Anda di halaman 1dari 5

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN MINANGKABAU

DOSEN : Buk Erda Fitriani., S.Sos., M.Si.

Nama : Maichel Firmansyah


Nim : 20058096
Ujian tengah semester
Soal

1. Jelaskan asal usul orang Minangkabau berdasarkan a. sejarah (data arkeologi atau dokumen) b.
berdasarkan tambo

2. Kebudayaan Minangkabau terdiri atas dua kelarasan. Jelaskan perbedaan dari kedua
kelarasan tersebut! Berikan kritikan dan tanggapan saudar mengenai ke dua laras tersebut untuk
saat sekarang ini!

3. Jelaskan sistem kekerabatan orang Minangkabau, dan apa konsekuensi dari sistem
kekerabatan tersebut terhadap sistem perwarisan dan pola menetap, serta berikan tanggapan
saudara terhadap agama yang dianut orang Minang terhadap sistem kekerabatan tersebut!

4. Jelaskan sistem kepemimpinan tradisional Minangkabau, mulai dari yang terendah sampai
yang tertinggi serta kewenangan pemimpin. Berikan tanggapan saudara terhadap pola
kepemimpinan Minang tersebut pada saat ini secara kritis!

Jawab

1. Asal usul orang Minang kabau

Berdasarkan sejarah

Asal usul orang Minang kabau perlu dikaji terlebih dahulu berdasarkan asal usul Minangkabau itu
sendiri berdasarkan catatan sejarah, yaitu Tambo. Perihal asal usul orang Minangkabau telah ada
peneliti yang mengkajinya, baik itu peneliti dalam negeri atau luar negeri. Asal usul orang
Minangkabau itu sendiri tidak lepas dari adanya berdiri kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung itu
sendiri merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada dalam khazanah sejarah Minangkabau yaitu
Tambo.

Kerajaan Pagaruyung ini berdiri pada abad ke-14 di daerah darek Minangkabau, tepatnya berpusat di
Pagaruyung. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ke-15 masehi, di bawah
pemerintahan Adityawarman. (Amran, 1981 : 37 ; Kiram, dkk, 2003 : 11, dan Imran, dkk, 2002 : 20).
Minangkabau sebagai sebuah kerajaan besar pada masanya, selain itu kerajaan Minangkabau juga
memiliki kerajaan-kerajaan kecil (vazal) yang bertindak sebagai “wakil kerajaan” di daerah darek dan
rantau. Diberi otonomi khusus untuk mengurus daerahnya dan menyebarkan keturunan keberbagai
daerah-daerah, bahkan sampai ke Manca negara.

Diceritakan lewat Tambo bahwa nagari pertama sebagai tempat bermukim nenek-moyang
Minangkabau adalah suatu tempat yang bernama Lagundi nan baselo, yaitu sebuah tempat yang
terletak di kaki Gunung Merapi. Oleh karena itu, bicara tentang Minangkabau, tidak bisaterlepas dari
“Galundi Nan Baselo” (Lagundi), karena di sanalah untuk pertama kalinya nenek-moyang orang
Minangkabau bermukim setelah turun dari Gunung Merapi sebelum melanjutkan kehidupannya
dalam perkembangan zaman berikutnya. Diawali dari penuturan bahwa asal usul orang Minangkabau
dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnaini, yaitu dari Macedonia tahun 336-335 SM.

Raja ini mempunyai 3 orang putra yaitu; Maharaja Alif yang menjadi Raja di Benua Ruhun (Romawi).
Maharaja Dipang yang menjadi Raja di Benua China dan yang kecil Maharaja Diraja yang menjadi Raja
di Pulau Emas (Perca). Ditengah-tengah pelayarannya mereka melihat cahaya seperti kilauan emas,
dan terus mereka dekati dan akhirnya mereka menemukan Gunung Merapi. Dalam Tambo disebutkan.
Setelah beberapa lama mereka berdiam di puncak Gunung Merapi itu, air laut sudah berangsur surut
juga dan bertambah besar juga daratan, maka sekalian orang itupun berpindah ke sebuah lekung di
pinggang Gunung Merapi itu. Oleh Sri Maharaja Diraja tempat itu diberi nama Labuhan si tempaga
(“Galundi Nan Baselo”). Di situlah pada masa dahulu ada si Rengkak nan Berdengkang. Di situ pula
untuk pertama kalinya orang menggali sumur untuk tempat mandi dan tempat mengambil air minum,
karena sekitar itu tidak ada air tawar, yang ada hanya air laut.

Setelah istirahat beberapa saat di Galundi Nan Baselo, mereka sepakat untuk meluaskan kawasan itu
menjadi sebuah perkampungan tempat berdiam dan memilih sebagai pusat pemukiman sebuah lokasi
yang disebut “Taratak” dalam kawasan Kapalo Koto. (Lokasi ini terletak di sebelah utara arah ke barat
jorong Batursekarang). Di sekitar perkampungan inilah mereka membangun Sawah Gadang
Satampang Baniah, Batu Sajamba Makan dan Perumahan tertua. (kini lokasi ini merupakan cagar
budaya, di bawah binan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanah Datar). Dt. B. Nurdin
Yakub (1987), menyatakan bahwa; Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung
Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena
lembah-lembah masih digelangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat. Mula-
mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diansur-ansur membuka tanah untuk dijadikan
huma dan ladang. Taratak-taratak itu makin lama makin ramai, lalu bertumbuh menjadi dusun, dan
Galundi Nan Baselo menjadi ramai.

Bukti-bukti arkeologis

Bukti-bukti asal orang Minangkabau, berdasarkan informasi mengenai ada objek atau situs-situs
peninggalan prasejarah dalam konteks kepurbakalaan Minangkabau yang ditulis oleh Tijdschrift
Bataviaasch Genootschap IV dengan artikel yang berjudul Oudheden ter Westkust van Sumatra di
dalam terbitan 1855 tentang penemuan batur punden berundak dikelilingi batu-batu kuburan di
daerah Sintuak Pariaman. Selain itu seorang ahli arkeologi Belanda yang bersama Schnitger menulis
dalam bukunya Forggoten Kingdom in Sumatra. Dia mengemukakan bahwa di daerah Lima Puluh kota
banyak ditemukan peninggalan megalitik yang berupa menhir, Dolmen, batu dakon dan beberapa
temuan lainnya. Peninggalan masa prasejarah di Lima Puluh kota banyak kita temukan seperti situs
Bawah Parit, Situs Balai Talang, Situs Koto Ranoh, Situs Sungai Talang, Situs Balubuih, dan Situs Batu
Taleompong. Situs-situs prasejarah banyak sekali ditemukan di Kabupaten Limapuluah Koto
seharusnya Luhak nan Tuo ini terletak di Lima Puluh Kota dan kenyataan yang ada sebutan luhak nan
tuo ini di Tanah Datar.

Fenomena hari ini, bahwa masyarakat Minang kabau memiliki pemahaman yang sudah mengakar
bahwa nenek moyang kita berasal dari kaki gunung Merapi tetapi kenyataan yang ada bukti yang ada
tidak dapat menjelaskan cerita yang disampaikan melalui Tambo. Informasi yang disampaikan Tambo
sesudah ditelusuri oleh penelitian tidak menemukan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Masa Prasejarah Minangkabau banyak sekali kita temukan termasuk ekskavasi yang dilakukan
Pusat Arkeologi Nasional di Situs Bawah Parit Mahat mengungkapkan penemuan kerangka tulang yang
ditemukan di situs tersebut, setelah dilakukan analisa C16 memberikan informasi ke kita bahwa umur
dari kerangka manusia tersebut 30.000 tahun lalu. Jadi kerangka yang ada dengan terdamparnya anak
Iskandar Zulkarnain ini tidak sama. Kerangka yang ada lebih dahulu ada dari pada Maharaja Diraja
anak Iskandar Zulkarnain. Jadi kalau kita kritisi antara temuan arkeologi dengan informasi tambo tidak
linear atau tidak sesuai dengan penemuan arkeologi.

2. Kebudayaan Minang kabau terdiri dari dua kelarasan

Pada masyarakat Minangkabau terdiri dari dua Laras atau lareh, yaitu laras bodi Chaniago dan laras
koto Piliang. Laras bodi Chaniago digambarkan dengan sistemnya yang demokrasi dan musyawarah,
sedangkan laras koto Piliang yang digambarkan sebagai aristokrasi. Laras bodi Chaniago disebut lareh
nan panjang, sedangkan laras koto Piliang disebut dengan lareh nan Bunta. Kedua kelarasan inilah
yang mengatur sistem adat dan hukum di Minang kabau untuk menciptakan keseimbangan hidup dan
kehidupan, tata hubungan antar sistem yang berimbang, harmoni dan memiliki keselarasan hidup
bersama. Sistem ini dicetuskan oleh Dt Perpatih nan sabatang dan Dt Ketumangunggan.

Dt Ketumangunggan yang mulanya membuat sistem ini menyangkut hukum dan kehidupan pada
perkara beragama dan kesantunan adat pada raja-rasa, sedangkan Dt Perpatih nan sabatang
membuat sistem adat berkaum-kaum yang dikenal hingga sekarang sebagai bersuku-suku.

Kritik : menurut saya kedua kelarasan ini sudah tidak lagi terlihat pada masyarakat Minangkabau yang
hidup di perkotaan atau di perdesaan sebab tidak ada kejelasan mana kelarasan dari Dt
Ketumangunggan dan kelarasan dari Dt Perpatih nan Sabatang. Padahal keduanya memiliki kelebihan
dan kekurangannya masing-masing dan menjadi sebuah budaya yang memperkokoh Minangkabau
dan menjadi kuat di mata dunia.

3. Sistem kekerabatan Minang kabau

Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem kekerabatan matrilineal, hidup di dalam satu


ketertiban masyarakat yang di dalamnya kekerabatan dihitung menurut garis ibu dan pusaka serta
warisan diturunkan menurut garis ibu pula, ini artinya anak laki-laki dan perempuan termasuk
keluarga, klan dan perkauman ibunya, yang menerima warisan harta-benda (Radjab, 1969).

Masyarakat Minangkabau yang secara kokoh menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis
keturunan dihitung menurut garis keturunan ibu (wanita) dan sistem kekerabatan ini telah
menempatkan posisi wanita pada posisi yang sangat sentral, sebagai penguasa harta pusaka yang
dapat dijadikan jaminan sosial dan pelindung dari berbagai permasalahan ekonomi rumah tangga yang
dihadapi oleh anggota keluarganya.

Beberapa penelitian yang telah saya baca tentang sistem kekerabatan ini, ternyata memberikan hak
perlindungan sosial bagi seorang perempuan karena adanya jaminan harta warisan bagi perempuan,
hal itu terlihat khususnya pada sistem rumah gadang yang mengatur peran harta warisan keluarga
dan peran saudara laki-laki terhadap pembiayaan-pembiayaan pendidikan dan kebutuhan lainnya bagi
anak-anak dalam suatu keluarga.

Sistem matrilineal Minangkabau memiliki aturan tersendiri dalam pengelolaan harta yang diwariskan
kepada keturunannya. Tanah yang “diperoleh” melalui warisan adalah harta pusaka (properti akestral)
yang diperoleh melalui garis ibu (Kato, 1982), dengan memberikan kepada tiap orang yang berhak atas
sebidang sawah, tanah, kebun atau ladang dari harta pusaka, untuk dipergunakan oleh kemenakannya
tersebut [4, pp. 57–58].

Pada pola menetap, sistem matrilineal memberikan ruang bebas bagi perempuan untuk penguasaan
ekonomi dan rumah tempat menetap. Garis keturunan sangat erat kaitannya dengan penguasaan
sumber daya yang bernilai ekonomis. Filosofisnya, memberikan akses ekonomi yang sangat tinggi
kepada perempuan. Hal ini menunjukkan adanya kedudukan perempuan yang sangat kuat.
Perempuan dilindungi oleh sistem pewarisan matrilinial dan pola menetap setalah menikah yang
bersifat matrilokal. Pembagian peran secara tradisional dalam system matrilinial telah menempatkan
posisi perempuan sebagai tokoh kunci dalam mengelola tanah dan rumah sebagai tokoh kunci (Lany
Verayanti, 2003: 13). Sistem matrilinear membuat sistem pola warisan dan menetap diberikan kausa
penuh bagi perempuan, ada sisi positi dari hal itu karena laki-laki yang hidup pada sistem matrilinear
akan cenderung untuk merantau dan mereka tidak perlu kahwatir dan ragu bagi Mereka untuk
meninggalkan keluarga. Karena istri dan anak-anak yang mereka tinggalkan mampu dan bisa survive
dengan harta pusakan istri mereka di kampong halamannya. Tidak jarang perempuan penganut Sistem
ini sudah terbiasa mengatur dan menjadi pemimpin dalam Keluarganya ketika laki-laki tidak berada di
tengah-tengah keluarga (Mochtar Naim, 1984: 249).

Agama yang dianut oleh orang Minangkabau hari ini adalah Islam secara keseluruhan, bahkan suku
Minangkabau tidak ada lagi beragama selain Islam. Islam yang memegang teguh sistem patrilinear
tidak mengganggu atau bertentangan dengan sistem matrilinear yang menjadi sistem perwarisan
Minangkabau, dalam Islam wanita juga diberikan kekuasaan dan kemuliaannya sehingga saat Islam
mengatakan seperti itu maka sistem adat Minangkabau menggunakan sistem Islam untuk lebih
memuliakan wanita melalui sistem perwarisan dan pola menetap pada adat Minangkabau.

4. Sistem kepemimpinan tradisional Minangkabau

Sistem kepemimpinan tradisional Minangkabau bisa terlihat berdasarkan lembaga yang ada
dimasyarakat. Untuk di Minang kabau sistem kepemimpinan tradisional tertinggi adalah penghulu
yang di bentuk oleh Dt perpatih nan sabatang dan Dt ketumanguggan. Kepemimpinan tradisional ini
adalah berdasarkan sistem matrilineal menurut tingkatannya masing-masing (Fatimah, 1993). Setelah
masuknya islam, Pengelompokan struktur kepernimpinan berubah kepada berdasarkan Tungku Tigo
Sajarangan, yaitu Kepemimpinan Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Panda. Ini dapat dilihat dan
diamati dalam kehidupan masyarakat Minang kabau itu sendiri.

Menurut Badudu-Zain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada 3 kepemimpinan di Minangkabau
yaitu tungku tigo sajarangan: (1) Ninik Mamak, yaitu orang-orang tua kepala adat Minangkabau
(Sumatera Barat) orang yang paham akan adat istiadat; para penghulu adat, (2) Alim Ulama, yaitu
orang-orang alim; para ulama islam; para khay, (3) Cadiak pandai (cerdik pandai), yaitu kaum
terpelajar, intelektual.

Pertama, Kepemimpinan ninik mamak, merupakan kepemimpinan tradisional, sesuai pola yang telah
digariskan adat secara berkesinambungan, dengan arti kata “patah tumbuah hilang baganti”dalam
kaum masing-masing, dalam suku dan nagari, karena tinggi tampak jauh, gadang tampak dakek(jolong
basuo) dan Padangnyo leba, alamnyo laweh. Tinggi dek dianjuang, gadang dek diambak.

Kedua, Kepemimpinan alim ulama suluah bendang di nagari suluh yang terang benderang dalam
nagari alim ulamalah yang mengaji hukum-hukum agama, yang akan menjadi pegangan di dalam
syarak mangato adaik memakaikan, tentang sah dan batal, halal dengan haram dan mengerti tentang
nahu dan sharaf. Secara umumnya, alim ulama akan membimbing rohani untuk menempuh jalan yang
benar dalamkehidupan di dunia menuju jalan ke akhirat karena adat Minang itu adat Islami, adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.

Ketiga, Kepemimpinan cerdik pandai yang tumbuh dari kelompok masyarakat yang mempunyai ilmu
pengetahuan dan cerdik memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Ia pandai mencarikan
jalan keluarnya, sehingga ia dianggap pemimpin yang mendampingi ninik mamak dan alim ulama.
Kepemimpinan dan kharisma alim ulama dan cerdik pandai tidak terbatas pada lingkungan masyarakat
tertentu saja, dan malahan peranannya jauh di luar masyarakat nagarinya.

Pola kepemimpinan tungku tigo sajarangan telah terkhikis zaman akibat berubahnya pola pemimpinan
masyarakat yang cenderung pada pemerintahan, sehingga kepemimpinan tradisional ini tidak lagi
mendapatkan peran dan fungsinya dalam masyarakat. Hari ini kepemimpinan yang tinggal pada
masyarakat Minangkabau yaitu kepemimpinan cerdik pandai, sedangkan Niniak mamak dan alim
ulama eksistensinya pada masyarakat mulai redup dan hanya sebatas pada acara Agama dan adat saja
tetapi untuk mengatur dan mengurus permasalahan yang lain sudah tidak lagi dijadikan tempat
bertanya dan penyelesaian.

Daftar Pustaka

Mangkudun, S. Y. T. (2017). Menggugat Pemahaman Tambo Minangkabau: Sepuluh Kesalahan


Pemahaman Tambo Minangkabau. Erka.

Alam, I. Z. D. T. Minangkabau. MENYISIR BEBERAPA CATATAN, 46.

Siti, F., & Basri, W. (1993). Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau pada Masa
Jepang.

Munir, M. (2015). Sistem kekerabatan dalam kebudayaan Minangkabau: perspektif aliran filsafat
strukturalisme Jean Claude Levi-Strauss. Gadjah Mada University.

Siregar, E. Z., & Amran, A. (2018). Gender Dan Sistem Kekerabatan Matrilinial. Jurnal Kajian Gender
dan Anak, 2(2), 133-146.

Ibnu, A. Pelaksanaan Musyawarah Tungku Tigo Sajarangan-Tali Tigo Sapilin (MTTS-TTS) oleh
Mayarakat Nagari di Kabupaten Solok.

https://www.boyyendratamin.com/2016/12/sistem-budaya-pemerintahan-adat-alam.html

Anda mungkin juga menyukai