Anda di halaman 1dari 3

PARIANGAN

Pariangan adalah nagari, di Kabupaten Tanah Datar, yang terletak antara Padang Panjang
dengan Batu Sangkar.

Di lereng sebuah bukit, seratus meter jalan menuju Pariangan dari Kota Padang Panjang,
terletak sebuah lembah yang bernama Biaro. Nama biaro berasal dari kata Sangsekerta
vihara, yang mempunyai arti rumah atau asrama tempat para biksu atau pertapa mempelajari
ajaran Budha yang sakral.. Di Sumatera Barat, nama biaro terdapat 3 biara, yaitu Biaro di
Pariangan, Biaro dekat Baso, dan Biaro ……… dekat Panti. Ketiga tempat ini dapat
dihubungkan dengan warisan nama vihara atau biaro, tempat belajar agama Budha

Di lembah Biaro terletak sebuah masjid nagari Pariangan yang dikelilingi oleh surau-
surau pasukuan yang ada di Pariangan. Sedangkan surau-surau di nagari lain di Minangkabau
berada di tanah kaum atau pasukuan masing-masing. Susunan masjid dan surau dalam suatu
lokasi, seperti di Biaro, ini merupakan warisan "desa perdikan" dari vihara yang didirikan
oleh Adityawarman yang beragama Budha.

Di kaki tebing lainnya terletak pula sebuah prasasti Adityawarman yang tulisannya telah
kabur. Namun yang masih terbaca abad ke-12 Çaka atau abad ke-13 Masehi. Beralasan
kiranya bahwa di lembah ini Adityawarman mendirikan biara tempat mempelajari agama
Budha yang sakral. Sekaligus suatu pemecahan masalah pemuda dalam masyarakat
Minangkabau yang matrilineal yang tidak mempunyai tempat di rumah (gadang) orang
tuanya. Sedangkan sesudah kawin pun, ia hanya seorang tamu di rumah isterinya, sumando.

Di lembah Biaro, didapati sumber air panas yang berasal dari Gunung Merapi. Air ini
mengalir ke Batang Bengkawas. Pada salah satu sudut lembah ini mata air panas itu
dinamakan Rangek Rajo, yang artinya Tempat Permandian Raja.

Di kaki tebing ujung ke ujung lembah ini ada dua buah batu yang disebut orang dengan
Batu Tagak. Keduanya menghadap ke Gunung Merapi dan merupakan batu menhir, menurut
penelitian DR. Bennet Bronson (1974) dari Pennsylvania Museum, Amerika Serikat

Sesudah mendaki dari lembah Biaro, kita tiba di Kuburan Panjang. Menurut ceritera
orang tua-tua di Pariangan adalah kuburan Tan Tejo Gurhano, seorang ahli bangunan arsitek
rumah gadang di Minangkabau. Ia dikatakan “maatok sambie duduak, manurang sambie tagak”
(memasang atap sambil duduk dan melekatkan tegak). Panjang kuburannya 21 m; panjang bukan
karena tinggi badan, tetapi tinggi martabat. Kuburan semacam ini sengaja dibuat bagi seorang
yang berjasa dalam masyarakat. Kuburan seperti ini mengingat kita pada kuburan ……….. di
………….. Mojopahit.

Di Medan Nan Bapaneh terletak batu duduk dan batu sandaran yang jumlahnya delapan
buah, sebanyak penghulu di Pariangan yang ada di nagari Pariangan. Medan Nan Bapaneh
dinamakan juga dengan Balai Nan Saruang yang dikatakan balantai tanah, baatok langik,
berdinding embun. (berlantaikan tanah, beratap langit dan berdinding embun). Ungkapan ini
menggambarkan perjuangan nenek moyang kita ketika beremigrasi dari tanah basa. Petunjuk
dari tambo mengenai, “lauik samato dahulunyo, baru banamo Pulau Paco” artinya dari
kejauhan rombongan Maharajo Dirajo tersebut melihat gunung Merapi sebesar telur itik. "
Kutiko langik lah berenjeng naiak, bumi mahantak turun, lalu balabuah parahu nantun di
Labuhan Si Tambago di lereng gunung Merapi,

Tempat moyang orang Minang di lereng Gunung Merapi tersebut dalam tambo disebut
sebagai “Langgundi nan baselo, di kumpai nan barayun, Sirangkak nan bakadang, di buayo
nan putiah daguak, “ dan seterusnya.

Setelah rakyat makin berkembang maka dibuatlah nagari pertama Pariangan, yang batas-
batasnya disebut, sehiliran batang Bengkawas, seedaran Gunung Merapi. Tambo menyebut
kawasan Pariangan itu terletak di: Galundi nan baselo, sabalah bukit siguntang, di batu
hamparan putiah, di bawah banto nan barayun, di sinan sawah satampang baniah. (galundi
yang bersila, di sisi Bukit Siguntang, di atas batu hamparan putih, di bawah rumput yang
bergoyang, di situ (ada) sawah setampang benih). Kemudian disusul dengan nagari Padang
Panjang, sehingga terbentuklah nagari kembar Pariangan-Padang Panjang, sebagaimana lazim
menganggapnya nagari tertua di Minangkabau. Penduduk mulai menaruko, membuka sawah
baru. Kawasan Guguak Ampang di sekitar nagari pertama itu merupakan empangan (irigasi)
pertama yang dibangun untuk mengairi persawahan yang diteruka.

Di Medan Nan Bapaneh ini Datuk Suri Dirajo mengadakan sidang musyawarah untuk
menyusun nagari Pariangan Pariangan. Nagari disusun untuk merantang kehidupan di Ranah
Minang dengan adat, undang dan peraturannya. Itulah balai yang tertua di negeri Minang.
Balai kemudian berkembang menjadi balai-balai tempat para penghulu duduk bersama
bermufakat, menyusun adat dan undang-undang nagari, sebagai salah satu syarat berdirinya
sebuah nagari. Untuk menjalankan undang-undang berdasarkan adat itu diserahkan kepada
Datuk Bandaro Kayu untuk Pariangan dan Datuk Maharajo Basa untuk Padang panjang
.
Tambo selanjutnya menyebutkan, tatkalo sumua ka digali, rantiang ka dipatahkan (ketika
sumur akan digali, ranting akan dipatah), disusun nagari Pariangan lengkap dengan adat dan
undang. Tambo menyebut, dibuek adat, dikarang undang, disusun tangkai ciek-ciek, dipaku
ka tiang panjang, basuah lalu ka lautan. Pariangan adalah nagari pertama dibangun niniak
moyang kita, dilengkapi dengan bangunan rumah gadang TanTejo Gurhano) dan pertanian
(sawah satampang baniah).

Pemerintahan adat yang mula berdiri di Pariangan Padang Panjang, dengan batas seiliran
Batang Bengkawas, hingga Guguk Ampang hilir, sampai ke Bukit Tambusu mudik.
Pemerintahan adat di Pariangan Panjang disebut Lareh Nan Panjang. Kemudian barulah
berdiri pemerintahan adat Koto Piliang di bawah pimpinan Datuk Katumanggungan di Bungo
Satangkai, Sungai Tarab. Kelarasan Bodi Caniago di bawah pimpinan Datuk Parpatiah Nan
Sabatang yang berkedudukan di Dusun Tuo.

Sumber:Yayasan Citra Budya, Menelusuri Sejarah Minangkabau, kumpulan kertas kerja/makalah, terpilih,
Amrin Imran et. al., Padang 2002

Anda mungkin juga menyukai