Anda di halaman 1dari 106

A.

LINTASAN SEJARAH MINANGKABAU


A.1. Pengantar

Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke
Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit
yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau
yang telah berusia ribuan tahun.

Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian
Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru,
Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.

Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan
berkembang sampai ke zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang
kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah
timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan
Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan
perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh
Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang
sama pula.

Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia
yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara
dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang
diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang kira-kira pada
tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa
Indonesia sekarang.

Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh
para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang
menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang
datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang
berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.

Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang
Minangkabau adalah bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai
tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi
yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa
yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan
cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.

Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun
336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya
merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada
taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan

1
timur.

Tokoh Iskandar Zulkarnain dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat
diterima kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di
samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh Iskandar
Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja merupakan seorang
tokoh legendaris.

Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang
anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima Iskandar
Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya
daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan para penguasa di
Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya. Sayangnya
Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”pada masa
dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.

Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung
merapi. Hal ini tidak dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan
orang Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu
mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak langsung”. Tafsirannya
kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar menuju pulau emas
dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia
melihat daratan yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan
tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu gunung merapi yang sangat besar. Tetapi oleh
pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil yang mula-mula kelihatan itulah
yang dikatakan sebagai tanah asal orang Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang
demikian, juga masih ada sampai sekarang pada zaman kita ini.

Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang
Guno Dirajo: ”...Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang
talua itiak, sadang dilamun-lamun ombak...” (sesudah lama berlayar akhirnya
kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang kelihatan hanya
timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).

Selanjutnya dikatakan:”...Dek lamo - bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong
lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian, lorong
kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang marapi...” (karena
sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil tadi makin besar,
daratan yang kelihatan itu tak obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu
dengan pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-
kira di gunung merapi).

Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi “dari
mano titiak palito, dari telong nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari puncah
gunuang marapi” (dari mana titik pelita dari telong yang berapi, dari mana datang

2
nenek kita, dari puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang masih
dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..

Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya
melainkan adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang
orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang waktunya sangat
lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan dengan masuknya nenek
moyang orang Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek moyang orang
Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima
sebelum masehi dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur
kebudayaan megalit itu sendiri.

Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut Soekomo, tradisi
Megalit pada mulanya merupakan batu yang dipergunakan sebagai lambang untuk
memperingati seorang kepala suku. Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya
peringatan itu berubah menjadi penghormatan yang lambat laun menjadi tanda
pemujaan kepada arwah nenek moyang.

Bagaimana dengan megalit yang terdapat di Minangkabau? Barangkali fungsi


pemujaan terhadap arwah nenek moyang masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya
di Indonesia. Tetapi jika kita hubungkan Menhir itu dengan kehidupan orang
Minangkabau yang berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk
bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman
pra sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau dan
keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi.

Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka


masyarakat sekarang di tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di Sungai Belantik,
Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang
Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang
seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang
pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang.
Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk
menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke
suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian
kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian
menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian tempat
bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan nan Bapaneh”.

Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat
sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang
utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong
yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau
sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-

3
peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.

Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara Adat Nan Sabana Adat sudah hidup
di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau
itu sendiri, yaitu Alam Takambang jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat
berisi tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang
seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam malukoi, adat
runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat air membasahi, adat
tajam melukai, adat runcing mencucuk).

Demikian juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum
yang berlaku dalam masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa yang
dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim dan tidak boleh dibantah yaitu hukum
adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh), mumbang kalau jatuh
tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi. Selanjutnya juga ada hukum yang bernama
“si gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping
itu juga terdapat hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas
persis seperti hukum rimba.

Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini.
Hukum Tariak Baleh hampir sama dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya
orang yang membunuh harus di hukum bunuh pula.

Keempat macam hukum adat itu memang sesuai dengan zamannya dimana belum
terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai
kapan berlakunya hukum ini mungkin berlangsung sampai masuknya agama Islam
pertama ke Minangkabau kira-kira abad ketujuh.

Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu


kira-kira abad ketujuh, dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati
kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut
agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis
baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya
sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian diakhir bahagian ketiga abad
ketujuh itu zaman purba Minangkabau sudah berakhir.

A.2. Zaman Mula Sejarah Minangkabau


Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi
kurun waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa tersebut
masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi dengan adanya berita-
berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi dari berita Cina
yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia
lainnya juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai
Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum
banyak yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera sejarah,

4
karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya seakan-akan
berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman ini Soekomono
memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu peralihan dari zaman
Prasejarah ke zaman sejarah.

Berita dai Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara
semu mengenai hal ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang
Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut:
”...tak kalo maso dahulu...”...(Diwaktu zaman dahulu),. ”...dari tahun musim baganti,
dek zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan
balansuang...” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena
masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”... Antah barapo
kalamonyo...”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang demikian memang
sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian zaman dahulu itu saja sudah
mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.

Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan
kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini
agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah ada berita-berita dari Cina.
Dapat dikatakan, bahwa cerita sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau ini
sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap
dalam sejarah Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra
Sejarah dengan zaman sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan
lagi kabur, tetapi sudah gelap gulita.

A.3. Zaman Minangkabau Timur

Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M. D. Mansoer dkk,
dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua
periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ketujuh
sampai kira-kira tahun 1350 dan periode Minangkabau Pagaruyung antara tahun
1347-1809.

Dikatakannya, bahwa kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat


perekonomian, politik dan budaya yang pertama timbul dan berkembang di
Minangkabau adalah di lembah aliran Batang Hari dan Sungai Dareh. Daerah itu
berkembang pada abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.

Secara geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk
dilayari oleh kapal-kapal dagang yang dapat berlayar sampai masuk jauh
kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah yangdahulu didatangi oleh
nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar sampai ke daerah Mahat di
Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara. Pedagang-pedagang Islam yang mula-
mula ke Minangkabau juga melalui daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu periode
Minangkabau ini menjadi sangat ramai sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun
masuk dari sini, baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri, maupun

5
yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan lain-
lain.

Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah
berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah
mereka menempati kepulauan Nusantara dan hidup secara terpisah, akhirnya karena
lingkungan alam kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami
perubahan seperti yang kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau,
Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bali dan lain-lain.

Pada zaman purbakala, di Asia terdapat dua jalan perdagangan yang ramai antara
Barat dan Timur, yaitu melalui darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan
Sutera, mulai dari daratan Cina melalui Asia Tengah sampai ke Laut Tengah.
Perhubungan darat ini sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi. Waktu
dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan darat ini
terutama menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah (Romawi) diwaktu itu
dibawah raja Iskandar Zulkarnain dan selanjutnya dengan menyinggahi daerah
sepanjang perjalanan seperti India, Persia dan lain-lain.

Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui selat Malaka terus ke Teluk
Persia dan Laut Tengah. Perhubungan laut ini menjadi sangat ramai pada awal abad
pertama Masehi, karena jalan darat mulai tidak aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-
daerah di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah perhubungan
antara perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan pedagang-
pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang Minangkabau ikut
aktif berdagang.

Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan dengan India,


maka terbuka pulalah perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat
masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau
Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan dengan
India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.

Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang Minangkabau ikut terlibat dalam kancah


lalu lintas perdagangan yang ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan
Minangkabau di daerah aslinya sendiri yang jauh terletak di pedalaman.

Karena selat Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan India
maka salah satu bandar diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga akhirnya
umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu ini menurut para ahli berpusat di
daerah Jambi yang sekarang dan diperkirakan berdirinya pada awal abad ketujuh
Masehi. Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku Tseh
Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan
utusan kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu
itu daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.

6
Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di
Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian sesudah
kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi
bahagian dari kerajan Sriwijaya.

Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan


Minangkabau Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut
tentang Melayu dan Sriwijaya saja.

Dalam satu buku yang disusun oleh It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun
690 Masehi, Sriwijaya meluaskan daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat
ditaklukannya sebelum tahun 692 Masehi.

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai, negara perniagaan dan
perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam
abad kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan utama di daerah nusantara waktu itu.
Namun sementara itu di Jawa mulai timbul kerajaan-kerajaan baru yang lama-
kelamaan menjadi saingan utama dari kerajaan Sriwijawa dalam merebut hegemoni
perdagangan di wilayah nusantara yang menyebabkan lemahnya Sriwijaya.

Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama adalah kerajaan Kediri di Jawa
Timur dan Kerajaan Colamandala di India selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu,
rupanya kerajaan Melayu dapat melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat memperkuat
diri kembali dengan memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu Sungai Batang
Hari. Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari
prasasti Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si Guntur dekat
Sungai Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.

Pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari (kerajaan yang
menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa Timur) mengirimkan suatu ekspedisi militer
ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan Sriwijaya dan memperluas
pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal dalam sejarah Indonesia dengan
nama ekspedisi Pamalayu.

Sebagai hasil dari ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan
acara Amogapasa ke Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan Melayu.
Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa semenjak peristiwa itu kerajaan Melayu
sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi daerah tumpuan untuk menghadapi
kemungkinan serangan dari negeri Cina akibat peristiwa penghinaan terhadap utusan
Cina sebelumnya.

7
A.4. Maharajo Dirajo

Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo
Dirajo sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar
Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian
keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini
yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat memberikan
jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya merupakan
perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika berfikir kira-kira
diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan dengan nama Iskandar
Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah
seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu
penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan betapa
rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam Minangkabau.

Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo seperti yang
dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin mengangkat data dari Tambo menjadi
Fakta sejarah Minangkabau.

Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu
Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di
Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong mengatakan, menjadi raja di Turki.
Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi
raja di Pulau Emas (Sumatera).

Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut:
“...Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai
ka banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang
Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko...” (pada masa dahulu kala, ada tiga
orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri
Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi
bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera).

Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah
“Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu
sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman
dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan
bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti.
Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja
mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo
Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari mementingkan
kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.

Percantuman raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari
pembuat Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama
raja di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru dunia.

8
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja yang sangat
terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya sendiri akan
semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan satu kebiasaan dunia Timur untuk
mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada anak cucunya.

Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja tersebut, menunjukan
kebesaran kekuasaan rajanya, karena istilah itu berarti penguasa sekalian raja-raja
yang tunduk di bawah kekuasaannya. Josselin de Jong mengatakan Lord of the Word
atau Raja Dunia.

Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi milik orang
Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar demikian seperti Karta
Negara dari Singasari dengan gelar Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada arca
Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari Darmasraya yang bernama raja Tribuana.

Tambo mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi
ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut dalam
tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari Adityawarman
sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang Adityawarman
mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah sependapat, karena
Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam prasasti Pagaruyung.

Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan kepada kita
bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan
lain yang ada di atasnya, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu
Minangkabau sudah berdiri sendiri, tidak berada di bawah kekuasaan Majapahit atau
sudah melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris dari
Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu Darmasraya, tentu
berada di bawah kekuasaan Singasari – Majapahit itu, maka untuk melepaskan diri
dari Singasari – Majapahit itu Adiyawarman memindahkan pusat kekuasaannya
kepedalaman Minangkabau dan menyatakan tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya
dengan memakai gelar Maharaja Diraja.

Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah tidak ada lagi
kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan gelar keturunan bagi raja-
raja Minangkabau, sehingga diwaktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau dia
merasa perlu mempergunakan gelar tersebut agar dihormati oleh rakyat Minangkabau.
Kalau memang demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya dengan Maharajo
Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi. Tetapi hal ini kembali
hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja itu sama
dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa kerajaan
Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada waktu Adityawarman menjadi
raja di Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang. Logikanya tentu sebelum
Adityawarman, belum ada raja di Minangkabau, kalau ada baru merupakan daerah-

9
daerahyang dikuasai oleh seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak dapat
diterima kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu
masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah Minangkabau dan hal
ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan yang pro dan kontra.

Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan


Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu merupakan gelar keturunan dari
raja-raja Minangkabau masih belum lagi dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas pada
waktu sekarang ini, banyak gelar para penghulu di Sumatera Barat yang memakai
gelar Maharajo sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt.
Maharajo, Dt. Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.

Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar


pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak
mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka Minangkabau dan
sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung. Barangkali memang
gelar itu diturunkan dari Maharajo dirajo seperti disebutkan dalam Tambo itu.

A.5. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai Dan Indo Jati

Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak terdapat dalam
masyarakat Sumatera Barat sekarang ini. Dari situlah bersumbernya ketiga nama
tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya
tidak ada menyebut ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar
Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut sebagai cikal
bakal orang Minangkabau.

Menurut Tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari
Tanah Basa, (India Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri Dirajo,
Indo Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa rombongan dari Campa, Siam, Kambai
dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu menetap ke gunung Merapi. P.
E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati Bilang Pandai sebagai penasehat
dari Maharajo.

Perlu dijelaskan bahwa nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang
berbeda, walaupun orangnya itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita
atau dengan nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut dengan nama
Indo Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan sebutan.
Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul merupakan nenek
moyang orang Minangkabau di zaman dahulu dengan pengertian benar-benar ada
dalam sejarah Minangkabau. Jawabannnya mudah saja, karena tidak ada bukti-bukti
lain yang akan mendukung, maka secara historis ketiga tokoh ini hanya merupakan

10
tokoh legendaris belaka dalam sejarah Minangkabau. Keberadaannya sebagai tokoh
sejarah tidak dapat dibuktikan.

Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat mengatakan bahwa


Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang melambangkan orang pandai,
ahli pikir, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang kemasyarakatan. Segala
sesuatu yang dikerjakan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari salah
seorang kedua tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo
sendiri.

Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya sebagai Indra Jati
melambangkan sesuatu yang luhur asal-usulnya. Dalam kepercayaan Hindu nama
Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan salah seorang dewa utama Trimurti.
Indra adalah salah satu penjelmaan Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar dewa jelas
menunjukkan seorang kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati adalah salah
seorang tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.

A.6. Datuk Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang

Siapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah
Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah
Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa
dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.

Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh
keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan
Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat
Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada
diperantauan.

Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh
bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan
reaksi membalik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal
ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.

Ada petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah
Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada
bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang
dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang
sama.

Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai
salah seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi

11
tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah
sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.

Kalau pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk
Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam
sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai
peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.

Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah
dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar. Dikatakan
dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Perpatih Nan Sabatang
dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya
kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari.
Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah
pahaman. Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik,
dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah
Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja sebagaimana banyak ahli-
ahli barat mengatakannya.

Bukti lain dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu
perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk
Perpatih Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh itu
dalam sejarah Minangkabau.

Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan


Tambo, sampai sekarang juga dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang
berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini
juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang dalam
sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk
Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Sesudah ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah
Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan oleh
Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan
kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh
itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya,
melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua
tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh
Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama
mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam
prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.

Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah


merupakan tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang
dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau,
melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam

12
masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi
Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh
lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja yang manapun.

Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang
bersaudara satu Ibu berlainan Ayah. Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang
dikatakan Tambo mengenai siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada
kesempatan ini tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami
pertama ibunya (Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan raja-
raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai
suami kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga. Perbedaan darah leluhur dari
keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun
mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk Ketumanggungan
dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis dalam sejarah
Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang dianggap oleh kebanyakan
penulis-penulis barat.

A.7. Masa Pemerintahan Adityawarman

Adityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan


Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang
sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang
diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.

Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil
dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara
keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul Adityawarman saja.

Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa,
mereka membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari
telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh
Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini
nanti akan melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di
Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.

Dara Jingga kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan
melahirkan seorang putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang
kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman
merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan
Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu
Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.

13
Mengenai asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa
Adityawarman berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya
terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat ke
Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasan keraton
Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari turunannya. Ayah
bundanya mempunyai hubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit yang
pertama.

Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan


hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang
mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di
daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah
Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan


Melayu atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton
Majapahit Adityawarman di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara yang
kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit kedudukan
Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau
perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja
Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara
mengirim Adityawarman segbagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai
duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah
kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan
pemberontakan Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim
kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta. Pada tahun
1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena dengan lahir dan
menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman utnuk
menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat.

Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu karena ibunya Dara Jingga adalah anak
Tribuana raja Mauliwarmadewa, raja kerajaan Melayu. Oleh karena itu,
Adityawarman berhak atas takhta kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan
Adityawarman untuk mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena
kegagalan usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347
Adityawarman menjadi raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca
Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama :
“Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar
“Maharaja Diraja” dengan memakai gelar tersebut rupanya Adityawarman hendak
menyatakan bahwa dia merupakan raja yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja
yang berada di atasnya. Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai
realisasi dari pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349
memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.

14
Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke
puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman
mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375,
1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa pemerintahannya
di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung
berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia
bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di
bawah pengaruh kekuasaan Majapahit.

Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah
pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham
betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak
pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak
pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang
ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung
yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.

Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung,


sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan
Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan
adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai
lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan
kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian
pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat
Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak
berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja
Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat
Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa
Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan
seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.

Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada
mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan
masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh
Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan,
Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya
terbatas di sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat
tetap dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang
merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai
luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada
pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.

Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak
meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya.
Diantaranya yang telah dibaca seperti Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I

15
dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih
banyak lagi yang belum dapat dibaca.

Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan kebesaran dan kemegahan kerajaan
Pagaruyung, barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada
seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah ditinggalkan
oleh Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya
dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya Adityawarman
tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan data sejarah
Minangkabau agak gelap.

Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai


raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan
Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai
anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman langsung
digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja,
kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut
agama Islam.

Adanya Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh
Tambo Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti
Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut
Adityawarman di Minangkabau.

Sampai dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman kita tidak


memperoleh keterangan yang lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya
sesudah Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk
menguasai Pagaruyung serata Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena
angkatan perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan
oleh tentara Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.

Akibat pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam
struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman
menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi
sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau
membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung.

A.8. Kerajaan Pagaruyung Sesudah Adityawarman

Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung


sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH.
Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai berikut:

1. Adityawarman (1339-1376)
2. Ananggawarman (1376)
3. Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam

16
4. Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
5. Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
6. Yang Dipertuan Sultan Barandangan
7. Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
8. Yang Dipertuan Sultan Muning III
9. Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
10. Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
11. Yang Dipertuan Gadih Reni Sumpur 1912
12. Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
13. Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
14. Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)

Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di
Pagaruyung sudah menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh
Islam).

Bila Sultan Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi
dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan
Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan Adityawarman.
Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi dengan
pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom penuh dan pemerintahan di
Pagaruyung sudah mulai melemah.

Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua


tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo
dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di bidang masing-
masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan, Raja Adat
berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang adat. Raja
Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan keagamaan
kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat raja.

Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek
Balai terdiri dari:
1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri
2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama
3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan
4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau

Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat


kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga
diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga masalahnya diteruskan
lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga
dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus
kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya sampai
kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.

17
Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan
pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo
dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman “Sultan
Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah: Aceh, Palembang,
Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti
dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.

Dalam hal ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada
mulanya terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto
Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto Piliang;
Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto Piliang; Tuan
Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri
Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau
dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek Balai dan “Tuan Gadang” di
Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai orang yang
bertanggung jawab dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di
Tanah Datar yang merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya
dikatakan yang menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran
Lima Puluh Kota adalah Penghulu.

Dari keterangan itu yang dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek
Balai sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti seperti yang
dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa yang
kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan Tuan
Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan Basa
Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang ini.

Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini diuraikan


dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata) adalah
sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan tentang keadaan
pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya. Walaupun dalam
cerita ini mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang
mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.

Menurut Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu
sesudah Sultan Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih
masih belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek Balai.

A.9. Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau

Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan
bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan
Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk
membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu
menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau
Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.

18
Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun
1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli
lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana
menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.

Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh meninggal dunia, maka
kekuasaan kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga mulai tahun 1636 sewaktu
Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung
mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang
langsung dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido,
Bayang di Pesisir Selatan.

Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan semenjak itu Belanda
mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan
kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan kantor dagangnya di Inderapura terus
ke Salido. Kemudian di Pulau Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk
mengatasi perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.

Untuk melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda
melakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik
sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda diberikan
kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut. Perjanjian itu
dilakukan pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada tahun 1668.

Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi selangkah menanamkan


pengaruhnya di Sumatera Barat dengan jalan politik pecah belahnya yang terkenal itu.
Disatu pihak mereka menimbulkan perlawanan rakyatnya terhadap raja atau
pemimpinnya sesudah itu mereka datang sebagai juru selamat dengan mendapat
imbalan yang sangat merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh
Minangkabau dapat dikuasai Belanda.

Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang sangat memuncak antara bangsa
Belanda dengan bangsa Inggris di Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat
mengusir Inggris berdagang di Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di
daerah Maluku dan menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat.
Pada tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga mereka
dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera mulai dibanjri
oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak
Belanda.

Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini
merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang
lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari pusat
kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau Cingkuak di
hancurkan.

19
Dengan demikian pusat perdagangan berpindah ke Bengkulu. Setelah terjadi
perjanjian antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa
mengembalikan seluruh daerah yang sudah direbutnya.

Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat, yaitu ketika bajak laut yang
dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis
Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan
mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi.
Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan
Belanda.

A.10. Pembaharuan oleh Agama Islam

Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke
tujuh agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu
perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang
kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke
Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi
oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur
Sumatera.

Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan
ada yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari
negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak lama juga, karena
terbentur kepentingan perkembangan Politikk Cina dan Agama Budha.

Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang


dianut adalah agama Budha sekte Baiwara dan pengaruh agama Budha ini berkisar di
sekitar lingkungan istana raja saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada
kita bahwa rakyat Minangkabau juga menganut agama tersebut.

Secara teratur agama Islam pada akhir abad ke tiga belas yang datang dari Aceh. Pada
waktu itu daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh
yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang sekaligus
mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap langganannya. Dari daerah
pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan lain-lain dan
kemudian masuk daerah perdalaman Minangkabau. Masuknya agama Islam ke
Minangkabau terjadai secara damai dan nampaknya agama Islam lebih cepat
menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas
peninggalan Hindu dan Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau, karena
agama itu tidak sampai masuk ketengah-tengah masyarakat, tetapi hanya disekitar
istana saja. Habis orang-orang istana itu, maka habis pulalah bekas-bekas pengaruh
Hindu dan Budha.

20
Perkembangan agama Islam menjadi sangat pesat setelah di Aceh diperintah oleh
Sultan Alaudin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568 ), karena Sultan tersebut berhasil
meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatera.

Pada permulaan abad ketujuh belas, seorang ulama dari golongan Sufi penganut
Tarikat Naksabandiyah mengunjungi Pariaman dan Aceh. Kemudian beberapa lama
menetap di Luhuk Agam dan Lima Puluh Kota. Juga dalam ke abad ke-17 itu di
Ulakan Pariaman bermukim seorang ulama Islam yang bernama Syeh Burhanuddin,
murid dari Syeh Abdurauf yang berasal dari Aceh. Syeh Burhanuddin adalah penganut
Tarikat Syatariah.

Murid-murid Syeh Burhanuddin itulah yang menyebarkan agama Islam di pedalaman


Minangkabau dan mendirikan pusat pengajian di Pamansiangan Luhak Agam.
Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak Agam ini pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan
Pariaman, yaitu tempat yang dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam
di Minangkabau. Dari Luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang akan
membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau seperti Tuanku Nan Tuo dari
daerah Cangkiang Batu Taba Ampek Angkek Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri
merupakan salah seorang murid Tuanku Nan Renceh Kamang Mudiak Agam.

Pada awalnya agama Islam di Minangkabau tidak dijalankan secara ketat, karena
disamping melaksanakan agama Islam para penganut juga masih menjalankan
praktek-praktek adat yang pada dasarnya bertentangan dengan ajaran agama Islam itu
sendiri.

Keadaan ini ternyata kemudian setelah datangnya beberapa orang ulama Islam dari
Mekkah yang menganut paham Wahabi. Yaitu suatu paham dimana penganut-
penganutnya melaksanakan ajaran Islam secara murni. Di tanah Arab sendiri tujuan
gerakan kaum Wahabi adalah utnuk membersihkan Islam dari Anasir-anasir bid’ah.
Kaum Wahabi menganut Mazhab Hambali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan
Islam berdasarkan Qur'an dan Hadist.

Pada waktu beberapa ulama di Minangkabau, seperti Tuanku Pamansiangan, Tuanku


Nan Tuo di Cangkiang, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain juga sudah melihat ketidak
beresan dalam pelaksanaan praktek ajaran Islam di Minagkabau dan ingin melakukan
pembersihan terhadap hal tersebut, tetapi mereka belum menemukan bagaimana
caranya yang baik. Baru pada tahun 1803 dengan kembalinya tiga orang haji dari
Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, sesudah mereka itu
menceritakan bagaimana yang dilakukan oleh gerakan Wahabi disana (di Makkah).

Untuk melaksanakan pembersihan terhadap ajaran agama Islam itu Tuanku Nan
Renceh membentuk suatu badan yang dinamakan “Harimau Nan Salapan” terdiri dari
delapan orang tuanku yang terkenal pada waktu itu di Minangkabau. Diakhir tahun
1803 mereka memproklamirkan berdirinya gerakan Paderi dan mulai saat itu mereka
melancarkan gerakan permurnian agama Islam di Minangkabau.

21
Mula-mula Paderi memulai gerakan pembersihannya di daerah Luhak Agam yang
tidak terlalu lama telah mereka kuasai, dengan berpusat di Kamang Mudik.
Selanjutnya gerakan Paderi melancarkan kegiatannya ke daerah Lima Puluh Kota dan
di daerah ini mereka mendapat sambutan yang baik dari rakyat Lima Puluh Kota.

Gerakan kaum paderi baru mendapat perlawanan yang berat dalam usahanya di Luhak
Tanah Datar, karena pada waktu itu Luhak Tanah Datar masih merupakan pusat
kerajaan Pagaruyung yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu secara
tradisional. Tetapi berkat kegigihan para pejuiang paderi akhirnya daerah Luhak
Tanah Datar dapat juga diperbaharui ajaran Islam nya berdasarkan Qur'an dan Hadist,
selanjutnya gerakan kaum paderi mulai meluas ke daerah rantau.

Pada waktu itu di daerah Pasaman muncul seorang ulama besar yang membawa
rakyatnya ke arah pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan
Hadist Nabi. Karena gerakannya berpusat di Benteng Bonjol maka ulama tersebut
akhirnya terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, yang semulanya terkenal
dengan nama Ahmad Sahab Peto Syarif.

Setelah di daerah Minangkabau dapat diperbaharaui ajaran Islamnya oleh kaum


paderi, maka gerakan selanjutnya menuju keluar daerah Minangkabau, yaitu ke
daerah Tapanuli Selatan yang akhirnya juga dapat dikuasai dan menyebarkan ajaran
Islam di sana.

Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal tahun 1820, maka pimpinan gerakan paderi
diserahkan kepada Tuanku Imam Bonjol dan diwaktu itu gerakan paderi sudah
dihadapkan kepada kekuasaan Belanda yang semenjak tahun 1819 sudah menerima
kembali daerah Minangkabau dari tangan Inggris.

Karena terjadinya perbenturan kedua kekuatan di Minangkabau yaitu antara kekuatan


paderi di satu pihak yang berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam
secara murni dengan kekuatan Belanda di lain pihak yang ingin meluaskan
pengaruhnya di Minangkabau maka terjadilah ketegangan antara kedua kekuatan itu
dan akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di Minangkabau.
Perang ini terjadi antara tahun 1821-1833. pada akhirnya rakyat Minangkabau melihat
bahwa kekuatan Belanda tidak hanya ditujukan kepada gerakan kaum paderi saja,
maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau secara keseluruhannya juga mengangkat
senjata melawan pihak Belanda. Perang ini berlangsung sampai tahun 1837.

Tetapi karena kecurangan dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya
peperangan itu dapat dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837 itu
seluruh daerah Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Dari masa inilah Minangkabau di rundung duka yang dalam, karena menjadi anak
jajahan Belanda. Tuanku Imam ditangkap Belanda dengan tipu muslihat, dikatakan
untuk berunding tetapi nyatanya Belanda menangkap beliau, dibuang semula ke
Betawi, tinggal di Kampung Bali, selanjutnya dipindahkan ke Menado. Ditempat yang

22
sangat jauh dari kampung halaman, badan yang telah sangat tua itu akhirnya
dihentikan Tuhan Dari penderitaan yang berat, berpulanglah seorang Patriot Islam
Minangkabau dirantau orang.

Beliau telah berjuang sekuat tenaga menegakkan Syiar Islam di Ranah Minangkabau
tercinta ini, jasatnya terbujur disebuah desa kecil yang sepi bernama “Lotak” nun jauh
diujung pulau Selebes, harapannya kepada kita semua anak Minangkabau, lanjutkan
perjuangan beliau dengan menegakkan akidah Islam dalam kehidupan sehari-hari,
jawabnya barangkali yang paling tepat bagi kita sekarang, “ Mari kita berbenar-
benar menegakkan Adat Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah ” dalam
kehidupan kita.

B. ALAM MINANGKABAU
B.1. Pengertian Alam

Pengertian “alam” bila diperhatikan kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh
W. J. S. Poerwadarminta, mengemukakan alam:

1.Dunia,misalnya:alam semesta, syah alam.


2. Kerajaan : daerah, nagari, misalnya : Alam Minangkabau

Dari keterangan ini dapat diambil pengertian, bahwa alam yang dimaksud oleh orang
Minangkabau adalah daerah Minangkabau. Untuk menentukan mana yang termasuk
alam Minangkabau dapat dilihat dari keterangan tambo. Batas-batas daerah alam
Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dikemukakan dengan batas-batas
alam. Batas-batas alam ini kadang-kadang sulit ditafsirkan dengan pengertian
sekarang. Batas-batas terebut seperti dikatakan ”...dari riak nan badabua, seluluak
punai mati, sirangkak nan badangkang, buayo putiah daguak, taratak aia hitam,
sikilang aia bangieh, sampai kadurian di takuak rajo...”.

Dari batas-batas yang dikemukakan ini tidak semuanya dapat ditafsirkan seperti nama
siluluak punai mati, sirangkak nan badangkang dan lain-lain. Sedangkan taratak aia
hitam dan sikilang aia bangih merupakan nama nagari yang sampai sekarang masih
ditemui. Sikilang Aia Bangih adalah daerah pantai barat di Utara Sumatera Barat,
sedangkan taratak aia hitam di daerah Bangko Tanah Tinggi. Riak nan badabua
adalah Laut pantai Barat dari Sumatera Barat.

Bila diperhatikan peta geografis Propinsi Sumbar sekarang, maka batas-batas alam
Minangkabau tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan dalam tambo Alam
Minangkabau. Untuk jelasnya dapat dikemukakan, sebelah barat batasnya Samudra
India, sebelah timur batasnya sialang balantak basi dan durian di takuak rajo.
Sialang balantak basi berbatasan dengan Propinsi Riau. Sebelah Utara batasnya
sikilang aia bangih, berbatasan dengan Sumatera Utara. Sebelah selatan batasnya
taratak aia hitam adalah Muko-muko, berbatasan dengan Propinsi Bengkulu.

23
Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam tambo alam Minangkabau tidak dikemukakan
Pulau Mentawai, maupun tempat pemukiman orang Minangkabau seperti Nagari
Sembilan dan Tapak Tuan. Bila ditinjau sejarah perkembangan geografis dan
perpindahan orang Minangkabau, maka alam Minangkabau terdiri dari Pusat Alam
Minangkabau dan daerah rantaunya dengan batas-batas yang disebutkan di atas.

Sehubungan dengan hal tersebut, batas geografis alam Minangkabau yang


dikemukakan dalam tambo dan penutur adat lainnya menunjukkan, bahwa alam
Minangkabau adalah daerah pusat alam Minangkabau (Luhak Tanah Datar, Luhak
Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dengan daerah rantauannya masing-masing.
Untuk membicarakan alam Minangkabau ini kita tidak dapat melepaskan diri dari
pembicaraan laras, luhak dan rantau karena satu sama lain berkaitan.

B.2. Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago

1. Asal Kata dan Pengertian Kata Kelarasan

Dalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi kerancuan mengenai kata “lareh”
dengan kata “laras”. Dalam bahas daerah Minangkabau, kata “lareh” berarti hukum,
yaitu hukum adat. Jadi lareh Koto Piliang berarti Hukum Adat Koto Piliang dan Lareh
Bodi Caniago berarti Hukum Adat Bodi Caniago. Disamping itu kata lareh berarti
“daerah” seperti Lareh Nan Panjang.

Menurut kepercayaan orang Minangkabau yang berpedoman kepada tambo Alam


Minangkabau, pertama sekali didirikan Lareh Nan Panjang yang berpusat di
Pariangan Padang Panjang yang dianggap sebagai nagari tertua di Minangkabau.
Pucuk pimpinan pada waktu itu Dt. Suri Dirajo. Nagari yang termasuk daerah Lareh
Nan Panjang adalah : Guguak Sikaladi, Pariangan, Padang Panjang, Sialahan,
Simabua, Galogandang Turawan, Balimbiang. Daerah ini dikatakan juga Nan
Sahiliran Batang Bangkaweh, hinggo Guguak Hilia, Hinggo Bukik Tumansu Mudiak.

Semasa penjajahan Belanda daerah Minangkabau dijadikan Kelarasan yang dikepalai


oleh seorang Laras atau Regent. Kelarasan bikinan penjajahan Belanda ini merupakan
gabungan beberapa Nagari dan tujuannya lebih mempermudah pengontrolan oleh
penjajah. Yang menjadi laras atau regent ditunjuk oleh Belanda. Setelah penjajahan
Belanda berakhir, maka kelarasan bikinan Belanda ini juga lenyap tidak sesuai dengan
susunan pemerintahan secara adat yang berlaku di Minangkabau.

2. Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Chaniago dengan Daerahnya.

Yang termasuk lareh Koto Piliang dengan pengertian yang memakai sistem adat Koto
Piliang disebut Langgam Nan Tujuah. Langgam Nan Tujuh itu adalah sebagai berikut:

24
1. Sungai Tarab Salapan Batu, disebut Pamuncak Koto Piliang
2. Simawang Bukik Kanduang, disebut Perdamaian Koto Piliang
3. Sungai Jambu Lubuak Atan, disebut Pasak Kungkuang Koto Piliang
4. Batipuah Sepuluh Koto disebut Harimau Campo Koto Piliang
5. Singkarak Saniang Baka, disebut Camin Taruih Koto Piliang
6. Tanjung Balik, Sulik Aia, disebut Cumati Koto Piliang
7. Silungkang, Padang Sibusuak, disebut Gajah Tongga Koto Piliang

Disamping Langgam Nan Tujuh, nagari-nagari lain yang termasuk Lareh Koto Piliang
adalah Pagaruyuang, Saruaso, Atar, Padang Gantiang, Taluak Tigo Jangko, Pangian,
Buo, Bukik Kanduang, Batua, Talang Tangah, Gurun, Ampalu, Guguak, Padang
Laweh, Koto Hilalang, Sumaniak, Sungai Patai, Minangkabau, Simpuruik, Sijangek.

Pusat pemerintahan Lareh Koto Piliang di Bungo Satangkai Sungai Tarab. Dengan
demikian pusat pemerintahan sudah tidak di pariangan padang panjang lagi. Daerah-
daerah yang termasuk Lareh Bodi Canago disebut juga dalam tambo “Tanjuang Nan
Tigo, Lubuak Nan Tigo” :

Tanjuang Nan Tigo


1. Tanjuang Alam
2. Tanjuang Sungayang
3. Tanjuang Barulak

Lubuak Nan Tigo


1. Lubuak Sikarah di Solok
2. Lubuak Simauang di Sawahlunto Sijunjung
3. Lubuak Sipunai di Tanjuang Ampalu

Disamping Lubuak Nan Tigo dan Tanjuang Nan Tigo, yang termasuk Lareh Bodi
Caniago juga adalah Limo Kaum XII Koto dan sembilan anak kotonya. Daerah yang
termasuk XII Koto adalah: Tabek, Sawah Tengah, Labuah, Parambahan,
Sumpanjang, Cubadak, Rambatan, Padang Magek, Ngungun, Panti, Pabalutan,
Sawah Jauah. Sembilan Anak Koto Terdiri Dari : Tabek Boto, Salaganda, Baringin,
Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk, Rajo
Dani. Pusat pemerintahan di Dusun Tuo Limo Kaum.

Suatu peninggalan Lareh Bodi Caniago yang sampai saat sekarang merupakan
monumen sejarah adalah Balairung Adat yang terdapat di desa Tabek. Di Balairung
Adat inilah segala sesuatu dimusyawarahkan oleh ninik mamak bodi caniago pada
masa dahulu.

3. Beberapa Pendapat Tentang Lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago

Mengenai lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago ada beberapa versi. Datuk Batuah
Sango dalam bukunya Tambo Alam Minangkabau mengemukakan sebagai berikut :

25
“...sesudah itu mufakatlah nenek Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih
Nan Sabatang dengan Datuk Suri Dirajo hendak membagi kelarasan, maka dibagilah
oleh orang yang bertiga itu menjadi dua kelarasan...”.

Adapun sebabnya dibagi dua laras negeri itu yaitu karena yang menjadi kepala atau
yang punya pemerintahan ialah Datuk Ketumanggungan, dialah yang menjadi raja
pada waktu itu. Sebab Datuk Ketumanggungan ini adalah anak dari raja, dan datuk
perpatih ini yaitu di bawah Datuk Ketumanggungan sebagai berpangkat mangkubumi
(perdana menteri) karena ia adalah orang yang pandai mengatur kerajaan sehingga
negeri pariangan padang panjang menjadi besar dan sempurna peraturannya.

Dan dapat pula ia meluaskan pemerintahan samapai ke durian ditakuak rajo hingga
sialang balantak basi sampai ke sipisau-pisau hanyuik hingga semuanya adalah oleh
peraturan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Oleh karena itu berfikirlah Datuk
Ketumanggungan akan membalas jasa usaha dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan
mufakatlah Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang serta Datuk Suri
Dirajo dengan segala penghulu-penghulu, manti dan hulubalang, sambil Datuk
Ketumanggungan bersuara lebih dahulu dalam kerapatan, karena nagari sudah ramai
dan peraturan sudah sempurna diatur oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, tidaklah
saya dapat membalas budinya itu melainkan negeri ini saya berikan sebagian supaya
boleh ia berkuasa pula memerintah dalam negeri ini.

Sesudah bicara Datuk Ketumanggungan itu, maka dijawab oleh anggota kerapatan,
itulah kata tuanku yang pilihan atau kata yang tak boleh dipalingkan lagi. Sebab
itulah pemerintahan Datuk Ketumanggungan bernama Koto Piliang berasal dari kota
pilihan, atau dari kata yang tidak boleh dipalingkan. Pemerintahan Datuk Perpatih
Nan Sabatang bernama Bodi Caniago yang berasal dari budi yang berharga.

Untuk memperoleh pengertian dari kutipan diatas adalah, bahwa pada mulanya kepala
pemerintahan adalah Datuk Ketumanggungan sesudah ayahnya meninggal dunia.
Sedangkan yang membantunya sehari-hari adalah adiknya yang berlainan ayah yaitu
Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Berkenaan adiknya telah berrbuat baik dalam meluaskan daerah dan pemerintahan,
timbulah niat saudaranya untuk membalas budi baik adiknya Datuk Perpatih Nan
Sabatang. Niatnya ini disampaikan pada suatu sidang kerapatan adat. Setelah niatnya
disampaikan kepada sidang kerapatan, untuk memberi daerah kekuasaannya sebagian
kepada adiknya semua anggota sidang kerapatan setuju dengan rencana yang
dikemukakan oleh Datuk Ketumanggungan. Bahkan dikatakan bahwa apa yang
dikatakan oleh Datuk Ketumanggungan tersebut, sudah merupakan kata pilihan,
dengan arti kata tidak perlu lagi dipersoalkan.

Dari sinilah asal kata Koto Piliang yaitu dari kata yang pilihan. Sedangkan
pemerintahan atau sistim adat Bodi Caniago berasal dari bodi baharago (budi yang
berharga), yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang telah bertanam budi terlebih dahulu dan
kemudian mendapat penghargaan dari saudaranya Datuk Ketumanggungan.

26
Pendapat lain mengatakan bahwa Bodi Caniago berasal dari kata “bodhi caniago”
yang artinya berasal dari kata bhodi can yaga yang artinya bahwa budi nurani
manusialah yang menjadi sumber kebajikan dan kebijakan. Sedangkan Koto Piliang
berasal dari bahasa sansekerta yaitu ”koto pili” yang dari kata pili hyang artinya
segala sesuatu bersumber sabda dari hyang dan pili sama artinya dengan karma atau
dharma. Datuk Ketumanggungan seorang penganut hiduisme yang regilius, percaya
manusia disusun dalam kerangka hirarki piramidal dengan pucuk, seorang pribadi
yang merenungkan langit (hyang). Datuk Perpatih Nan Sabatang seorang egaliter,
demokrat murni yang menilai tinggi kedudukan pribadi yang menganut persamaan
dan kesamaan.

Pada dasarnya orang minangkabau sampai sekarang masih memegang teguh asal kata
Koto Piliang dan Bodi Caniago yang bersumberkan kepada tambo Alam
Minangkabau.

4. Berberapa Perbedaan Adat Koto Piliang Dengan Bodi Caniago

Ada beberapa perbedaan dalam kedua sistim adat ini seperti berikut:

a. Memutuskan Perkara

Menghadapi sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago


berpedoman kepada “...tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah
samo nyato di batin buliah diliekti...” (tuah karena sekata, mulanya
rundingandimufakati, dilahir sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu
pekerjaan atau menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati,
dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama, sedangkan
Koto Piliang berdasarkan kepada "...nan babarih nan bapahek, nan baukua, nan
bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo bumbuang...”
( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh dilihat, cupak
penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau peraturan yang
dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus dilaksanakan dengan
arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.

b. Mengambil Keputusan

Dalam mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “...kato
surang dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek
kato nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang
makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko
takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari bumi...".
(kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata yang sebuah,
pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan kunci, terpaut
makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan, putus gayung karena
belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi). Maksud dari sistem adat Bodi
Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem musyawarah mencari mufakat.

27
Sedangkan Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, "...titiak dari ateh, turun dari
tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang
dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung..." (titik
dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata sorang besar segala
iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik
ditampung).

c. Pengganti Gelar Pusaka

Pada lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu
mengganti gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang
digantikan itu sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai
pemimpin anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga "lurahlah dalam, bukiklah
tinggi" (lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang
"baka mati batungkek budi" (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru bisa
digantikan setelah orangnya meninggal dunia.

d. Kedudukan Penghulu

Pada lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu
pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada
penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah sebagai
pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat tunggang).
Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya "sahamparan,
tagak sapamatang" (duduk sehamparan tegak sepematang).

e. Balai Adat dan Rumah Gadang

Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di
tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai yang
lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau
tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga
bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia duduk
sesuai dengan fungsinya dalam adat.

Pada lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja.
Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.

Secara substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada
azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan
dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan umum dipihak lain.
Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia
sendiri.

28
B.3. Luhak

1. Pengertian Luhak

Dalam bahasa daerah Minangkabau kata luhak diucapkan dengan “luak”. Artinya
yang terkandung dari padanya adalah negeri, daerah, sumur, susut, berkurang. Dari
tambo Alam Minangkabau sejarah lahirnya luhak dihubungkan dengan pengertian
kurang. Seperti dikemukakan Luhak Tanah Datar berarti kurang tanah yang datar.
Juga ada pendapat karena Tanah Datar sebagai luhak yang tertua, maka adat dan
penduduknya berpindah dari sini. Dengan demikian berkurang jugalah Luhak Tanah
Datar ini.

Luhak Agam menurut ceritanya : orang-orang agam berasal dari keturunan Harimau
Campo, mereka mempunyai watak pemberani, jantan dan pamuncak. Agam itu artinya
pemberani, jantan dan pamuncak. Setelah orang-orang Harimau Campo pindah dari
Pariangan Padang Panjang kesebelah barat gunung merapi (melalui batipuah) maka
“luak”lah orang-orang pemberani yang akan mengamankan Nagari Pariangan Padang
Panjang. Oleh karena itu tersebutlah di Pariangan Padang Panjang “Luhak Orang
Agam” (kurang orang pemberani) dalam nagari Pariangan Padang Panjang, karena
mereka telah pindah ke tempat yang baru. Tidak ada hubungan dengan “luak agama”
karena pada masa itu orang Minangkabau belum islam.

Luhak Lima Puluh Kota penduduknya berasal dari Pariangan Padang Panjang.
Mereka berangkat untuk mencari tempat pemukiman baru sebanyak lima puluh orang.
Disebuah padang dekat piladang sekarang hari sudah malam. Keesokkan harinya
jumlah rombongan itu tidak ditemui lima orang. Setelah saling bertanya semuanya
mengatakan “antah” dan tempat tersebut sampai sekarang bernama padang siantah.
Keturunan yang berjumlah 45 orang ini merupakan asal penduduk luhak lima puluh
kota, dengan pengertian sudah kurang dari lima puluh.

Dalam pengertian sehari-hari di daerah Minangkabau kata “luak” juga berarti sumur.
Pergi ke luak berarti pergi mengambil air atau pergi mandi. Luak dengan pengertian
sumur ini juga ada kaitannya dengan kurang, sebab sumur tersebut berada pada tanah
yang kerendahan, bisa kemudian digenangi air yang sewaktu-waktu airnya bisa
berkurang (luak).

2. Luhak Tanah Datar

daerah yang termasuk Luhak Tanah Datar terdiri atas empat bahagian yaitu : Lima
Kaum XII Koto, Sungai Tarab Salapan Batu, Batipuah X Koto dan Lintau Buo IX
Koto. Lima Kaum XII Koto terdiri dari : Ngungun, Panti, Cubadak, Supanjang,
Pabalutan, Sawah Jauah, Rambatan, Padang Magek, Labuah, Parambahan, Tabek
dan Sawah Tangah. Lima Kaum XII Koto dengan sembilan koto di dalam terdiri dari
Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak,
Sungai Ameh, Ambacang Baririk dan Rajo Dani.

29
Sungai Tarab Salapan Batu daerahnya, Koto Tuo, Pasia Laweh, Sumaniak jo Koto
Panjang, Supayang jo Situmbuak, Gurun Ampalu, Sijangek, Koto Bandampiang,
Ujuang Labuah, Kampuang Sungayang VII Koto Disinan Andaleh, Baruah Bukik,
Sungai Patai, Sungaiyang, Sawah Laiek dan Koto Ranah.

Daerah Batipuah X Koto daerahnya adalah : Pariangan, Padang Panjang, Jaho,


Tambangan, Koto Laweh, Pandai Sikek, Sumpu, Malalo, Gunuang, Paninjauan.
Lintau Buo IX Koto merupakan perkembangan dari Tanjung Sungayang dan Andaleh
Baruah Bukik yang terdiri dari Batu Bulek, Balai Tangah, Tanjung Bonai, Tapi Selo,
Lubuak Jantan. Nagari-nagari ini disebut juga Limo Koto Nan Diateh. Kemudian
ditambah dengan Empat Koto di Bawah yaitu; Buo, Pangian, Taluak dan Tigo Jangko.
Perpindahan penduduk ke daerah selatan, muncul 13 nagari yang disebut dengan
Kubuang XIII. Nagari-nagari yang termasuk Kubang XIII adalah : Solok Salayo, Koto
Hilalang, Cupak, Talang, Guguak, Saok Laweh, Gantuang Ciri, Koto Gadang, Koto
Anau, Muaro Paneh, Kinali, Koto Gaek dan Tanjuang Balingkuang. Dari arah
Kubuang XIII berkembang terus menjadi Alahan Panjang, Pantai Cermin, Alam
Surambi Sungai Pagu.

Dari daerah Batipuah X Koto, dari Jaho dan Tambangan terjadi perpindahan ke
Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin, Toboh Pakandangan
yang dinamakan Ujung Darek Kapalo Rantau 2 X 11 Enam Lingkuang. Dari daerah
ini berkembang menjadi VII Koto Sungai Sariak yang terdiri dari Tandikek, Batu
Kalang, Koto Dalam, Koto Baru, Sungai Sariak, Sungai Durian, Ampalu.

Perpindahan dari Lintau Buo, Tanjuang Barulak berlajut kearah timur sampai ke
Sijunjung Koto Tujuah, Koto Sambilan Nan Dihilia, Koto Sambilan Nan Di Mudiak,
Kolok, Sijantang, Talawi, Padang Gantiang, Kubang Padang Sibusuak, Batu
Manjulua, Pamuatan, Palangki, Muaro Bodi, Bundan Sakti, Koto Baru, Tanjung
Ampalu, Palaluar, Tanjuang Guguak, Padang Laweh, Muaro Sijunjuang, Timbulun,
Tanjuang, Gadang, Tanjuang Lolo, Sungai Lansek. Adapun yang menjadi daerah inti
dari Luhak Tanah Datar adalah kabupaten Tanah Datar sekarang.

3. Luhak Agam

Luhak Agam merupakan luhak yang kedua sesudah Luhak Tanah Datar. Luhak Agam
berasal dari Pariangan Padang Panjang dan kedatangan penduduk ke Luhak Agam
pada mulanya empat kaum atau empat rombongan yang berlangsung empat periode
dan tiap periode empat-empat. Periode pertama keempat rombongan ini mendirikan
empat buah nagari yaitu Biaro, Balai Gurah, Lambah dan Panapuang. Periode kedua
mendirikan Nagari Canduang, Koto Laweh, Kurai dan Banahampu. Periode ketiga
lahir Nagari Sianok, Koto Gadang, Guguak dan Tabek Sarojo. Periode keempat
mendirikan Nagari Sariak, Sungai Puar, Batagak dan Batu Palano.

Dengan demikian Luhak Agam terdiri enam belas koto pada mulanya dan kemudian
berkembangan nagari-nagari lainnya seperti Kapau, Gadut, Salo, Koto Baru, Magek,
Tilatang Kamang, Tabek Panjang, Pincuran Puti, Koto Tinggi, Simarasok dan

30
Padang Tarab. Dari gugusan Sianok Koto Gadang berkembang sampai ke Matur,
Kampung Panta, Lawang Togo Balai, sampai ke Ranah Palembayan. Perkembangan
ini bertemu dengan yang datang dari Kamang dan Tujuh Lurah Koto Rantang.
Perpindahan selanjutnya telah melahirkan Nagari Kumpulan, Ganggo, Kinali,
Sundata, Lubuak Basuang, Batu Kambing, Katiagan, Sasak dan Tiku. Dari Matur
perkembangan selanjutnya ke Maninjau, Muko-Muko, XII Koto Sungai Garinggiang,
Gasan, Tiku, Lauik Nan Sadidih, melalui Malalak, Sigiran, Cimpagok, Ulu Banda dan
seterusnya menjadi Limo Koto Kampuang Dalam, Piaman Sabatang Panjang dan III
Koto Malai. Dari Malalak berkembang juga ke Sungai Batang, Sigiran, Tanjuang
Sani melalui Batu Anjuang.

Perpindahan dan perkembangan dari Tiku Pariaman akhirnya bertemu dengan


perpindahan dari Jaho, Tambangan dan Bungo Tanjuang dari Luhak Tanah Datar dan
melahirkan Padang VIII Suku. Padang VIII Suku ini terdiri dari Pasia, Ulak Karang,
Ranah Binuang, Palinggam, Subarang Gantiang, Parak Gadang, Aia Cama, Alang
Laweh, Balai Tampuruang.

Dari daerah Kubuang XIII bertemu dengan perpindahan dari Tiku Pariaman dan
Padang VIII Koto akhirnya melahirkan nagari Lubuak Kilangan, Tarantang,
Baringin, Bandar Buek, Limau Manis Nan XX. Nagari yang termasuk Nan XX adalah
Lubuak Bagaluang jo Ujuan Tanah, Tanjuang Saba, Pitameh, Banuaran, Koto Baru,
Pampangan, Pasia Gauang, Sungai Barameh, Taluak Nibuang, Piai, Tanah Sirah,
Batu Kasek, Parak Patamburan, Gurun Laweh, Tanjuang Aua, Batuang Taba,
Kampuang Jua, Cangkeh, Kampuang Baru. Perpindahan dari Singkarak, Saniang
Baka dengan melintasi bukik barisan telah melahirkan nagari Pauh Lima dan Pauh
Sembilan, Kandih dan Nanggalo.

Dapat diambil kesimpulan bahwa Kota Padang sekarang merupakan pertemuan dari
penduduk yang berasal dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Kubuang XIII.
Secara historis tepat sekali kota padang ibukota propinsi Sumatera Barat, bila
dikaitkan wilayah adat Minangkabau, karena sebagian besar wilayah adat berkaitan
dengan bandar Padang tersebut.

4. Luhak Lima Puluh Koto

Luhak Limo Puluah Koto disebut Luhak Nan Bonsu. Wilayah yang termasuk Lima
Puluh Kota terdiri empat bagian. Keempat wilayah tersebut adalah:

a. Sandi

Daerahnya dari Bukit Sikabau Hilir sampai Muaro Mudiak, Nasi Randam hingga
Padang Samuik ketepi yang meliputi Nagari Koto Nan Gadang dan Koto Nan Empat
sekarang ini.

31
b. Luhak

Luhak daerahnya dari Mungo Mudiak hingga Limbukan Hilia, Mungo, Koto Kaciak,
Andaleh, Tanjuang Kubu, Banda Tunggang, Sungai Kamuyang, Aua Kuniang,
Tanjuan Patai, Gadih Angik, Limbukan, Padang Karambia, Limau Kapeh, Aia Tabik
Nan Limo Suku.

c. Lareh

Yang menjadi wilayah lareh sejak dari Bukik Cubadak sampai mudiak hingga Padang
Balimbiang Hilir. Pusatnya di Sitanang Muara Lakin. Perkembangan dan perpindahan
penduduk selanjutnya lahir nagari-nagari Ampalu, Halaban, Labuah Gunuang,
Tanjuang Baringin, Kurun, Labuak Batingkok, Tarantang, Sari Lamak, Solok, Padang
Laweh.

d. Hulu

Yang termasuk wilayah hulu dalam Luhak Lima Puluh Kota adalah yang “Berjenjang
Ke Ladang Laweh Berpintu Ke Sungai Patai, Selilit Gunuang Sago, Hinggo Labuah
Gunuang Mudik Hinggo Babai Koto Tinggi”.

Dari Luhak Lima Puluh Kota perkembangan selanjutnya ke Muaro Sungai Lolo,
Tapus Rao Mapattunggal, Kubu Nan Duo, Sinuruik, Talu Cubadak, Simpang Tonang,
Paraman, Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Air Balam, Sikilang
Aia Bangih.
Dari Niniak Nan Balimo (nenek yang berlima) yang meninggalkan rombongan telah
membuat tempat kediaman baru yaitu Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih.
Sebagai daerah Luhak Lima Puluh Kota adalah Kabupaten Lima Puluh Kota
sekarang.

5. Kepribadian Masyarakatnya

Kepribadian masing-masing luhak juga diungkapkan dalam bambo, dengan


perumpamaan, yaitu Luhak Agamdikatakan buminya-panas, airnya keruh, ikannya
liar. Perumpamaan ini ditafsirkan bahwa penduduknya keras hati, berani dan suka
berkelahi. Luhak Tanah Datar dikatakan buminya lambang, airnya tawar, ikannya
banyak, dengan penafsiran masyarkatnya ramah, suka damai dan sabar. Sedangkan
Luhak Lima Puluh Kota dikatakan buminya sejuk, airnya jernih dan ikannya jinak
yang artinya bahwa masyarakatnya mempunyai kepribadian berhati lembut, tenang
dan suka damai.

Prof. Hamka mengatakan, sifat ketiga luhak ini surang cadiak, surang pandeka, surang
juaro tangah balai. “pendekar luhak tanah datar, juara tengah balai Luhak Agamdan
cerdik luhak lima puluh kota.

32
Disamping perbedaan kepribadiannya juga warna tiap-tiap luhak saling berbeda yang
mungkin ada kaitannya dengan kepribadiannya tadi. Warna kuning untuk Luhak
Tanah Datar, warna merah untuk Luhak Agam dan biru untuk Luhak Lima Puluh
Kota. Sedangkan tiap luhak mempunyai perlambang yang diambil dari hewan. Luhak
Tanah Datar hewannya kucing. Sifat kucing yang jinak dan penyabar tetapi bila habis
kesabarannya baru dia memperlihatkan kukunya. Luhak Agam lambang hewannya
harimau. Harimau sebagai perlambang sikap berani dan pantang menyerah. Luhak
Lima Puluh Kota lambang hewannya kambing. Kambing walaupun jinak tapi tidak
bisa ditarik begitu saja, dia mempunyai kepribadian yang kokoh dan tidak mau cepat
terpengaruh. Perumpamaan-perumpamaan diatas dikaitkan dengan sifat kepribadian
masing-masing luhak.

B.4. Rantau

1. Pengertian Rantau

Menurut kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta,


arti dari pada “rantau” banyak sekali. Rantau mempunyai pengertian pantai sepanjang
teluk (sungai), pesisir, daerah diluar negerinya sendiri, negeri asing tangah (negeri)
tempat mencari penghidupan. Pengertian yang diambil terhadap rantau ini adalah
tanah (negeri) tempat mencari penghidupan. Di tempat ini muncul nagari-nagari yang
didiami oleh orang-orang yang datang dari Luhak Nan Tigo.

2. Daerah Rantau Luhak Nan Tigo

Tiap-tiap luhak mempunyai daerah rantau masing-masing sesuai dengan perpindahan


penduduk dari luhak tersebut.

Rantau Luhak Tanah Datar meliputi rantau Batang Hari, Pucuak Jambi Sembilan
Lurah, yaitu daerah-daerah sailiran batang hari. Di daerah hulu Batang Hari dikenal
Rantau Cati Nan Kurang Aso XX. Rantau Nan Kurang Aso XX yaitu Lubuak
Ambacang, Lubuak Jambi, Gunuang, Koto, Benai, Pangian, Basra, Sitanjau, Kopa,
Teluk Ingin, Indoman, Surantih, Taluak Rayo, Simpang Kulayang, Aia Molek, Pasia
Ringgik, Kuantan, Talang Mamak dan Kuala Enok. Daerah Rantau Luhak Tanah
Datar yang lain yaitu Rantau Pesisir Panjang yang dinamakan Bandar X. daerah yang
termasuk Bandar X adalah : Batang Kapeh, Kuok, Surantih, Amping Parak, Kambang,
Lakitan, Punggasan, Air Haji, Painan, Banda Salido, dan Tarusan. Tapan, Lunang,
Silaut, Indopuro dan Manjuto juga merupakan Rantau Luhak Tanah Datar.

Disamping itu ada juga yang disebut Ujung Darek Kapalo Rantau dari Luhak Tanah
Datar. Ujung Darek Kapalo Luhak Tanah Datar merupakan daerah perbatasan antara
Luhak Tanah Datar dengan daerah rantau. Daerah tersebut adalah Anduriang Kayu
Tanam, Guguak Kapao Hilalang, Sicincin Tinggi, Toboh Pakandangan, 2 X 11 Enam
Lingkuang dan VII Koto Sungai Sariak.

33
Luhak Agam daerah rantaunya adalah Tiku Pariaman, Sasak Air Bangis, sedangkan
daerah yang disebut ujuang darek kapalo rantau adalah Palembayan, Sirasak Aie,
Sungai Garinggiang, Lambah Bawan, Padang Manggopoh. Ke selatan adalah
Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Toboh Pakandangan.

Luhak Lima Puluh Kota daerah rantaunya adalah rantau Kampar Kanan dan Kampar
Kiri yang termasuk daerah Kampar Kiri terdiri dari enam daerah yaitu Kudai, Ujuang
Bukik, Gunuang Sahilan, Lipat Kain, Kuniuk dan Sanggan. Rantau Kampar Kanan
dibagi atas tiga bagian. Pertama disebut di hulu Tuangku Nan Tigo, yang terdiri dari
Limbanang Koto Laweh, Koto Tangah dan Koto Tinggi, Sungai Dadok dan Sungai
Naniang. Yang kedua disebut di Tengah Kampar Sembilan yang terdiri dari Yajuang,
Muaro Takus, Gunuang, Malelo Pongkai, Koto Bangun, Sialang, Durian Tinggi,
Kapuak dan Lubuak Alai. Yang ketiga disebut di Ulak Koto Nan Anam yang terdiri
dari Koto Baru, Koto Alam, Tanjuang Pauah, Tanjuang Balik, Mangilang dan
Malintang.

3. Merantau

Bila diperhatikan arti kata merantau mempunyai berbagai pengertian seperti berlayar,
mencari penghidupan di sepanjang rantau (dari sungai kesungai). Merantau juga
berarti pergi ke pantai atau pesisir, pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan.
Dari sekian arti kata merantau maka yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pergi ke
negeri laun untuk mencari penghidupan.

Ciri khas pada permulaan merantau mereka membawa adat minangkabau dengan
sistem lareh yang mereka anut serta suku mereka. Di samping itu waktu-waktu
tertentu mereka pulang melihat tanah asal mereka. Tujuan pulang ini agar tali
kekeluargaan jangan sampai putus dengan tempat asal. Namun demikian pulang
ketempat asal ini bisa jadi semakin kurang, malahan keturunan selanjutnya tidak
meneruskan tradisi nenek-nenek mereka, yang tinggal hanya ceritera asal usul
mereka.

Motivasi merantau pada tingkat permulaan, ialah untuk mencari penghidupan yang
lebih baik. Mereka pindah jauh dari pusat Luhak Nan Tigo, yaitu di daerah pesisir dan
hiliran sungai.

Perkembangan arti merantau selanjutnya bukan hanya terbatas pada daerah Alam
Minangkabau saja, tetapi meluas kedaerah yang bukan etnis minangkabau. Hal ini erat
hubungannya dengan situasi dan kondisi di tempat mereka tinggal. Di daerah pesisir
atau di daerah hiliran sungai mereka berhubungan dengan dunia perdagangan. Secara
tidak langsung kehidupan yang bersifat rural agraris berpindah kepada ekonomi
perdagangan. Mereka ambil bagian dalam perdagangan antar daerah di luar Alam
Minangkabau. Di daerah yang mereka kunjungi akhirnya lahir permukiman orang
minangkabau seperti di Tapak Tuan, Batu Bara, Asahan, Negeri Sembilan dan lain-
lain. Sampai sekarang keturunan mereka yang ada disana masih menanggap sebagai
keturunan orang Minangkabau.

34
Pada saat sekarang pengertian merantau sudah menjadi luas. Keluar dari kampung
sendiri atau ke kota lain yang masih dalam kawasan Sumatera Barat sudah dikatakan
pergi merantau, apalagi pergi keluar sumatera barat. Pada permulaan merantau
bertujuan untuk mencari penghidupan, sedangkan sekarang untuk melanjutkan
pendidikan ke negeri lain juga dikatakan pergi merantau.

4. Tujuan Merantau

Untuk mencari ilmu dan memperbaiki ekonomi, disebut dalam mamangannya:

mencarikan punggung tak basaok


mencarikan paruik tak berisi

Dirantau orang harus pandai-pandai menyesuaikan diri, mamak ditinggalkan di


kampung, dapati pula mamak di rantau, saudara ditinggalkan, cari pula saudara di
rantau, dalam hal ini juga disebut dalam mamangan :

kok pandai bakain panjang


labiah sa elok kain saruang
kok lai pandai mangaokannyo
kok pandai ba induak samang
labiah sa elok mamak kanduang
kok lai pandai mambaokannyo

walaupun sutan di kampuang awak


anak dagang juo di rantau urang
kok mandi di hilia-hilia
kok bakato di bawah-bawah

turuikkan langkah bak bacatua


turuikkan ayun bak babuai
pakailah pulo deta jawa
kanakkan malah kain bugih
saruangkan baju guntiang cino
pakai sarawa lambuak aceh
sarato tarompa rang gujarat
baitu caro anak dagang

dima bumi dipijak


dinsanan langik dijunjuang
dima rangitiang dipatah
disitu sumua di kali
dima nagari diunyi
adat disitu nan dipakai

5. Akibat Merantau Bagi Orang Minangkabau

35
Akibat merantau bagi orang minangkabau yang meninggalkan kampung halaman
telah meluas cakrawala atau pandangan untuk mengenal daerah diluar Minangkabau,
seperti di katakan “tidak seperti katak di bawah tempurung”. Akibatnya orang
minangkabau tidak berpaham sempit dalam hubungan sosial dengan lain suku bangsa.
Hasil perantauan pada masa dahulu dibawa pulang untuk menjadi modal dalam
membina kecerdasan dan kesejahteraan keluarga. Tipe merantau seperti ini dibentuk
dengan talibun adat yang mengatakan:

karatau madang diulu


babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di kampuang paguno balun

satinggi – tinggi malantiang


jatuahnyo ka tanah juo
sajauah-sajuah tabang bangau
suruiknyo ka kubangan juo

makna yang dapat diambil, adalah yang pergi merantau itu diharapkan dan ditunggu
kedatangannya lagi, jadi bukan merantau cina.

Kepada yang muda diharapkannya untuk mencari ilmu, pengalaman sebanyak


mungkin di negeri orang, baik berusaha maupun menambah ilmu. Belum ada gunanya
bagi keluarga atau kampung halaman bila seseorang itu belum dapat
mempersembahkan segala yang diperolehnya dari rantau. Demikian pula dengan
pengalamannya di daerah rantau akan lebih mendewasakannya nanti sebagai
pemimpin kaum dan negeri bila tiba saatnya menggantikan kebesaran mamaknya.

Jiwa merantau yang memikirkan kampung halaman ini masih terdapat bagi orang
Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dengan mengalirnya bantuan dari rantau yang
bertujuan bukan hanya untuk keluarga di kampung tetapi juga bantuan untuk
pembangunan kampung halamannya.

C. ADAT MINANGKABAU

C.1. Pengertian Adat

Dalam membicarakan pengertian adat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan,
diantaranya adalah asal kata adat, pengertian adat secara umum dan pengertian adat
dalam Minangkabau.

1. Asal Kata Adat

Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau banyak mempergunakan kata adat


terutama yang berkaitan dengan pandangan hidup maupun norma-norma yang
berkaitan dengan hidup dan kehidupan masyarakatnya. Kesemuan yaitu diungkapkan

36
dalam bentuk pepatah, petitih, mamangan, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Sebagai
contohnya dapat dikemukakan "...adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ;
adat dipakai baru, kain dipakai usang, adat sepanjang jalan, cupak sepanjang
batuang, adat salingka nagari; harato salingka kaum...", dan lain-lain.

Walaupun banyak penggunaan kata-kata adat oleh orang Minangkabau, namun


barangkali tidak banyak orang mempertanyakan asal usul dari kata adat tersebut.
Tidak banyak literatur yang memperkatakan kata adat ini. Drs. Sidi Gazalba dalam
bukunya pengantar kebudayaan sebagai ilmu mengatakan : “ adat adalah kebiasaan
yang normatif ". Kalau adat dikatakan sebagai kebiasaan maka kata adat dalam
pengertian ini berasal dari bahasa arab yaitu “adat”.

Sebagai bandingan, seorang pemuka adat Minangkabau, yaitu Muhammad Rasyid


Manggis Dt. Rajo Penghulu dalam bukunya sejarah Ringkas Minangkabau Dan
Adatnya mengatakan : adat lebih tua dari pada adat. Adat berasal dari bahasa
sansekerta dibentuk dari “a”dan “dato”. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang
bersifat kebendaan. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan.
“adat” pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan.

Dalam pembahasannya dapat disimpulkan bahwa adat yang tidak memikirkan


kebendaan lagi merupakan sebagai kelanjutan dari kesempurnaan hidup, dengan
kekayaan melimpah-limpah, sampailah manusia kepada adat yang tidak lagi
memikirkan hal-hal yang tidak bersifat kebendaan. Selagi benda masih dapat
menguasai seseorang, ataupun seseorang masih dapat diperhamba benda disebut
orang itu belum beradab. Kalau diperhatikan kedua pendapat diatas, maka pendapat
yang teakhir lebih bersifat filosofis dan ini mungkin dikaitkan dengan pengaruh
agama hindu yang datang kemudian ke Indonesia.

Walaupun kata adat dengan 'adat berlainan penafsiran dari arti yang terkandung pada
kata tersebut namun keduanya ada kesamaan yaitu tujuannya sama-sama mengatur
hidup dan kehidupan masyarakat agar menjadi baik.

Bagi orang Minangkabau sebelum masuknya pengaruh hindu dan islam, orang telah
lama mengenal kata “buek”. Kata “buek” ini seperti ditemui dalam mamangan adat
yang mengatakan kampuang bapaga buek, nagari bapaga undang (kampung berpagar
buat, nagari berpagar undang). Buek inilah yang merupakan tuntunan bagi hidup dan
kehidupan orang Minangkabau sebelum masuk pengaruh luar.

Oleh sebab itu masuknya perkataan adat dalam perbendaharaan bahasa Minangkabau
tidak jadi persoalan karena hakekat dan maknanya sudah ada terlebih dahulu dalam
diri masyarakat Minangkabau. Kata-kata “buek” menjadi tenggelam digantikan oleh
kata adat seperti yang ditemui dalam ungkapan “minang babenteng adat, balando
babenteng basi” (minang berbenteng adat, belanda berbenteng besi).

37
2. Pengertian Adat Secara Umum

Seperti dikatakan kata adat dalam masyarakat Minangkabau bukanlah kata-kata asing
lagi, karena sudah merupakan ucapan sehari-hari. Namun demikian apakah dapat
“adat” ini diidentikan dengan kebudayaan, untuk ini perlu dikaji terlebih dahulu
bagaimana pandangan ahli antropologi mengenai hubungan adat kebudayaan ini.

Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan konsep kebudayaan sangat banyak


sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh C. Kluckhohn dan A. L Kroeber ahli
atropologi pada tahun 1952 telah ditemukan lebih kurang 179 defenisi. Tetapi yang
sifatnya dan banyak dipakai para ahli adalah pendapat C. Kluckhohn yang
memberikan batasan kebudayaan sebagai berikut:
“kebudayaan adalah keseluruhan dari gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
yang berupa satu sistem dalam rangka kehidupan masyarakat yang dibiasakan oleh
manusia dengan belajar”.

Kata kebudayaan dalam istilah inggris adalah “culture” yang berasal dari bahasa latin
“colere”yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau
pertanian. Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi “culture”. Istilah
“culture” sebagai istilah teknis dalam penulisan oleh ahli antropologi inggris yang
bernama Edwar B. Tylor mengatakan bahwa “culture” berarti “complex whole of
ideas and thinks produced by men in their historical experlence”. Sesudah itu
pengertian kultur berkembang terus dikalangan antroplogi dunia. Sebagai istilah
umum “culture” mempunyai arti, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan atau
perkembangan dan pembiakan.

Bahasa Indonesia sendiri mempunyai istilah budaya yang hampir sama dengan
culture, dengan arti kata, kata kebudayaan yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia
bukanlah merupakan terjemahan dari kata “culture”. Kebudayaan berasal dari kata
sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi. Budhi berarti
“budi” atau “akal”. Dengan demikian kata buddhayah (budaya) yang mendapatkan
awalan ke- dan akhiran –an, mempunyai arti “hal-hal yang bersangkutan dengan budi
dan akal”. Berdasarkan dari asal usul kata ini maka kebudayaan berarti hal-hal yang
merupakan hasil dari akal manusia dan budinya. Hasil dari akal dan budi manusia itu
berupa tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud kelakuan, dan wujud kebendaan.

Wujud ideal membentuk kompleks gagasan konsep dan fikiran manusia. Wujud
kelakuan membentuak komplek aktifitas yang berpola. Sedangkan wujud kebendaan
menghasilkan benda-benda kebudayaan. Wujud yang pertama disebut sistim
kebudayaan. Wujud kedua dinamakan sistim sosial sedangkan ketiga disebut
kebudayaan fisik.

Bertitik tolak dari konsep kebudayaan Koen Cakraningrat membicarakan kedudukan


adat dalam konsepsi kebudayaan. Menurut tafsirannya adat merupakan perwujudan
ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata kelakuan.
Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma,

38
tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya
bersifat sangat abstrak, ia merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang
paling berniali dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam
masyarakat Indonesia. Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya
yang telah terkait kepada peran-peran tertentu (roles), peran sebagai pemimpin, peran
sebagai mamak, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi
pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai
kedudukan tersebut.

Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang mengatur kegiatan khusus yang jelas
terbatas ruang lingkupnya pada sopan santun. Akhirnya adat pada tingkat hukum
terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis.

Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa
kebudayaan merupakaan hasil dari budi daya atau akal manusia, baik yang berwujud
moril maupun materil. Disamping itu adat sendiri dimaksudkan dalam konsep
kebudayaan dengan kata lain adat berada dalam kebudayaan atau bahagian dari
kebudayaan.

3. Pengertian Adat Dalam Adat Minangkabau

Bagi orang Minangkabau, adat itu justru merupakan “kebudayaan” secara


keseluruhannya. Karena didalam fakta adat Minangkabau terdapat ketiga bagian
kebudayaan yang telah dikemukakan oleh Koencaraningrat, yaitu adat dalam
pengertian dalam bentuk kato, cupak, adat nan ampek dan lain-lain. Adat dalam
pengertian tata kelakuan berupa cara pelaksanaannya sedangkan adat dalam
pengertian fisik merupakan hasil pelaksanaannya. Malahan bila dibandingkan dengan
pengertian culture yang berasal dari kata “colere”maka dapat dikatakan bahwa orang
Minangkabau bukan bertitik tolak dari mengolah tanah melainkan lebih luas lagi yang
diolah yaitu alam, seperti yang dikatakan : "alam takambang jadi guru” (alat
terkembang jadikan guru).

Bertitik tolak dari nilai-nilai dasar orang Minangkabau yang dinyatakan dalam
ungkapan “alam takambang jadikan guru” maka orang Minangkabau membuat
katagori adat sebagai berikut:

a. Adat Nan Sabana Adat


b. Adat Istiadat
c. Adat Yang Diadatkan
d. Adat Yang Teradat

Sedangkan M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu memberi urutan yang berbeda


seperti berikut:

39
1. Adat Nan Babuhua Mati, yakni
a. Adat Nan Sabana Adat
b. Adat Nan Diadatkan

2. Adat Nan Babuhua Sentak, yakni


c. Adat Nan Teradat
d. Adat Istiadat

Bila dikumpulkan literatur mengenai katagori adat ini sangat banyak sekali. Dari
pendapat yang banyak sekali itu ada kesamaan dan ada perbedaannya. Kesamaannya
hanya terlihat dalam “adat nan ampek” sedangkan penafsirannya terdapat perbedaan
dan malahan urutannya juga. Menurut isinya serta urutannya paling umum adalah
pendapat yang dikemukakan oleh M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu di atas.

Pengertian dari adat nan ampek di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Adat Nan Sabana Adat

Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat) merupakan yang palingkuat (tinggi)
dan bersifat umum sekali, yaitu nilai dasar yang berbentuk hukum alam.
Kebenarannya bersifat mutlak seperti dikatakan : adat api mambaka, adat aia
membasahi, tajam adatnyo melukoi, adat sakik diubeti. Ketentuan-ketentuan ini
berlaku sepanjang masa tanpa terikat oleh waktu dan tempat.

b. Adat Nan Diadatkan

Adat nan diadatkan merupakan warisan budaya dari perumus adat Minangkabau yaitu
Datuak. Katumanggungan dan Datauk Perpatih Nan Sabatang.

Adat nan diadatkan mengenai:


Peraturan hidup bermasyarakat orang Minangkabau secara umum dan sama berlaku
dalam Luhak Nan Tigo sebagai contoh

1. Garis keturunan menurut ibu


2. Sistim perkawinan eksogami
3. Pewarisan sako dan pusako
4. Limbago nan sapuluah
5. Garis keturunan pewarisan sako dan pusako dan lain-lain.

c. Adat Nan Teradat

Adat Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam satu-satu


nagari. Di sini berlaku lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.

40
d. Adat Istiadat

Adat istiadat adalah kebiasaan umum yang berasal dari tiru-meniru dan tidak diberi
kekuatan pengikat oleh penghulu-penghulu seperti permainan anak-anak muda seni
dan lain-lain serta tidak bertentangan dengan adat nan teradat.

C.2. Pendapat-Pendapat Mengenai Nama Minangkabau

Pendapat-pendapat mengenai nama Minangkabau saat ini sangat banyak sekali.


Pendapat-pendapat yang dikemukakan berasal dari orang-orang yang memiliki ilmu di
bidang sejarah. Ada yang bersumber dari orang-orang yang sekedar pendapat tanpa
argumentasi yang kuat, artinya tanpa didukung oleh nilai-nilai sejarah dan akibanya
juga kurang didukung oleh masyarakat. Pendapat yang bersumber dari tambo pada
umumnya didukung oleh masyarakat Minangkabau. Dari keterangan-keterangan yang
dikumpulkan ada dikemukakan sebagai berikut:

1. Prof. DR. RM. NG. Poerbacaraka:

Pendapatnya dikemukakan dalam sebuah karangan yang berjudul “Riwayat


Indonesia” dalam tulisannya mengenai nama Minangkabau dikaitkan dengan prasasti
yang terdapat di palembang yaitu Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini memuat
sepuluh baris kalimat yang berangka tahun 605 (saka) atau 683 masehi. Batu bertulis
ini telah diterjemahkannya ke dalam bahasa indonesia sebagai berikut:

Selamat tahun saka telah berjalan 605 tanggal ii


Paro terang bulan waisyakka yang dipertuan yang naik di
Perahu mengambil perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang,
Bulan jyestha Yang Dipertuan Hyang berangkat dari Minanga
Tamwan membawa bala (tentara) dua puluh ribu dengan peti
Dua ratus sepuluh dua banyaknya tulisan
Dua ratus berjalan diperahu dengan jalan (darat) seribu
Tiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di Matayap
Bersuka cita pada tanggal lima bulan…
Dengan mudah dan senang membuat kota…
Syri-wijaya (dari sebab dapat) menang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan
kemakmuran)

Kesimpulan dari isi prasasti ini adalah Yang Dipertuan Hyang berangkat kari Minanga
Tamwan naik perahu membawa bala tentara. Sebagian melalui jalan darat. Menurut
Poerbacaraka kata tamwan pada prasasti itu sama dengan bahasa jawa kuno yaitu
“temwan”, bahasa jawa sekarang “temon”, bahasa indonesianya “pertemuan”.
Pertemuan disini yaitu pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya. Sungai yang
dimaksud itu ialah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Besar kemungkinan
kemudian dinamakan Minanga Kamwar yaitu Minanga Kembar.

41
Bagi orang Sumatera Barat disebut Minanga Kanwa, yang lama kelamaan diucapkan
Minangkabau. Juga dikemukakannya, bahwa dengan pertemuan kampar kiri dan
kampar kanan disinilah terletak pusat agama Budha Mahayana, yaitu Muara Takus.

2. M. Sa’id

Pendapat M. Sa’id bertitik tolak dari prasasti padang Roco tahun 1286, didekat sungai
langsat, di hulu sungai Batang Hari. Pada prasasti ini ditemukan kata-kata swarna
bumi dan bhumi melayu. Tidak satupun dari prasasti-prasasti yang ditemui yang
berisikan kata-kata Minangkabau. Sedangkan tempat prasasti ditemukan termasuk
daerah Minangkabau sekarang. Oleh sebab itu M. Sa’id berkeyakinan bahwa ketika
ekspedisi pamalayu, nama Minangkabau belum ada.

Menurut penelitian ahli sejarah seperti M. Yamin, dan C.C Berg, ekspedisi Pamalayu
bukanlah agresi militer, melainkan suatu muhibah diplomatik dalam usaha
mengadakan aliansi untuk menghadapi Khubilai Khan. Itulah sebabnya prasasti
Padang Roco isinya juga menunjukkan kegembiraan.

Tidak mustahil antara pihak tamu dengan tuan rumah diadakan pesta untuk
menyenangkan hati kedua belah pihak. Pada peristiwa inilah salah satu acaranya
diadakan arena pertarungan kerbau antara tuan rumah dengan pihak tamu. Rupanya
kemenangan berada pada pihak tan rumah. Suatu pertanyaan timbul apakah ceritra-
ceritra mengenai perlagaan kerbau yang kebanyakkan dianggap dongeng tidak
mempunyai hubungan dengan kedatangan misi pamalayu ini. Menurut ukuran
sekarang terlalu kecil peristiwa pertarungan kerbau ini untuk menguji kalah menang
yang mempertaruhkan peristiwa dan status negara. Tetapi dari peristiwa ini nama
Minangkabau lahir bukanlah mustahil.

3. Prof. Dr. Muhammad Hussein Nainar

Menurut keterangan, guru besar pada Universitas Madras ini, sebutan “Minangkabau”
berasal dari “Menon Khabu” yang artinya “Tanah Pangkal” atau “Tanah Permai”.

4. Prof. Vander Tuuk

Menurut pendapatnya, bahwa Minangkabau asalnya dari kata “Pinang Khabu” yang
artinya Tanah Asal.

5. Sulthan Muhammad Zain

Menurut pendapatnya, bahwa “Minangkabau” berasal dari “Binanga Kanvar” yang


artinya Muara Kampar. Keterangan ini bertambah kuat oleh karena Chaw Yu Kua
yang dalam abad ke 13 pernah datang berkunjung ke Muara Kampar menerangkan,
bahwa disana didapatinya satu-satunya bandar yang paling permai di pusat sumatera.

42
6. Pendapat Thambo

Dari beberapa tambo yang ditemui seperti Tambo Pariangan dan Tambo Sawah
Tangah yang tidak diketahui penulisannya, maupun tambo yang dikenal penulisannya,
pada dasarnya mempunyai kesamaan sejarah lahirnya nama Minangkabau. Salah satu
di antaranya transkipsi Tambo Pariangan nama Minangkabau diceritakannya sebagai
berikut :

“tidak berapa lama di antaranya datang lagi raja itu membawa seekor kerbau besar
yang tanduknya sepanjang delapan depa. Maka raja itu bertaruh atau bertanding,
seandainya kalah kerbau kami, maka ambilah isi perahu ini. Maka dijawablah oleh
raja, kemudian minta janji selama tujuh hari. Keesokan harinya dicarilah seekor
anak kerbau yang sedang erat menyusu, lalu dipisahkan dari induknya. Anak kerbau
tadi dibuatkan tanduk dari besi, yang bercabang dua yang panjangnya enam depa.
Setelah sampai janji itu maka dipasanglah tanduk palsu itu dikepala anak kerbau
yang disangka induknya tadi. Melihat kerbau besar tersebut, maka berlarilah anak
kerbau itu menuju kepada kerbau besar yang dipisahkan dari induknya sendiri untuk
menyusu karena demikian haus dan laparnya. Lalu anak kerbau itu berbuat seperti
menyusu sehingga tanduk palsunya masuk perut kerbau besar itu dan akhirnya iduk
kerbau itu mati. Maka mufakatlah seluruh rakyat akan menamakan negeri itu
Minangkabau".

Atas kemenangan pertarungan kerbau yang diungakpkan oleh tambo tersebut juga
diungkapkan dalam bentuk talibunnya sebagai berikut:

Karano tanduak basi paruik tajalo


Mati di Padang Koto Ranah
Tuo jo Mudo sungguahpun heran
Datangnya indak karano diimbau
Dek karano Cadiak Niniak kito
Lantaran manyambuang di galanggang tanah
Dipadapek tuah kamujuran
Timbualah namo Minangkabau

(karena tanduk besi tanduk terjela, mati dipadang koto ranah, tua dengan muda sangat
heran, datangnya karena tidak dihimbau, karena cerdik nenek kita lantaran
menyambung digelanggang tanah, diperoleh tuah kemujuran timbulah nama
Minangkabau).

Pendapat dari tambo ini merupakan pendapat yang umum Minangkabau. Walaupun
banyak pendapat yang lain seperti yang telah dikemukakan di atas tetapi tidak
didukung oleh orang Minangkabau sendiri. Lain halnya pendapat tambo yang
beberapa hal sebagai berikut:

a. Sampai sekarang di arena tempat pertarungan kerbau tersebut masih diperoleh


nama-nama tempat yang tidak berobah dari dahulu sampai sekarang. Nagari

43
tempat pertarungan ini sekarang masih bernama nagari Minangkabau (lebih
kurang 4 km dari kota batusangkar). Di nagari Minangkabau tempat
gelanggang pertarungan kerbau ini sekarang masih tetap bernama Parak Bagak
(kebun berani). Di tempat inilah kerbau yang kecil tersebut memperlihatkan
keberaniannya. Disamping itu juga ada nama Sawah Siambek dimana kerbau
yang kalah itu lari dan kemudian dihambat bersama-sama.
b. Pendapat yang dikemukakan tambo didukung oleh masyarakat Minangkabau
dari dahulu sampai sekarang dan tidak sama halnya dengan pendapat-pendapat
lainnya.
c. Asal nama Minangkabau karena menang kerbau juga ditemui dalam “Hikayat
Raja - Raja Pasai” seperti yang dikemukakan oleh Drs. Zuber Usman dalam
bukunya “Kesusasteraan Lama Indonesia”. Dalam buku hikayat raja-raja pasai
itu dikemukakan raja majapahit telah menyuruh Patih Gajah Mada pergi
menaklukkan Pulau Perca dengan membawa seekor kerbau keramat yang akan
diadu dengan kerbau Patih Sewatang. Dalam pertarungan ini Patih Sewatang
mencari anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Setelah sekian lama tidak
menyusu kepada induknya baru dibawa ke arena pertarungan. Karena haus dan
kepalanya diberi minang (taji yang tajam), ketika pertarungan terjadi anak
kerbau tersebut menyeruduk kerbau Majapahit tadi. Dalam pertarungan ini
kerbau Patih Sewatang yang menang.

Berdasarkan kepada tambo mungkin ada yang bertanya mengapa tidak disebut
manang kabau tetapi Minangkabau. Jawabnya karena kemenangan itu lantaran anak
kerbau tadi memakai “minang” yaitu taji yang tajam dan runcing sehingga merobek
perut lawannya.

Asal nama Minangkabau lantaran kemenangan seperti yang dikemukakan tambo juga
ada pesan-pesan tersirat yang disampaikan kepada kita dan enerasi selanjutnya bahwa
sifat diplomatis haruslah dipergunakan dalam menghadapi sesuatu masalah.
Pertentangan fisik harus dihindarkan seandainya masih ada alternatif lainnya.
Disamping itu juga secara tidak langsung memberi inspirasi kepada kita sekarang
untuk meniru meneladani cara berbuat dan berfikir seperti yang telah dilakukan oleh
orang-orang Minangkabau pada masa dahulu. Dimana dibiasakan menggunakan otak
sebelum menggunakan otot, diplomasi adalah langkah yang terbaik dalam
menyelesaikan suatu pertikaian, dengan diplomasi musyawarah, berunding dan lain-
lain, resiko yang lebih berat dapat dapat dihindari.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa nama Minangkabau yang bersumber dari


kemenangan kerbau tidak diragukan lagi kebenarannya. Disamping itu juga dapat
disimpulkan bahwa pemakaian nama Minangkabau dipergunakan untuk nama sebuah
nagari dekat kota Batusangkar, untuk suku bangsa Minangkabau dan wilayah
kebudayaan Minangkabau, nama Minangkabau yang berasal dari cerita adu kerbau
inilah yang kita yakini kebenarannya. Sedangkan nama-nama yang dikemukakan oleh
para ahli sejarah lainnya, kita terima juga sebagai pelengkap perbendaharaan kita
dalam menggali sejarah Minangkabau selanjutnya.

44
D. NAGARI
D.1. Asal Kata Nagari

Sebagai poin pertama akan dikemukakan asal kata nagari. Sebuah pendapat
mengatakan, bahwa nagari bukanlah kata asli Minangkabau. Kata nagari berasal dari
bahasa sansekerta yaitu “nagara”, yang dibawa oleh bangsa Hindu yang menetap di
tengah-tengah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat tengah pada masa Hindu .
Kemungkinan bangsa Hindu (bangsa asing) tersebutlah yang menciptakan pembagian
nagari, serta mengelompokkan mereka dalam suku-suku. Nagari-nagari kecil itu
merupakan bentuk negara yang berpemerintahan sendiri (otonom).

Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Sumatera Barat , belum ditemukan istilah


lembaga nagari tersebut. Perkauman Minangkabau masih terbagi dalam berbagai-
bagai kelompok genealogis, yang mendiami tanah-tanah tertentu. Jika sebelum
pengaruh Hindu datang sudah ada pembagian nagari, tentu sudah ada istilah di dalam
logat Minangkabau.

Dari penyelidikan para ahli, pengaruh Hindu terhadap Indonesia sangat besar sekali
dari berbagai aspek, seperti bahasa, pemerintah, kepercayaan, seni ukir dan lain-lain.

Ditinjau dari segi bahasa bahkan sampai sekarang kata-kata melayu kuno atau
sansekerta masih memperbanyak, memperkaya bahasa Indonesia dan juga bahasa
daerah Minangkabau.

D.2. Asal Nagari Menurut Pertumbuhannya

1. Taratak

Dalam adat asal nagari menurut pertumbuhannya dikatakan :

Taratak mulo dibuek


Sudah taratak manjadi dusun
Sudah dusun manjadi koto
Sudah koto jadi nagari

(taratak mula dibuat, sudah taratak menjadi dusun, sudah dusun menjadi koto, sudah
koto menjadi nagari)

Dari ketentuan di atas maka tempat yang mula-mula didiami oleh nenek moyang
orang Minangkabau adalah taratak. Taratak asal kata dari “tatak” yang berarti
membuat. Pengertian membuat yaitu membuat tempat tinggal. Sebagian pimpinan
pada taratak ini adalah kepala taratak (tuo taratak).

45
2. Dusun

Pertumbuhan dari taratak menjadi dusun. Orang yang tinggal dalam satu dusun, telah
mempunyai peraturan-peraturan hidup bermasyarakat sesama anggota dusun. Pada
dusun ini belum didirikan rumah gadang. Sebagai pimpinan di dusun ini disebut
kepala dusun (kapalo dusun).

3. Koto

Koto berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “kuta” yang berarti suatu tempat yang
diperkuat untuk menahan serangan musuh. Pada masa dahulu di Minangkabau, koto
dipagar dengan bambu berduri dan adakalanya dilingkari dengan tanah dan batu. Pada
saat sekarang tidak dijumpai lagi koto yang dipagari dengan bambu berburi.

Di dalam koto sudah terdapat kumpulan rumah gadang yang didirikan berdekat-
dekatan dan masing-masing mempunyai pekarangan. Pada mulanya koto didiami oleh
orang-orang yang berasal dari sebuah paruik (peru) dari nenek yang sama. Lama
kelamaan kumpulan rumah gadang yang ada di koto ini ditambah dengan rumah baru
yang didirikan oleh orang-orang yang datang kemudian. Orang baru yang datang ke
koto tersebut harus seizin dari orang yang mendirikan koto tersebut.

4. Nagari

Gabungan dari koto merupakan nagari. Penduduk suatu nagari merupakan satu satuan
sosial, yang berdasarkan kebudayaan dan kebatinan. Nagari mempunyai hak otonom
sendiri dan mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu dengan nagari lainnya.

D.3. Nagari Nan Ampek

Pada masa dahulu syarat sebuah nagari terdiri dari empat suku, sedangkan bahkan
sebuah nagari lebih dari empat suku. Dalam pesukuan penghulu suku dibantu oleh
manti, mali, dan dubalang. Orang-orang inilah yang disebut sebagai orang ampek
jinih (empat jenis).

Orang ampek jinih mempunyai tugas dan kewajiban yang berlain-lainan, dan masing-
masing berdiri sendiri di atas tempatnya dan bersifat turun-temurn. Tiap-tiap suku
pada masa dahulu terdiri dari atas kampung-kampung, dan tiap suku tidak sama
jumlah kampungnya. Berdasarkan banyaknya dapat disebutkan:

1. Suku nan sambilan (9 kampung)


2. Suku nan ampek (4 kampung)
3. Suku nan limo (5 kampung)
4. Suku nan anam (6 kampung)

Ikatan batin antara orang yang sesuku sangat besar sekali, karena mereka yang sesuku
beranggapan berasal dari satu nenek yang sama pada masa dahulunya. Rasa seberat

46
seringan, sehina semalu antara orang sesuku dikatakan, malu tak dapek dibagi, suku
tak dapek dianjak (malu tidak dapat dibagi, suku tidak dapat dipindahkan).

D.4. Ikatan Kekeluargaan Dalam Nagari Nan Ampek

Penduduk suatu nagari bukan saja merupakan satu kesatuan sosial, tetapi mereka juga
diikat oleh kehendak ingin hidup bersama dengan rukun. Mereka juga patuh kepada
norma-norma pergaulan hidup bersama.

Setelah hidup bersama dalam suatu nagari, orang-orang yang berasal dari berbagai
suku itu akhirnya menjadi satu perkauman teritorial dan mempunyai kepentingan-
kepentingan yang sama. Hal ini menimbulkan semangat gotong-royong, saling tolong-
menolong dan ingin menciptakan kedamaian sesama masyarakat nagari. Segala
permasalahan baik dan buruk semuanya dilaksanakan secara musyawarah.

Kerapatan adat nagari, merupakan dewan tertinggi dalam nagari. Berbagai


permasalahan yang tidak terselesaikan pada tingkat bawah diputuskan dalam
kerapatan adat nagari. Pengesahan dari kerapatan adat nagari mengenai sesuatu
permasalahan merupakan pengesahan tertinggi. Dalam hal ini tentu yang berkaitan
dengan permasalahan adat.

Demikian pula segala sesuatu yang sifatnya menyangkut nagari, harus sampai
ketingkat kerapatan adat nagari. Sebagai contohnya pengangkatan penghulu,
mendirikan rumah gadang dan lain-lain.

Kerapatan adat nagari juga mempunyai hak untuk membuat peraturan-peraturan yang
berguna untuk kepentingan anak kemenakan. Hal ini dikatakan juga sebagai adat yang
teradat, yaitu adat yang bersumber dari kesepakatan ninik mamak dalam nagari, dan
tidak bertentangan dengan adat yang diadatkan.

Untuk kesejahteraan anak nagari, maka nagari juga mempunyai sumber-sumber


pendapatan. Orang yang mengerjakan tanah ulayat harus menyerahkan sebahagian
hasilnya yang telah ditentukan oleh adat kepada nagari. Hasil-hasil yang dipungut dari
hutan, laut, sungai yang berada dalam wilayah nagari sebahagian harus diserahkan
pada nagari. Dalam adat dikatakan : “karimbo babungo kayu, kalauik babungo
karang, ka ladang babungo ampiang”, (kerimba berbunga kayu, kelaut berbunga
karang, ke ladang berbunga emping).

D.5. Syarat Berdirinya Sebuah Nagari

Pada masa dahulu berdirinya sebuah nagari apabila telah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :

47
1. Babalai (mempunyai balairung adat)
2. Bamusajik (mempunyai mesjid)
3. Balabuah (mempunyai jalan raya)
4. Batapian (mempunyai tempat mandi umum)

Jadi dari syarat nagari yang dikemukakan di atas terlihat sebuah nagari itu hendaklah
menunjukan masyarakat yang beragama, beradat, mempunyai prinsip musyawarah
berperekonomian yang baik. Dengan syarat-syarat nagari ini hendaknya diwujudkan
masyarakat yang aman dan sentosa, lahir dan batin. Dalam adat dikatakan “bumi
sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, nagari
aman santoso”, (bumi senang padi menjadi, padi masak jagung mengupih, ternak
berkembang biak, negeri aman sentosa).

Bila diuraikan lagi persyaratan nagari di atas dapat dikemukakan, mesjid adalah
simbol dari agama. Mesjid tempat melakukan ibadah dan juga mesjid tempat
bermusyawarah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama. Secara tidak
langsung dengan adanya mesjid juga menunjukan, bahwa masyarakatnya adalah
pemeluk agama islam.

Balai adat sebagai perlambang, bahwa musyawarah merupakan landasan untuk


menghadapi dan memecahkan sesuatu permasalahan yang terdapat dalam nagari.
Labuah adalah sebagai sarana perhubungan dan ekonomi masyarakat, sedangkan
tapian tempat mandi merupakan lambang bahwa masyarakat nagari hendaklah
menjaga kebersihan dan kesehatan.

D.6. Kebesaran Nagari

Yang menjadi kebesaran nagari adalah sebagai berikut :

Basawah baladang
Baitiak baayam
Batabek batanam ikan
Bapandam bapakuburan
Bakorong bakampuang
Badusun batarak

(bersawah berladang, beritik berayam, bertebat tempat memelihara ikan, berpandam


berpekuburan, berkorong berkampung, berdusun bertaratak).

Dilihat dari kebesaran nagari tersebut dapatlah disimpulkan, bahwa nagari harus
mempunyai sawah ladang sebagai tempat sumber kehidupan masyarakatl. Dalam
sebuah nagari juga ada taratak dan dusun, sebagai tempat berladang bagi anak nagari.
Taratak dan dusun jauh dari pusat nagari. Taratak merupakan hutan jauah diulangi
(hutan jauh diulangi), maksudnya tempat perulangan bagi orang kampung untuk

48
mengolah ladang. Kadang-kadang mereka mendiami taratak, tinggal
diperladangannya, dan adakalanya pulang ketempat asal. Dusun dikatakan juga hutan
dakek dikendono-I atau (hutan dekat dipelihara). Dusun juga tempat perladangan bagi
penduduk kampung. Perladangan itu sudah dikendonoi dan dipelihara baik. Sudah ada
orang bertempat tinggal secara menetap.

Untuk kesejahteraan rakyat nagari, penduduknya juga hendaklah memelihara kerbau,


kambing, sapi, ayam dan itik. Hal ini mengingatkan kepada masyarakat bahwa mata
pencaharian itu jangan semata mengharapkan hasil pertanian saja. Sebuah nagari juga
diberi korong dan kampung-kampung dalam hal ini memudahkan lancarnya roda
pemerintahan nagari.

Selanjutnya termasuk kebesaran nagari adalah anak kemenakan atau disebut juga
adanya rakyat. Anak kemenakan inilah bersama pimpinan yang akan mewujudkan
sebauah nagari menjadi besar.

D.7. Perhiasan Nagari

Sebuah nagari agar bersemarak secara lahir dan batin mempunyai persyaratan sebagai
berikut :

1. Rumah gadang (rumah adat beranjung)


2. Lumbuang bapereang (lumbung berukir)
3. Ameh perak (emas dan perak)
4. Sawah ladang, banda buatan (sawah ladang, bandar buatan)
5. Kabau, jawi (kerbau dan sapi)
6. Tabek (kolam ikan)

Rumah gadang disamping tempat tinggal tetapi juga membawa semarak atau dapat
dijadikan perhiasan oleh sebuah nagari. Bangunannya yang anggun penuh dengan
ukiran dan tersusun rapi dan dipagar dengan pohon puding memberi arti tersendiri
bagi orang yang memandangnya. Demikian pula lambung berukir atau rangkiang
yang berderet di depan rumah gadang juga menambah cahaya nagari.

Sawah ladang bandar buatan juga merupakan perhiasan nagari, karena sawah dibuat
babidang di nan data, ladang bajanjang di nan lereang, banda baliku turuik bukik
(sawah berbidang di tempat yang datar, ladang berjenjang di tempat yang lereng,
bandar berliku menuruti bukit). Secara alamiah telah memberi hiasan kepada sebuah
nagari dan secara tersirat memberi hiasan terhadap masyarakatnya yang makmur di
bidang perekonomian.

Kerbau dan sapi yang banyak dipelihara oleh anak nagari di padang pengembalaan
juga memberikan pemandangan yang romantis. Namun dalam pengertian sebenarnya,
kerbau dan sapi sebagai lambang kekayaan masyarakatnnya yang dapat membawa

49
kehidupan rakyat nagari menjadi bersemarak. Demikian pula kolam ikan yang
terdapat di tiap-tiap nagari juga merupakan hiasan bagi nagari tersebut, dan dari
padanya juga mendatangkan hasil. Sebagai perhiasan nagari kelihatannya merupakan
perpaduan antara alam dengan manusia dan budayanya.

D.8. Pagaran Nagari

Agar sebuah nagari bisa kokoh maka harus di pagar. Yang termasuk pagaran nagari
adalah jago, sijanto, mupakai, parik, kawan, luruih, bana (bangun, senjata, mufakat,
parit, kawan, lurus, benar). Bila dikelompokkan pula pagaran nagari ini terbagi dua
yaitu pagaran yang bersifat kebendaan dan pagaran yang bersifat abstrak.

Senjata dan parit merupakan pagaran yang bersifat kebendaan. Pada masa dahulu
untuk mempertahankan nagari dari gangguan luar maka nagari diberi berparit.
Tujuannya agar musuh yang datang menjadi tertahan, di samping itu persenjataan juga
dipergunakan untuk pertahanan diri.

Selanjutnya yang penting memagari nagari dari ancaman dari dalam nagari sendiri,
seperti pelanggaran adat dan penyelewengan terhadap norma-norma adat yang berlaku
dan lain-lain. Agar nagari tersebut tetap kokoh maka masyarakat harus jago atau
waspada. Segala hal-hal yang mungkin timbul yang sifatnya merusak harus dicegah.

Kemudian setiap menghadapi permasalahan atau mengambil keputusan harus


dilaksanakan melalui jalan mufakat. Dengan adanya musyawarah mencari mufakat
maka segala pertikaian yang sifatnya memecah kesatuan dapat dihindari. Juga dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari sifat selalu mencari kawan sangat diutamakan.
Harus pandai berkawan sesama anggota masyarakat agar tidak terjadi silang sengketa
yang merugikan.

Agar nagari aman sentosa juga sifat lurus dan benar harus dimiliki masyarakatnya.
Masyarakatnya diminta untuk menuruti segala sesuatu yang telah digariskan oleh adat
dan tidak boleh menyimpang. Bila terjadi penyimpangan tentu akan menimbulkan
keresahan dalam masyarakat itu sendiri, sifat “luruih” juga harus dimiliki oleh
seseorang dalam pergaulannya sesama anggota masyarakat.

Yang terakhir bahwa kebenaran harus ditegakkan walaupun yang salah itu keluarga
sendiri. Sebagaimana dikatakan tibo dimato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak
dikampihkan (tiba di mata tidak dipicingkan, tiba diperut tidak dikempiskan).
Mempunyai sifat yang benar dalam kehidupan akan menghindarkan diri seseorang
dari sifat penipu dan merugikan orang lain. Bagi pemimpin dalam tugasnya supaya
bakato bana ma hukum adia (berkata benar menghukum adil).

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pagaran nagari bukanlah


terletak dari kekuatan fisik semata, melainkan terletak pula pada pemahaman dan
kepatuhan terhadap ajaran adat itu sendiri.

50
D.9. Batasan Nagari

Batas nagari ditentukan oleh batas-batas alam seperti sungai, bukit, hutan dan lain-
lain. Rakyat dari sebuah nagari merupakan penduduk yang berada dalam ruang
lingkup nagari tersebut dengan batas-batas tertentu. Mengenai batas teritoral nagari ini
dikatakan juga dalam adat “sawah dibari bapamatang, ladang babintalak, padang
dibari balinggundi, rimbo baanjiluang” (sawah diberi berpematang, ladang
berbintalak, pedang diberi linggundi, rimba beranjilu). Bintalak merupakan batas
antara ladang seseorang dengan orang lain dan batas ini dengan tumbuh-tumbuhan
hidup sebagai pagaran. Linggundi sejenis pohon lontas yang mudah hidup di padang
tempat pengembalaan. Anjiluang sejenis kayu hutan yang mudah kelihatan dari jauh
pada musim berbunga.

Batas-batas nagari berdasrkan kepada alam yang kemungkinan tidak banyak


mengalami perubahan, menghindarkan persengketaan antara satu nagari dengan
nagari lainnya. Batas alam seperti ini berupa bukit, sungai, gunung dan lain-lain.
Namun demikian kemungkinan adakalanya terjadi perselisihan antara satu nagari
dengan nagari lainnya bila batas-batas nagari hanya ditandai dengan pohon-pohon
seperti anjiluang yang bisa mati.

Luas wilayah nagari sama dengan tanah ulayat dari suku-suku yang mendirikan nagari
ditambah dengan daerah-daerah kantong, yaitu tanh-tanah yang terletak antara
masing-masing ulayat suku.

Batas-batas antara satu nagari dengan nagari lainnya, didudukkan secara musyawarah
oleh ninik mamak masing-masing pada masa dahulu dengan demikian kemungkinan
terjadinya silang sengketa yang akan timbul kecil sekali.

D.10. Sistem Pemerintahan Nagari

Untuk kelancaran pemerintahan nagari mulai dari taratak sampai ke nagari sudah
diatur secara bertingkat sedemikian rupa. Dimana taratak dipimpin oleh kepala
taratak. Dusun dipimpin oleh kepala dusun. Rumah diberi bertungganai, kaum di
kepalai oleh kepala kaum, suku dipimpin oleh penghulu-penghulu suku.

Penghulu-penghulu suku mewakili sukunya masing-masing dalam kerapatan adat


nagari, dan mereka inilah yang menggerakkan roda pemerintahan nagari. Segala
permasalahan harus “berjenjang naik bertangga turun”. Sebelum sampai kepada
pemerintahan nagari harus diselesaikan dari bawah dan bila tidak ada juga
penyelesaian baru dibawa ke tingkat kerapatan adat nagari. Demikian pula hasil
kerapatan nagari agar sampai kepada anak kemenakan juga melalui tingkatan atau
“beratangga turun”. Penghulu-penghulu suku menyampaikan kepada kepala kaum,
dan seterusnya kepada tungganai. Barulah dari tungganai diteruskan lagi kepada anak
kemenakan.

51
Sistem pemerintahan yang dipakai oleh masing-masing nagari tergantung pada
kelahiran nagari tersebut dan suku yang ada di dalam nagari itu. Dua sistem adat yang
dipakai adat pemerintahan nagari koto Piliang atau Bodi Chaniago yang sama-sama
berazaskan demokrasi.

E. UNDANG - UNDANG
E.1. Undang - Undang

Tujuan adat Minangkabau bermuara kepada cita-cita untuk mewujudkan masyarakat


adil dan makmur, sebagaimana dikatakan : bumi sanang padi manjadi, padi masak
jaguang maupiah, taranak bakambang biak, antimun mangarang bungo, nagari
aman santoso (bumi senang padi menjadi, padi masak jagung meupih ternak
berkembang biak, antimun mengarang bunga, nagari aman sentosa).

Cita-cita tersebut tidak akan tercapai bila tidak ada norma-norma adat dan undang-
undang adaaat yang mengaturnya. Kelihatannya orang tua-tua Minangkabau masa
dahulu yang dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
telah menyusun undang-undang adat yang akan dijadikan pedoman serta
pengalamannya untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang diinginkan di atas.

Undang-undang yang disusun tersebut memegang peranan penting untuk


memperkokoh kesatuan dan persatuan, keamanan dan ketentraman masyarakat
Minangkabau masih kuat dengan adatnya. Barangkali itulah sebabnya sampai saat ini
orang Minangkabau masih kuat dengan adatnya lantaran warisan yang diterma
dilandasi oleh undang-undang dan peraturan adat yang harus dipedomani, dihayati
serta diamalkan. Undang-undang merupakan tali pengikat bagi setiap lembaga yang
ada seperti raantau, luhak, nagari, maupun seluruh warga masyarakatnya.

Dengan kata lain undang-undang gunanya untuk mengatur hubungan nagari dengan
nagari, luhak dengan luhak, alam dengan rantau, untuk mengatur keamanan,
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dalam nagari.

Sebagai sendi dari undang-undang adat yaitu : cupak nan duo, kato nan ampek (cupak
yang dua, kata yang empat). Cupak yang dua adalah cupak usali (cupak asli) dan
cupak buatan. Sedangkan kato nan ampek adalah kato pusako, kato mupakat, kato
dahulu dan kato kudian. Kesemua materi di atas akan menjadi pembahasan dalam
bahagian bab ini.

E.2. Undang - Undang Nan Ampek

Undang-undang yang telah disusun oleh orang tua-tua Minangkabau dahulu telah
dikategorikannya atas empat bahagian atau dalam adat dikatakan. Undang-undang nan
ampek (undang-undang yang empat). Undang-undang nan ampek ini adalah undang-
undang luhak, undang-undang nagari, undang dalam nagari dan undang-undang duo
puluah (dua puluh).

52
a. Undang-Undang Luhak Dan Rantau.

Undang-undang luhak dan rantau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan luhak dan
rantau, seperti tugas penghulu dan rajo di daerah rantau, undang-undang luhak dan
rantau ini dikatakan dalam pantun adatnya yang mengatakan:

Mancampak sambia kahulu,


Kanailah pantau dikualo,
Dilatak dalam cupak,
Dijarang jo sipadeh ;
Luah dibari barajo,
Tagak indak tasondak,
Malenggang indak tapampeh

(mencapak sambil kehulu, dapatlah pantau dikuala, diletakkan dalam cupak,


dijerangkan dengan sipedas, luhak diberi penghulu, rantau diberi raja, tegak tidak
tersundak, melenggang tidak terpempas).

Pengertiannya di daerah luhak yang mengaturnya adalah penghulu, sedangkan di


daerah rantau yang akan ganti penghulu disebut rajo. Kedua kepemimpinan ini yaitu
penghulu dan rajo mempunyai wewenang penuh di daerah masing-masing,
sebagaimana dikatakan “tagak indak tasondak, malenggang indak tapampeh”.

b. Undang-Undang Nagari

Undang-undang nagari mengatur segala sesuatu mengenai nagari sebagai satu


kesatuan masyarakatt hukum adat. Menurut undang-undang mengenai nagari
dikemukakan oleh taliban adat sebagai berikut :

Anak gadih mangarek kuku, dikarek jo pisau sirauik, pangarek batuang tuo, batuang
tuo elok kalantai, nagari baampek suku, dalam suku babuah paruik, kampuang
banantuo, rumah batungganai (anak gadis mengerat kuku, dikerat dengan pisau
siraut, peraut betung tua, betung tua untuk baik untuk lantai, negeri berkeempat suku,
dalam suku mempunyai perut, kampung bertua, rumah bertungganai). Pada mulanya
dengan pengertian sebuah nagari mempunyai sekurang-kurangnya terdiri dari empat
suku, tiap suku terdiri pula dari perut-perut atau kaum. Dalam sebuah kampung ada
yang dituakan setiap rumah gadang ada mempunyai tungganai (mamak yang
dituakan).

M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghoeloe dalam bukunya Sejarah Ringkas


Minangkabau dengan adatnya, mengatakan, bahwa nagari baru bisa dikatakan sebuah
nagari yang syah bila mempunyai tujuh rukun sebagai berikut:

1. Balabuah batapian
2. Babalai bamusajik
3. Badusun batarak

53
4. Basawah baladang
5. Babanda buatan
6. Bakabau bajawi, ba tabek ba taman-taman
7. Bagalanggang bapamedanan

Bila diperhatikan undang-undang nagari ini lebih menitik beratkan kepada


kelembagaan nagari sebagai tertorial yang berupa kampung, taratak, dusun, koto dan
tiap-tiapnya ada pimpinan yang mengaturnya untuk memperlancar mekanisme roda
pemerintahan secara adat.

c. Undang-Undang Dalam Nagari

Undang-undang dalam nagari mengatur hubungan antara nagari dengan isinya, antara
seseorang dengan seseorang, antara seseorang dengan masyarakat dan sebagainya.
Undang-undang dalam nagari juga menggariskan hak dan kewajiban sebagai anggota
masyarakat. Undang-undang dalam nagari ini menjamin keamanan dalam nagari
karena orang disuruh untuk berbuat sesuatu, dan jika tidak ditaati juga diancam
dengan hukuman. Hukum yang paling berat adalah kehinaan yang ditimpakan
terhadap diri seseorang, seperti tidak dibawa sehilir semudik, dikeluarkan dari
hubungan kekeluargaan dan lain-lain.

Hak dan kewajiban yang dikemukakan dalam undang-undang dalam nagari ini
dikemukakan sebagai berikut:

Salah tariak mangumbalikan, salah cotok malantiang, salah lulua mamuntahkan,


salah cancang mambari pampeh, salah bunuah mamabari diat, manyalang
maantakan, utang dibaia, piutang ditarimo, baabu bajantiak, kumuah basasah, sasek
suruik talangkah kumbali, gawa maubah, cabua dibuang, buruak dipabaiki, lapuak
dikajangi usang dipabarui, tangih baantokan, jatuah basambuik, salah kapado tuhan
mintak tobat, salah kapado manusia minta maaf, suarang baagiah, sekutu babalah.

d. Undang-Undang Nan Duo Puluah

Undang-undang nan duo puluah (undang-undang yang dua puluh). Yaitu undang-
undang yang berhubungan dengan hukm dan penyelesaian hukum. Menegakkan
keadilan dan kebenaran serta menjaga ketertiban merupakan syarat yang harus
dipertahankan di tengah-tengah masyarakat. Menegakkan ketertiban dan keamanan
serta menghukum orang yang berbuat salah adalah merupakan jaminan amannya
masyarakat dan lancarnya segala pekerjaan dalam nagari.

Melihat jenis kejahatan maka undang-undang duo puluah dibagi atas dua bahagian.
Pertama undang-undang nan salapan dan yang kedua undang-undang na duo baleh.

Yang termasuk undang-undang nan salapan adalah sebagai berikut:

54
1. Dago dagi mambari malu
2. Sumbang salah laku parangai
3. Samun saka tagak di bateh
4. Umbuak umbai budi marangkak
5. Maliang curi taluang diindian
6. Tikam bunuah padang badarah
7. Sia baka sabatang suluah
8. Upeh racun batabuang sayak

Undang-undang nan salapan ini menyatakan kejahatan atau kesalahan besar dan
disebut juga “cemo dan bakaadaan” (tuduh yang mempunyai fakta)

1. Dago Dagi Mambari Malu

Dago dagi mambari malu (dago dagi memberi malu), dago merupakan kesalahan
yang diperbuat oleh kemenakan kepada mamaknya, sedangkan dagi yakni mamak
berbuat salah kepada kemenakannya. Melawan kepada mamak adalah hal yang sangat
tercela karena mamak sebagai pimpinan adalah atas pilihan kemenakan-
kemenakannya dan didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Oleh karena itu
seorang mamak haruslah dihormatinya.

2. Sumbang Salah Laku Parangai

Sumbang salah laku parangai (sumbang salah laku perangai). Sumbang perbuatan
atau pergaulan yang salah dipandang mata dan belum dapat dijatuhkan hukuman
secara adat. Sebagai contoh sering bertemu kerumah seorang janda yang tidak pada
waktunya. Salah adalah perbuatan yang melanggar susila dan dapat dijatuhi hukuman
secara adat. Sebagai contohnya “manggungguang mambaok tabang” (menggunggung
membawa terbang), maksudnya melarikan isteri orang.

3. Samun Saka Tagak Di Bateh

Samun saka tagak di bateh (samun sakal tegak di batas), samun maksudnya
mengambil barang orang lain dengan paksa di tempat yang lengang dan dilakukan di
daerah perbatasan. Di daerah perbatasan seperti antara batas luhak dengan rantau. Hal
ini sudah diperhitungkan oleh penyamun karena sulit untuk mengusutnya nanti secara
hukum.
Saka juga menghadang di tempat yang lengang untuk merampas barang orang lain
tidak segan-segan melakukan pembunuhan.

4. Umbuak Umbai Budi Marangkak.

Umbuak (umbuk), maksudnya menipu orang lain dengan mulut manis sehingga orang
terpedaya. Umbai, maksudnya menipu dengan jalan ancaman. Ada juga pendapat
yang mengatakan umbuak umbai ini dengan “kicuah kicang”. (penipuan yang sangat
lihai sekali).

55
5. Maliang Curi Taluang Dindiang

Maliang (maling), mengambil barang orang lain pada malam hari. Sebagai bukti
orang maling itu masuk kerumah orang lain taluang dindiang (terluang dinding).
Maksudnya ada buktinya dinding yang berlobang atau rusak tempat orang maling itu
masuk. Curi yaitu mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuannya pada siang
hari.

6. Tikam Bunuah Padang Badarah

Tikam, maksudnya menikam senjata tajam kepada orang lain sampai luka. Sebagai
buktinya bahwa dia telah melakukan penikaman, senjata yang dipergunakannya
berdarah. Bunuah (bunuh), melenyapkan nyawa orang lain dengan bukti mayat
terbujur.

7. Sia Baka Sabatang Suluah

Sia (siar) maksudnya menyulutkan api kepada sesuatu barang tetapi tidak sampai
menghanguskan. Baka (bakar), maksudnya menyulutkan api sampai menghanguskan,
seperti rumah menjadi abu. Sebagai buktinya ada puntung suluh yang terdapat di
sekitar tempat tersebut.

8. Upeh (racun)

Upeh (upas), maksudnya ramuan yang dijadikan racun dan ramuan ini dapat
mematikan. Racun sejenis tuba yang dapat membunuh orang dengan seketika.
Lengkapnya dikatakan upeh racun batabuang sayak (upas racun bertabung sayak).
Tabung sayak sebagai alat bukti yang dipergunakan untuk menyimpan upas dan racun
tadi. Sebagai pembuktian pada masa dahulu sisa makanan diberikan kepada hewan
dengan sayak (tempurung) yang dipergunakan untuk meletakkan racun tersebut.

Undang-undang nan duo baleh merupakan bagian dari undang-undang nan duo
puluah. Yang termasuk undang-undang nan duo baleh ini adalah sebagai berikut:

1. Talala takaja
2. Tacancang tarageh
3. Takacuik tapukua Putuih tali
4. Tumbang ciak
5. Anggang lalu ata jatuah
6. Bajalan bagageh-gageh
7. Pulang pai babasah-basah
8. Bajua bamurah-murah
9. Panyakik dibaok langau
10. Tabayang tatabua
11. Kacondong mato rang banyak

56
Undang-undang nan duo baleh ini dibagi pula atas dua bahagian yaitu undang-
undang nan anam dahulu dan undang-undang nan anam kudian. Undang-undang nan
anam dahulu dikatakan juga “tuduah”. Sangka yang berkeadaan, jatuh kepada bukti
yang bersuluah matahari, (bergelenggang mata orang banyak). Sedangkan undang-
undang nan anam kemudian dikatakan “cemo” atau syakwasangka, apakah seseorang
itu melakukan pekerjaan tersebut atau tidak. Untuk jelasnya akan dibicarakan satu-
persatu dari undang-undang nan duo baleh di atas.

1. Talala Takaja

Talala (terlala), maksudnya orang yang tertangkap ketika ingin lari setelah berbuat
kesalahan. Takaja (terkejar), maksudnya orang yang melakukan kesalahan seperti
mencuri kemudian melarikan diri. Setelah dikejar orang tersebut dapat ditangkap
beserta barang buktinya.

2. Tacancang Tarageh

Tacancang (tercencang), maksudnya orang yang melakukan kesalahan mendapat


pukulan atau kena senjata tajam dari orang yang menangkapnya. Pukulan dan senjata
tajam tadi mempunyai bekas pada tubuh orang yang melakukan kesalahan tersebut.
Tarageh, maksudnya si pelaku kejahatan dapat ditangkap dan kepalanya digundul
secara terburu buru dan ini dapat dijadikan sebagai satu bukti juga.

3. Talacuik Tapukua

Talacuik (terlecut), maksudnya si tertuduh kena lecut oleh orang yang menangkapnya,
dan dapat dibuktikan bekasnya pada badannya. Tapukua (terpukul), maksudnya orang
yang berbuat kesalahan kena pukul, dan pukulan ini membekas pada badannya.

4. Putuih Tali

Putuih tali (putus tali), maksudnya keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
membuat dirinya bebas dari tuduhan. Tetapi setelah disiasati ternyata keterangan yang
diberikannya bohong sama sekali dan dia tidak dapat mengelakkan diri.

5. Tumbang Ciak

Tumbang artinya berbunyi keras, dan ciak pengertiannya hiruk pikuk. Pengertiannya
ketika kejahatan dilakukan terjadi sesuatu yang menimbulkan bunyi keras. Akibat
bunyi keras itu orang terpekik atau bersorak yang menimbulkan hiruk pikuk.
Tujuannya agar perbutan si tertuduh diketahui oleh orang banyak.

6. Anggang Lalu Atah Jatuah

Anggang lalu atah jatuah (enggang lalu atah jatuh), arti secara kata-kata ketika burung
enggang terbang melewati pohon saat itu buahnya jatuh. Ada pula yang mengatakan

57
“enggang lalu atah jatuah”. Enggang bukan burung melainkan orang sedang mengisi
atau mengayak untuk memisahkan atah dengan beras. Saat itu atah dan beras jatuh
kebawah pada lobang-lobang kisaian.

Yang kedua belum ada lagi penelitian. Namun demikian keduanya mempunyai
pengertian yang sama terhadap suatu peristiwa kejahatan. Maksudnya pada waktu
peristiwa itu terjadi, ada orang yang lalu ditempat itu. Secara tidak langsung orang
yang lalu itulah yang dituduh melakukan perbuatan tersebut.

7. Bajalan Bagageh-Gageh

Bajalan bagageh-gageh (berjalan bergegas-gegas), meksudnya ada seseorang yang


kelihatan oleh orang lain berjalan terburu-buru seperti orang ketakutan di tempat
kejahatanter jadi. Orang berprasangka dialah yang melakukan perbuatan tersebut.

8. Pulang Pagi Babasah-Basah

Pulang pagi babasah-basah (pulang pagi berbasah-basah), maksudnya kecurigaan


timbul terhadap diri seseorang berkenaan ketika kejadian, orang tersebut keluar atau
datang dari tempat tersebut dengan pakaian yang tidak terurus dan tubunya basah atau
berlumpur.

9. Bajua Bamurah-Murah

Bajua bamurah-murah (menjual bermurah-murah). Maksudnya kedapatan oleh orang


atau diperoleh berita, bahwa orang yang dicurigai menjadi barang dengan harga yang
tidak sepantasnya. Akibatnya timbul syakwasangka, orang tersebutlah yang
melakukan kejahatan itu.

10. Panyakik Dibaok Langau

Penyakik dibaok langau (penyakit dibawa langau). Maksudnya ketika terjadi suatu
peristiwa yang menggemparkan masyarakat, ada orang yang meninggalkan kampung
atau nagarinya secara diam-diam. Kecurigaan timbul kalau dihubungkan dengan
kelakuannya selama ini.

11. Tabayang Tatabua

Tabayang tatabua (terbayang tertabur), maksudnya ketika peristiwa terjadi orangnya


tidak tertangkap. Namun dari kejauahn kelihatan secara samar-samar di tempat yang
gelap si pelakunya. Setelah dicocokan degan bentuk, pakaian, dan lain-lain orang
amai mencurigainya, bahwa dialah pelakunya.

58
12. Kacondongan Mato Rang Banyak

Kacondong mato rang banyak (kecenderungan mata orang banyak), maksudnya dalam
suatu peristiwa orang banyak cepat memberi tuduhan kepada seseorang, karena
selama ini orang yang dicurigai sudah runciang tanduak (runciang tanduk) juga.
Dengan pengertian orang yang dicurigai sudah seringkali berbuat kejahatan. Padahal
belum tentu dia yang berbuat kejahatan tersebut.

E.3. Cupak Nan Duo

Cupak nan duo (cupak yang dua). Arti cupak dalam kehidupan sehari-hari oleh orang
Minangkabau adalah suatu ukuran yang terbuat dari bambu dan dipergunakan untuk
menakar beras. Cupak ini dibuat dari seruas bambu dan tidak bisa lebih dari satu ruas
atau dikatakan sepanjang batuang (bambu) : yang dimaksudnya sepanjang ruas dari
bambu tersebut.

Untuk keseragaman jumlah isi dari cupak tersebut maka dibuat kesepakatan bersama,
bahwa semua cupak harus berisi seberat 12 tahil (satu tahil beratnya 16 emas), satu
emas sama dengan 2 ½ gram. Pada saat sekarang tentu ukuran ini tidak dipakai lagi
karena sudah ditemui alat ukur yang lain. Cupak yang telah dijadikan ukuran bersama
ini dikatakan “cupak usali” atau cupak asli. Berpedoman dari cupak asli ini ada cupak
yang lain dibuat orang sebagai ukuran dan disebut sebagai “cupak buatan”. Sesuai
dengan falsafah alam takambang jadikan guru, maka arti tersurat dari cupak ini diberi
pengertian tersirat yang ada kaitannya dengan adat Minangkabau yang dikenal sampai
saat ini dengan “cupak usali dan cupak buatan”.

Cupak sepanjang betung dan adat sepanjang jalan, maksudnya segala sesuatu yang
telah digariskan oleh adat menurut alur, dan patut serta mungkin, tidak boleh
dikurangi atau dilebihkan, dan harus dituruti. Ibarat cupak hanya menurut ruas betung
dan tidak lebih, baik ukuran maupun isinya. Demikian pula yang dimaksud dengan
adat sepanjang jalan. Yaitu segala sesuatu hendaklah sepanjang adat yang berlaku dan
tidak boleh menyimpang. Jadi pengertian jalan adalah jalan adat, bukanlah tempat
lalu.

Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini : jika meninggal Dt. Hitam, maka gelar
pusaka dan harta pusakanya jatuh kepada ahli waris atau keturunan Dt. Hitam dalam
kaumnya sendiri, dan tidak boleh diwarisi oleh kaum lain. Kalau terjadi di luar itu
tidak lagi bercupak sepanjang betung dan beradat sepanjang jalan.

Habis cupak karena pelilisan, habis adat berkelirahan secara arti tersurat, maksudnya
mencupaki sesuatu diakhiri dengan melilisnya agar tidak mengurangi atau melebihi.
Habis adat berkeliaran, maksudnya ada unsur kompromi satu sama lain sehingga
sama-sama senang dan tidak ada yang dirugikan.

Sebagai contoh dapat dikemukakan saebagai berikut: dalam menjemput marapulai


bisa terjadi adanya perbedaan dengan syarat-syarat berbeda. Bila dituruti adat masing-

59
masing nagari tidak akan terdapat persesuaian, sebab lain padang, lain belalang, lain
lubuk lain ikan, lain nagari lain adatnya. Karena ada kompromi akhirnya terdapat
persesuaian tanpa mengurangi makna dari pada menjemput marapulai tadi.

Mengenai arti tersirat dari cupak usali dari cupak buatan dapat dikemukakan beberapa
pendapat:

1. D. Djamaludin Sutan Maharajolelo mengatakan :

Adapun yang dikatakan cupak asli, yang betul seumpama sembahyang lima waktu
sehari semalam dan diperlukan sembahyang jumat sekali seminggu menurut
kitabullah, dengan tidak boleh ditambah dan dikurangi. Cupak buatan itu ialah
putusan penghulu-penghulu dalam nagari atau luhak yang ditentukan hingga batasnya
(hak), supaya genggam beruntuk duduk berpenghadap.

2. Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu mengatakan:

Cupak usali menurut adat dikiaskan kepada ukuran yang telah ditetapkan, tidak boleh
dibandingkan lagi dan berlaku selama-lamanya, karena dijadikan teladan “standar”
atau “measure” yang akan ditiru atau dipedomani. Yang diaktakan cupak buatan yaitu
pencaharian segala penghulu. Urang tuo-tuo dan cadiak pandai dalam nagari dipateri
dengan : “tanduak dibanam – darah dikacau, dagiang dilapah, dilicak pinang,
ditapuang batu”.

3. Prof. Mr. M. Nasroen

Yang paling umum penafsiran kepada cupak nan duo adalah tafsiran yang
dikemukakan oleh M. Nasroen ini. Cupak usali adalah sesuatu yang seharusnya
menurut alur dan patut yang kalau tidak dituruti akan terjadilah apa yang menurut
fatwa adat “diasak layua dibubui mati” (dipindahkan layu dicabut mati). Demikian
menurut cupak usali ialah “gantang nan papek, bungka nan dipiawai, taraju nan
indak bapaliang, bajanjang naiak, batanggo turun, nan hitam tahan tapo, namun
putuih tahan sasah, baukua banjangkokan, nan babarih nan bapahek, bab batakuak
nan batabang", (gantang yang pepat, bungkai yang piawai, taraju yang tidak
berpaling, berjenjang naik berrtangga turun, yang hitam tahan tepa, yang putih tahan
cuci, berukur berjangkakan, yang bergaris yang berpahat, yang bertakuk yang
ditebang). Cupak buatan ialah sesuatunya atas putusan permufakatan, yang boleh
diperlonggar dan diturun dipernaikkan menurut zaman dan keadaan.

Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan mengenai penafsiran cupak nan duo,
kelihatan adanya unsur-unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat
tingkatan adanya unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan
kekuatan yaitu cupak usali menggariskan bahwa tindakan, perbuatan bagi seorang
individu maupun masyarakat tidak boleh menyimpang dengan ketentuan-ketentuan
atau norma-norma yang telah diwarisi. Untuk memperkuat ketentuan ini

60
diumpamakan kepada hukum alam, seperti dikatakan nan babarih nan bapahek, nan
batakuan nan batabang (yang berbaris yang dipahat yang bertakuk yang ditebang).

Demikian pula pada persamaan penafsiran kepada cupak buatan, yaitu ketentuan-
ketentuan dalam adat kemudian di atas kesepakatan penghulu-penghulu yang
disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Secara tidak langsung cupak buatan suatu
pengakuan, bahwa adat Minangkabau itu tidak statis, malainkan elastis yang dapat
menyesuaikan diri dengan zamannya. Perbedaan hanya pada contoh-contoh yang
diberikan, ada yang menitik beratkan kepada segi hukum, ada yang berkaitan dengan
nilai. Contoh dapat dibuat bermacam-macam tetapi jiwa “cupaknya” satu saja. Yang
dimaksud cupak tidak lain ukuran, takaran, ketentuan yang telah digariskan oleh adat.

Kalau dapat dikatakan cupak usali atau cupak buatan mengatur pelaksanaan apa-apa
yang telah digariskan baik yang berupa warisan maupun yang diatur kemudian, dan
ini tercermin dalam tingkah laku perbuatan masyarakat adat. Bila dikaitkan antara
adat nan sabana adat dengan cupak usali adalah, adat nan sabana adat berupa
ketentuan, norma yang digali berdasarkan hukum-hukum alam sedang cupak usali
merupakan pelaksanaan dari padanya dan tidak boleh menyimpang apalagi
bertentangan.

E.4. Kato Nan Ampek

Pengertian kata dalam kato nan ampek (kata yang empat), merupakan arti tersirat.
Sedangkan arti sebenarnya tidak lain dari pada norma-norma, peraturan-peraturan,
ketentuan-ketentuan yang diungkapkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan,
mamangan, petitih, petatah, peribahasa dan lain-lain. Kesemuanya itu dijadikan
pedoman, dihayati serta diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan urutan
sejarah terdapat atau lahirnya kata-kata yang mengandung norma-norma tadi dan
bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari maka dalam adat
Minangkabau kata tersebut dalam adat adalah sebagai berikut :

1. Kato Pusako

Kato pusako (kata pusaka) itu diwarisi, dengan pengertian segala ketentuan-ketentuan
yang telah dituangkan dalam bentuk petatah petitih dan lain-lain merupakan
peninggalan-peninggalan nenek moyang orang Minangkabau pada masa dahulu
terutama dari tokoh-tokoh adatnya, yaitu Datuak Ketumanggungan dan Datuak
Perpatih Nan Sabatang. Ketentuan-ketentuan yang berupa fatwa-fatwa adalah
merupakan kebenaran yang harus dipedomani dan diamalkan dalam kehidupan
bermasyarakat.

61
Yang termasuk kata pusaka dapat dikemukakan sebagai berikut:

Nan babarih nan bapahek,


Nan baukua nan bajangko
Mamahek mahuju barih
Tantang bana lubang katabuak
Manabang manuju pangka
Malantiang manuju tangkai
Tantang buah kalareh
Kok manggayuang sabana putuih
Malantiang sabana lareh

(yang bergaris yang dipahat, yang berukur yang berjangka, memahat menuju garis,
tepat benar lobang yang akan tembus, menebang menuju pangkal, melempar menju
tangkai, tepat benara buah akan jatuh, jika menggayung sebenar putus, kala melempar
betul-betul jatuh).

Hakekat kato pusako terletak dalam “bakato sapatah sadang”. Dalam kata sepatah,
"yang genting putus, yang biang tembus. Pada kata pusaka tidak ada kompromi atau
toleransi, tidak ada sanggah banding, tidak ada ulur tarik, tidak ada tolak ansur.
Rumah sudah tukang dibunuh, nasi masak periuk pecah". Dengan pengertian semua
apa yang dikemukakan oleh kata pusaka hendaklah dipedomani dan diamalkan secara
konsekwen.

2. Kato Mufakat

Kata mufakat merupakan hasil permufakatan melalui musyawarah tentang


memecahkan suatu masalah, atau hasil permufakatan itu bisa juga menghasilkan
ketentuan-ketentuan yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.

Kata mufakat juga memberikan kesempatan, bahwa sesuatunya dapat disesuaikahn


dengan situasi, asal ada kemufakatan. Disini juga memperlihatkan bahwa adat
Minangkabau itu bukan statis melainkan dinamis sesui dengan zamannya.

Mencari kata mufakat dikatak dalam adat sebagai berikut:

Dicari rundiang nan saiyo,


Baiyo-iyo jo adiak,
Batido-tido jo kakak
Babana-bana jo bundo
Dibulekkan aia kapambuluah
Dibulekkan kato jo mufakat
Buruak di buang jo etongan
Elok ditariak jo mufakat

62
(dicari runding yang seiya, beriya-iya dengan adik, bertidak-tidak dengan kakak,
bersungguh-sungguh dengan bunda, dibulatkan air ke pembuluh, dibulatkan kata ke
mufakat, buruk dibuang dengan perhitungan, elok ditarik dengan mufakat).

Bila sudah diperoleh kesepakatan barulah dilaksanakan secara konsekwen


sebagaimana dikatakan, "kok lah dapek kato sabuah, kok bulek pantang basuduik, kok
pipih pantang basandiang, tapauik makanan lantak, takuruang makanan kunci" (bila
sudah dapat kata sebuah, bulat tidak bersudut, ceper tidak bersanding, yang terikat
makanan lantang, yang terkurung makanan kunci).

Dalam mencari kata mufakat tidak dikenal sistem suara terbanyak. Oleh sebab ada
perbedaan pendapat maka persoalannya ditangguhkan terlebih dahulu sehingga yang
berbeda pendapat itu dapat lagi berfikir dan biasanya diadakan perembukkan.

3. Kato Dahulu Batapati

Kata dahulu ditepati mempunyai pengertian bahwa segala ketentuan yang telah
disepakati, baik keputusan dalam memecahkan sesuatu masalah ataupun norma-norma
yang telah disepakati untuk kepentingan hidup bersama tidak boleh menyimpang dari
hasil kesepakatan tadi. Kalau terjadi penyimpangan berarti tidak ditepati apa yang
telah diputuskan atau diikrarkan tersebut. Ketentuan adatnya mengatakan : “pitaruah
indak diunyikan, pasan indak dituruti” (pitaruh tidak tunggui, pesan tidak dituruti).

Contoh dari kata dahulu ditepati seperti janji yang telah dibuat sebelumnya dan janji
ini hendaknya ditepati oleh kedua belah pihak dan dalam adat dikatakan “janji harus
ditepati, ikrar harus dimuliakan”.

4. Kato Kemudian Kato Bacari

Kata kemudian kata dicari dapat ditafsirkan atas dua pengertian. Dalam pengertian
positif dapat diartikan, bahwa adanya pemikiran baru yang lebih baik dari pada yang
disepakati sebelumnya dengan alasan pikiran indak sama sekali tumbuah ingatan
indak sakali tibo, dengan pengertian ada kesepakatan untuk memperbaiki mengubah
segala yang telah diputuskan sebelumnya asal saja ada kesepakatan bersama.

Dalam pengertian negatif yaitu adanya keinginan untuk menolak terhadap apa yang
diputuskan tanpa dasar yang kuat, sedangkan sebelumya sudah diterima dan
disepakati. Menurut adat orang yang bersikap seperti ini dikatakan : "kok duduaknyo
alah bakisah, kok tagaknya lah bapaliang, mancaliak jo suduik mato, bajalan
dirusuak labuah". (jika duduknya sudah berkisar, tegaknya sudah berpaling, melihat
dengan sudut mata, berjalan dipinggir jalan).

63
F. SISTEM KEKERABATAN
F.1. Pengantar

Sistem kekerabatan pada masyarakat hukum adat Minangkabau oleh para ahli hukum
lazim disimpulkan dalam kata-kata rumusan matrilineal, genologis dan tertorial. Pada
sistem kekerabatan matrilineal ini garis keturunan ibu dan wanita : dan anak-anaknya
hanya mengenal ibu dan saudara-saudara ibunya, ayah dan keluarganya tidak masuk
clan anaknya karena ayah termasuk clan ibunya pula. Para ahli antropologi
sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari
bentuk garis keturunan lainnya. Salah seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang
terkenal dengan teori evolusinya. Wilken mengemukakan proses dari garis keturunan
ini pada masa pertumbuhannya sebagai berikut:

1. Garis keturunan ibu


2. Garis keturunan ayah
3. Garis keturunan orang tua

Menurut teori evolusi garis keturunan ibulah yang dianggap yang tertua dan kemudian
garis keturunan ayah, selanjutnya si anak tidak hanya mengenal garis keturunan
ibunya, tetapi juga garis keturunan ayahnya. Alasan yang digunakan oleh penganut
teori evolusi ini menitik beratkan terhadap evolusi kehidupan manusia.

Pada masa lalu pergaulan antara laki-laki dan wanita masih bebas artinya belum
mengenal norma-norma perkawinan. Untuk memudahkan silsilah seorang anak
dengan berdasarkan kelahiran. Berdasarkan alam terkembang menjadi guru dalam
kenyaaan yang beranak itu adalah wanita atau betina. Dengan demikian keturunan
berdasarkan perempuanlah yang mendapat tempat pertama. Dalam kenyataan sampai
saat ini, masyarakat Minangkabau masih bertahan dengan garis keturunan ibu dan
tidak mengalami evolusi. Disamping itu garis keturunan ibu di Minangkabau erat
kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan pusako. Seandainya garis keturunan
mengalami perubahan maka akan terjadi sesuatu perubahan dari sendi-sendi adat
Minangkabau sendiri. Oleh itu bagi orang Minangkabau garis keturunan bukan hanya
sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya melainkan erat sekali
hubungannya dengan adatnya.

Sebenarnya garis keturunan yang ditarik dari garis wanita bukan hanya terdapat di
Minangkabau saja, melainkan juga di daerah lain pada sejumlah besar suku-suku
primitif di Melanesia, Afrika Utara, Afrika Tengah, dan beberapa suku bangsa di
India. Malahan ada yang sangat mirip dengan sistem kekerabatan matrilineal
Minangkabau, yaitu suku Babemba di Rodhesia Utara. Raymond Rifth
mengemukakan, mengenai ini sebagai berikut:

Seorang laki-laki termasuk marga ibunya, dan kalau dia bicara tentang kampung
asalnya, maka dimaksudkannya adalah kampung halaman ibunya dan paman-
pamannya dari pihak perempuan dilahirkan. Dia mencari asal usul terutama dari
silsilah nenek moyangnya dari pihak perempuan. Bagi seorang laki-laki bangsawan

64
adalah lazim, bahwa nenek moyangnya dari pihak perempuan dapat ditunjukkan
sampai keturunan yang ketiga belas, sedangkan nenek moyangnya yang laki-laki
hanya sampai dua generasi saja. Pergantian kedudukan juga dilakukan menurut
garis silsilah ibu. Jabatan kepala suku juga diturunkan kepada anak laki-laki
saudara perempuannya.

Banyak ahli barat menulis tentang Minangkabau yang ada kaitannya dengan sistem
kekerabatan Minangkabau. Salah seorang dari para ahli tersebut adalah Bronislaw
Malinowsky yang mengemukakan sebagai berikut:

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu


2. Suku dibentuk menurut garis ibu
3. Pembalasan dendam merupakan tata kewajiban bagi seluruh suku
4. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan ibu tetapi jarang
dipergunakan.
5. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar suku
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.
7. Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istri

Apa yang dikemukakannya di atas yang tidak ditemui sekarang adalah pembalasan
dendam yang merupakan tata kewajiban seluruh suku, mungkin terjadi pada masa
dahulu. Dalam membicarakan sistem kekerabatan matirilinel di Minangkabau yang
akan dikemukakan pada bab selanjutnya.

F.2. Garis Kekerabatan dan Kelompok-Kelompok Masyarakat

Garis keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi inti dari sistem
kekerabatan matrilineal ini adalah “paruik”. Setelah masuk islam di Minangkabau
disebut kaum. Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan dari paruik adalah
“jurai”.

Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya,
secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada
mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh
berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini
bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut
ikut mendukungnya. Secara garis besar faktor-faktor yang mengikat kaum ini adalah
sebagai berikut.

1. Orang Sekaum Seketurunan

Walaupun di Minangkabau ada anggapan orang yang sesuku juga bertali darah,
namun bila diperhatikan betul asal usul keturunannya agak sulit dibuktikan, lain
halnya dengan orang yang sekaum. Walaupun orang yang sekaum itu sudah puluhan

65
orang dan bahkan sampai ratusan, namun untuk membuktikan mereka seketurunan
masih bisa dicari. Untuk menguji ranji atau silsilah keturunan mereka. Dari ranji ini
dapat dilihat generasi mereka sebelumnya dan sampai sekarang, yang ditarik dari
garis keturunan wanita. Faktor keturunan sangat erat hubungannya dengan harta
pusaka dari kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa
menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum tersebut. Ranji yang tidak
terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka
kaum dan juga mengenai sako.

2. Orang Yang Sekaum Sehina Semalu

Anggota yang berbuat melanggar adat akan mencemarkan nama seluruh anggota
kaum, yang paling terpukul adalah mamak kaum dan kepala waris yang diangkat
sebagai pemimpin kaumnya, karena perasaan sehina semalu-cukup mendalam, maka
seluruh anggota selalu mengajak agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan
dari anggota kaumnya. Rasa sehina semalu ini adat mengatakan : “malu tak dapek
dibagi, suku tak dapek dianjak” (malu tak dapet dibagi suku tidak dapat dianjak).
Artinya malu seorang malu bersama. Mamak, atau wanita-wanita yang sudah dewasa
selalu mengawasi rumah gadangnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini.

3. Orang Yang Sekaum Sepandan Sepekuburan

Untuk menunjukkan orang yang sekaum maka sebuah kaum mempunyai pandam
tempat berkubur khusus bagi anggora kaumnya. Barangkali ada yang perlu untuk
dibicarakan berkaitan dengan pandam ini. Di Minangkabau tempat memakamkan
mayat terdapat beberapa istilah seperti pandam, pekuburan, ustano dan jirek. Kuburan
ini merupakan tempat kuburan umum dan disini tidak berlaku seketurunan dan siapa
saja atau mamak mana asalnya tidak jadi soal. Yang disebut juga anak dagang.

“ustano” adalah makam raja-raja dengan keluarganya. Di luar dari itu tidak
dibenarkan. Namun dalam kenyataan sehari-hari orang mengacaukan sebutan ustano
dengan istana sebagaimana sering kita baca atau dengar. Sedangkan jirek merupakan
makam pembesar-pembesar kerajaan pagaruyung dengan keluarganya. Ustano dan
jirek ini terdapat di pagaruyung batusangkar. Untuk mengatakan seseorang itu sekaum
merupakan orang asal dalam kampung itu, kaum keluarganya dapat menunjukkan
pandamnya, di dalam adat dikatakan orang yang sekaum itu sepandam sepekuburan
dengan pengertian satu pandam tempat berkubur.

4. Orang Yang Sekaum Seberat Seringan

Orang yang sekaum seberat seringan sesakit sesenang sebagian yang dikemukakan
dalam adat “kaba baik baimbauan, kaba buruk bahambauan” (kabar baik
dihimbaukan, kabar buruk berhamburan). Artinya bila ada sesuatu yang baik untuk
dilaksanakan seperti perkawinan, berdoa dan lain-lain maka kepada sanak saudara
hendaklah diberitahukan agar mereka datang untuk menghadiri acara yang akan
dilaksanakan. Tetapi sebaliknya semua sanak famili akan berdatangan, jika

66
mendengarkan kabar buruk dari salah seorang anggota keluarganya tanpa
dihimbaukan sebagai contohnya seperti ada kematian atau mala petaka lain yang
menimpa.

5. Orang Yang Sekaum Seharta Sepusaka

Menurut adat Minangkabau tidak dikenal harta perseorangan, harta merupakan


warisan dari anggota kaum secara turun temurun. Harta pusaka yang banyak dari
sebuah kaum menunjukkan juga bahwa nenek moyangnya merupakan orang asal di
kampung itu sebagai peneruka pertama, dan kaum yang sedikit mempunyai harta
pusaka bisa dianggap orang yang datang kemudian. Oleh sebab itu di dalam adat
sebuah kaum yang banyak memiliki harta tetapi hasil tembilang emas atau dengan
cara membeli, maka statusnya dalam masyarakat adat tidak sama sekali dengan orang
yang mempunyai harta pusaka tinggi. Malahan orang yang seperti ini disebut sebagai
orang pendatang.

Harta pusaka kaum merupakan kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu dan tetap
berpegang kepada prinsip “harato salingka kaum, adat salingka nagari” (harta
selingkar kaum, adat selingkar nagari).

Selanjutnya garis kekerabatan yang berkaitan dengan kaum ini adalah jurai. Sebuah
kaum merupakan kumpulan dari jurai dan tiap jurai tidak sama jumlah anggotanya.
Setiap jurai membuat rumah gadang pula, tetapi rumah gadang asal tetap dipelihara
bersama sebagai rumah pusaka kaum. Pimpinan tiap jurai ini disebut tungganai atau
mamak rumah sebuah anggota jurai, merupakan satu kaum.

Pecahan dari jurai disebut samande (seibu) yaitu ibu dengan anak-anaknya, sedangkan
suami atau orang sumando tidak termasuk orang samande. Orang yang samande
diberi “ganggam bauntuk, pagang bamasieng”. (genggam yang sudah diperuntukan,
dan masing-masing sudah diberi pegengan), artinya masing-masing orang yang
semande telah ada bagian harta pusaka milik kaum. Bagi mereka hanya diberi hak
untuk memungut hasil dan tidak boleh digadaikan, apalagi untuk menjual bila tidak
semufakat anggota kaum.

F.3. Perkawinan

Dalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sekaum kawin mengawini
meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam
sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama
anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat keselamatan hubungan
sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila terjadi perkawinan sesama anggota
kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal.
Oleh karena itu sampai sekarang masih tetap kawin dengan orang di luar sukunya
(exogami).

67
Perkawinan merupakan inisiasi kealam baru bagi seorang manusia merupakan
perobahan dari tingkat umur, seperti masa bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak ke
alam dewasa dan kemudian ke jenjang perkawinan.

Mengenai perkawinan para ahli antropologi budaya yang menganut teori evolusi
seperti Herbert Spencer mengemukakan proses perkawinan itu melalui lima tingkatan.
Kelima proses tingkatan itu adalah sebagai berikut:

1. Promisquithelt : tingkat perkawinan sama dengan alam binatang laki-laki dan


perempuan kawin dengan bebas.
2. Perkawinan gerombolan yaitu perkawinan segolongan orang laki-laki dengan
segolongan orang perempuan.
3. Perkawinan matrilineal yakni perkawinan yang menimbulkan bentuk garis
keturunan perempuan.
4. Perkawinan patrilineal yakni anak-anak yang lahirkan masuk dalam
lingkungan keluarga ayahnya.
5. Perkawinan parental yaitu perkawinan yang memungkinkan anak-anak
mengenal kedua orang tuanya. Bagi masyarakat Minangkabau sampai
sekarang belum ada keterangan yang diperoleh bagaimana cara dan prosesnya
sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Apakah ada proses perkawinan
bebas dan bergerombolan ini dahulunya dan untuk itu tentu perlu penyelidikan
dan penelitian khusus.

Dari cerita-cerita kaba yang ada di Minangkabau digambarkan bahwa untuk mencari
seorang sumando dipanjang gelanggang dan diadakan sayembara. Perkawinan dengan
sayembara ini memperlihatkan cara seorang raja atau bangsawan mencari calon
menantu. Hal ini tidak sesuai dengan struktur masyarakat Minangkabau yang tidak
mengenal adat raja-raja, dan kemungkinan cerita dalam kaba ini merupakan pengaruh
dari luar Minangkabau.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan perkawinan ini adalah
sebagai berikut:

1. Inisiatif datang dari pihak keluarga perempuan

Pada masa dahulu bagi seorang mamak merasa malu bila kemenakannya belum juga
mendapat jodoh. Sedangkan menurut ukuran sudah sepantasnya untuk kawin, malu
bila dikatakan kemenakannya “gadih gadang alun balaki” (gadis besar belum
bersuami).

Pada masa dahulu dibenarkan untuk menggadaikan harta pusaka tinggi bila terdapat
gadih gadang alun balaki. Segala daya dan upaya dilkukan demi memperoleh jodoh
kemenakan. Mencari calon suami dari kemenakan dikatakan juga mencari junjungan,
untuk tempat kemenakannya menyadarkan diri. Hal ini juga tidak terlepas dari alam
takambang jadi guru. Ibarat kacang panjang membutuhkan junjungan untuk

68
membelitkan dirinya. Lazimnya pada masa dahulu si gadis tidak dinyatakan terlebih
dahulu apakah ia mau kawin atau tidak, atau calon suaminya disukai atau tidak.

Hal ini dengan pertimbangan seseorang yang belum kawin masih dianggap belum
dewasa. Apalagi pada masa dahulu seorang wanita sudah dicarikan suaminya dalam
umur yang relatif muda, seperti umur 13, 14 atau 15. Bila sudah menjanda baru
ditanya pendapatnya, karena sudah dianggap matang untuk melakukan pilihan.

Drs. M. Rajab mengenai inisiatif dari seorang mamak untuk mencari jodoh
kemenakannya mengemukakan sebagai berikut: “dalam masyarakat Minangkabau
pada masa dahulu inisiatif untuk mengawinkan anak kemenakan datang dari pihak
keluarga perempuan, sesuai dengan sistim keibuan yang dipakai. Datuk atau
mamaknya atau keduanya pada suatu ketika yang baik dan dalam suasana yang
tenang dan resmi, mengajak ayah gadis tersebut berunding dan bertanya, apakah
sudah terlintas pada pikirannya seorang laki-laki yang layak untuk diminta menjadi
menantunya.”

Dapat disimpulkan antara mamak dengan ayah kemenakannya melakukan pendekatan


terlebih dahulu. Setelah itu baru dibawa kepada anggota kaum yang pantas untuk
berunding atau bermusyawarah bersama-sama. Dalam hal ini urang sumando
mengajukan calonnya pula. Setelah dapat kata sepakat barulah diutus utusan untuk
menjajaki keluarga laki-laki yang bakal diharapkan menjadi junjungan
kemenakannya.

Perkawinan yang dilakukan atas musyawarah seluruh anggota kaum dan antara dua
kaum sangat diharapkan dalam adat, karena pada lahirnya bukan hanya
mempertemukan seorang gadis dengan seorang laki-laki, melainkan mempertemukan
dua keluarga besar. Seandainya terjadi hal yang tidak diingini, seperti pertengkaran
suami istri, perceraian dan lain-lain, maka seluruh anggota keluarga merasa
bertanggung jawab untuk menyelesaikannya dan menanggung segala resikonya.

Pada saat sekarang mungkin saja calon suami atau istri datang dari pihak gadis atau
laki-laki, namun jalur adat harus dituruti juga. Bawalah permasalahan kepada mamak
atau kaum keluarga, sehingga nilai-nilai adat tetap terpelihara. Sangat tercela bila
pemuda mencari jodoh sendiri dan melangsungkan perkawinan sendiri tanpa
melibatkan masing-masing anggota keluarga.

2. Calon menantu yang diidamkan

Pada umumnya orang Minangkabau pada masa dahulu mencari calon menantu
mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau syarat-syarat yang mempunyai tata nilai yang
berlaku waktu itu. Yang paling disukai adalah urang babangso (orang berbangsa).
Orang ini dalam keluarga laki-laki mamaknya pemangku adat atau penghulu yang
disegani dalam masyarakat adat. Kalau dapat calon menantu ini pemangku adat yang
berpredikat datuk, serta baik budinya. Tujuannya agar keturunannya nanti anak orang
terpandang dan soal pekerjaan dan jaminan ekonomi tidak dipermasalahkan. Setelah

69
islam masuk ke Minangkabau calon menantu yang diinginkan adalah orang yang alim
serta taat beragama. Kesemuanya itu tidak lain untuk menambah martabat bagi
seseorang dan anggota kaum pada umumnya.

Karena adanya perobahan sistim nilai yang terjadi maka saat sekarang kecendrungan
untuk mencari calon menantu itu adalah orang yang penuh tanggungjawab dan sudah
mempunyai pekerjaan yang tetap, dan tentu saja ketaatannya beragama serta budinya
yang baik tetap menjadi ukuran pertimbangan.

Dahulu soal ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan bukan berarti pihak
suami tidak bertanggungjawab, melainkan pada waktu itu hasil harta pusaka sawah
dan ladang memadai. Tentu penduduk belum sebanyak sekarang jika dibandingkan
dengan harta pusaka yang ada.

3. Calon menantu cenderung dicari hubungan keluarga terdekat.

Merupakan ciri khas juga pada masa dahulu calon suami atau istri mencari hubungan
keluarga terdekat, seperti pulang kebako, atau pulang ke anak mamak. Hal ini lain
tidak agar hubungan keluarga itu jangan sampai putus dan berkesinambungan pada
generasi selanjutnya. Secara tersirat ada juga dengan alasan agar harta pusaka dapat
dimanfaatkan bersama antara anak dan kemenakan. Hubungan perkawinan keluarga
terdekat ini dalam adat dikatakan juga “kuah tatumpah kanasi, siriah pulang ka
gagangnyo” (kuah tertumpah ke nasi, sirih pulang ke gagangnya).

Malahan pada masa dahulu perkawinan dalam lingkungan sangat diharuskan, dan bila
terjadi seorang laki-laki kawin di luar nagarinya akan diberi sangsi dalam pergaulan
masyarakat adat. Tujuan lain untuk memperkokoh hubungan kekerabatan sesama
warga nagari. Sangat tidak disenangi bila seorang pemuda telah berhasil dalam
kehidupannya dengan baik, tahu-tahu dia kawin diluar kampung atau nagarinya, hal
ini dikatakan ibarat “mamaga karambia condong” (memagar kelapa condong),
buahnyo jatuah kaparak urang (buah jatuh kekebun orang). Keberhasilan seseorang
individu dianggap tidak terlepas dari peranan anggota kaum, kampung dan nagari.
Oleh sebab itu sudah sepantasnya jangan orang lain yang mendapat untungnya.

4. Setelah perkawinan suami tinggal di rumah isteri

Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah perkawinan si suamilah yang


tinggal di rumah istrinya. Dalam istilah antropologi budaya disebut matrilocal.
Mengenai tempat tinggal di rumah istrinya, beberapa ahli mempunyai pendapat lain,
seperti Firth mengatakan dengan istilah “uxorilocal” dan Mordock mengatakan
“duolocal residence”, hal ini dengan alasan karena masing-masing suami istri tetap
tinggal dan punya domisili yang sah di dalam kelompok tempat tinggal kelahirannya
di garis keturunan masing-masing.

Sayang sekali pendapat di atas tidak menjelaskan pada zaman apa terjadinya hal yang
demikian. Pada masa dahulu suami pulang kerumah istrinya pada sore hari dan

70
subuhnya kembali kerumah orang tuanya. Hal ini mungkin terjadi bila terjadi dalam
lingkungan daerah yang masih kecil, seperti sekampung, senagari dan asal tidak
bersamaan suku. Namun dalam adat Minangkabau tidak mengenal istilah duorocal
residence atau dua tempat tinggal bagi seorang suami sebagaimana yang dikatakan
oleh ahli tersebut diatas. Sejak dahulu sampai sekarang orang Minangkabau tetap
mengatakan bahwa suami tinggal di rumah istri bila berlangsung perkawinan.

5. Tali kekerabatan setelah perkawinan

Sebagai rentetan dari hasil perkawinan menimbulkan tali kerabat – tali kerabat antara
keluarga istri dengan keluarga rumah gadang suami dan sebaliknya. Tali kerabat itu
seperti tali induak bako anak pisang, tali kerabat sumando dan pasumandan, tali
kerabat ipar, bisan dan menantu.

a. Tali kerabat induak bako anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara
seseorang anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya, atau hubungan
seseorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya. Saudara-saudara
perempuan dari seorang bapak, adalah induak bako dari anak-anaknya.
Sedangkan anak-anak dari seorang bapak merupakan anak pisang dari
saudara-saudara perempuan bapaknya. Anak-anak perempuan dari saudara-
saudara perempuan bapak adalah “bakonya”.
b. Tali kekerabatan sumando dan pasumandan. Dengan adanya perkawinan
maka terjadi hubungan sumando pasumandan. Bagi seluruh anggota rumah
gadang istri, suaminya, menjadi urang sumando (orang semenda) seseorang
istri bagi keluarga suaminya menjadi pasumandan.
c. Sumando berasal dari bahsa sansekerta yaitu “sandra”, sedangkan dalam
bahasa Minangkabau menjadi “sando” dengan sisipan “um” menjadi sumando.
Persamaan kata sando adalah gadai. Dalam kehidupan sehari-hari ada istilah
pagang gadai. Bagi pihak yang menerima jaminan berupa benda harta yang
digadaikan disebut sando, sedangkan orang yang memberikan hartanya
sebagai jaminan dikatakan menggadaikan. Demikianlah sebagai penerima dari
keluarga perempuan terhadap seorang menjadi suami anak kemenakannya
dikatakan sebagai sumando. Namun demikian jangan lah diartikan secara
negatif seperti terjadinya pegang gadai dalam kehidupan sehari-hari.
d. Seorang istri yang menjadi pasumandan dari anggota rumah gadang suaminya
di aberperan sebagai komunikator antara suaminya dengan tungganai dan
mamak rumah gadangnya. Sedang untuk mengkomunikasikan kepentingan
sendiri sebagai istri, biasanya melalui saudara-saudara perempuan suami.
e. Tali kekerabat ipar, bisan dan menantu. Bagi seorang suami, saudara-saudara
perempuan istrinya menjadi bisannya. Sedangkan saudara-saudara laki-laki
dari istrinya adalah menjadi iparnya. Sebaliknya, saudara-saudara perempuan
suaminya adalah merupakan bisannya, dan saudara laki-laki suaminya menjadi
iparnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau menyebut ipar,
bisan ini “ipa bisan” dan kadang-kadang disambung saja jadi “pabisan”.

71
Bagi orang Minangkabau menantu dibedakan atas dua bahagian. Pertama menantu
sepanjang syarak. Bagi seorang suami istri dan saudara laki-lakinya. Istri-istri atau
suami-suami anaknya merupakan menantu sepanjang syarak. Yang kedua, menantu
sepanjang adat, maksudnya bagi seorang mamak beserta istri dan saudara-saudara
laki-lakinya, istri atau suami kemenakan merupakan menantu sepanjang adat.

6. Sumando yang diidamkan

Nilai seorang sumando sekaligus, merupakan nilai seorang mamak di luar lingkungan
sosial rumah gadang, karena orang sumando tersebut seorang mamak di rumah
gadangnya. Sampai sejauh mana tingkah laku seorang sumando itu dalam melakukan
perannya, orang Minangkabau mengklasifikasikannya sebagai berikut:

a. Sumando bapak paja atau sumando ayam gadang (ayam besar). Maksudnya
orang sumando hanya pandai beranak saja seperti ayam besar, sedangkan
tanggungjawab kepada anak istrinya tidak ada.
b. Sumando langau hijau (lalat hijau). Penampilan gagah dan meyakinkan tetapi
perangai tidak baik. Suka kawin cerai dengan meninggalkan anak. Seperti
langau hijau suka hinggap di mana-mana dan kemudian terbang meninggalkan
bangan (kotoran).
c. Sumando kacang miang. Orang sumando kacang miang punya perangai yang
suka memecah belahkan kaum keluarga istrinya, seperti “kacang miang” yang
membuat orang gatal-gatal.
d. Sumando lapiak buruak (tikar buruk). Sumando lapiak buruak (tikar buruk)
orang sumando seperti ini tidak menjadi perhitungan di tengah-tengah kaum
istrinya. Ibarat tikar buruk hanya dipakai kalau betul-betul diperlukan kalau
tidak alang kepalang perlu tikar buruk ini tidak dipergunakan.
e. Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah dari di luar, suka
melakukan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti
memasak, mencuci piring, menumbuk lada, menggendong anak dan lain-lain.
f. Sumando niniak mamak. Sumando ninik mamak adalah sumando yang
diharapkan oleh keluarga istrinya. Sumando ninik mamak di rumah gadang
istrinya dia akan bersikap, nan tahu dikieh kato sampai, mengampuangkan
nan taserak, mangamehi nan tacicia. (yang tahu dengan kias kata sampai
mengapungkan yang terserak, mengemasi yang tercecer). Maksudnya halus
budi bahasanya, suka membantu kaum keluarga istrinya, baik secara moril
maupun materil. Demikian pula di rumah gadang kaumnya berfungsi mauleh
mano nan putuih, senteng mambilai, kurang manukuak (mangulas mana yang
putus, senteng menyambung, kurang menambah). Dengan pengertian dia suka
turun tangan dan cepat tanggap menyelesaikan segala persoalan dalam anggota
kaumnya.

Dengan adanya pengklasifikasian orang sumando ini bagi orang Minangkabau sendiri,
terutama bagi laki-laki akan dapat berfikir jenis manakah yang akan dipakainya,
seandainya dia kawin dan menjadi sumando di rumah istrinya.

72
F.4. Peranan Ibu Dan Bapak dalam Keluarga

Perkawinan tidak menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami
atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunan masing-masing. Oleh karena itu
pengertian keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit
yang tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau. Yang dimaksud
dengan keluarga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau, adalah paruik yang
terdiri dari individu-individu yang dikemukakan diatas.

Dalam proses sosialisasi seorang individu dalam rumah gadang banyak ditentukan
oleh peranan ibu dan mamak. Sedangkan ayahnya lebih berperan di tengah-tengah
paruiknya pula.

Pengertian ibu dalam hal ini bukan berarti ibu dari anak-anaknya, melainkan sebagai
sebutan dari semua wanita yang sudah berkeluarga dalam sebuah rumah gadang.
Sedangkan untuk wanita keseluruhan orang Minangkabau menyebut perempuan.
Perempuan berasal dari kata sansekerta yaitu: “empu” yang berarti dihormati. Begitu
dihormati perempuan Minangkabau dapat dilihat dimana garis keturunan ditarik dari
garis ibu, rumah tempat kediaman diperuntukkan bagi wanita, hasil sawah ladang juga
untuk wanita dan lain-lain. Peranan seorang ibu sangat besar sekali, semasa seseorang
masih bayi orang yang dikenal pertama kalinya hanya ibunya dan saudaranya seibu.
Dia mencintai ibunya sebagai orang yang mengasuh dan memberinya makan. Ia dan
ibunya dan saudara-saudaranya merupakan suatu kelompok yang terasing dari orang-
orang di luar kelompok. Bila terjadi sesuatu hal terhadap ibunya atau saudara-
saudaranya jia akan berrpihak kepadanya.

Setelah mulai besar, maka anggota seluruh rumah gadang adalah keluarga dan
merupakan suatu kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama pula terhadap
dunia luar yaitu dari orang-orang rumah gadang lainnya.

Setelah menanjak dewasa mulai diadakan pemisahan antara pemuda dan gadis. Bagi
anak laki-laki tidak dibenrkan lagi tinggal di rumah gadang, ia dengan teman-teman
sebaya tidur di surau atau di rumah pembujangan. Proses sosialisasi selanjutnya
banyak diperolehnya di surau ini, karena di surau ini bukan hanya para pemuda dan
remaja saja yang tinggal, tetapi juga anggota keluarga laki-laki yang sekaum
dengannya dan belum kawin atau menduda dan umumnya sudah dewasa dari mereka.
Surau adalah tempat mengaji, tempat belajar adat istiadat dan tempat mendengar
kisah-kisah lama bersumber dari tambo alam Minangkabau. Adakalanya sebelum
tidur mereka juga belajar pencak silat sebagai ilmu bela diri untuk membekali dirinya,
baik untuk di kampung maupun persiapan untuk pergi kerantau nantinya. Proses
sosialisasi anak laki-laki menuju remaja dan dewasa banyak ditentukan oleh peranan
mamak-mamaknya dalam rumah gadang.

Anak-anak perempuan yang meningkat gadis selalu berada disamping ibunya dan
perempuan-perempuan yang sudah dewasa di dalam rumah gadang. Dia diajar masak-
memasak membantu ibunya di dapur, mengurus rumah tangga. Disamping itu juga

73
diajar menjahit, menyulam. Semua kepandaian yang diajarkan oleh ibunya untuk
mempersiapkan dirinya untuk berumah tangga nantinya.

Dalam sistem keturunan matrilineal, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan
anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga,
yang tujuannya terutama memberi keturunan. Seorang suami di rumah gadang istrinya
sebagai seorang sumando. Namun demikian bukanlah berarti laki-laki tersebut hilang
kemerdekaannya. Ia tetap merdeka seperti biasa sebelum kawin dan boleh beristri dua,
atau tiga lagi dan sampai empat, tanpa dapat dihalangi oleh istrinya. Dia boleh
menceraikan istrinya, jika dia atau keluarganya tidak senang dengan kelakuan istrinya.
Sebaliknya istri dapat pula meminta cerai dari suaminya jika dia tidak cinta lagi
kepada suaminya, atau bilamana pihak keluarganya tidak senang melihat kelakuan
menantunya atau kelakuan salah seorang keluarga menantunya.

Bila diperhatikan pula ungkapan-ungkapan adat memperlihatkan, bahwa seorang ayah


atau seorang sumando di dalam kaum istrinya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa
dalam keluarga istrinya termasuk terhadap anak-anaknya, sebagaimana dikatakan
“sedalam-dalam payo, sahinggo dado itiak, saelok-elok urang sumando sahingga
pintu biliak” (sedalam-dalam paya, sehingga dada itik, sebaik-baik orang semenda
sehingga pintu bilik). Demikian pula dikatakan orang sumando ibarat “abu di ateh
tunggua” (abu di atas tunggul). Datang angin berterbangan. Ada beberapa hal yang
mendukung mengapa peranan ayah begitu kecil sekali terhadap anak/istri, dan kaum
keluarga istrinya waktu itu. Kehidupan waktu itu masih bersifat rural agraris yaitu
kehidupan petani sebagai sumber penghidupan. Penduduk yang masih jarang, harta
yang masih luas, dan memungkinkan seorang ayah tidak perlu memikirkan kehidupan
sosial ekonominya. Disamping itu seorang ayah tidak perlu memikirkan tentang
pendidikan anak-anaknya, serta biaya karena sekolah formal waktu itu tidak ada.
Secara tradisional seorang anak meniru pekerjaan mamaknya.

Bila mamaknya bertani, maka kemenakannya dibawa pula bertani, jika mamaknya
berdagang, maka kemenakannya dibawa pula untuk membantunya. Kawin cerai tidak
menjadi persoalan yang penting keturunan dan martabat dari pada ayahnya. Demikian
pula anak-anak perempuan pendidikannya hanya terbatas dalam lingkungan rumah
gadang saja, dan proses pendidikan lebih banyak diarahkan kepada persiapan untuk
menempuh jenjang perkawinan. Disamping itu karena interaksi dengan dunia luar
belum ada, sehingga kemungkinan untuk merobah pola struktur yang telah ada sedikit
sekali. Barangkali bagi orang Minangkabau sekarang kurang tepat bila memandang
masa lalu dengan kaca mata sekarang, karena ruang lingkup waktu dan tempat yang
berbeda.

Dalam proses selanjutnya terjadi perobahan peranan ayah terhadap anak dan istrinya
karena berbagai faktor sesuai dengan perkembangan sejarah. Munculnya keinginan
merantau dari orang Minangkabau, masuknya pengaruh islam dan pendidikan modern
telah membawa perubahan-perubahan cara berfikir dalam hidup berkeluarga dan
dalam tanggungjawab terhadap anak istrinya.

74
Bagi yang pergi merantau dia melihat struktur sosial yang berbeda dari masyarakat
kampung yang ditinggalkan selama ini. Dan betapa akrabnya hubungan suami istri
beserta anak-anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri kedaerah rantau
dan hidup bersama-sama anak-anak merupakan sejarah baru, yang selama ini tidak
pernah ditemui. Hidup yang bebas dengan anak-anaknya dalam rumah sendiri telah
membawa gema ke kampung halaman. Bila mendapat rezeki di rantau, si ayah
membuatkan rumah untuk anak istrinya di kampung untuk membuktikan
keberhasilannya di rantau. Rumah yang didirikan walaupun masih ditanah kaum
istrinya, tetapi sudah berpisah dari rumah gadang.

Pergeseran peranan mamak kepada ayah dipercepat lagi setelah mantapnya agama
islam menjadi anutan masyarakat Minangkabau. Agama islam secara tegas
menyatakan, bahwa kepala keluarga adalah ayah. Dalam permulaan abad ke XIX
pengaruh barat, terutama melalui jalur pendidikan ikut juga memperkuat kedudukan
dan peranan ayah ditengah-tengah anak istrinya. Namun demikian bukan berarti
bergesernya sistem kekerabatan matrilineal kepada patrilineal.

Betapa cintanya seorang ayah kepada anaknya, Drs. M. Rajab mengatakan : “dan
tidak jarang terjadi seorang ayah, biarpun dia seorang penghulu. Dengan diam-diam
memberikan hibah kepada anak-anaknya tanpa diketahui oleh pengawas-pengawas
adat lainnya. Dengan berbuat demikian sebenarnya ia melanggar hukum adat yang
wajib dibelanya, tetapi karena ia mulai cinta kepada anak-anaknya maka terbuktilah
bahwa kecintaan ayah kepada anak mulai bertambah kuat. Barangkali sebagi klimaks
pergeseran peranan mamak kepada ayah dengan suatu konsensus yang tidak nyata
telah melahirkan talibun adat yang menyatakan:

Kaluak paku kacang balimbiang


Ambiak tampuruang lenggang-lenggangkan
Dibawo nak urang saruaso
Tanam siriah jo ureknyo
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggan sarato jo adatnyo

(keluk paku kacang belimbing, ambil tempurung lenggang-lenggangkan, dibawa anak


ke saruaso, tanam sirih dengan uratnya, anak dipangku kemenakan dibimbing, orang
kampung dipatenggangkan, jaga nagari jangan binasa, jaga beserta dengan adatnya).

Dari talibun adat ini secara jelas dikatakan bahwa peranan ayah terhadap anaknya
adalah “dipangku” dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa hubungan antara
anak dengan ayahnya dekat sekali dan berada pada haribaannya. Sedangkan hubungan
anak dan kemenakan adalah “dibimbing”. Secara filosofis pengertian anak dipangku
kemenakan dibimbing dapat juga diartikan, bahwa anak yang dipangku lebih dekat
dengan harta pencaharian. Sedangkan kemenakan dibimbing yang kakinya berada di

75
tanah sebagai kiasan, bahwa kemenakan sumber kehidupannya masih dapat
diharapkan dari tanah. Yaitu harta pusaka.

Disamping itu ayah dan kedudukannya sebagai seorang mamak tetap diharapkan oleh
kemenakan sebagai pembimbing sesuatu yang dibutuhkan oleh kemenakannya
meskipun tidak sepenuhnya dapat dilakukan seperti kedudukan anak dalam keluarga
yang langsung setiap hari dibawah lindungan dan bimbingan orang tuanya. Meskipun
kemenakan itu sebenarnya sebagai anak pada orang tuanya akan sama pula
keadaannya sebagaimana bapak-bapak yang lain mempertanggungjawabkan anaknya.

Beruntunglah seorang anak di Minangkabau jika seorang bapak yang juga berfungsi
sebagai mamak mengamalkan ajaran adat “anak dipangku kamanakan dibimbinang”.

F.5. Mamak Dan Kemenakan

Tali kekerabatan mamak dan kemenakan dapat dibedakan atas empat bahagian.
Keempat macam tali kekerabatan mamak dan kemenakan ini adalah sebagai berikut:

1. Kemenakan Bertali Darah

Kemenakan bertali darah, yaitu semua anak dari saudara perempuannya bagi seorang
laki-laki yang didasarkan atas hubungan darah menurut garis keibuan.

2. Kemenakan Bertali Adat.

Kemenakan bertali adat, yaitu kedatangan orang lain yang sifatnya “hinggok
mancankam tabang manumpu” (hinggap mencengkam terbang menumpu). Hal ini
diibaratkan kepada seekor burung, jika ia akan terbang menumpukan kakinya agar ada
kekuatan untuk terbang, dan mencengkram kakinya bila akan hinggap kepada dahan
atau ranting. Maksudnya orang yang datang kepada sebuah nagari. Di nagari baru ini
dia dan keluarganya menepat kepada seorang penghulu. Agar dia diakui sebagai
kemenakan haruslah “adat diisi lembaga dituang”. Dengan pengertian dia dan
keluarganya mengisi adat yang sudah digariskan. Namun statusnya dalam masyarakat
adat dia tidak duduk sama rendah tegak tidak sama tinggi dengan penghulu-penghulu
dalam nagari itu.

3. Kemenakan Bertali Air.

Kemenakan bertali air yaitu orang datang yang dijadikan anak kemanakan oleh
penghulu pada sebuah nagari. Orang datang ini tidak mengisi adat dan lembaga di
tuang.

76
4. Kemenakan Bertali Ameh.

Kemenakan bertali ameh yaitu orang yang dibeli untuk dijadikan kemenakan oleh
penghulu. Kemenakan seperti ini tidak mengisi adat pada penghulu tersebut, dan tidak
menuang lembaga pada nagari tersebut. Seorang laki-laki di Minangkabau dalam
hubungan tali kekerabatan mamak kemenakan terutama yang bertali darah akan selalu
memangku dua fungsi yang bersifat diagonal, yaitu sebagai kemenakan saudara laki-
laki ibu dan sebagai mamak dari saudara-saudara perempuan. Hubungan tali kerabat
ini diturunkan atau dilanjutkan kebawah melalui garis keturunan perempuan.

Hubungan mamak kemenakan ini diperkembangkan karena keperluan


memasyarakatkan anggota-anggota rumah gadang dan menyiapkan serta
menumbuhkan calon pemimpin dari lingkungan sosial yang terkecil (parui), kampung
sampai kelingkungan sosial yang lebih besar yaitu nagari, agar anggota laki-laki dari
lingkungan sosial itu berkemampuan dan berkembang menjalankan fungsi yang
digariskan.

Sebagai calon pemimpin kepada kemenakan oleh mamak diturunkan dasar-dasar dan
prinsip-prinsip tanggungjawab, meliputi fungsi peranan pemeliharaan dan serta
penggunaan unsur potensi manusia atau keturunan, pemeliharaan harta pusaka.
Sedangkan keluar berkaitan dengan norma-norma hidup bermasyarakat sebagai
anggota kampung dan nagari.

Kemenakan laki-laki dipersiapkan sedemikian rupa oleh mamaknya, agar nantinya


salah seorang dari mereka akan menjadi pucuk pimpinan di tengah kaumnya.
Sehubungan dengan hal tersebut kepemimpinan seseorang itu sangat ditentukan
pembinaan di tengah-tenah kaumnya oleh mamak-mamaknya.

Konsep-konsep dasar tentang pembinaan individu oleh mamak telah diwarisi secara
turun temurn, dan karenanya pengetahuan si mamak harus melebihi kemenakannya,
sebagaimana dikatakan “indak nan cadiak pado mamak, melawan mamak jo ilmunya,
melawan malin jo kajinyo” (tidak ada yang cerdik dari mamak, melawan mamak
dengan ilmunya melawan malin dengan kajinya). Dengan arti kata boleh melawan
tetapi dengan pengertian positif dan kemenakan seperintah mamak (kemenakan
seperintah mamak), maksudnya kemenakan mengikuti apa yang diwariskan oleh
mamaknya dari generasi terdahulu, dan sekarang wajib pula bagi kemenakan untuk
menerima dan mengamalkannya.

Dalam adat sudah dikiaskan agar dalam membina kemenakan jangan sampai terjadi
otoriter dan kesewenangan. Hal ini dikatakan dalam adat “kemenakan manyambah
lahia, mamak manyambah batin” (kemenakan menyembah lahir, mamak menyembah
batin). Dengan pengertian mamak dalam membimbing kemenakan hendaklah
menunjukkan sikap, tingkah laku yang berwibawa dan bukan karena kekuasaannya
sebagai seorang mamak. Bimbingan terhadap kemenakan laki-laki sangat penting
karena mereka dipersiapkan sebagai pimpinan di tengah kaum keluarganya dan
sebagai pewaris sako (gelar kebesaran kaum) yang ada pada kaumnya. Tanpa ada

77
kemenakan laki-laki dikatakan juga ibarat “tabek nan indak barangsang, ijuak nan
indak basaga, lurah nan indak babatu” (tebat yang tidak mempunyai ransang, ijuk
yang tidak mempunyai saga, lurah yang tidak mempunyai batu), dengan arti kata dari
kemenakan laki-laki diharapkan sebagai pagaran dari kaumnya. Bila terjadi silang
sengketa antara kelompok masyarakat lainnya pihak laki-laki yang terutama sebagai
juru bicara dari kaumnya. Tanpa ada yang laki-laki mungkin orang lain akan
bersilantas angan terhadap anggota kaumnya.

Disamping itu bimbingan kepada kemenakan yang perempuan tidak kalah pentingnya,
karena dialah sebagai penyambung garis keturunan dan pewaris harta pusaka. Peranan
ibu di rumah gadang sangat diutamakan disamping mamak laki-laki yang selalu
“siang maliek-liekan, malam mandanga-dangakan, manguruang patang,
mangaluakan pagi” (siang melihat-lihatkan, malam mendengar-dengarkan,
mengeluarkan pagi mengurung sore), dengan pengertian tidak terlepas dari
pengawasannya.

Dengan demikian tali kekerabatan mamak kemenakan merupakan tali yang


menunjukkan kepemimpinan dan pewarisan keturunan yang berkesinambungan, yang
diturunkan dari nenek kepada mamak, dari mamak kepada kemenakan.

G. SISTEM KEPEMILIKAN
G.1. Harta

Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada
harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang,
rumah gadang, emas perak dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa
material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi
secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau
orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat, orang berada atau banyak harta ditinjau
dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat
lebih terpandang orang atau kaum yang banyak memiliki harta pusaka ini, dan tidak
karena dibeli. Sampai sekarang khusus mengenai harta pusaka berupa sawah ladang
masih ada perbedaan pendapat tentang pembagian jenis harta tersebut.

Perbedaan pendapat ini detemui ketika diadakan Seminar Hukum Adat Minangkabau
yang diadakan dari tanggal 21 s/d 25 Juli 1968, dengan titik tolak yang diseminarkan
adalah Hukum Tanah dan Hukum Waris. Sebelum seminar yang diadakan di Padang
ini sebelumnya juga telah diadakan rapat lengkap adat di Bukittinggi yang
permasalahannya juga berkaitan dengan materi seminar diatas. Pada pertemuan adat
yang diadakan di Bukittingi telah diputuskan dengan kongkrit, bahwa harta orang
Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bahagian, yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta
Pusaka Pencaharian.

78
Dilain pihak, pendapat ini tidak disetujui, dan mengatakan harta di Minangkabau ada
pusaka tinggi, ada pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu
dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu adalah sebagai berikut:

1. Harta Pusaka Tinggi


2. Harta Pusaka Rendah
3. Harta Pencaharian
4. Harta Suarang

Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka
tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.

1. Harta Pusaka Tinggi

Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa
generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan
sejarah lahirnya kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang
sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini sebagai hasil
galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang inilah yang
diwarisi oleh generasi sekarang dan paling kurang setelah lima generasi disebut
sebagai harta pusaka tinggi.

Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain
disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril
yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat
sako.

Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka bersalin), karena
persalinan terjadi dari generasi ke generasi selanjutnya.

2. Harta Pusaka Rendah

Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang
permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung Hijau dalam kertas kerjanya waktu
Seminar Hukum Adat Minangkabau mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala
harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini
boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris. Pendapat
ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang
mengatakan bahwa yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau
sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa harta pusaka
rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum dan ini diperoleh dengan
membuka sawah, ladang atau perladangan baru, tetapi masih di tanah milik kaum.
Jadi tanah yang dibuka itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan
sawah ladangnya yang baru.

79
Pendapat yang kedua terakhir merupakan pendapat yang umum karena dilihat dari
sudut harta selingkar kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum
merasa berhak secara bersama.

3. Harta pencaharian

Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas. Harta
pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang diperolehnya selama
perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh dengan membeli atau dalam istilah
adatnya disebut tembilang emas berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila
terjadi perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.

4. Harta suarang

Suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta suarang adalah harta yang
dimiliki oleh seseorang, baik oleh suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan.
Setelah terjadi perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta
suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri, dan merupakan
harta tepatan. Karena harta ini milik “surang” atau milik pribadi, maka harta itu dapat
diberikannya kepada orang lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab
itu dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi” (suarang dapat
diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan
kepada siapa saja, tetapi harta pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.

G.2. Pewarisan Harta Pusaka

Ada yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan pewarisan ini, yaitu waris,
pewaris, warisan dan ahli waris. Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris
adalah orang yang mewariskan. Warisan adalah benda yang diwariskan: Pusaka
peninggalan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris. Hubungan
antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan dapat dibedakan atas dua
bahagian, yaitu:

1. Waris Nasab atau Waris Pangkat

Waris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima warisan terdapat
pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta pusaka tinggi yang disebut pusako
secara turun temurun yang berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu
pihak perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal.

Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat tetap berlaku dari
mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam kewarisan sako ini dikatakan:

Ramo-ramo sikumbang jati


Katik endah pulanga bakudo

80
Patah tumbuah hilang baganti
Pusako lamo baitu pulo

Waris nasab yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua bahagian yaitu:

a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).

Dalam adat dikatakan saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan salingkuang cupak
adat, nan sapayuang sapatagak. (selurus keatas selurus kebawah, yang sepayung
sepetagak). Artinya keturunan setali darah sehingga delapan kali keturunan atau
disebut juga empat keatas, empat kebawah menurut ranji yang benar.

Sebuah contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada mulanya dari tiga
orang nenek. Turunan laki-laki dari ketiga nenek ini sama-sama berhak untuk
memakai pusaka kaum yang dimiliki. Gelar pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau
digantikan kepada lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek
yang sekaum ini dalam adat dikatakan “suku dapek disakoi, pusako dipusakoi” (suku
dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya gelar pusaka dapat digantikan dan
harta pusaka boleh dipusakai.

b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan)

Dalam adat dikatakan “jauah dapek ditunjuakkan dakek dapek dikakokkan, satitiak
bapantang hilang, sabarih bapantang lupo”, (jauh dapat ditunjukkan, dekat dapat
dipegang, setitik berpantang hilang, sebaris berpantang lupa). Maksudnya belahan
yang asli dari sebuah kaum yang sampai sekarang masih dapat dicari asal usulnya
secara terang. Dalam adat hal seperti ini disebut “gadang nan bapangabuangan,
panjang nan bapangarek-an, laweh nan basibiran, anak buah nan bakakambangan”,
(besar yang berpengabuan, panjang yang berpengeretan, luas yang bersibiran, anak
buah yang berkekembangan).

Sebab contoh sebuah anggota kaum pindah kesebuah nagari yang berdekatan dan
kemudian menetap sebagai penduduk di nagari tersebut karena sudah berkembang
maka mereka ingin untuk mengangkat gelar kebesaran kaum. Pada kaum yang
ditinggalkannya mempunyai gelar pusaka Datuak Marajo. Di tempat baru belahan
kaum yang pindah ini dapat pula mengangkat gelar Datuak Marajo.

Sepanjang adat yang dapat memakai gelar pusaka kaum adalah orang yang ada
pertalian darah. Kemenakan bertali adat, bertali budi tidak dibenarkan memakai gelar
kebesaan kaum karena tidak bertali darah. Adat mengatakan “sako tatap pusako
baranjak” (sako tetap, pusaka beranjak), artinya gelar pusaka tidak dapat berpindah
dari lingkungan keturunan asli kecuali harta pusaka. Beranjaknya harta pusaka sperti
adanya pemindahan hak yang terjadi karena pupus, gadai dan lain-lain. Gelar pusaka
kaum tidak dibenarkan dipakai oleh orang di luar kaum, ini dengan alasan bila terjadi
akan membawa dampak negatif dari kaum tersebut.

81
Adat mengatakan dimano batang tagolek, disinan cindawan tumbuah (dimana batang
rebah disana cendawan tumbuh). Ketentuan adat ini mempunyai pengertian bila gelar
pusaka itu dipakai oleh seseorang, maka menurut adat orang yang memakai gelar
pusaka ini akan diikuti kebesarannya oleh harta pusaka yang ada pada kaum itu.
Dengan arti kata semua harta pusaka tinggi yang ada pada kaum itu berada di
tangannya, dan kaum tadi akan bermamak kepada penghulu baru ini yang tidak
seketurunan dengannya. Kalau ini terjadi dikatakan “kalah limau dek banalu” (kalah
limau karena benalu).

2. Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).

Waris “sebab” maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang menerima warisan
tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena sebab. Di dalam adat dikatakan
“basiang dinan tumbuah, menimbang dinan ado”, bersiang bila sudah ada yang
tumbuh, menimbang bila sudah ada). Waris sebab ini seperti karena bertali adat, berali
buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta pusaka. Waris sebab
ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:

a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).

Waris bertali adat seperti hubungan sesuku. Mungkin terjadi sebuah kaum punah,
dengan arti keturunan untuk melanjutkan kaum itu tidak ada lagi menurut garis ke-
ibuan, akhirnya harta pusaka dari kaum yang punah tersebut dapat jatuh kepada
kaumyang sesuku dengannya di kampung tersebut.

b. Warih Batali Buek (waris bertali buat)

Buek artinya peraturan atau undang-undang. Waris bertali buek maksudnya waris
berdasarkan peraturan yaitu peraturan sepanjang yang dibenarkan oleh adat.

Warih batali buek ini berlaku “manitiak mako ditampuang, maleleh mako di palik,
sasuai mako takanak, saukua mako manjadi” (menitik maka ditampung, meleleh
maka dipalit, sesuai maka dikenakan, seukur maka menjadi). Sebagai contoh seorang
bapak yang sudah punah keluarganya maka atas mufakat dengan waris bertali adat si
bapak dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi tidak gelar pusaka dari
kaum.

c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).

Menjadi waris karena kebaikan budi dari kaum yang didatanginya karena rasa kasihan
dan tingakah lakunya yang baik sehingga sudah dianggap anak kemenakan, dia diberi
hak atas harta pusaka namun demikian tergantung pada kata mufakat dalam kaum
tersebut.

Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah “putus” karena dalam warisan ini
adat menggariskan “adanya” waris yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal

82
ini bila ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada waris yang
bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada pula harta pusaka kaum yang
punah itu jatuh pada nagari. Ninik mamak nagarilah yang menentukan. Menurut
Doktor Iskandar Kemal SH., bila tidak ada perut yang terdekat, anggota waris yang
terakhir dapat menentukan sendiri waris yang terdekat dari orang-orang yang bertali
adat untuk melanjutkan hak-hak dari perut itu, sesudah punah sama sekali, baru
ditentukan oleh kerapatan adat nagari.

G.3. Tanah Ulayat

Tanah ulayat, tanah yang sudah ditentukan pemilik-pemiliknya tetapi belum


diusahakan. Untuk jelasnya dapat dikemukakan yang punya tanah ulayat tersebut
hanya nagari dan suku dan di luar dari harta pusaka tinggi. Tanah ulayat nagai yaitu
tanah yang dimiliki bersama oleh sebuah nagari dan dikuasai secara bersama oleh
penghulu-penghulu yang ada dalam nagari tersebut dan pengawasannya diserahkan
kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Demikian pula tanah ulayat suku, dikuasai secara bersama oleh suatu suku dan
pengawasannya diserahkan kepada kepala suku. Hak ulayat menurut hukum adat
adalah hak yang tertinggi. Seseorang yang menguasai bukanlah memiliki hak ulayat,
hanya dapat mempunyai hak sementara. Ketentuan-ketentuan mengenai tanah ulayat
adalah sebagai berikut:

1. Memberi hak untuk memungut hasil warga persekutuan atas tanah dan segala
yang tumbuh diatas tanah tersebut seperti mengolah tanah, mendirikan tempat
pemukiman, menangkap ikan, mengambil kayu perumahan, mengembalakan
ternak, mengambil hasil hutan dan lain-lain. Kesemuanya harus setahu atau
seizin dari penghulu-penghulu atau yang mengawasi tanah ulayat tersebut.
2. Hak-hak perseorangan terhadap tanah ulayat dibatasi oleh hak persekutuan.
Hak perseorang tetap diawasi dan jangan sampai terjadi pemakaian hak
perseorangan terhadap tanah ulayat itu berpindah tangan seperti jual beli.
3. Persekutuan atau pemegang hak tanah ulayat dapat menunjuk atau menetapkan
sebagian dari tanah ulayat untuk kepentingan umum. Untuk kepentingan
umum ini seperti untuk lokasi pembangunan mesjid, sekolah, tempat
pemakaman umum, lapangan olah raga dan lain-lain.
4. Tanah ulayat yang dikerjakan diberi jangka waktu. Tanaman muda tidak
diadakan pembagian dengan yang punya hak ulayat, sedangkan tanaman keras
yang ditanam, seperdua menjadi hak pemilik ulayat, seperdua untuk orang
yang mengerjakan. Bila yang diolah tanah ulayat nagari, maka hasilnya nagari
akan memanfaatkannya untuk kepentingan nagari. Dulunya untuk mendirikan
balairung adat, bangunan mesjid dan lain-lain.
5. Apabila terjadi delik-delik berat, seperti pembunuhan di tanah ulayat dan yang
mati itu bukan anggota warga yang punya ulayat, maka untuk menjaga jangan
sampai terjadi permusuhan, yang punya ulayat harus membayar secara adat.
Mamangannya mengatakan “luko bataweh, bangkak batambak – tangih
bapujuak, ratok bapanyaba”.

83
6. Orang yang berasal dari lain nagari dapat memperoleh sebidang tanah pada
tanah ulayat dan diperbolehkan manaruko atas dasar persetujuan terlebih
dahulu. Walaupun sudah diberi secara adat, tetapi status tanahnya masih
menjadi wilayah nagari. Sawah yang ditaruko selama enam musim kesawah
boleh dimiliki seluruhnya. Setelah itu hasil tanah ulayat tadi seperduanya
harus diserahkan kepada yang punya ulayat.

Pada dasarnya tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan,


terutama untuk kebutuhan ekonominya. Kalau pemakaian tanah ulayat bersifat
produktif seperti untuk dijual hasilnya, maka disini berlaku ketentuan adat karimbo
babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalauik babungo karang (kerimba
berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang), dengan arti kata
harus dikeluarkan sebahagian hasilnya untuk kepentingan suku dan nagari demi
pembangunan nagari.

Sebenarnya tanah ulayat juga merupakan tanah cadangan bagi anak kemenakan,
seandainya terjadi pertumbuhan penduduk dari tanah ulayat itulah sumber pendapatan
bagi kesejahteraannya dan pembangunan nagari. Bila direnungkan secara mendalam
betapa jauhnya pandangan kedepan dari tokoh-tokoh adat Minangkabau pada masa
dahulunya.

G.4. Pemindahan Hak

Terlebih dahulu dikemukakan pengertian pemindahan hak untuk memperjelas


permasalahan yang akan dibicarakan. Pemindahan hak maksudnya berpindahnya hak,
baik hak memiliki, menguasai maupun memungut hasil, karena terjadinya sesuatu
transaksi antara seseorang atau kelompok kepada pihak lain. Pada mulanya
pemindahan hak terhadap harta pusaka tinggi tidak tertulis, tetapi sejak dikenal tulis
baca dengan aksara arab dan kemudian aksara latin maka pemindahan hak itu sudah
dibuat secara tertulis.

Pamindahan hak yang dikenal sampai saat sekarang ini adalah sebagai berikut:

1. Jual Beli

Menurut adat menjual harta pusaka tinggi dilarang apalagi untuk kepentingan pribadi
si penjual. Menjual harta pusaka berarti tidak mengingat masa yang akan datang,
terutama bagi generasi kaumnya. Adanya suatu anggapan bahwa orang yang menjual
harta pusaka yang tidak menurut semestinya hidupnya tidak akan selamat, karena
kutukan dari nenek moyang mereka yang sudah bersusah payah mewariskannya.

Namun demikian ditemui juga dewasa ini penjualan harta pusaka dengan berbagai
alasan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:

84
1. Tanah pusaka itu tidak produktif lagi, tidak bisa dijadikan sawah maupun
ladang. Lantas dijual dan dipergunakan untuk membangun pabrik perkantoran
dan perumahan. Yang penting tentu atas kesepakatan anggota kaum.
2. Tidak ada yang mengurus sehingga terlantar. Ahli waris merantau dan tipis
kemungkinan untuk pulang mengurus harta pusaka itu.
3. Harta pusaka dijual dengan tujuan untuk dibelikan uangnya kembali kepada
benda yang lain yang lebih produktif, benda itulah yang kemudian berstatus
harta pusaka.

Kesemuanya itu dapat terjadi bila ada kesepakatan seluruh anggota kaum baik yang
dirantau maupun yang dikampung.

2. Gadai

Harta pusaka dapat digadaikan kalau berkaitan dengan kepentingan kaum atau
menjaga martabat kaum. Ada ketentuan adat harta pusaka itu digadaikan bila ditemui
hal sebagai berikut:

1. Adat tidak berdiri, seperti pengangkatan penghulu


2. Rumah gadang ketirisan
3. Gadih gadang tidak bersuami
4. Mayat terbujur di tengah rumah

Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota ahli waris harta pusaka
tersebut sudah sepakat. Jadi untuk menggadaikan harta pusaka syaratnya sangat berat.
Dengan digadaikan harta itu dapat ditebus kembali dan tetap menjadi milik ahli
warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu manggadai biasanya
tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum “sabarek sapikua” (seberat
sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.

Si penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta
yang digadaikan dan penafsirannya atas persesuaian kedua belah pihak. Bila sawah
yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si
penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun kesawah
tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau
emas tadi.

Berkaitan dengan pegang gadai ini, perlu juga disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp th
1960 (undang-undang pokok agraria-UUPA) yang berbunyi:
“barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai
berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen”.

Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pegang gadai. Pada umumnya

85
yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya dibelakukan
UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula
dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pegang gadai di
Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara azaz
kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat
yang berfungsi sosial.

3. Hibah

Disamping pegang gadai, yang dibolehkan juga oleh adat adalah hibah. Hibah berasal
dari bahasa arab “hibbah” yang artinya pemberian, misalnya pemberian seorang ayah
kepada anak berupa harta pusaka. Pemberian ini timbul karena alasan kasih sayang
dan tanggung jawab kepada anaknya. Ada tiga macam hibah dalam adat yaitu:

1. Hibah Laleh

Hibah laleh adalah pemberian dari seorang ayah kepada anaknya untuk selama-
lamanya. Dalam adat pemberian seperti ini dikatakan “salamo dunia takambang,
salamo gagak hitam, salamo aia ilia”, (selama dunia terkembang, selama gagak
hitam, selama air hilir). Yang menjadi syaratnya adalah sepakat waris kaum yang
bertali darah. Bila habis yang bertali darah harus sepakat waris yang bertali adat.
Hibah laleh ini jarang terjadi karena tidak mungkin waris yang dikatakan di atas habis
sama sekali. Kalau terjadi juga tidaklah dihibahkan seluruhnya, paling kurang
sebagian kecil dari harta keseluruhan. Inipun tergantung kepada persetujuan bersama.
Adat mengatakan “hibah basitahu-tahu, gadai bapamacik, jua bapalalu”, (hibah
saling mengetahui, gadai berpegangan, jual berpelalu).

2. Hibah Bakeh, (hibah bekas)

Adalah pemberian harta dari ayah kepada anak. Hibah bakeh ini sifatnya terbatas
yaitu selama anak hidup. Bila ada anaknya tiga orang tidak jadi soal, yang pokok bila
anak-anaknya ini telah meninggal, maka harta yang dihibahkan kembali kepada kaum
ayahnya. Di dalam adat hibah bakeh ini dikatakan “kabau mati kubangan tingga,
pusako kanan punyo”, (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).

3. Hibah Pampeh

Hibah pampeh atau hibah pampas yaitu pemberian harta dari ayah kepada anaknya
caranya yang berbeda karena kasih sayang kepada anak, si ayah mengatakan kepada
anggota kaumnya, bahwa selama ini ia telah menggunakan uang anak-anaknya itu
untuk biaya hidup dan biaya karena sakit-sakitan. Untuk itu buat sementara sawah
sekian piring dibuat dan diambil hasilnya oleh anak-anaknya. Sawah itu jatuh kembali
kepada ayahnya bila kaum ayahnya punya kesanggupan untuk mengganti uang
anaknya yang terpakai. Hibah pampeh ini hanyalah merupakan pampasan dan hanya
sebagai siasat dari sang ayah untuk membantu anak-anaknya (perlu berhati-hati dalam
melaksanakannya).

86
Muncul istilah hibah bukan berarti pemberian seorang kepada orang lain, seperti dari
ayah kepada anak tidak dikenal sebelum masuknya islam ke Minangkabau.
Sebelumnya dalam adat istilah pemberian berupa hibah ini adalah “agiah laleh”
(agiah lalu), agiah bakeh, dan agiah pampeh.

4. Wakaf

Wakaf adalah suatu hukum islam yang berlaku terhadap harta benda yang telah
diikrarkan oleh pewakaf, yaitu orang yang berwakaf kepada nadzir (orang yang
menerima dan mengurus wakaf).

Kata wakaf berasal dari bahasa arab yang berarti terhenti dari peredaran, atau
menahan harta yang sumber atau aslinya tidak boleh diganggu gugat, dan membuat
harta itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, terhadap harta benda
yang telah diwakafkan tidak boleh diambil kembali oleh pihak yang berwakaf atau
ahli warisnya dan tidak boleh pula dianggap milik sendiri oleh pihak yang
mengurusnya.

Wakaf yang berupa tanah di Minangkabau sering dipergunakan untuk kepentingan


sosial seperti untuk pendirian surau, mesjid, panti asuhan, sekolah dan lain-lain.
(Kesepakatan kaum dalam mewakafkan harta pusaka adalah syarat utama yang perlu
dicapai).

J. NILAI DASAR ADAT MINANGKABAU

J.1. Nilai - Nilai Dasar Adat Minangkabau

Dalam pembicaraan sehari-hari sering kita dengar kata-kata perubahan nilai,


pergeseran nilai, krisis nilai dan lain-lain. Namun bila kita ditanya apa yang dimaksud
dengan nilai, maka kita sukar untuk mengidentifikasikannya. Hal ini mungkin
disebabkan nilai tersebut merupakan bagian yang abstrak dari kebudayaan.

Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi, explisit atau implisit yang menjadi milik khusus
seorang atau ciri khusus suatu kesatuan sosial (masyarakat) menyangkut sesuatu yang
diingini bersama (karena berharga) yang mempengaruhi pemilihan sebagai cara, alat
dan tujuan sebuah tindakan.

Dalam proses penilaian selalu dilihat adanya penetapan nilai, pemilihan dan tindakan.
Pada konsep nilai tersembunyi bahwa pemilihan nilai tersebut merupakan suatu
ukuran atau standar yang memiliki kelestarian yang secara umum digunakan untuk
mengorganisasikan sistem tingkah laku.

Kumpulan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dalam suatu sistem budaya
bangsa, yaitu suatu rangkaian konsepsi abstrak yang hidup dianggap penting dan

87
berharga, turut serta apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam hidup. Dengan
demikian sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku
manusia dalam hidup sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem tata kelakuan. Sistem
ini memberikan arah atau orentasi pada anggota-anggota masyarakat.

Orientasi nilai bersifat kompleks, tetapi jelas memberikan prinsip yang bersifat
analitik, yaitu yang bersifat pengetahuan, perasaan, kemauan yang memberikan tata
(orde) dan arah kepada arus pemikiran dan tindakan anggota-anggota suatu
masyarakat, manakala prinsip-prinsip tersebut dihubungkan dengan pemecahan
masalah-masalah kehidupan yang umum bagi semua manusia. Prinsip-prinsip ini
beragam-beragam, tetapi keragaman tersebut bersifat hanya membedakan tingkat
bagian-bagian dari semua elemen-elemen yang universal dari kebudayaan umat
manusia.

Nilai-nilai dasar yang universal tersebut adalah masalah hidup, yang menentukan
orientasi nilai budaya suatu maysarakat, yang terdiri dari hakekat hidup, hakekat
kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia
dengan alam dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.

Variasi lain adalah perbedaan-perbedaan dalam kesadaran individu akan orientasi nilai
itu, yang berada dalam kelanjutan, mulai yang bersifat implisit (khusus) sampai
kepada explisit (umum). Setiap kebudayaan tersebut mempunyai pandangan terhadap
kehidupan atau memberikan suatu nilai tertentu terhadap kehidupan itu, apakah hidup
tersebut suatu yang beik, suatu yang buruk, atau suatu yang harus diperbaiki.
Demikian pula ada penilaian terhadap pekerjaan. Apakah kerja tersebut untuk hidup,
untuk kedudukan atau untuk menambah kerja. Pandangan terhadap waktu, akan
menentukan penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan waktu, akan menentukan
penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan waktu. Juga orientasi waktu tersebut
akan sangat menentukan berbagai pola tingkah laku. Pertanyaan yang daat diajukan
adalah sebagai berikut : “apakah suatu masyarakat sangat menghargai masa lalu,
masa sekarang atau masa depan ?”. Sedangkan pandangan yang menyangkut
hubungan manusia dengan alam, pilihan nilai yang dominan akan berkisar di sekitar
pertanyaan : “apakah orang harus tunduk kepada alam, mencari keselarasan dengan
alam, atau menundukkan alam ?”. Unsur universal yang terakhir adalah menyangkut
hubungan sesama manusia. Pertanyaan : “apakah suatu masyarakat menganut
pandangan, bahwa ada hirarki di antara sesama anggota, ataukan pandangan saling
tergantung sesamanya, ataukan menilai tinggi ketidak ketergantungan ?".

Jawaban nilai mana yang dominan dalam kebudayaan suatu masyarakat akan
menentukan orientasi nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Nilai yang
dominan tersebut akan dirumuskan dalam norma-norma yang akan menuntun
anggota-anggota suatu masyarakat dalam berfikir, yang selanjutnya menentukan
perilaku anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula nilai yang
dominan tersegbut akan dapat pula menentukan sikap-sikap anggota suatu masyarakat
terhadap lingkungan kehidupan yang menjurus kepada pola prilaku tertentu.

88
Dalam hubungan kepribadian suatu masyarakat, nilai yang dominan akan
disampaikan lewat media pendidikan kemasyarakatan yang bersifat non formal,
sehingga menghasilkan anggota-anggota masyarakat dengan kepribadian yang relatif
hampir bersamaan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, yatiu hal yang menyangkut
hubungan kebudayaan dan nilai-nilai, merupakan salah satu cara pengenalan dan
klasifikasi nilai sosial budaya. Klasifikasi nilai lain, mungkin banyak sekali.
Spranggers mengemukakan pembagian nilai yang dominan yang dianut suatu
masyarakat dibagi berdasarkan atas nilai teoritis, nilai ekonomi, dan nilai agama.

Untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai dasar adat Minangkabau berbagai cara
dapat dilakukan, antara lain dengan mempelajari tentang masyarakat dan lingkungan
atau dengan mempelajari perilaku mereka. Terlebih dahulu mereka mempelajari kata-
kata (kato), dari sini akan dapat diungkapkan nilai-nilai dasar dan norma-norma yang
menjadi penuntun orang Minangkabau berfikir dan bertingkah laku. Dengan kata lain
perkataan pola berfikir dan prilaku orang Minangkabau, ditentukan oleh “kato”
sebagai nilai dasar norma-norma yang menjadi pegangan hidup mereka, katakanlah
falsafah hidup, yang menyangkut makna hidup, makna waktu, makna alam bagi
kehidupan, makna kerja bagi kehidupan dan makna individu dalam hubungan
kemasyarakatan.

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, kata-kata (kato) seperti yang terkandung dan
terungkap dalam prinsip-prinsip dasar atau rumusan-rumusan kebenaran, pepatah,
petitih, pituah, mamangan dan lain-lain ekspedisi simbolik tentang diri mereka dalam
hubungan dengan alam, dengan lingkungan sosial budaya, merupakan media yang
dapat dipakai dalam mengetahui dan memahami nilai-nilai yang dominan yang dianut
mereka. Dikatakan “manusia tahan kato (kias) binatang tahan palu (cambuk).

Sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat Minangkabau, sewaktu merintis


menyusun adat, mereka mengambil kenyataan yang ada pada alam sebagai sumber
analogi bagi nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur kehidupan mereka. Mereka
mengungkapkan hal ini dalam perumusan yang dianggap mereka sebagai kebenaran
“alam takambang jadi guru” (alam terkembang jadi guru). Hukum alam menjadi
sumber inspirasi yang dijadikan pedoman untuk merumuskan nilai-nilai dasar bagi
norma-norma yang menuntun mereka dalam berfikir dan berbuat.

Disamping belajar dari alam, pengalaman hidup yang dapat dijadikan pula pegangan,
bahwa manusia harus belajar dari pengalamannya. Belajar dari alam dan pengalaman
merupakan orientasi berfikir yang dominan dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini
dengan tegas dicontohkan mereka dalam ungkapan adat yang mendasarkan pandangan
kepada alam “patah tumbuah hilang baganti” (patah tumbuh hilang berganti).

Selanjutnay dikatakan pula “maambiak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan
manang” (mengambil contoh kepada yang sudah, mengambil tuah kepada yang
menang). Mereka menafsirkan dan melihat yang ada dalam alam ini mempunyai
tujuan dan makna hidup, kerja, waktu dan kehidupan sesamanya. Semuanya itu
diungkapkan dalam bentuk nilai-nilai yang dominan yang menjadi pegangan dan

89
pedoman bagi masyarakat Minangkabau. Sekarang akan kita lihat nilai-nilai dasar
yang fundamental dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

J.2. Pandangan Terhadap Hidup

Tujuan hidup bagi orang Minangkabau, adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang
Minangkabau mengatakan, bahwa “hiduik bajaso, mati bapusako” (hidup berjasa,
mati berpusaka). Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi
terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka peribahasa yang dikemukakan
adalah :

Gajah mati meninggalkan gadiang


Harimau mati maninggakan balang
Manusia mati meninggalkan jaso

(gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati
meninggalkan jasa).

Dengan pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup
hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan
ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat
meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan, dan masyarakatnya.

Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai
adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat menunjuk mengajari anak
kemenakan sesuai dengan norma adat yang berlaku. Dengan demikian diharapkan
kesinambungan dari adat yang diwarisi sebagai pusaka yang diturunkan secara turun
temurun. Ungkapan adat juga mengatakan “pulai batinkek nalek meninggalkan rueh
jo buku, manusia batingkek turun maninggakan namo jo pusako” (pulai bertingkat
baik meningalkan ruas dan buku, manusia bertingkat turun meninggalkan nama dan
pusaka).

Struktur sosial Minangkabau memberi tanggungjawab yang berat kepada orang laki-
laki Minangkabau, sehingga mendorong lebih lanjut untuk berusaha memenuhi
tuntutan agar berjasa kepada kerabat dan kampung halamannya.

Kedatangan agama islam yang mengemukakan manusia itu makhluk tuhan dan
dijadikan khalifah dimuka bumi untuk menjadi lebih dahulu memberikan makna dan
nilai yang tinggi terhadap hidup. Dengan kata lain agama telah memperkokoh
pandangan terhadap hidup yang telah dipunyai oleh adat sebelumnya. Nilai hidup
yang lebih baik dan tinggi ini telah menjadi pendorong bagi orang Minangkabau
untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis dan kreatif.

90
J.3. Pandangan Terhadap Kerja

Sejalan dengan makna hidup bagi orang minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat
dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan
keharusan. Kerjalah yang sangat membuka orang sanggup meninggalkan pusaka bagi
anak kemenakan. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan “ hilang rano dek penyakik,
hilang bangso tak barameh ” (hilang warna karena penyakit, hilang bangsa karena
tidak beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena kemiskinan, oleh
sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.

Juga dikemukakan oleh adat “ ameh pandindiang malu, kain pandindiang miang ”
(emas pendinding malu, kain pendinding maian). Dengan adanya kekayaan segala
sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau
keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain
membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat
diutamakan. Orang minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang
diungkapkan juga oleh fatwa adat sebagai berikut :

Kayu hutan bukan andaleh


Elok dibuek ka lamari tahan hujan barani bapaneh
Baitu urang mancari rasaki

(kayu hutan bukan andalas, elok dibuat untuk lemari, tahan hujan berani berpanas,
begitu orang mencari rezeki)

Dari etos kerja ini, anak-anak muda yang punya tanggung jawab di kampung disuruh
merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat
disumbangkan kepada kerabat di kampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini
telah menyebabkan orang minangkabau terkenal dirantau sebagai makhluk ekonomi
yang ulet.

Menghadapi masa tua harus mempersiapkan diri ketika muda, jangan disia-siakan
waktu untuk bekerja. Dan berusaha agar di masa tua tidak kecewa dalam hidup.
Peribahasanya mengatakan : “waktu ado jan dimakan, lah abih baru dimakan” (waktu
ada jangan dimakan, sudah habis baru dimakan). Arti dari peribahasa ini adalah ketika
ada tenaga dan masih muda bekerjalah dankumpulkanlah harta sebanyak mungkin,
tetapi jangan lupa menyisakan untuk masa tua. Bila tiada maksudnya tiada tenaga lagi
atau sudah tua, maka baru hasil simpanan dan usaha semasa muda dinikmati.

J.4. Pandangan Terhadap Waktu

Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita mendengan “waktu adalah uang atau
waktu sangat berharga”. Mungkin ungkapan ini diterjemahkan dari bahasa inggris
yaitu “time is money”.

91
Sebenarnya bagi orang Minangkabau waktu berharga ini bukanlah soal baru, malahan
sudah merupakan pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus
memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati. Mereka
dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna,
sebagamana dikatakan “duduak marawik ranjau, tagak maninjau jarah” (duduk
merawit ranjau, berdiri meninjau jarah). Ungkapan ini mengumpamakan kepada
seorang prajurit, bila dia duduk diisi waktunya dengan meraut ranjau yang akan
dipasang menghadapi musuh, bila berdiri hendaklah meninjau jarah (meninjau jauh ke
daerah yang luas sehingga bisa melihat musuh yang tiba-tiba dapat saja menyerang).

Tidak disukai oleh adat, bagi orang yang tidak menentu dan selalu dalam keraguan,
hal ini dikatakan dalam ungkapannya “duduak sarupo urang kamanjua, tagak sarupo
urang kamambali” (duduk seperti orang yang akan menjual, berdiri seperti orang
yang akan membeli).

Waktu yang terbuang percuma saja juga tidak diingini, sebagaimana dikatakan “siang
ba habih hari, malam ba habih minyak” (siang berhabis hari, malam berhabis
minyak). Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan
ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau. Maliek contoh
ka nan sudah (melihat contoh kepada masa lalu) merupakan keharusan. Bila masa lalu
tidak menggembirakan dia akan berusaha memperbaikinya. Duduk meraut ranjau,
tegak meninjau jarah merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-
baiknya pada masa sekarang.

Mambangkik batang tarandam (membangkit batang terendam), merupakan refleksi


dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan
mengingat masa depan adat menfatwakan “bakulimek sabalun habih, sadiokan
payuang sabalum hujan” (berhemat sebelum habis, sediakan payung sebelum hujan).
Kehati-hatian untuk menghadapi masa depan juga adat menginginkan sebagaimana
yang dikatakan :

Hari paneh kok tak balinduang


Hari hujan kok tak bataduah
Hari kalam kok tak basuluah
Jalan langang kok tak bakawan

(hari panas jika tidak berlindung, hari hujan jika tidak berteduh, hari kelam jika tidak
bersuluh, jalan lengang jika tidak berteman).

Perspektif masa depan yang tinggi bagi orang Minangkabau juga terlihat dengan
kuatnya mereka memelihara sistem pemilikan komunal mereka. Dengan cara
memelihara tanah komunal, warih di jawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka
ditolong) mengungkapkan nilai dasar yang menekankan identitas Minangkabau.

92
J.5. Hakekat Pandangan Terhadap Alam

Orang Minangkabau menjadikan alam sebagai guru, sebagaimana yang dikatakan


dalam mamangan adatnya sebagai berikut:

Panakiek pisau sirawik


Ambiak galah batang lintabuang
Salodang ambiak kanyiru
Satitiak jadikan lauik
Sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadi guru

(panakik pisau seraut, ambil galah batang lintabung, silodang jadikan nyiru, setitik
jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).

Alam Minangkabau yang indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan berdanau,


kaya dengan flora dan fauna telah memberi inspirasi kepada masyarakatnya.
Mamangan, petatah, petitih, ungkapan-ungkapan adatnya tidak terlepas dari pada
alam.

Alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau,


ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan
guru, seperti dikatakan, bahwa adat itu adalah:

Sakali aia gadang


Salaki tapian barubah
Namun aia kailia juo sakali gadang baganti
Sakali peraturan barubah
Namun adat baitu juo

(sekali air besar, sekali tepian berubah, namun air ke hilir juga, sekali besar berganti,
sekali peraturan berubah, namun adat begitu juga).

Menurut pandangan hidup orang Minangkabau ada unsur-unsur adat yang bersifat
tetap ada yang bisa berubah. Yang tetap itu biasa dikatakan “nan indak lapuak dek
hujan, nan indak lakan di paneh”, (yang tidak lapuk karena hujan, yang tidak lekang
karena panas).

Unsur-unsur itulah yang dalam klasifikasi adat termasuk “adat nan sabana adat”
(adat yang sebenar adat), sedangkan yang lainnya tergolong “adat nan teradat, adat
nan diadatkan dan adat istiadat” yang dapat dirubah.

93
Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat yang tidak lapuk karena hujan, dan tak
lekang karena panas sebenarnya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam
atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Allah SWT. Oleh karena itu
adat Minangkabau falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam,
maka adat Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada.

J.6. Pandangan Terhadap Sesama

Dalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau
kebersamaan. Nilai ini dinyatakan mereka dengan ungkapan “duduak samo randah,
tagak samo tinggi” (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi).

Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif
mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat.
Hasil permufakatan merupakan otoritas yang tertinggi. Hal ini dinyatakan oleh orang
Minangkabau dengan ungkapan :

Kamanakan barajo ka mamak


Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka alua
Alua barajo ka patuik jo mungkin
Patuik jo mungkin barajo kanan bana
Bana badiri sandirinyo (itulah nan manjadi rajo)

(kemenakan baraja kepada mamak, mamak baraja ke penghulu, penghulu beraja


kepada mufakat, mufakat beraja kepada alur, alur beraja kepada patut dan mungkin,
patut dan mungkin beraja kepada yang benar, yang benar itulah yang menjadi raja).

Kekuasaan yang tertinggi (otoritas) menurut orang Minangkabau bersifat abstrak,


yaitu nan bana (kebenaran). Kebenaran tersebut harus dicari melalui musyawarah
yang dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sangat diperlukan
oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggii manusia yang menggunakan akal.
Nilai-nilai yang dibawa oleh islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan islam
melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang
bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih
menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau.

Orang Minangkabau mengakui hirarki, yaitu ada rakyat dan ada pemimpin. Namun
pemimpin dalam konsepsi mereka adalah orang yang dipilih dalam kerabat mereka,
yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal ini
mereka yaitu yang terbaik dari segi kualifikasi yang ditentukan oleh adat. Dalam hal
ini mereka mempersonifikasikan pemimpin dalam pribadi dan kualifikasi seorang
penghulu (syarat-syarat penghulu). Dengan demikian pada hakekatnya sumber
kekuasaan penghulu itu adalah rakyatnya (kemenakannya).

94
Dalam ungkapan adat dikatakan “tumbuahnyo ditanam, gadangnyo dilambuak”,
(tumbuhnya ditanam, besarnya dilambuk). Karena sumber kekuasaan dari bawah,
maka diingatkan “ingek-ingek urang di ateh, nan dibawah kok maimpok” (ingat-ingat
orang di atas, yang dibawah kalau menimpa). Dengan arti kata karena pemimpinm itu
dipilih oleh anak kemenakan, maka yang diangkat jadi pemimpin iitu jangan sampai
tidak memperhatikan kemenakannya, sebab kalau tidak demikian kepemimpinannya
bisa dicabut kembali.

Menurut adat pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya
hendaklah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling
berbeda. Walaupun berbeda namun saling membutuhkan dan saling dibutuhkan
sehingga terdapat kebersamaan. Dikatakan dalam mamangan " nan buto pahambuih
lasuang, nan binguang ka disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang”, (yang
buta penghembus lesung, yang tuli pelepas bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang
kuat pembawa beban, yang bingung akan disuruh-suruh, yang cerdik lawan
berunding). Hanya saja fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain,
tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihagai karena semuanya saling isi
mengisi. Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat
menggariskan “nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek disayangi”
(yang tua dihormati, sama besar bawa berkawan dan yang kecil disayangi). Ketika
agama islam masuk konsep pandangan terhadap sesama ini dipertegas lagi.

Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka
untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur
sosial matrilineal yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum
sampai kemasyarakat nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak
berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi
antara harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk
selalu bersifat dinamis.

K. ELOK NAGARI DEK PENGHULU


K.1. Elok Nagari Dek Penghulu

Penghulu telah didirikan semenjak dari nagari asal Pariangan Padang Panjang. Dalam
pemerintahan Kerajaan Pasumayam Koto Batu yang dipimpin oleh Sri Maharaja
Diraja, telah didirikan dua orang penghulu pertama di Pariangan Padang Panjang,
beliau itu adalah : Datuk Bandaro Kayo di Pariangan dan Datuk. Maharajo Basa di
Padang Panjang.

Begitulah selanjutnya sampai ke Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Sungai Tarab (Bungo
Satangkai), Kerajaan Bukit Batu Patah, dan Kerajaan Pagaruyung, begitu pula di
luhak yang baru didirikan, maka dibesarkanlah penghulu di tiap-tiap nagari yang bru
ditempati itu.

Penghulu-penghulu itulah yang akan memimpin anak nagari dalam segala seluk-beluk
kehidupan mereka, penghulu itulah yang akan “ pa-i dahulu, pulang kudian ”,

95
penghulu itulah “ nan maelo parang jo barani, maelo karajo jo usaho, elo sarato
tumpia, suruah sarato pa-i ”. elok nagari dek panghulu, maksudnya adalah bahwa
penghulu-penghulu itulah yang memimpin segala pekerjaan yang baik-baik dalam
nagari.

Nagari terdiri dari labuah, tapian, balai dan musajik. Elok labuah dek batampuah,
elok tapian dek rang mudo, elok balai dihiasi, elok musajik dek tuanku. Walaupun
telah dibagi-bagi demikian rupa tentangan elok labuah, elok tapian, elok balai dan
elok musajik kepada masing-masing fungsional di nagari, tetapi di atas itu semua
penghululah yang memimpin semua pekerjaan untuk eloknya segala sarana nagari
tersebut. Bahkan tidak itu saja, malainkan berbagai kebaikan dalam perilaku, budi
pekerti, sopan santun dalam pergaulan bermasyarakat, penghululah yang sebagai
pelopor untuk menegakkannya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki nagari dengan
masyarakatnya peranan penghulu adalah sangat penting sekali. Kembali sekali lagi
setelah penghulu-penghulu dahulu membuka nagari, maka untuk menyelamatkan
nagari inipun, penghulu sekarang harus berada digaris depan sebagai pelopor.

Bila orang menyebut kepemimpinan Minangkabau, maka fikirannya akan tertuju


bahwa kepemimpinan masyarakat Minangkabau didasarkan kepada sistem tungku
tigo sajarangan (tungku tiga sejarangan). Tungku tiga sejarangan ini adalah sebagai
berikut :

1. Kepemimpinan ninik mamak


2. Kepemimpinan alim ulama
3. Kepemimpinan cerdik pandai

Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada, tidak terlepas dari perjalanan sejarah
masyarakat Minangkabau sendiri. Mulanya hanya ada kepemimpinan di bidang adat
saja, namun kemudian setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau dan akhirnya
agama Islam ikut memberi corak terhadap pandangan hidup orang Minangkabau.
Dengan kedatangan pengaruh agama Islam lahirlah pimpinan di bidang keagamaan
yang disebut alim ulama. Baik karena kenyataan maupun karena diakui, alim ulama
diikut sertakan memimpin kesatuan-kesatuan sosial masyarakat di dalam adat. Unsur
pimpinan yang ketiga adalah cerdik pandai. Orang cerdik pandai sama lahirnya
dengan kepemimpinan ninik mamak dalam arti menjadi penghulu kepala kaum.
Orang-orang yang pintar dari sebuah kaum banyak jumlahnya. Pintar dalam
pengetahuan adat dan pengetahuan umum lainnya. Mereka inilah yang digolongkan
kepada golongan cerdik pandai walaupun merreka tidak pernah menempuh
pendidikan sekolah. Dengan kata lain kepemimpinan cerdik pandai ini sudah ada
sebelumnya, dan tidak benar kalau dikatakan kepemimpinan cerdik pandai muncul
setelah adanya pendidikan formal seperti sekarang.

Ketiga corak kepemimpinan tadi mempunyai perbedaan terutama sekali statusnya


dalam masyarakat adat. Kepemimpinan ninik mamak merupakan kepemimpinan
tradisional, dia sesuai dengan pola yang telah digariskan oleh adat. Kepemimpinan
secara berkesinambungan, dengan arti kata “patah tumbuah hilang baganti” dalam

96
kaum masing-masing, suku dan nagari. Seseorang tidak akan dapat berfungsi sebagai
ninik mamak dalam masyarakat adat, seandainya dalam kaum keluarga sendiri tidak
mempunyai gelar kebesaran kaum yang diwarisinya.

Kepemimpinan alim ulama dan cerdik pandai dapat diperoleh oleh siapa saja tanpa
membedakan asal usul dan keturunan. Kepemimpinan dan kharisma seorang alim
ulama dan cerdik pandai tidak terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu, dan
malahan peranannya jauh di luar masyarakat nagarinya. Stratifikasi secara tegas
terhadap tiga corak kepemimpinan tersebut sulit dibedakan lantaran ketiga corak
kepemimpinan tersebut bisa terdapat pada diri seseorang. Betapa banyaknya sekarang
ninik mamak yang juga cerdik pandai serta sebagai alim ulama.

Ketiga sistem kepemimpinan tadi dalam masyarakat minankabau disebut “tungku tigo
sajarangan, tali tigo sapilin”. Ketiga unsur kepemimpinan ini saling melengkapi dan
menguatkan. Tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin juga merupakan filosofi dalam
kepemimpinan masyarakat Minangkabau. Ketiga unsur kepemimpinan ini berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing dalam membina dan memimpin anak kemenakan
semenjak dahulu di Minangkabau.

K.3. Tingkat - Tingkat Kepemimpinan

Dalam membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini tercakup dua hal yang


mendasar, yaitu siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin. Pengertian yang
dipimpin dalam adat Minangkabau tidak lain adalah anak kemenakan sendiri dan di
sini dapat diterjemahkan sebagai rakyat, sedangkan pemimpin adalah ninik mamak
atau orang yang berfungsi sebagai pimpinan yang telah digariskan oleh adat.
Untuk membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini baik juga dipedomani talibun
adat yang mengatakan :

Rang gadih mangarek kuku


Pangarek pisau sirauik
Paruik batuang tuonyo
Batuang tuo elok ka lantai
nagari ba ampek suku
dalam suku babuah paruik
kampuang banan tuo
rumah batunganai

(anak gadis memotong kuku, dikerat dengan pisau siraut, pisau siraut peraut betung
tua, betung tua baik untuk lantai, nagari mempunyai empat suku, dalam suku berbuah
perut, kampung bertua, rumah bertungganai).

Dari talibun adat di atas yang akan dikemukakan adalah tungganai, suku dan nagari,
sedangkan kampung tanpa dikaitkan kesalah satu suku tertentu dan hanyalah
mengandung arti teritorial semata-mata.

97
1. Paruik (perut), tiap suku berbuah paruik dan orang separuik bertali darah.
Dahulu orang yang separuik tinggal dalam satu rumah yang disebut dengan
rumah gadang. Sebagai pemimpin dari peruik adalah kepala paruik atau
disebut juga tungganai. Kepala peruik adalah laki-laki yang tertua dalam
paruik tersebut atau laki-laki lain yang dipilih menurut adat yang berlaku.
Biasanya kepala paruik inilah yang memakai gelar kebesaran paruik atau
sebagai seorang penghulu yang bergelar datuk.

Kedatangan pengaruh islam kemudian istilah paruik ini lebih dikenal dengan
sebutan kaum. Kepala paruik ini lebih dikatakan sebagai kepala kaum. Pada
dewasa ini yang umum dipakai adalah kaum. Kepala kaum orang yang
didahulukan selangkah, ditinggikan seranting oleh anggota kaum. Persoalan
yang ada dalam kaum maupun antara kaum dengan kaum yang lain menjadi
tanggungjawab kepala kaum untuk menyelesaikannya bersama-sama dengan
anggota kaum lainnya. Pengawasan terhadap harta pusaka tinggi sebagai milik
kaum merupakan tugas dari pada kepala kaum dan hal ini sesuai dengan
ketentuan adat yang mengatakan “warih dijawek, pusako ditolong”.
Menggadai atau menjual harta pusaka harus sepakat anggota kaum dan
ketegasan dari kepala kaum dalam mengambil sesuatu keputusan sangat
diperlukan sekali dalam permusyawaratan. Orang yang sekaum terdiri pula
dari ibu-ibu dengan anak-anaknya yang merupakan samande. Orang yang
samande memperoleh bagian dari harta pusaka tinggi milik kaum. Harta yang
dimilikinya ini merupakan “ganggam bauntuak, pagang bamasiang”.
Kepadanya hanya diberi hak untuk memungut hasil, sedangkan hak milik
masih tetap atas nama kaum. Harta yang ganggam bauntuak ni jika digadaikan
harus mendapat persetujuan dari kepala kaum dan anggota kaum yang lainnya.

Apabila sebuah kaum telah berkembang, maka bagian-bagiannya disebut jurai.


Jurai-jurai ini turun dari rumah itu diawasi oleh mamak rumahnya. Mamak
rumah ini disebut pula tungganai menurut kebiasaan dalam satu-satu nagari.
Jurai-jurai yang ada masih tetap dalam satu kesatuan kaum dan sebagai
pimpinannya tetap kepala kaum.

2. Suku, merupakan unit yang mendasar dalam struktur sosial masyarakat


Minangkabau. Berdasarkan sejarah orang Minangkabau pada mulanya
mengenal empat buah suku yaitu koto, piliang, bodi, dan chaniago.
Berdasarkan penyelidikan L. C. Westenenk dari empat suku ini telah menjadi
96 suku yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh nagari di Minangkabau.

Walaupun sudah banyak pecahan suku namun tetap masuk kepada suku asal,
yaitu kepada koto piliang dan bodi chaniago. Di nagari yang mempunyai
sistem adat koto piliang kepala-kepala suku dipilih menurut sistem keturunan
langsung. Sedangkan di nagari-nagari yang memakai sistem adat bodi
chaniago kepala suku di pilih secara demokratis. Penghulu-penghulu suku
koto piliang dipimpin oleh seorang penghulu pucuak dan sifatnya turun-
temurun. Sedangkan pada bodi chaniago di kepalai oleh penghulu andiko atas

98
pilihan bersama secara demokratis, dengan mengindahkan “ketentuan gadang
balega”.

Penghulu-penghulu suku yang dipimpin oleh penghulu pucuak atau penghulu


andiko mempunyai tanggungjawab keluar dan kedalam terhadap segala
permasalahan yang ada dalam sukunya.

Bila terjadi persengketaan antara kaum dengan kaum atau antara suku dengan
suku lainnya maka penghulu-penghlu yang sepesukuan turun tangan untuk
menyelesaikannya. Demikian pula bila ada permasalahan yang ada permasalah
yang patut untuk dibawa ketingkat nagari, maka sebagai juru bicaranya adalah
kepala suku yaitu penghulu pucuak atau penghulu andiko sesuai dengan sistem
adat yang dipakainya. Membawa permasalahan dari tingkat terbawah
ketingkat nagari haruslah berjenjang naik, sedangkan dari tingkat nagari segala
yang harus disampaikan kebawah hendaklah bertangga turun. Kepemimpinan
dalam suku harus menanamkan rasa kesatuan dan persatuan, mereka harus
sehina semalu sebagaimana yang dikatakan “ malu nan indak dapek dibagi,
suku tak dapek dianjak ”, karena orang sesuku seketurunan, maka dalam soal
perkawinan dahulunya dilarang orang kawin sesuku dan bahkan sampai
sekarang hal ini pada banyak nagari masih dipegang teguh.

Dahulu orang sepesukuan tinggal dalam daerah yang sama, sehingga ada
kampung caniago, kampung jambak yang maksudnya orang yang tinggal di
kampung tersebut bersuku chaniago atau suku jambak. Penduduk suku
mempunyai daerah yang disebut ulayat suku. Ulayat suku meliputi daerah
yang telah didiami dan diolah oleh anggota suku ditambah dengan daerah yang
belum diolah seperti hutan, bukit dan lain-lain. Ulayat suku yang belum diolah
hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan anggota suku. Untuk
mengambil kayu bangunan atau hasil lainnya yang berada pada ulayat suku
harus setahu penghulu-penghulu suku.

3. Nagari, organisasi politik dan sosial yang tertinggi adalah nagari.


Pemerintahan nagari dijalankan oleh sebuah majelis ninik mamak pemangku
adat. Mereka bermusyawarah dalam sebuah penghulu yang disebut rapek
nagari atau kerapatan adat. Keanggotaan dari kerapatan adat pada sebuah
nagari ditentukan oleh adat yang dipakai pada nagari tersebut. Majelis ninik
mamak yang duduk sebagai pemimpin nagari punya kekuasaan di bidang
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hukum adat tidak mengenal pemisahan
kekuasaan. Segala persoalan-persoalan yang tidak putus dari tingkat paruik
dan suku akan dibawa kekerapatan ninik mamak nagari. Majelis ninik mamak
nagari juga bertanggungjawab terhadap kekayaan nagari yang berupa tanah
atau hal ulayat nagari.

Dari uraian di atas kelihatan suatu strata kepemimpinan menurut adat yang
kita ambil dalam lingkup nagari sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan, yang memegang peranan dalam

99
kepemimpinan secara adat yang berjenjang naik bertangga turun adalah
mamak rumah atau tungganai dengan harta ganggam bauntuak, mamak kepala
kaum dengan harta pusaka tinggi kaum, kerapatan ninik mamak yang sesuku
dengna harta ulayat suku, majelis kerapatan ninik mamak nagari dengan harta
ulayat nagari. Jadi jelas kepemimpinan itu diikuti dengan kekayaannya yang
merupakan hak dan tanggungjawab juga.

K.4. Penghulu

Dalam masyarakat adat minangkabau penghulu merupakan sebutan kepada ninik


mamak pemangku adat yang bergelar datuk. Mengangkat kebesaran adat dikatakan
mengangkat datuk, melainkan mengangkat penghulu. Istilah penghulu berasal dari
kata “hulu”, artinya kepala. Yang dimaksud kepala di sini adalah pimpinan. Jadi
pengertian penghulu adalah sama dengan pimpinan. Dengan demikian seorang
penghulu bisa pula tidak seorang datuk tetapi dia pemimpin.

Sebagai pimpinan penghulu bertanggungjawab dan berkewajiban memelihara anggota


kaum, suku dan nagarinya. Penghulu bertanggungjawab terhadap permasalahan yang
terdapat dalam masyarakat dan hal ini dikatakan kewajiban penghulu “ kusuik
manyalasai, karuah mampajaniah ”. Kedudukan penghulu tidak sama dengan
kedudukan dan fungsi seorang feodal, penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti
dalam masyarakat feodal, melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah.

Drs. M. D. Mansoer mengatakan : Seorang penghulu adalah ninggrat jabatan,


dengan hak-hak istimewa (prerogatives) yang melekat pada gelar pusaka yang
dipakainya sebagai penghulu. Yang diturunkan kepada kemenakan separuik, sekaum
atau sepesukuannya dan dipilih sebagai penggantiannya, ialah fungsi “ninggrat
jabatan dengan hak-hak prerogatives yang inhaerent” pada jabatannya.

Sebagai penghulu ia disebut “datuk”, baik ia sebagai penghulu paruik maupun sebagai
panghulu suku. Menurut adat bodi caniago seluruh penghulu sama dan sederajat
kedudukannya, semua dinamakan penghulu andiko. Andiko berasal dari kata
sansekerta yaitu “andika” yang berarti memerintah. Penghulu seandiko artinya setiap
penghulu mempunyai wewenang dan memerintah di dalam sukunya, sampai ke dalam
nagari masing-masing.

Menurut Prof. M. Nasroen, penghulu itu digadangkan makonyo gadang, sebagaimana


dikatakan :

Tumbuahnyo di tanam
Tingginya dianjuang
Gadangnyo diamba

Maksudnya jabatan penghulu itu diperolah oleh seseorang karena diangkat oleh
anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung, besarnya dipelihara dengan pengertian
sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi juga

100
di dalam kaumnya. Karena kelebihannya ini pilihan jatuh kepada dia atau dikatakan
juga “tinggi menyentak rueh”.

Penghulu sebagai pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang, dengan pengertian
haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah
haruslah punya prinsip “ tak ada kusuik nan indak salasai, karuah nan indak kajaniah
”. Dalam mencari penyelesaian harus bijaksana dan di umpamakan seperti menarik
rambut dalam tepung “ tapuang indak taserak, rambuik indak putuih ”.

Seorang penghulu diibaratkan “ aie janiah, sayak nan landai, bak kayu di tangah
padang, ureknyo tampek baselo, batangnya tampak basanda, dahannya tampek
bagantuang, buahnya ka dimakan, daunnyo tampek balinduang ”, (air yang jenih
sayak yang landai, seperti kayu di tengah padang, uratnya tempat bersila, batangnya
tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, daunnya
tempat berlindung).

Kesimpulan yang dapat diambil, bahwa penghulu sebagai pemimpin, kedudukan dan
peranannya sangat besar sekali di tengah-tengah masyarakat. Penghulu dikatakan juga
tiang nagari, kuat penghulu maka kuat pulalah nagari dan juga dikatakan elok nagari
dek panghulu, elok tapian dek rang mudo.

Dalam memimpin sukunya, penghulu suku dibantu oleh tiga orang pembantu yaitu
manti, malin dan dubalang. Manti urusan administrasi, malin urusannya menyangkut
bidang keagamaan, dan dubalang dikatakan urang ampek jinih. Menurut Prof. M.
Nasroen tugas dari urang nan ampek jinih adalah :
“ penghulu itu adalah sebagai bumi, di atas mana sesuatunya berdiri. Manti adalah
sebagai angin yang menyampaikan sesuatunya, malin adalah ibarat air yang
menghanyutkan yang kotor. Dubalang adalah sebagai api yang membakar segala
kejahatan dan bertindak dengan keras ”.

Tiap jenis berperanan menurut bidang masing-masing, seperti dikatakan penghulu


taguah di adat, manti taguah di buek, malin taguah di agamo, dubalang taguah di
nagari, kato pangulu manyalasai, kato manti kato panghubuang, kato malin kato
hakikat, kato dubalang kato mandareh.

1. Syarat-syarat menjadi penghulu

Karena seorang penghulu adalah sebagai pemimpin dalam masyarakat, mulai


dari tingkat kaum, suku dan nagari, maka ketentuan untuk menjadi seorang
penghulu telah digariskan oleh adat sebagai berikut:

1. Laki-laki
2. Baik zatnya maksudnya berasal dari orang keturunan yang baik-baik.
3. Kaya dalam arti kaya akal, budi dan pengetahuan dalam bidang adat.
4. Baligh berakal maksudnya dewasa dan berpendirian teguh serta tegas
dalam tiap-tiap tindakan.

101
5. Adil, maksudnya menempatkan sesuatu pada tempatnya, dikatakan
manganti samo barek, tibo dimato indak dipiciangkan, tibo diparuik
indak dikampihkan (menimbang sama berat, tiba di mata tidak
dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan).
6. Arif bijaksana artinya mempunyai perasaan halus, paham akan yang
tersirat, pikiran tajam dan cendikia, menurut petatah adat:

tahu di bayang kato sampai


tahu di ranggeh ka malintiang
tahu di tunggua ka manaruang
takilek ikan dalam aia
lah tantu jantan batinonyo
kilek baliuang alah ka kaki
kilek camin alah ka muko

7. Siddiq, maksudnya benar penghulu itu, tiadalah akan merobah dia akan
suatu kebenaran.
8. Tabligh maksudnya menyampaikan sesuatu yang baik kepada umum.
9. Amanah maksudnya dipercaya, tiadalah merobahi penghulu itu akan
suatu kepercayaan yang diberikan kepadanya.
10. Fatanah, maksudnya seorang penghulu haruslah cerdik cendikia dan
tiadalah dia dungu dan bebal.
11. Pemurah artinya pemurah pada nasehat, murah pada melarang
mudharat.
12. Tulus dan sabar artinya beralam luas berpadang lapang.
2. Prosedur pengangkatan penghulu

Seseorang itu diangkat menjadi penghulu memakai gelar pusaka kaumnya


yang telah diwariskan secara turun temurun merupakan hasil mufakat kaum.
Musyawarah serta mufakat anggota kaum merupakan hasil yang prinsip, sebab
kalau tidak demikian maka kebesaran kaum tersebut akan tetap terbenam, atau
dilipat. Seringkali terjadi hal yang demikian, karena tiak ada kesatuan
pendapat terutama anggota-anggota keluarga dalam jurai-jurai pada kaum
tersebut.

Hal ni sangat merugikan kaum tersebut. Patah tumbuh hilang berganti


merupakan isyarat kepada orang minangkabau agar yang patah cepat
ditumbuhkan, yang hilang itu cepat dicarikan gantinya.

Bila sudah diperdapat kebulatan suara anggota kaum, maka dibawalah hasil
kesepakatan kaum ini ke kerapatan ninik mamak yang sesuku. Seandainya
ninik mamak yang sesuku telah menyepakatinya pula maka dibawa ke sidang
kerapatan nagari, yang juru bicaranya datuk sesuku dari kaum tadi. Kerapatan
nagari sifatnya menerima apa yang telah disepakati calon penghulu yang
diajukan oleh kaum dan sukunya. Kerapatan nagari harus mengetahui semua
calon penghulu baru ini nantinya akan dibawa sehilir semudik dalam urusan

102
nagarinya, sebab penghulu baru ini nantinya akan dibawa sehilir semudik
dalam urusan nagari. Prosedur pengangkatan penghulu tiap-tiap nagari bisa
saja berbeda sesuai dengan adat salingka nagari, harato salingla kaum, namun
prosedur berjenjang naik sampai ketingkat nagari tidak bisa diabaikan karena
adat mengatakan maangkek panghulu sakato nagari, maangkek rajo sakato
alam.

3. Malewakan penghulu

Malewakan penghlu maksudnya menyampaikan kepada masyarakat ramai


mengenai diri seorang yang memakai gelar kebesaran kaumnya. Untuk itu
diadakan alek penghulu. Acara pengangkatan penghulu dan peresmiannya
merupakan acara adat terbesar di minangkabau. Besarnya acara ini tergantung
pada kemampuan keluarga kaum yang mengadakan acara tersebut. Pada helat
upacara pengangkatan penghulu ini disembelih kerbau. Anak nagari dan
penghulu-penghulu dalam nagari diundang pada hari peresmian ini. Upacara
peresmian ini adakalanya sampai berhari-hari dan ini tergantung kepada
kemampuan kaum keluarga yang mengadakan acara tersebut.

Daging kerbau yang dimasak sebagai lauk pauk tidak memakai bumbu
masakan biasa tetapi khusus masakan untuk pengangkatan penghulu. Ada
yang menyebutnya gulai anyang, dan beberapa nagari ada yang menyebutnya
gulai kancah, gulai sirah, gulai balado dan lain-lain, namun kesemuanya tanpa
santan.

Makna tersirat dari kerbau yang disembelih ini adalah “ tanduak ditanam,
dagiang dilapah, kuah dikacau ”. Tanduk ditanam punya makna agar penghulu
yang diangkat ini membuang sifat-sifat yang buruk yang mungkin melukai
orang lain. Daging dilapah maknanya sari daging dimakan dan tulangnya
dibuang. Hal ini berarti, bahwa dalam diri seseorang penghlu harus ada sifat-
sifat yang baik dan membuang sifat-sifat yang buruk. Kuah dikacau
mengibaratkan agar penghulu itu pandai mempergunakan sesuatunya menurut
sifat dan keadaannya. Gulai kerbau yang dimasak tidak pakai santan
mengibaratkan, indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik,
artinya seorang penghulu itu kebesarannya bukan lantaran orang lain,
melainkan besarnya itu lantaran dari dirinya sendiri.

4. Jenis pengangkatan penghulu

jenis pengangkatan penghulu ini timbul, karena adanya perbedaan


pelaksanaan, cara memperoleh dari siapa dan oleh siapa kesemuanya ini
melahirkan jenis-jenis pengangkatan penghulu.

Beberapa jenis pengangkatan penghluu yang telah dikumpulkan, adalah


sebagai berikut :

103
1. Mati batungkek budi mati bertongkat budi, maksudnya bila seseorang
penghulu meninggal dunia, maka pada hari itu juga dicarikan gantinya.
Setelah pemakaman dilewakan di makam tersebut siapa yang akan
menggantikan penghulu yang meninggal tersebut. Cara seperti ini juga
diaktakan melewakan di tanah tasirah. Syaratnya sekata kaum, dan
disetujui oleh penghulu-penghulu suku dan nagari.
2. Hiduk bakarilahan ada ketentuan dalam adat, bahwa gelar pusaka itu
dapat digantikan atau diserahkan kepada kemenakan selagi penghulu
tersebut masih hidup. Hal ini bisa terjadi bila penghulu itu sudah tua
sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya. Dalam adat dikatakan
“kok lurahlah dalam, bukiklah tinggi, jalan tak tatampuah, alek tak
taturuik”
dalam pelaksananaanya harus menurut prosedur yang berlaku dan adat
setempat, jadi bukan selesai pada kaum saja. Pengangkatan penghulu
hidup berkelirahan hanya terdapat dalam sistem adat bodi chaniago,
sedangkan pada adat koto piliang pengganti penghlu bisa dilakukan
bila seseorang penghulu itu sudah meninggal dunia “samati kuciang,
sahilang ngeong”.
3. Gadang menyimpang hal ini dapat terjadi bila jumlah anggota keluarga
dalam sebuah kaum sudah sedemikian besarnya. Untuk kelancaran
urusan anak kemenakan, maka diangkat seorang penghulu yang
gelarnya hampir serupa dengan gelar yang asli, jika gelar pusakanya
datuk bandaro, maka gelar yang baru datuk bandaro kayo. Kedudukan
kedua datuk ini semula tidak sama, karena yang baru diangkat ini
khusus dalam urusan dalam kaumnya sendiri, sedangkan urusan ke luar
tetap datuk yang pertama. Namun lama kelamaan mereka semakin
menggalang kebersamaan dan pada akhirnya mereka “duduk sama
rendah, tegak sam tinggi”.
4. Mangguntiang siba baju bila anak kemenakan yang asalnya inggok
mancakam, tabang manumpu telah berkembang dan sudah mungkin
mengatur kaumnya sendiri, maka kaumnya dapat diberi gelar pusaka
suku oleh kaum yang menjadi tepatannya. Pengangkatan dan
pemberian gelar ini bila gelar pusaka di tempat asalnya tidak diketahui
lagi, dan sepakat kaum yang ditepati, suku dan nagari. Namun prosedur
sepanjang adat tetap berlaku.
5. Pantangan (larangan) penghulu, penghulu sebagai pemangku adat nan
didahulukan salangkah, nan ditinggikan sarantiang mempunyai pantangan-
pantangan yang tidak boleh dilakukannya sebagai penghlulu. Pantangan ini
gunanya untuk menjaga martabat dan wibawa penghulu itu di tengah-tengah
anak kemenakan.
Pantangan-pantangan penghulu tersebut adalah sebagai berikut :
1. Marah, penghulu harus bersifat sabar, sebab dalam kehidupan sehari-
hari anak kemenakan banyak tingkahnya yang tidak sesuai dengan
ajararan adat dan moral. Dalam menghadapi hal-hal yang tidak baik
ini, seorang penghulu harus bijaksana dan pandai membawakan diri,
seperti dikatakan juga harimau dalam paruik, kabiang juo nan

104
dikaluakan (harimau dalam perut, kambing juga yang dikeluarkan).
Seorang penghulu harus menjauhi sifat-sifat yang suka menghardik,
menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan sifat-sifat yang suka
menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju
untuk menentang seseorang berkelahi. Biasanya seorang penghulu
yang bijaksana kalau ada hal-hal yang membuatnya marah akan
menyerahkan perseolannya pada dubalang.
2. Berlari-lari, walaupun bagaimana terburu-burunya seorang penghulu
karena sesuatu hal, baginya terlarang untuk berlari-lari, apalagi berlari
kencang. Berlari-lari membuat dirinya seperti kanak-kanak. Seorang
penghulu dapat menyuruh anak kemenakannya kalau ada yang perlu
untuk dituruti dengan segera.
3. Menjinjing dan membawa beban, menjinjing dan memikul beban tidak
pada tempatnya bagi seorang penghulu. Kalau ini terjadi akan hilang
wibawa penghulu tersebut karena dia mempunyai anak kemenakan
ayang dapat membantunya.
4. Memanjat-manjat, pantangan bagi seorang penghulu memanjat pohon,
apalagi pohon kelapa, wibawanya akan hilang apabila hal ini dia
lakukan.
6. Hak dan kewajiban penghulu sebagai seorang penghulu tidaklah hanya
dibebani dengan kewajiban-kewajiban saja, tetapi juga mempunyai hak di
tengah-tengah suku dan nagarinya.

Hak penghulu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memutuskan sesuatu permasalahan secara tegas dan tepat. Di tengah-tengah


kaumnya seorang penghulu berhak untuk mengambil suatu keputusan yang
tegas dan tepat mengenai sesuatu permasalahan, tetapi tidak ditinggalkan
unsur-unsur musyawarah dengan seluruh anggota kaum. Dia tidak ragu-ragu
bertindak dan mengatur sesuatu yang bertujuan baik untuk kepentingan kaum.
Seorang penghulu tidak membeo saja apa yang diingini oleh anggota
kaumnya. Kelebihannya sebagai seorang pemimpin harus ditunjunkkannya
dalam sikap dan tindakannya.
2. Memperoleh sawah kagadangan. Karena tugas penghulu tersebut cukup sibuk,
baik urusan kedalam maupun keluar yang menyangkut dengan kaumnya,
sudah jelas dia tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari nafkah, maka
penghulu mempunyai hak untuk mendapatkan sawah kagadangan (sawah
kebesaran) milik kaumnya. Hasil sawah kagadangan ini diperuntukkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3. Menetapkan hak dan kewajiban kemenakan. Dalam kerapatan suku dan nagari
seorang penghulu mempunyai hak suara untuk menyampaikan sesuatu berupa
usul dan pendapat demi kepentingan suku, nagari dan anak kemenakan pada
umumnya. Seseorang penghulu secara mufakat dan bersama-sama pada
tingkat nagari, untuk menetapkan atau memutuskan sesuatu yang akan
diberlakukan pada anak kemenakannya.

105
4. Memperoleh hasil ulayat. Penghulu pada suku dan nagari juga mempunyai hak
untuk mendapatkan hasil dari ulayat suku dan nagari, seagaimana diaktakan :
karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampieng, kalauik babungo karang
(kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang).

Disamping hak, penghulu mempunyai pula kewajiban-kewajiban yang telah


digariskan oleh adat. Ada empat kewajiban yang dimiliki oleh penghulu dalam
memimpin anak kemenakan. Keempat kewajiban itu adalah sebagai berikut:

1. Menuruik alue nan lurus (menurut alur yang lurus), yang dikatakan menurut
alur yang lurus, yaitu tiap-tiap sesuatu yang akan dilaksanakan oleh penghulu
hendaklah menurut garis-garis kebenaran yang telah digariskan oleh adat.
Penghulu berkewajiban untuk tidak menyimpang dari kebenaran tersebut dan
kebenaran itu dapat dibuktikannya, seperti ungkapan adat mengatakan “luruih
manahan tiliak, balabeh manahan cubo, ameh batuah manahan uji”. Alur yang
lurus ini dapat pula dibedakan atas dua bahagian, yaitu alur adat dan alur
pusaka. Alur adat yaitu peraturan-peraturan di dalam adat minangkabau yang
asalnya peraturan tersebut disusun dengan kata mufakat oleh penghulu-
penghulu atau ninik mamak dalam satu nagari. Sedangkan alur pusaka artinya
semua peraturan-peraturan yang telah ada dan diterima dari nenek moyang dt.
Ketumanggungan dan dt. Perpatih nan sabatang. Alur pusaka ini di dalam adat
dikatakan “hutang babaia, piutang batarimo. Salah batimbang, mati bakubua”.
2. Manampuah jalan nan pasa (menempuh jalan yang pasar), yang dikatakan
manampuah jalan nan pasa yaitu peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan
dalam kehidupan masyarakat. Seorang penghulu hendaklah meletakkan atau
melaksanakan apa yang telah digariskan oleh adat dan tidak boleh
menyimpang dari yang telah digariskan adat, yaitu balimbago, bacupak, dan
bagantang (berlembaga, bercupak, dan bergantang).
3. Mamaliharo harato jo pusako (memelihara harta pusaka), penghulu
berkewajiban harta pusaka, seperti dikatakan warih dijawek, pusako ditolong.
Harta pusaka merupakan kawasan tempat anak kemenakan berketurunan
mencari kehidupan, tempat beribadah dan berkubur. Harta pusaka yang
dipelihara seperti pandam perkuburan, sawah ladang, labuh tapian, korong
dengan kampung, rumah tangga, balai dan mesjid. Harta pusaka yang berupa
adat istiadat yang telah diwarisi turun-temurun dari nenek moyang juga
dipelihara dan ditolong untuk dilanjutkan pada generasi selanjutnya.
4. Mamaliharo anak kemenakan (memelihara anak dan kemenakan). Penghulu
berkewajiban memelihara anak kemenakan “siang mancaliak-caliakkan,
malam mandanga-dangakan, barubah basapo, batuka baanjak, hilang bacari,
luluih basalami”

Dalam hal-hal yang umum penghulu juga mempunyai kewajiban yang sama terhadap
anak-kemenakan penghulu lainnya, jika mereka bersalah perlu di tegur dengan batas-
batas tertentu adanya.

106

Anda mungkin juga menyukai