Anda di halaman 1dari 93

HAND OUT

SEJARAH DAN KEBUDAYAAN MINANGKABAU

DISUSUN OLEH

DRS. ETMI HARDI, M.HUM

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020

1
KEGIATAN BELAJAR I

MINANGKABAU DAN SUMATERA BARAT

A. Kompetensi Utama

Setelah mempelajari bagian ini mahasiswa diharapkan dapat:

1. Menjelaskan asal usul nama Minangkabau

2. Menjelaskan konsepsi Minangkabau

3. Menjelaskan istilah Sumatera Barat

4. Membedakan konsepsi Minangkabau dengan Sumatera Barat

B. Pendahuluan

Istilah Minangkabau dewasa ini digunakan terutama untuk menyebut suku

bangsa yang mendiami daerah di Pesisir Barat Sumatera, yang diapit oleh

Bengkulu di selatannya, Sumatera Utara di utaranya, serta Riau dan Jambi di

bagian timurnya. Setelah kemerdekaan daerah tersebut seringkali diidentikkkan

dengan Sumatera Barat. Sebenarnya penyamaan ini adalah keliru, karena istilah

Sumatera Barat lebih bermakna geografis, sedangkan Minangkabau mengandung

makna sosio-kultural. Sementara itu istilah Sumatera Barat baru dikenal pada abad

ke-18, yakni nama yang diberikan oleh Belanda: “Sumatra’s Weskust” atau “de

Weskust van Sumatera”, suatu istilah untuk menyebut daerah di bagian barat

Pesisir Sumatera.

Secara kebudayaan, wilayah Minangkabau sebenarnya lebih luas lagi,

karena di dalamnya termasuk juga koloni-kolonia penyebaran orang Minangkabau

di luar wilayah asli Minangkabau seperti disebut di atas. Dalam hal ini beberapa

2
tempat di wilayah indonesia, seperti Tapak Tuan di Aceh, Rantau Berangin,

Bankinang, serta Teluk Kuantan di Riau dianggap sebagai bagian dari

Minangkabau. Bahkan daerah Negeri Sembilan di Malaysia juga dianggap sebagai

bagian dari kebudayaan Minangkabau.

C. Materi

1. Pengertian Istilah Minangkabau

Sampai saat ini banyak versi yang diberikan orang atas asal usul nama

Minangkabau. Sebagian berasal dari mitologi orang Minangkabau sendiri, dan

sebagian lagi berasal dari penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh beberapa ahli

sejarah dan kepurbakalaan.

Menurut mitologi orang Minangkabau, istilah Minangkabau beraqal dari

kata “manang kabau”, yakni sebuah peristiwa adu kerbau antara orang

Minangkabau dengan orang Jawa yang akhirnya dimenangkan oleh oleh orang

Minangkabau sendiri. Dalam buku Moh. Yamin (1960) dikisahkan sebagai

berikut:

“ … Dahulu kala pada zaman Majapahit datang seorang dari


Jawa dengan beberapa buah kapal memudiki Batang Hari, dan
akhirnya sampai di Pagaruyung (ibu negeri Minangkabau). Mereka
membawa kerbau yang sangat besar sedepa panjang tanduknya.
Sesampainya di Pagaruyung diajaknya raja di sana untuk mengadu
kerbaunya itu. Taruhannya, jika ia kalah akan diserahkan kapal
dengan segala isinya, dan jika orang Pagaruyung yang kalah
dimintanya nagari) sebagai taruhannya. Adapun orang Minangkabau
tidak punya kerbau sebesar itu. Segala cerdik pandai kemudian
bermusyawarah menerima tantangan orang Jawa itu, karena jika
ditolak aib besar bagi nagari. Maka dimintalah janji tiga hari….Tiga
hari berlalu balairung adat penuh sesak manusia yang akan
menyaksikan pertandingan itu, kerbau besar lawan sudah ada di
tengah medan, tetapi kerbau orang Pagaruyung belum tampak juga.
Sedang orang menunggu-nunggu itu muncullah seekor anak kerbau.
Ketika dilihatnya seekor kerbau besar di tengah medan, ia datang lari

3
ka sana dan terus menyeruduk-mdnyeruduk ke bawah perutnya. Tiba-
tiba kelihatan kerbau besar itu makin lama makin payah, dan akhirnya
ia jatuh terguling, perutnya perbuai keluar dan mati….”

Pendapat yang berasal dari mitologi ini didukung oleh sejarawan Belanda

P.E. De Josselin de Jong (1980), bahwa nama Minangkabau mengacu kepada

legenda adu kerbau antara penguasa Jawa dengan raja Minangkabau, di mana

kerbau orang Minangkabau berhasil memenangi pertandingan itu, sehingga

memunculkan istilah “menang dan kerbau”. Konsekwensi dari kemenangan ini

adalah raja Jawa tidak jadi menfaklukkan Minangkabau, bahkan sebaliknya

terjalinnya hubungan persahabatan yang erat antara Majapahit dengan

Minangkabau.

Menurut van der Tuuk, istilah Minangkabau berasal dari kata “Phinang

khabu”, yang berarti tanah asal, yakni suatu daerah yang pertama kala ditempati

oleh suku bangsa Minangkabau (dalam sejarah Minagkabau disebut Pariangan

Padang Panjang). Dari tempat inilah kemudian orang Minangkabau menyebar ke

tempat-tempat lainya di wilayah Minangkabau (M. Nasrun: 1957). Pendapat ini

diperkuat oleh Mangaraja Onggang Parlindungan (1964) yang menghubungkan

nama Minangkabau dagean kampung asli suku Minangkabau, yakni tempat yang

terletak antara Batusangkar dengan Sungayang sekarang.

Seterusnya Ensiklopedi van Nederlandsch-Indie (1917: 740) mencatat

sejumlah asal kata Minangkabau, seperti: “Pinangkerbau” yang berasal dari suku

kata “pinang dan kerbau”. Ini mengacu kepada legenda tentang peminangan

yang dalakukan raja Majapahit terhadap putri Melayu (Minangkabau). Pinangan

ini dilakukan dengan mengirim sirih-pinang dengan seekor kerbau besar.Pinangan

4
ini diterima sehingga negeri Minangkabau kemudian berubah menjadi

“Minangkabau”.

Dalam karya sastra Jawa Kuno, yakni kitab Nagara Kartagama yang

ditulis Mpu Prapanca pada abad ke-14 ditemukan kata “Minangkabwa”, yakni

sebuah daerah taklukan Majapahit di tanah seberang, yang harus membayar upeti

kepada raja Jawa.

Seorang ahli kepurbakalaan Indoneria Purbacaraka (1962) mengajukan

pikiran bahwa nama Minanakabau itu berasal bahasa Sanskerta “Minanga

Tamwan”, yakni sebuah tempat yang terledak antara dua sungai besar (Kampar

Kiri dan Kampar kanan). Kata Minanga Tamwan kemudian berubah menjadi

Minangkabau

Apapun arti kata dan asal usul kata yang diberikan orang tentang

Minangkabau, secara historis nama Minangkabau sudah dikenal sejak abad- 14.

Penjelasan etimologi tentang asal-usul suku Minangkabau dalam arti tertentu juga

mencerminkan intelektual orang Minangkabau untuk membuat negeri mereka

berarti dimata dunia sekitarnya dan untuk anak cucu mereka di kemudian hari.

2. Istilah Sumatera Barat

Istilah Sumatera Barat adalah nama yang digunakan untuk menyebut satu

bagian propinsi Indonesia sekarang ini. Secara wilayah Propinsi Sumatera Barat

berbatasan langsung dengan empat propinsi tetangga, yaitu Sumatera Utara di

bagian utara, Bengkulu di bagian selatan, Jambi di bagian timur, dan Riau

dibagian tenggara.

5
Berbeda dengan konsepsi Minangkabau, istilah Sumatera Barat hanyalah

bermakna geografis dan politis. Secara geografis wilayah Sumatera Barat

memiliki batas batas yang jelas. Secara historis nama Sumatera Barat baru dikenal

pada masa kolonial Belanda, yakni ketika pemerintah Belanda yang sudah

mennguasai hampir seluruh Sumatera ingin memberi batas yang jelas untuk

wilayah yang didudukinya. Oleh sebab itu wilayah Pesisir Barat Sumatera yang

berbatasan langsung dengan Samudera India, diberi nama Sumatera Weskust atau

de Weskust van Sumatera. Istilah yang kemudian setelah kemerdekaan Indonesia

tetap digunakan, dengan terjemahan Sumatera Barat.

Istilah Sumatera Barat juga mengandung makna politis, oleh sebab itu

sejak periodel kemerdekaan, wilayah Sumatera Barat telah mengalami beberapa

kali perubahan. Pada awal kemerdekaan Sumatera Barat dijadikan sebagai sebuah

keresidenan, sebagai bagian dari Propinsi Sumatera. Kemudian setelah

Penyerahan Kedaulatan, tahun 1950, Sumatera Barat digabungkan dengan Jambi

dan Riau, dengan nama Propinsi Sumatera Tengah. Tidak berapa lama kemudian

akibat adanya peristiwa PRRI yang berpusat di Sumatera Barat, maka wilayah ini

dipecah lagi menjadi tiga propinsi, yaitu: Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.

Hingga saat ini Sumatera Barat tetap menjadi satu bagian propinsi Indonesia,

dimana ke dalam wilayahnya juga termasuk Mentawai, yang secara etnik dan

budaya berbeda dengan orang orang Minangkabau yang dominan di bagian

daratan.

6
C. Rangkuman

Banyak versi bermunculan tentang asal usul nama Minangkabau. Versi

tambo lebih berbau mitologi karena menghubungkan nama itu dengan peristiwa

adu kerbau antara orang Jawa dengan Miangkabau yang sulit dibuktikan

kebenarannya. Di samping itu versi ilmiahpun amat beragam, sehingga tidak

dapat dipegang satu kebenaran mutlak.

Apapun versi yang muncul tantang nama Minangkabau semua itu

menggambarkan bahwa suku bangsa Minangkabau sudah lama dikenal sebagai

bagian dari wilayah Indonesia sekarang ini. Sekaligus menunjukkan hubungan

yang erat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia, terutama Jawa.

D. Tugas

Diskusikan secara berkelompok, kemudian pecahkan persoalan di bawah ini:

1. Manakah yang lebih dahulu hadir secara historis, Minangkabau atau

Sumatera Barat?

2. Secara wilayah manakah yang lebih luas Minangkabau atau Sumatera

Barat?

E. Evaluasi

1. Jelaskan asal usul nama Minangkabau menurut versi tambo!

2. Jelaskan istilah Minangkabau menurut beberapa versi penelitian ilmiah!

3. Jelaskan mengapa konsep wilayah Minanekabau tidak hanya bermakna

geografis melainkan juga mengandung makna budaya (kultural)?

4. Jelaskan munculnya istilah Sumatera Barat !

5. Jelaskan perbedaan istilah Sumatera Barat dengan Minangkabau!

7
KEGIATAN BELAJAR I

GEOGRAFIS ALAM MINANGKABAU

A. Kompetensi Utama

Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan dapat:

1. Menjelaskan konsepsi wilayah bagi orang Minangkabau

2. Menyebutkan Pusat Alam Minangkabau

3. Membedakan istilah darek, pesisir dan rantau

4. Menjelaskan perubahan-perubahan geografis Alam Minangkabau

B. Pendahuluan

Bagi orang Minangkabau geografis (wilayah) tidak hanya bermakna

administratif semata, tetapi lebih dari itu ialah mengandung makna sosio kultural.

Oleh sebab itu suku bangsa Minangkabau memiliki konsepsi wilayah yang

berbeda dengan suku suku bangsa lainnya di Indonesia.

Suku Bangsa Minangkabau membagi wilayahnya atas dua bagian utama,

yakni Pusat Alam Minangkabau sebagai daerah inti, dan Rantau sebagai bagian

luar (feri feri). Pusat Alam Minangkabau dianggap sebagai daerah asal orang

Minangkabau, sementara rantau merupakan perluasan (koloni) dari daerah asal.

C. Materi

1. Alam Minangkabau

Alam Minangkabau menunjukkan konsep wilayah orang Minangkabau

secara geografis dan kebudayaan. Dengan kata lain, Alam Minangkabau tidak

8
hanya mengacu kepada pengertian fisik (geografis) belaka, melainkan juga

mangandung arti kuluural.

Konsep wilayah sudah lama dikenal oleh masyarakat Minangkabau,

bukan produk budaya yang diperkenalkan oleh bangsa barat atau asing lainnya.

Hal ini terlihat dari cerita klasik Minangkabau, seperti yang tergambar dalam

tambo. Dalam tambo dijelaskan tentang batas geografis Alam Minangkabau

sebagai berikut: “Dari Sikilang Aie Bangih, hinggo Taratak Aie Hitam. Dari

Durian Ditakuak Rajo hinggo Sialang Balantak Basi”. Ungkapan geografis

tersebut bisa dirinci sebagai berikut:

 Sikilang Aie Bangih adalah daerah yang terletak di kawasan pant!i

bagian utara Pasaman Barat yang berbatasan dengan Natal di

Sumatera Utara.

 Taratak Aie Hitam adalah daerah yang terletak di bagian selatan

Sumatera Barat sekarang, dekat Muko-Muko di Bengkulu.

 Durian Ditakuak Rajo terletak di daerah Tanjuang Simalindu

(Muaro Bungo) Jambi.

 Sialang Balantak Basi terletak di Rantau Berangin, Riau.

Dalam khasanah kebudayaan dan pemikiran orang Minangkabau dikenal

dua konsep geografis (wilayah) utama, yakni: daerah inti (Darek), dan Daerah

Pinggiran (Rantau). Daerah darek sering juga disebut dengan istilah luhak.

Darek (Luhak) adalah daerah inti atau Pusat Alam Minangkabau yang

dianggap sebagai cikal bakal suku bangsa Minangkabau. Daerah Darek terdiri dari

tiga luhak, yakni: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluh Koto.

9
Dalam konsepsi budaya Minangkabau Luhak Tanah Datar dianggap sebagai

daerah tertua, karena dalam mitologi dikatakan bahwa nenek moyang suku bangsa

Minangkabau berasal dari Pariangan Padang Panjang, yakni sebuah daerah yang

terletak di kaki Gunung Merapi di kawasan Luhak Tanah Datar (M.D. Mansoer,

1970: 2-3). Namun dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh ahli-ahli

arkeologi Sumatera Barat ada bukti baru bahwa sebenarnya luhak yang tertua itu

adalah Limo Puluh Koto. Hal ini terutama didasarkan atas temuan benda-benda

arkeologis di daerah Luhak Limo Puluh Koto, seperti menhir (batu tagak).

Dalam temuan itu ternyata menhir-menhir di kawasan Luhak limo Puluh Koto

jauh lebih tua dibandingkan menhir yang berada di kawasan Luhak Tanah Datar.

Di samping itu tradisi megalitikum (seperti menhir) menampakkan cikal bakal

susunan budaya Minangkabau. Sekurang-kurangnya terdapat tiga pilar utama

kebudayaan Minangkabau yang pondasinya sudah dibangun sejak masa pra

sejarah, yaitu: prinsip egaliterian, matrilineal, dan religius (Herwandi, 2006: 1-

10).

Sementara daerah pinggiran (periperi) adalah daerah penyebaran orang

Minangkabau berikutnya, atau dengan kata lain daerah kolonisasi orang

Minangkabau. Daerah ini lebih dikenal dengan sebutan Rantau. Paling tidak ada

dua rantau penting orang Minangkabau: pertama, Rantau Pesisir, yakni daerah

dataran rendah di sebelah barat Bukit Barisan yang berbatasan langsung dengan

Samudera Hindia; dan kedua, daerah sekitar aliran sungai yang bermuara ke

arah timur Alam Minangkabau, yang lebih dikenal dengan sebutan Ekor Rantau

dan Kepala Rantau.

10
Konsep Rantau sebagai daerah penyebaran suku bangsa Minangkabau

mengalami peruluasan. Konsep yang pada mulanya hanya digunakan untuk

menyebut daerah kolonisasi orang Minangkabau di luar Alam Minangkabau,

sekarang digunakan juga untuk menyebut penyebaran orang Minangkabau keluar

Pusat Alam Minangkabau, bahkan samapi ke Negeri Sembilan, Malaysia. Sampai

saat ini keturunan raja-raja di Negeri Sembilan masih sering menghubungkan

geneologisnya dengan suku bangsa Minangkabau. Fenomena ini juga ditemukan

di bebrapa daerah lainnya, seperti Kedah (Malaysia), dan Brunai Darussalam

(Jane Drakard, 1993: 4) .

2. Penyebaran Rantau Orang Minangkabau

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya penyebaran etnik Minangkabau

adalah dari daerah darek (luhak), yang terdiri dari tiga daerah, Luhak Tanah Data,

Luhak Agam, Luhak Limo Puluah Koto, yang biasanya disebut dengan "Luhak

Nan Tigo". Di daerah inilah mula-mula orang Minangkabau mendirikan koto,

dusun, nagari sampai menjadi luhak.

Sedangkan rantau adalah daerah tempat orang Minangkabau mencari

penghidupan sambil bermukim buat sementara. Di daerah rantau orang

Minangkabau berusaha mendapatkan penghasilan dari bermacam-macam usaha.

Apabila sudah cukup terkumpul maka mereka akan kembali untuk modal dan

membangun kampung halaman.

Daerah rantau pertama orang Minangkabau adalah daerah sepanjang

sungai yang berhulu ke Bukit Barisan dalam daerah Luhak Nan Tigo dan

11
bermuara ke Selat Malaka (Laut Cina Selatan). Sungai-sungai itu adalah Batang

Sinamar dan Batang Lampasi di Luhak Limo Puluah Koto, Batang Agam, Batang

Antokan dan Batang Palupuah di Luhak Agam serta Batang Anai, Batang Selo

dan Batang Umbilin di Luhak Tanah Data, yang kesemuanya itu membentuk

Sungai Rokan dan Sungai Kampar.

3. Perubahan Perubahan Geografis Alam Minangkabau

Sebelum kedatangan kolonialis Belanda, Alam Minangkabau merupakan

daerah yang otonom beserta nagari-nagari yang berada di dalamnya. Bahkan

kekuasaan raja Pagaruyungpun tidak mampu untuk merubahnya. Bagi orang

Minangkabau Pagaruyung dianggap sebagai sebuah kekuasaan asing di

Minangkabau, dan bukan pusat kekuasaan di Minangkabau. Nagari-nagari

merupakan republik otonom, mirip dengan polis-polis di Yunani, yang berada di

bawah pimpinan penghulu nagari.

Dengan demikian Luhak merupakan kelompok nagari sebagai suatu unit

teritorial politik yang mandiri di bawah naungan Dewan Penghulu Nagari, dan

tidak mewakili kekuasaan raja seperti disebutkan di atas. Dalam kondisi demikian

posisi raja-raja Minangkabau tidak obahnya seperti raja-raja Melayu, di mana

kekuasaan mereka tidaklah terlalu besar (Djoko Suryo, dkk, 2001: 153 – 154).

Dalam konteks seperti inilah munculnya ungkapan Minangkabau: “Raja benar

raja disembah, raja zalim raja disanggah”

Setelah masuknya birokrasi Belanda ke Minangkabau, Alam Minangkabau

berubah nama menjadi Sumatra Weskust (Sumatera Barat), dan kawasan luhak

menjadi bagian yang berubah-rubah, seperi afdeeling (kabupaten), yang kemudian

12
diwariskan sampai era kemerdekaan. Sejak era kemerdekaan geografis

Minangkabau juga mengalami banyak perubahan, misalnya hilangnya beberapa

nagari Minangkabau karena digabung ke propinsi terdekat, seperti Bangkinang

dan Teluk Kuantan di Riau. Menurut hitungan Westenenk jumlah nagari di

Minangkabau pada mulanya lebih dari lima ratus buah.

Perubahan yang lebih parah justru terjadi di masa Orde Baru, di mana

nagari diganti dengan desa sebagaimana lazimnya di daerah Jawa. Bahkan

seringkali nagari dipecah ke dalam unit-unit desa. Dalam era reformasi ini ada

usaha untuk membangun kembali nagari sebagai desa tradisional orang

Minangkabau, namun ini ternyata menimbulkan banyak persoalan dan bahkan

menjadi polemik yang berkepanjangan.

D. Rangkuman

Dalam Konsepsi wilayah Minangkabau, Pusat Alam Minangkabau adalah

daerah inti, dimana suku bangsa Minangkabau berasal. Pusat Alam Minangkabau

terdiri dari tiga Luhak, yakni: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima

Puluh Koto. Wilayah ini sering juga disebut dengan darek.

Sejalan dengan perkembangan penduduk, suku bangsa Minangkabau

kemudian membuka daerah (nagari) baru di luar Pusat Alam Minangkabau.

Dalam terminologi budaya Minangkabau daerah ini kemudian disebut dengan

rantau. Daerah rantau ini ada yang menyusuri bagian pedalaman selingkar Bukit

Barisan, serta menyusuri hulu hulu sungai besar. Di samping itu ada juga yang

dibuka menyusuri Samudera Hindia, yang disebut dengan rantau pesisir.

13
E. Tugas

Buat peta geografis Alam Minangkabau, serta penyebaran rantaunya, baik

yang berada di wilayah pesisir, maupun pedalaman !

F. Evaluasi

1. Jelaskan bagaimana konsepsi wilayah bagi orang Minangkabau !

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Pusat Alam Minangkabau !

3. Jelaskan pengertian darek, rantau, dan pesisir !

4. Jelaskan perkembangan rantau Luhak Agam !

5. Bagaimana perubahan perubahan konsepsi rantau bagi suku bangsa

Minangkabau sejak masa lalu hingga saat sekarang ini? Jelaskan dengan

contoh !

14
KEGIATAN BELAJAR III

KOSMOLOGI ALAM MINANGKABAU

A. Kompetensi Utama

Setelah mampelajari bagian ini diharapkan mahasiswa dapat:

1. Menjelaskan pengertian kosmologi Alam Minangkabau

2. Menjelaskan tentang asal usul suku bangsa Minangiabau

3. Menjelaskan tentang konsep nagari dan perkembangannya

B. Pendahuluan

Setiap masyarakat memiliki kosmologi tentang alam semesta, termasuk

asal usul nenek moyang mereka. Demikian juga halnya dengan suku bangsa

Minangkabau yang memiliki kosmologi tersendira tentang nenek moyangnya.

Secara mitologi Minangkabau dikatakan bahwa asal keberadaan etnik

Minangkabau berasal dar) “Puncak Gulung Merapi”, di mana kehidupan pertama

dan pemukiman pertama mulai dibangun.

Dari sekitar kawasan Gunung merapi suku bangsa Minangkabau

berkembang, dan membentuk pemukiman-pemukiman baru dalam bentuk nagari.

Sistem sosial mulai dabentuk, dan budayapun mulai dibangun. Dalam pada itu

struktur kekuasaan sebagai pilar utama dalam sistam sosial juga mulai

dikembangkan,

15
C. Materi

1. Kosmologi Alam Minangkabau

Dalam arti luas kosmologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang

struktur dan sejarah alam semesta. Akan tetapi dalam arti sempit adalah ilmu

yang berhubungan dengan asal mula dan perkembangan dari suatu subyek,

misalnya alam fisik dan alam manusia. Dengan demikian kosmologi adalah suatu

kerangka berpikir yang dipegang dan dianut bersama dalam suatu masyarakat

dengan tujuan untuk menjelaskan proses penciptaan dan kedudukan manusia dan

alam semesta, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam semesta

(Mestika Zed, 2006) .

Setiap masyarakat memiliki konsepsi masing-masing tentang alam

semesta, baik alam fisik, maupun alam manusia sesuai dengan tingkat pemikiran

dan peradabannya. Dalam masyarakat tradisional kosmologi mempengaruhi cara

berpikir, cara bertindak, serta pandangan hidup.

Masyarakat Minangkabau memiliki kosmologi tersendiri tentang

penciptaan alam, khususnya Alam Minangkabau. Hal ini sebagaimana tergambar

dalam tambo berikut:

“Pada mulanya (sabarmulo) hanya ada Nur Muhammad, yang dengan


itu Allah menciptakan alam semesta dan manusia pertama.( Dalam
kesatuan universal dan transedental ini maka muncullah Alam
Minangkabau, salah satu dari tiga alam (dunia); dua yang lainnya
adalah “Banua Ruhum” (Romawi) dan Cina. Alam Minangkabau
bermula ketika nenek moyang pertama mendarat di puncak Gunung
Merapi yang masih dikelilingi air bah. Sejarah Minangkabau dengan
demikian sudah dimulai ketika Gunung Merapi masih sebesat “telor
itik”, sebelum air bah menyusut, sebelum permukaan bumi mulai
tampak membentang luas, sebelum keturunan berkembang biak.
Begitulah ketika air bah menyusut dengan nenek moyang turun ke
lereng Gulung Merapi, dimana pemukiman pertama dibangun.

16
Keturunan mulai berkembang biak dan menyebar ke nagari-nagari di
Luhak Nan Tigo (Sango Tt. Basa Batuah, 1954).
Kerangka pemikiran orang Miningkabau yang tergambar dalcm

kosmologi mereka tersebut sesungguhnya dibangun oleh unsur-unsur campuran:

animisme, Hindu, dan Islam. Dalam hal ini unsur islam ternyata sangat dominan

dalam membentuk pemkiran tradisional orang Minangkabau.

2. Asal Usul Suku Bangsa Minangkabau

Suku bangsa Minangkabau juga memiliki mitologi tentang asal usul nenek

moyangnya. Menurut mitologi orang Minangkabau mereka berasal dari keturunan

Iskandar Zulkarnaen, raja Macedonia yang terkenal. Salah seorang putra Iskandar

Zulkarnaen bernama Maharajo Dirajo dianggap sebagai orang pertama yang

membangun pemukiman (nagari di Minangkabau), yaitu Pariangan Padang

Panjang di Luhak Tanah Datar (A.A. Navis, 1984: 48).

Dalan tambo diberitekan Maharajo Dirajo bertolak dengan perahu dari

“Tanah Basa” (India) memimpin suatu rombongmn, diantaranya Suri Di Rajo,

Indo Jati, Cati Bilang Pandai, Harimau Campo, Kuciang Siam, Kambiang Hutan,

Anjiang Mualim, serta anggota lainnya menyusuri pulau Maladewa dan

Langgopuri (ceylon/Srilangka), Selat Malaka, dan akhirnya mendarat di Pulau

Ameh (Pulau Emas), untuk kemudian berlabuh di Gunung Merapi (M. Rasjid

manggis Dt. Radjo panghoeloe, 1987: 58). Seperti disebut di atas di daerah inilah

dibangun pemukiman pertama orang Minangkabau, seperti terungkap dalam

tambo:

“ Dari mano titiak palito


dibaliak telong nan batali
dari mano asa niniak kito
dari ateh Gunung Merapi”

17
(Dari mana titik pelita,
di balik tanglong yang bertali
dari mana asal nenek kita
dari atas Gunung Merapi)
Kecendrungan suku bangsa atau bangsa untuk menghubungkan nenek

moyang mereka dengan orang-orang terkenal, bahkan dewa, adalah suatu

fenomena sejarah yang ditemukan di banyak tempat. Misalnya bangsa Jepang

yang menghubungkan nenek moyangnya dengan Dewa Matahari (Omiterazu

Omikami), serta bangsa Romawi yang menghubungkan keturunannya dengan

Dewa Romus dan Romulus.

Sampai saat ini memang belum ditemukan bukti-bukti tertua tentang

kehidupan pertama (pra sejarah) di Minangkabau, sehingga agak menyukarkan

untuk menentukan manusia pertama yang mendiami daerah tersebut. Sekalipun

pada akhir-akhir ini ditemukan sisa-sisa manusia purba di daerah Mahat

Payakumbuh, namun hal itu belum dapat menjelaskan tentang manusia tertua di

Minangkabau. Sisa sisa kerangka yang ditemukan di daerah itu memperlihatkan

perpaduan ras Mongoloid dan Austromelanesoid, sehingga masa hidupnya

diperkirakan paling tua hanya 1000 tahun Sebelum Masehi. Padahal diperkirakan

bumi Minangkabau didiami oleh manusia jauh sebelum itu.

Diperkirakan suku bangsa Minangkabau termasuk ke dalam rumpun

bangsa Melayu, serumpun dengaf bangsa Melayu yang berada di kawasan

Melayu-Polinesia. Hussein Nainar menyebutkan bahwa kata-kata melayu itu

berasal dari bahasa Tamil, “malai”, yang berarti gunung. Istilah “malai-ur”

mengandung makna suku bangsa pergunungan. Jika dihubungkan dengan

18
kosmogoni asal usul suku bangsa Minangkabau yang menganggap nenek moyang

mereka berasal dari Gunung merapi maka hal ini tentu amat relevan sekali.

3. Nagari Sebagai Komunitas Utama Orang Minangkabau

Nagari adalah bentuk desa tradisional orang Minangkabau, sebagaimana

halnya Huma di Mentawai. Sebagai satu unit geografis dan kultural orang

minangkabau, nagari memiliki genesis kelahiranya, sebagai berikut:

“Taratak mulo dibuek,

Sudah taratak manjadi dusun,

Sudah dusun manjadi koto,

Sudah koto manjadi nagari”

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa proses pembentukan nagari itu

dimulai dari taratak. Taratak adalah pemukiman yang berupa pondok-pondok

(gubuk) yang dibangun di daerah peladangan tempat di mana beberapa orang

melakukan aktivitas pertanian. Tempat ini biasanya berdekatan dengan nagari

awal yang sudah dibangun sebelumnya oleh penduduk setempat. Makin lama

orang yang mendirikan pondok di taratak itu makain banyak sehingga daerah itu

berkembang menjadi sebuah dusun. Selanjutnya beberapa dusun membentuk

pemukiman baru menjadi koto yang lebih luas lagi. Terakhir beberapa koto

menggabungkan diri menjadi sebuah nagari. Demikianlah proses terbentuknya

nagari-nagari di Minangkabau.

Secara adat dan budaya suatu nagari itu baru sah berdiri kalau sudah

memiliki beberapa syarat sebagai berikut: ”Ba balai ba musajik, bapandam

pakuburan, basasok bajarami, batapian tampek mandi”. Dalam bahasa

19
Indonesia, artinya: “punya pasar dan mesjid, mempunyai tempat pemakaman,

memiliki sawah ladang, serta memiliki tempat pemandian umum.

Nagari adalah federasi geneologis, di samping territorial yang longgar.

Dalam hal ini Koto sebagai bagian nagari berfungsi sebagai benteng, yaitu pusat

pertahanan yang biasanya dikelilingi oleh parit dan bambu runcing. Setelah

Perang Paderi fungsi Koto sebagai pusat pertahanan dihilangkan, yaitu dengan

menimbun seluruh parit yang ada di nagari (MD. Mansoer, 1970, 15).

Sebagai sebuah unit territoral dan kultural nagari memiliki batas-batas yang

jelas serta pemerintahannya sendiri. Pimpinan tertinggi di nagari dipegang oleh

seorang Wali Nagari yang dikontrol oleh sebuah badan legislatif nagari bernama

Dewan Kerapatan Adat Nagari. Anggota-anggota Dewan kerapatan Nagari terdiri

dari para penghulu nagari.

Rantau merupakan daerah kolonisasi orang Minangkabau ke luar Luhak Nan

Tigo (Pusat Alam Minangkabau). Pada mulanya terdapat dua rantau terpenting

orang Minangkabau, yakni rantau pesisir dan rantau hilir. Rantau pesisir idalah

daerah yang membentang di sebelah barat Bukit Barisan dan berbatasan dengan

Samudera Hindia. Di antara rantau`pesisir adanah Tiku, Pariaman, Bandar X, dan

Inderapura. Sementara rantau hilir aeelah daerah-daerah di sekitar lembah sungai

dan anak-aanak sungai yang bermuara ke bagian timur (Selat Malaka), di antanya:

Kampar, Bangkinang dan Teluk Kuantan.

Pada saat ini konsep rantau dalam etnik Minangkabau telah mengalami

perubahan dan perluasan, yang berarti sebagai daerah-daerah di luar

Minangkabau. Rantau diartikan sebagai tempat berusaha dan mencari sumber

20
penghidupan baru bagi orang Minangkabau. Pergi merantau berarti meninggalkan

kampung halaman dan sanak keluarga, baik untuk sementara waktu, maupun

untuk selamanya. Hal ini sesuai dengan anjuran adat Minangkabau sebagai

berikut: “Keratau madang dihulu, berbunga berbuah belum, kerantau bujang

dahulu, di rumah berguna belum”.

Di samping luhak, darek, dan rantau, orang Minangkabau mengenal

konsepsi wilayah lainnya, yakni kelarasan. Dalam memahami sejarah dan adat

Minangkabau, sering orang terbentur kepada pengertian yang rancu. Adakalanya

luhak dan laras dikacaukan. Sebenarnya pengertian Luhak ialah wilayah atau

territorial.. Adapun laras atau kelarasan bukanlah menyangkut wilayah atau

teriterial. Kelarasan lebih merupakan sistem adat yang berlaku di seluruh

Minangkabau, dengan sendirinya berlaku juga di tiga luhak yang sudah

disebutkan tadi. Kelarasan atau sistem adat Koto Piliang umpamanya, terdapat di

Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak 50 Koto. Bahkan di luar luhak itu

pun, seperti di daerah Solok dan daerah Pesisir sistem adat menurut alur kelarasan

itu juga berlaku Di sisi lain sistem adat menurut jalur Bodi Caniago juga terdapat

di seluruh luhak dan di luar luhak. Kelarasan yang ketiga yang muncul belakangan

ialah Kelarasan Koto Nan Panjang. Kelarasan ini agaknya sebagai kompromi

antara sistem kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago.

Ketika Belanda berkuasa di Minangkabau, dibentuknya pula suatu

lembaga yang disebut juga kelarasan. Pemegang kekuasaan di kelarasan buatan

Belanda itu disebut Tuanku Lareh, umpamanya Tuanku Lareh Simawang. Jabatan

laras dalam lembaga Pemerintahan Hindia Belanda, ini tidak ada hubungannya

21
sama sekali dengan laras dalam konteks Kelarasan Koto Piliang, Bodi Caniago,

dan Koto nan Panjang. Laras Belanda ini merupakan perpanjangan tangan

Belanda kepada beberapa kepala nagari dalam suatu kawasan tertentu. Kekuasaan

Tuanku Laras sangat besar dan kadang-kadang sangat menentukan. Tugas utama

tuanku laras ialah mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan Belanda, kemudian

menjadi alat penekan dalam pemungutan pajak. Di dalam kerajaan Pagaruyung,

juga ada kerajaan satelit yang disebut seperti “negara bagian” dari Pagaruyung.

Daeah ini dipimpin pula oleh seorang raja yang bedaulat. Namun sistem

pemerintahan adat yang dijalankan di derah itu, tidak keluar dari apa yang

digariskan Pagaruyung. Diantara kerajaan satelit itu adalah Sungai Pagu yang

terletak di Solok bagian selatan (http:/wwwsumbarprov.go.id, Sabtu, 24 Juni

2006).

D. Rangkuman

Setiap masyarakat memikiki konsepsinya sendiri tentang proses

penciptaan alam semesta beserta isinya. Dalam terminologi keilmuan hal seperti

ini dikenal dengan istilah kosmologi. Demikian juga halnya dengan etnik

Minangkabau yang juga mengenal kosmologinya tentang asal usul nama suku dan

nenak moyang mereka. Dalam mitologi dikatakan bahwa nama Minangkabau

berasal dari peristiwa menangnya orang Minangkabau dalam adu kerbau dengan

orang Jawa. Sementara nenek moyang suku bangsa ini dihubungkan dengan raja

Macedonia terkenal Iskandar Zulkarnaen. Akan tetapi penelitian ilmiah

menunjukkan bahwa hal seperti itu perlu untuk diragukan.

22
Dalam hal wilayah (geografis), orang Minangkabau juga mengenal

konsepsi sendiri. Luhak nan Tigo (Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota)

dianggap sebagai pusat Alam Minangkabau, di mana kehidupan berawal di sini.

Dari Luhak Nan Tigo ini masyarakat Minangkabau kemudian menyebar ke

berbagai tempat lain, yang kemudian dikenal dengan istilah rantau. Dengan

demikian rantau merupakan kolonisasi orang Minangkabau. Terdapat dua rantau

penting orang Minangkabau, yakni rantau pesisir yang umumnya terletak di

bagian pantai, dan rantau hilir yang terletak di pedalaman sepanjang Bukit barisan

E.Tugas

Coba Saudara diskusikan secara berkelompok tentang:

1. Asal usul suku bangsa Minangkabau, baik menurut versi tambo, maupun

versi ilmiah

2. Konsepsi Nagari bagi orang Minangkabau dahulu dan sekarang

E. Evaluasi

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kosmologi !

2. Jelaskan bagaimana kosmologi orang Minangkabau tentang asal usul nama

suku dan nenek moyang mereka !

3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Luhak, rantau, dan nagari dalam

pemahaman orang Minangkabau!

4. Jelaskan bagaimana proses terbentuknya sebuah nagari di Minangkabau!

5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Kelarasan, dan perubahan-

perubahannnya era kolonial!

23
KEGIATAN BELAJAR IV

SISTEM SOSIAL, POLITIK, DAN BUDAYA

MINANGKABAU TRADISIONAL

A. Kompetensi Utama

1. Mahasiswa dapat menjelaskan sistem sosial masyarakat Minangkabau

2. Mahasiswa dapat menjelaskan sistem politik masyarakat Minangkabau

3. Mahasiswa dapat menjelaskan sistem budaya masyarakat Minagkabau

B. Pendahuluan

Masyarakat Minangkabau adalah salah satu diantara sedikit suku bangsa di

dunia yang masih menggunakan sistem kekerabatan matrilineal. Bahkan di

Indonesia adalah satu satunya suku bangsa yang menghitung garis keturunan dari

pihak ibu. Sistem kekerabatan matrilineal itu telah mempengaruhi seluruh sendi

kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.

Dalam hubungan sosial dikenal berbagai kelompok yang menggambarkan

sistem kekerabatan matrilineal, seperti saparuik, samande, sakaum, dan sasuku.

Kemudian dalam sistem politik dikenal adanya hirarki kekuasaan di dalam nagari,

yang menempatkan wali nagari sebagai pusat dari kekuasaan. Di samping itu juga

terdapat tungku tigo sajarangan sebagai pilar utama dalam nagari, terdiri dari

ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai. Dalam pada itu sistem budaya

tergambar dalam berbagai tingkatan adat dalam masyarakat, mulai dari adat nan

sabana adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat, sampai dengan adat istiadat.

24
C. Materi

1. Sistem Sosial

Suku bangsa Minangkabau menganut azas matrilineal dalam sistem

kekerabatannnya. Dalam sistem ini garis keturunan seseorang ditetapkan

berdasarkan garis ibu. Oleh sebab itu istilah keluarga dalam masyarakat

Minangkabau mengandung arti anggota sedarah, karena berasal dari satu ibu.

Lebih lanjut ikatan kekeluargaan ini dikembangkan lebih luas ke dalam berbagai

bentuk tingkatan, mulai dari “samande” (satu ibu), “saparuik” (satu perut),

“sekaum” , atau “sepesukuan” (M.D. Mansoer, 1970: 5 - 8).

Sesuai dengan garis madrilineal yang dianut, peran utama dalam keltarga

dipegang oleh “mamak”, dalam berbagai degradasi: mamak rumah, mamak kaum,

dan mamak suku. Mamak rumah adalah saudara laki-laki ibu atau garis ibu, yang

tugas pokoknya adalah membana dan memimpin “kemenakannya” (keponakan),

yaitu anak dari saudara-saudara perempuannya. Di samping itu mereka juga

berkewajiban menyelesaikan segala persoalan yang timbul dalam lingkungan

keluarga. Mamak rumah tersebut biasa dipanggil datuk, dan memakai gelar

pusaka kaumnya, tetapi mendapat gelar kehormatan lainnya, yakni “penghulu”.

Sedangkan mamak suku mengepalai unit yang lebih besar lagi, yakni suku,

sehingga kekuasaannya lebih luas. Mereka juga mendapat pangkat kehormatan

sebagai penghulu. Semua tingkatan mamak tersebut disebut dengan istilah “ninik

mamak”.

Hubungan mamak kemenakan merupakan hubungan yang bersifat

hirarki. Dalam batas-batas tertentu mamak memiliki kekuasaaan atas kemenakan;

25
dan sebaliknya kemenakan harus patuh kepada mamak. Pepatah Minangkabau

menyebutkan: “kemenakan beraja pada mamak, mamak beraja pada penghulu,

penghulu beraja pada musyawarah, dan musyawarah beraja kepada kepantasan

(kepatutan) dan kebenaran. Dalam hubungan sosial, anak-anak Minangkabau

lebih banyak mencari tuntunan kepada mamak ketimbang pada ayahnya (Mavis

Rose, 1991: 6). Sebab fungsi ayah dalam keluarga tidak lebih sebagai tamu, dan

mereka tidak termasuk dalam garis keturunan anak-anaknya (Mochtar Naim,

1984: 16).

Dalam struktur sosial Minangkabau suku (clan) merupakan unit

terpenting. Suku mengandung pengertian geneologis yang dihitung berdasarkan

garis ibu. Dengan sendirinya orang-orang yang berasal dari satu suku dianggap

bersaudara. Pada awalnya terdapat empat suku pokok di Minangkabau, yang

masing-masingnya secara berpasangan menjadi dua kelarasan (kesatuan hukum

adat). Pertama adalah suku Bodi dan Caniago; dan kedua suku Koto dan Piliang.

Keempat suku utama tersebut kemudian berkembang menjadi anak-anak suku,

sesuai dengan pertambahan penduduk, dan perluasan wilayah Minangkabau.

Menurut LC. Westenenk keempat induk suku di atas berkembang menjadi

sembilan puluh enam (96) suku yang tersebar di seluruh nagari di Minangkabau.

2 .Struktur Politik

Sebagaimana dijelaskan di depan, sebelum masuknya Belanda nagari

merupakan organisasi politik dan sosial tertinggi di Minangkabau, dan sekaligus

berfungsi sebagai unit pemerintahan utama (Mochtar Naim, 1971: 136).

Pemerintahan dalam nagari dijalankan oleh sebuah lembaga yang dinamakan

26
Dewan Kerapatan Adat, yang anggotanya terdiri dari para penghulu. Salah

seorang di antaranya dipilih sebagai kepala nagari, yang berwewenang penuh atas

nagari yang dipimpinnya. Kedudukan raja Minangkabau yang berkedudukan di

Pagaruyung tidak lebih hanya sebagai simbol saja. Keberadaannya hanyalah

untuk menarik perhatian rakyat banyak, serta perekat antar nagari. Raja tidak

memiliki kekuasaan politik atas nagari-nagari yang ada di Minangkabau. Semen|

ara itu di daerah rantau kekuasaannya didelegasikan pada raja-raja muda

(penghulu rantau) (Taufik Abdwllah, 1984: 108). Namun demikian mekanisme

kelembegaan berkembang terbatas pada lingkungan kerajaan sajal tidak

mencakup seluruh kawasan Minangkabau (Christine Dobbin, 1975: 78).

Selain penghulu (ninik mamak), masyarakat Minangkabau juga mengakui

ulama serta cerdik pandai (kaum intelektual) 3ebagai pemimpin yang sah. Ulama

adalah orang yang memiliki pengetahuan agama (Islam) yang cukup dalam, di

mana tugas utamaoya adalah menyebarluaskan pengetahuan yang dimilikinya itu

kedalam masyarakat luas, khususnya generasi muda melalui qendidikan. Sebutan

yang lazim diberikan pada mereka adalah pandito, chatib, kmam, atau syekh,

tergantung dari tinggi rendahnya ilmu yang dimilikinya. Di samping itu suara

mereka juga amat berpengaruh dalam Kerapitan Adat Nagari (M.D. Mansoer,

1970: 15-21). Sementara kaum cerdik pandai adelah orang yang pintar, cekatan,

kaya, dan berwibawa. Meskipun secara formal mereka tkdak memegang jabatav

adat, tetapi mereka biasanya menjadi vempat bertanya tentang keputusan!

keputusan penting dalam masyarakat "(Elizabeth Graves, 1971: 64).

27
Ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai merupakan pimpinan

tradisional dalam masyarakat Minangkabau, yang diistilahkan dengan “Tungku

Tigo Sejarangan”. Ketiga-tiganya saling bekerjasama, jalin menjalin(sebagai satu

kesatuan dalam membangun masayarakat. Bentuk kerjasama ini dinyatakan

dalam ungkapan berikut: “Adat dipimpin oleh penghulu, agama oleh ulama, dan

pemerintahan oleh cerdik pandai” (Taufik Abdullah, 1972: 189). Dalam realitas

amat sukar untuk memisahkan secara tegas ketiga unsur pimpinan tersebut.

Seseorang pada saat yang sama dapat menjabat sebagai ulama dan penghulu, dan

sebagian besar tokoh adat dan agama juga seringkali merupakan tokoh cerdik

pandai.

Belanda yang berhasil mendapat pijakan politik yang lebih kokoh di

Minangkabau berdasarkan Plakat Panjang tahun 1833 berusaha untuk

mempertahankan struktur sosial masyarakat setempat, tetapi memanipulasi

lembaga tradisionalnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Kerapatan Adat Nagari

dijadikan sebagai bagian dari administrasi kolonial, di mana para penghulu yang

memerintah bertanggung jawab pada pemerintah Belanda. Kemudian bedasarkan

Ordonansi Nagari tahun 1914 ditetapkan bahwa keanggotaan Dewan Kerapatan

Nagari dibatasi pada penghulu inti, yaitu orang-orang yang diakui pemerintah

Belanda sebagai “penghulu pucuk”, yang berfungsi sebagai pimpinan kaum atau

suku (Taufik Abdullah, 1971: 23).

3.Sistem Budaya

Kata Adat berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti

kebiasaan yang berlaku berulang-kali. Sederhananya, adat Minangkabau itu

28
artinya “Bapucuak sabana bulek, basandi sabana padek”, artinya orang

Minang percaya kepada Allah SWT yang ajarannya tersurat dalam Al-Qur’anul

Karim, dan tersirat kepada alam (Alam Takambang Jadi Guru). Pengetahuan adat

Minangkabau itu dihimpun di dalam “Undang nan Duo Puluh Cupak nan Duo.

Dalam tataran adat Minangkabau dikenal adanya empat tingkatan adat,


yaitu: adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat yang teradatkan, dan adat
istiadat.

a. Adat sabana adat

Adat nan sabana adat adalah kenyataan atau peraturan  yang berlaku dalam alam

yang merupakan kodrat Illahi, yang didasarkan berdasarkan Agama Islam (syarak)

misalnya “Adaik api mambaka, adaik aie mambasahi, adaik ayam bakokok, adaik

murai bakicau, adaik lauik baombak.”Adat nan sabana adat ini juga merupakan

adat yang tetap, kekal, tidak terpengaruh oleh tempat dan waktu atau keadaan.

Sebab itu dikiaskan dengan “Indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan“.

b. Adat nan diadatkan

Adat nan diadatkan adalah sesuatu yang didasarkan atas mufakat, dan

mufakat ini harus pula didasarkan atas alur dan patut. Adat ini merupakan sesuatu

yang dirancang dan dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula-

mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan

masyarakat dalam segala bidang.

29
Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama segi

kehidupan sosial, budaya dan hukum. Keseluruhannya tersimpul dalam “Undang-

Undang Nan Duo Puluah” dan “Cupak Nan Duo”.

c. Adat Nan Teradatkan

Adalah kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan

dapat pula hilang menurut kepentingan. Adat seperti ini tergambar dalam pepatah

adat:

Babeda padang babeda balalang


Babeda lubuak babeda pulo ikannyo
Cupak sapanjang batuang
Adaik salingka nagari

Bila dibandingkan antara adat nan teradat dengan adat nan di adatkan,

terlihat perbedaannya dari segi keumuman yang berlaku. Adat nan di adatkan

bersifat umum pemakaiannya pada seluruh negeri yang terlingkup dalam satu

lingkaran adat yang dalam hal ini ialah seluruh lingkungan Minangkabau. Jadi,

adat nan teradat bisa saja terdapat perbedaan-perbedaan dalam keadaan,

umpamanya keadaan suatu negeri dengan negeri yang lain. Adat nan teradat

menurut fatwa adat Minangkabau:

Rasan aia ka aia


Rasan minyak ka minyak
Buayo gadang di lautan
Gadang garundang di kubangan
Nan babungkuih rasan daun
Nan bakabek rasan tali

d.Adat Istiadat

30
Adat istiadat adalah kebiasaan dalam suatu nagari atau  golongan yang

berupa kesukaan dari sebgian masyarakat tersebut, seperti kesenian, olah raga, dan

sebagainya, seni suara, seni lukis, dan bangunan-bangunan dan lain-lain, yang

disebut dalam pepatah :

Nan baraso bamakan


Nan barupo baliyek
Nan babunyi badanga

D. Rangkuman

Masyarakat Minangkabau adalah suku bangsa yang unik di Indonesia,

terutama jika dilihat dari sistem kekrabatannya. Berbeda dengan kebanyakan suku

bangsa di Indonesia orang Minangkabau menghitung garis keturunan dari pihak

ibu (garis matrilineal). Oleh sebab itu peran wanita di Minangkabau sangat

menonjol secara budaya, sehingga wanita dipersonifikasikan dengan sosok

“bundo Kandung”.Di samping itu masyarakat Minangkabau juga

mengembangkan sistem politik dan budaya yang berbeda.

E.Tugas

Buat sebuah ringkasan dalam bentuk tabel tentang perbedaan sistem sosial,

politik, dan budaya Minangkabau tradisional dengan yang ada hari ini !

E. Evaluasi

1. Jelaskan bagaimana struktur sosial masyarakat Minangkabau!

2. Jelaskan pengertian dari Tungku Tigo sejarangan, dan peranan

masing-masingnya dalam masyarakat Minangkabau!

3. Jelaskan tentang empat tataran adat Minangkabau!

31
KEGIATAN BELAJAR V

KERAJAAN MINANGKABAU

A. Kompetensi Utama

Setelah mempelajari bagian ini mahasiswa mampu :

1. Mengidentifikasi sumber sumber sejarah (peninggalan tertua) di

Minangkabau

2. Menjelaskan tentang Kerajaan Pagaruyung, dan perkembangannya.

3. Menjelaskan hubungan Kerajaan Pagaruyung dengan nagari-nagari di

Minangkabau

B. Pendahuluan

Konsepsi orang Minangkabau tentang kerajaan berbeda jauh dengan

konsepsi masyarakat Jawa tentang hal yang sama. Di daerah Jawa kerajaan

dianggap sebagai simbol utama dari kekuasaan, di mana kepatuhan tertinggi dari

warga diletakkan padanya. Bahkan raja sebagai simbol nyata kekuasaan

ditempatkan begitu tinggi dalam pandangan masyarakat, sehingga tidak jarang

disakralkan, dan dihubungkan dengan sesuatu yang agung, seperti dewa. Dengan

demikian raja dan kerajaan merupakan satelit dari kehidupan masyarakat,

sehingga terbentuk pola hubungan Gusti kawula, atau Tuan dan Abdi.

Implikasinya adalah di daerah Jawa bermunculan pusat-pusat kerajaan besar,

seperti Majapahit dan Mataram

Hal seperti itu hampir tidak terlihat dalam masyarakat Minangkabau.

Bagi orang Minangkabau, raja ataupun kerajaan lebih merupakan “kerajaan kata-

32
kata”, yaitu sesuatu yang hanya ada dalam pikiran, tetapi tidak dalam kenyataan.

Akibatnya orang Minangkabau tidak mngenal -bahkan mengakui- adanya satu

kerajaan yang harus dipatuhi sedemikian rupa, serta disakralkan dalam kehidupan

nyata. Dalam konteks seperti ini Kerajaan Pagaruyung yang pernah ada di

Minangkabau, dalam pikiran masyarakat lebih dipersonifikasikan sebagai

“kerajaan orang Jawa” di Minangkabau. Oleh sebab itu, nagari-nagari yang ada di

Minangkabau tidak pernah tunduk sepenuhnya kepada Kerajaan Pagaruyung.

C. Materi

1. Sumber-Sumber Sejarah Tertua Tentang Kerajaan di Minangkabau

Sumber-sumber sejarah Minangkabau periode pra kolonial amat terbatas,

sehingga rekonstruksi sejarah dalam periode itu agak sukar untuk dilakukan.

Sampai saat ini sumber-sumber tertua tersebut kebanyakan adalah dalam bentuk

lisan (kaba), sumber tertulis dalam bentuk tambo, dan peninggalan-peninggalan

arkeologis (kepurbakalaan).

Kaba adalah bentuk tradisi lisan masyarakat Minangkabau yang

diwariskan secara turun termurun dari satu generasi pada generasi yang lain.

Sesuai dengan sifat lisannya maka kaba amat mudah untuk berubah dari waktu ke

waktu, dan dari satu tempat ke tempat lain. Kaba banyak bercerita tentang asal

usul orang Minangkabau, serta perkembangan kehidupan orang Minangkabau

kemudian, paling tidak sampai tertancapnya kekuasaan kolonialis Belanda di

Minangkabau (abad 19). Kaba juga penuh dengan unsur mitos dan legenda,

sehingga sukar untuk mengolahnya sebagai data sejarah.

33
Di samping kaba juga terdapat tambo, yang dalam banyak hal mirip

dengan kaba. Bahkan pada tahap awalnya tambo juga berkembang dalam bentuk

tradisi lisan. Barulah setelah orang Minangkabau bersentuhan dengan

kebudqyaan Islam, beberapa kaba mulai diolah ke dalam bahasa tertulis dalam

bentuk tambo. Oleh sebab itu sebagian tambo Minangkabau menggunakan bahasa

Arab Melayu. Tambo juga penuh dengan unsur mitos dan legenda, sehingga

kmbenaran isinya sering diragukan orang. Akibatnya penggunaan tambo dalam

penulisan sejarah Minangkabau memerlukan keahlian khusus dan kehati-hatian,

sehinoga tidak banyak dimanfaatkan oleh punulis Minangkabau sendir dalam

rekonstruksi sejarah Minangkabau.

Sumber arkeologis ditemukan di berbagai tempat di Minangkabau, tetapi

yang dominan adalah Luhak Lima Puluh Kota. Sebagian sumber tersebut

merupakan peninggalan kebudayaan Minangkabau periode pra sejarah, dan

sebagian lagi adalah peninggalan zaman Hindu-Budha. Di antara sumber-sumber

arkeologis tentang sejarah Minangkabau itu adalah bangunan-bangunan

megalithikum, goa-goa pra sejarah, lesung/lumpang batu, batu dakon, batu gores,

din kursi batu.

Bangunan bangunan megalhitikum sebagai peninggalan pra sejarah

Minangkabau terutama di temukan di daerah Lima Puluh Kota, yakni Situs

Megalhit Bawah Parit, Situs Megalhit Ampang Gadang, Situs Megalhit Sungai

Talang, Situs Megalhit Bawah-Bawah Batu, Situs Megalhit Balubus, Situs

Megalhit Bukit Parasi, Situs Megalhit Guguk Nunang, Situs Megalhit Guguk, dan

Situs Megalhit Limbanang (Tim MSI Sumatera Barat, 2002: 35 – 51).

34
Sementara goa-goa pra sejarah antara lain dapat disebutkan Goa Balik

Bukik di Kecamatan Harau, Kabupaten Limo Puluh Kota; Goa Bukik Kaciak;

Goa Bukik Gadang; Goa Bukik Dalimo; Goa Bukik Panjang; dan Goa Taram.

Dalam pada itu prasasti-prasasti yang ditemukan pada umumnya adalah

peninggalan zaman Hindu Budha di Minangkabau, khususnya berasal dari zaman

raja Adityiawarman, yang diperkirakan berkuasa sekitar abad XIV. Sebagian

besar prasasti itu ditemukan di daerah Kabupaten Tanah Datar, tersebar di

berbagai tempat, seperti Pariangan, Rambatan, Tanjung Emas, dan Limo Kaum

(MSI Sumatera Barat, 2002: 72 – 87).

2. Kerajaan Pagaruyung

Berdirinya Kerajaan Pagaruyung di pedalaman Minangkabau berawal dari

suatu Ekspedisi Pamalayu (1275) yang dilakukan Kertanegara selaku raja

Singosari. Dalam rangka menghadapi ancaman dari Kubilai Khan penguasa

Mongol yang ganas dan kejam, Kertanegara telah mengirim suatu utusan kepada

raja-raja Melayu di Sumatera dengan tujuan untuk mencari dukungan. Di

samping itu menurut para ahli Ekspedisi Pamalayu ini juga bertujuan untuk

menyebarluaskan agama Budha Tantrayana sebagai agama resmi Kerajaan

Singosari. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat gerakan Islamisasi para

pedagang Islam di pesisir Sumatera sudah semakin intensif.

Sekembalinya tentara Singosari ke Jawa pada tahun 1294 dalam misi

Pamalayu itu, mereka membawa dua orang putri Melayu, yakni Dara Petak dan

Dara Jingga. Dara Petak kemudian dipersunting oleh Kertarajasa, raja Majapahit

pertama, sedangkan Dara Jingga kemudian kawin dengan seorang bangsawan

35
Majapahit, yang kemudian melahirkan Adityawarman, raja Pagaruyung pertama

(M.D. Mansoer, 1970: 56 – 57).

Sebagai seorang bangsawan dan perwira Majapahit, pada tahun 1347

Adityawarman dinobatkan sebagai raja Melayu, yang sepenuhnya berada di

bawah kerajaan Majapahit. Adityawarman memusatkan kekuasaannya di daerah

Damasraya di hulu sungai Batang Hari. Namun pada tahun 1349 Adityawarman

memindahkan kekuasaannya jauh ke pedalaman Minangkabau, yang kemudian

dikenal sebagai Kerajaan Pagaruyung. Alasan pemindahan pusat kekuasaan itu

kepedalaman Minangkabau diperkirakan didorong oleh kepentingan politis, yakni

dalam rangka menghindarkan pengaruh Majapahit yang demikian besar; serta

oleh kepentingan ekonomis guna mendapatkan sumber ekonomi yang lebih

menjanjikan di pedalaman Minangkabau.

Adityawarman meninggal pada tahun 1376 dalam puncak kejayaan

Pagaruyung. Hal ini dapat dibuktikan dari keterangan-keterangan prasasti yang

ditinggalkannya, yakni Prasasti Saruaso. Berita Cina amenyebutkan bahwa

Adityawarman digantikan oleh putranya bernama Maharaja Mauli (Ma-Na Cho-

Wu-Li). Sampai saat ini tidak dapat dibuktikan apakah nama yang disebut dalam

berita Cina itu sama dengan nama “Ananggawarman”, yang tertulis dalam Prasasti

Saruaso.

Perkembangan kerajaan pagaruyung sepeninggal raja Adityawarman

tidak dapat diketahui dengan baik. Hal ini berlangsung sampai abad ke XVI.

Keterangan tentang kerajaan Pagaruyung baru diperoleh kembali pada masa

pemerintahan Sultan Alif pada tahun 1506. Pada masa kekuasaan Sultan Alif ini

36
kerajaan Pagaruyung tidak lagi bercorak Budha Tantrayana, melaincan sudah

bercorak Islam. Hal yang lebih penting lagi ialah dapat diketahuinya struktur

pemerintahan Pagaruyung yang lebih lengkap.

Pada awalnya secara perlahan Islam masuk ke kalangan istana

Pagaruyung. Raja-raja yang sebelumnya beragama Budhaberalih memeluk Islam.

Diduga yang pertama memeluk Islam adalah Sutan Alif yang berkuasa sekitar

tahun 1560 (M.D.Mansoer, 1970:63). Sebelumnya, walaupun Kerajaan

Pagaruyung masih kerajaan Buddha/Bhairawa sejak abad ke-15, sebagian

penduduk Minangkabau sudah memeluk agama Islam. Baru setelah Sultan Alif

dan keluarga raja beragama islam, seluruh alam Minangkabau dapat di pandang

menjadi daerah Islam.

Sultan Alif Khalifatullah berasal dari keluarga Raja Pagaruyung, bukan

datang dari luar. Dia diangkat sebagai raja oleh Basa Amek Balai dan Rajo-rajo

Selo. Sesuai dengan ajaran Islam, hampir semua generasi itu disesuaikan dengan

nama-nama yang berbau Islami (Sudarso Salih, 1985:105).

Kerajaan Pagaruyung Islam tidak mempunyai angkatan perang seperti

Aceh, Banten, Demak, dan kerajaan Islam lainnya, yang setelah masuk Islam

segera membentuk anagkatan perang yang kuat. Nagari diperintah dan diatur oleh

penghulu-penghulu yang juga mengatur hubungan dengan sesama nagari. Hukum

tertulis tidak ada, yang ada hanyalah hokum tak tertulis, yang diwariskan secara

lisan secara turun temurun berupa pepatah-petitih.

Setelah Sutan Ali wafat, dia digantikan oleh Yang Dipertuan Raja

Bagewang II. Raja ini adalah keponakan dari raja Bakilek Alam (Bagewang I)

37
yang sebelumnya menjadi raja ketika kerajaan masih bercorak Buddha Bhairawa.

Raja Bagewang II berbeda dengan mamaknya, semasa pemerintahan Sultan Alif

dia telah memeluk agama Islam.

Raja selanjutnya adalah Sutan Abdul Jalil (Sudarso Salih, 1985:107).

Dalam masa pemerintahan raja inilah surat-menyurat sudah mempergunakan

cap/stempel yang bertuliskan huruf Arab. Dia adalah kemenakan Raja Jambi yang

menerima waris untuk menduduki jabatan Raja Alam di kerajaan Pagaruyung.

Sebelum Abdul Jalil memangku jabatan sebagai “Raja Adat” di Buo. Setelah

menjadi raja, dia di beri gelar “Yang Dipertuan Raja Muningsyah I”. pada masa

kekuasaannya, Sultan Abdul Jalil berhubungan dengan kerajaan di Negeri

Sembilan, Malaysia dan dialah yang mengangkat raja di sana.

Pengganti Sultan Abdul Jalil adalah Yang Dipertan Raja Basusu Ampek

bergelag Raja Alam Muningsyah II (1615 M). Dalam masa pemerintahannya, raja

tidak banyak berbuat, akan tetapi keadaan kerajaan dan daerah rantau senantiasa

aman.

Raja selanjutnya adalah Sultan Ahmad Syah (1650-1680 M).

pemerintahannya bercorak desentralistis, berasarkan hokum Islam dan hokum

adat, lazim disebut “Tuanku nan Tigo Sajarangan” atau “Tali Tigo Sapilin”. Ada

tiga orang raja yang berkuasa, yaitu Raja Adat di Buo, Raja Ibadat di

Sumpurkudus, dan Raja Alam di Pagaruyung. Ketiganya disebut juga “ Raja Nan

Tigo Selo”.

Raja Adat adalah pemegang adat dan limbago. Keturunannya sampai

sekarang masih disebut “Orang Istana”, keturunan raja-raja di Pagaruyung. Raja

38
Ibadat adalah pemegang Hukum Titah Allah, penegak iman di Alam yang

memegang tinggi titah Allah, dan mengerjakan suruhan Nabi. Raja Alam

merupakan coordinator dari adat dan ibadat.

Dibawah kedudukan raja terdapat “Basa Ampek Balai” (Dewan Empat

Mentri), yang terdiri Datuk Bandaro di Sungai Tarab, Tuan Kadhi di Padang

Ganting, Tuan Indomo di Saruso, dan Tuan Makhudum di Sumanik. Datuk

Bandaro yang mengetuai Basa Ampek Balai, bertugas menjalankan pemerintahan

seperti yang digariskan oleh Rajo Nan Tigo Selo. Di bawah Basa Ampek Balai

terdapat Manti. Manti ini banyak jumlahnya.

Dibawah Manti terdapat “Dubalang” (hulubalang) yang jumlahnya lebih

besar daripada penghulu. Penghulu dan hulubalangah yang berhubungan langsung

dengan rakyat. Hulubalang bertugas mengamankan anak nagari. Sebagai “pagar

kampung”, ia menjadi ketertiban dan keamanan dalam nagari.

D Rangkuman

Sumber-sumber sejarah mengenai Mina ngkabau periode pra kolonial

amat terbatas. Sebagian besar sumber itu adalah dalam bentuk sumber fisik

(benda), dan sebagian lainnya lewat tradisi lisan yang berkembang dalam

masyarakat. Akibatnya rekonstruksi peristiwa sejarah di sekitar era kerajaan

pagaruyung terkesan serba tidak lengkap dan tidak utuh. Hal ini seperti terlihat

dalam periode Kerajaan Pagaruyung di Tanah Datar, Inderapura di Pesisir bagian

selatan, serta kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu di daerah Solok Selatan.

Kerajaan Pagaruyung dianggap sebagai kekuasaan pertama di

Minangkabau. Kerajaan yang didirikan oleh Adityawarman ini pada mulanya

39
bercorak Hindu Budha, barulah pada abad ke XVII terlihat pengaruh Islam,

sehingga raja Pagaruyung yang bernama Sultan Alif adalah seorang penganut

agama Islam.

E.Tugas

Diskusikan secara bersama sama menyangkut:

1. Fungsi kaba dan tambo sebagai sumber sejarah lokal Minangkabau!

2. Mengapa Kerajaan Pagaruyung secara politik tidak pernah dianggap

sebagai kekuasaan yang sah dan formal di Minangkabau?

E. Evaluasi

1. Jelaskan beberapa sumber tertua mengenai sejarah Minangkabau

periode pra kolonial!

2. Jelaskan hubungan antara Ekspedisi Pamalayu tahun 1275 dengan

lahirnya kerajaan pagaruyung!

3. Jelaskan bagaimana perkembangan kerajaan pagaruyung sejak era

Adityawarman!

4. Jelaskan bagaimana struktur kekuasaan yang dijalankan di kerajaan

Pagaruyung!

5. Jelaskan hubungan kerajaan Pagaruyung dengan nagari nagari

lainnya di Minangkabau!

40
KEGIATAN BELAJAR VI

KERAJAAN KERAJAAN NAGARI DI MINANGKABAU

A. Kompetensi Utama

1. Mahasiswa dapat menjelaskan beberapa kerajaan penting lainnya di

Minangkabau

2. Mahasiswa dapat menjelaskan perkembangan beberapa kerajaan penting

lainnya di Minangkabau

3. Mahasiswa dapat menjelaskan tipologi kerajaan kerajaan lainnya di

Minangkabau

B. Pendahuluan

Sebagaimana dijelaskan bahwa konsep kerajaan di Minangkabau lebih

mengacu kepada “kata kata” (ungkapan) bukan suatu kekuasaan politik yang

nyata. Oleh sebab itu suku bangsa Minangkabau tidak pernah mengakui

Pagaruyung sebagai sebuah pusat kekuasaan politik yang memiliki kekuasaan

yang besar. Suku bangsa Minangkabau tetap hidup dalam ikatan nagari nagari

dengan otonominya masing masing.

Dalam pemahaman masyarakat Minangkabau nagari adalah pusat dari

kehidupan, sekaligus juga kekuasaan politik. Nagari memiliki sistem sosial,

politik, dan budayanya masing masing, yang secara holistik merupakan gambaran

masyarakat Minangkabau sebagai sebuah suku bangsa. Sejalan dengan

pemahaman kekuasaan seperti itu, maka kekuasaan politik dalam bentuk kerajaan

menyebar hampir di tiap nagari di Minangkabau.

41
Di nagari nagari Minangkabau, baik yang terletak di daerah darek (luhak),

maupun rantau terdapat kerajaan kerajaan sebagai orbit kekuasaan. “Kerajaan

Nagari” itu biasanya memiliki wilayah kekuasaan atas satu atau beberapa nagari

di sekitarnya. Secara politik mereka juga memiliki ikatan dengan Kerajaan

Pagaruyung di Batusangkat, bukan sebagai daerah taklukan atau bawahan, namun

lebih merupakan sebuah konfederasi.

C. Materi

1. Kerajaan Inderapura

Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang terletak di pesisir barat

Sumatera. Secara konsepsi geografis daerah pesisir adalah merupakan daerah

rantau Alam Minangkabau. Asal usul kerajaan ini amat kabur, sumber lokal yang

memberitakan kerajaan inipun amat terbatas. Nama Inderapura diperkirakan

berasal dari pengaruh Hindu-Budha. Indra berarti baik, sedangkan pura berarti

tempat,sehingga Inderapura bisa diartikan sebagai tempat orang yang baik.

Menurut mitologi yang berkembang dalam masyarakat, terdapat dua

versi tentang munculnya kerajaan Inderapura. Versi pertama menyebutkan

kerajaan ini sudah berdiri sejak abad ke 9 SM yang berpusat di Muaro Gadang.

Sementara versi lain menyebutkan bahwa kerajaan ini baru muncul pada abad ke

2 SM, yang didirikan oleh Sri Sultan Zatullah Ibnu Sultan Zulkarnain. Ia

menamakan kerajaan ini dengan Airpura, yang kemudian berubah menjadi

Inderapura.

Legenda Inderapura mirip dengan legenda Kerajaan Pagaruyung, dimana

dikatakan Sultan Zatullah memiliki tiga orang putera, salah satunya adalah Sri

42
Maharadja Diraja.. Keturunan dari Maharadja Diraja ini melahirkan tokoh-tokoh

mitos Minangkabau lainnya, seperti Datuk Perpatih Nan Sabatang, dan Dt.

Ketemanngungan. Raja-raja yang berkuasa di daerah ini tidak jelas, hanya

disebutkan bahwa kerajaan ini mencapai kejayaannya pada masa Sultan

Usmansyal (1550 M).

Pada masa kejayaannya, Indrapura merupakan kerajaan yang sangat luas

dan kuat. Wilayahnya mencangkup wilayah anak sungai hingga Ketaun (William

Marsden, 1999 :209). Keterangan mengenai kerajaan ini di dapat dari kisah yang

di sampaikan oleh sutan Banten kepada penjelajah Corneile burn.

Pada tahun 1400, salah seorang dari pangeran yang berasal dari tanah arab

datang ke nusantara untuk mengislamkan orang-orang jawa. Setelah menjadi raja

Banten dan bergelar pangeran, ia kemudian menikah dengan anak perempuan

kerajaan Indrapura. Raja Banten mendapatkan daerah Sullaberes, yang di huni

oleh orang-orang Bengkulu, sebagai mas kawinnya. Pemberian ini mejadi dasar

hak raja Banten terhadap daerah pesisir Barat Sumatra.

Pada pertengahan abad ke-17, di Indrapura bertahta seorang bangsawan

yang bernama Yang Dipatuan Setio Barat yang berkedudukan sebagai sultan

dengan gelar Sultan Firmansyah. Nama asli baginda adalah Abdul Rahim,

sehingga lazim di sebut sutan Abdul Rahim Firmansyah (singgalang, tanggal 7

oktober 1990).

Yang menjadi urat nadi perekonomian di kerajaan ini adalah lada yang di

hasilkan dalam jumlah besar dan sedikit emas. Dikerajaan ini terdapat sungai

43
Indrapura yang berhulu ke gunung Kerinci dan bermuara di Indrapura. Sungai ini

menghubungkan pusat kerajaan dengan daerah pedalaman.

2. Kerajaan Pasaman

Kerajaan Pasaman merupakan kerajaan kecil yang berada di bawah

kendali kerajaan Minangkabau. Daerah ini adalah wilayah paling utara yang di

kuasai oleh kerajaan Minangkabau. Bersama-sama dengan pariaman dan daerah

pesisir lainnya Pasaman kemudian di kuasai oleh Aceh (William Marsden, 1999 :

209).

Kerajaan Pasaman kemudian terpecah menjadi dua kerajaan, yaitu

kerajaan Kinali yang terletak di barat dan kerajaan Rao terletak di timur. Tiap-tiap

kerajaan di pimpin oleh seorang raja yaitu Yang Dipertuan Kinali di Kinali dan

Tuanku Rao di Rao. Masing-masing raja di bantu oleh empat belas penghulu.

Pasaman pernah menjadi daerah perdagangan yang ramai. Yang di

perdagangkan terutama adalah lada. Selain itu, Pasaman menampung emas halus

dari gunung-gunung yang ada di sekitar Rao. Sebagian besar emas yang di

kumpulkan di Pasaman kemudian di salurkan ke patapahan, di sungai siak, lalu di

bawa kepantai timur Sumatra dan selat malaka.

Peraturan yang berlaku di Pasaman adalah “hukum nan salapan, empat di

luar empat di dalam”. Yang di luar adalah Datuk Janda Lelo, Datuk Majo Basa,

Datuk Sinaro Panjang, dan Datuk Batuah. Yang di dalam adalah Datuk Rajo

Magek, Datuk Indo Mangkuto, Datuk Bandaro Panjang, dan Datuk Bandaro Basa.

(M.D. Mansoer 1970 : 66).

44
Pemerintahan di Rao tidak memakai Basa Ampek Balai, tetapi memakai

Basa Limo Baleh. Disamping itu terdapat istana penghulu, suku, Datuk, Rido dan

tungkek. Sementara penduduk yang mendiami Pasaman adalah campuran orang

batak dan orang minangkabau. Semua penduduknya beragama islam yang di

perintah oleh datuk-datuk.

3. Kerajaan Jambu Lipo

Kerajaan Jambu Lipo pada awalnya berpusat di atas puncak bukit jambu

lipo, sekitar 3 km dari jalan raya lubuk Tarab. Raja pertama yang memegang

tampuk pemerintahan adalah Dungku Dangka, dan sampai sekarang kerajaan

Jambu Lipo telah di pimpin oleh 14 orang raja. Raja yang terakhir adalah Firman

bergelar Bagindo Tan Ameh XIV. Keberadaan kerajaan Jambu Lipo di puncak

bukit jambu lipo hanya sampai pada masa pemerintahan ke-empat, yaitu Rajo

Alam yang bergelar Bagindo Tan Ameh (Budi Istiawan, 1999 : 7).

Setelah mengadakan pengembangan ke beberapa daerah, seperti Nagari

Paulasan, Taratak Baru, Simanyu, dan sebagainya, pihak kerajaan Jambu Lipo

menerima perundingan damai dari pihak Sutan Nan Paik di puncak koto Tou.

Perundingan itu kemudian berlanjut dengan keputusan untuk membuat sebuah

nagari yang sekarang di kenal dengan nama Lubuk Tarab. Sejak berdirinya Lubuk

Tarab, pusat kerajaan Jambu Lipo tidak lagi berada di puncak bukit jambu lipo,

tetapi kemudian pindah ke Rumah Gadang Bawah Pauah atau di sebut juga

kulambu Suto.

Susunan kerajaan di Jambu Lipo sampai sekarang masih terpelihara

dengan baik sebagaimana dahulunya dengan puncuk pimpinan Rajo Tigo Selo,

45
yaitu Rajoalam dengan gelar Bagindo Tan Ameh, rajo ibadat dengan gelar

Bagindo Maharajo Indo, dan rajo adat dengan gelar Bagindo Tan Putiah.

Disamping Rajo Nan Tigo Selo, terdapat pula beberapa pejabat inti

kerajaan yang terdiri dari Sandi Kerajaan, Sandi Amanah, Sandi Padek, dan

beberapa Hulu Balang yang di sebut Ampang Limo Rajo. Para pejabat di atas juga

memiliki bawahan masing-masing, baik yang ditingkat pusat maupun yang

ditingkat daerah.

Keempat rajo Alam yang pernah memimpin kerajaan Jambu Lipo berturut-

turut adalah (I) Dungku Dangka, (II) Sutan Andamik, (III) Sutan Badu, (IV)

Buayo Kumbang, (V) Sutan Ledok (Nan Badarah Putiah), (VI) Nan Barambai

(Nan Basusu Duo Sabalah), (VII) Sutan Kuat Nan Panjang Lutuik, (VIII)

Tuangku Jambi, (IX) Sutan Pondok, (X) Rajo Hitam (Nan Babirunguik), (XI)

Sutan Ali Umar, (XII) Sutan Garak Alam, (XIII) Rajo Inde, dan (XIV) Firman.

Pada masa pemerintahan Rajo Alam IX, yaitu Sutan Pondok, kerajaan

Jambu Lipo mulai menurun karena telah di kuasai oleh belanda. Kerajaan Jambu

Lipo hanya hidup dalam adat istiadat dan perundang-undangan secara adat.

Sedangkan perundang-undangan secara umum telah di kuasai belanda, seperti di

bentuk asisten demang, tuangku lareh, tuangku palo dan kemudian berlanjut

sebagi wali nagari. Orang-orang yang menduduki jabatan tersebut di angkat oleh

belanda dari daerah-daerah lain di luar kerajaan Jambu Lipo. Kerajaan Jambu

Lipo telah hidup di hati masyarakat dan masih di lihat dalam kebiasaan Rajo Alam

yang berwajib berkunjung ke daerah-daerah satu kali dalam tiga tahun dalam

rangka membawa misi kerajaan, yang di sebut “Duduak Panghulu, sangketo

46
habih, bajalan rajo rantau salasai ”(duduk penghulu semua masalah/sengketa

selesai, Berjalan Raja (masalah) daerah rantau selesai”.

2. Kerajaaan Sungai Pagu

Sungai Pagu merupakan daerah rantau selatan Minangkabau. Kerajaan

Sungai Pagu dijuluki sebagai Alam Surambi Sungai Pagu, karena dianggap

sebagai daerah belakang (serambi) kerajaan Pagaruyung. Secara historis Kerajaan

Sungai pagu terdiri dari tiga kerajaan, yakni: Melayu, Panai, dan Kampai.

Kemudian kerajaan ini lebur jadi satu, di bawah pimpinan Raja Alam, yang

dibantu oleh Raja Adat, dan Raja Ibadat.

Hubungan antara kerajaan yang didirikan sekitar abad ke 16 itu dengan

pagaruyung amat dekat dan erat. Hal ini terlihat dari adanya persamaan

kebudayaan. Bahkan dalam mitologi dikatakan bahwa kerajaan Sungai Pagu

berdiri atas restu!penguasa Pagaruyung, di mana raja pertamanya dipilih,

diangkat, dan dinobatkan secara langsung oleh kerajaan Pagaruyung. Sama halnya

dengan Pagaruyumg, kerajaan ini juga mengalami kemunduran akibat Gerakan

Paderi yang berlangsung di Pusat Alam Minangkabau.

Kerajaan tertua di Sungai Pagu adalah kerjaan Melayu, yang didirikan oleh

seorang pangeran yang datang dari kwasan Tigo Lareh (Damasraya). Selanjutnya

di ikuti oleh kerajaan Panai dan kerajaan Kampai. Terakhir di susul dengan

berdirinya kerajaan Tigo lareh.

Kerajaan Melayu, Panai dan Kampai adalah tiga kerajaan yang pada

mulanya berada di pantai timur Sumatra. Kerajaan Melayu berpusat di Jambi.

Kerajaan Kampai berpusat di sekitar Deli, sebelumnya berdiri kerajaan Aru.

47
Kerajaan Panai berpusat di kuala Sungai Panai, kawasan labuhan Sumatra utara

(Singgalang, 12 Agustus 1990).

Kerajaan Melayu di takhlukkan oleh kerajaan Sriwijaya pada tahun 685,

selanjutnya kerajaan Panai dan kerajaan Kampai juga di duduki Sriwijaya.

Penyerbuan yang dilakukan sriwijaya ke Melayu menyebabkan para pangeran

dan masyarakat melayu terpencar. Para pangeran yang tidak mau tunduk kepada

sriwijaya membawa masyarakatnya yang setia menduduki Sungai Batanghari dan

mendirikan perkampungan di Tigo Lareh, ada pula yang kemudian menduduki

Sungai di gunung Selasih dan mendirikan perkampungan Rawang Hitam.’

Wilayah kerajaan Sungai Pagu meliputi”Darek Sungai Pagu” dan “Rantau

Sungai Pagu”. Setelah Indonesia merdeka, kerajaan di Sungai Pagu masih terdapat

Rajo Alam, Rajo Adat, Rajo Syarak, Rajo Parik Paga, dan Rajo Mudo Melayu

yang masih mengurusi adat istiadat. Secara administrasi pemerintah, wilayah

kerajaan Sungai Pagu menjadi kecamatan di Kabupaten Solok, dengan nama

Kecamatan Sungai Pagu tahun 2000 kecamatan ini kemudian di pecah menjadi

dua, yaitu kecamatan Sungai Pagu yang berpusat di Muarolabuh, dan kecamatan

Parik Gadang Koto di Ateh yang berpusat di Pakan Rabaa.

D. Rangkuman

Sejalan dengan konsepsi masyarakat Minangkabau tentang kerajaan sebagai

sesuatu yang hanya bersifat “kata kata”, dan abstrak, dalam arti bukan suatu

kekuasaan politik yang disakralkan dan dipatahi secara taklik, maka kerajaan lebih

dianggap sebagai simbol pemersatu nagari atau beberapa nagari. Oleh sebab itu di

48
Minangkabau ditemukan banyak kerajaan nagari dengan kekuasaan terbatas.

Diantara kerajaan itu adalah Sungai Pagu, Pasaman, Indera Pura, dan Jambu Lipo.

Kerajaan kerajaan nagari di Minangkabau umumnya terletak di daerah

rantau. Sebagai perkembangan dari wilayah Pusat Alam Minangkabau (darek)

kerajaan kerajaan itu tetap mengikatkan dirinya ke wilayah darek, seperti

Kerajaan Sungai Pagu yang mempersonifikasikan dirinya sebagai “Serambi Alam

Pagaruyung”.

E.Tugas

Buat sebuah ringkasan tentang hubungan kerjaan kerajaan nagari yang ada di

Minangkabau dengan Kerajaan Pagaruyung yang berpusat di Tanah Datar

E.Evaluasi

1. Jelaskan bagaimana konsepsi kerajaan bagi orang Minangkabau?

2.Jelaskan bagaimana munculnya Kerajaan Inderapura, serta

perkembangannya!

3. Jelaskan bagaimana hubungan Kerajaan Pasaman dengan Pusat Alam

Minangkabau (daerah darek) !

4. Jelaskan perkembangan Kerajaan Jambu Lipo sampai kedatangan Belanda !

5. Jelaskan mengapa Kerajaan Sungai Pagu menyebut dirinya sebagai Serambi

Alam Pagaruyung ?

49
KEGIATAN BELAJAR VII

MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM

DI MINANGKABAU

A. Kompetensi Utama

Setelah memepelajari bagian ini mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan proses masuknya agama islam di Minangkabau.

2. Menjelaskan tentang perkembangan agama islam di Minangkabau.

3. Menjelaskan tentang pusat pusat utama penyebaran Islam di Minangkabau.

4. Mengidentifikasikan gerakan awal pemurnian agama Islam di

Minangkabau.

B. Pendahuluan

Para ahli sejarah belum dapat mengetahui secara pasti awal masuknya

agama islam ke Minangkabau. Tidak ada kesepakatan diantara mereka, terutama

karena belum ditemukannya bukti-bukti sejarah tertulis di Minangkabau.

Peninggalan yang dapat dijadikan bukti sejarah pada waktu itu, baik berupa

bangunan, seperti masjid tertua, batu nisan Islam, maupun cetakan tertulis lainnya

tidak dapat memberikan kepastian. Oleh sebab itu, periode awal ini diperkirakan

terutama berdasarkan catatan luar Minangkabau.

Menurut berita dari Cina, pada tahun 684M sudah didapati suatu

kelompok masyarakat Arab di Minangkabau (Hamka, 1976). Hal ini berarti bahwa

42 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, orang Arab sudah mempunyai

perkampungan di Minangkabau. Sehubungan dengan itu, Hamka memperkirakan

50
bahwa kata “Pariaman”, nama salah satu kota di pesisir barat Sumatera Barat

berasal dari bahasa Arab, “barri aman” yang berarti tanah daratan yang aman

sentosa. Selanjutnya diduga pula bahwa orang-orang Arab ini disamping

berdagang juga berperan sebagai mubaligh-mubaligh yang giat melakukan

dakwah islam, sehingga pada waktu itu diperkirakan sudah ada orang di

Minangkabau yang memeluk agama Islam.

C. Materi

1. Masuknya Agama Islam ke Minangkabau

Mengenai cara masuknya Islam ke Minangkabau, ada yang berpendapat

bahwa orang Minangkabau adalah pelaku aktif. Sebagai suku bangsa yang suka

merantau, pada waktu itu sudah banyak diantara mereka yang mengadakan

hubungan dengan Malaka. Mereka menghiliri sungai Kampar dan sungai Siak dan

kemudian berlayar menuju Malaka. Di Malaka mereka kemudian memeluk Islam,

karena tertarik dengan agama dan pola hidup orang Islam yang mereka temui.

Sewaktu pulang ke Minangkabau, mereka membawa dan memperkenalkan agama

baru itu kepada kerabat-kerabatnya dikampung halaman. Karena agama Islam

yang datang ke Minangkabau melalui daerah Siak, sampai sekarang di

Minangkabau, terutama di daerah Darek, dikenal istilah “Orang Siak” yakni

sebutan terhadap pelajar madrasah atau orang yang dianggap alim atau shaleh.

Mereka bermazhab Syafi’I, bersifat ramah, alim, sederhana dan hemat.

Menurut Holt, Islam masuk ke Aceh sekitar pertengahan abad ke-14 dan

dari Aceh menyebar ke Minangkabau, yaitu dari Pidie melalui Pariaman,

menyelusup ke seluruh daerah Minangkabau. Rute ini pulalah yang dilalui oleh

51
paham-paham baru islam yang memasuki Minangkabau pada abad ke-19

(P.M.Holt et al, 1917:12).

Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari Lisabon (yang lama menetap di

Malaka, yaitu dari tahun 1512 hingga 1515), pada tahun 1511, mengunjungi Jawa

dan giat mengumpulkan informasi mengenai seluruh daerah Malaya Indonesia.

Dalam bukunya yang berjudul Summa Oriental, dia mengemukakan pada waktu

itu sebagian besar raja-raja Sumatera beragama Islam, tetapi masih ada negeri-

negeri yang masih belum menganut islam. Menurut Pires, mulai dari Aceh di

sebelah utara terus menyusur daerah Pesisir timur hingga Palembang, para

penguasanya beragama Islam. Di Pasai terdapat komunitas dagang Islam

Internasional yang sedang berkembang pesat dan Pires menghubung-hubungkan

penegakan pertama agama Islam di Pasai dengan kelihaian para pedagang Muslim

itu. Akan tetapi, para penguasa Pasai belum berhasil mengislamkan penduduk

pedalaman. Raja Minangkabau dan seratus orang pengikutnya disebutkan sudah

menganut agama Islam, tetapi penduduk Minangkabau lainnya belum. Meskipun

demikian, Pires menyebutkan bahwa agama baru itu makin hari makin bertambah

pemeluknya di Minangkabau (M.C.Ricklefs, 1995:9).

C.Snouck Hurgronje, berpendapat bahwa agama islam secara perlahan-

lahan masuk kedaerah-daerah pantai Sumatera,Jawa, Pesisir Kalimantan,

Sulawesi, dan kepulauan kecil lainnya di seluruh wilayah Nusantara sejak kira-

kira setengah abad sebelum Baghdad (pusat dunia Islam) jatuh ke tangan Hulagu

(raja Mongol) pada tahun 1528 (Cornelis S.H, 1973). Dia mengemukakan bahwa

Islam masuk ke Indonesia dari Hindustan yang dibawa oleh pedagang-pedagang

52
Gujarat. Usaha penyebaran Islam ke pedalaman seterusnya dilakukan juga oleh

orang Muslim pribumi sendiri, dengan daya tariknya pula, tanpa campur tangan

penguasa Negara (Cornelis S.H.1973).

Teori mengenai Syekh Burhanuddin sebagai pembawa Islam yang pertama

ke Minangkabau, juga masih dipertanyakan. Tarekat yang dikembangkan

Burhanudin di perguruan yang dibangunnya di Ulakan, Pariaman adalah tarekat

Syatariah yang tumbuh subur di Aceh pada abad XVII, sedangkan jauh sebelum

abad XVII penduduk Minangkabau sudah ada yang menganut Islam, hanya belum

merata. Daerah-daerah Padang Barat memang terlambat menerima Islam. Hal ini

dihubungkan dengan adanya keterangan yang menyatakan, bahwa ada suatu

utusan yang terdiri dari para penganut kepercayaan penyembah berhala dari

daerah ini menyerahkan surat kepercayaan mereka kepada Affoso d’Albuquerque,

seorang Portugis, yang menaklukan Malaka. Perutusan ini kemungkinan dikirim

oleh kerajaan Pagaruyung yang beragama Hindu-Buddha (H.Agus Salim,19).

Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan

bahwa agama Islam masuk ke Minangkabau pada akhir abad VII. Sejak abad VII

itu agama Islam mulai makin berkembang keseluruh pelosok. Dalam tahap awal

Islam itu dianut penduduk, kepercayaan lama baik animisme, dinamisme, Hindu-

Budha termasuk kebudayaan-kebudayaan lama masih berpengaruh kedalam

kehidupam masyarakat.

2. Proses Islamisasi

Menjelang Islam masuk, adat yang aslinya animistik, dynamistik, dan

naturalistik yang sudah berakulturasi dengan unsure-unsur Hindu-Budha adalah

53
satu-satunya pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Setelah itu datanglah

agama Islam yang juga menuntut kepatuhan yang lebih ketat.

Muhammad Yamin mengatakan bahwa, sama halnya dengan adat suku

bangsa lain di Indonesia, maka urat dan teras adat Minagkabau adalah asli dan

bersifat purbakala. Teras purbakala ini kemudian dibentuk dan dipengaruhi oleh

kebudayaan Hindu-Budha yang datang dari India. Pada zaman Adityawarman

berkuasa di Minangkabau, adat dipengaruhi pula oleh paham Tantrayana, suatu

sekte dalam agama Budha yang dianut oleh Adityawarman. Pengaruh yang

datang paling belakangan adalah pengaruh Islam. Kedatangan Islam dengan

aturan-aturannya yang ketat dan menuntut kepatuhan luar biasa dari para

pemeluknya membuat pengaruh Hindu-Budha dan Tatrayana hampir-hampir

tidak berbekas di Minagkabau (M.Yamin, tanpa tahun:1). Ada kemungkinan

bahwa pengaruh agama Hindu Budha kurang kuat berakar seperti di Jawa

sehingga mudah tersapu oleh agama Islam yang datang kemudian.

Proses islamisasi berjalan terus secara damai melalui pengaruh yang tidak

dipaksakan dan berhasil dengan baik. Mungkin sebagaimana yang terjadi

kemudian dan sekarang masih berlaku di Makkah, pengajian agama diberikan

kepada orang dewasa oleh para ulama (pada mulanya dapat saja siapa yang sudah

tahu) dan kitab suci Alqur’an mulaidiajarkan termasuk kepada anak-anak dan

berhasil dijadikan bacaan harian putra-putri Minangkabau bila sudah berumur

tujuh hingga delapan tahun keatas. (Burhanuddin, 1995:37). Sehingga kemudian

jarang orang Minangkabau yang buta aksara Al-Qur’an, walaupun pada umumnya

tidak dapat menulisnya dan tidak mengerti isinya, ini tentu berkat lembaga-

54
lembaga pendidikan Islam tradisional yang terdiri dari Surau, masjid dan rumah-

rumah mengaji. Hampir semua orang di Minangkabau belajar mengaji.

Adakalanya di surau, kalau disekitar kediamannya sudah ada surau, atau dirumah-

rumah mengaji bagi daerah-daerah yang penduduknya masih jarang dan belum

punya surau.

3. Perkembangan Islam di Minangkabau

Sebagaimana sudah dikemukakan diatas, bahwa penyiaran agama Islam

kepada rakyat Minangkabau secara lebih intensif dilakukan oleh ulama-ulama

Aceh bersamaan waktunya dengan penguasaan pantai Barat Sumatra oleh Aceh

pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 (Mardjani M, 1989:11). Pada waktu

itu, pusat-pusat perdagangan di Pantai Barat Pulau Sumatera dikuasai oleh Aceh

dan daerah itu menjadi perantara masuknya pengaruh Islam ke pedalaman

Minangkabau.

Setelah Islam masuk ke Minangkabau, agama ini tidak serta merta menjadi

agama masyarakat. Menurut A.S. Harahap, Islam berkembang di Minangkabau

secara perlahan-lahan. Cara ini dilakukan karena tidak mudah mengubah

keyakinan suatu masyarakat dengan cepat, apalagi Islam masuk ke Minangkabau

dengan cara damai, bukan dengan paksaan.18

Para mubaligh menyebarkan Islam di Minangkabau dengan jalan menanamkan


padi dan memperlihatkan akhlak yang baik kepada masyarakat. Masyarakat
Minangkabau yang terkesan dengan sifat-sifat mubaligh Islam itu kemudian
mengikutinya. Selanjutnya, setelah mempelajari Islam banyak pula penduduk
Minangkabau yang ikut menyebarkan Islam ke daerah-daerah lainnya di
Nusantara dengan jalan lebih baik dan teratur, seperti yang terjadi kemudian
ketika Datik Ri Patimang menyebarkan Islam di Makasar.
Kerajaan Aceh yang selama berkuasa di sepanjang pesisir barat

Minangkabau disamping membawa misi politik juga membawa misi agama (A.S.

55
Harahap, 1951:26). Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, agama Islam

berkembang pesat di Aceh sehingga mendapat julukan sebagai Serambi Mekah.

Menurut riwayat, seorang ulama sufi penganut tarekat Naqhshabandiyah dari

Aceh yang berkunjung ke Pariaman, sempat menetap di Luhak Agam dan Lima

puluh kota. Kemudian Syeh Burhanuddin, murid Syeh Abdurraul Singkil dari

Aceh, seorang penganut tarekat Syatariah, datang dan bermukim di Ulakan

Pariaman.

Dari usaha meresapkan ajaran Islam, Syeh Burhanuddin lebih

menunjukkannya kepada anak-anak yang masih dalam keadaan “bersih” dan

mudah dipengaruhi. Syeh Burhanuddin mengajak anak-anak bermain di halaman

surau yang didirikannya. Syeh Burhanuddin sendiri ikut pula bermain bersama-

sama dengan anak-anak itu. Setiap memulai permainan, Syeh Burhanuddin, selalu

mengucapkan “Bismillah” dan bacaan doa-doa lainnya. Mendengar ucapan Syeh

Burhanuddin, anak-anak merasa heran dan ingin mengetahui apa yang telah

dibacanya. Pada saat itulah Syeh Burhanuddin menunjuki anak-anak akan

kebesaran Allah, Tuhan yang seharusnya disembah, yang menciptakan dan

mengatur alam semesta (Boestami, et al, 1981:20). Melalui bermain bersama-

sama ini, tanpa disadari ajaran Islam sudah mulai tertanam di lubuk hati anak-

anak itu. Tingkah laku dan budi pekerti anak-anak sedikit demi sedikit diperbaiki

menurut moral Islam.

Ajaran Syeh Burhanuddin ini kemudian disampaikan oleh anak-anak itu

kepada orang tua mereka di rumah masing-masing. Orang tua mereka pun

menerima pula dengan baik ajaran Islam yang mereka dengar itu. Akhirnya

56
mereka menjadi pemeluk Islam yang taat menjalankan ibadah. Bersama dengan

Syeh Burhanuddin, mereka melaksanakan shalat berjema’ah dan belajar membaca

ayat suci Al-Qur’an.

Orang yang belajar agama Islam kepada Syeh Burhanuddin semakin lama

semakin bertambah banyak, sehingga surau tempat mereka belajar tidak mampu

lagi menampung murid-murid yang hendak belajar. Syeh Burhanuddin kemudian

mendirikan surau baru sebagai tempat khusus untuk menampung murid-muridnya

dalam menuntut ilmu agama.

Ajaran Syeh Burhanuddin semakin mendapat sambutan luas dari

masyarakat, murid-muridnya bahkan banyak pula yang datang dari pedalaman,

Minangkabau, terutama dari Agam dan Lima Puluh Kota. Selanjutnya murid Syeh

Burhanuddin Ulakan inilah yang menyebarluaskan ajaran Islam ke dalam

Minangkabau (Boestami, 1981:20).

Pengaruh Syeh Burhanuddin di daerah pedalaman Minangkabau menjadi

besar sekali. Para tuanku dan guru agama terpenting di daerah darek pada akhir

abad ke-18 hampir semuanya belajar di ulakan, di Pamansiangan, Lubuk Agam,

kemudian didirikan pula pusat pengajian aliran Syatarriyah dengan pimpinannya

Tuanku Pamansiangan. Meskipun demikian, dari Luhak Agam masih ada yang

menuntut ilmu ke Ulakan kepada Syeh Burhanuddin. Salah seorang diantaranya

yang terpandai adalah Tuanku Nan Tuo yag biasa dikenal dengan Tuanku Koto

Tuo (Mardjani Martamin, 1986:12).

Tuanku Koto Tuo berasal dari kampung Koto Tuo, Ampek Angkek

Candung, Kabupaten Agam. Berbeda dengan Tuanku Pamansiangan yang

57
menganut aliran Tarekat Syatariyah, Tuanku Koto Tuo sekembalinya

kekampungnya terpengaruh oleh aliran Tarekat Naqsabandiyah. Tuanku Koto Tuo

menganggap Tarekat Naqsabandiyah lebih dekat dengan ajaran Sunnah wal

Jama’ah dan lebih mudah diterima masyarakat. Kampuang Koto Tuo akhirnya

berkembang menjadi pusat pengajaran fiqi Islam dan Al-Qur’an serta Hadits.

Masalah hokum, kepercayaan dan seluruh aspek social juga dipelajari di sana.

Tuanku Koto Tuo juga mengajarkan masalah keduniawian dan nilai-nilai

masyarakat Minangkabau. Untuk memudahkan pengembangan ajaran Islam,

pengajaran lebih dikhususkan untuk menanggulangi kemerosotan moral dan

kebobrokan masyarakat waktu itu.

Tuanku Koto Tuo mengajar murid-muridnya supaya bertindak tegas

dalam masyarakat. Namun dalam menyiarkan Islam dilakukan dengan perlahan-

lahan dan meyakinkan. Dengan cara dan keyakinan itu lah Tuanku Koto Tuo

bersama murid-muridnya melakukan pembaharuan dalam masyarakat

Minangkabau waktu itu.

Perkembangan Islam di Minangkabau pada masa itu di warnai pula dengan

perbedaan pendapat yang cukup mendasar sampai memasuki awal abad ke-19,

ketika di Pandai Sikek muncul kaum Paderi atau Kaum Putih yang menganut

paham Wahabi di bawah pimpinan Haji Miskin yang baru pulang dari Mekkah.

Pengikut Haji Miskin adalah murid-murid Tuanku Koto Tua yang memang sudah

berkeinginan untuk mengadakan pembaharuan di Miangkabau. Haji Miskin dan

pengikutnya mendapatkan praktek-praktek keagamaan di Minangkabau yang

sangat mengkhawatirkan, seperti guru-guru agama masih berkhidmat kepada

58
kuburan yang dianggap keramat, sabung ayam menjadi menu harian, judi

merajalela dan sebagainya (Mardjani Martamin, 1986:27).

3. Pusat Pusat Penyebaran Islam Di Minangkabau: Cangkiang dan Ulakan

Berbeda dengan yang dikemukakan sebelumnya, Cangkiang dan Ulakan

bukanlah pusat kesatuan territorial melainkan adalah sebagai pusat kegiatan dan

penyiaran agama. Ketika Kerajaan Pagaruyung mulai mundur, terdapat kelesuan

dibanyak nagari di Minangkabau, baik didaerah Luhak maupun di daerah Pesisir

dan rantau. Para penghulu dan keluarga raja-raja tidak lagi memperhatikan adat

yang sebenar adat, yaitu “Hidup yang akan dipakai, mati yang akan ditopang”.

Perbuatan maksiat merajalela dimana-mana. Harta Pusaka telah banyak yang

dijual dan digadaikan oleh para penghulu untuk berjudi dan menyabung ayam. Di

setiap nagari di bangun sebuah gelanggang sebagai arena perjudian tersebut.

Antara satu suku dengan suku yang lain kemudian timbul permusuhan,

dilanjutkan dengan permusuhan antara satu jorong dengan jorong yang lain, dan

berlanjut pula pada tingkat nagari dengan nagari. Sebab-sebab permusuhan

kadangkala hanyalah permasalahan kecil, seperti kalau bertaruh dalam mengadu

ayam antara satu penghulu dengan penghulu lain, antara seorang pemuda dari

suku tertentu dengan pemuda dari suku yang lain. Pertengkaran terjadi karena

yang kalah merasa telah “diberi malu” oleh yang menang.

Sementara itu, kaum ulama tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi

kejadian-kejadian tersebut. Mereka terlalu sibuk dengan pengajian tasawuf

sehingga melupakan tanggungjawab terhadap umat yang membutuhkan mereka.

Akibatnya, agama Islam yang ada di Minangkabau suah terjurus pada persoalan

59
tasawuf belaka. Pusat kegiatan tasawuf yang terkenal di Minangkabau adalah

Cangkiang dan Ulakan, di Cangkiang yang berkembang adalah tarikat

Naqhsabandiyah. Sedangkan di ulakan, yang berkembang adalah tarikat

Syatariyah yang di ajarkan oleh Syekh Burhanuddin yang menerimanya dari

Syekh Abdurrauf di Aceh, syekh Abdurrauf menerimanya pula dari Syeh Ahmad

Qusyasyi di Madinah (Hamka, 1976:11).

Inti ajaran kedua aliran tarikat tersebut di atas pada dasarnya sama, yaitu

fana si hamba ke dalam Wajibul Wujud, yaitu Allah SWT. Tarikat

Naqhsabandiyah mendapat pengakuan dari beberapa orang Syeh dari Mazhab

Syafi’i. Naqsabandiyah dipandang sebagai tarikat yang lebih dekat kepada sunnah

nabi. Dalam melakukan Kaifiyat (cara-cara) melakukan tarikat. Antara masing-

masing penganut sering terjadi perselisihan dan menimbulkan kemarahan,

sehingga pekara yang kecil-kecil bisa menjadi besar dan masing-masing pihak

kemudian menuduh pihak lain sesat. Banyak orang Minangkabau menyebut kedua

paham ini sebagai “Agama Cangking dan Agama Ulakan”.

Pengikut paham Cangking lebih menguatkan “kesatuan saksi”, maksudnya

dengan memandang seluruh alam, timbullah kesan bahwa itu semuanya adalah

satu saksi atas adanya Allah Ta’ala (Wihdatusy Syuhud). Pengikut paham Ulakan

mengatakan “dengan memandang alam keseluruhan”, maksudnya dengan

demikian timbul kesan bahwasanya sama sekali itu pada hakikatnya tidaklah ada.

Yang ada hanyalah yang pasti ada, yaitu Allah Ta’ala (Wihdatul Wujud).

Paham Wihdatul Wujud adalah paham Al Hallaj dan Ibnu Arabi yang

disambut dan disiarkan oleh Hamzah Fansuri di Aceh pada abad ke-17 (A.A.

60
Navis, 1984:158). Paham ini kemudian menjalar ke Minangkabau melalui Ulakan

(Hamka,1976:12). Inilah yang dibantah oleh aliran Cangking (Candung) yang

berdasarkan kepada Wihdatusy Syuhud. Pemimpin paham Cangking adalah ulama

yang terkenal, yaitu Tuanku Nan Tuo (Karel A.S. 1984:177).

Tuanku Nan Tuo di Cangking, sebenarnya pernah juga berguru kepada

seorang ulama yang berguru di Ulakan kepada Syeh Burhanuddin, yaitu Tuanku

Nan Tuo di Mansiangin. Besar kemungkinan bahwa pertentangan antara paham

Cangking dan Ulakan ini disebabkan perbedaan nilai-nilai adat dari keduanya.

Ulakan adalah daerah rantau menurut adat Minangkabau yang mendapat pengaruh

besar dari Aceh. Sedangkan adat Minangkabau belum dapat diperbaiki sama

sekali oleh Islam, misalnya mengenai harta pusaka masih turun dari mamak

kepada kemenakan bukan kepada anaknya.

Sampai sekarang dalam hal adat masih terdapat perbedaan antara daerah

Pariaman yang didalamnya juga termasuk Ulakan dengan daerah pedalaman

Minangkabau. Di Pariaman terdapat gelar Sidi, Bagindo dan Sutan. Gelar Sidi

dipakai dan diwariskan secara turun temurun oleh keturunan Hasan dan Husein.

Pada wajah kaum Sidi (ditempat lain disebut Sayid) yang asli masih terlihat

wajah-wajah Arab bercampur wajah Melayu. Sedangkan keturunan “Bagindo”

pada diri mereka mengalir darah raja-raja yang berasal dari Aceh. Selanjutnya

keturunan “Sutan” menunjukkan bahwa mereka berasal dari darek (pedalaman

Minangkabau). Gelar-gelar itu di Pariaman semuanya diterima/diwarisi dari ayah.

Susunan gelar seperti di daerah pariaman di atas tidak terdapat di daerah

Derek. Di Darek gelar yang utama adalah Datuk, kemudian Sutan atau Bagindo

61
atau Kari (dari Qori) atau Pakih (dari Faqih) atau Malim (dari Mu’alim). Gelar-

gelar itu diterima/diwarisi dari mamak bukan dari ayah. Dengan demikian ada

kemungkinan bahwa antara Cangking dan Ulakan ini tidak .terlepas sama sekali

dengan masalah politik. Cangking lebih dekat ke Pagaruyung dan Ulakan lebih

dekat kepada pengaruh Aceh.

Antara paham Naqhsabandiyah yang berpusat di Cangking dan paham

Syatarriyah yang berpusat di Ulakan seringkali terjadi pertentangan. Dalam

serangannya terhadap Syatarriyah, orang Naqhsabandiyah menuduh antara lain,

lafadz Arab kaum Syatarriyah tidak benar, dan kiblat mesjid mereka tidak pula

ditetapkan dengan tepat.

Dalam bidang ilmu hisab dan falak, metode penemuan bulan puasa pada

orang Syatarriyah dengan melihat kemunculan bulan dianggap aneh, sehingga

mereka mendapat julukan sebagai “Orang Puasa Kemudian”. Di samping itu

kaum Naqhsabandiyah di beberapa tempat juga mendirikan mesjid baru, karena

golongan ini kurang puas dengan cara imam masjid golongan lain.

Pengaruh Tarekat Syatarriyah masih dapat disaksikan saat ini lewat acara

“basafa” ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Dalam kompleks makam

tersebut pengikutnya melakukan ratib semalam suntuk. Dalam ajaran Tarekat ini,

pendekatan dan penghormatan kepada guru sangat diutamakan. Fungsi guru

adalah sebagai perantara dalam menghubungkan seseorang dengan Tuhannya.

Oleh karena itu, dalam berdoa nama guru perlu disebut untuk memudahkan doa

dikabulkan (Boestami. 1981:25).

62
Tuntutan penghormatan kepada guru menyebabkan jasa guru perlu sekali

diingat. Guru yang telah meninggal perlu ziarah kemakamnya. Dalam pikiran si

murid para ulama atau guru dianggap orang yang mempunyai kelebihan yang luar

biasa malahan kemudian dianggap orang keramat. Daerah atau bangunan yang

pernah digunakan oleh para ulama tersebut perlu dihormati dan dikunjungi

(Boestami, 1981:25).

Praktek-praktek keagamaan yang dilakukan oeh kaum Naqhsabandiyah itu

dianggap menyalahi aturan agama oleh kaum Syatarriyah, sehingga timbul

pertentangan antara keduanya. Pertentangan itu dengan sendirinya telah

melalaikan perhatian mereka untuk memperdalam pengaruh agama terhadap

perjalanan adat. Hal ini menyebabkan makin banyak orang yang jahil dan “Adat

Jahiliyah” kembali banyak dipakai orang dan menjadi kendurlah “Adat

Islamiyah”.

Dalam perkembangan Islam di Minangkabau, jasa Tuanku Nan Tuo

Cangking tidak dapat dilupakan. Beliau dengan sabar dan sadar memasukkan

pengaruh Islam ke dalam masyarakat. Para Ulama dan Tuanku di nagari-nagari

lain memandang Tuanku Nan Tuo sebagai pemimpin mereka. Pergi tempat

bertanya dan pulang tempat berberita.

D. Rangkuman

Masuknya agama Islam ke Minangkabau pada akhir abad VII. Sejak abad

VII itu agama Islam mulai makin berkembang keseluruh pelosok. Dalam tahap

awal Islam itu dianut penduduk, kepercayaan lama baik animisme, dinamisme,

Hindu-Budha termasuk kebudayaan-kebudayaan lama masih berpengaruh

63
kedalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya pada awal abad ke-19 lahir

Gerakan Pemurnian Islam yang dilakukan oleh Kaum Pderi. Akhirnya dapat

dikatakan bahwa seluruh penduduk Minangkabau menganut agama Islam. Dalam

hal ini Umar Yunus menyatakan bahwa kalau ada orang Minangkabau yang tidak

menganut agama Islam, maka itu adalah suatu keganjilan yang amat

mengherankan. Orang Minangkabau boleh dikatakan tidak mengenal unsur-unsur

kepercayaan lain, kecuali apa yang diajarkan Islam.

E. Tugas

Diskusikan secara bersama sama dalam kelompok menyangkut:

1. Apakah ada relevansi teori tentang masuknya Islam di Minangkabau

dengan kasus makro Indonesia ?

2. Buat peta jalur penyebaran Islam di Minangkabau !

E. Evaluasi

1. Jelaskan Proses masuknya agama Islam ke Minangkabau!

2. Bagaimanakah proses Islamisasi di Minangkabau!

3. Bagaimanakah proses perkembangan Islam di Minangkabau?

4. Jelaskan arti ungkapan: “Sara’ mandaki adat manurun” dalam proses

Islamisasi di Minangkabau!

5. Jelaskan peranan Cangkiang dan Ulakan dalam penyebaran Islam di

Minangkabau!

64
KEGIATAN BELAJAR VIII

GERAKAN PADERI DAN PERANG PADERI

DI MINANGKABAU

A. Kompetensi Utama

65
1. Mahasiswa dapat mengidentifikasi hubungan Gerakan Paderi dengan

kehadiran Belanda di Minangkabau

2. Mahasiswa dapat menjelaskan Perang Paderi sebagai awal kolonisasi

Belanda di Minangkabau

B. Pendahuluan

Pada abad ke XVI Minangkabau mulai mendapat pengaruh dari Aceh.

Pengaruh ini secara politik membawa dampak dikuasainya beberapa bagian

Pesisir Minangkabau, seperti Tiku, Pariaman, Padang, dan Bandar X. Akan tetapi

secara budaya kehadiran Aceh membawa dampak luar biasa terhadap masyarakat

Minangkabau. Hal ini sejalan dengan perkembangan agama Islam di

Minangkabau, yang diduga kuat berasal dari Aceh.

Sejalan dengan melemahnya Aceh, kekuasaan kolonial Barat mulai hadir

di Minangkabau. Pertama ialah kekuasaan Inggris, kemudian digantikan oleh

Belanda. Kaum kolonialis Belanda pada akhirnya bisa menguasai Minangkabau

setelah mengalahkan kekuatan Paderi pada pertengahan abad ke 19. Belanda

menancapkan kukunya di tanah Minangkabau selama lebih kurang satu setengah

abad. Kekuasaan Belanda telah menyebabkan terjadinya berbagai perubahan di

dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, baik sosial, politik, budaya, maupun

ekonomi.

C. Materi

1. Gerakan Paderi: Awal Pemurnian Islam

Dalam sebuah hadist nabi dikatakan bahwa dalam setiap pergiliran

seratus tahun akan dating seorang mujadid yang memperbaharui urusan

66
agamanya. Terlepas dari sejauh mana derajat kesahihan hadist tersebut, pesan

yang terkandung teramat jelas. Urusan agama bukan saja menuntut kepatuhan,

tetapi juga terbuka kesempatan membuka ruang ijtihad. Demikianlah ketika dunia

Islam mengalami stagnasi, muncul pejuang agama yang berusaha izzul Islam Wal

Muslim (memulyakan agama Islam dan kaum muslim) dengan cara

mereinterpretasi ajaran agama. Bentuk pengayaan kembali ajaran agama bias

dalam versi revivalisme, resurgensi, ataupun refungsionalisasi (Taufik Abdullah,

1989:7). Dalam konteks Sejarah Minangkabau, gerakan pemurnian Islam yang

paling mendapat perhatian adalah gerakan Paderi.

Gerakan Paderi adalah gerakan pembaharuan yang terjadi di awal abad ke-

19. Prakondisi tumbuhnya gerakan Paderi dapat dijelaskan kedalam tiga factor

penyebab:agama, social dan ekonomi (Murodi, 1999). Penjelasan yang banyak

diterima para ahli menyatakan bahwa gerakan Paderi dipengaruhi aliran Wahabi

(Jamaluddin dkk, 1990). Dari Timur Tengah, pengaruh aliran tersebut dibawa oleh

tiga orang haji, yakni Haji Miskin, H. piobang, H. Sumanik, yang kembali dari

Mekkah, aliran Zahiriyah yang kemudian dikenal sebagai gerakan Wahabi sedang

melakukan pembaharuan agama yang keras dibawah dukungan raja Ibnu Sa’ud.

Mereka melihat bagaimana sumber-sumber kemusyrikan dihancurkan dengan cara

yang radikal. Saat kembali ke Minangkabau, mereka bermaksud melakukan hal

yang sama di daerah asal mereka.

Ketiga haji tersebut menceritakan pengalaman mereka masing-masing

selama di Mekah kepada Tuanku-Tuanku dan Alim Ulama di Luhak Agam, Tanah

Datar, dan Lima Puluh Kota. Pada setiap kesempatan berkhotbah, mereka

67
menjelaskan bahwa aliran Wahabi di Mekah melaksanakan pembaharuan agama.

Mereka menganjurkan kembali ke syari’at berdasarkan Alqur’an (Syafnir

A.N….42). Menurut Schriece, munculnya gerakan Paderi di Minangkabau

disebabkan tidak adanya tempat yang memuaskan bagi agama dalam kehidupan

social seperti kaum adat, sehingga menimbulkan revolusi dari kaum intelektual

agama (Schrieke, 1974:23). Meskipun sering juga dikatakan gerakan Paderi

terinspirasi Wahabi di Mekah. Gerakan mereka yang radikal dan revolusioner,

dipandang sebagai suatu gerakan reformisme atau pembaharuan dalam agama

(Steenbrink,1984:33). Meskipun sering juga dikatakan gerakan Paderi terinspirasi

Wahabi, peneliti seperti B.J.O Schriece tidak melihat persamaan antara Wahabi

dengan Paderi, serta tidak melihat adanya bukti yang menunjukkan bahwa

gerakan Paderi telah melakukan kampanye pemujaan orang-orang keramat dan

mengingkari ijma atau konsesus. Pengaruh yang diberikan kaum Paderi bukan

hanya semata-mata kepada gerakan Paderi, malahan kepada dunia Islam

umumnya (A.A. Navis, 1984:30). Selanjutnya dengan beberapa alas an, Schrieke

menolak pengaruh Wahabi terhadap Paderi. Alas an-alasan itu adalah, pertama,

kaum Paderi tidak menentang ziarah kubur seperti kaum Wahabi. Kedua, kaum

Paderi dengan tokohnya Jamaluddin amat menghormati Nabi Muhammad SAW,

antara lain dengan merayakan maulid secara meriah dan besar-besaran. Ketiga,

system pemerintahan di Minangkabau bersifat desentralisasi, sedangkan system

pemerintahan Wahabi bersifat sentralisasi (A.A. Navis, 1984:35).

Menurut Van Ronkel (1919), istilah Paderi (atau Pidari dalam lafal orang

Minangkabau) berasal dari kata Pedir (Pidie). Hal ini dihubungkan dengan dugaan

68
masuknya Islam ke Minangkabau berasal dari Pedir, suatu daerah dari Aceh. Para

penyebar agama dari Pedir menyebarkan paham agama puritan yang dekat dengan

nilai-nilai Paderi. Dari daerah ini kemudian Islam menyebar ke Minangkabau.

Selain itu, disebutkan juga bahwa Pedir merupakan tempat mukim sementara

calon jamaah haji yang akan berangkat ke atanah suci Mekah dan begitu juga

ketika mereka kembali dari Mekah menuju kampong halaman. Namun pendapat

Ronkel tidak begitu kuat, pendapat umum menyatakan bahwa kata “Paderi”

berasal dari kata Portugis, Padre, yang berarti Pastor Katolik. Kata Paderi tidak

hanya digunakan oleh orang asing , tapi juga pribumi. Dalam buku “Priangan”

yang dikarang F. De Haan, misalnya, disebutkan dalam surat bupati Batang

kepada Residen Pekalongan, kata badrie digunakan untuk menyebut ulama, dan

bebel Arab untuk Al-Quran. Raffles dalam laporan perjalanannya pada tahun 1818

menyebutkan orang Putih atau Padris (A.A. Navis, 1984:36).

Kondisi social di Minangkabau pada akhir abad 18 sudah sedemikian jauh

dari nilai-nilai agama. Agama tidak lagi dijadikan pedoman kehidupan

masyarakat. Agaknya pada waktu itu telah terjadi penurunan peran agama dalam

masyarakat. Hal itu berbeda dengan kehidupan agama abad ke-16 dan ke-17 yang

mampu menyerasikan kehidupan agama abad ke-18 itu adalah adat dengan

penghulunya (Mardjani Martamim, 1986:20). Minum-minuman keras, candu,

makan sirih, temabkau, berjudi, dan menyabung ayam telah menjadi kebisaan

sehari-hari. Padahal sebelumnya kebiasaan-kebiasaan tersebut sebagai selingan

atau hiburan untuk berhubungan dengan klenik. Praktik tersebut menurut

pandangan Islam yang berpegang pada syariat tidak dapat dibiarkan, bahkan harus

69
diselesaikan kalau perlu dengan kekerasan. Kaum laki-laki kerjanya hanya duduk

saja main judi sambil foya-foya, mabuk-mabukkan. Sementara pekerjaan bertani

dan berdagang dilakukan kaum perempuan. Ketika harta yang dipertahankan

dalam berjudi tidak tersisa lagi, mereka melakukan pencurian dan perampokkan.

Sementara itu, peranan penghulu kaum adat yang dominan dalam

pengambilan keputusan menyebabkan hokum jadi tidak mapan. Kaum agama

tidak mendapat tempat dalam otoritas pengambilan keputusan. Secara tegas dapat

dikatakan bahwa imam, khatib, dan kaum agama lainnya tidak memiliki

kekuasaan apa-apa dalam pemerintahan nagari. Celakanya para penghulu yang

menjadi “penguasa” dinagari bukannya menjadi penganjur pada keteraturan dan

penjaga moral masyarakat, malahan mensponsori kemaksiatan. Khususnya dalam

berjudi, mereka berani bertaruh dalam jumlah yang besar. Jika harta yang

dipertaruhkan itu sudah habis, mereka berani memperjualbelikan harta pusaka

kaumnya. Akibatnya sering terjadi sengketa antara mamak dan kemenakan

(Mardjani Martamim, 1986:20). Kebijakan yang membiarkan kelompok agama

dalam batas garis pinggir atau terpinggirkan, juga merupakan factor pendukung

lahirnya gerakan Paderi (Murodi, 1981:87).

2. Perang Paderi

Perang Padri merupakan peperangan yang pada awalnya akibat

pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan

melawan penjajahan. Perbedaan pendapat antara kaum adat dengan agama telah

memicu peperangan antara Kaum Padri yang dipimpin oleh Harimau Nan Salapan

dengan Kaum Adat di bawah pimpinan Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu

70
Sultan Arifin Muningsyah. Kemudian peperangan ini meluas dengan melibatkan

Belanda.

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup

panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain

meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya

perekonomian masyarakat sekitarnya serta munculnya perpindahan masyarakat

dari kawasan konflik.

Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan

Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan

Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21

Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu

dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan

Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda

penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian

mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.

Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan

campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang

dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April

1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember

1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk

memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.

71
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan

Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung.

Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama

Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan

di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam

dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak

Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten

Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822.

Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar

karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan

Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba

kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan

perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke

Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan

Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel

Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir

Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan

Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April

1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga

sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda

melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu

72
telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat

"Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena

disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam

menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.

Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di

Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum

Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman

kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai

abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan

Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang,

hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam

liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur.

Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.

Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar

perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek

yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata

api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng

di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum

Padri. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam

konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir

73
selama 20 tahun pertama perang ini (1803-1823), dapatlah dikatakan sebagai

perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.

Selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan

jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja

paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam

menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan

pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.

Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan

semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang

pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan

Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda.

Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang

bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda,

perlawanan ini dapat diatasi.

D. Rangkuman

Gerakan pemurnian agama yang dimotori kaum paderi telah menimbulkan

konflik dengan kaum adat. Konflik ini makin berlarut larut dan tidak dapat

diselesaikan. Kaum adat yang terdesak kemudian meminta bantuan pada Belanda

yang ketika itu memiliki kedudukan di Padang.

Keterlibatan Belanda ini kemudian menyulut Miangkabau ke dalam perang

saudara yang berlangsung sampai sampai tahun 1830. Setelah tahun 1830-an

Perang Paderi berubah menjadi Perang Minangkabau, yakni ketika kaum adat

yang menyadari kesalahannya bersatu kembali dengan kaum agama untuk

74
menntang Belanda. Perang ini berubah menjadi perlawanan rakyat Minangkabau

melawan Belanda yang baru dapat diakhiri pada tahun 1837, yakni ketika Belanda

berhasil menghancurkan kekuatan utama perlawanan di daerah Bonjol, sekaligus

menangkap pimpinan perang Tuanku Imam Bonjol.

E. Tugas

Buat perbedaan dan persamaan antara Gerakan Paderi dengan Perang Paderi!

F. Evaluasi

1. Uraikan tentang gerakan pembaharuan agama yang dilakukan oleh Tiga

Haji yang baru pulang dari Mekah!

2. Jelaskan mengapa kaum adat meminta bantuan pada Belanda di Padang

pada tahun 1819 ?

3. Jelaskan pusat pusat perlawanan Paderi di Minangkabau!

4. Jelaskan bagaimana perubahan Perang Paderi menjadi Perang

Minangkabau !

5. Jelaskan peranan Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Paderi !

KEGIATAN BELAJAR BAB IX

MINANGKABAU PERIODE ABAD 19 SAMPAI ABAD 20

A. Kompetensi Utama

Setelah mempelajari bagian ini diharapkan mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan dan menganalisis penjajahan Belanda di Minangkabau

75
2. Menjelaskan perubahan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya di

Minangkabau periode penjajahan Belanda

3. Menjelaskan dan menguraikan perkembangan Minangkabau abad 20 dari

segala aspek

B. Pendahuluan

Perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837 M menjadi titik awal

kekuasaan Belanda di Minangkabau. Dengan takluknya Tuanku Imam Bonjol dan

dilumpuhkannya perjuangan rakyat Minangkabau oleh Belanda maka seluruh

wilayah Minangkabau jatuh ke dalam genggaman kolonialis Belanda. Bersamaan

dengan itu dominasi politik Belanda tertanam kokoh di Minangkabau sejak

pertengahan abad ke-19. Dominasi politik itu dijadikan landasan bagi

pekembangan ekonomi Belanda dan penetrasi kebudayaan mereka di

Minangkabau.

Kehadiran Belanda di Minangkabau membawa perubahan di segala aspek

kehidupan masyarakat, baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Di bidang

sosial masyarakat Minangkabau terpaksa menerima nilai nilai dan sistem sosial

baru yang bernuasa Barat. Kemudian di bidang politik, Belanda melakukan

manipulasi terhadap berbagai kelembagaan politik yang berada di dalam

masyarakat, terutama yang berada di nagari nagari. Dalam pada itu, di bidang

ekonomi Belanda berusaha mendapatkan keuntungan keuntungan ekonomi

melalui berbagai cara, seperti tanam paksa kopi, dan penerapan sistim pajak

(belasting).

C. Materi

76
1. Kekuasaan Politik Belanda di Minangkabau

Kekuasaan politik Belanda di Minangkabau dijalankan secara tidak

langsung, dimana para elit lokal digunakan sebagai perpanjangan tangan

kekuasaan mereka. Kaum penghulu, penguasa tradisionil menurut adat, dijadikan

sokoguru bagi penanaman, pengembangan dan pembinaan kekuasaan Belanda di

Minangkabau. Mereka dianak emaskan dan di pertentangkan dagang golongan

ulama, yang terpecah belah dengan sesama mereka saling berebutan pengaruh.

Golongan ketiga bangkit dan berkembang pula, tetapi karena jumlahnya

yang masih kecil, dalam abad ke-19 belum lagi merupakan “the third power”

dalam masyarakat Minangkabau. Mereka ialah kaum intelek Barat, yant

digunakan sebagai “bumper”, peruncing antara golongan adat dan kaum ulama.

Kaum intelek Barat itu tidak lagi hidup dari tanah sebagai satu-satunya sumber

produksi dalam masyarakat agraris. “Geldwirtschaft”, sistim ekonomi

berdasarkan uang, membebaskan manusia dari ikatan tanah. Masyarakat

“Naturalwirtschaft”, sistim ekonomi bersandarkan hasil-hasil bumi, mengikat

manusia pada tanah tempat ia hidupdan berusaha turun temurun. Uang membuat

manusia merdeka, merdeka untuk bergerak dan merdeka dari “ikatan” tanah.

Uang mempermudah dan memperpendek proses memenuhi kebutuhuan hidup

sehari-hari. Ikatan adat menjadi longgar dan ninik mamak mulai kehilangan

wibawa.

Sebagai intelektual Barat yang mempunyai penghasilan sendiri, bebas dari

tanah, tidak saja ia memandang rendah adat dan kaum penghlulu sebagai

pendukung dan pembina adat, tetapi juga agama dan kaum ulama (Islam).

77
2. Eksploitasi Ekonomi Kolonial

Dalam abad ke-19 peranan lada dan rempah-rempah makin dikalahkan oleh

kopi. Penanaman kopi secara besar-besaran dengan hasil yang baik, mula-mula

dilancarkan oleh Kompeni didaerah Priangan di Jawa Barat (Pertengahan abad ke-

15) lazim disebut “Preangerstelsel”. Bupati-bupati priangan diharuskan melever

kwantum kopi tertentu dengan harga yang ditetapkan oleh Kompeni secara

sepihak. Harga itu cukup memberikan “ruang gerak” bagi bupati sampai kepada

pak Lurah, hingga mereka dan istimewa “Kompeni” merasa sangat beruntung

dengan berjalan baik “Sistim Priangan” itu. Sukses “Preanger Stelsel” dianggap

demikian besarnya, hingga sesudah Perang Diponegoro (1830), ditambah dengan

tanaman-tanaman lain, dipaksakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk

dijalankan diseluruh Jawa dan Bagian-bagian Indonesia yang politis telah dikuasai

sepenuhnya. Itulah yang dinamakan “Cultuur-Stelsel”, Sistim Tanam Paksa”

(1830-1870/1915

Di Minangkabau sistim itu mulai dilaksanakan tidak lama selah Bonjol

ditaklukkan dan Tuanku Imam dibuang (1837). “Rodi kopi”, bekerja tanpa

bayaran dengan biasya makan ditanggung sendiri oleh yang dipekerjakan, adalah

salah satu sebab meletus dan meluas “Pemberontakan Batipuh” (1842). Tekanan

diperingan, tetapi sistim “rodi kopi” tidak dihapus, bahkan diperluas kedaerah-

daerah Minangkabau yang baru ditaklukkan, antara lain Kubung XIII dan Muara

Labuh. Sistim itu berjalan baik, dimana perlu dengan ancaman senjata dan

hukuman berat bagi yang ingkar, cidera dengan rotan, digantung dengan kepala

kebawah, dan sebagainya. Berkat kerjasama dan kepentingan yang sejalan antara

78
kaum penghulu dan Pemerintah Hindia Belanda. Badan dagang Belanda,

pengganti Kompeni dan pemegang hak tunggal luntuk membeli dan mengangkut

kopi serta mengisi kebutuhan (tekstil terutama) dari rakyat, ialah “Nederlandsche

Handel Maatschappij”, lazim disebut “De Factorij”, dibangun oleh raja Belanda

Willem I (1842), guna pembangunan ekonomi Negeri Belanda setelah Perang

Napoleon selesai (1793 – 1815). Sebagai pemegang saham terbesar “pemilik”

jajahan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga, Pemerintah Hindia

Belanda berperanan sebagai agen tunggal, “sole agency” dari “de Factorij”.

Dari zaman rodi kopi inilah lahir istilah “Melayu kopi daun”. Sebagai

penghasil kopi rakyat biasa tidak diizinkan menikmati sebutir buah kopipun.

Karena sudah diborong semuanya oleh “de Factorij”, atau “Kompeni” menurut

ucapan masyarakat. Mereka hanya boleh minum “air kahwa”, dibuat dari daun

kopi yang telah dikeringkan.

Betapa ketat penjagaan “Kompeni”, sebagian besar dari kopi di

Minangkabau lolos juga ke Singapura melalui sungai-sungai besar dan Selat

Sumatera. Hal yang tidak wajar itu tentunya menimbulkan kemarahan “Kompeni”

yang memblokir muara2 besar di pesisir Timur dan Selat Sumatera. Karena

terbukti biaya blokade sangat besar, sedangkan kopi dapat juga lolos dari jaringan-

jaringan penjagaan itu, pemerintah Hindia Belanda menempuh jalan lain.

Berangsur-angsur daerah Pesisir Timur dikuasai dari Sumatera Barat, dengan jalan

kekerasan menggunakan senjata maupun dengan jalan diplomasi membuat

perjanjian dengan “raja”, Penghulu daerah Pesisir Timur itu. Dengan Inggris

tercapai perjanjian pada tahun 1856 (Traktat Siak) dan 1870 (Traktat Sumatera);

79
3. Perubahan Perubahan Abad 20

Struktur politik di nagari-nagari Minangkabau mengalami perobahan setelah

Perang Padri selesai, tetapi tidak seperti yang dicita-citakan oleh “Gerakan Padri”.

Perang saudara dan perang kolonial di Minangkabau itu tidak saja mengakibatkan

kaum Padri kehilangan tokoh-tokoh pimpinan yang brilian, kaum syi’ah pun tidak

luput dari nasib yang malang itu. Dalam situasi “vacuum” kepemimpinan agama

itu, penguasa Belanda menonjolkan dan membantu perkembangan peranan

mazhab Syafe’i di Minangkabau yang telah lama mereka kenal (di Jawa dan

bagian-bagian Indonesia yang lain yang beragama Islam). Intoleransi mazhab itu

terhadap penguasa-penguasa bukan Islam tidak sebesar mazhab Hambali yang

dianut oleh kaum Padri.

Belanda memberikan fasilitas-fasilitas kepada ulama mazhab Syafe’i yang

naik haji ke Mekah, sejak mereka berkuasa kembali di Pesisir umumnya dan di

Padang khususnya (1819). Keringanan-keringinan itu antar lain berupa biaya

kapal pergi ke Jeddah dan pulang ketempat asal yang rendah. Putra-putra

penghulu dan ulama yang juga membantu pembinaan kekuasaan Belanda di

Minangkabau lebih didahulukan diterima sebagai murid lembaga-lembaga

pendidikan yang dibuka kemudian oleh Belanda di Minangkabau, maupun di

Jawa. Akibatnya anak-anak mereka pulalah yang kemudian menjabat kedudukan

penting dalam struktur pemerintahan Belanda, seperti demang (kepala daerah),

anggota panitera pengadilan (jaksa), penasehat pada lembaga-lembaga hukum dan

adat pemerintah, dan sebagainya. Pemerintah Hindia Belanda memantapkan

dominasi politiknya di Minangkabau dengan menggunakan kaum adat dan ulama

80
yang berpihak kepada mereka dan memberikan berbagai macam fasilitas kepada

mereka.

Kedudukan ulama Syi’ah makin terdesak, pengaruh dan wibawa makin

surut. Ulama Padri dan keturunan mereka masih tetap memegang peranan sebagai

pendidik dan Pembina agama dinagari masing-masing, tetapi ruang gerak mereka

sudah sangat dibatasi oleh Pemerintah Hindia Belanda dan alat-alatnya, pegawai-

pegawai Bangsa Indonesia. Jumlah mereka kian lama kian susut, akibat politik

Belanda menganak emaskan ulama-ulama mazhab Syafe’i dan putera-putera

mereka. Jurang pemisah antara ulama-ulama “resmi” (mazhab syafe’i dan ulama-

ulama “Rakyat” (aliran Syi’ah dan kaum Padri) kian meluas dan melebar.

Ulama-ulama “rakyat” itu sendiri masih terlibat dengan sesamanya dalam

pertikaian agama yang tidak kunjung-kunjung reda. Yang keluar sebagai

pemegang dari pertikaian faham agama itu, ialah ulama syafe’i (sejak pertengahan

abad ke-19). Keretakan masyarakat Minangkabau sebagai akibat pertikaian agama

yang tidak kunjung padam. Dan mulai tampil kemuka peranan kaum intelek Barat

di Sumatera Barat, merupakan pola Sejarah Minangkabau menjelang akhir abad

ke-19 dan permulaan abad ke-20.

4. Munculnya Kelompok Reformis Agama

Apabila gerakan dan Perang Padri dianggap sebagai gelombang pertama

usaha pembaharuan agama Islam di Minangkabau, periode antara akhir abad ke-

19 dan permulaan abad ke-20 dapat kita sebut gelombang kedua. Yang dimaksud

81
dengan “pembaharuan agama Islam” dalam konteks ini ialah perombakan sistim

pendidikan dan pemurnian pelaksanaan hukum Islam (fiqh).

Kekosongam kepemimpinan agama Islam di Minangkabau akibat Perang

Padri, mulai dapat teratasi dengan kebangkitan ulama-ulama muda, yang sejak

pertengahan hingga menjelang akhir abad ke-19 mendapat didikan langsung

maupun tidak langsung di Mekah.

Seorang pemuda Minangkabau yang brilian, Ahmad Khatib, datang belajar

dan akhirnya menetap dikota suci Mekah (pertengahan abad ke-19). Dididik

dalam alam fikiran tarika Naqsyabandiyah didaerah asalnya, setelah

memperdalam ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan hukum Islam, ia

menjadi pengecam dan penentang sengit dari tarikat itu. Sebagai seorang ahli fiqh

yang fasih berbahasa Arab dan tajam kupasan-kupasannya, pengaruh Syekh

Achmad Khatib besar sekali diseluruh dunia Islam. Beliau mendapat kehormatan

mengajarkan fiqh pada salah satu serambi di Masjid il Haraam disekitar Kaabah,

disamping menjadi “tapatan” bagi pemuda-pemuda Minangkabau terutama yang

bermukim di Mekah dan jemaah-jemaah yang tiap tahun datang dari Tanah Air

untuk naik haji.

Kepada pemuda-pemuda calon ulama itu ditanamkan oleh Syekh Achmad

Khatib tanggung jawab mereka sebagai ahli waris para nabi Muhammad SAW

untuk menegakkan fiqh sebagaimana yang diwahyukan oleh Tuhan SWT didalam

al-Qur’an dan ditafsirkan oleh kauh “fuqaha” ahli-ahli hukum agama Islam.

Mengenai Minangkabaru istimewa beliau tidak dapat menerima pelaksanaan

82
hukum warisan menurut adat, yang terang-terang menyimpang dari hukum

faraidh. Dosa hukumnya bagi orang Islam menjalankan syariat bertentangan

dengan yang diwahyukan didalam kita suci Qur’an ul Karim.

Pengaruh Syekh Achmad Khatib pada pemuda-pemuda calon ulama asal

Minangkabau itu besar sekali. Seorang diantaranya, Muhammad Yahya, sebagai

“Tuanku Simabur” (Luhak Tanah Datar) mengumumkan perang dengan khotbah-

khotbah, tulisan-tulisan dan pengajian-pengajian kepada kaum adat dan kaum

ulama yang ikut membantu menegakkan hukum adat mengenai harta warisan.

Tidak syah perkawinan didepan kadi penegak hukum adat, dilarang dikuburkan

secara islam bagi orang yang tidak patuh pada fiqh, haram hukumnya bekerjasama

dengan orang kafir yang ikut menegakkan hukum adat dan menyalahi fiqh.

Karena murid-murid Tuanku Simabur berasal dari hampir seluruh

Minangkabau, paham yang beliau sebarkan meluas ke pelosok-pelosok Sumatera

Barat dan menimbulkan gelombang kegoncangan dalam masyarakat kian lama

kian menghebat. Kaum adat meangkis serangan-serangan Tuanku Simabur dalam

koran mereka yang diterbitkan di Padang (1896). Kampanye “Anti Arab”

dilakukan dikalangan rakyat ramai dengan seruan-seruan seperti : “Waspadalah,

jangan zaman Padri berulang kembali”.

Pertikaian sengit antara kaum adat dan agama tidak terbatas pada perang

pena dan perang pidato saja. Perkumpulan-perkumpulan rahasia yang sifatnya

sangat “chauvenistisch” dan menamakan dirinya “Kongsi Adat” bermunculan

dimana-mana dan clash sering terjadi dengan yang mereka sebut “Kongsi Padri”.

83
Dari pihak kaum ulamapun Tuanku Simabur tidak kurang mendapat kecaman dan

sindiran-sindiran pedas, diantaranya dari Syekh Mungkar di Payakumbuh (L-

koto).

Bibit yang disemaikan oleh Tuanku Simabur bertunas dan berkembang

terus. Diantara murid-murid beliau yang sebagai ulama mempelopori modernisme

Islam dan banyak sedikit ikut menentukan perjalanan Sejarah Minangkabau dalam

abad ke-20, ialah syekh Muhammad Jamil Jambek (“Inyik Jambek”), syekh Abdul

Karim Amarullah (“Inyik Rasul”), Syekh Abdullah Ahmad, Syekh khatib ali, dan

sebagainya.

“Surau InyikJambek di Tengah Sawah”, Bukittinggi hanyalah sebuah dari

sekian banyak pesantren yang tersebar luas di Luhak Agam, Luhak L-Kota, Luhak

Batipuh-Tanah Datar yang mengajarkan paham modernisasi Islam dengan

memberikan pendidikan yang telah meninggalkan “sistim surau”. Bersama-sama

dengan Inyik Rasul di Maninjaum salah seorang tokoh pimpinan “Sumatera

Thawalib” di Padang Panjang kemudian pengaruh ajaran yang disemaikan oleh

kedua orang ulama besar itu tidak terbatas hingga di Minangkabau saja. Murid-

murid beliau berasal dari seluruh Sumatera, Kalimantan (Barat), Sulawesi

(Selatan) dan Semenanjung Malaka yang sekembalinya kedaerah asal masing-

masing berperanan sebagai pembaharu sistim pendidikan dan penyuluh dakwah

Islam yang modern pula.

Berbeda dengan “Inyik Jambek” dan “Inyik Rasul”, yang mengadakan

pembaharuan pendidikan agama dengan tidak merombak pola tradisionil, - agama

84
Islam tetap menjadi pokok pelajaran dengan bahasa Arab sebagai bahasa

pengantar -, Syekh Abdullah Ahmad mendirikan “HIS met de Qur’an” (“Adabiah

school”) di Padang, yang memberikan pendidikan menurut sistim Barat

berdasarkan al Qur’an. Dengan demikian beliau menciptakan kaum intelektual

Barat di Minangkabau yang berpengatahuan agama Islam. HIS (SD) yang

didirikan oleh Syakh Abdullah Ahmad itu mendapat sokongan penuh dari kaum

saudagar Padang, yang anak-anaknya ditolak dari “HIS Gupernemen”, kemudian

diakui dan mendapat subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda. Pandangan jauh

kedepan dari ulama modern itu, menyiapkan tenaga-tenaga pembangunan

berpengetahuan Barat dengan tidak mengabaikan pendidikan agama Islam,

mendapat kecaman hebat dari ulama-ulama Minangkabau lain, seperti teman karib

beliau Syekh Abdul Karim Amarullah yang menganggap beliau sebagai ulama

yang “sudah menyeberang”.

Benih yang ditebarkan oleh terutama ketiga orang tokoh ulama besar-

pendidik itu berkembang biak jauh melampaui batas-batas Minangkabau dan

zaman. Mereka tidak saja telah mempersiapkan tenaga-tenaga pimpinan agama,

politik, pendidikan dan kebudayaan pada masa persiapan Kemerdekaan Indonesia,

tetapi juga tokoh-tokoh pimpinan pemerintahan sipil, militer dan politik yang

memainkan peranan penting dalam zaman Revolusi Fisik Minangkabau

khususnya dan di Indonesia umumnya.

Syekh Abdul Karim Amarullah, yang ketika berkunjung bersama-sama

dengan Syekh Abdullah Ahmad ke Mesir dianugerahi gelar “Doktor” Oleh

Universitas Al Azhar di Kairo, juga seorang wartawan pengarang berbakat yang

85
berpena tajam, tidak biasa menyelimuti ketajaman-ketajaman pedasnya dengan

kata-kata diplomatis terhadapa tindakan-tindakan dan peraturan-peraturan

Pemerintah yang dianggapnya merugikan agama dan orang Islam di Minangkabau

khususnya Beliau mengalami nasib yang sama dengan guru beliau, dibuang ke

Cianjur ketika umur sudah lanjut, karena dianggap berbahaya bagi ketenteraman

umum di Minangkabau.

5. Kaum Intelektual Barat.

Kaum intelektual Barat sebagai golongan ketiga antara kaum adat dan kaum

agama dibangun dan dibina oleh Belanda di Minangkabau sejak tahun 1873

terutama. Pada tahun itu dibuka di Bukittinggi “Sekolah Raja”, yang murid-

muridnya dikerahkan dari golongan adat maupun dari golongan agama (ulama

Syafe’i).

Dengan bertambah luas daerah kuasa Belanda di Sumatera khususnya dan

Indonesia umumnya sejak tahun 1870, guna memantapkan dominasi politik

ekonominya, tenaga unsur-unsur pengembang kekuasaan Belanda dan

kebudayaan Barat mulai diprodusir secara berencana. Anggota-anggota dan alat-

alat pemerintah yang pandai tulis baca, berpengetahuan umum dan sekedar dapat

mengerti bahasa Belanda, kian lama kian dirasakan keperluannya dan peranannya

bagi pemantepan pengaruh Belanda. Yang telah menamatkan pelajarannya pada

“Sekolah Raja”, yang siswa-siswanya kemudian juga didatangkan dari daerah-

daerah jauh diluar Minangkabau, tidak saja dipekerjakan sebagai guru

pengembang pengetahuan dan kebudayaan Barat, tetapi juga sebagai anggota

pemerintahan sipil (demang) dan pengadilan (jaksa), yang bertugas di Sumatera

86
dan Kalimantan. Karena sebagai “ambtenaar Pemerintah Hindia Belanda”

berpenghasilan jauh daripada cukup, mereka kemudian mampu menyekolahkan

anak-anak mereka ke Jawa (untuk jadi dokter), bahkan juga ke Negeri Belanda

(guna melanjutkan pelajaran untuk jadi ahli hukum , ahli ekonomi dan

sebagainya). Pendidikan menghasilkan kaum terpelajar, yang mata dan hatinya

terbuka bagi banyak kepentingan masyarakat, yang tidak terlihat maupun

dihiraukansebelumnya. Daya kritik timbul, dipupuk oleh ilmu pengetahuan, tidak

saja ditujukan pada masyarakat sendiri, tetapi juga pada kekuasaan asing sebagai

penjajah.

Adat dan kaum adat mendapat sorotan tajam dalam buku-buku yang

dikarang oleh guru-guru lulusan sekolah Raja dan dibaca dikalangan luas berkat

kegiatan “commissie voor de Volkslectuur Balai Pustaka” di Jakarta.

Kaum terpelajar yang pulang dari Jawa maupun dari Negeri Belanda, tidak

puas lagi dengan susunan masyarakat di Minangkabau dan kekuasaan Pemerintah

Hindia Belanda di Indonesia, disamping perlakuan-perlakuan kurang wajar yang

mereka alami dari pihak penguasa Belanda setempat, mengadakan kelompok-

kelompok kegiatan politik menurut contoh di Jawa. Sangat terbatas jumlah kaum

intelek yang berpendidikan tinggi, jauh jarak alam fikiran antara mereka dengan

rakyat biasa, yang masih dikungkung oleh ikatan adat dan pengaruh agama dan

mutlak kekuasaan alat-alat Pemerintah di Minangkabau, mengakibatkan tenaga-

tenaga muda yang penuh cita-cita merasa tidak betah lagi “dikampung” dan yang

ada dirantau segan pulang.

87
Kebanyakan mereka bergerak dan berusaha di luar Minangkabau,

terutama di Jawa (Jakarta), guna mencapai cita-cita perbaikan nasib rakyat banyak

disamping nasib sendiri. Sebagai “the marginal men” mereka merasa tidak

mempunyai tempat lagi dalam masyarakat Minangkabau.

D. Rangkuman

Kehadiran kolonialis Belanda di Minangkabau sejak pertengahan abad 19

telah membawa perubahan perubahan penting terhadap masyarakat Minangkabau

dalam segala aspek kehidupan. Struktur sosial masyarakat Minangkabau

mengalami perubahan perubahan penting, diantaranya munculnya kelompok

kelompok sosial baru dlam masyarakat. Di samping itu berbagai reaksi dari

penduduk pribumi juga muncul sebagai akibat dari penjajahan Belanda di

Minangkabau.,

E. Tugas

Diskusikan secara berkelompok tentang:

1. Perubahan perubahan yang terjadi di Minangkabau pada abad 19 dan abad

20 sebagai akibat kolonialis Belanda !

2. Kelompok kelompok social yang muncul di Minangkabau pada abad 1q9

dan abad 20, baik sebagai produk agama Islam, maupun pendidikan

Belanda !

F.Evaluasi

88
1. Jelaskan akibat akibat yang ditimbulkan dengan kehadiran Belanda di

Minangkabau secara sosial dan budaya!

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kelompok reformas Islam yang

muncul pada abad ke-20 di Minangkabau !

3. Jelaskan kelompok sosial yang muncul di Minangkabau sebagai produk

dari pendidikan Belanda di Minangkabau !

4. Sebutkan tiga tokoh pembaharu Islam di Minangkabau periode abad-20

beserta perannya masing masing !

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku/Artikel/Makalah

A.A. Navis, 1984. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, (Jakarta:PT.Grafiti Press)

89
Agus Salim.19.Sejarah Masuknya Islam di Indonesia.Jakarta:Tintamas.

A.S.Harahap,1951. Sejarah Agama Islam di Asia Tenggara, (Medan:Toko


Islamiyah)

Burhanuddin Daya,1955. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus


Sumatera Tawalib.( Yogyakarta:PT.Tiara Wacana)

Budi Istiawan, 1999, “Survey dan Pengecekan Situs makam-makam Raja Jambu
Lipo I-V di Jambu Lipo, Sijunjung”. (Laporan, Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Propinsi Sumatera Barat dan Riau)

Boestami,et al, 1981. Aspek Arkeologi Islam Tentang Makan dan Surau Syekh
Burhanuddin Ulakan. (Padang: Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat)

Christine Dobbin, 1983. Kebangkitan Islam dalam ekonomi Petani yang sedang
Berubah, Sumatera Tengah, 1784-1847. (Jakarta:INIS).

Cornellis Snouck Hurgrenje, 1973. Islam di Hindia Belanda, Edisi Terjemahan .


(Jakarta:Bhratara)

Darman Munir, et. Al. 1993. Minangkabau. (Jakarta:Yayasan Gebu Minang)

Hamka,1976. Sejarah Umat Islam IV. (Jakarta: Bulan Bintan)


.
Ismail Ya’koeb.1955. Sejarah Islam di Indonesia. (Jakarta:Wijaya)

Karel.A. Steenbrink,1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad


ke-19. (Jakarta:Bulan Bintang)

Mardjani Martamin, 1986, Tuanku Imam Bonjol. (Jakarta:Depdikbud)

M.C.Ricklefs,1995. Sejarah Indonesia Modern. Terj.Dharmono Hardjowidjono,


(Yogyakarta: Gajah Mada University Press)

M.D.Mansor,dkk, 1970. Sedjarah Minangkabau, (Jakarta:Bhratara)


Rusli Amran.1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. (Jakarta:Sinar
Harapan)

Schrieke,1972. Pergerakan Agama Islam di Sumatera Barat. (Jakarta:Bharata)

Sidi Ibrahim Boechari,1981. Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan
Pergerakan Nasional di Minangkabau. (Jakarta:Gunung Tiga)

90
Sjafri Sjafei,et al,1971.”Monografi Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat”
(Laporan Penelitian. Padang:Fakultas Pertanian Universitas
Andalas)

Soewardi Idris.2000.Pengalaman Tak Terlupakan: Pejuang Kemerdekaan Sumbar


Riau. (Jakarta: Yayasan Pembangunan Pejuang 1945 Sumatera
Tengah)

Samsul Nizar.2001.”Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara: Melacak Akar


Pertumbuhan Surau sebagai Lembaga Pendidikan di Minangkabau
sampai kebangkitan Perang Paderi” dalam Abuddin Nata.
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta:Gresindo)

Schrike,1974.Pergolakan Agama Islam di Sumatera Barat. (Jakarta:Bhatara)

Steenbrink,1984.Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad


ke-19. (Jakarta:Bulan Bintang)

Sudarso Salih.1985.Mengenal Sejarah Perkembangan Ketatanegaraan Kerajaan


Pagaruyung di Ranah Minangkabau. (Purwakerto:Pribumi
Offset)

Teguh Hidayat.1997.Studi Teknis Masjid Tuo Kayu Jao.

Taufik Abdullah.1985.Sejarah Lokal. (Yogyakarta:Gama Press)

Umar Junus,1975.”Kebudayaan Minangkabau”,dalam Koentjaraningrat (ed),


Manusia dan Kebudayaan Indonesia, (Jakarta:Jembatan)

William Masden,1999. Sejarah Sumatera (Terj.A.S.Nasution dan Mahyudin


Mendim). (Bandung:Remaja Rosdakarya)

2. Surat Kabar

A.Hr.Caniago Dt.Rajo Sampono,”Kerajaan Sungai Tarab Bermula dari


Pariangan”, dalam Harian Singgalang, tanggal 4 Oktober 1990.
“Kehadiran Kerajaan Sungai Tarab Selepas
Bunga Setangkai”,dalam Harian Singgalang, tanggal 15 Mei 1988.

91
92
93

Anda mungkin juga menyukai