dilakukan ketika
berhadapan dengan musuh. Atau ketika melakukan kegiatan
diplomasi. Sebab, dalam perkara tersebut dalam realitas amat
diperlukan berpandai-pandai bersilat lidah, untuk menampik
argumentasi lawan berbicara.
Sebuah contoh lagi tentang penerapan konsep bahasa, yaitu
konsep mengenai kriteria masyarakat yang digambarkan dengan
predikat "kato" (kata). Ada delapan golongan yang digambarkan
dengan "kato" dimaksud, yaitu:

"kato pangulu kato manyalasai


kato ulama kato hakikaik
kato rang tuo kato nan bana
kato rang mudo kato bamanih
kati rajo kato malimpah
kato padusi kato marandah
kato rang banyak kato bagalau
kato anak-anak kato mangadu"

(kata penghulu kata menyelesaikan


kata ulama kata hakekat
kata orang tua kata yang benar
kata orang muda kata bermanis
kata raja kata melimpah
kata wanita kata merendah
kata orang banyak kata bergalau
kata anak-anak kata mengadu).11

Selain dari pada delapan kata itu, maka konsep kato yang
mesti dipakai oleh generasi muda di dalam meningkatkan pergaulan
hidup, antara lain ;

"kok pai anak marantau


mandilah di bawah-bawah
manyauk di ilia-ilia
tapi kok dipakok urang banda sawah
dialiah urang latak pasupadan.
Busuangkan dado buyuang padek-padek
Paliekkan tando wa ang laki-laki
Jaan takuik tanah tasirah
Aso ilang duo tabilang
Sabalun aja bapantang mati
Namun di dalam kabanaran
Bia dipancuang lihia putuih
Satapak nan jaan namuah suruik"

(kalau pergi anak merantau


mandilah di bawah-bawah
menyauklah di hilir-hilir (jangan membangga diri)
tapi kalau ditutup orang bandar sawah
digeser orang letak batas tanah
busungkan dadamu buyung, teguh-tegap,
perlihatkan tandamu laki-laki
jangan takut tanah akan merah
esa hilang dua terbilang
sebelum ajal berpantang mati
namun di dalam kebenaran
biar putus leher dipancung

11
Setiap orang berjabatan masing-masing, setiap pekerjaan ada bagiannya yang
mesti dilewati menurut tata cara yang baik. Sesuatu akan selalu indah,
manakala terletak pada tempatnya yang tepat.
setapak jangan mau mundur).12

Selanjutnya konsep yang mengandung nilai pendidikan


(paedagogis) dalam setiap perbuatan, tidak boleh berlaku
kesewenangan. Baik dalam ungkapan, arti ataupun tindakamn.
Semua ungkapan haruslah mempunyai maksud (tujuan) yang
terang:

"kok balaia manuju pulau,


bajalan manuju bateh,
malantiang manuju tampuak,
bakato manuju bana"

(bila berlayar menuju pulau,


berjalan menuju batas,
melenting menuju tampuk,
berkata menuju benar).13

Sedangkan sikap yang setengah-setengah atau tanggung-


tanggung di dalam berfikir atau berbuat menjadi satu yang amat
disesali.
Konsep kehidupan mendua sangat dicela. Hilangnya
keteguhan mesti dijauhi. Fatwa adat telah menjelaskan sebagai
berikut ;

"kapalang tukang binaso kayu


kapalang cadiak binaso adaik
kapalang alim rusak agamo
kapalang paham kacau nagari"

(alang tukang terbuang kayu


alang cerdik binasa adat,
alang alim rusak agama
alang paham kacau nagari).

Kehidupan beradat adalah kehidupan berbudaya yang


dituntun oleh akhlak agama, atau sejalan dengan ajaran syarak
(syari’at) Islam.

12
Di manapun berada kerja utama adalah berbuat yang benar, dan
mempertahankan kebenaran. Akidah, keyakinan, adab sopan wajib
dipertahankan, dipelihara dan dijaga dengan sesungguh hati. Jika tidak, maka
kebinasaan akan dirasakan.
13
Kekuatan kato di Minangkabau terletak pada kebenaran
Masyarakat yang hidup dalam pergaulan tanpa mempunyai
akhlak mulia sesuai tuntunan agama Islam, akan meraih kehidupan
yang sengsara. Fatwa adat menyebutkan sebagai berikut:

"dek ribuik kancang ilalang


katayo panjalin lantai
iduik nan jaan mangapalang
kok tak kayo barani pakai"

(karena ribut goncang hilalang


ketaya penjalin lantai
hidup jangan alang kepalang
bila tak kaya berani pakai).

"Sutan tumangguang manjua padi


duduak basukek di ateh dadak
bujang tangguang gadang tak jadi
apo ka namo badan awak"

(sutan temenggung menjual padi


duduk bersukat di atas dedak
bujang tanggung besar tak jadi
apa akan nama badan diri).14

Di dalam bertutur kata dan menggunakan bahasa sebagai alat


komunikasi dalam pergaulan hidup bermasyarakat, perlu
diperpegangi bimbingan pepatah adat di bawah ini, yaitu:

"kok bakato paliharokan lidah


kok maliek paliharo mato,
mandanga paliharokan talingo
malenggang paliharokan tangan
bajalan paliharokan kaki
ingek rantiang nan ka malato
dahan nan ka manimpo"

(jika berkata peliharakan lidah


bila melihat pelihara mata,
mendengar pelihara telinga
melenggang pelihara tangan
ingat ranting yang akan melata
dahan yang akan menimpa)15
14
Tidak boleh hidup tidak dengan ilmu pengetahuan. Selalu giat dan dinamis.
15
Generasi Minangkabau mesti menjaga selalu kesopanan, baik itu dalam bertutur kata, atau juga di
dalam berperilaku, dalam interaksi one to one relationship.
Sebagian dari "kato pusako" itu, telah tertuangkan dalam
sastra lisan anak nagari di Minangkabau, menjadi ungkapan tutur
sehari-hari, menjadi panduan dalam berhubungan kata satu dan
lainnya. Kata petuah adat menyebutkan sebagai berikut:

"nan babarih babalabeh


nan baukua nan bajangko
tantang takuak tibo tabang
tantang ukua tibo kabuang
tantang barih tibo paek
tantang sakik lakek ubek
jalan pasa nan ditampuah
sumua elok nan ditimbo
aia janiah nan disauak"

(yang bergaris berbelebas


yang berukur yang berjangka
tentang tekuk tiba tebang
tentang ukur tiba kabung
tentang garis tiba pahat
tentang sakit lekat obat
jalan pasar yang ditempuh
sumur elok yang ditimba
air jernih yang disauk).
Bagaimanapun situasi dan tempatnya, hasrat untuk berbasa
basi dalam masyarakat beradat di Minangkabau sangat menonjol
sekali.
Hal ini terlihat nyata dalam satu realitas Pandangan Dunia dan
Pandangan Hidup (PDPH) orang Minangkabau, terutama ketika telah
berhadapan dengan tamu. Kendatipun pada hakekatnya, tidak
sesuatupun yang mungkin dapat disuguhkan kepada tamunya
secara materi, namun basa basi tetap mengemuka. Fatwa di bawah
telah ikut menjelaskan hal seperti itu:

"Indak nan sirah dari sago


indak nan kuriak dari kundi
indak nan indah dari baso
indak nan baiak dari budi"

(tidak yang merah dari saga


tidak yang kurik dari kundi
tidak yang indah dari basa
tidak yang baik dari budi).

Fatwa diatas diperjelas kedudukannya dalam suatu anjuran,


untuk selalu berupaya melenyapkan akibat yang tidak baik yang
hendaklah dilakukan:

"Pucuak pauah tangah tajelo


panjuluak bungo galundi
nak jauah silang sangketo
paaluih baso jo basi"

(pucuk pauh tengah terjela


penjuluk bunga galundi
agar jauh silang sengketa
perhalus basa dan basi).

Tatanan berbahasa yang baik itu menjadi bukti kuatnya kato


di Minangkabau, yang tidak semata kepada pemakaian langgam
dan tutur ucap, tetapi lebih dalam kepada makna petuah, atau isi
pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Pesan agama menyatakan, “fal yaqul khairan aw
liyashmuth” artinya berucaplah yang baik atau kalau tidak ada
lagi yang baik itu, lebih baik diam.
Wabillahitaufiq wal hidayah.

Anda mungkin juga menyukai